catatan perjalanan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/catatan-perjalanan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 29 May 2023 08:29:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 catatan perjalanan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/catatan-perjalanan/ 32 32 135956295 Cerita Abdul Masli, yang Menyusuri Makassar ke Majene dengan Bersepeda https://telusuri.id/cerita-abdul-masli-yang-menyusuri-makassar-ke-majene-dengan-bersepeda/ https://telusuri.id/cerita-abdul-masli-yang-menyusuri-makassar-ke-majene-dengan-bersepeda/#respond Sat, 27 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38797 Cerita tidak biasa ini sudah saya dengar bertahun-tahun lalu, sebelum sang pemilik kisah membukukannya dalam Kembali ke Rumah: Catatan Lapangan Perjalanan Pulang (2021). Saya mengenal penulisnya, Abdul Masli, sebagai seorang mahasiswa bertopi yang senang bersepeda....

The post Cerita Abdul Masli, yang Menyusuri Makassar ke Majene dengan Bersepeda appeared first on TelusuRI.

]]>
Cerita tidak biasa ini sudah saya dengar bertahun-tahun lalu, sebelum sang pemilik kisah membukukannya dalam Kembali ke Rumah: Catatan Lapangan Perjalanan Pulang (2021). Saya mengenal penulisnya, Abdul Masli, sebagai seorang mahasiswa bertopi yang senang bersepeda. Beritanya kala bersepeda jauh dari Makassar ke Majene, kampung halamannya, cukup diperbincangkan orang-orang.

Saya beberapa kali bertemu dengan sosok alumni jurusan antropologi tersebut. Seringkali kami berpapasan di dalam kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS), atau kedai kopi nomor satu langganan mahasiswa di Jalan Pintu Nol. 

Buku Kembali ke Rumah: Catatan Lapangan Perjalanan Pulang karya Abdul Masli bersampul monokrom. Hanya hitam dan putih. Terdapat sebuah rumah dengan satu jendela pada sampul depannya, lalu sebuah sepeda hitam di sampul belakang. Jika melihat lebih teliti, pada bagian hitam sampul buku ini terdapat garis kontur tipis yang memberi detail menarik. Sederhana, tetapi kombinasi elemen buku yang pas ini cukup menarik perhatian pembaca. Terutama orang-orang yang memperhitungkan desain sampul sebelum membeli buku. 

Masli memulai buku ini dengan ide yang sederhana: menyusuri jalur sepanjang Kota Makassar menuju kampung halamannya. Lalu menulis segala sesuatu yang ia dapati sepanjang perjalanan, memotret satu-dua momen yang memberikan gambaran pada pembacanya. 

Penghargaan atas karya Abdul Masli sebagai pemenang Buku Nonfiksi Terpuji dari Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan via LinkedIn/Abdul Masli
Penghargaan atas karya Abdul Masli sebagai pemenang Buku Nonfiksi Terpuji dari Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan via LinkedIn/Abdul Masli

Menyimpan Memori dengan Catatan Lapangan

Agustinus Wibowo, penulis Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan (2013), sekali waktu menuliskan tentang tiga jenis perjalanan, yaitu perjalanan fisik, perjalanan memori, dan perjalanan batin. Dalam catatan lapangannya, Masli menyajikan cerita perjalanan fisik dan memori. Ia menceritakan pengalaman melihat keluar dan mengalami dunia dengan bersepeda, lalu membawa kita menyusuri ingatannya. Ia juga menyajikan pembaca tentang hal-hal penting dari perjalanan itu, serta gambaran visual dengan satu-dua foto pendukung di setiap tulisan.  

Sebagai orang yang senang menulis cerita perjalanan, saya sering kesulitan mengingat kembali hal-hal dari sebuah perjalanan yang penting. Maka betapa penting membuat catatan lapangan disertai foto-foto pada satu periode waktu tertentu, yang ternyata cukup efektif dalam memanggil kembali ingatan-ingatan selama perjalanan. Layaknya memasukkan kata kunci ke mesin pencarian. 

