cap go meh Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cap-go-meh/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 09 Feb 2024 06:19:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 cap go meh Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cap-go-meh/ 32 32 135956295 Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/ https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/#respond Fri, 09 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41136 Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas...

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa Krendang, Jakarta Barat ketika perayaan Cap Go Meh selalu menarik perhatianku.

Aku mulai mengacak tumpukan bukuku. Mencari bahan bacaan menarik bertemakan Imlek dan Cap Go Meh, selain tentang kemeriahan Glodok dan pertunjukan Barongsai. Di buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia karya Alwi Shahab—jurnalis senior dan pencerita terbaik tentang sejarah Betawi dan Jakarta—aku menemukan bacaan tentang tradisi membawakan ikan bandeng dan kue cina untuk calon mertua dari calon menantu sebelum Imlek.

Sementara di buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita dari tim Akademi Kuliner Indonesia, menceritakan tentang akulturasi budaya di kehidupan masyarakat Betawi yang multikultur dan berlangsung dalam kurun waktu lama sampai melahirkan tradisi lebaran gaya Jakarta yang “berwarna”. Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi.

Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Di komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani mungkin berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara untuk perayaan Imlek disebut Lebaran Cina dan pindang bandeng menjadi salah satu makanan yang wajib dihidangkan. 

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Sampul depan buku karya Windoro Adi di situs Gramedia Digital/Gramedia

Jejak Kekerabatan Multietnis dari Seekor Bandeng

Membaca fakta itu aku mulai mencari lebih jauh tentang hubungan ikan bandeng dengan perayaan Imlek. Akhirnya aku menemukan kalimat “Sepekan menjelang Imlek tiba, pertigaan Rawa Belong ramai oleh pedagang dan pembeli ikan bandeng…” di buku Batavia 1740 — Menyisir Jejak Betawi tulisan Windoro Adi.

Aku pernah beberapa kali ke Rawa Belong yang terkenal dengan Pasar Bunganya itu. Terakhir ke sana, aku menyusuri daerah ini dari halte busway Slipi Petamburan 2 sampai ke Pasar Bunga Rawa Belong. Dari penelusuran itu aku mendapati beberapa bangunan tua berikut ini:

  1. Gedung Tinggi Palmerah. Bekas kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat VOC, yang sekarang menjadi kantor Polsek Palmerah. Gedung ini dibangun tahun 1790-an bergaya arsitektur Indische dengan ciri khas pilar besar di bagian depan, langit-langit yang tinggi, serta jendela dan pintu besar.
  2. SD Negeri Palmerah 07 Pagi. Bangunan yang dibangun tahun 1936 ini dulunya gedung sekolah Tionghoa, Kwa Ming School.
  3. Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio. Kelenteng yang telah ada dari abad ke-19 ini berdiri di dekat Pasar Palmerah.

Rawa Belong juga terkenal sebagai kampungnya para jawara. Istilah ini mungkin berawal dari zaman Andries Hartsinck menjadi tuan tanah di Palmerah sampai Grogol. Penyebutan Palmerah berasal patok (paal) berwarna merah sebagai penanda batas tanah dari Andries Hartsinck. Dengan tanah seluas itu, Andries Hartsinck membutuhkan penjaga yang disebut centeng dan mandor. Kampung di depan Gedung Tinggi dikenal dengan nama Kampung Kemandoran. Kemungkinan dahulu daerah itu menjadi tempat tinggal para mandor dan centeng, jawara-jawaranya Andries Hartsinck.

