cepogo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cepogo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 09 Oct 2024 04:23:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 cepogo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cepogo/ 32 32 135956295 Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/ https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/#respond Wed, 09 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42815 Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya...

The post Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya Muda. Para anggota karang taruna mengemban tugas untuk menjaga tempat parkir dan stan yang ada di Pasar Ngatpaingan.

Pagi itu (14/07/04), setelah memberi makan rumput ke beberapa sapi ternakku, aku berangkat menunaikan tugas kepemudaan karang taruna. Meski Pasar Ngatpaingan buka sejak pukul 07.00 sampai 12.00, kami dilatih disiplin untuk mempersiapkan beberapa hal terlebih dahulu sebelum acara dimulai. Tidak hanya kedisiplinan, tetapi juga untuk melatih kekompakan dan gotong royong.

Sehari sebelumnya, tugas para pemuda-pemudi untuk acara Pasar Ngatpaingan sudah dibagi oleh koordinator kami. Mulai dari menjaga karcis masuk parkir, tempat parkir mobil dan motor, portal jalan, dan stan di pasar. Karena setiap sektor ada beberapa anggota, ketika acara sudah dimulai, kami diperbolehkan satu atau dua kali menengok Pasar Ngatpaingan secara bergantian. Ketika jatahku tiba, aku pergi sejenak untuk mengunjungi pasar.

Nilai Kearifan Lokal di Pasar Ngatpaingan

Sperti biasa, aku melihat seni pertunjukan terlebih dahulu yang ditampilkan di Pasar Ngatpaingan. Aku datang di waktu yang tepat pada pukul 09.00, saat pertunjukan seni reog dimulai.

Ada beberapa acara di Pasar Ngatpaingan. Kegiatan senam ibu-ibu PKK pukul 07.30–08.15, lalu kesenian reog pukul 09.00–10.30. Pengunjung bisa membeli camilan di stan-stan pasar untuk dinikmati sembari menonton pertunjukan. Dagangan yang dijual beragam, di antaranya getuk, tiwul, mentho, wajik, jadah, soto, siomay, dan es campur. Untuk stan karang taruna berbeda, kami menyediakan kopi, gorengan, dan nasi bakar. Tidak hanya makanan dan minuman, beberapa stan juga menyediakan dolanan anak dan sayur segar. Untuk bertransaksi di Pasar Ngatpaingan, pengunjung bisa membeli koin terlebih dahulu seharga Rp5.000 per koin. Para pedagang sendiri sudah mengatur dagangannya seharga koin yang ditukarkan.

Setelah menikmati pertunjukan dan jajanan yang ada, para pengunjung juga bisa mengabadikan momennya di photo booth yang disediakan. Di situ juga terdapat lurik yang bisa dipakai sebagai kostum saat berfoto.

Banyak nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari Pasar Ngatpaingan, seperti gotong royong dan kekompakan. Tidak hanya karang taruna, hal itu juga dilakukan warga desa yang menempati stan masing-masing di pasar. Sehari sebelum Minggu Pahing biasanya pemilik stan membersihkan pasar bersama-sama. Kemudian, saat acara sudah mulai, biasanya mereka saling bantu membawakan barang ke pasar.

Kami juga melestarikan budaya Jawa dengan mengenakan pakaian lurik. Nilai-nilai kearifan lokal lain juga tercermin dari pakaian lurik khas Jawa yang kami pakai. Lalu transaksi jual-beli layaknya pasar tradisional, terjadi interaksi sosial antarpengunjung dengan saling tegur sapa. Pertunjukkan reog sendiri juga menjadi nilai budaya yang tetap dipertahankan eksistensinya di sini.

Setelah pasar berakhir dan tugasku selesai, aku berencana mengitari desa. Aku menyambangi Candi Lawang dan melihat wujud kemandirian energi di desa ini.

  • Pertunjukan kesenian reog di Pasar Ngatpaingan/Danang Nugroho
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci

Menilik Candi Lawang

Aku mengunjungi Candi Lawang bersama ketiga saudaraku, yaitu Iqbal, Fadhil, dan Putra. Mereka kuajak menilik kembali monumen sejarah yang ada di desa sendiri. Kondisi candi saat kami berkunjung bersih dan terawat. 

