candi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/candi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 19 Jan 2023 06:20:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 candi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/candi/ 32 32 135956295 Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum https://telusuri.id/situs-duplang-peninggalan-zaman-megalitikum/ https://telusuri.id/situs-duplang-peninggalan-zaman-megalitikum/#respond Thu, 05 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28781 Ini adalah kedatangan saya yang keempat kalinya. Terik matahari tak begitu menyengat. Mega mendung yang nampak dari timur raung tak menciutkan nyali untuk mengunjungi Desa Kamal Kecamatan Arjasa. Padanya saya membulatkan tekad sebab Arjasa bukan...

The post Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah kedatangan saya yang keempat kalinya. Terik matahari tak begitu menyengat. Mega mendung yang nampak dari timur raung tak menciutkan nyali untuk mengunjungi Desa Kamal Kecamatan Arjasa. Padanya saya membulatkan tekad sebab Arjasa bukan sembarang tempat. Di sini, terdapat banyak sejarah yang barangkali tak semua daerah memiliki. Salah satunya adalah Situs Duplang.

Duplang adalah nama padukuhan di Desa Kamal. Jaraknya sekitar 16 km dari pusat Kota Jember. Melalui jalan nasional Jember—Bondowoso, situs ini dapat ditempuh memakai kendaraan pribadi. Letaknya berada di lereng Hyang Argopuro. Tak ayal udara begitu sejuk ala pegunungan. Apalagi situs berada di dataran yang lebih tinggi dibandingkan daerah sekitar.

Sebelum memasuki pintu masuk, terdapat sebuah rumah sederhana yang sebagian berdinding gedhek, sedang yang lain terbuat dari semen dan bata. Di sinilah Pak Sudarman tinggal. Selaku Juru Pelihara, dia bertanggung jawab menjaga, mengelola, dan merawat situs ini. Dari beberapa pigura yang terpajang, tampak beragam aktivitas yang diabadikan, salah satunya membersamai staf cagar budaya.

Pak Sudarman di Antara Deretan Batu Kenong/Nurillah Achmad

Sosok Pak Sudarman begitu hangat. Tak pelit cerita saat menjelaskan perjalanannya menjadi Juru Pelihara. Usianya memang tak lagi muda, tapi tubuhnya masih kuat berjalan. Ingatannya pun tak lekang zaman. Bahkan bibir saya sempat terkatup saat pertama kali berkunjung, Pak Sudarman menyapa saya memakai bahasa Indonesia. Bukan apa-apa, sebagian besar orang tua yang saya temui di desa-desa, kebanyakan berbahasa Madura atau Jawa. Apalagi Jember memiliki percampuran budaya keduanya.

Barangkali karena melihat mimik muka saya yang keheranan itulah, akhirnya Pak Sudarman bercerita jika dirinya lahir pada tahun 1938 dan bersekolah di Sekolah Rakyat yang letaknya di Candi Jati.

“Saat itu jarang ada pakaian. Kami biasanya menebang pohon bunut. Semisal butuh semeter, kami ukur batang pohon itu lalu dipukul-pukul. Begitu berulang-ulang sampai sekiranya kulit kayu bisa dikelupas. Nah, kulit kayu itu yang kami bentuk menjadi pakaian.”

“Bisa dicuci, Pak?”
“Lho, zaman dulu tidak ada sabun.”
“Lantas?” Kata saya yang penasaran.
“Ya, pakai buah lerak. Bijinya itu berbusa.”

Saya terpingkal-pingkal mendapati Pak Sudarman yang tertawa mengenang masa lalunya. Tetapi, mimik muka beliau seketika berubah serius saat saya bertanya asal mula menjadi Juru Pelihara.

Keriput tuanya seakan ikut bicara. Kedua kelopak matanya jauh memandang deretan pohon jati. Bibirnya bergetar saat ia mengingat masa lalu, pada masa di mana gurunya yang bernama Pak Karman bercerita bahwa pada zaman dulu kala, manusia purba tidak mengenal baca tulis dan semua peralatan menggunakan batu. Bukan besi. Sudarman kecil seketika teringat akan halaman rumahnya yang penuh batu-batu purba.