Catatan lapangan mengabadikan setiap detail yang tertangkap oleh pejalan. Bisa saja berupa aroma tempat, keramaian, perasaan berada di momen tersebut, hal-hal menyenangkan, intensitas cahaya, atau hal-hal unik yang tertangkap melalui panca indra kita saat itu. Membaca buku Masli pada dasarnya sama dengan membaca catatan lapangan  dan ikut merasakan perjalanan bersepeda dari Makassar ke Majene. 

Cerita-cerita Menarik Masli

Buku ini terbagi ke dalam delapan tulisan yang saling berkaitan secara keseluruhan. Saat membuka halaman pertama yang berjudul ‘Alasan’, terpampang sebuah peta yang menunjukkan jalur berangkat mulai sepanjang Makassar di Sulawesi Selatan sampai ke Majene di Sulawesi Barat, titik akhir dari perjalanan bersepeda Masli.

Beberapa kali Masli menekankan reaksi orang-orang yang mendengar berita dirinya bersepeda sejauh 390-an kilometer. Mereka tak jarang menganggapnya gila, stres, atau sekadar diam tanpa tahu harus bereaksi seperti apa terhadap cerita tersebut. Banyak juga (termasuk saya) yang menyemangati dan kagum akan cara Masli menikmati perjalanannya.

Perjalanan dimulai dari sepeda yang bergerak santai keluar dari lingkungan kampus UNHAS, kemudian belok kiri ke arah Sudiang hingga melewati perbatasan Makassar–Maros. Masli membawa pembacanya pada perjalanan santai dengan beberapa kali persinggahan, terutama kala menemukan sesuatu yang menarik di jalan. Beberapa kali pula ia menceritakan kejadian terserempet atau nyaris jatuh dari sepeda dengan narasi eksploratif. Tujuannya menjelaskan perasaan dan pikirannya dalam momen itu. 

Saya menemukan sejumlah momen menarik lainnya, salah satunya seperti saat perjalanan Masli dari Maros menuju Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Ia bertemu dengan mesin pappabereq berjalan (mesin penggiling padi), lalu memunculkan perbincangan spontan di antara keduanya.

Selain itu, saya melihat bagaimana Masli tidak hanya menjadikan rumahnya sebagai tujuan. Namun, ia juga menjadikan perjalanannya bersepeda tersebut sebagai momen bertemu, menginap, dan berbincang dengan berbagai kenalan baru yang ia temui.

Catatan Lainnya

Saya memberikan apresiasi terhadap Antropos Indonesia, penerbit yang baru lahir sekitar setahun yang lalu. Penerbit ini membawa keresahan dari beberapa orang yang ingin berkontribusi pada masyarakat dengan cara kecil dan sederhana. Terutama mereka yang memiliki latar belakang antropologi, yang percaya bahwa masalah-masalah rumit di masyarakat sulit dituntaskan sekaligus. Apalagi jika dipercayakan hanya pada segelintir orang. Masli merupakan salah satu yang tumbuh di dalamnya.

Penerbit ini juga meyakini perlunya inisiasi gerakan dari bawah, yaitu oleh orang-orang yang dekat dengan permasalahan. Tidak jadi soal bila dilakukan secara perlahan, tetapi tumbuh bertahap sembari belajar dan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait. 

Pada akhirnya, buku Kembali ke Rumah: Catatan Lapangan Perjalanan Pulang ini terlahir setelah proses panjang ratusan kilometer. Buku yang membawa pembacanya menikmati perjalanan tersebut secara mentah, layaknya membaca jurnal harian seorang kawan.

Saya mendapati beberapa bagian terdapat kesalahan penulisan dan kekeliruan dalam menggunakan kata penghubung. Namun, secara keseluruhan buku ini bisa menjadi contoh sebuah catatan lapangan, khususnya bagi mereka yang menolak melupakan hal-hal detail dalam perjalanan. Mungkin saja setelah membaca buku ini, Anda akan mulai membawa buku catatan kecil ke mana pun Anda bepergian.