Menurut sejarah, Candi Lawang pertama kali dilaporkan oleh P. A. Hadiwijaya, Kepala Perkebunan Sukabumi di Paras pada 1919. Temuan candi kala itu terkubur di tengah area kebun kopi. Setahun kemudian dilakukan ekskavasi atau penggalian di tempat penemuan candi.

  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci

Kompleks candi terdiri dari candi induk yang dikelilingi lima candi perwara. Candi induk berbentuk bujur sangkar dan sudah tidak utuh lagi. Hanya terlihat sebagian saja yang tersisa, yaitu pondasi, kaki, tangga masuk, dan bingkai pintu. Terdapat yoni dan bingkai pintu yang menjadi ciri khas candi ini. Karena penampakan pintunya yang menonjol, candi ini disebut Candi Lawang. Dalam bahasa Jawa, lawang berarti pintu. Sayangnya, candi-candi perwara yang mengelilingi candi induk sudah tidak utuh atau rusak.

Pada bagian kiri pintu candi induk terdapat inskripsi yang dibaca “ju thi ka la ma sa ts ka” dengan keadaan sudah agak samar. Huruf yang dipakai pada inskripsi adalah aksara Jawa Kuna yang banyak digunakan dan berkembang sekitar abad IX–X Masehi. Candi dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, di bawah pemerintahan raja-raja dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu.

Menghemat Biaya Listrik melalui Kotoran Sapi

Dari candi, kami menuju tempat pengolahan kotoran sapi (biogas) menjadi energi listrik. Jaraknya hanya 20 meter saja.

Biasanya, masyarakat di Dukuh Dangean dan sekitarnya memanfaatkan kotoran sapi hanya untuk biogas saja. Namun, kali ini berbeda. Tepat di belakang rumah Bapak Supomo, terdapat pendapa dan mesin generator sebagai tempat konversi energi biogas menjadi energi listrik pertama di Dangean.

Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
Mesin PLT-Biogas di Dukuh Dangean/Danang Nugroho

Pada 2020, warga masyarakat Dangean gotong royong untuk membangun pendapa tersebut. Setelah pendapa jadi, Bapak Supomo dan rekan-rekan lain yang mengetahui tentang mesin generator konvertor itu mulai merakit dan memasangnya. Akhirnya, setahun kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLT-Biogas) bisa digunakan. 

Hingga kini, biogas yang berada di belakang rumah Bapak Supomo sudah bisa dimanfaatkan untuk menerangi 20 lampu jalan yang ada di bagian timur dukuh. Tentu inovasi ini mampu mengurangi biaya listrik tiap warganya. Sebelumnya lampu jalan terhubung ke listrik masing-masing rumah.

Rencananya, PLT-Biogas akan dipasang di beberapa titik lagi mengingat luasnya wilayah Dukuh Dangean. Semakin luas jangkauan, semakin terasa manfaat konversi energi ini. Dukuh-dukuh lain nantinya juga bisa meniru dan mencontoh implementasi Desa Mandiri Energi (DME) di Dangean.

Paket Lengkap di Minggu Pahing

Dukuh Dangean masih menjadi tempat yang asri dari dulu sampai sekarang, karena lokasinya yang terletak di lereng Gunung Merapi. Di setiap sudut jalan, ada majalah dinding (mading) yang memperlihatkan nilai-nilai kearifan lokal. Mading-mading tersebut mencantumkan tulisan-tulisan berbahasa Jawa yang maknanya begitu dalam, seperti “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, “Mulat sarira hangrasa wani”, Ajining diri gumantung ing lathi”, “Sirna dalane pati, nur sifat, luber tanpo kebek”, “Jer basuki mawa beya”, danAlon-alon asal kelakon”.

Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
Papan informasi sejarah Dukuh Dangean/Danang Nugroho

Sebagai kampung wisata, selain acara Pasar Ngatpaingan, Dangean juga menawarkan paket outbound bagi siapa saja yang berminat. Reservasi bisa melalui Instagram @wisatadangean atau datang langsung. Dalam paket ini, tamu akan diajak memerah susu sapi, menanam dan mengambil sayuran, mengunjungi Candi Lawang, dan melihat kawasan DME.