Sepulang sekolah, ia lekas-lekas menemui bapaknya yang ketika itu berusia sepuh. Konon, usianya mencapai 180 tahun. Sudarman kecil lantas bertanya pada sang bapak, dengan apa nenek moyang membuat batu kenong di halaman rumahnya itu? Apakah dipahat dengan batu atau pakai kapak batu?

Sang bapak yang perawakannya hemat bicara hanya menjawab singkat, “Semua batu itu, Cong, sebetulnya lunak. Tidak keras.” Sudarman kecil yang belum disunat mengernyitkan dahi. Ia mengulang pertanyaan serupa, dengan apa nenek moyang membuat batu kenong di halaman rumahnya. Lantas, bapaknya meminta sang anak memungut batu di halaman, dan Sudarman kecil segera mengambil batu.

Tanpa banyak cakap, sang bapak menggenggam kuat-kuat batu tersebut. Seketika batu itu luluh menjadi abu. Sudarman kecil tercekat. Dalam benaknya tertancap heran, bagaimana bisa batu yang sedemikian keras dapat berubah wujud menjadi abu hanya dengan digenggam sang bapak? Tetapi, ia masih mengulang pertanyaan yang sama. Dengan apa nenek moyang membuat batu kenong di halaman rumahnya?

Sang bapak yang merasa putranya belum puas, akhirnya meminta Sudarman kecil mengambil batu berukuran lebih besar di hutan jati. Sudarman yang begitu semangat segera menelusuri hutan, lantas memikul sebuah batu berukuran agak besar. Setelah tiba dan menaruh di hadapan bapaknya yang tak sanggup berjalan, ia mengamati apa yang diperbuat orang tuanya itu. Betapa tergagapnya ia sewaktu bapaknya menyentuh batu, dan mengupas bagian atas hingga berbentuk seperti batu kenong di halaman rumahnya, dan itu hanya menggunakan tangan tanpa alat bantu. 

Batu Kenong/Nurillah Achmad

Peristiwa ini benar-benar menguras rasa takjub. Sontak Sudarman mengutarakan keinginannya agar sang bapak mewarisi ilmunya tersebut. Sang bapak mengangguk setuju asal Sudarman meneruskan pendidikan ke Sekolah Teknik. Sayangnya, saat Sudarman berada di tingkat lanjutan ini, sang bapak dipanggil Tuhan tanpa sempat mewarisi ilmunya.

“Ini yang menjadi penyesalan saya, kenapa tidak belajar dulu meskipun belum lulus dari Sekolah Teknik.”

Saya melihat aroma penyesalan dari mata tuanya. Kendati begitu, ia tak patah arang memelihara batu-batu purba yang berserakan di halaman rumahnya. Apalagi, selama di Sekolah Rakyat, ia menjadi murid terpandai nan piawai membuat peta. Kecintaannya akan sejarah seakan telah direstui zaman. Terbukti sejak zaman 1985, ia memelihara situs ini.

Karena letaknya di Dusun Duplang, peninggalan nenek moyang ini lebih dikenal sebagai Situs Duplang. Terdiri dari batu menhir, kenong tunggal dan kenong kembar, serta dolmen. Selain di lahan ini, sebetulnya batu-batu purba banyak berserakan di wilayah Arjasa. Pak Sudarman pun menuangkannya dalam sebuah peta. 

Tak heran, dalam kunjungan saya yang keempat kalinya ini, Pak Sudarman mengajak saya menelusuri batu-batu yang ada di peta. Layaknya pencari harta karun, kami menyusuri sungai-sungai terjal, jalan berkelok tajam, dan tak jarang terperosok dari atas pematang. Semisal, batu mata angin yang menunjukkan empat penjuru arah yang berada di rumah Bu Ika di Dusun Krajan. Belum lagi batu tulis, batu kursi serta dolmen dan menhir yang tak jauh dari tepi Kali Gumblung. Sebagian yang tercantum dalam peta Pak Sudarman, ditunjukkan dengan jalan menikung.