Judul Buku: Kembali Ke Rumah, Catatan Lapangan Perjalanan Pulang
Penulis: Abdul Masli
Penerbit: Antropos Indonesia
Cetakan: Pertama, Agustus 2022
Tebal Buku: 208 Halaman
ISBN: 978-623-09-0139-3


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Abdul Masli, yang Menyusuri Makassar ke Majene dengan Bersepeda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-abdul-masli-yang-menyusuri-makassar-ke-majene-dengan-bersepeda/feed/ 0 38797
Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo https://telusuri.id/afghanistan-dalam-dekapan-agustinus-wibowo/ https://telusuri.id/afghanistan-dalam-dekapan-agustinus-wibowo/#respond Sun, 29 Aug 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30266 Akhir-akhir ini Afghanistan kembali menjadi perbincangan internasional. Setelah Amerika Serikat resmi menarik pasukannya atas perintah presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Tak lama setelah pengumuman tersebut, Taliban, sebagai faksi politik, bergegas merebut seluruh penjuru Afghanistan secara...

The post Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini Afghanistan kembali menjadi perbincangan internasional. Setelah Amerika Serikat resmi menarik pasukannya atas perintah presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Tak lama setelah pengumuman tersebut, Taliban, sebagai faksi politik, bergegas merebut seluruh penjuru Afghanistan secara perlahan-lahan. Akhirnya, dalam waktu singkat pemerintahan Afghanistan telah jatuh ke tangan Taliban.

Sebagai seorang petualang yang sudah mengelilingi Afganistan dan tinggal di sana, Agustinus Wibowo, menceritakan kisah-kisah yang didapatnya dalam buku Selimut Debu, Titik Nol, Garis Batas, dan buku terbarunya: Jalan Panjang untuk Pulang. Afghanistan baginya seperti rumah kedua setelah Indonesia. Keramah tamahan, keindahan alamnya yang memang memukau meski harus diselingi konflik tiada habis.

Buku karya Agustinus Wibowo
Buku karya Agustinus Wibowo via thejakartapost.com

Di mata orang-orang awam, mendengar nama Afghanistan saja sudah membuat bergidik, membayangkan rudal-rudal beterbangan di atas kepala, suku-suku nomaden yang saling berperang, hingga debu dan padang pasir yang membentang. Mungkin bayangan seperti itu tidak sepenuhnya salah, representasi negatif tersebut membuat kita enggan menilik Afghanistan lebih jauh. Hal itu tak berlaku bagi Agustinus, semakin tertutup negeri itu, maka dia akan semakin penasaran untuk menyingkap tabir yang menutupnya.

Alamat Afghanistan yang ditutupi oleh keabu-abuan, segera ditempuh oleh Agustinus dengan perjalanan melintasi Beijing-Urumqi menggunakan kereta api. Dari Urumqi kemudian ke Pakistan. Orang Pashtun, yang merupakan penduduk mayoritas Afghanistan, ditemuinya saat berada di Rawalpindi, Pakistan. Menurut Agustinus, perawakan orang Afghan persis seperti yang dia lihat di televisi; berjenggot lebat dengan mata yang tajam memandang dan tampak keras. Mereka menawarkan Agustinus untuk datang ke negerinya, melihat langsung keindahan Afghanistan dari mata kepala sendiri.

Keinginan Agustinus yang menggebu-gebu untuk mengunjungi Afghanistan berbuah manis, setelah mendapatkan visa, Agustinus segera melenggang ke perbatasan Pakistan-Afghanistan yang terkenal sebagai daerah tak bertuan, liar, dan buas. Memasuki Afghanistan, pengalaman yang Agustinus rasakan tampak berbeda dengan Pakistan, negeri ini lebih mundur beberapa puluh tahun ke belakang, Agustinus dikerumuni layaknya makhluk asing yang baru turun ke bumi. Begitulah kondisi Afghanistan pada tahun 2003. Debu menjadi santapan sehari-hari dalam udaranya. Bahkan dalam tulisannya, Agustinus mengungkapkan bahwa debu tidak hanya bermakna “debu” dalam kosa kata Pashtun, tetapi juga tanah air. 

Afghanistan seperti halnya negara kita, negeri yang terdiri dari multietnis. Tidak gampang menyatukan berbagai suku dalam satu sebutan “Afghanistan”. Dalam tulisannya, Agustinus juga mengatakan bahwa garis-garis batas yang ada di Afghanistan maupun Indonesia sama-sama tercipta dari campur tangan bangsa asing. Garis batas yang dulu tercipta, hingga kini masih kita pakai sebagai garis batas negara, dan sebagai garis batas antara “aku, kamu, dan kita”. 

