camping Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/camping/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:34:23 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 camping Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/camping/ 32 32 135956295 Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/ https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/#respond Thu, 09 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45236 Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy...

The post Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Pulau Um terlihat dari Jalan Poros Sorong-Tambrauw-Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Semestinya cuaca akan baik-baik saja saat siang itu (29/8/2024) kami baru sampai di Kampung Malaumkarta. Kami transit di homestay Malaway yang dikelola Hermanus Doo (50), untuk istirahat, makan siang, mandi, menyiapkan pakaian, dan mengatur logistik. Perjalanan dari pintu hutan Malagufuk dengan mobil Hilux milik Alberto Yekwam alias Berto amat singkat, kurang dari 15 menit. Langit biru sedari pagi memang sedang melingkupi Malagufuk, rumah bagi banyak cenderawasih dan fauna endemis. Keteduhan khas hutan tropis yang berbanding terbalik dengan teriknya pesisir jalan poros Sorong–Manokwari.

Sebelumnya, dari puncak jalan tertinggi di kaki Bukit Malaumkarta, tampak jelas Pulau Um menyembul di permukaan laut. Bagian tengah pulau sangat rimbun dengan tutupan pohon, di antaranya ketapang dan cemara udang, dikelilingi hamparan pasir putih. Warna air laut bergradasi, cenderung toska di zona litoral—bagian perairan yang kerap pasang surut—lalu lebih gelap di perairan dangkal. Garis-garis batas pulau dan air laut di sekitarnya begitu kontras karena hari itu benar-benar cerah.

Tidak bisa dimungkiri, saya sampai berharap dalam batin, terangnya hari awet selama kunjungan kami ke Pulau Um. Hari itu, agendanya memang piknik. Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), bahkan bersedia membawa banyak peralatan camping dari rumahnya di Malagufuk. Peserta berkemah cukup banyak. Selain Opi, warga Malagufuk lain yang ikut adalah Andy (adik kandung Opi). Adapun pemuda Malaumkarta yang gabung adalah Soraya dan Jackson. Hermanus akan mengantar kami dengan perahunya yang bersandar di pantai tak jauh dari penginapan. Sementara Berto dan Ariss Saa, saudaranya, akan menyusul malam setelah membereskan beberapa keperluan di Kota Sorong.

Lazimnya berekreasi, kami menyiapkan aneka makanan dan minuman sebagai bekal bermalam di pulau. Sudah terbayang suasana khas camping di pantai dengan api unggun, menyeduh kopi panas, membicarakan kehidupan, atau memotret bintang. Kejenakaan Opi dan Andy yang menular membuat saya cukup optimis rencana piknik kami akan baik-baik saja. 

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Dermaga Kampung Malaumkarta yang sudah rusak. Tampak perahu milik Hermanus di sisi kanan sedang tertambat di atas air. Kami membawa barang dan bekal berkemah secara estafet ke pantai ini/Mauren Fitri

Disambut kelelawar, camar, dan hujan besar

Kami baru benar-benar siap berangkat menyeberang ke pulau sekitar pukul 17.00 WIT. Hermanus pergi lebih dulu ke pantai untuk menyiapkan perahunya. Saya dan kawan-kawan yang lain gotong-royong menggotong barang dan bekal konsumsi. Padahal hanya ke pulau saja, tapi bawaannya seperti pindah rumah.

Total ada empat tenda yang dibawa. Saya dan Mauren sama-sama menggendong ransel dan dry bag (tas kedap air), sementara Deta tetap dengan ransel khusus kamera dan lensa andalannya—beratnya bahkan melebihi carrier gunung saya. Dua lembar koba-koba atau tikar tradisional khas Papua yang kami beli di Konda juga ikut terangkut.

Satu per satu barang kami taruh ke perahu fiber biru bertuliskan “Putra Malaway”. Mesin tempel Johnson 15 PK sudah terpasang di buritan. Sembari menunggu giliran naik perahu, saya mendadak khawatir dengan perubahan rona langit. Cerlang rawi siang tadi tidak berbekas. Mega yang semula putih tipis tahu-tahu menggumpal kelabu, tampak melayang dekat sekali dengan permukaan air. Empasan angin mulai menggoyangkan lautan. Seolah paham kondisi cuaca barusan, Hermanus bergegas menyalakan mesin dan melajukan perahu berisikan delapan orang ini ke Pulau Um.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Semakin mendung saat menyeberang ke Pulau Um/Mauren Fitri

Untungnya, jarak menuju Pulau Um dekat saja. Hermanus mengarahkan laju perahu ke sisi timur pulau. Sebab, di sanalah tempat kami akan berkemah. Lima menit kemudian, perahu merapat ke pantai berpasir putih. Kami bergegas turun dan mengangkut seluruh barang bawaan ke pinggiran batas hutan mini itu.

Tenda-tenda segera dibuka. Mulanya cukup mendirikan tiga tenda. Lalu, Opi dan Jackson memasang flysheet di atas bekas api unggun. Terdapat tiang-tiang bambu yang tertancap, seperti sengaja dipasang untuk tempat berteduh darurat. Deta bergegas menyiapkan kamera dan lensa tele. Ia hendak merekam fenomena paling unik di pulau ini, yaitu pergantian ruang hidup kelelawar dan burung camar saat petang tiba.

Selain pasir putih dan kejernihan lautnya, Pulau Um juga dikenal karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar dan camar. Kedua satwa ini menggunakan hutan di tengah pulau secara bergantian sesuai waktunya. Sebagai makhluk yang aktif di malam hari, satu per satu kelelawar akan mulai terbangun dan terbang jauh ke arah Malaumkarta untuk makan sampai pagi. Sementara para camar melayang sedikit lebih tinggi di atas pulau, menunggu kesempatan untuk singgah dan beristirahat setelah beraktivitas sedari pagi sampai sore. Dan sebaliknya, begitu seterusnya. Sayang, karena langit sudah gelap dan mendung, kami tidak mendapatkan gambar camar.

Kelelawar, sekalipun berparas sangar dan mengerikan, perannya di alam tidak bisa diremehkan. Di daratan yang jauh dari rumahnya—Pulau Um—kelelawar akan melahap ribuan nyamuk yang bisa merugikan manusia. Kelelawar juga akan menebar biji maupun buah-buahan yang sudah dimakan dari pohon-pohon, untuk dikembalikan ke alam. Lalu camar berfungsi seperti predator puncak, yang akan menjaga keseimbangan rantai makanan.

  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan

“Kalau saja dapat momen sunset, pemandangan pergantian kelelawar dan camar ini akan cantik sekali,” kata Opi. 

Awalnya memang begitu yang kami harapkan. Namun, jangankan sunset, seutas warna jingga khas senja saja tidak tampak. Mega mengarak mendung sejak kami akan berangkat ke pulau ini. Di utara pulau, kira-kira dalam radius 1–2 kilometer, langit berubah gelap dan menghitam drastis di atas batas perairan Malaumkarta dengan Samudra Pasifik. Saya kemudian jadi teringat tentang sisi lain dari samudra terluas di dunia, yang menutupi hampir 50 persen perairan bumi ini, yaitu reputasinya sebagai pusat badai tropis.

Belum genap tenda berdiri, tiba-tiba rintik-rintik air dari langit jatuh membasahi kepala. Tanpa perlu terlalu lama menyadari, saya berseru kepada Deta untuk segera membereskan kameranya. Begitu pun pada teman-teman yang masih sibuk menyelesaikan pendirian tenda ketiga. Kami mengajak mereka mengamankan barang-barang dan memasukkannya ke tenda segera.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Tempat camp, difoto keesokan paginya/Mauren Fitri

“Aduh, kenapa malah hujan ini?” keluh Opi dengan nada lantang. Tentu saja dia bercanda. Tak disangka, alam membalikkan optimisme kami.

Beberapa jam kemudian, di tengah gerimis Hermanus datang bersama Berto dan Ariss. Setelah itu hujan kembali mengguyur deras sepanjang malam. Kami mendirikan satu tenda lagi untuk tempat tidur tambahan dan menyimpan barang-barang. Tiada perayaan api unggun di bawah flysheet darurat itu. Kami hanya menghidupkan kompor kecil saja untuk memasak makan malam sederhana dengan mi instan, plus kopi panas. 

Akan tetapi, keterbatasan tidak menghalangi perbincangan tentang isu-isu seputar Papua. Suasana tetap hangat dan seru. Makin larut, obrolan makin melebar ke mana-mana.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Hujan berarak di pesisir utara yang berbukit/Deta Widyananda

Pulau kecil yang jadi rumah aman untuk burung dan biota laut

Pulau ini teramat jauh dari rumah kami—saya, Mauren, dan Deta—di Jawa Tengah. Ribuan kilometer jaraknya. Jika kami harus pergi mencari pulau tropis seperti ini, yang terdekat adalah Taman Nasional Karimunjawa. Jaraknya sekitar 4–5 jam dengan kapal feri dari Kota Semarang. Bayangkan jadi orang Malaumkarta. Ingin main ke pulau, tinggal menyeberang kurang dari 10 menit. Berkeliling pulau pun tidak sampai setengah jam.

Untuk beberapa saat kami menikmati itu. Walau hujan memupus suasana camping yang ideal, tetapi tidak sampai mengurangi ketakjuban saya terhadap pulau tak berpenghuni (manusia) ini. Terutama siklus alam yang berjalan—keanekaragaman hayati—yang bergantung sepenuhnya pada Pulau Um dan perairan sekitarnya. 

Tidak hanya kelelawar dan camar, kami juga menjumpai spesies burung lainnya yang singgah di Pulau Um. Beberapa yang berhasil kami lihat antara lain burung gagak, serta burung-burung kecil, di antaranya cekakak suci atau sacred kingfisher (Todiramphus sanctus) dan kipasan kebun atau willie wagtail (Rhipidura leucophrys).