Kemudian di pintu utama bagian timur dukuh, terdapat plang yang menginformasikan tentang profil Dukuh Dangean. Selain wisata, ada juga informasi terkait acara sadranan di dukuh ini. Sadranan atau nyadran berasal dari kata Sradha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam dan tabur bunga oleh masyarakat Jawa. Puncaknya berupa kenduri di makam leluhur. Sadranan hanya dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah.

Menurutku, Minggu Pahing adalah waktu yang paling tepat bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Wisata Dangean. Sebab, pengunjung bisa menikmati paket lengkap yang tersedia dalam satu hari yang sama, mulai dari Pasar Ngatpaingan, Candi Lawang, dan Desa Mandiri Energi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/feed/ 0 42815
Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/ https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/#respond Mon, 29 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41045 Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan. Jika dicari melalui peta digital,...

The post Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan.

Jika dicari melalui peta digital, Cabean Kunti berada di utara Desa Paras. Warga Paras sangat mengenal desa tersebut. Apabila ingin bertanya lokasi Petirtaan Cabean Kunti—tujuan saya kali ini—pasti diarahkan. Seperti yang saya lakukan tempo hari.

“Oh, itu, Mas! Ada papan petunjuk menuju MTs Negeri 7 Boyolali. Ikuti jalan itu saja terus. Nanti lewat tiga jembatan, nah jembatan yang ketiga [sudah masuk] kawasan Petirtaan Cabean Kunti,” salah satu warga memberi arahan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Tampak Petirtaan Cabean Kunti sisi barat jembatan/Ibnu Rustamadji

Dari jalan utama Boyolali—Magelang, saya menyusuri jalan desa 10 menit saja. Setibanya di Dukuh Kunti, hilir mudik warga setempat setia mewarnai sepanjang perjalanan. Sisi kiri dan kanan jalan menuju dukuh tersebut terhampar perkebunan dengan beragam varietas. Hanya saja, tidak ada warga beraktivitas di pinggiran perkebunan yang bisa saya tanya. Mereka biasa berkebun di dalam.

“Ah, ya sudah. Pokoknya lurus ikut jalan ini dulu. Ketemu sesepuh baru bertanya,” batin saya.

Selama perjalanan, saya tidak menjumpai gapura tanda masuk pedukuhan. Padahal dukuh lainnya ada. Tidak butuh waktu lama, akhirnya saya tiba di Petirtaan Cabean Kunti. Tidak ada warga atau juru kunci di situs bersejarah ini.

Saya putuskan untuk segera menelusuri seluruh kawasan petirtaan. Tidak adanya warga dan minimnya informasi bukan suatu masalah bagi saya, asalkan bisa mengabadikan setiap jengkal perjalanan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Akses menuju Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Peninggalan Wangsa Syailendra Sejak Abad ke-9

Cabean Kunti merupakan penamaan sumur mata air. Petirtaan Cabean Kunti memiliki sekitar tujuh sumber mata air sebagai sarana ibadah masyarakat Hindu dan Buddha di wilayah Cepogo. Ketujuh sumber tersebut bernama Sendang Jangkang, Sendang Sidotopo, Sendang Lerep, Sendang Kaprawiran, Sendang Panguripan, Sendang Kaputren, dan Sendang Samboja.

Ada dugaan tujuh sumur tersebut dibangun dan digunakan sezaman dengan Candi Lawang dan Candi Sari. Tujuannya terutama untuk mempermudah umat Hindu dan Buddha mensucikan diri sebagai salah satu sarana ibadah kedua candi tersebut. Ibadah biasa berlangsung tidak lama setelah upacara penyucian diri.

Hal ini dikuatkan dengan gaya arsitektur situs Petirtaan Cabean Kunti layaknya bangunan candi Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Namun, sayang hanya satu situs sumur yang memiliki relief beraliran agama Buddha. Ada dugaan petirtaan ini merupakan hasil penyatuan dua agama, yakni Hindu dan Buddha.

Relief yang terpahat pada salah satu sumur mata air, Sendang Lerep, bermotif sosok manusia menyunggi perbekalan di atas kepala dan juga motif burung merak. Maknanya adalah sumber mata air tersebut memiliki keterikatan antara manusia dan alam. Tidak dapat dipisahkan. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Detail relief sumur Sendang Lerep di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Faktanya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas pemberian alam, setiap tahunnya masyarakat Dukuh Kunti menggelar upacara sedekah bumi di kawasan petirtaan. Begitu kira-kira dugaan saya mengenai arti yang tersembunyi di balik relief Sendang Lerep.

