cerita foto Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cerita-foto/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 10 Jun 2025 04:47:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 cerita foto Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cerita-foto/ 32 32 135956295 Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/ https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/#respond Mon, 09 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47351 Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian. Teks & foto:...

The post Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai appeared first on TelusuRI.

]]>
Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian.

Teks & foto: Mochamad Rona Anggie


Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Pendaki mengintip ke arah Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Para pendaki Gunung Ciremai yang naik via Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka) bakal melintasi Pos 9 Goa Walet. Sampai pos ini, kondisi pendaki biasanya sudah kelelahan. Medan berbatu menguji mental dan ketahanan fisik. Dalam beberapa situasi, ada saja pendaki yang menyerah. Memilih tak meneruskan ke puncak. Takluk oleh tanjakan Goa Walet.

Semakin tinggi, jalur memang bertambah terjal. Belum lagi rimbunnya pepohonan cantigi, membuat pendaki mesti tetap fokus menentukan langkah. Jangan sampai salah jalur karena bisa terperosok ke jurang.

Sebenarnya, jarak dari Goa Walet ke titik tertinggi Jawa Barat tinggal 280 meter. Tapi, ya, itu tadi. Lutut ketemu dagu ketika menaiki bebatuan besar dengan kemiringan 60–75 derajat. Kalau kalah mental, selesai. Puncak tak tergapai.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Jalur terjal berbatu dari Goa Walet menuju puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Dekat di Mata, Jauh di Kaki

Perjalanan summit attack (menuju puncak) dari transit camp (TC) terakhir di Pos 6 Pasanggrahan, saya melewati Pos 7 Sanghiyang Ropoh dan Pos 8 Simpang Apuy sebelum tiba di Goa Walet. Pos 7 adalah batas vegetasi. Pepohonan besar khas hutan hujan tropis dengan kanopi rapat, berganti tanaman perdu (rerumputan) serta bunga edelweis. 

Pemandangan selepas Sanghiyang Ropoh semakin terbuka. Kalau cerah, puncak terlihat jelas. Menambah semangat untuk segera sampai. Namun, jalur konstan menanjak. Medan tanah-berakar antara Pos 6 ke Pos 7, berubah bebatuan dan kerikil. Pendaki rentan merosot. Harus pandai memilih pijakan. 

Menuju Simpang Apuy, kita bakal tersadar, ternyata puncak begitu dekat di mata, jauh di kaki. Ya, begitulah kalau sudah berada di medan terbuka. Target perjalanan seolah sebentar lagi tergapai, tetapi nyatanya masih harus berjuang sekuat tenaga mewujudkan keinginan muncak.   

Kiri: Area Pos 8 Simpang Apuy. Ketika turun ke kiri rute Palutungan, ke kanan Apuy. Kanan: Rimbun habitat cantigi di sekitar Pos 9 Goa Walet, menambah tantangan tersendiri agar jangan salah jalur saat menuju puncak/Mochamad Rona Anggie

Dulu, Boleh Buka Tenda di Goa Walet

Pada pendakian 9 April 2025, saya naik Ciremai bareng Evan Hrazeel Langie (Ali). Saya mendampingi salah satu anak kembar saya itu, dalam upayanya menggapai puncak untuk keempat kalinya. Ali mau menyamai capaian saudara kembarnya, Rean Carstensz Langie (Zaid) dan adiknya, Muhammad, yang berhasil keempat kalinya menapaki atap Jawa Barat pada 6 Oktober 2024. Sementara pendakian perdana mereka ke Ciremai berlangsung 15–16 Agustus 2022. Waktu itu Muhammad kelas 1 SD, Zaid dan Ali kelas 6. Alhamdulillah, berhasil muncak dan turun dengan selamat.

Sebelumnya, saya terakhir mendaki Ciremai pada 31 Mei 2012, bersama sohib SMAN 3 Kota Cirebon yang kini berdomisili di Yogyakarta, Peri Surya Febianto, plus seorang rekan anggota Himapala STT Mandala Bandung, Yudi Marsahid. Ketika itu saya dan Peri sudah bekerja, sedangkan Yudi baru lulus kuliah di usia 27 tahun. Kami mendaki via Palutungan dan menyempatkan turun ke Goa Walet. Zaman itu gunung belum seramai sekarang. Hanya ada kami bertiga di Goa Walet. Pun saat tiba di puncak, tak ada pendaki lain.

Kiri: Jalan setapak di atas awan, mengarah ke Goa Walet sebelum berbelok turun. Kanan: Muhammad (7 tahun), scrambling mendekati pucuk Ciremai pada pendakian perdananya, 16 Agustus 2022/Mochamad Rona Anggie

Tahun 2002, saya pernah berkemah di depan Goa Walet. Gunung Ciremai belum berstatus taman nasional. Belum ada larangan buka tenda di sana. Kalau sekarang, dilarang camping di area Goa Walet. Menghindari potensi sampah dan bahaya kebakaran. Sebab, lazimnya saat memutuskan berkemah di tengah pendakian—terlebih di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl—pendaki akan membuat perapian untuk menghalau dingin dan binatang yang coba mendekat.

Saat berkemah di Goa Walet itu, saya mendaki bersama tiga orang teman via Apuy. Di Goa Walet sudah ada tim pendaki lain dari perkumpulan pencinta alam Curah Rimba yang berbasis di Pangandaran, Ciamis.

Saya ingat betul “hantu” dingin leluasa menggigit tubuh kami. Perlengkapan masih terbatas. Kami bawa tenda prisma yang biasa dipakai pramuka, bukan tenda dome. Tak punya kantung tidur, hanya pakai sarung. Kaus kakinya tipis. Dingin menyerbu masuk tenda. Saya bungkus kedua kaki pakai kresek dan diikat sebisanya. Tubuh menggelepar sepanjang malam, bertarung melawan dingin.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Rupa mulut Goa Walet dan vegetasi rimbun di sekitarnya pada 2022/Mochamad Rona Anggie

Memasuki Goa Walet bersama Ali

April lalu, saya dan Ali sampai di titik tertinggi Ciremai (3.078 mdpl) pukul 06.00 WIB. Cuaca cerah. Pemandangan tak tertutup kabut. Setengah jam menikmati suasana puncak sudah cukup buat kami. Sebotol susu cokelat dan sekerat roti, mengisi tenaga untuk kembali bergerak.