Batu Menhir/Nurillah Achmad

Menurut penelitian yang dilakukan BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan, batu-batu zaman megalitikum ini diperkirakan muncul pada abad 10 M, bergantian dengan munculnya candi Borobudur di abad ke-9. Namun, tak sedikit yang berujar jika batu ini telah ada pada abad ke-4.

“Selain Kendal dan Trowulan, wilayah yang saya tempati ini adalah wilayah purba,” kata Pak Sudarman. “Bahkan menhir di sebelah pohon mangga ini, diyakini sebagai stupa layaknya stupa Borobudur. Apabila benar, maka tidak menutup kemungkinan di bawah rumah saya terdapat candi.”

Mendapati Pak Sudarman yang lancar menceritakan batu-batu purba, saya teringat akan juru kunci gunung dan makam. Tapi, Pak Sudarman lekas-lekas menyangkal. Ia tak mau disamakan dengan juru kunci, layaknya juru kunci makam para wali.

“Sesuai amanat dari dinas, saya ini seorang Jupel. Juru Pelihara. Kalau juru kunci, ia ahli tirakat. Ahli doa. Saya tidak pandai begitu. Saya hanya ingin menjaga dan merawat batu-batu ini saja.”
“Apakah nanti ada penerus dari Bapak?”
“Oh, tentu. Anak saya yang sekolah di STM itu penerusnya.”

Seketika saya tersenyum. Ah, barangkali saya terlampau buru-buru menyimpulkan keadaan jika nantinya sepeninggal Pak Sudarman, tak bakal ada yang menggantikan sosoknya.

“Tapi, Nak,” sambungnya lagi. “Anak saya tidak akan sama dengan saya. Caranya menjelaskan tentang apa itu batu kenong tunggal dan batu kenong kembar, apa dan bagaimana batu-batu ini dulunya berada, serta cerita apa yang tersimpan pada masa lalu, tak semuanya sama dengan apa yang saya ketahui. Benar ia anak saya, tetapi kami beda kepala dan beda zaman.”

Saya mengangguk setuju tepat gerimis pertama jatuh ke atas pangkuan lereng Hyang Argopuro. Pak Sudarman benar. Ia tak bisa diganti meski telah menyiapkan seorang penerus. Sama persis seperti almarhum bapaknya yang telah menjaga batu-batu purba sejak zaman lampau, tapi ilmu dan tirakatnya tidak bisa digantikan. Yang ada hanyalah sosok anyar yang barangkali dengan sosok ini, situs Duplang tetap lestari dan jauh dari jangkauan pencuri seperti yang terjadi pada tahun awal tahun 2000


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/situs-duplang-peninggalan-zaman-megalitikum/feed/ 0 28781
Menguak Beragam Versi Sejarah Keraton Ratu Boko https://telusuri.id/sejarah-keraton-ratu-boko/ https://telusuri.id/sejarah-keraton-ratu-boko/#comments Mon, 11 Jan 2021 05:05:48 +0000 https://telusuri.id/?p=26281 Mengunjungi Situs Keraton Ratu Boko pada 9 Desember lalu, menambah keyakinan bahwa puing bangunan cagar budaya ini adalah keraton sebuah kerajaan dan bukan candi. Ini terbukti dari arsitektur bangunan keseluruhan yang memiliki, pintu gerbang, benteng,...

The post Menguak Beragam Versi Sejarah Keraton Ratu Boko appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengunjungi Situs Keraton Ratu Boko pada 9 Desember lalu, menambah keyakinan bahwa puing bangunan cagar budaya ini adalah keraton sebuah kerajaan dan bukan candi. Ini terbukti dari arsitektur bangunan keseluruhan yang memiliki, pintu gerbang, benteng, keputren, tempat perabukan jenazah, pendopo dan paseban. Di tempat ini kita juga bisa melihat adanya pemandian, taman keraton dan alun alun keraton.