Biota laut yang dilindungi negara dan kerap terlihat di perairan Pulau Um pun tidak kalah banyak. Mengacu informasi dari Loka PSPL Sorong, setidaknya terdapat empat fauna endemis, yaitu ikan napoleon (Cheilinus undulatus), hiu berjalan (Hemiscyllium halmahera), dugong (Dugong dugon), dan penyu. Penyu sendiri terbagi menjadi tiga spesies, antara lain penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu-penyu ini dibuatkan penangkaran telur khusus di sepetak kecil dengan pagar pelindung sederhana berupa jaring. Letaknya di utara tenda kami. 

  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan

Lalu di dasar perairan, Hermanus menyebut kondisi terumbu karang masih terbilang sehat. Sebab, peraturan egek sangat ketat dan membuat nelayan hanya boleh melakukan molo atau menangkap ikan secara tradisional. Baik itu memancing dengan kail, menembak dengan harpun atau seruit, dan menombak. Tak jarang beberapa nelayan terlihat melaut hanya dengan perahu dayung dan menyelam berbekal kacamata selam sederhana untuk menangkap ikan. Sebagaimana diketahui, selama egek dilarang berburu lobster, lola (siput laut), dan teripang. Aturan egek juga berlaku di Pulau Um, bahkan lebih ketat. Siapa pun dilarang mengambil keanekaragaman hayati di pulau tersebut seumur hidup.

Artinya, Pulau Um telah menjadi bagian dari kebudayaan suku Moi di Malaumkarta Raya, khususnya Kampung Malaumkarta itu sendiri. Jems Su, pemuda Malaumkarta yang juga nelayan, mengaku bersyukur dengan tradisi egek dan keberadaan Pulau Um di kampungnya. 

“Saya merasa bangga bahwa wilayah Malaumkarta masih mempunyai kehidupan tradisional, dan nilai-nilai budayanya masih ada sampai hari ini,” ujarnya ketika ditemui di kampung, “ini (tradisi dan Pulau Um) adalah bagian yang harus dijaga dan dilindungi di Malaumkarta Raya.”

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Ariss Saa mengisi pagi di Pulau Um dengan mencari ikan dengan tombak/Rifqy Faiza Rahman

Baginya, tidak masalah jika jenis tangkapan ikan terbatas karena egek. Toh, Ia bisa mencari sumber ekonomi tambahan dari ekowisata Pulau Um, baik itu sebagai pemandu atau motoris perahu. Ia bahkan gembira bukan main jika ada media atau stasiun televisi mempromosikan daerahnya sebagai tujuan ekowisata berbasis budaya.

Keesokan paginya, pagi sempat menunjukkan rona fajar sejenak di langit. Sisa hujan semalaman hanya membekas serupa embun-embun yang menempel di dinding tenda dan flysheet. Beberapa peralatan makan dan minum memang basah karena tak ikut disimpan, tetapi itu bukan masalah. Hanya perlu dilap dan dijemur sebentar.

Sebelum hari benar-benar terang, saya berjalan sedikit ke tepi pantai yang sedang surut. Pemandangan di pesisir Malaumkarta Raya sangat menakjubkan. Saya menduga-duga sebelah mana hutan Malagufuk tempat kami blusukan melihat cenderawasih beberapa hari sebelumnya. Ini baru secuil bagian dari Papua. Perbukitan memanjang dengan tutupan hutan tropis lebat nyaris tanpa cela—dan semoga terus begitu. Sebab, orang-orang Malaumkarta Raya bertekad menjadikan tanah adat di wilayahnya menjadi benteng alam terakhir suku Moi di Kabupaten Sorong.

“Di sana ada air terjun yang jatuh ke laut,” tunjuk Andy ke arah perbukitan itu. Kepada saya, ia bilang sebenarnya hanya perlu berlayar beberapa menit ke arah barat pesisir Malaumkarta. Sayang, kami belum sempat mampir karena diburu waktu untuk liputan di kampung dan menemui beberapa tokoh. Saya hanya bisa berharap bisa kembali lebih lama di lain waktu.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Mendung kembali menggelayuti perbukitan di pesisir utara Malaumkarta Raya/Mauren Fitri

Masih ada ruang perbaikan untuk berkembang dan berkelanjutan

Satu hal yang mengganggu dan sangat mencolok di Pulau Um adalah sampah anorganik. Kemungkinan bekas buangan para pengunjung yang berkemah sebelum kami. Rata-rata kemasan makanan dan botol minuman. Mengingat lokasi camp ideal hanya berada di sisi timur pulau, tentu akan tampak seperti menumpuk di satu tempat saja.

Sampah-sampah itu kebanyakan berserakan di batas vegetasi ketapang dengan area terbuka. Tempat di mana tenda-tenda biasa didirikan. Persoalan sampah tidak hanya berdampak pada pariwisata, tetapi juga bisa mengancam kelestarian ekosistem pulau. Sudah jamak terjadi penyu terlilit limbah jala nelayan, atau menelan plastik-plastik yang tak akan mungkin terurai.

Ke depan, pengelola wisata Malaumkarta perlu memperketat lagi pengawasan pada para wisatawan. Torianus Kalami, tokoh suku Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), mengakui masih ada pekerjaan rumah untuk mengelola ekowisata secara berkelanjutan. Ia berharap generasi muda bisa meneruskan kebudayaan Moi dan menjaga Pulau Um.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Informasi biota laut yang dilindungi. Terlihat tanaman katang-katang tumbuh subur di sekitar tempat penangkaran telur penyu/Mauren Fitri

Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan katang-katang (Ipomoea pes-caprae) yang tumbuh cukup subur di atas pasir pantai. Bentuknya khas, serupa tanaman merambat dengan batang menjalar dan daun yang menghampar seperti rerumputan. Di sela-sela itu tumbuh bunga berbentuk seperti corong berwarna ungu. Titik terbanyak berada di sebelah utara area camp. Mengepung tempat penangkaran telur penyu. 

Di balik khasiatnya sebagai obat atau bahan sayuran, tanaman yang juga disebut batatas pesisir itu rupanya memiliki dampak negatif. Menurut Fitri Pakiding, peneliti penyu Universitas Negeri Papua, dalam presentasinya menyebut katang-katang mengancam kehidupan penyu, salah satu satwa endemis di perairan Malaumkarta ini. Meski normal berhabitat di pantai, tetapi akar tanaman ini bisa menembus kedalaman pasir tempat telur penyu bersarang dan menjadi parasit. Akar tersebut akan membungkus telur penyu, bahkan menyerap seluruh nutrisi sehingga menggagalkan penetasan.

Tentu, untuk mengatasi tantangan tersebut perlu langkah kolaboratif. Kelestarian Pulau Um bukan hanya tanggung jawab orang-orang Moi semata, melainkan juga kita sebagai tamu yang datang ke rumah mereka. (*)


Foto sampul:
Perahu Hermanus tertambat di pantai Pulau Um, Malaumkarta, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/feed/ 0 45236
Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor https://telusuri.id/berkemah-di-sudut-kebun-teh-gunung-luhur-bogor/ https://telusuri.id/berkemah-di-sudut-kebun-teh-gunung-luhur-bogor/#comments Thu, 09 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41876 Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat merupakan destinasi wisata yang cukup favorit bagi warga Jabodetabek dan sekitarnya. Selain karena jaraknya yang mudah dijangkau, lokasinya juga dekat dengan kaki Gunung Gede-Pangrango. Udara sejuk khas pegunungan pun menjadi...

The post Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat merupakan destinasi wisata yang cukup favorit bagi warga Jabodetabek dan sekitarnya. Selain karena jaraknya yang mudah dijangkau, lokasinya juga dekat dengan kaki Gunung Gede-Pangrango. Udara sejuk khas pegunungan pun menjadi daya tarik masyarakat untuk berkunjung.

Kling! Sebuah notifikasi masuk dari grup WhatsApp. “Ayo, kita camping-lah sebelum puasa, nih.” Sebuah ajakan datang dari salah satu teman saya untuk berkemah. 

“Di mana, ya, enaknya?” tanya saya. 

“Kita ke Smart Camp Gunung Luhur aja, yuk!” jawab teman saya. Singkat cerita kami berlima dalam grup tersebut menyetujui rencana camping ke tempat tersebut. 

Kami memilih berangkat saat weekday untuk menghindari penuhnya lokasi camping. Empat orang dari kami berangkat pada Selasa pagi (5/3/2024) dengan titik kumpul Tugu Sentul, Bogor. Satu teman lagi menyusul berangkat siang harinya karena dia belum tidur dari kerja shift malam.

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Saya (dua dari kiri) dan tiga orang teman yang berangkat terlebih dahulu ke Smart Camp Gunung Luhur/Gilang Rachmat Riyadi

Perjalanan Berliku ke Smart Camp Gunung Luhur

Rute yang kami lewati pasti sudah tidak asing lagi bagi pengendara roda dua, yaitu melalui Sentul–Bukit Pelangi–Raya Puncak. Jalur ini menjadi favorit untuk menghindari macetnya Kota Bogor. Selain itu, rute ini juga bisa memangkas waktu tempuh perjalanan dari Jakarta.

Sekitar pukul 11.00 siang kami beristirahat sebentar di salah satu SPBU jalur Puncak. Percaya dengan bantuan teknologi, kami berempat mengikuti arahan Google Maps menuju lokasi. Tiga motor matik itu pun beriringan dengan komando dari kawan yang berboncengan paling depan. Di satu titik, Google Maps mengarahkan kami belok kiri memasuki jalan perkampungan. Kami mampir sejenak di sebuah warung kelontong membeli beberapa logistik untuk perbekalan.

Jalan yang kami lewati mulai berkelok dan menanjak agak curam. Sesampainya di sebuah persimpangan, sinyal GPS hilang-timbul sehingga kami ragu arah mana yang benar. Akhirnya saya mencoba bertanya pada seseorang.