Perjalanan turun selalu ditempuh lebih cepat. Namun, tetap harus waspada, jangan terlena. Turunan curam mengadang. Melangkah perlahan saja, tak perlu buru-buru. Hindari banyak melompat. Khawatir persendian lutut cedera karena entakan berlebih.

Hari masih pagi. Langit biru menaungi. Begitu sampai Pos 9 Goa Walet, saya ajak Ali turun melihat langsung gua. Awalnya Ali menolak. Ia ingin cepat sampai tenda lagi di Pos 6, lalu berkemas pulang. Tapi saya yakinkan, waktu sangat memungkinkan. Tidak akan kesorean di jalan. Dan, kapan lagi bisa mampir Goa Walet? Akhirnya Ali mengikuti langkah saya menuju gua.

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Beberapa pendaki terlihat memasuki Goa Walet saat kami tiba setelah turun dari puncak, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie

Dari jalur naik, mau ke Goa Walet belok kanan. Sementara yang turun dari puncak, ikuti setapak ke kiri. Jalannya terlihat jelas. Tidak tertutup semak. Usai setapak landai, jalur menurun hingga tiba di pelataran depan mulut gua. Kalau dihitung vertikal dari atas ke Goa Walet sekitar 50 meter. Adapun jaraknya kurang dari seratus meter. 

Pendaki lain ada yang turun juga ke Goa Walet. Mereka mau mengisi perbekalan air. Dulu, tahun 2002 saat saya masuk ke gua, banyak bekas botol air mineral menampung tetesan air dari stalaktit yang menggantung di langit-langit gua. Banyak air terisi dalam botol-botol itu. Para pendaki memanfaatkannya untuk keadaan darurat (kehabisan air saat perjalanan naik atau turun dari puncak). 

Tapi kemarin, botol-botol itu sudah tidak ada. Berganti sebuah gentong plastik berisi air, sementara di satu sudut gua ada cerukan tergenang air. Para pendaki mengambil air dari cerukan.

Kiri: Pendaki yang kehabisan air, memanfaatkan genangan air dalam gua untuk mengisi ulang botol minum mereka. Kanan: Bunga edelweis yang sedang mekar di area Pos 9 Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Sudah Dikunjungi sejak Hampir 100 Tahun Lalu

Mengutip akun Instagram resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) di @gunung_ciremai, penampakan Goa Walet dari atas seperti cekungan menyerupai kawah. Di dinding barat cekungan, terdapat lubang besar yang disebut Goa Walet, karena konon tempat bersarang burung walet.

Seorang peneliti Belanda, Van Gils mengungkapkan, Goa Walet merupakan kawah yang tercipta akibat erupsi gunung Ciremai kisaran 1917. Di sekitar Goa Walet tumbuh flora edelweis (Anaphalis javanica), cantigi (Vaccinium varingifolium), dan sengon gunung (Albizia montana). TNGC melarang pendaki camping di kawasan Goa Walet demi menjaga keasriannya.

Tangkapan layar Instagram TNGC yang membandingkan foto Goa Walet tahun 1929 dan 2022. Nyaris seabad silam, gua di bawah puncak Ciremai ini sudah dikunjungi manusia

Selepas menziarahi Goa Walet, saya dan Ali melanjutkan perjalanan turun gunung. Kami tiba di Pos 6 pukul 09.00, rehat sejenak lalu melipat tenda. Target kami zuhur sampai Pos 1 Cigowong dan lanjut berjalan menuju titik finis basecamp Cadas Poleng, Palutungan, pukul 13.45. Kami kembali ke rumah di Cirebon pukul lima sore. 

Pendakian yang menyenangkan. Semoga Gunung Ciremai senantiasa lestari.


Foto sampul:
Perlu keberanian menziarahi Goa Walet. Tampak pendaki keluar dari mulut gua yang berada di bawah jalur pendakian Apuy dan Palutungan, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/feed/ 0 47351
Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/ https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/#respond Wed, 31 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42433 Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak. Teks & foto: Rifqy...

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Kabut pagi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Selain malam bertabur bintang, hal ikonis lainnya yang ditunggu-tunggu pendaki di Ranu Kumbolo adalah matahari terbit. Saking identik dan populernya, kalau mengetikkan nama danau ini di mesin peramban, tak terhitung potret pagi telaga suci itu yang berseliweran menghiasi dunia maya. Seperti halnya Danau Segara Anak yang melekat pada Gunung Rinjani, Lombok, begitu pun Ranu Kumbolo dan Gunung Semeru.

Normalnya, pendaki akan menginap setidaknya satu malam di Ranu Kumbolo. Baik itu sebelum menuju Kalimati-Mahameru atau sesudahnya. Kondisi ideal sejatinya adalah dua malam dihabiskan di Ranu Kumbolo, dengan program pendakian empat hari tiga malam. Semalam sebelum ke Kalimati, semalam sebelum turun ke Ranu Pani. Saya pernah merasakannya, dan percayalah, Ranu Kumbolo benar-benar menyuguhkan nuansa yang berbeda. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Embun es di semak-semak Ranu Kumbolo saat puncak musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Melihat atraksi alam di pagi hari

Bahkan kalaupun taman nasional membatasi pendakian menjadi tiga hari dua malam saja, saran saya, lupakanlah Puncak Mahameru. Serahkan nasib dua malam kita dengan berkemah di tepi danau yang terbentuk dari kawah purba Gunung Jambangan itu. Ketika pagi mulai terang, lihatlah detail-detail yang tercermin di pinggiran danaunya.