Afghanistan terdiri dari berbagai macam etnis semisal Pashtun, Tajik, Hazara, Uzbek, Turkmen, Kyrgyz, Chahar Aimak, Keramah-tamahan warga Afghanistan, dari cerita Agustinus di bukunya adalah salah satu yang terbaik di dunia. Bagi masyarakat Afghanistan, keramahan adalah jalan hidup; melayani tamu dan melindungi tamu, meski harus mengorbankan nyawa. 

Selang tiga tahun kemudian, Agustinus kembali mengunjungi Afghanistan, banyak hal yang berubah, termasuk reaksi kepada orang asing yang sudah mulai berubah menjadi banyak curiga, bahkan terjadi penculikan-penculikan di beberapa tempat. Kabul, yang dulunya merupakan kota aman menurut Agustinus, mulai terjadi banyak ledakan bom, Kemodernan gedung-gedung di Kabul ternyata tidak diimbangi dengan keamanan yang meningkat. Perang tentu saja terus berjalan tanpa peduli apakah Afghanistan sudah modern ataupun masih kuno.

Tahun 2021, wajah Afghanistan sudah berbeda dari 10 tahun yang lalu. Prediksi pemerintah Amerika Serikat memperkirakan Taliban akan menguasai Afghanistan dalam hitungan bulan ternyata meleset. Hal ini memicu eksodus besar-besaran warga Afghanistan ke luar negeri dengan berbagai cara. Mereka takut Taliban merenggut kebebasan yang mereka yang telah dibangun semenjak kedatangan Amerika Serikat. Banyak korban berjatuhan, baik karena sergapan dari Taliban, ataupun berguguran karena ingin keluar negeri.

Agustinus menganggap konflik yang terjadi di Afghanistan sangat kompleks untuk dilihat sebagai hitam putih. Jangan gampang memihak hanya dari berita-berita yang berseliweran di media. Konflik antar suku yang sudah berurat nadi semenjak kehidupan nomaden terus berlangsung hingga kini. Hendaknya kita mengambil sikap tidak memihak pada konflik mereka pada satu golongan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/afghanistan-dalam-dekapan-agustinus-wibowo/feed/ 0 30266
Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/ https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/#comments Mon, 06 Jul 2020 02:30:29 +0000 http://telusuri.id/?p=3813 Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian. Di dalam diary itu...

The post Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” appeared first on TelusuRI.

]]>
Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian.

Di dalam diary itu ia mencatat detail-detail kejadian yang dialaminya, sampai sekecil-kecilnya. Barulah kemudian ia menuliskan ceritanya dan mengirimkan ke media. INTISARI adalah majalah yang setia memuat catatan perjalanan H.O.K. Tanzil, dari tahun 70-an sampai 90-an awal.

H.O.K. Tanzil
Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin/Fuji Adriza

Perjumpaan pertama saya dengan karya-karya H.O.K. Tanzil terjadi medio 2014 ketika sedang asyik menelusuri pusat kota Kediri. Kalau tidak salah, waktu itu saya hanya menemukan tiga edisi INTISARI yang memuat tulisan sang pengelana. Lumayan, daripada tidak ada sama sekali. Majalah INTISARI lawas dan buku H.O.K. Tanzil memang sudah terbilang langka. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang pun, secara total saya baru menemukan sekitar lima edisi INTISARI bekas yang memuat tulisan Om Hok.

Namun beberapa bulan yang lalu ketika pameran buku saya mendapat durian runtuh. Seperti biasa, setiap kali ada eksebisi, seksi buku bekaslah yang pertama kali saya sambangi. Tak terkecuali malam itu. Hanya butuh beberapa menit menelusuri punggung buku sampai mata saya tertumbuk pada sejilid buku saku tipis berwarna coklat tua dengan tulisan kuning. Judulnya “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin.” Pengarangnya: H.O.K. Tanzil!

Siapa H.O.K. Tanzil?