Letak dari Keraton Ratu Boko berada di Jl. Raya Piyungan – Prambanan KM 2, Gatak, Bokoharjo, Kec. Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar 3 KM dari lokasi Candi Prambanan. Untuk memudahkan pengunjung personal, PT TWC, Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko menyediakan tiket terusan seharga Rp75.000 per orang. Dengan harga ini pengunjung mendapat tiket terusan kunjungan Situs Keraton Ratu Boko sekaligus Candi Prambanan. Pengunjung akan diantar shuttle khusus Prambanan—Ratu Boko pulang pergi.

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Beragam cerita soal Ratu Boko

Menilik sejarah Keraton Ratu Boko tidaklah mudah, karena sampai tahun 2000-an terus berkembang teori soal keraton yang dikaitkan dengan kisah Roro Jonggrang ini. Fahmi Basya seorang peneliti matematika Islam mengatakan bahwa Keraton Ratu Boko adalah bagian yang menjadi kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis. Bahkan di dalam bukunya Fahmi menjelaskan bahwa Candi Borobudur adalah Istana Nabi Sulaiman yang dipindahkan dari Keraton Ratu Boko yang dipercaya sebagai Keraton Ratu Balqis.

Pada penelitiannya Fahmi bahkan meyakini bahwa negeri Saba yang disebut dalam kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis sesuai dengan kondisi geografis Wonosobo, tempat yang bersebelahan dengan Magelang di mana Candi Borobudur berada. Negeri Saba ini menurutnya bahkan membentang dari Yogyakarta hingga Wonosobo di Selatan dan Utara, dan Boyolali hingga Kulonprogo di Timur dan Barat.

Meski sempat mengejutkan namun penelitian yang ditulis menjadi buku Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman ini tidak membuat gaduh dan cenderung mereda seiring waktu. Fahmi Basya sendiri tidak menerbitkan buku lanjutan soal penelitiannya itu, sehingga satu-satunya versi yang mengaitkan antara Borobudur, Kraton Ratu Boko dan Ratu Balqis hanya bukunya itu.

Versi Ratu Boko dan Roro Jonggrang

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Berbeda dengan  versi Fahmi Basya yang mengidentikkan Ratu Boko dengan Ratu Balqis, justru pada sejarah Jawa, Ratu Boko adalah seorang pria yang berperawakan besar dan karena gagahnya dan kerasnya dan keberaniannya, sering dianalogikan sebagai buto, dan lebih dikenal dengan Prabu Boko. Prabu Boko memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Roro Jonggrang. 

Meski kerajaannya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pengging, namun karena Prabu Boko dikenal keras dan diktator, maka ia melakukan pemberontakan dengan tujuan ingin menguasai Kerajaan Pengging. Bersama Patih Gupolo, Prabu Boko melakukan perang terbuka dengan pasukan Kerajaan Pengging. Melihat peperangan yang sudah banyak memakan korban, Raja Pengging Prabu Damar Moyo mengutus anaknya Pangeran Bandung Bondowoso untuk menumpas pemberontak. Akhirnya tewaslah Prabu Boko dalam peperangan tersebut. Patih Gupolo pun lari kembali ke Keraton Ratu Boko karena dikejar Bandung Bondowoso dan pasukannya.

Di Istana Ratu Boko, rupanya Bandung Bondowoso jatuh cinta dengan putri Prabu Boko yaitu, Roro Jonggrang dan berniat mempersuntingnya. Roro Jonggrang meminta syarat pada Bandung Bondowoso untuk membangun sumur Jalatunda dan seribu candi dalam satu malam.

Singkat cerita setelah tinggal satu candi lagi, Roro Jonggrang membakar jerami di arah timur dan beberapa orang suruhannya menumbuk padi di lesung. Hal itu membuat jin yang membantu pembangunan candi Bandung Bondowoso tunggang langgang karena terangnya alam oleh bakaran jerami dan suara lesung serta kokok ayam tengah malam itu dianggapnya pertanda fajar sudah tiba. Gagal lah rencana Bandung Bondowoso menggapai mimpinya mempersunting Roro Jonggrang. Imbasnya ia murka dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi bagian dari candi, sehingga Roro Jonggrang mematung menjadi batu.