Kita akan menyaksikan salah satu pertunjukan kolosal dan dramatis dari alam Ranu Kumbolo. Diawali dengan semburat rona langit yang memerah. Lalu pada saat yang tepat, sang rawi akan menampakkan diri dari balik dua bukit di timur danau. Di bulan-bulan tertentu, matahari akan terbit persis di antara dua bukit tersebut.

  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)

Kemunculan matahari terbit adalah kabar gembira bagi para pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo. Ia adalah berita tentang kehangatan yang menebus bekunya pagi, serta harapan akan hari yang cerah. Pada momen-momen seperti inilah pendaki akan berbondong-bondong menyambutnya dengan bingkai lensa kamera atau gawai lain yang dimiliki.

Acapkali halimun akan ikut menampakkan dirinya. Entah itu kabut-kabut tipis yang melayang di permukaan danau, maupun terbang rendah dari balik dua bukit ke arah tempat berkemah. Adakalanya cuaca kurang bersahabat. Kabut seakan “berkonspirasi” dengan awan-awan tebal menciptakan pagi yang mendung dan suram. Menghalangi matahari yang dipaksa bersembunyi, yang tak jarang disambut seruan kekecewaan sebagian pendaki.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Mega bergelayut yang menutupi pancaran sang surya di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Padahal seorang teman pernah berkata, “Tidak cuma sunrise yang ngangenin, tapi juga kabutnya.”

Bahkan kabutnya saja dirindukan. Ia tidak peduli alam memberikan sajian pagi seperti apa, mau cuaca cerah melebihi ekspektasi atau jauh dari yang diimpikan. Sebab berada di Ranu Kumbolo saja sudah melebihi bayangan setiap orang, yang tidak semuanya beruntung bisa bertamu ke sana. 

Setiap pendaki rela berjalan menempuh 10 kilometer yang melelahkan dari Ranu Pani. Melintasi empat pos utama dan hutan di bawah tebing Watu Rejeng, sampai akhirnya tiba di Ranu Kumbolo. Sebuah danau seluas 15 hektare yang menjadi Ikon utama dari Semeru yang legendaris. Setiap pendaki, rela menghabiskan banyak biaya, waktu, dan tenaga demi pengalaman yang tak akan terlupakan.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Refleksi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Tempat untuk merefleksikan diri

Ranu Kumbolo adalah daya pikat yang selalu berhasil menggoda siapa pun untuk kembali. Ya, berdiri di Mahameru atau titik tertinggi Pulau Jawa memang sebuah pencapaian. Namun, pamor danau yang pernah dikunjungi Mpu Kameswara pada 1447 silam, bagi saya, mampu melebihi ketenaran puncak itu sendiri.

Saya jadi teringat lagu Mahameru milik Dewa 19. Nuansa tembang yang dirilis dalam album Format Masa Depan tahun 1994 itu begitu personal dan emosional, sebab sebagian personelnya pernah menginjakkan kaki ke Gunung Semeru. Roman persahabatan dan interaksi hangat antarpendaki tergambar jelas di potongan liriknya.

Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo

Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat cokelat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Balutan kain putih di beberapa pohon menandakan titik-titik sakral bagi masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2017)

Bagi saya, Ranu Kumbolo bukan sekadar tempat transit. Tempat ini adalah guru, sekaligus titik krusial untuk menimbang keputusan akan ego dan ambisi pendaki. Melampauinya hingga ke Kalimati dan Puncak Mahameru, berarti mengantar pendaki beriringan dengan tantangan di depan yang lebih berbahaya. Atau, menghentikan langkah sebagai titik akhir, dan singgah untuk meresapi ruang terbuka yang menenangkan jiwa.

Sebagaimana terpantul dalam permukaan airnya yang tenang, bentuk kehidupan yang mengepung—pohon, bukit, rerumputan, hingga polah pendaki—bak cermin raksasa. Refleksi diri, sebagai kesempatan terbaik untuk memeluk kala yang melambat. Sampai akhirnya kita menyadari, bahwa waktu yang ada di rimba Semeru terlalu singkat untuk dinikmati.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Siapa pun yang telah datang ke sini, suatu saat akan kembali/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/feed/ 0 42433
Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/ https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/#respond Mon, 29 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42420 Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang. Teks & foto:...

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Selamat datang di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Terutama ketika Juni lalu. Beberapa akun pemengaruh, komunitas lokal, atau lembaga pencinta alam baru pulang dari kegiatan bersih jalur pendakian bersama Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Ada satu-dua kawan baik saya yang ikut. Tujuannya memang hanya sampai ke Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan camp dan memaksimalkan fasilitas shelter kayu di tepi danau berketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.

Meski rute relatif tidak banyak berubah, tetapi pergerakan alam meninggalkan banyak jejak setelah pendakian umum ditutup sejak November 2020. Mulai dari longsor di jalur menuju Pos 3 setelah kawasan tebing Watu Rejeng, tumbuhnya banyak pohon di area berkemah Ranu Kumbolo, hingga permukaan debit air ranu yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lama tak dikunjungi manusia, alam Semeru memulihkan diri sebagaimana mestinya.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Permukaan air Ranu Kumbolo yang tenang, dengan latar kolom abu tampak membubung setelah meletus dari kawah Gunung Semeru. Letusan kecil tersebut terjadi berkala dalam 20-30 menit sekali setiap harinya/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Berita penurunan status aktivitas Gunung Semeru dari Level III (Siaga) menjadi Level II (Waspada) pada 15 Juli 2024 turut memantik obrolan di media sosial. Rata-rata menyuarakan rasa rindunya pada jalur pendakian Semeru, khususnya kenangan berkemah di Ranu Kumbolo. Lini masa bak menjadi tempat reuni para pendaki lintas generasi; sekaligus meledek pendaki yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di hutan Semeru.