Secara tak terduga, buku saku kecil terbitan 1982 (Penerbit Alumni) itu memberikan banyak informasi kepada saya soal sosok H.O.K. Tanzil.

Om Hok ternyata lahir di Surabaya tahun 1923. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran UI dan lulus tahun 1953. Tahun 1960 ia sudah meraih gelar Doktor Ilmu Kedokteran Mikrobiologi dan 14 tahun kemudian, 1974, ia diangkat jadi Guru Besar di FKUI. Namun, oleh sebab kesehatan, ia pensiun muda tahun 1975.

Artinya, ketika ia melakukan perjalanan yang akhirnya dirangkum dalam “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” ini, usianya sudah lebih dari setengah abad! Lucunya lagi, perjalanan-perjalanan itu ia lakukan berdua dengan istrinya, yang katanya sakit-sakitan.

H.O.K. Tanzil
Om Hok dan Istri berfoto di depan Opera House Sydney/Fuji Adriza

Untuk manusia berumur lebih dari 50 tahun, perjalanan-perjalanan yang dilakukan H.O.K. Tanzil lumayan ekstrem. Tahun 1975 di Amerika Tengah, ia dan istrinya road-trip panjang selama berbulan-bulan dengan sebuah “camper” VW 1972 yang dibelinya di Rotterdam. Pada sebagian besar perjalanan, mereka tidur dan memasak di lahan terbuka yang aman untuk memarkir mobil.

Petualangan mereka ke Amerika Tengah itu sebenarnya adalah fase akhir dari perjalanan akbar selama 160 hari. Kamu pasti bakal kaget mengetahui bahwa jarak yang ditempuhnya adalah 45.000 km “melintasi 16 negara Eropa, Kanada, 30 negara bagian AS, Mexico dan Amerika Tengah” (hal. 51).

Di Australia, Om Hok dan istrinya membeli tiket terusan bis Ansett Pioneer untuk menjelajahi separuh Benua Australia. Selama tiga pekan, rute mereka adalah Sydney, Canberra, Melbourne, Adelaide, Alice Springs, Ayers Rock, Alice Springs, Tennant Creek, Mount Isa, Brisbane, Toowoomba, Brisbane, dan kembali ke Sydney.

Kemudian mereka juga sempat ke Pasifik, ke Pulau Tahiti, Polinesia Perancis, sebelum melanjutkan petualangan ke semua negara di Amerika Latin! Kalau saja Om Hok jaya di zaman digital seperti sekarang, ia barangkali sudah jadi selebgram yang punya pengikut jutaan orang.

Merekam zaman, H.O.K. Tanzil mencatat pengalamannya sampai hal-hal terkecil

Dalam sebuah wawancara dengan R. Ukirsari Manggalani dari National Geographic Indonesia, Om Hok berkata begini tentang buku catatan: “Ini modal saya untuk menulis. Buku harian membantu saya mengingat.”

Pada kenyataannya, tulisan-tulisan H.O.K. Tanzil memang amat detail. Ia mencatat segalanya dari mulai tanggal pembuatan visa, jam keberangkatan pesawat, nama kota yang pernah dilintasi, orang-orang yang dijumpai, sampai harga BBM, rumah, atau mobil VW di negara-negara yang sedang dikunjunginya.

Jika memang ia lupa mencatat karena alasan tertentu—misalnya ketiduran atau saat itu malam sehingga ia tak bisa melihat nama daerahnya di plang—ia akan dengan jujur menuliskan bahwa ia tidak sempat mencatat nama kota yang dilalui.

H.O.K. Tanzil
Bagian pertama cerita petualangan Pasifik, Australia, dan Amerika Latin/Fuji Adriza

Baginya, catatan harian sangat berharga dan betul-betul ia jaga. Tapi sekali waktu ia juga pernah lalai; buku hariannya pernah hilang dalam perjalanan melintasi Eropa naik kereta. Setiba di stasiun tujuan, ia melapor ke kepala stasiun. Untungnya catatan itu masih utuh di tempatnya ditinggalkan.