“Wah, jalan sebenarnya bukan lewat sini. Harusnya masuknya lewat Telaga Saat,” jawab pria itu. Sontak kami berempat kaget karena sejak tadi kami hanya mengikuti arahan Google Maps. Mengingat jalur yang telah dilewati sudah cukup jauh dan kontur jalan curam berliku, kami bertanya lagi kemungkinan jalur tercepat tanpa kembali ke jalan raya. Orang yang kami tanyai terlihat bingung.

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Kondisi jalan yang harus kami lalui setelah mengikuti arahan Google Maps/Gilang Rachmat Riyadi

Di tengah kebingungan, datanglah seorang pria paruh baya menghampiri kami dengan mengendarai motor Honda Verza. Ia berhenti sejenak untuk menyapa dan menanyakan tujuan kami. Setelah menyebutkan tujuan, pria itu pun menjawab hal yang sama seperti pria sebelumnya. Ia menambahkan, banyak orang yang salah jalan seperti kami karena mengikuti arahan Google Maps. 

Si bapak menawari mengantarkan kami melintasi kawasan perkebunan teh tempatnya bekerja. Namun, untuk dapat memasuki perkebunan kami dikenakan biaya masuk sebesar Rp25.000 per orang. Kami setuju.

Perjalanan berlanjut. Jalan yang tadinya aspal dan cor beton kini berubah menjadi batu yang cukup terjal di kawasan perkebunan teh. Beberapa saat kemudian, hujan turun dengan tiba-tiba hingga kami memutuskan untuk berteduh sejenak di sebuah gubuk.

Tak berapa lama, hujan berhenti. Namun, si bapak ternyata hanya bisa mengantar sampai gubuk tempat kami berteduh. Beliau memberikan arahan pada kami untuk mengikuti jalan makadam ini sampai bertemu SDN Cikoneng, lalu terus naik ke arah atas. Kami pun berpisah dengan beliau.

Jalan berbatu semakin parah dan terus naik tanpa ampun. Sesekali tanjakannya sangat curam hingga teman saya yang berboncengan harus turun agar motornya kuat menanjak. Meskipun terjal, pemandangan di kanan-kiri kami benar-benar memanjakan mata. Hamparan perkebunan teh, pepohonan hijau, dan perbukitan membuat kami tetap semangat.

Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, sampailah kami di Smart Camp Gunung Luhur sekitar pukul 14.00. Lokasinya tepat di ujung perkebunan teh yang luas ini. Di pintu masuk tertulis imbauan yang perlu dipahami demi keselamatan. Salah satunya dengan tidak menghidupkan data seluler handphone bila terjadi cuaca buruk, seperti hujan petir atau badai. Area berkemahnya cukup dekat dengan tempat parkir motor. Jadi, kami tidak perlu capek-capek trekking untuk ke sana.

Harga tiket untuk berkemah di sini sebesar Rp25.000 per malam dan parkir motor Rp10.000. Fasilitas yang tersedia antara lain toilet yang cukup banyak, musala, dan tempat penampungan air bersih. Ada juga warung dan kafe, tetapi karena kami berkunjung ketika hari kerja, keduanya tidak beroperasi. Ah, sayang sekali. Padahal kami berharap warungnya buka agar bisa membeli tambahan logistik.

Berkemah Dikepung Angin dan Kabut

Kami meletakkan tas carrier dan semua perlengkapan di saung dekat papan imbauan. Saya dan seorang teman saya langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Kontur camping ground-nya berundak. Ada beberapa tingkatan yang bisa dipilih.

Setelah mempertimbangkan jalur air bila hujan turun dan arah angin bertiup, kami memutuskan membangun tenda di salah satu spot yang dikelilingi pohon pinus yang cukup besar. Kami bergegas karena kabut yang turun terkadang membuat hujan gerimis. 

Kami berdua mendirikan tenda tanpa kendala. Namun, tidak dengan dua teman lainnya. Mereka berdua kerepotan. Saya melihat dari kejauhan mereka berdebat saat memasang frame tenda. Kadang frame-nya terbalik, atau frame-nya salah masuk lubang. Kesalahan-kesalahan itu malah jadi bercandaan agar suasananya seru. Pada akhirnya tenda-tenda kami berdiri dengan kokoh. 

Ternyata perdebatan belum usai. Saat memasang flysheet (atap kain untuk menahan hujan), mereka terlihat kebingungan. Flysheet berwarna cokelat itu terlihat asal dipasang. Sontak saya berinisiatif membantu memasangnya dengan benar. 

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Kerja sama tim mendirikan tenda/Gilang Rachmat RiyadI

“Kalau pasangnya seperti itu, yang ada air hujan akan menetes ke dalam tenda,” celetuk saya. Mereka hanya nyengir dan malah ketawa. 

Saya cari beberapa batang pohon untuk dijadikan tiang flysheet. Setelah itu saya ikatkan tali pada ujungnya dan tarik dengan pasak agar flysheet terpasang kuat. “Nah, kalau kaya gini kan kuat. Air hujan juga tidak akan masuk ke tenda,” ujar saya ketika flysheet terpasang dengan kokoh. Kedua teman saya senyum-senyum sambil berterima kasih.

Hari itu kami kurang beruntung. Kabut cukup tebal sehingga pemandangannya tidak begitu terlihat. Pun dengan angin dingin yang bertiup terus-menerus. Kami yang sejak awal memilih lokasi camp di antara pohon pinus supaya bisa menghalau angin, ternyata tetap saja dihantam angin kencang karena kontur yang berbukit. Kami berharap besok pagi kabut pergi dan cuaca cerah datang. 

Menjelang petang, teman saya yang menyusul sampai juga dengan selamat. Ia datang menggunakan motor trail. Meski demikian, tetap saja jalur yang terjal membuat motornya mengalami kendala. Ia bercerita sempat terjatuh dari motor karena jalan menikung terlalu tajam. Untungnya tidak mengalami luka yang serius, hanya memar pada kakinya.

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Angin kencang dan kabut tebal menyelimuti sore itu/Gilang Rachmat Riyadi

Malam pun tiba. Kami semua berkumpul dengan beralaskan footprint tenda. Bercerita tentang banyak hal sambil diiringi suara angin dan serangga hutan. Kami semua mengumpulkan logistik yang kami bawa di salah satu tenda. Logistik tersebut mencakup kopi, teh, beras, kentang, ayam fillet, bumbu masakan, dan yang pasti perbekalan standar saat camping tidak lain dan tidak bukan ialah mie instan. 

Saya kebagian tugas memasak. Yang pertama saya lakukan adalah memasak air panas untuk menyeduh teh dan kopi. Minuman hangat cukup untuk menahan udara dingin yang masih sesekali berembus. Setelah itu saya mempersiapkan menu makan malam, yaitu ayam fillet bumbu teriyaki.

Teman saya bertugas mengupas kentang, sebagai pengganti karbohidrat dari nasi. Setelah dikupas, saya rebus kentang itu menggunakan nesting (panci kecil lipat). Saya mempersiapkan beberapa bumbu, yaitu irisan bawang bombay dan bawang putih, baru kemudian mulai memasak. Ketika matang, kami semua makan dengan lahap berteman lampu remang-remang yang dipasang di tenda. 

Malam yang Bersahabat dengan Pagi

Senda gurau melengkapi perut yang kenyang, dilengkapi secangkir teh melati hangat. Di atas bangku yang kami tempatkan di depan tenda, kami menikmati pemandangan malam itu. Terlihat kerlap-kerlip lampu kota dari ketinggian.

Tepat tengah malam, udara kian dingin. Kami menuju tenda dan mengenakan jaket tebal, lalu bergegas tidur.

Cuaca bersahabat berlanjut hingga keesokan paginya. Saya bangun sebelum matahari terbit, sementara yang lain masih tidur pulas. Langsung saja saya merebus air untuk membuat kopi.

Sambil mengumpulkan nyawa, saya menyeruput kopi sambil menikmati matahari pagi yang perlahan muncul di sela-sela punggungan Gunung Gede-Pangrango. Sinarnya yang hangat mulai menghapus tebalnya embun di perkebunan teh. 

Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor
Lanskap perkebunan teh berlatar Gunung Gede-Pangrango saat pagi/Gilang Rachmat Riyadi

Kami beruntung akhirnya mendapatkan cuaca yang sangat bagus. Pemandangan yang luar biasa disaksikan langsung tepat di depan tenda. Hamparan perkebunan teh yang luas berhadapan langsung dengan gunung yang berada di kawasan taman nasional tersebut. Rasanya sepadan dengan perjuangan motor matik saya saat melewati jalan makadam terjal, tanjakan curam, dan licin berlumpur kemarin siang.

Pagi ini, menu sarapan kami adalah nasi, mi instan goreng, dan sisa ayam teriyaki semalam. Lagi-lagi, saya yang bertugas memasak karena lainnya tidak ada yang bisa memasak.

Saat tengah hari, kami berkemas. Semua orang sibuk membongkar tenda kemudian memasukkan kembali semua peralatan ke dalam tas carrier masing-masing. Tak lupa kami mengumpulkan sisa sampah dengan kantung plastik lalu membuangnya di tempat yang telah disediakan pengelola. Sangat penting untuk selalu menjaga kebersihan di mana pun kita berkegiatan agar alam terjaga keasriannya.

Sekitar pukul 14.00, kami memulai perjalanan pulang. Kembali menyusuri perkebunan teh yang panjang dan berliku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkemah di Sudut Kebun Teh Gunung Luhur Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkemah-di-sudut-kebun-teh-gunung-luhur-bogor/feed/ 2 41876
Cerita Kebersamaan di Pantai Pacar Tulungagung https://telusuri.id/cerita-kebersamaan-di-pantai-pacar-tulungagung/ https://telusuri.id/cerita-kebersamaan-di-pantai-pacar-tulungagung/#respond Sun, 31 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40749 Bicara soal tempat wisata, alam tak pernah gagal menyuguhkan pesonanya bagi para penikmatnya. Alam memiliki segala sisi keindahan di setiap sudutnya yang tak ada habisnya. Tidak terkecuali pantai. Hamparan pasir dan deburan ombaknya seakan berhasil...