Tidak terkecuali saya. Meski belum bersuara “ugal-ugalan” di media sosial, saya lekas membuka memori yang tersimpan di cakram keras eksternal. Melihat-lihat lagi kenangan tentang Ranu Kumbolo dalam rentang satu dasawarsa silam. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Gunung Semeru dan lanskap ladang sayur warga Ranu Pane, desa terakhir di kaki Gunung Semeru, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dari desa inilah pendaki memulai langkahnya menuju Ranu Kumbolo dan Semeru/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Bersiap dibekap dingin sejak petang

Umumnya pendaki tiba di Ranu Kumbolo sore hari. Pendakian dari Ranu Pani (2.200 mdpl)—desa terakhir dan pos registrasi pendakian TNBTS—membutuhkan waktu tempuh normal 4–5 jam untuk jarak sekitar 10 kilometer. Melewati jalur yang relatif landai sepanjang gapura pendakian, Pos 1, Pos 2, sampai Watu Rejeng (2.350 mdpl).

Trek akan menanjak menjelang Pos 3 dan kembali melandai saat mendekati Pos 4. Di pos terakhir ini, Ranu Kumbolo sudah terlihat sangat jelas. Tinggal menyusuri turunan terjal menuju sabana Pangonan Cilik, lalu berjalan melipir bukit hingga tiba di area shelter di sisi barat danau untuk berkemah.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Dua pendaki menyusuri jalur di tepian utara danau untuk menuju area utama berkemah Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Pada prinsipnya, pendaki bebas mendirikan tenda di mana saja, selama tidak terlalu dekat dengan bibir danau dan aktivitasnya tidak mencemari danau. Ranu Kumbolo memiliki arti penting dan sakral bagi kepercayaan masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani. Di area camp, terdapat prasasti berbahan batu andesit yang bertuliskan sebuah kalimat berbahasa Jawa Kuno. Artinya, prasasti tersebut menceritakan tokoh bernama Mpu Kameswara yang melakukan suatu ritual bernama tirthayatra pada tahun Saka 1447. Ritual ini merupakan salah satu rangkaian langkah hidup wanaprastha untuk bisa memasuki tahap akhir kesempurnaan yang disebut dengan sanyasin atau biksuka.

Saya membayangkan di masanya keheningan menyelimuti perjalanan dan laku tapa Mpu Kameswara di Ranu Kumbolo. Saat malam tiba, kedamaian tampak paripurna setelah bintang-bintang dan galaksi menyemut di kolom langit. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Pemandangan Ranu Kumbolo dari puncak bukit Tanjakan Cinta/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Lukisan malam yang harus diabadikan

Sebagaimana di malam terakhir pendakian saya pada akhir Mei 2014. Bertepatan dengan fase bulan mati atau new moon, Ranu Kumbolo begitu hidup. Terlihat tenda-tenda seperti bercahaya, disorot lampu senter para pendaki yang lalu-lalang. Sayup suara pendaki masih terdengar, meski samar.

Selebihnya adalah suara-suara dari corong alam. Gemercik air danau, embusan angin yang menyibak rerumputan dan ranting-ranting pohon. Bahkan langit gemerlap itu pun mungkin bersuara dalam diamnya. Maka jika ingin mengulang, kelak saat pendakian kembali dibuka, saya akan datang bermodalkan fase kalender bulan yang sama, untuk merasakan pengalaman serupa seperti dahulu.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Warna-warni tenda pendaki saat malam memeluk Ranu Kumbolo dan beratap langit penuh bintang/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Saya sempat berpaling ke belakang. Melihat siluet celah bukit di ujung Tanjakan Cinta. Gurat pepohonan menukik mengikuti kontur tanah. Di atasnya, bintang-bintang menyemut. Seolah-olah menyentuh pucuk pepohonan cemara gunung.

Sejatinya, saya juga menyaksikan pemandangan malam yang sama tatkala pendakian bulan November 2012. Namun, kamera yang saya bawa kurang memadai untuk merekam lukisan malam yang luar biasa itu. Kala itu, hanya tutur cerita dari mulut saya bagi mereka yang bertanya, tentang bagaimana melalui malam yang cerah di tempat semagis Ranu Kumbolo. Kini saya memiliki sedikit simpanan foto malam yang meriah di Ranu Kumbolo. Sebuah alasan paling kuat yang bisa mengajak saya kembali ke sana.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Sudut pandang lain untuk melihat bintang di Ranu Kumbolo, yaitu dengan latar depan siluet Tanjakan Cinta/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/feed/ 0 42420
Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/#respond Fri, 29 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41567 Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat berat dan malas. Keengganan beradu dengan keingintahuan tentang puncak—alias ambisi—tatkala ingin mengeluarkan seluruh tubuh dari kehangatan sleeping bag. Namun, alarm ponsel yang dihidupkan jelas memiliki tujuan. Mau tak mau kami harus bangun.

Saya dan Badak, yang memang satu tenda, lekas bersiap. Kami memilah barang bawaan yang diperlukan dalam ransel kecil, antara lain minuman, camilan, dan obat-obatan. Begitu pun kawan-kawan yang lain. Kecuali Rendra, yang mengaku sedang kurang fit, selebihnya siap mencoba kesempatan muncak. Livi, yang semalam sempat bilang tidak ikut karena kelelahan, subuh itu (20/08/2023) tiba-tiba berubah pikiran. 

Berbekal headlamp, kami mulai berjalan meninggalkan Pos 4 Watu Ondho tepat pukul 04.30. Tampaknya kebutuhan akan senter kepala ini tidak akan terlalu lama. Saya berseru ke teman-teman, sang fajar telah muncul di cakrawala. Situasi yang malah tidak membuat kami bergegas atau tergesa, tetapi memilih untuk menikmati sajian alam di tiap jeda beberapa langkah. 