Namun, tanpa disadari, dengan mencatat rincian-rincian itu H.O.K. Tanzil juga mengabadikan zaman. Jika dibaca di kemudian hari, buku ini akan memberikan pembacanya gambaran lengkap masa ketika perjalanan itu dilakukan. Misalnya, di halaman 136 ia menulis: “La Paz, Ibukota tertinggi di seluruh dunia, berpenduduk kira-kira 800.000 letaknya 12.500 kaki di atas permukaan laut.” Contoh lain adalah harga bensin. Pada bulan Agustus 1975 ia mencatat bahwa, “Bensin dibeli seharga Peso Mexico M $ 1,50 (=Rp. 50) per liter (± Rp. 66 di USA dan Rp. 55 di Indonesia waktu itu” (hal. 4).

Menonton di bioskop, tak pernah alpa walaupun sedang di rantau

Meskipun sibuk bertualang di negeri orang, H.O.K. Tanzil selalu merindukan Indonesia. Kerinduan itu mengejawantah dalam pemilihan busana. “Sudah kebiasaan saya untuk selalu memakai baju batik di luar negeri,” tulisnya.

Selain itu, di setiap kota yang dilintasinya, ia juga selalu menyempatkan waktu untuk mengecek kantor pos besar. Siapa tahu dari Tanah Air ada kabar. Namun, sampai halaman terakhir “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” tak ada satu pun surat yang ia terima. Kerinduannya terhadap Indonesia cuma diobati oleh pertemuan-pertemuannya dengan diaspora Indonesia.

H.O.K. Tanzil
INTISARI Oktober ’89/Fuji Adriza

Rindu itu juga berusaha ditawar oleh Om Hok dan istrinya dengan menyempatkan mampir di restoran-restoran Tionghoa terdekat (karena rasanya tak jauh beda dari makanan Indonesia). Kalau ada orang yang tekun, barangkali dari buku catatan perjalanan ini dapat disarikan sebuah daftar harga restoran-restoran Tionghoa di Pasifik, Australia, Amerika Latin antara 1975-1976!

Sepanjang perjalanan, hanya satu hal yang tak banyak ia komentari: bioskop. Sebagai penggemar film, setiap ada waktu, di manapun dan kapanpun ia selalu mengajak istrinya untuk nonton di bioskop-bioskop setempat.

Saat di Buenos Aires, mereka tak melewatkan kesempatan nonton film Oscar, “One Flew Over the Cucko’s Nest.” Sewaktu di Sao Paolo, yang ditonton adalah “Samurai,” “Russian Roulette,” dan “Hindenberg.” Di Rio de Janeiro, yang ditonton adalah “The Man Who Was to be King”² dan “Lucky Lady.” Di Curacao, Antillen Belanda, mereka berdua nonton film kung fu!


[1] 19/10/2017 H.O.K. Tanzil tutup usia di umur 94 tahun.

[2] Barangkali maksudnya “The Man Who Would Be King.”

The post Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/feed/ 1 3813
Kenapa Kamu Harus Menulis Catatan Perjalanan di Blog? https://telusuri.id/menulis-catatan-perjalanan-di-blog/ https://telusuri.id/menulis-catatan-perjalanan-di-blog/#respond Fri, 07 Dec 2018 09:00:51 +0000 https://telusuri.id/?p=11118 Akhir-akhir ini, banyak yang lebih senang membagikan perjalannya lewat postingan-postingan Instagram. Yang jadi patokan adalah likes. Semakin banyak likes, semakin puas pula orang yang memposting foto/video itu. Foto memang menarik. Bahkan, katanya satu lembar foto...

The post Kenapa Kamu Harus Menulis Catatan Perjalanan di Blog? appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini, banyak yang lebih senang membagikan perjalannya lewat postingan-postingan Instagram. Yang jadi patokan adalah likes. Semakin banyak likes, semakin puas pula orang yang memposting foto/video itu.

Foto memang menarik. Bahkan, katanya satu lembar foto sama saja dengan ribuan kata—apalagi video. Tapi, lama-lama kamu juga akan lupa detail perjalanan itu. Makanya, supaya kamu nggak melupakan detail-detail perjalananmu, selain motret dan ngambil video, coba deh ngeblog.