Si Pitung, tokoh legenda masyarakat Betawi pun diceritakan lahir di Rawa Belong. Bahkan makamnya bisa ditemukan di depan gedung Telkom, Jl. Palmerah No. 80. Di buku Iwan Mahmoed Al-Fattah, Pitung (Pituan Pitulung): Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta, menjelaskan Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang jawara yang membela kaum lemah dari penindasan kaum kafir penjajah. Salah satu aliran silat khas Betawi, Silat Cingkrik, juga berasal dari Rawa Belong dan makin menguatkan frasa kampung jawara di Rawa Belong.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang ibu memilih bandeng yang akan dibeli di lapak bandeng Rawa Belong, Pamelah, Jakarta Barat/Daan Andraan

Mencari Bandeng di Rawa Belong

Tiga hari menjelang Imlek, dengan menumpang ojek daring, aku menuju ke Rawa Belong. Sehari sebelumnya aku telah mencari info tentang lokasi para penjual ikan bandengnya. Motor pun berhenti di pertigaan Jl. Rawa Belong dan Jl. Sulaiman. Lapak-lapak penjual ikan bandeng yang hanya ada ketika menjelang perayaan Imlek ini berjejer di sisi jalan. Lapak tersebut begitu sederhana. Hanya terbuat dari meja kayu yang di empat sudutnya ada tiang bambu sebagai penyangga atap yang terbuat dari plastik, dan di atas meja berderet-bertumpuk ikan bandeng.

Setelah berkeliling, aku berhenti di salah satu lapak. Pak Ujang, nama bapak penjual bandeng bercerita tentang tradisi “Nganter Bandeng”. Hantaran bandeng ini biasanya dilakukan oleh calon menantu kepada calon mertua. Bandeng yang dibawa dalam bentuk besar sebagai tanda keseriusan dan ketulusan. Bandeng ini kemudian dimasak pindang oleh calon menantu perempuan dan dihidangkan ke keluarga calon mertua laki-laki. Tradisi warga Betawi tersebut kemudian diadopsi oleh orang-orang Tionghoa waktu itu dan menjadikan bandeng sebagai sajian Imlek.

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, J. J. Rizal mengatakan sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang calon pembeli dari atas motornya mengamati tumpukan bandeng jumbo di salah satu lapak Rawa Belong/Daan Andraan

Tradisi “Nganter Bandeng” Kini

Seorang Ibu yang sedang membeli ikan pun ikut nimbrung di percakapan kami. Zaman dahulu apabila ada ikan bandeng yang digantung di pagar rumah, itu menandakan ada seorang gadis yang belum menikah di rumah tersebut dan siap dipinang. Apabila bandengnya hilang, berarti ada seorang pemuda yang tertarik dengan sang gadis. Di masa sekarang, kalau ada yang menggantung ikan di pagar bukan diambil oleh pemuda yang akan datang melamar sang gadis, tetapi dicomot oleh kucing oren yang kelaparan, cerita sang ibu sambil terkekeh.

Tradisi “Nganter Bandeng” untuk menyenangkan hati mertua pun mulai pudar. Namun, ibu itu menambahkan pandangan menarik. Membeli dan memasak pindang bandeng pada saat Imlek, yang kemudian dimakan bersama-sama atau diberikan kepada keluarga yang lebih tua, masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Betawi di Jakarta.

Hal paling unik di lapak para penjual bandeng ini adalah ukuran bandeng yang jumbo. Pak Ujang mengatakan, ikan-ikan ini memang dipelihara sampai berukuran besar dan dipanen untuk dijual menjelang Imlek. Tambak di daerah Cilincing dan Tangerang menjadi sentra pemasok bandengnya. Sementara di lagu Penjual Ikan yang didendangkan Lilis Suryani saja, penyanyi lawas tahun 1960-an, bercerita tentang penjual ikan bandeng yang mengambil ikannya di empang Muara Karang.

Aku pun membeli dua ekor bandeng jumbo seberat tiga kilogram dengan harga Rp240.000 di lapak Pak Ujang. Di atas ojek daring yang mengantarku pulang, anganku dipusingkan, akan ke mana ikan-ikan bandeng ini kuberikan. Pasangan saja tidak punya, apalagi calon mertua!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/feed/ 0 41136
Kilas Balik Festival Imlek dan Cap Go Meh https://telusuri.id/kilas-balik-festival-imlek-dan-cap-go-meh/ https://telusuri.id/kilas-balik-festival-imlek-dan-cap-go-meh/#respond Thu, 11 Feb 2021 18:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26997 “Festival Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak Tahun Ini Ditiadakan” Aku menemukan berita ini berseliweran di Instagram dan bermunculan pula ribuan komentar yang menyayangkan hal itu. Wajar sih, karena perayaan Imlek selalu menjadi momen...