Berkawan rawi pelipur netra

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri-kanan: Henny, Evelyne, Emma, Livi, dan Lukas. Kami kembali beristirahat di tengah jalur menanjak setelah 30 menit berjalan dari Pos 4 Watu Ondho. Meskipun tidak terlalu berangin, kami tetap memakai jaket untuk mencegah kedinginan dan potensi hipotermia. Bagi saya pribadi, biasanya baru akan melepas jaket jika pagi sudah hangat karena cahaya matahari. Namun, lagi-lagi itu berlaku jika angin tidak terlalu kencang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Tidak ada yang salah dengan menengok ke belakang ketika berhenti. Puncak gunung tidak akan lari dikejar. Tak akan ke mana-mana, katanya. Seperti yang dilakukan Emma (jaket putih). Jika menyukai fotografi, pasti setuju momen itu mahal harganya dan sulit untuk diulang. Bahkan dengan kamera ponsel sederhana sekalipun.

Salindia ke-2: Sorot headlamp Dio yang menyala di tengah pendakian menuju puncak. Di kejauhan Gunung Merbabu (kiri) dan Merapi terlihat mungil di atas lautan awan bak selembut kapas. Di saat-saat seperti inilah kami sering berhenti, karena terlalu sayang dilewatkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Ketika jalur semakin terbuka dan naungan pepohonan berkurang, panorama alam kian terbentang luas memanjakan netra. Sekitar 10 menit berjalan dari area Watu Lawang (2.960 mdpl), saya ingin rehat di di tengah jalur dan duduk di antara rerumputan. Emma mengekor di belakang. Saya melihat sang rawi mulai menampakkan diri di kaki langit. Spontan saya segera memencet tombol shutter kamera beberapa kali. 

Salindia ke-2: Potret Lukas yang sedang beristirahat dengan latar Gunung Merbabu dan awan-awan putih. Kali ini ia dan Henny berjalan agak santai. Jarak antara satu sama lain yang muncak pagi itu relatif tidak terlalu jauh.

Salindia ke-3: Sekuntum bunga edelweiss yang masih belum mekar sempurna. Di gunung ini, edelweiss yang tumbuh memang tidak banyak. Namun, keberadaannya mewarnai jalur pendakian. Tanaman gunung yang biasa disebut bunga abadi ini memang hidup dan mampu bertahan di ketinggian hingga 3.000-an mdpl.

Jalur pendakian membelah tebing terjal menuju kawah Segoro Banjaran, yang kira-kira masih berjarak 30 menit lagi. Rute timur Banaran memang cenderung lebih panjang dibandingkan jalur lain, seperti Kaliangkrik, Garung, maupun Bowongso. Pendaki tidak akan langsung menemui puncak, tetapi harus turun terlebih dahulu menyusuri Segoro Banjaran. Akan tetapi, perjalanan dan pengalaman seperti itulah yang kami cari di sini.

Membumi di Segoro Banjaran

Kiri: Petunjuk arah di persimpangan jalur Banaran dan Butuh (Kaliangkrik) di ketinggian 3.202 mdpl. Saat turun dari Segoro Banjaran atau Puncak Rajawali, pendaki harus fokus dan memerhatikan petunjuk yang tersedia agar tidak salah jalur. Kanan: Tebing cadas Puncak Sejati—tingginya hampir sama dengan Puncak Rajawali—yang bisa ditempuh langsung lewat jalur Kaliangkrik, Magelang. Baik itu melalui Dusun Butuh, Mangli, maupun Adipuro, karena ketiganya akan bertemu di percabangan yang sama.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Segoro Banjaran (3.180 mdpl). Sebuah kawasan kaldera Gunung Sumbing yang luas dan dikelilingi tebing cadas setinggi 200-an meter. Di dalam kaldera ini terdapat kawah-kawah kecil penghasil belerang. Kami kerap menjumpai bubuk-bubuk putih belerang yang cukup menyengat di sepanjang jalur. Saat musim hujan, beberapa titik di Segoro Banjaran akan tergenang air. Kami tiba di tempat ini setelah berjalan 2 jam 45 menit dari camp.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Menyusuri jalan setapak membelah rumput-rumput kering yang menguning di Segoro Banjaran. Kami menjadi sangat kecil berada di kaldera megah ini. Seperti semut yang berjalan beriringan di sudut-sudut rumah. Situasi serupa yang saya alami di gunung-gunung lain, tak terkecuali ketika berlayar di tengah lautan. Alam tak akan tertandingi, tak akan bisa ditaklukkan. Ego dirilah yang harus kami tundukkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Petunjuk arah menuju empat tempat, yaitu jalur Banaran (Sumbing East Route), Segoro Wedi (kawasan kawah berpasir putih), Puncak Buntu, dan Puncak Rajawali. Untuk menuju Puncak Buntu meniti jalur yang sama ke arah Puncak Rajawali, lalu di persimpangan ambil arah kanan memanjat tebing menuju jalur Garung. Informasi arah yang ditopang dengan tiang besi ini berada dekat makam Ki Ageng Makukuhan.

Salindia ke-2: Kompleks makam Ki Ageng Makukuhan (3.209 mdpl), yang biasanya ramai saat malam 1 Muharram atau 1 Suro (penanggalan Jawa). Seorang tokoh agama yang dihormati penduduk sekitar Gunung Sumbing. Ada sejumlah versi berkaitan dengan sosok tersebut, salah satunya menyebut Ki Ageng Makukuhan sebagai pendakwah beretnis Tionghoa. Ia merupakan santri Sunan Kudus dan ditugaskan menyebarkan agama Islam di Karesidenan Kedu. Kemungkinan “Makukuhan” adalah serapan lidah Jawa terhadap nama aslinya “Ma Kuw Kwan”. Di sisi lain, lokasi makamnya pun memiliki perbedaan versi. Sebagian mengatakan di kawah Gunung Sumbing—seperti yang kami kunjungi—sedangkan yang di daerah Kedu, Temanggung, adalah petilasannya. Yang pasti, siapa pun wajib menjaga etika jika berada di tempat ini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salah satu dapur belerang berukuran cukup besar di area kawah utama. Tampak papan informasi berwarna kuning dari PVMBG, BPBD, dan pemerintah daerah setempat. Isinya larangan berkemah di seluruh kawasan kawah karena dikhawatirkan adanya kenaikan intensitas gas vulkanis beracun, terutama malam hari atau musim hujan. Saat hari cerah saja kami tidak betah berlama-lama di dekat kawah karena bau belerang yang menyengat.