Merujuk pada papan informasi yang ada, Petirtaan Cabean Kunti diperkirakan dibangun pada masa Ratu Dyah Wara dari Wangsa Syailendra, Mataram Kuno guna mendukung tempat pendarmaan atau pertapaan untuk belajar ilmu agama di kawasan Candi Lawang dan Candi Sari. Petirtaan ini dibangun pada masa klasik, yaitu sekitar abad VIII hingga IX Masehi.

Petirtaan Cabean Kunti memang berada tidak jauh dari kedua candi tersebut. Terletak di pinggiran Sungai Kunti. Hanya saja untuk mencapai petirtaan harus melalui jembatan Dukuh Kunti. Hal ini terjadi karena ketujuh sumur mata air berada tersebar di sisi Barat dan Timur jembatan. 

Tiga sumur di barat dan dua di timur. Sisanya berada di selatan jembatan. Selama penelusuran saya menemukan beberapa sumur memiliki batuan halus, tetapi tidak merata. Usut punya usut, batuan halus tersebut saya duga terjadi karena aktivitas mandi dan mencuci yang dilakukan warga sekitar saat sore. Sangat disayangkan jika harus terjadi seperti itu.

Tidak lama kemudian dugaan saya terjawab. Tampak seorang ibu paruh baya berjalan seorang diri menuju Sendang Keputren. Pasti si ibu akan mencuci di dekat sumur mata air, pikir saya.

Benar saja. Ia mencuci pakaian dan mandi di sendang tersebut tidak lama kemudian. Sendang Keputren artinya mata air untuk perempuan. Tentu khusus dan terpisah dengan sumur mata air untuk pria. Si ibu memang boleh memanfaatkan air di Sendang Keputren. Namun, karena ketidaktahuannya mengubah karakteristik gaya bangunan sumur mata air.

Beranjak 20 meter darinya, tampak sumur mata air berbentuk persegi tidak beraturan berada di bawah naungan pohon beringin. Tidak banyak tambahan informasi yang bisa saya dapat mengenai petirtaan ini, selain hanya sepotong informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Kondisi salah satu sumur di bawah pohon beringin/Ibnu Rustamadji

Warisan Bersejarah yang Harus Dilestarikan

Latar belakang keagamaan dapat dilihat dari relief manusia dan binatang pada Sendang Lerep, yang diperkirakan merupakan tantri atau cerita binatang berisi ajaran moral pada agama Buddha. Fungsi Petirtaan Cabean Kunti adalah sebagai bangunan suci mengingat muatan moral tersebut. 

Berdasar pendapat para ahli, ada dua kemungkinan tokoh pendiri Petirtaan Cabean Kunti. Pertama, dibangun oleh bangsawan yang mengasingkan diri. Kedua, dibangun oleh pertapa yang ingin mencapai moksa.

Hingga saat ini tidak ada penjelasan yang rinci mengenai pendiri dan tujuan pembangunan situs tersebut. Yang jelas, petirtaan tersebut merupakan hasil karya manusia yang hidup pada zaman sekitar abad ke-9 Masehi di kawasan timur Gunung Merapi tersebut.

Keberadaan sumur tujuh mata air Cabean Kunti terlindungi oleh naungan pepohonan. Menambah kesan estetik bagi siapa pun yang berkunjung. Tidak ada rasa takut menggelayuti selama penelusuran, justru rasa nyaman dan tenang yang saya rasakan.

Hal ini mungkin terjadi karena saya memegang prinsip untuk selalu menjunjung tata krama dan sopan santun di mana pun berada. Seperti halnya bertamu di rumah orang lain. Harus mengikuti aturan dan adat yang berlaku serta tidak memaksakan ego pribadi. Terlebih jika aturan tersebut tercipta dan tidak tertulis, maka harus sangat dihormati dan berupaya bijak dalam perkataan maupun tindakan.

Walaupun kondisi Petirtaan Cabean Kunti jauh dari kata mewah, sudah sepatutnya kita ikut menjaga kelestarian warisan budaya, lingkungan, dan mata air yang ada. Musim kemarau berkepanjangan, seperti saat ini, debit mata air pun ikut surut. Aliran sungai di depannya turut terdampak. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Satu dari enam sumur mata air tanpa relief di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Meski sumber mata air tersebut tidak sepenuhnya dialirkan menuju permukiman, alangkah baiknya jika Petirtaan Cabean Kunti dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilestarikan menjadi ruang terbuka hijau layaknya Candi Lawang dan Candi Sari. 