The post Kilas Balik Festival Imlek dan Cap Go Meh appeared first on TelusuRI.

]]>
Festival Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak Tahun Ini Ditiadakan

Aku menemukan berita ini berseliweran di Instagram dan bermunculan pula ribuan komentar yang menyayangkan hal itu. Wajar sih, karena perayaan Imlek selalu menjadi momen paling berkesan bagi semua masyarakat di sini. Itulah implementasi sikap toleransi dan gotong royong antar umat beragama bagi kami.

Bahkan, tepat di pukul 06:51 WIB, Aku pun mendapati berita pop up di layar handphone  yang telah membuatku yakin kalau wisata Imlek pasti ditiadakan. Katanya begini, “Pemkot Pastikan Perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak Ditiadakan.

Saat sarapan, Ayah juga mengatakan hal demikian karena beliau barusan mendapatkan berita itu di TV tadi subuh.

Tau ndak? Kalau Gubernur Kalimantan Barat tuh ye, udah ngasik tau kalau Imlek dan Cap Go Meh udah ditiadekan. Biaselah, takot bah muncol agik klaster baru COVID-19…” ucap Ayahku dengan logat dan bahasa Pontianak atau biasanya kita kenal sebagai bahasa Melayu. Artinya, Pak Gubernur telah meniadakan Imlek karena ingin mencegah penyebaran klaster baru COVID-19 di Pontianak.

Memang betul, tahun 2021 ini masih menjadi ujian bagi kita semua, karena pandemi masih belum berakhir. Di berbagai daerah pun mulai ketat menerapkan PSBB, work and study from home hingga mempersuasi usaha preventif yaitu 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak). Untuk itu, semua pihak berwajib sangat mengantisipasi munculnya keramaian di berbagai tempat.

Kemarin aja, aku pergi ke warung kopi juga di razia oleh satpol PP dan kami semua wajib rapid dan swab test COVID-19 secara massal. Apalagi wisata Imlek yang bisa memicu keramaian. Tentu saja, menjadi perhatian besar bagi yang membuat kebijakan.

Kembali ke cerita Imlek yang tertunda ini.

Aku adalah penikmat dari wisata Imlek yang biasanya dipusatkan di Jalan Diponegoro, Pontianak, Kalimantan Barat. Menurut perhitungan kalender Gregorian, tahun baru Imlek jatuh pada tanggal 12 Februari 2021. Walaupun aku seorang muslim, aku dan keluargaku tetap menganggap Imlek sebagai peristiwa penting yang harus kita hargai.

Tradisi yang paling Aku senangi saat Imlek itu adalah saat bagi-bagi amplop yang berwarna merah itu. Menurut kepercayaan mereka, amplop merah yang paling disukai anak-anak dan aku ini, berisi sejumlah uang dan doa kebaikan. Biasanya, aku diajak ayah pergi ke rumah temannya yang merayakan Imlek dan selalu saja tasku dipenuhi amplop dan kue keranjang.

Tahu kan kue keranjang?

Itu loh, yang kalau menjelang Imlek, pasti letaknya di barisan depan minimarket maupun supermarket. Sangat berkesan! Tapi, itu hanyalah kenangan di tahun 2020 sebelum pandemi meluas.

Atraksi Tatung
Ratusan tatung mempersiapkan peralatan sebelum pawai tatung dalam rangka memperingati Cap Go Meh via TEMPO/ Tony Hartawan

Nah, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek pada hari ini, Aku mau mengulas kembali memori terbaik sepanjang Aku berkunjung ke wisata imlek atau dikenal oleh masyarakat Pontianak itu, Festival Cap Go Meh di tahun 2020. Seperti biasa, saat menjelang Imlek, kota kelahiranku dihiasi lampion yang berkelap-kelip. Aku seolah-seolah sedang berada di Hongkong. Ceilah!