Jalan terjal menuju Puncak Rajawali

Pendakian terus berlanjut. Menurut GPS yang saya bawa, jarak ke Puncak Rajawali tinggal 350 meter lagi. Namun, meski puncak sudah tampak di depan mata, tidak semudah itu menggapainya. Masih harus menanjak tebing yang penuh batuan putih (kiri), kembali melewati sabana (kanan), dan satu tanjakan terjal terakhir lalu tibalah kami di Puncak Rajawali. Perkiraan saya, perlu satu jam lagi untuk menempuh sisa perjalanan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sudut pandang lebar dari lensa kamera yang merekam kaldera Gunung Sumbing. Saya memotretnya di ujung tanjakan sebelum mendekati Puncak Rajawali. Tampak Segoro Wedi bak lapangan berpasir putih di kejauhan. Rumpun edelweiss di sini lebih banyak dibanding jalur Banaran. Sebagian ditumbuhi cantigi. Di titik inilah Sumbing East Route bertemu dengan jalur Sipetung, Batursari, dan Garung. Pendaki dari arah sana harus melewati Puncak Buntu terlebih dahulu dan menuruni tebing curam ala “Watu Ondho”, sebelum sampai puncak tertingginya.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Euforia para pendaki yang datang dari pelbagai jalur di Puncak Rajawali Gunung Sumbing (3.371 mdpl). Saat itu akhir pekan, sehingga ramai pendaki. Di antara sekian jalur resmi yang tersedia, memang jalur Garung masih menjadi favorit dan paling banyak dilalui pendaki.

Salindia ke-2: Salah satu sudut foto yang juga biasa dipakai pendaki Gunung Sumbing setibanya di Puncak Rajawali. Jika cerah akan terlihat Gunung Sindoro. Di belakangnya lagi ada Gunung Prau dan pegunungan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Tampak Emma dan Henny (tengah) sedang mengantre giliran foto di plakat penanda puncak tertinggi Gunung Sumbing.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Pemandangan membiru Gunung Slamet di sisi barat. Gunung tertinggi di Jawa Tengah (3.428 mdpl) yang kakinya membagi lima kabupaten: Purbalingga, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Pemalang. Saya pernah sekali mendaki gunung berapi aktif itu, yaitu pada Desember 2013 via Bambangan, Purbalingga. Gunung ini biasanya didaki untuk melengkapi ekspedisi “Triple S” di Jawa Tengah, selain Sindoro dan Sumbing.

Setelah cukup, selanjutnya pulang

Kiri: Sejumlah pendaki berusaha memanjat tebing dengan bantuan tali webbing untuk kembali ke jalur pendakian awal—Garung dan sekitarnya. Seperti halnya Watu Ondho, tebing ini akan licin jika hujan. Pendaki harus ekstra hati-hati. Kanan: Tidak sedikit pendaki yang memilih cukup berhenti di Puncak Buntu saja, tanpa harus meneruskan perjalanan ke Puncak Rajawali. Walau tampak dekat, faktanya tetap saja bakal menguras tenaga.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Livi (paling depan) dan Emma berjalan menyusuri jalur kembali ke tempat camp. Perjalanan pulang memang akan cenderung terus menurun, tetapi seolah sama panjangnya dengan saat berangkat. Hari kian terik, kaki makin lemas, dan tenggorokan kering. Kami bertiga adalah anggota rombongan yang terakhir tiba di tenda.

Salindia ke-2: Areal camp di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl). Siang itu kabut mulai naik perlahan, tetapi tidak sampai turun hujan. Terlihat di kejauhan permukiman warga menyemut, yang kadang-kadang memandangnya justru bikin angin-anginan untuk pulang. Rasanya jauh sekali. Namun, ya, kami harus pulang.

Salindia ke-3: Rendra, teman asal Sidoarjo, sedang makan siang bersama kami sebelum turun. Ia tidak ikut muncak karena merasa kurang fit, sehingga memilih istirahat memulihkan tenaga untuk pulang. Ia mengaku memang sudah agak lama libur mendaki gunung.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sore yang kian temaram tepat kami keluar dari hutan. Saya minta tukang ojek basecamp yang menjemput untuk berhenti sejenak di tengah-tengah jalan makadam. Saya keluarkan kamera dan memotret pemandangan ini sebagai foto penutup jurnal perjalanan kami. Sebuah lanskap perkebunan tembakau, hutan pinus, dan Gunung Sumbing di baliknya. Rasanya tak percaya, secepat itu kami naik dan turun. Melelahkan memang. Namun, saya yakin akan sepadan.


Foto sampul:
Dio sedang memerhatikan jalur yang aman untuk dipijak saat perjalanan menuju Puncak Rajawali Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/feed/ 0 41567
Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/#respond Thu, 28 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41529 Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi Cetho pada pertengahan Mei 2023, mendaki Gunung Sumbing via Banaran dua bulan setelahnya adalah perjalanan remedial. Mengobati rasa penasaran atas pendakian sebelumnya yang terhenti di separuh jalan pada Desember 2022. Saat itu saya, Rino alias Badak, Emma, dan Evelyne terpaksa membuka camp beberapa meter sebelum tebing Watu Ondo. Fisik Emma drop dan tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

Kali ini, dengan personel tetap ditambah lima kawan dari Surabaya—Lukas, Henny, Rendra, Dio, dan Livi—kami kembali ke Banaran. Dusun dengan ketinggian 1.071 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang jadi salah satu pintu masuk menuju Puncak Rajawali. Para pendaki mengenalnya Sumbing East Route. Rute timur yang sangat menantang karena tanjakan konstan, jarak yang cukup jauh (sekitar 8 km), dan harus melewati luasnya kaldera Segoro Banjaran sebelum puncak.