Jika tidak mampu dikelola, ke depannya dapat digunakan sebagai pusat konservasi dan penelitian, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Besar Bengawan Solo, maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional. Daripada dibiarkan begitu saja dengan perawatan yang sederhana.

Hingga menjelang petang tidak ada warga yang beraktivitas di sekitar petirtaan Cabean Kunti selain ibu tadi. Akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penelusuran. Tidak lupa saya membersihkan diri di Sendang Lerep, sebagai tanda memungkasi kegiatan saya di situs cagar budaya tersebut. Rasa segar dan dinginnya suhu pegunungan bercampur menjadi satu.. 

Hening dan tenang seketika menyeruak, ketika sinar matahari senja mulai berwarna oranye dan suara tonggeret bersahutan. Suasana khas pedesaan yang sudah sangat jarang dirasakan langsung datang menghampiri. Harapan besar saya, semoga ketujuh sumur mata air Cabean Kunti senantiasa memberikan kehidupan yang berkesinambungan antara alam dan masyarakat setempat. Dan juga ekosistem alam yang ada tidak berubah, sebagai bagian dari kehidupan sebuah desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/feed/ 0 41045
Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali https://telusuri.id/menghadiri-tradisi-sadranan-ala-desa-sumbung-di-boyolali/ https://telusuri.id/menghadiri-tradisi-sadranan-ala-desa-sumbung-di-boyolali/#respond Fri, 11 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39581 Perjalanan saya kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya saya mengunjungi situs peninggalan kolonial atau rumah pengusaha abad ke-18, perjalanan yang saya lakukan sebelum Ramadan kala itu ingin menyelami lebih jauh budaya dan adat...

The post Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya saya mengunjungi situs peninggalan kolonial atau rumah pengusaha abad ke-18, perjalanan yang saya lakukan sebelum Ramadan kala itu ingin menyelami lebih jauh budaya dan adat warga lereng Gunung Merapi dan Merbabu di Boyolali. Meski Ramadan sudah berlalu, tetapi tidak dengan rasa kebahagiaan dan kekeluargaan yang terpancar ketika berada di Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo.

Bagi kalian yang tinggal di lereng gunung atau pinggiran kota, tentu tidak asing dengan tradisi Sadranan atau Nyadran. Setiap tahun menjelang Ramadan, saya tidak melupakan Nyadran sebagai amanat yang harus kita pertahankan supaya tidak lupa asal dan leluhur yang sudah wafat.

Begitu juga dengan warga Sumbung. Mereka menggelar Sadranan sebagai bagian dari budaya dan adat yang mereka warisi secara turun temurun dari para leluhur setempat. Bagi sebagian masyarakat di luar sana, Nyadran identik dengan makan bersama dan ajang silaturahmi. Dan itu yang saya alami selama sehari mengikuti Nyadran.

Namun, jangan salah sangka. Warga mempersiapkan tradisi tersebut sejak satu bulan sebelumnya. Biaya yang mereka keluarkan pun terbilang tidak sedikit untuk menjamu tamu dan menggelar acara bersih desa. 

Sejarah dan Substansi Sadranan

Sadranan berlangsung setiap tahun hampir di setiap daerah di Jawa. Akan tetapi, tidak semuanya menggelar makan bersama, terkadang hanya bersih makam dan mendoakan leluhur. Adapun warga Desa Sumbung mengadakan acara makan-makan selepas bersih makam dan berdoa bersama.

Penyebaran pandemi Covid-19 sempat membuat upacara Sadranan di seluruh wilayah Boyolali vakum selama dua tahun. Hanya boleh melakukan ziarah dan bersih makam. Ari Wibowo dan keluarganya, rekan saya yang asli warga Desa Sumbung, turut merasakan masa-masa itu. Ketika pandemi berakhir dan pemerintah mengizinkan kembali penyelenggaraan kegiatan kebudayaan, Ari mengabarkan saya jika sadranan kembali digelar. Ia memberitahu dua hari sebelum acara.