Hal ini pula yang membuat Aku makin jatuh cinta sama Kota Pontianak karena selalu memberikan kehangatan ketika menyambut pergantian tahun bagi masyarakat Tionghoa. Bayangkan saja! Ada 2500 lampion gantung di sepanjang Jalan Gajah Mada dan sekitarnya. Benar-benar meriah.

Festival ini biasanya dibuka pada pukul 16.00 WIB atau siang hari, tapi aku bersama kerabat dekatku datang setelah sholat Ashar, tepat di pukul 16:45 WIB. Mau tahu gimana situasinya saat itu? Pecaaaah!

Aku aja speechless karena suasana yang ditawarkan membuat kami bahagia! Terdengar pula dentuman kembang api dan membuat langit cantik sekali kala itu. Sembari mengelilingi wilayah tersebut, ditemukan pula berbagai kuliner dari UMKM yang membuat aku mengecap-ecap bibir.

Selama acara berlangsung, Aku juga menemukan wisatawan domestik hingga mancanegara. Kalau dilihat-lihat muka mereka kayaknya orang Asia deh. Tapi, ada juga loh bule-bule yang menghadiri acara ini dan mereka asyik memotret naga yang bersinar serta barongsai yang menari-nari. Mereka memulai rute dari Juanda-Pattimura-Gajah Mada-finish-Budi Karya, seingat ku sih begitu.

Selain itu, juga ada penampilan dan atraksi dari tatung yang bikin bulu kuduk merinding. Ekstrem banget dong! Mereka menancapkan kawat baja runcing dan menembus tubuhnya. Lalu, berjalan di atas pecahan kaca atau pisau yang tajam. Anehnya, mereka itu nggak merasakan sakit atau terluka. Secara akal sehat memang tidak mungkin, tapi itulah uniknya Tatung yang misterinya masih aku cari tahu. Lumayan lah, bisa memicu lonjakan adrenalin saat itu.

Cha, emang gak ngilu ape liat yang begituan? Ngerik coy, ngerik. Balek yak yok, ndak tahan kamek liat macam tu. Takot bah jadi mimpi burok!” ucap Nurul.

Mendengar ucapan si Nurul, aku terbahak-bahak ketika itu. Nurul bilang, dia itu ngajakin Aku pulang karena takut melihat atraksi Tatung. Katanya, takut mimpi buruk. Aku jelas tidak mengindahkan perkataannya dan tetap menikmati penampilan dari Tatung yang sedang berlangsung. Sayangnya, Aku gak berani memotret saat mereka beraksi.

  • Atraksi Tatung
  • Atraksi Tatung

Oh iya, selama aku menghadiri festival, juga ada kejadian lucu yang membuatku tertawa terbahak-bahak sepanjang perjalanan pulang. Jadi, di sampingku ada koko-koko yang sedang bercanda dan bersikap seakan-akan sedang kemasukan roh halus karena tadi dia berpegangan tangan dengan si Tatung. Nah, si Nurul auto kaget dan berteriak sekencang-kencangnya karena memang si Nurul ini penakut. Dan, akhirnya koko tersebut jujur bahwa semua itu hanyalah candaan.

Hari mulai larut, aku pun sudah ditelpon oleh orang tuaku dan inilah waktunya kami pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa pula, aku membawa oleh-oleh berupa kue keranjang khas Imlek. Begitulah ceritaku selama mengunjungi wisata Imlek di Pontianak, salah satu momen paling berkesan yang tak terlupakan.

Semoga di tahun berikutnya, kita masih bisa menyaksikan Festival Cap Go Meh ketika situasi sudah memungkinkan, ya?

Cerita dari Icha, untuk kamu baca di Tahun Baru Imlek 2021.

The post Kilas Balik Festival Imlek dan Cap Go Meh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-festival-imlek-dan-cap-go-meh/feed/ 0 26997