The post Cerita Kebersamaan di Pantai Pacar Tulungagung appeared first on TelusuRI.

]]>
Bicara soal tempat wisata, alam tak pernah gagal menyuguhkan pesonanya bagi para penikmatnya. Alam memiliki segala sisi keindahan di setiap sudutnya yang tak ada habisnya. Tidak terkecuali pantai. Hamparan pasir dan deburan ombaknya seakan berhasil menyihir siapa pun dalam lamunannya. 

Berkemah atau camping belakangan ini menjadi pilihan kegiatan mengisi waktu luang ketika berlibur. Ide berkemah pun juga terlintas di pikiran saya dan teman-teman saat itu. Selepas bermain badminton bersama, kami berembuk dan sepakat mengisi momen liburan yang sebentar lagi tiba dengan berkemah di pantai. Namun, rencana yang terbilang mendadak membuat tidak banyak teman kami yang bisa ikut serta. Alhasil kami berangkat dengan personel lima orang saja.

Diskusi pun masih berlanjut. Beberapa nama tempat wisata sempat terucap. Masing-masing menyumbangkan idenya untuk memberikan opsi. Setelah menimbang-nimbang beberapa hal, mulai dari akses jalan, rute, suasana, jarak tempuh, hingga harga tiket masuk, kami sepakat pada satu suara, yaitu Pantai Pacar.

Sekilas Pantai Pacar Tulungagung

Pantai Pacar terletak di Desa Pucanglaban, Kecamatan Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung. Meskipun berjarak cukup jauh dari pusat kota Tulungagung, tetapi Pantai Pacar menjadi destinasi wisata yang cukup diminati akhir-akhir ini, khususnya oleh masyarakat Tulungagung dan sekitarnya, karena keasrian dan kebersihannya masih terjaga cukup baik.

Keunikan pantai ini adalah lokasinya yang berada di bawah tebing. Tidak seperti pantai kebanyakan, yang mana kita akan langsung berhadapan dengan bibir pantai. Ketika tiba di Pantai Pacar, kita harus menuruni anak tangga yang sudah dibangun agar bisa menikmati langsung keindahan pantai dari dekat.

Tidak hanya itu. Di pantai ini juga terdapat air terjun kecil yang mengalir dari atas tebing dengan ketinggian kurang lebih tiga meter. Air terjun ini pun menjadi spot foto yang memiliki keunikan tersendiri bagi pengunjung. Tak jarang pengunjung menggunakannya sebagai tempat untuk membilas dan membersihkan diri dari pasir pantai.

Akses jalan menuju pantai pun sudah dibangun dengan baik. Kelak pantai ini bisa ditempuh lewat Jalur Lintas Selatan (JLS) yang menghubungkan beberapa provinsi, mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Jawa Timur. Namun, pembangunan jalan tersebut belum sepenuhnya selesai, sehingga beberapa akses jalan belum berfungsi secara maksimal.

Sambutan Hangat Menjelang Petang

Kami memulai perjalanan menuju Pantai Pacar pada Rabu sore (31/05/2023) dengan tiga sepeda motor. Kami membagi rata barang-barang bawaan kami, termasuk tenda dan tikar. Cuaca yang cerah sejak pagi membuat kami optimis tidak akan turun hujan hingga esok hari.

Jarak sejauh 30 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih satu setengah jam tidak terasa melelahkan. Kami disuguhkan pemandangan alam yang indah dan menakjubkan sepanjang perjalanan, seperti rindangnya pepohonan, perkebunan yang asri, dan birunya laut selatan. Rasa penat seketika terbayar meskipun harus melewati jalanan yang cukup menanjak dan turunan curam di beberapa titik sebelum Pantai Pacar.  

Cerita Kebersamaan di Pantai Pacar Tulungagung
Mulusnya aspal Jalur Lintas Selatan (JLS) menuju Pantai Pacar Tulungagung/Nur Ainun

Sesaat sebelum sampai, sempat kepikiran bakal takut karena sepinya pengunjung. Namun, ternyata saya salah. Menjelang petang pun masih cukup banyak pengunjung di pantai ini. Suasana sore dengan sunset yang bersembunyi di balik awan menyambut kedatangan kami.

Seorang petugas yang ramah mengarahkan kami untuk memarkir motor di tempat yang telah disediakan. Bagi pengunjung yang akan berkemah di area Pantai Pacar dikenakan tarif sebesar Rp15.000 per orang untuk satu malam. Sudah termasuk biaya parkir dan fasilitas toilet. Jangan khawatir bila tidak memiliki peralatan untuk berkemah, seperti tenda, tikar, dan kompor. Di sini juga terdapat tempat penyewaan alat yang cukup lengkap.

Usai memarkir motor, kami sepakat untuk turun terlebih dahulu. Berkeliling di sekitar pantai sambil berfoto-foto menunggu momen matahari terbenam.

Kami berjalan ke arah timur. Di sana terdapat batu-batu karang dan air terjun yang mengalir cukup deras dari atas tebing. Jernihnya laut menambah pemandangan di pantai ini terasa sangat menyegarkan dan menenangkan. Ketika berjalan ke arah sebaliknya, kami menjumpai banyak bebatuan besar yang tersebar di sepanjang bibir pantai. Gelapnya langit sebagai tanda menuju malam tidak menjadikan pantai ini lantas ditinggalkan pengunjung. Saya melihat ada beberapa orang yang masih bertahan untuk menikmati sunset di Pantai Pacar.

Kebersamaan yang Mengisi Malam

Selepas matahari benar-benar tenggelam dari pandangan, beberapa pengunjung mulai mendirikan tendanya di area camp. Kami juga membangun tenda sambil bergantian melaksanakan salat Magrib.

Pengalaman nol membangun tenda membuat saya dan seorang teman saya merasa agak kepayahan. Setelah memakan waktu sekitar empat puluh menit dengan segala kebingungan, akhirnya dua buah tenda berhasil kami dirikan. “Lumayanlah, ya. Enggak jelek-jelek amat, yang penting bisa buat tidur,” pikir saya.

Kami pun bergegas menata barang-barang bawaan dan selanjutnya berkumpul. Duduk bersama di atas tikar yang kami tata menghadap ke arah pantai. Segala perbekalan dan camilan satu per satu dikeluarkan dari dalam tas sebagai amunisi perut kami malam itu. Mulai dari canda tawa, perbincangan ringan hingga serius menemani kami berlima. Bermodalkan makanan, kartu UNO, minuman hangat, dan pemandangan malam yang cantik dari Pantai Pacar menghanyutkan kami dalam kebersamaan yang hangat.

Cerita Kebersamaan di Pantai Pacar Tulungagung
Suasana tempat perkemahan Pantai Pacar saat malam/Nur Ainun

Perut kenyang, main kartu pun bosan. Kayaknya masih ada yang kurang. Kalau suasana sudah seperti itu, rasanya tidak afdal kalau tidak ada rahasia yang terbongkar.

Kami berkreasi. Permainan truth or dare pun berubah menjadi truth or truth kali ini. Benar adanya jika makin malam makin jujur. Situasi deep talk pun tak terelakkan di antara kami. Obrolan demi obrolan mengalir, sehingga tanpa sadar masing-masing mulai memasang posisi nyaman dan berbaring di atas tikar.

Tanpa terasa malam kian larut. Beberapa dari kami mulai mengantuk dan memutuskan untuk menyudahi permainan. Kami pindah ke dalam tenda terpisah untuk perempuan dan laki-laki.

Suara deburan ombak, embusan angin nan tenang, dan dinginnya udara yang menerpa kulit dengan sopan; adalah definisi pengantar tidur yang sempurna bagi kami. Malam yang cukup singkat, tetapi mengesankan.

Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Kebersamaan di Pantai Pacar Tulungagung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-kebersamaan-di-pantai-pacar-tulungagung/feed/ 0 40749
‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar https://telusuri.id/camping-ceria-di-hutan-pinus-loji-blitar/ https://telusuri.id/camping-ceria-di-hutan-pinus-loji-blitar/#respond Tue, 01 Nov 2022 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35452 “Mbak, kayaknya baru pulang dari event camping di Hutan Pinus Loji ya? Seru, ya, kayaknya,” tanya salah satu kawan. Bagi sebagian orang, camping menjadi hobi untuk lebih dekat dengan alam dan menepi sejenak dari segala...

The post ‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mbak, kayaknya baru pulang dari event camping di Hutan Pinus Loji ya? Seru, ya, kayaknya,” tanya salah satu kawan.

Bagi sebagian orang, camping menjadi hobi untuk lebih dekat dengan alam dan menepi sejenak dari segala rutinitas. Tetapi bagaimana dengan acara camping dengan tujuan belajar sambil bersenang-senang?

24 Agustus 2022, saya mengikuti camping ceria dalam rangkaian acara Selling on Village (SOV) 2022 di bumi perkemahan Hutan Pinus Loji, Desa Tulungrejo, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar Jawa Timur. Selling on Village 2022 diselenggarakan oleh komunitas anak muda di Blitar yang bertujuan mengenalkan potensi wisata Desa Tulungrejo, edukasi tentang kopi lokal, dan pertunjukan seni.

Acara ini bekerja sama dengan Dharma Nagari, kelompok sadar wisata yang mengelola objek wisata di Desa Tulungrejo termasuk Hutan Pinus Loji. Panitia menjelaskan bahwa kegiatan ini sudah direncanakan sebelum pandemi, namun karena adanya PPKM, maka harus tunda.

Seiring membaiknya situasi pasca pandemi COVID-19, mulai banyak event fun camp yang diselenggarakan di Blitar. Setelah menahan keinginan untuk berwisata di tempat umum, akhirnya saya memutuskan untuk ikut SOV 2022. Acara ini berlangsung selama dua hari.