Sadranan atau Nyadran, berasal dari kata sraddha yang artinya keyakinan atau kepercayaan. Tujuan tradisi ini adalah untuk mendoakan leluhur yang sudah wafat sebelum memasuki Ramadan, bulan puasa nan suci. Biasanya digelar pada bulan Syakban (Hijriah) atau Ruwah (penanggalan Jawa).

Seiring perkembangan zaman, Sadranan memuat acara kesenian dan kebudayaan. Wujud akulturasi budaya Jawa dan Islam. Hidup di desa berarti harus siap dengan segala konsekuensi dan tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya kewajiban gotong royong atau dalam bahasa Jawa nyengkuyung semua budaya dan adat yang sudah ada secara turun-temurun di desa.

Sebagai pelengkap, di akhir upacara digelar kembul bujono atau makan bersama di lingkungan makam. Namun, tradisi Sadranan merupakan adat turun-temurun dan setiap daerah bisa jadi berbeda.

Menurut rekan saya, “Ini [Sadranan] tradisi turun-temurun. Tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali digelar. Orang tua pun tidak tahu. Intinya tiap tahun akhir bulan Ruwah, mau puasa, seluruh warga desa ke makam untuk besik (bersih) makam, doa, dan diakhiri kembul bujono (syukuran).” 

Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali
Persiapan awal kirab, tampak wadah berisi makanan-makanan tradisional/Ibnu Rustamadji

Tamu yang Serasa Keluarga

Selama saya mengikuti proses dari awal hingga akhir, apa yang Ari sampaikan benar adanya. Sadranan mulai sekitar pukul 08.00 pagi, rutenya kirab dari desa menuju makam. Kirab terdiri dari perwakilan setiap rumah tangga dengan bekal masing-masing untuk kembul bujono bersama.

Makanan tradisional tersaji, isinya urap sayur, ayam ingkung, lauk pauk dan beberapa jajanan pasar tradisional. Sesampainya di makam, mereka melakukan besik makam dan doa bersama. Setelah didoakan pemuka agama, kembul bujono pun berlangsung dan warga saling menukar makanan yang dibawa.

Semua agenda inti selesai sekitar pukul 10.00. Warga kembali ke rumah masing-masing untuk persiapan kedatangan tamu. Para tamu tidak hanya tetangga, penduduk desa sebelah, atau teman sekolah anak-anak mereka. Saya pun diterima dengan penuh suka cita. Bagi warga, kedatangan para tamu merupakan berkah dari Yang Mahakuasa. 

Hal menarik selama saya berada di rumah rekan, sang ibu terkejut mendapati saya ikut mengabadikan momen perayaan ini. Ia tidak tahu keberadaan saya sebelumnya. Sang ibu menyampaikan ungkapan terima kasih dalam bahasa Jawa dengan nada terisak, “Oalah, Mas, Mas! Mbokdhe tidak tahu kalau kamu datang! Terima kasih sudah berkenan hadir, Mas. Kalau tahu mau datang, mendingan tidur sini. Ikut acaranya dari pagi. Silakan lanjutkan dulu. Kalau mulai lapar, langsung masuk rumah.”

Saat yang saya tunggu akhirnya tiba. Setelah dari pagi ikut di makam hingga siang, tiba waktunya makan bersama. Lagi-lagi, terjadi kejadian yang tidak saya duga. Sewajarnya tamu disuguhkan teh atau minuman ringan seperti soda. Akan tetapi, tidak bagi rekan saya. Ia membuatkan saya segelas kopi hitam khas Desa Sumbung. Padahal tidak ada yang minum kopi selain saya.

“Kopinya nanti saja. Minum teh dulu, ngemil, makan selesai, baru ngopi,” canda saya..

Sembari menghabiskan waktu obrolan kami, mata saya tertuju pada plastik hitam di atas meja. Isinya tape ketan berbungkus daun pisang. Pernahkah mencoba makan tape ketan dengan emping goreng? Rasanya enak. Cobalah sesekali. Selama mengikuti Nyadran di di sini, saya menghabiskan enam bungkus.

Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali
Kembul bujono dalam rangkaian Sadranan/Ibnu Rustamadji

Pesan dari Sadranan

Ada hal menarik dan harus kita pahami ketika mengunjungi kehidupan warga desa. Selain menaati aturan dan adat yang berlaku. Pertama, jangan takut atau malu bertegur sapa dengan warga yang lebih tua. Kedua, anggap mereka saudara serta usahakan menerima semua kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki.