Kalau kamu belum yakin buat ngeblog, ini TelusuRI kasih alasan-alasan kenapa kamu harus menuliskan catatan perjalanan di blog:

1. Kamu bisa bercerita sedetail mungkin

Lewat blog, kamu bisa bercerita sedetail mungkin. Memang, sih, blog ada batas jumlah karakternya. Tapi banyak banget sampai-sampai seperti nggak terbatas. Kamu bisa menulis sampai beberapa ribu kata.

Jadi, kamu nggak perlu khawatir kehabisan tempat untuk bercerita. Kamu bisa menuliskan pengalamanmu berburu tiket, packing, sampai cerita-cerita seru yang kamu alami selama perjalanan. Untuk melengkapi tulisan, kamu juga bisa melampirkan foto dan video.

2. Kamu bisa sekalian—pelan-pelan—belajar menulis

Semakin sering kamu menulis di blog, semakin berkembang pula kemampuan menulismu. Setelah sekian lama mengisi blog kamu pasti bakalan kaget sendiri dengan perkembangan skill menulismu. (Makanya postingan di blog jangan dihapus meskipun itu adalah postingan yang jelek banget.)

Suatu saat, bukan nggak mungkin kalau ada seorang editor majalah perjalanan yang bakalan tertarik dengan tulisanmu dan menawarkan kamu buat jadi kotributor di medianya. Banyak banget cerita penulis yang memulai karirnya lewat ngeblog. Tapi, ya, kamu harus konsisten.

3. Bisa dapat “feedback” dari sesama blogger

Serunya, di blog ada fitur komentar yang memungkinkan orang buat… mengomentari tulisan kamu. Kamu bakalan dapat banyak masukan dari komentar-komentar mereka. Kalau kamu sudah ngeblog, kamu nanti bisa rasakan sendiri betapa senangnya mendapatkan respon dari orang lain yang membaca tulisanmu.

Selain itu, kamu juga bisa jalan-jalan alias blogwalking ke blog-blog lain. Kamu bakalan menemukan banyak pengetahuan baru yang bisa jadi referensi buat menulis. Lewat saling komentar di blog, kamu juga bisa sekalian mengembangkan jaringan. Pasti nanti ada saja teman-teman yang mengajakmu buat kopdar.

Jadi gimana? Mau coba menuliskan catatan perjalanan di blog?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenapa Kamu Harus Menulis Catatan Perjalanan di Blog? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menulis-catatan-perjalanan-di-blog/feed/ 0 11118
5 Kata dan Idiom yang Sering Banget Kamu Temukan dalam Catatan Perjalanan https://telusuri.id/kata-idiom-catatan-perjalanan/ https://telusuri.id/kata-idiom-catatan-perjalanan/#comments Sun, 12 Aug 2018 12:41:53 +0000 https://telusuri.id/?p=10155 Pejalan seperti kamu pasti seneng baca catatan perjalanan atau travelog. Catatan perjalanan memang punya energi misterius yang bisa menggerakkan pembaca buat bertualang. Tapi kamu sadar nggak sih kalau 5 kata dan idiom di bawah ini...

The post 5 Kata dan Idiom yang Sering Banget Kamu Temukan dalam Catatan Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Pejalan seperti kamu pasti seneng baca catatan perjalanan atau travelog. Catatan perjalanan memang punya energi misterius yang bisa menggerakkan pembaca buat bertualang.

Tapi kamu sadar nggak sih kalau 5 kata dan idiom di bawah ini sering banget kamu temukan dalam catatan perjalanan?

1. Surga

skill yang wajib dimiliki pejalan

Meloncat ke dalam air via pexels.com/Pete Johnson

Kata “surga” sering banget kamu temukan dalam catatan perjalanan, entah di metadata, judul, atau dalam tulisan inti. Selain buat menarik calon pembaca—siapa sih yang nggak mau masuk surga?—kata surga barangkali dianggap bisa mewakili keelokan sebuah destinasi. Penulisnya nggak perlu mendeskripsikan objek secara panjang lebar. Singkat saja: surga.