Hutan Pinus Loji Blitar
Camping ceria SOV di Hutan Pinus Loji Blitar/Rizky Almira

Ada tiga paket yang ditawarkan oleh SOV 2022. Pertama, paket sharing seharga Rp75.000 dengan fasilitas tenda berkapasitas tiga orang bersama peserta lainnya secara acak. Kedua, paket private seharga Rp180.000 yang mendapatkan tenda dengan kapasitas dua orang. Ketiga, paket kolektif seharga Rp210.000 untuk peserta yang ingin mendapatkan tenda dengan kapasitas tiga orang. Semua paket tersebut, mendapat jatah makan sebanyak dua kali.

“Paket-paket yang mereka tawarkan tuh relatif murah, lho, dibanding dengan bawa peralatan ngecamp sendiri, apalagi acara ini ada kegiatan diskusi, hiburan musik, dan jalan-jalan pagi,” kata Agung, partner perjalanan saya.

Sekira bulan Juli, saya sempat camping di Hutan Pinus Loji bersama kawan-kawan. Sengaja memilih hari kerja untuk menghindari kepadatan pengunjung. Selain biaya masuk area wisata, kami juga dikenakan biaya mendirikan tenda untuk per kepala. Belum lagi, biaya sewa peralatan camping yang kami bawa. Jadi, saya antusias untuk ikut dan memilih paket private yang harus dipesan jauh-jauh hari sebelum acara.

Kawasan Hutan Pinus Loji berada di lereng kaki Gunung Kelud, jarak dari Kota Blitar sekitar 35 km yang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor selama kurang lebih satu jam. Tidak tersedia angkutan umum dari kota ke Desa Tulungrejo. Saya, Agung, dan Arya—salah seorang kawan—berangkat bersama-sama dengan kendaraan pribadi.

Hari Pertama: Belajar sambil Bersenang-senang

Sesampainya di Hutan Pinus Loji, kami santai menunggu mulai acara yang dibuka sekitar jam 5 sore. Acara diawali dengan sambutan dari perwakilan Pokdarwis Dharma Nagari, Pemerintah Desa Tulungrejo, dan panitia SOV 2022. Lalu, berikutnya adalah sesi diskusi bersama Komunitas Patriawastra.

“Kain yang digunakan Patriawastra masih berbentuk selebaran yang belum digunting maupun dijahit,” kata Gading, peserta dari Komunitas Patriawastra.

Ternyata Patriawastra merupakan komunitas pemuda berkain yang berbasis di Blitar. Tidak hanya menjelaskan sejarah dan ragam kain dari berbagai daerah di Indonesia, mereka turut mengajak dan mengajari peserta SOV 2022 dalam menggunakan kain untuk gaya busana sehari-hari.

Selain Komunitas Patriawastra, terdapat sesi diskusi di bidang kopi. Malam itu, SOV 2022 mengundang dua narasumber. Pertama, Taufan Perdana pengelola De Classe—artisan gelato & coffee di Blitar—yang menceritakan tentang perjalanan bisnis dan pengalamannya dalam memperoleh sertifikasi Q Arabica Grader. Kedua, diskusi tentang penilaian rasa kopi menggunakan scoresheet dan apapun tentang kopi oleh Khoirul Umam—finalis Barista Innovation Challenge 2022 & pemilik Baratimur Coffee di Malang.

Selesai sesi diskusi dengan pegiat dan pelaku di industri kopi, agenda berikutnya adalah lomba seduh kopi filter satu lawan satu. “Kami menyebutnya ‘Sabung V60’ karena terinspirasi dari gulat satu lawan satu dari sebuah kelompok bela diri yang ada di Indonesia,” terang Deni, humas SOV 2022.

Tidak hanya menambah insight baru tentang industri kopi, peserta juga mendapatkan suguhan pertunjukan musik dari musisi lokal. Hawa dingin khas dataran tinggi bukan merupakan  halangan bagi saya untuk menikmati acaranya. Api unggun menjadi salah satu fasilitas dalam acara ini. Panitia menyediakan jagung manis yang boleh dipanggang oleh siapapun. Duduk santai melingkari api unggun, sembari ngemil jagung bakar, dan menyimak pertunjukan musik. Seru kan?

Hari Kedua: Jalan-jalan ke Kebun Kopi

“Nanti ikut jalan-jalan ke kebun kopi, nggak?” tanya Arif, ketua panitia SOV 2022.

“Ikut dong! Berangkat setelah ini, ya?” tanya saya.

“Kami ngekor di belakangmu aja, ya, Rif! Belum tau lokasinya di mana nih!” tambah Agung.

Acara ditutup begitu semua peserta selesai sarapan. Tetapi sebelum pulang, panitia mengajak peserta untuk menjelajahi salah satu sudut Desa Tulungrejo. Kami was-was nyasar, ditambah dengan kendaraan kami adalah satu-satunya kendaraan roda empat yang melaju ke kebun kopi. Peserta lain mengendarai kendaraan roda dua yang lebih leluasa jalannya.

Kami tetap setia di belakang motor Arif. Ia masih melaju dengan tenang. Tetapi di tengah jalan, Arif tiba-tiba saja berhenti dan gelagatnya seperti orang bingung. Tanpa ragu ia bertanya pada warga lokal yang sedang melintas. Dari jauh, seorang lelaki paruh baya memberi isyarat untuk jalan terus ke arah yang ia tunjuk.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Selang berapa lama, Arif menghentikan laju kendaraannya untuk bertanya lagi. Saya hitung sudah tiga kali Arif bertanya jalan pada warga lokal, meskipun ia juga sudah mengandalkan Google Maps.

“Putar balik, ya. Kita salah jalan. Pura yang kita tuju bukan di Desa Krisik ini, tapi yang ada di Desa Tulungrejo,” ajak Kiki—kawan kami yang juga ikut dalam rombongan.

Menurut arahan dari panitia, sebelum menilik kebun kopi milik warga, peserta diajak mengunjungi Pura Sapto Argo Sido Langgeng, Dusun Sumbergondo, Desa Tulungrejo. Akhirnya, saya dan kawan-kawan tiba di pura setelah tersesat ke tetangga desa.

Hutan Pinus Loji Blitar
Pura Sapto Agro Sido Langgeng di Desa Tulungrejo/Rizky Almira

Pura Sapto Argo Sido Langgeng menjadi salah satu destinasi wisata religi di Desa Tulungrejo, yang berdiri sejak tahun 1963 dengan konsep menggabungkan budaya dari tiga kerajaan besar di Nusantara. Penggunaan bata merahnya terinspirasi dari Kerajaan Majapahit. Bentuk gapura terinspirasi dari Candi Penataran yang merupakan peninggalan dari kerajaan Kediri. Bagian dalam ada bangunan yang menyerupai Candi Prambanan, terinspirasi dari Kerajaan Mataram.

“Arsitektur bangunan Pura Sapto Argo Sido Langgeng sangat unik karena mengambil tiga kerajaan besar yang ada di Nusantara, sebagai bentuk penghormatan leluhur tanah Jawa yang telah menganut Hindu terlebih dahulu,” terang Bagus Cipto Mulyo, pemangku umat Hindu setempat.

Pengelola pura mewajibkan pengunjung memakai kain jarik yang telah disediakan. Syarat lainnya, pengunjung wanita tidak boleh dalam keadaan sedang menstruasi. Setelah menyimak cerita tentang Pura Sapto Argo Sido Langgeng, saya menyadari bahwa pemeluk agama Hindu di desa ini masih cukup banyak. Selama perjalanan menuju ke pura, saya juga melewati beberapa kebun kopi yang dikelola oleh warga lokal.

Salah satunya adalah kebun kopi milik Pak Tris. Begitu sampai di rumah Pak Tris, kami diajak untuk menengok kebun kopinya yang terdekat. Ia menjelaskan secara singkat mengenai upayanya dalam mengolah kopi sirsah yang ditanam. Setelah dipanen, kopi akan dijemur di bawah matahari. Proses ini dinamakan natural. Setelah biji kopi dikupas, Pak Tris menyangrai kopi dengan cara tradisional, yakni di atas tungku kayu. 

Sebelum kami pamit, Pak Tris menyeduhkan kopi tubruk hasil olahannya. “Monggo incip kopi khas kampung dulu sebelum pulang,” kata Pak Tris mempersilakan.
Senang kali ini bisa camping tidak hanya untuk menyenangkan diri sendiri tetapi juga dapat ilmu dan pengalaman baru, ditambah bisa bertemu dengan orang-orang baru. Semoga bermanfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-ceria-di-hutan-pinus-loji-blitar/feed/ 0 35452
Liburan Indie di Kakek Bodo Campground, Pasuruan https://telusuri.id/liburan-indie-di-kakek-bodo-campground/ https://telusuri.id/liburan-indie-di-kakek-bodo-campground/#respond Mon, 20 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29274 Saya adalah seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu dari Senin-Sabtu untuk datang ke kantor jam 08.30 WIB dan pulang bersama dengan para pekerja lain—yang seringkali terjebak kemacetan setiap jam 18.00 WIB. Kalian pasti bisa menebak,...

The post Liburan Indie di Kakek Bodo Campground, Pasuruan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya adalah seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu dari Senin-Sabtu untuk datang ke kantor jam 08.30 WIB dan pulang bersama dengan para pekerja lain—yang seringkali terjebak kemacetan setiap jam 18.00 WIB. Kalian pasti bisa menebak, apa yang saya rasakan jika kegiatan ini kita ulangi terus menerus setiap hari selama  satu tahun lebih. Ya, bosan, jenuh, lelah, itu semua saya rasakan. 

Pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda reda ini, membuat banyak sekali rencana perjalanan saya tertunda. Bahkan, saya hampir tidak pernah meninggalkan Kota Surabaya selama satu tahun ke belakang. 

Sekitar bulan April 2021, dua orang kawan mengajak saya liburan santai—dan tentu saja murah, saya langsung mengiyakan saja karena sudah penat dengan situasi dan kondisi yang sedang saya hadapi. 