Dan memang itulah yang kami cari, yaitu melengkapi pengalaman. Banaran adalah jalur yang komplet. Di sinilah fisik diuji, lutut dan betis diurut, dan keringat diperas. Namun, cuaca benderang di hari pertama menghibur hati. Kami optimis pendakian dua hari satu malam ini berjalan lebih baik dari sebelumnya. Kami hanya harus bersabar meniti sedikit demi sedikit langkah di atas jalan setapak.

Awal yang baik untuk melangkah

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri: Emma (memanggul tas) yang membonceng Badak ikut melihat lautan awan dalam perjalanan menuju basecamp Banaran, Tembarak, Kabupaten Temanggung. Waktu tempuhnya 1,5 jam dari Kota Magelang. Pagi itu cuaca memang cerah dan tidak terlalu berangin. Kanan: Tampak belakang basecamp Banaran yang menempati gudang penampung hasil pertanian. Saat ini sudah ada basecamp baru yang terletak sekitar 600 meter dari basecamp lama. Letaknya lebih tinggi, searah dengan jalur makadam dan perkebunan tembakau menuju pintu hutan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Suasana di dalam basecamp lama Banaran. Evelyne (paling kiri), Emma, dan LIvi tengah bersiap sebelum berangkat ke pintu hutan dengan ojek. Biaya registrasi pendakian adalah Rp15.000 per orang (sudah termasuk asuransi), ditambah Rp10.000 per orang untuk fasilitas basecamp (toilet dan mengecas gawai), dan tarif parkir Rp10.000 per kendaraan. Pagi itu (19/08/2023) tidak terlalu ramai pendaki. Kami adalah rombongan pertama yang naik. Karena armada ojek terbatas, kami meninggalkan basecamp secara bergantian mulai pukul 08.50 WIB.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya membonceng tukang ojek yang menggunakan motor matik. Berkendara 15 menit menuju pos nol (titik penurunan ojek) sangat menantang. Setelah 600 meter membelah jalan kampung yang menanjak, sisa sekitar 1,5 km ditempuh dengan menyusuri jalan makadam yang tak kalah terjal. Pengemudi harus andal dan lihai agar motor bisa melaju tanpa kehabisan tenaga. Untuk itu tas ransel ditaruh di depan pengemudi agar saya tidak terpelanting. Sekalipun begitu, saya tetap berpegangan erat pada behel motor karena cara mengemudi bapak ini sangat ngebut. Tarif ojek dari basecamp adalah Rp25.000 per orang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Seorang petani tembakau tertawa saat saya memintanya membuka topi dan tudung jaket, sehingga terlihat rambut gondrong yang disemir kemerahan. Ia mengatakan orang-orang Banaran yang hidup di lereng Sumbing biasa menanam tembakau jenis lamsi. Karakter rajangannya keras dan tebal, tetapi rasanya manis.

Salindia ke-2: Sejumlah petani membeber hasil panen daun tembakau yang sudah menguning di area pos nol (1.487 mdpl), tempat kami turun dari ojek. Suasananya meriah, penuh guyon dan gelak tawa.

Salindia ke-3: Seorang ibu baru keluar hutan dengan memanggul batang-batang kayu untuk bahan bakar perapian di dapur. Rasanya berat tas ransel dan logistik yang kami bawa tak sebanding dengan beban kayu yang ia bawa.

Tak perlu menggerutu di jalur berdebu

Trek ini bernama tangga eskalator. Salah satu ikon jalur Banaran. Dinamakan demikian karena bentuknya seperti eskalator di mal-mal, hanya saja tidak dijalankan mesin secara otomatis. Kami tetap harus berjalan manual. Mengangkat tinggi kaki melewati satu per satu trap anak tangga sepanjang setengah kilometer lebih sedikit. Dimulai dari Warung Ganesari (1.725 mdpl) hingga sepertiga jalan antara Pos 1 Seklenteng (1.880 mdpl) dan Pos 2 Siwel-Iwel (2.1.27 mdpl). Tak ada cara lain untuk melewatinya selain terus berjalan dengan sabar dan hapus segala keluh. Saat kemarau, jalur akan kering dan berdebu. Kontras dengan kondisi di musim hujan yang sangat licin dan agak berlumpur.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Pukul 12.10, berhenti agak lama di Pos 2 Siwel-Iwel untuk istirahat dan makan siang. Menunya nasi bungkus berisi nasi, sayur tumis, dan lauk telur dadar. Kami tertinggal cukup jauh di belakang Lukas, Henny, Rendra, dan Dio yang berjalan lebih cepat.

Salindia ke-2: Berurutan dari belakang, Badak, Emma, dan Evelyne sedang berhenti sejenak mengatur napas di tengah jalur. Tampak bekas batang pohon tumbang yang dipangkas dan tergeletak begitu saja di atas semak-semak. Kami menemukan banyak pohon tumbang di sepanjang jalur menuju Pos 3 Punthuk Barah, yang menunjukkan jejak badai hebat pada puncak musim hujan lalu.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Kawasan hutan mlanding yang tumbuh agak rapat. Ada bonus berupa trek datar saat melewati jalur ini, sebelum akhirnya agak menanjak mendekati Pos 3 Punthuk Barah.

Salindia ke-2: Kembali menyempatkan rehat sebentar di Pos 3 Punthuk Barah (2.411 mdpl). Jaraknya kira-kira 650 meter atau 1—1,5 jam perjalanan. Pos ini kadang jadi alternatif mendirikan tenda karena lahan datar cukup memadai. Biasanya digunakan pendaki berkemah jika fisik sudah tidak memungkinkan lanjut ke Pos 4 Watu Ondho, batas akhir camp. Namun, tidak ada sumber air di sini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya menyebutnya Pos Darurat (2.638 mdpl). Daerah terbuka di punggungan yang berjarak sekitar 500 meter dari Pos 3 Punthuk Barah. Di tempat datar sempit inilah kami membuka tenda pada Desember 2022 lalu. Saat itu sudah petang. Gerimis turun sehingga memaksa kami harus berhenti. Padahal tebing vertikal Watu Ondho sudah terlihat, sedikit lagi kami sampai di pos yang lebih nyaman untuk camp. Namun, keselamatan dan kesehatan lebih penting. Jika selepas Pos 3 terpaksa bikin camp darurat, ada tempat yang lebih layak. Letaknya di ketinggian 2.585 mdpl, 350 meter dari Pos 3.