Tapi, kalau kita sudah telanjur menganggap sesuatu sebagai surga, berarti nggak ada yang perlu diubah lagi dong dari destinasi itu? Surga ‘kan jadi semacam destinasi impian, yang flawless alias tanpa kekurangan. Padahal di tempat-tempat yang kamu bilang “surga” itu mungkin saja masih banyak orang yang kekurangan, yang juga perlu dikasih kesempatan buat meraih kesuksesan seperti yang kamu peroleh.

2. Eksotis

skill yang wajib dimiliki pejalan

Oleh-oleh yang siap ditawar via pexels.com/Artem Bali

Selain surga, ada kata lain yang juga sering digunakan dalam catatan perjalanan, yakni eksotis. Eksotis ini adalah kata sifat alias adjektiva (kata bendanya “keeksotisan”). KBBI merangkum tiga arti eksotis. Pertama, memiliki daya tarik khas karena belum banyak dikenal umum; kedua, diperkenalkan atau dimasukkan dari luar negeri (tentang mode, gagasan, dan sebagainya); dan ketiga, bergaya asing; luar biasa, istimewa, aneh, ganjil.

Ternyata arti eksotis dalam juga, dan nggak selalu berkonotasi positif. Jadi, semisal kamu mau nulis catatan perjalan, pikirkan dulu masak-masak sebelum memasangkan kata sifat “eksotis” pada sebuah kata benda, entah destinasi atau orang.

3. “Hidden gem”

melakukan perjalanan

Pasir putih, laut biru via pexels.com/Riccardo Bressciani

Kamu juga pasti sering menemukan idiom “hidden gem” akhir-akhir ini dalam catatan perjalanan. Biasanya sih di judul, misalnya “Pantai X, Hidden Gem Yogyakarta yang Harus Kamu Kunjungi” atau “Berkunjung ke Hidden Gem Bali.” Hidden gem ini barangkali kalau disandingkan ke bahasa Indonesia hampir sama dengan idiom mutiara terpendam.

Tapi, kalau dipikir-pikir mutiara jadi berharga ‘kan karena mendapatkannya susah. Kalau di setiap pojok ada mutiara terpendam, lama-lama mutiara nggak akan jadi terasa berharga lagi—wong di mana-mana ada.

4. Puas

melakukan perjalanan

Menyaksikan matahari dari padang rumput via pexels.com/Victor Freitas

Salah satu kata yang juga secara luas digunakan dalam catatan perjalanan adalah “puas.” “Puas” nggak cuma tampil dalam berbagai blog, tapi juga pada terbitan-terbitan yang lebih serius seperti website perjalanan dan majalah. Biasanya kata itu muncul dalam kalimat seperti: “Puas berkeliling daerah X, kami lanjut ke Y yang dahulunya adalah lokasi terjadinya pertempuran dahsyat antara Y dan Z.”

Kalau cuma sekali membaca kata “puas” dalam sebuah tulisan, mungkin kamu nggak bakal kesel. Tapi kalau setiap beberapa paragraf sekali muncul kata puas, pasti lama-lama kamu jengah juga. (Padahal ada banyak alternatif lain dari “Puas bla bla bla,” misalnya, “Usai berkeliling daerah X, kami….” atau “Sehabis dari X, kami…”)

5. Menaklukkan

quotes tentang gunung

Menggapai puncak via pexels.com/Mursad Mijanovic

Kata yang ini sering banget muncul dalam tulisan-tulisan tentang pendakian gunung. Biasanya buat menceritakan pengalaman penulisnya saat tiba di puncak (“Akhirnya aku menaklukkan puncak tertinggi di Pulau Jawa,” “Setelah tiga kali mencoba, akhirnya aku berhasil menaklukkan gunung tertinggi di Indonesia”).

Padahal, Sir Edmund Hillary, orang pertama yang tiba di Puncak Everest bersama Tenzing Norgay, pernah bilang kayak gini: “It’s not the mountain we conquer—but ourselves.” Bukanlah gunung yang kita taklukkan—namun diri kita sendiri.

Kamu sendiri gimana? Sering pakai salah satu dari 5 kata dan idiom di atas?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Kata dan Idiom yang Sering Banget Kamu Temukan dalam Catatan Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kata-idiom-catatan-perjalanan/feed/ 3 10155