Camping di Kakek Bodo Campground, Prigen, Pasuruan

Setelah mencocokkan jadwal pekerjaan, terpilihlah tanggal 12-13 Juni 2021. Bertepatan dengan hari ulang tahun saya ke- 25 tahun. Itung-itung, ini adalah rasa terimakasih terhadap diri saya sendiri setelah berhasil bertahan melewati satu tahun yang sulit—paling sulit karena ibu saya berpulang pada 18 Februari 2021 lalu.Bersama lima orang  kawan, saya berbagi tugas membawa barang. Kurang lebih, ini daftar perlengkapan yang kita bawa: 2 tenda ukuran sedang, 1 kompor portable, 1 set nasting (pinjam teman), sendok (bawa dari rumah masing-masing), 1 buah gas (beli di minimarket sekitar Rp30 ribu).

Untuk meminimalisir biaya, kami memanfaatkan bahan makanan yang ada di rumah, seperti mie instan, garam, lada, saos sambal, dan penyedap masakan. Khusus daging barbeque, sosis & bakso, kami membelinya. Kami tidak membawa nasi atau beras untuk dimasak, karena kami pikir, bahan-bahan ini sudah cukup untuk kita makan 2 kali. 

Sabtu  ba’da Maghrib, saya dan kawan-kawan berangkat ke campground Kakek Bodo. Dari Surabaya, normalnya perjalanan sekitar 90-120 menit. Tetapi, terjebak macet di sepanjang Bungurasih-Gedangan Sidoarjo. Alhasil, kami mencari jalan alternatif lain agar tidak terlalu lama dikepung kemacetan.

Suasana Campground
Suasana campground/Izzatul Mucharrom

Pintu masuk ke Campground Kakek Bodo ada 3, tetapi kita memilih masuk lewat jalur belakang yakni Hotel Surya karena lebih dekat dengan campground. Kami tiba di sana sekitar jam 20.00, harga tiket masuk Rp20 ribu per orang, kami harus mengisi semacam formulir pendaftaran dengan nama dan tanda tangan 1 orang penanggung jawab, kami cantumkan juga jumlah orang di rombongan yang ikut serta.

Harga tiket parkir motor Rp3 ribu. Dari tempat parkir, kami harus berjalan sekitar 5-10 menit sedikit menanjak untuk sampai di campground. Kami memilih lokasi yang dekat dengan kamar mandi, tidak terlalu ke atas. Karena kondisi malam hari, kami segera membangun tenda untuk kemudian menyiapkan makan malam. 

Kami masih mendengar kawan-kawan yang telah sampai lebih dulu di campground bercengkrama, bergurau, memetik gitar sambil bernyanyi, dan ada pula yang memasak. Setelah tenda berdiri, kami menyiapkan perlengkapan untuk pesta perut, alias makan-makan. Dengan bumbu-bumbu sederhana dan racikan ala kadarnya, kami berhasil menyantap mie instan dengan topping daging, sosis dan bakso sapi. Ditambah saus sambal dan dinginnya udara Prigen pada 12 Juni. Ah, sungguh momen perayaan ulang tahun yang tak akan pernah saya lupakan. 

Kami berbincang tentang banyak hal, mulai dari yang biasa-biasa saja sampai merembet ke gosip. Maklum, kami berenam sudah jarang bertemu. Padahal, semasa satu UKM saat kuliah dahulu, hampir setiap hari kami bertemu. Ini adalah kegiatan sederhana, terlampau sederhana, atau, kalian lebih sering melakukannya. Tetapi bagi saya yang masa mudanya direnggut kapitalisme ini, momen ini sangat berharga. Istilahnya, golden moment-lah ya.

Saat itu terbersit di pikiran saya: banyak sekali tempat indah dan waktu-waktu yang bisa dihabiskan dengan orang-orang tersayang, tapi mengapa masa muda saya harus dihabiskan setiap hari dari pagi-petang untuk duduk menatap layar komputer? Dengan tuntutan ini itu dan rasa jenuh yang kian menumpuk. Tapi ya sudahlah.

Telentang Dibawah Langit
Telentang Dibawah Langit/Izzatul Mucharrom

Esok paginya, saya bangun paling akhir. Kawan-kawan sudah membuatkan kopi sambil merokok, berbincang entah membicarakan apa. Saya bangun dan pergi ke kamar mandi untuk bersih diri, kemudian bergabung dengan mereka. Saya tidur telentang menatap langit, dengan pohon-pohon di sekeliling. Sesekali, saya memejamkan mata sambil menghirup-hembuskan napas dalam-dalam. Rasanya, saya tidak ingin pulang. Tidak ingin ke kantor dan pulang dengan rasa penat lagi. 

Setelah itu, kami sarapan, dengan menu yang sama, tetapi suasana berbeda. Karena terang, kami bisa melihat kawan-kawan yang lain. Mereka memasak, mengantre di kamar mandi, bergurau, berfoto, mencuci piring, dan lain-lain. 

Urusan perut beres, saya jalan-jalan ke ground atas. Ada Ground A sampai F, kalau saya tidak salah lihat. Alternatif lain setelah kalian camping di sini, kalian bisa mampir ke air terjun, sekalian berendam di sana. Semua rasa penat kalian terhadap kota akan hilang sejenak!

Kami juga mampir ke warung yang ada di campground, di warung itu tersedia beberapa minuman hangat seperti kopi, teh, dan minuman sachet lain. Ibu warungnya juga jual gorengan lho, saya sempat mencoba pisang gorengnya, rasanya enak, cuma Rp1 ribu harganya. Awalnya, saya mau pesan es, lalu ibunya berkata, ”Nggak ada es di sini Mbak, lagi pula sudah dingin gini kok ya cari es to?” 

Salah seorang laki-laki usia 50 tahun di warung itu menjawab cepat, “Ini saya lihat-lihat sepertinya orang Surabaya yaa. Dari cara bicaranya saja sudah kelihatan, memang orang Surabaya ya kalo nggak minum es nggak afdhol.”

Kami semua tertawa.

Kami sempat mengobrol dan akhirnya kami tahu bahwa bapak itu mampir di campground setelah melakukan perjalanan bersama komunitas sepeda gunungnya.

Dari penjual makanan dan bapak tersebut pula kami tahu bahwa daerah ini sempat diguyur hujan deras Sabtu malam sekitar jam 18.00-19.00. Bahkan ibu warung sampai meminjamkan terpalnya ke salah satu pengunjung ground karena air hujan yang akhirnya becek di tanah masuk ke tendanya.  Alhamdulillah, kami terhindar dari hujan itu. Kami kembali ke Surabaya jam 13.00, bonus landscape pegunungan dalam perjalanan pulang. Benar-benar refresh otak dengan harga murah, kurang lebih saya mengeluarkan budget Rp150 ribu saja. Singkat memang, tak sampai satu hari, tapi ini sungguh berharga bagi saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan Indie di Kakek Bodo Campground, Pasuruan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/liburan-indie-di-kakek-bodo-campground/feed/ 0 29274
Camping di Waduk Sermo https://telusuri.id/camping-di-waduk-sermo/ https://telusuri.id/camping-di-waduk-sermo/#respond Tue, 23 Feb 2021 09:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27161 Camping di Waduk Sermo memang bukan menjadi tujuan utama kami karena sebetulnya, tujuan awal kami datang ke sana adalah untuk memancing dan memasak. Itulah mengapa hanya alat pancing, alat masak, dan bahan makanan saja yang...

The post Camping di Waduk Sermo appeared first on TelusuRI.

]]>
Camping di Waduk Sermo memang bukan menjadi tujuan utama kami karena sebetulnya, tujuan awal kami datang ke sana adalah untuk memancing dan memasak. Itulah mengapa hanya alat pancing, alat masak, dan bahan makanan saja yang kami bawa. 

Awal cerita perjalanan kami dari Solo ke Waduk Sermo memakan waktu sekitar dua setengah jam menggunakan mobil pribadi. Kami berangkat berempat dengan berbekal Google Maps saja untuk sampai di lokasinya. Selama perjalanan memang tidak ada yang spesial, hanya canda tawa kami selama perjalanan yang tak ada habisnya.   

Sesampainya di Waduk Sermo, kami disuguhi dengan pemandangan yang indah. Waduk yang luas dengan suasana damai dan tenang. Masih banyak juga pepohonan yang tumbuh di sekitar waduk, jadi pemandangannya memang sangat memikat. 

Tiket masuk Waduk Sermo

Waduk Sermo via Deta Widyananda
Waduk Sermo via Deta Widyananda

Setelah membayar tiket masuk Waduk Sermo dengan harga Rp5 ribu per orang. Kami pun mulai masuk dan mempersiapkan segala perlengkapan untuk memancing. Menurut beberapa informasi yang kami peroleh, memancing di Waduk Sermo memang butuh perhatian khusus karena ikan yang dipancing tidak bisa diperlakukan sama untuk umpannya. 

Namun karena tak ingin mengambil risiko, kami membawa berbagai umpan yang sekiranya bisa memikat ikan seperti pelet, cacing, dan lumut. 

Dua jam sudah berlalu dan belum ada ikan yang berhasil kami pancing. 

Sambil menunggu yang lainnya asyik memancing, saya berkeliling sejenak untuk sekedar melihat-lihat keindahan Waduk Sermo ini. Pasalnya, waduk ini sangat terawat dan bahkan lokasinya pun bisa dibilang lumayan bersih. Mungkin enak kali ya untuk ngecamp di Waduk Sermo ini, tapi sayangnya kami tidak mempersiapkan alat camping yang memadai. 

Rasa penasaran memang sudah bergejolak sehingga seperti ada yang menyuruh saya untuk melihat-lihat ke bagian loket masuknya tadi. Saya sempat melihat ada tiket untuk camping di Waduk Sermo seharga Rp15 ribu per orangnya. Siapa tahu kami bisa mencari tempat persewaan alat camping terdekat jika semuanya mau. 