Menurut penuturan sesepuh desa, Sadranan atau Nyadran memiliki nilai budaya yang cukup tinggi di masyarakat. Nyadran merupakan momen bagi mereka yang masih hidup dan memiliki tanggung jawab untuk mendoakan leluhurnya yang telah wafat sebagai bentuk penghormatan.

Menurut saya, maknanya lebih dari itu. Nyadran amat erat kaitannya dengan kehidupan warga desa, begitu juga dengan rangkaian upacara yang mereka lalui. Upacara bertujuan memperkokoh rasa kerukunan dan kekeluargaan antarwarga. 

Dalam pandangan saya, secara keseluruhan rangkaian upacara Nyadran memiliki maksud untuk tetap melestarikan budaya supaya tidak kehilangan jati diri. Dan terus mengingat asal usul dari leluhur yang telah wafat. Bagi mereka yang merantau, diharapkan kembali sesaat ke tanah kelahirannya untuk ziarah kepada leluhur.

Saya juga melihat mereka yang tengah merantau di Jakarta dan Surabaya menyempatkan diri hadir di Sadranan. Bagi mereka, Sadranan sama seperti Hari Raya Idulfitri. Semua keluarga berkumpul untuk ziarah dan makan bersama, lalu lanjut silaturahmi ke sanak saudara lainnya.

Bagi kalian yang baru pertama mengikuti upacara Sadranan, jangan terkejut apabila mendapat pesan seperti ini, “Mas, tahun depan ke sini lagi, ya? Kita tunggu pokoknya. Kalian sudah kita anggap keluarga juga di sini!”

Pesan itu saya dapat di tengah perbincangan dengan rekan saya dan sang ibu. Mereka pun juga sudah saya anggap sebagai keluarga. Sebelumnya sang ibu sempat menangis, lantaran saya tidak bisa memenuhi undangan Nyadran setahun lalu. 

Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali
Suasana keakraban sesama warga saat Sadranan di Desa Sumbung/Ibnu Rustamadji

Pamit

Waktu hampir menjelang malam. Tidak nyaman kalau terlalu berlama-lama di sini. Sadranan di Desa Sumbung sebenarnya bisa berlangsung hingga tengah malam. Tergantung pemilik rumah. Apakah mereka tidak beristirahat? Tentu saja, iya. Namun, tidak lama karena tamu datang silih berganti.

Mempertimbangkan situasi saat itu, akhirnya saya putuskan untuk bergegas kembali ke kota Boyolali. Sepanjang perjalanan turun pun tak kalah heboh dengan di desa. Hampir seluruh warga tumpah ruah di jalan utama Boyolali—Magelang. Mereka hilir mudik untuk bertandang ke rumah rekan atau saudara.

Pihak yang mendapat kelimpahan rezeki tidak hanya warga desa. Kios-kios di sepanjang jalan ramai pembeli. Wujud nyata manfaat Sadranan, yang mulanya hanya di desa kini memberi dampak luar biasa untuk sektor ekonomi dan pariwisata.

Tentu tanpa bermaksud meninggalkan nilai budaya dan adat dari setiap desa yang menyelenggarakan Sadranan. Ziarah leluhur tetap menjadi prioritas, sedangkan kelimpahan rezeki merupakan nilai tambah dari tradisi tersebut. Begitulah pesan yang saya simpulkan dari perjalanan mengikuti Nyadran kali ini.

Selain keramahan dan kehangatannya, hal paling menarik dari warga desa di lereng gunung adalah rasa rendah hati dan senantiasa menyadari kekurangan yang mereka miliki. Terlebih ketika mereka tengah bekerja di ladang. Hanya rasa kagum dan hormat yang bisa saya sampaikan.

Apabila bertemu mereka di pinggir ladang, jangan sungkan untuk menyapa. Setidaknya berkata: permisi, Pak/Bu, numpang lewat; pasti akan dijawab dengan menawari kita untuk mampir ke rumah mereka. Padahal kita tidak saling kenal, tetapi mereka senang dengan hal-hal sederhana seperti ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menghadiri-tradisi-sadranan-ala-desa-sumbung-di-boyolali/feed/ 0 39581