Berjalan lebih jauh dari tebing cadas itu

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kabut sempat turun menyelimuti ujung punggungan bukit. Lukas dan kawan-kawan sepertinya telah tiba di Pos 4 Watu Ondho dan kelar bangun tenda. Sementara saya bersama Badak, Emma, Evelyne, dan Livi masih harus melalui tantangan terakhir, yaitu tebing Watu Ondho itu sendiri. Kami harus bergegas sebelum petang datang, karena masih ada tugas mengambil air di sumber yang cukup jauh dari camp.

Tebing Watu Ondho (2.690 mdpl). Tebing vertikal setinggi 6—8 meter. Satu-satunya jalan naik menuju Pos 4 Watu Ondho. Melihat batu cadas hitam keabu-abuan tersebut, jelas sekali jika saat hujan akan sangat licin dan berbahaya. Kanan-kirinya hanya jurang dalam menganga. Hidup bergantung pada uluran tali webbing dan seutas rantai yang menjuntai, terikat pada pasak-pasak besi yang tertancap di permukaan batuan. Kunci agar berhasil melewati tebing ini adalah kekompakan tim dan rasa percaya pada setiap pijakan kaki. Foto paling kanan dipotret saat turun gunung, yang lebih menantang dan sulit dibanding naik.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Jurang dalam di sisi kiri tebing. Sekali saja lengah dan kehilangan fokus, ya, sudah. Livi, kawan kami, sempat ingin menyerah tidak mau lanjut karena merasa takut dan tidak sanggup memanjat. Kami berusaha menenangkannya dan meyakinkan bahwa dia bisa. Soal bagaimana turunnya nanti, itu dipikir saat pulang besok.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Setibanya di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl) pukul 16.30, kami segera berbagi tugas. Lukas dan kawan-kawan yang sudah datang lebih dulu membantu mendirikan dua tenda yang dibawa saya dan Badak. Saya mengajak Badak mengambil air ke sumber air Semelik (2.791 mdpl), sementara Emma, Evelyne, dan Livi bergegas memasukkan barang serta menyiapkan logistik untuk makan malam. Rute ke mata air berjarak sekitar 300 meter. Naik sedikit lalu belok kanan melipir jalur antarpunggungan yang sangat terbuka tanpa naungan apa pun. Lokasinya memang tersembunyi, di celah lembah dan berupa kolam jernih di aliran sungai kecil. Menurut pengelola basecamp Banaran, mata air ini tersedia sepanjang tahun. Berbeda dengan pipa air di Pos 1 Seklenteng yang tidak mengalir saat kemarau.

Petang yang berkerabat dengan malam

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Lukas (kiri) dan Henny, kawan asal Surabaya. Selain naik gunung, Lukas dan Henny hobi bersepeda jarak jauh antarkota dengan komunitasnya saat akhir pekan. Tak heran di setiap kesempatan pendakian bersama dua orang ini, jalannya sangat cepat. Fisiknya terlatih. Saya awalnya keteter mengikuti ritme langkah keduanya. Namun, pada akhirnya yang sering terjadi adalah membiarkan mereka berjalan dulu di depan, sementara saya santai saja di belakang.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tampak Dio (baju hitam) berjalan di antara tenda-tenda kami di areal camp Pos 4 Watu Ondho. Karena berada di punggungan yang terbuka, akan terasa bila terjadi angin kencang atau badai. Pasak tenda harus ditancap kencang-kencang di tanah. Tempat datar di pos ini memang tidak terlalu luas. Jika penuh—biasanya akhir pekan—pendaki bisa naik sekitar 50-100 meter dan akan menemukan satu-dua petak tanah yang memadai untuk mendirikan tenda.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tenda putih milik Rendra berkapasitas satu orang dengan latar guratan langit senja. Cuaca cerah hari itu masih mewarnai Pos 4 Watu Ondho sampai malam datang. Kami tidak bisa melihat jelas momen matahari terbenam, karena terhalang punggungan gunung. Pos ini memang pas untuk menikmati panorama matahari terbit, jika tidak ingin ke puncak lebih awal.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Emma (paling kiri), Evelyne, dan Badak masak bersama untuk menyiapkan makan malam. Kadang-kadang saya ikut membantu. Cuaca cerah dan tidak terlalu berangin, sehingga kami leluasa memasak di luar tenda. Sementara rombongan Surabaya sudah selesai makan karena membawa logistik sendiri. Sembari menunggu matang, saya bergegas keluar tenda dan menyiapkan peralatan fotografi. Atmosfer malam itu benar-benar nyaris bersih, memberi ruang bagi benda-benda langit menampakkan diri.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing
Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Ini adalah alasan terbesar saya mengatur jadwal mendaki di pertengahan Agustus 2023. Saat itu sedang dalam fase new moon atau bulan baru. Saya biasa menyebutnya bulan mati. Posisi bulan berada paling dekat antara bumi dan matahari, sehingga bayangan bulan redup atau tidak terlihat. Setidaknya sampai fase bulan Di masa tersebut bintang-bintang akan terlihat lebih jelas dan tampak gugusan milky way seperti foto ini.

(Bersambung)


Foto sampul:
Pemandangan sore tatkala gulungan awan menyelimuti Gunung Merapi (kanan) dan Merbabu. Dipotret dari Pos 4 Watu Ondho/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/feed/ 0 41529