Prasasti Abhayagiri Wihara, menguak sejarah keraton

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Bukti sejarah yang ada di Keraton Ratu Boko, Prasasti Abhayagiri, menjadi salah satu bukti otentik sejarah penggunaan Keraton. Dalam prasasti disebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana yang dikenal sebagai Rakai Panangkaran (746-784 M) yang merupakan Raja Mataram Kuno. Minimnya catatan sejarah Jawa pada masa ini, mengakibtakan adanya dua penafsiran soal Raja Mataram kuno ini. Ada yang berasumsi bahwa Rakai Panangkaran berasal dari Wangsa Syailendra (Budha) dan juga menyatakan berasal dari Wangsa Sanjaya (Hindu) namun dalam Prasasti Abhayagiri disebut soal kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara (wihara di bukit yang bebas dari bahaya). 

Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan vihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M yang dikenal dengan Keraton Ratu Boko ini.

Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran menganut agama Buddha. Terlebih ada bukti Arca Dyani Buddha di keraton tersebut. Yang menarik, di keraton ini ditemukan pula unsur–unsur agama Hindu, dengan adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.

Perlu ditarik benang merah sejarah

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Melihat adanya sejumlah versi dari sejarah Ratu Boko, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut soal fungsi dan pada era apa keraton ini dibangun. Setidaknya perlu ditarik benang merah sejarah antara Rakai Panangkaran yang menjadikan keraton tersebut sebagai vihara dan  Prabu Boko yang menjadikan Kraton Ratu Boko sebagai pusat pemerintahan kerajaan kecilnya yang berada di bawah penguasaan Kerajaan Pengging. Bisa jadi keduanya, baik Ratu Boko maupun Rakai Panangkaran sama-sama pernah mendiami keraton yang sama pada kurun waktu yang berbeda.

Dengan ditarik benang merah sejarah antara keduanya, maka khasanah sejarah Indonesia akan semakin beragam dan bisa menjadi pelajaran berharga bagi contoh persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Terlepas dari beragamnya versi sejarah yang mengiringi perjalanan Keraton Ratu Boko, tempat ini layak dikunjungi. Setidaknya bila menggunakan jasa pemandu, kamu bisa menggali cerita soal hidup, yang bisa menjadi bekal akan perilaku dan langkah ke depan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menguak Beragam Versi Sejarah Keraton Ratu Boko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-keraton-ratu-boko/feed/ 1 26281
Menanti Matahari Terbenam di Candi Plaosan Lor https://telusuri.id/candi-plaosan-lor/ https://telusuri.id/candi-plaosan-lor/#respond Sat, 18 Aug 2018 09:00:07 +0000 https://telusuri.id/?p=10252 Saya dan Nyonya berkendara ke arah timur ditemani mentari sore Yogyakarta yang sinarnya mulai menjingga. Ini adalah salah satu rute favorit kami—jalanan sempit Condong Catur, Gebang, lalu, lewat Tajem, terus ke Purwomartani di perbatasan Sleman,...

The post Menanti Matahari Terbenam di Candi Plaosan Lor appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya dan Nyonya berkendara ke arah timur ditemani mentari sore Yogyakarta yang sinarnya mulai menjingga. Ini adalah salah satu rute favorit kami—jalanan sempit Condong Catur, Gebang, lalu, lewat Tajem, terus ke Purwomartani di perbatasan Sleman, DIY, dan Klaten, Jawa Tengah.

Biasanya kalau lewat rute ini kami akan berhenti di bawah sebuah pohon beringin di Purwomartani untuk menyeruput segelas, atau dua gelas, es dawet. Namun sepertinya kali ini kami melintasi daerah itu terlalu sore. Lapak es dawet legendaris itu sudah kukut.

candi plaosan lor

Salah satu stupa yang mengelilingi Candi Plaosan Lor/Fuji Adriza

Sebagai gantinya, kami mampir di sebuah gerobak gorengan depan Indomaret untuk membeli beberapa potong geblek. Dari gerobak gorengan itu kami berkendara tanpa henti ke tujuan utama, yakni Candi Plaosan Lor di pinggiran Klaten, Jawa Tengah.