Camping di Waduk Sermo

Setelah melihat-lihat sejenak dan sedikit bercengkrama dengan pengelolanya, ternyata di situ memang menyediakan persewaan untuk camping. Ketika saya tanya apakah masih memungkinkan untuk kami camping di waduk ini. Petugasnya bilang kalau masih ada kuota untuk camping kami berempat, beliau kembali menerangkan kalau sebelumnya memang harus reservasi dahulu karena seringnya penuh menjelang sore.

Saya bergegas menemui teman-teman saya dan menawarkan apakah mereka mau menginap semalam di sini Tak butuh banyak kata-kata untuk membujuk karena mereka tertarik dengan suasana dari waduk ini. Bersih, tidak terlalu ramai, dan tenang memang paling pas untuk tempat camping, memancing, dan memasak.

Saya kembali lagi ke tempat pengelolanya tadi berada. Membayar tiket untuk camping dan sewa alat-alat untuk campingnya. Untuk tenda disewakan seharga Rp50 ribu dengan kapasitas empat orang sedangkan untuk lampu emergency disewakan dengan harga Rp15 ribu.  

Fasilitas lengkap

Fasilitas camping di Waduk Sermo bisa dibilang lumayan lengkap. Pengalaman saya berkunjung ke waduk lain memang tidak selengkap ini fasilitasnya. Mulai dari mushola, toilet, area parkir yang luas, area camping yang terawat, hingga fasilitas air bersih pun ada. 

Ditambah lagi untuk kayu bakar tak perlu susah-susah mencarinya karena ada yang jual di dekat pos penjaga. Satu ikat kayu bakar dijual dengan harga Rp20 ribu saja, padahal menurut saya jumlah kayu bakarnya lumayan banyak.  Tak heran jika banyak orang yang merekomendasikan Waduk Sermo ini sebagai tempat camping favorit.

Setelah beberapa jam berlalu, tibalah waktu sore hari di mana matahari sudah ingin menutup shiftnya hari ini. 

Tangkapan ikan dari yang mereka pancing sejumlah 5 ekor ikan nila yang berukuran cukup besar pun juga sudah memuaskan hasrat mereka. Kami saling membantu untuk mendirikan tenda, mempersiapkan masak-masak, dan sedikit mendekorasi camping kami biar terkesan seperti lagi wild camping beneran. 

Empat kursi mancing yang sudah kami tata melingkar di sekitar perapian, tenda yang sudah terbuka dan alat-alat masak pun juga siap digunakan. Api kompor kami nyalakan dan mulai memarinasi slice beef bawaan kami. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan suasana pun agak lebih gelap. Bau bakaran dari slice beef pun sungguh menyeruak, membuat kami semakin kelaparan. Banyak orang di sekitar kami yang sering curi-curi pandang, karena mungkin bau dari daging ini juga membuat perut mereka iri.

Nasi yang kami panaskan lagi menggunakan nesting juga menjadi pendamping slice beef yang kami masak barusan. Harusnya kami mulai memasak itu saat siang harinya jika tidak menginap semalam di Waduk Sermo ini. 

Menghabiskan malam dengan keriangan

Waduk Sermo via Deta Widyananda
Waduk Sermo via Deta Widyananda

Namun karena perhitungan kami yang hanya membawa perbekalan makanan untuk sekali masak, maka lebih baik memang untuk santap malam saja. Saat siang harinya kami membeli makanan di warung-warung sekitar waduk. 

Sesi santap sudah selesai, maka acara selanjutnya adalah menyalakan api unggun!

Kami membagi tugas, sebagian untuk mencuci perlengkapan makan, sebagian membersihkan ikan, dan saya bertugas untuk menyalakan api unggun. Mereka memang sadar diri karena saat mereka memancing, hanya saya yang sibuk mengurus masalah persewaan tenda tadi. 

Suasana damai ditambah suara kodok dan jangkrik dari berbagai arah memang sungguh menjadi suatu yang tak terlupakan. Mungkin saya cuma bisa bercerta, namun jika kamu benar-benar di posisi saya, tentu akan merasakan hal yang sama. 

Mereka sudah kembali dengan membawa alat makan yang sudah bersih dan ikan yang siap untuk dipanggang. Benar-benar seperti wild camping beneran, sebagian tangkap ikan langsung dibakar di atas bara api, sebagian lagi kami masak di atas kompor.

  • Waduk Sermo via Deta Widyananda
  • Waduk Sermo via Deta Widyananda
  • Waduk Sermo via Deta Widyananda

Ikan kami marinasi terlebih dahulu menggunakan lada, garam, sedikit minyak, dan bubuk bawang-bawangan. Satu jam kami habiskan untuk bercengkrama membahas apapun yang ada di pikiran kami. 

Saat api sudah menyala stabil, ikan kami tusuk menggunakan ranting seadanya dan mulai kami panggang di dekat perapian. Sambil menunggu ikan matang, salah satu dari teman saya membuat kopi untuk sebagai teman bercengkrama. 

Tak berselang lama, ikan sudah matang dan kami icip-icip sampai habis. Bumbu-bumbu marinasi yang meresap hingga ke dalam daging ikannya memang tak ada yang bisa menandinginya. Malam semakin larut dan kami pun beranjak untuk tidur. 

Karena saat ini sedang masa pandemi, sebelumnya pengelola sudah memberikan himbauan untuk mereka yang camping harus sudah mengemasi perlengkapan dan meninggalkan lokasi pada jam 7 pagi. Hal ini untuk mengurangi kepadatan pengunjung agar terhindar dari pengunjung lain yang terpapar virus.  

Bagi kamu yang suka kegiatan alam, tak ada salahnya untuk mencoba camping di Waduk Sermo. Jangan lupa mempersiapkan peralatan camping yang memadai karena suhu udara di sana cukup dingin apalagi memasuki musim penghujan.  

Menurut informasi dari pengelolanya, sebaiknya memang harus reservasi terlebih dahulu agar mendapatkan slot untuk camping. Apabila slot sudah penuh maka pengunjung yang ingin camping tidak diperkenankan untuk masuk ke area, walaupun mereka sudah datang dari tempat yang jauh.

The post Camping di Waduk Sermo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-di-waduk-sermo/feed/ 0 27161
Mendengarkan Dongeng Solo Camping di Aman Griyo Farmhouse https://telusuri.id/dongeng-solo-camping-di-aman-griyo-farmhouse/ https://telusuri.id/dongeng-solo-camping-di-aman-griyo-farmhouse/#respond Mon, 25 Jan 2021 04:10:51 +0000 https://telusuri.id/?p=26564 Perut rasanya dikocok-kocok, mual sekali. Sedangkan perjalanan menuju homestay kami, Aman Griyo Farmhouse masih cukup panjang. Saya meminta Deta untuk menepi sejenak, membeli teh panas sebagai pereda mual. Dua jam lalu saya baru saja menyantap...

The post Mendengarkan Dongeng Solo Camping di Aman Griyo Farmhouse appeared first on TelusuRI.

]]>
Aman Griyo Farmhouse
Aman Griyo Farmhouse/@saltoutfire (Instagram)

Perut rasanya dikocok-kocok, mual sekali. Sedangkan perjalanan menuju homestay kami, Aman Griyo Farmhouse masih cukup panjang. Saya meminta Deta untuk menepi sejenak, membeli teh panas sebagai pereda mual. Dua jam lalu saya baru saja menyantap ayam kampung goreng dari Warung Pak Yadi di Magelang, sayang sekali kalau sampai muntah. Nggak rela.

Malam itu jalan menuju Dieng dari Wonosobo tampak lebih sepi, dibandingkan perjalanan sebelumnya dari Magelang ke Temanggung. Warung makan masih ada yang buka, meski hanya beberapa.

Usai menyeruput segelas teh panas, kami kemudian melanjutkan perjalanan.

Sesampai di Dieng; “Lewat mana? Saya lihat rumahnya, tapi nggak tau jalan ke sana lewat mana.” Sapa saya kepada Kukuh yang saat itu sudah berada di homestay via telefon. Ia menjemput kami, dan begitu tiba di homestay perbincangan tentang solo camping mengalir hingga pagi hari.

* * *

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Sate lilit/@saltoutfire (Instagram)

Kuh, kenapa sih Outdoor Cooking Indonesia ganti nama jadi Saltoutfire?

Jadi begini, OCI itu kan dibuat berdua bareng temen pada Agustus 2019. Partner lah aku nyebutnya. Sedangkan beberapa waktu belakangan, dia ada kesibukan yang belum bisa ditinggal. Makanya, sejak diajak TelusuRI awal tahun lalu sampai sekarang, buat live cooking pas camping belum kesampaian.

Ya karena kami punya kesibukan masing-masing dan belum bisa ketemu waktu yang pas. Kalau mau live sendiri, nggak enak dong. Kami ‘kan bangun OCI berdua.

Sebulan setelah kita bagi-bagi giveaway bertepatan satu tahun terbentuknya OCI bulan Agustus 2020 lalu, dia mengundurkan diri karena sibuk di kerjaan, udah gak bisa bagi waktu lagi buat camping. Dia minta aku untuk ngelanjutin OCI sendiri. Sementara itu, dia adalah main talent alias chef-nya OCI, jadi aku nggak tau mau ngapain setelah dia mundur.

Rasanya kalau terus pakai nama OCI terlalu berat karena harus masak-masak sendiri. Sedangkan aku kan nggak ada background sekolah masak atau chef, gitu. Dan juga ekspektasi orang kalau suatu saat camping sama OCI pasti bakal dimasakin yang enak-enak. Itu beban jika aku harus tetap menjalankan OCI sendirian.

Makanya habis itu ganti nama. Itupun aku izin dulu sama dia untuk ganti nama, misal suatu saat dia mau gabung lagi ya nggak masalah, walau lebih banyak nggak mungkinnya sih. Tapi aku selalu terbuka.

Solo camping/@saltoutfire (Instagram)

Oh gitu, ya. Terus sekarang @saltoutfire ngapain? Kayaknya udah lama juga tuh nggak posting konten masak.