Saat tiket habis, pengunjung bisa masuk secara cuma-cuma

Sesore itu, Candi Plaosan Lor masih sangat ramai. Kehidupan masih bergulir dengan semarak. Areal parkir masih dipadati sepeda motor dan mobil, warung-warung masih sibuk melayani para pembeli, dan satpam Candi Plaosan masih sibuk menyeberangkan para pengunjung.

candi plaosan lor

Candi Induk Utara/Fuji Adriza

Kontras dengan geliat kehidupan di sekelilingnya, Candi Plaosan Lor hanya diam. Kedua bangunan besar yang menjulang itu seperti sedang asyik menikmati siraman matahari sore yang sedang membelai mesra—sebelum ditelan dingin malam musim kemarau yang sebentar lagi akan mengadang.

Di utara sana bagian puncak Gunung Merapi digelitik gemawan yang berputar-putar di lehernya. Barat laut adalah panggung Gunung Sumbing yang juga sedang bergelut dengan awan-awan kecil yang melayang-layang di sekitarnya.

candi plaosan lor

Bagian dalam Candi Induk Utara/Fuji Adriza

Kami pun segera melapor ke meja resepsionis untuk mengisi buku tamu. Tanpa diduga, sore itu sang penjaga loket membiarkan kami masuk secara cuma-cuma. “Masuk saja, Mbak,” katanya pada Nyonya ketika ditanyai harga tiket. “Tiketnya habis.”

Biasanya, kalau ada tiket, menurut cerita-cerita para pengunjung harus membayar Rp 3.000. Memang tak ada apa-apanya ketimbang harga tiket masuk candi-candi tenar seperti Prambanan, Boko, atau Borobudur.

candi plaosan lor

Gunung Merapi tampak dari Plaosan/Fuji Adriza

Salah satu candi paling romantis di Pulau Jawa

Kalau ada kontes candi paling romantis di Pulau Jawa, Candi Plaosan Lor barangkali akan masuk tiga besar. Yang membuatnya romantis bukan hanya reruntuhan puluhan candi perwara dan stupa yang mengelilinginya, atau senja yang memerah itu, tapi juga cerita di balik pembuatannya.

Menurut versi De Casparis, salah seorang ahli yang meneliti sejarah candi ini, Candi Plaosan Lor dibangun pada abad ke-9 oleh Pramodyawardani, putri dari Raja Samarattungga dari Wangsa Syailendra, yang beragama Buddha, yang didukung oleh suaminya, Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang beragama Hindu.

candi plaosan lor

Pohon raksasa di reruntuhan candi perwara/Fuji Adriza

Candi Plaosan Lor yang sebelah utara penuh dengan relief laki-laki, sementara candi yang di utara dihasi dengan relief perempuan. Menurut narasi yang berkembang, kedua candi ini adalah simbol kekaguman sepasang kekasih dari zaman baheula itu terhadap satu sama lain.

Secuil kisah di atas—ditambah nuansa sepia menjelang matahari terbenam—membuat saya membayangkan Pramodyawardani dan Rakai Pikatan sedang bermain petak umpet di antara candi-candi perwara dan stupa yang dulu masih utuh, sambil tersenyum dan tertawa bahagia.

candi plaosan lor

Siluet stupa saat matahari terbenam/Fuji Adriza

Sekitar satu jam kami berkeliaran di Candi Plaosan Lor, ikut merayakan cinta Pramodyawardani dan Rakai Pikatan. Matahari perlahan turun dan membuat cakrawala berpendar jingga.

Saat sedang asyik mengagumi patung-patung Buddha di sebuah pelataran di belakang, seorang petugas memberi tahu kami bahwa jam berkunjung sudah habis. Kami dan wisatawan-wisatawan lain pun dipersilakan pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menanti Matahari Terbenam di Candi Plaosan Lor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/candi-plaosan-lor/feed/ 0 10252