Konsep yang aku usung agak berubah dari yang tadinya masak-masak, sekarang lebih ke solo camping. Konten masak tetep ada, walau cuman dikit. Hanya sekitar 20% aja tersisa. Soalnya banyak pertimbangan kayak yang aku sebutin tadi.

Pertimbangan lain, ada? Apa salah satunya karena logistik yang harus dibawa banyak?

Iya, salah satunya itu. Di Saltoutfire ini aku nyoba ngelakuin semuanya sendiri, nggak bergantung sama orang lain. Kalau dulu ‘kan ada partner, jadi bawaan segambreng. Sekarang karena jalan sendirian, aku jadi belajar mengatur peralatan camping dan logistik.

Kalau dulu ada Zacky dan Ridho yang bantuin video dan editing, sekarang aku harus belajar juga tentang video dan editing ini supaya kedepannya bisa lebih baik. Jadi melakukan apa yang aku suka berdasar apa yang aku bisa dan punya aja. Sesimple itu, Ren.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Perlengkapan dan bahan masak/@saltoutfire (Instagram)

Oh iya sih, dulu bawaanmu banyak ya. Alat masak sendiri satu tas sendiri, belum bahan makanan, tenda, dan alat-alat lain. Bisa 4 ransel gede. Nah, kalau sekarang bawaan pas solo camping gimana?

Sekarang lebih ringkes yang jelas. Tas maksimal bawa dua. Alat masak dan alat makan juga bawa secukupnya. Tenda selalu bawa tapi di mobil, kalau sendirian gini lebih simple camping pakai flysheet sama hammock.

Alat-alat makan yang dari kayu, kuksa, dan printilan lain nggak aku bawa semua. Sendok-garpu kayu bawa dua set, untuk masak dan makan dan satu sendok kayu kecil buat ngeteh. Ironcast dibawa menyesuaikan logistik yang sudah direncanakan dari rumah, kalau mau masak daging pastinya ironcast otomatis dibawa. Alat masak lain yang dibawa paling cuma kompor gas beserta tabung canisternya, Picogrill 398, Snow Peak Trek 900  tempat masak titanium yang bisa sekaligus buat makan, Trangia Mess Tin 210 buat masak nasi, sama satu lagi mini bowl aluminium kayak yang dulu tak kasih ke dirimu itu.

Sesimple itu?

Iya lah. Kan sendirian, barang bawaan harus diatur dengan baik.

Itu tadi kan soal alat ya, kalau bahan makan sendiri gimana? Masih bawa bahan makanan seribet dulu?

Dulu sebenernya nggak ribet karena ada partner. Kalau sekarang, ya menyesuaikan dengan alat yang dibawa dan berapa lama kempingnya.

Pilihan menu juga lebih sederhana. Kayaknya nggak pernah deh bawa makanan basah kayak daging, ikan, ayam, dan lainnya. Eh pernah ding sekali bawa sayap ayam dan di lokasi camp cuma digoreng doang. Yang sering aku bawa sekarang misalnya beras, mie instan/spaghetti, roti, selai, telur, buah, dan teh tubruk. Misalpun bawa sayur juga paling kentang sama jamur kancing kalengan. Pokoknya yang masaknya nggak ribet deh.

Aku kan orangnya nggak begitu seneng ngopi ya, jadi selalu bawa teh. Belakangan aku juga eksperimen sama teh ini, biar rasanya nggak gitu-gitu aja, enaknya dicampur sama apa. Awalnya cuman dicampur lemon sama madu, terus iseng-iseng kucampur sama mangga muda, leci kaleng, jeruk nipis, juga sereh dan yang terakhir kemarin dicampur buah pala.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Teh mangga dan sereh/@saltoutfire (Instagram)

Ngomong-ngomong soal teh, rasa dan aroma teh tubruk ini enak banget. Sepet-sepet gimana gitu, itu teh apa?

Sebenarnya itu campuran dari tiga jenis teh tubruk. Biasanya angkringan-angkringan pakai resep ini. Makanya rasa sama aromanya beda. Baru-baru ini aku dikasih teh sama temenku, brandnya Nala Organic Tea. Teh organik gitu, tapi sayangnya belum sempet eksperimen racik pas lagi solo camping.

Ini juga sih yang jadi motivasi buat inget bikin konten masak, soalnya beberapa waktu lalu aku dikasih kuksa sama salah satu brand di Bali. Nggak enak dong kalau nggak dipakai, apalagi kuksa ini punya pemilik workshop. Ukirannya unik, cuman ada satu, nggak dijual lagi.

Kalau beruntung, ada teman yang menemani solo camping/@saltoutfire (Instagram)

Wah, menarik ya. Nggak cuman racik-racik makanan, tapi juga minuman. Nah, nanya lagi boleh ya! Selama solo camping kamu ngapain aja? Ngga bosen sendirian di hutan? Bawa buku atau apa gitu buat killing time?

Ada banyak sih. Aku kalau solo camping, bisa aja lho mainan api di Picogrill dari malem sampai subuh. Ya cuman otak atik, bolak balikin kayu, jaga api supaya nggak mati. Kan anget ya, di udara dingin, kabut bahkan kadang hujan, duduk di depan bara api. Biasanya pagi setelah subuh baru tidur.

Hah, niat banget dirimu. Dolanan geni tekan isuk! Terus, kalau siang?

Siang paling bikin konten! [Tertawa.]

Eh, ngomong-ngomong soal konten nih.. Kan di Instagram @saltoutfire ada konten video. Bikinnya gimana tuh? Sendirian, terus take berkali-kali?

Yo iya lah. Jadi emang aku ambil semua gambarnya sendiri. Buat video ini, aku pasang dulu kameranya di sekitar lokasi yang udah aku tentuin buat mendirikan shelter [flysheet dan hammock], lalu akting jalan. Namanya sendirian ya, jadi harus mengira-ngira sudut penangkapan kameranya kayak gimana. Nggak selalu sekali jadi, kadang satu adegan bisa dua sampai lima kali take [gambar].

Nanti pas ambil adegan kedua dan seterusnya ya sama. Pasang kamera dulu, pencet tombol record, baru akting. Aku bener-bener ngerasain produksi video sendiri pas ini. Angkat junjung kamera sama cari-cari angle sendiri. Ya dirimu pasti paham juga lah ya gimana prosesnya.

Aku kebayang sih gimana ribetnya, jujur aja kalau aku jadi kamu tuh mending aku nggak ngonten!

Males ribetnya ‘kan? Tapi justru ini yang ngambil banyak waktuku selama solo camping, nggak berasa aja tau-tau udah sore. Nggak berasa tau-tau udah pagi lagi. Sesekali coba lah, Ren.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Masak pas malam hari/@saltoutfire (Instagram)

Ah, enggak. Aku tim anti ribet, Kuh! Eh, jadi selama solo camping yang kadang bisa tiga hari dua malem itu kamu begitu terus?

Iyo, bahkan ada yang pernah ngeliatin dan berbisik kepada temannya gitu [Tertawa.]

Wah, mungkin ada yang menganggapmu nggak waras! [Ikut tertawa.]

Terus nih, selama di Aman Griyo ini kan kamu juga sendirian. Udah dua malem, dan akan lanjut sampai hari Minggu. Ngapain aja di sini, gabut banget.

Ya sama sih, paling gitaran, ambil-ambil gambar, aku lagi belajar timelapse. Kayak pas solo camping, laper tinggal masak. Bedanya dengan solo camping, fasilitas di sini lengkap jadi nggak ribet-ribet banget.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Solo camping di malam hari/@saltoutfire (Instagram)

Tetep ya, mau tidur di alas atau di homestay  tetep aja dewekan. Btw ya Kuh, salah satu tantangan solo camping lain menurutku adalah keberanian. Nggak ada rasa takut-takutnya apa, tinggal di hutan sendirian selama beberapa hari?

Ya banyak yang nanya sih soal ini, cuman pas di lapangan akunya biasa-biasa aja. Selama nggak “ngganggu mereka” ya nggak akan diganggu balik. Eh pernah tuh, kapan itu aku posting video malem-malem, terus ada temen indigo yang komen. Dia bilang kalau di sebelahku ada sesuatu yang juga ikutan nyender, di belakang pohon [tempat aku gantung hammock] juga ada.

Pas di sana ya aku nggak ngerasain apa-apa, pernah sih sesekali terdengar ketawa kecil dari pinggir hutan. Aku biasanya coba noleh ke sumber suara, tapi ketika gak ada apa-apa ya aku cuekin aja. Katanya kalau suaranya kecil dan jauh gitu justru itu sedang berada di dekat kita [tertawa]. Temenku ini bilang, “mereka” ini cuman pengen nemenin. Ya percaya nggak percaya ya, tapi emang begituan itu ada. Aku justru takut kalau tiba-tiba ada orang bawa golok mau ngerampok kamera dan hp ku [tertawa lagi.]

Wah, kalau aku sih udah ngibrit.

Eh, jadi, kapan mau [Instagram] live sama TelusuRI tentang masak-masak atau solo camping?

Kapan ya? [Tertawa.]

Ini aja dulu lah dibikinin konten sosmednya, tar kapan-kapan kalau udah bisa camping lagi di tempat yang enak, ada sinyal, kita [Instagram] live bareng.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Outdoor cooking/@saltoutfire (Instagram)

Can put on camp and other things yang nyambung, tapi make sure there include salt and fire – Freatik, Saltoutfire.

Tau nggak kalau Saltoutfire berarti “garam di atas api,” kayak idiom aja dari memasak. Kukuh bilang, salt out fire menekankan: lagi nggak masak di dapur tapi secara implisit pas denger atau bacanya tuh, “ini masak-masak tapi ada hal lain yang ingin ditampilkan” gitu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Mendengarkan Dongeng Solo Camping di Aman Griyo Farmhouse appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dongeng-solo-camping-di-aman-griyo-farmhouse/feed/ 0 26564