cianjur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cianjur/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:46:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 cianjur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/cianjur/ 32 32 135956295 Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/ https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/#respond Tue, 20 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47079 Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.  Dahulu, sebelum ada Jembatan...

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur. 

Dahulu, sebelum ada Jembatan Rajamandala, yang dikenal pula sebagai Jembatan Citarum Baru, satu-satunya akses utama menuju Cianjur maupun sebaliknya via Rajamandala adalah Jembatan Citarum Lama. Jembatan ini adalah bagian kecil dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa pemerintahan Willem Daendels, pada abad ke-19.

Jalur Jembatan Citarum Lama berada di sisi selatan Jembatan Rajamandala dan terhalang oleh beberapa bukit. Berbeda dengan jalur Jembatan Rajamandala yang lebih modern, lurus, dan datar, jalur Jembatan Citarum Lama dihiasi dengan sejumlah kelokan tajam, tanjakan, serta turunan curam. 

Meski demikian, kawasan ini sesungguhnya menyimpan daya tarik tersendiri. Wilayah di sekitar Jembatan Citarum Lama masih dipenuhi belukar, hutan, maupun ladang. Suasananya lebih alami dibandingkan jalur Jembatan Citarum Baru, yang bernuansa urban dan relatif lebih sibuk. 

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kawanan kera yang berada di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Keberadaan Monyet Ekor Panjang

Salah satu daya tarik utama di kawasan Jembatan Citarum Lama adalah keberadaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sering berkeliaran di sekitar jembatan. Kera jenis ini termasuk spesies yang dapat beradaptasi dengan lingkungan urban sehingga sering pula ditemukan di sekitar pemukiman manusia. Keberadaan mereka di sekitar Jembatan Citarum Lama setidaknya menunjukkan bahwa ekosistem di sekitar kawasan masih cukup alami untuk mendukung populasi primata ini.

Saat saya menyambangi kawasan ini, Kamis pagi (3/4/2025), terlihat kawanan kera sedang terlihat berada tak jauh dari belokan di sisi timur jembatan. Sementara sebagian lainnya dengan lincah melompat dan bergelayutan di ranting-ranting bambu yang tumbuh di sekitar jembatan. Beberapa kera terlihat pula merayap di pagar jembatan.

Sejumlah pengendara yang melintas memilih untuk melambatkan kendaraan mereka, bahkan ada yang berhenti sejenak untuk memotret kera-kera tersebut. Namun, ada juga yang tampak ragu-ragu untuk melintas, khawatir kera akan melompat ke kendaraan mereka.

Sok, Teh, teras we. Moal nanaon, da (Silakan, Mbak. Terus saja. Nggak akan apa-apa),” kata seorang bapak, yang merupakan warga lokal. Ia meyakinkan seorang perempuan pengendara motor yang terlihat ragu untuk melintas tatkala sejumlah kera bergerombol di bahu jalan. Bapak itu lantas menggiring kera-kera itu ke tepi jalan.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Beberapa pengendara melintas dan berhenti di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Menjadi Jalur Utama Bandung–Cianjur

Sementara itu, di sisi utara, Jembatan Citarum Baru yang menjadi jalur utama Bandung–Cianjur, kini menjadi kawasan yang semakin ramai. Bukan hanya aneka jenis kendaraan, kawasan ini juga disesaki para penjual makanan dan minuman.

Di kiri dan kanan jalan, berderet jongko yang menawarkan aneka makanan dan minuman. Tak ketinggalan, sebuah toko swalayan berdiri pula tak jauh dari Jembatan Citarum Baru. Banyak pengendara yang memilih beristirahat sejenak di kawasan ini sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

Boleh dibilang keberadaan Jembatan Citarum Baru ini telah menumbuhkan apa yang diistilahkan sebagai roadside economy. Artinya, infrastruktur jalan yang dibangun lantas mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sekitar jalur tersebut.

Dikutip dari Pikiran Rakyat (21/12/2020), Jembatan Citarum Baru pertama kali difungsikan sebagai jembatan tol pada tahun 1979. Kehadirannya dimaksudkan untuk memperpendek jarak dan waktu tempuh Bandung–Cianjur maupun sebaliknya.

Status tol Jembatan Rajamandala sepanjang 222 meter ini tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1979. Pengoperasiannya terpaut setahun dengan pengoperasian jalan tol pertama di Indonesia, yakni Jalan Tol Jakarta, Bogor, Ciawi (Jagorawi) pada 1978. Merujuk pada keputusan tersebut, saat diterbitkan, besaran tarif tol jembatan tersebut kala itu adalah Rp50 untuk kendaraan bermotor roda dua dan tiga, lalu Rp100 untuk kendaraan roda empat atau lebih.

Saat ini, Jembatan Rajamandala alias Jembatan Citarum Baru tak lagi berstatus sebagai jalan tol, Statusnya dicabut oleh Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003. Jembatan ini pun kini bisa dilintasi dengan gratis karena menyandang status sebagai jembatan umum non-tol.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Sungai Citarum difoto dari Jembatan Lama/Djoko Subinarto

Tidak Serta-merta Dilupakan

Lantaran kiwari sebagian besar pengendara umumnya memilih jalur Jembatan Citarum Baru, maka kawasan Jembatan Citarum Lama cenderung relatif lengang. Meskipun demikian, Jembatan Citarum Lama tidak serta-merta dilupakan. Selain warga lokal, toh masih ada pengendara yang memilih melewati jalur ini. Baik itu karena alasan nostalgia, menghindari kemacetan di jalur utama, atau sekadar ingin merasakan sensasi perjalanan dengan suasana yang lebih tenang.

Ditilik dari aspek historis, keberadaan Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari potongan kecil dari sejarah jaringan transportasi di Jawa Barat. Jembatan Citarum Lama bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan juga saksi bisu perjalanan waktu dan perubahan sosial di wilayah tersebut.

Seperti telah disebutkan di muka, Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari proyek Jalan Raya Pos yang diinisiasi oleh Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Jalan Raya Pos ini membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jembatan Citarum Lama sendiri awalnya difungsikan untuk mendukung mobilitas logistik dan militer, serta menghubungkan kawasan pedalaman Tatar Sunda dengan pusat-pusat ekonomi dan administrasi yang berada di pesisir utara Jawa Barat.

Secara strategis, jembatan ini menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan antardaerah, terutama sebelum hadirnya jalan-jalan arteri modern dan tol. Arus manusia, hasil bumi, serta komoditas industri melewati jembatan ini selama beberapa dekade, menjadikannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi lokal.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kepadatan kendaraan yang melintas di Jempatan Citarum Baru/Djoko Subinarto

Potensi Destinasi Wisata Sejarah

Dilihat dari kacamata pariwisata, jalur Jembatan Citarum Lama sebenarnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata sejarah serta ekowisata. Dengan panorama alam di sekitarnya dan keberadaan satwa liar macam kera ekor panjang, Jembatan Citarum Lama bisa dikembangkan sebagai objek wisata alternatif bagi mereka yang ingin merasakan perjalanan yang lebih tenang dan dekat dengan alam.

Pemerintah setempat, misalnya, dapat mengembangkan jalur ini sebagai rute wisata sejarah. Caranya dengan menyediakan informasi mengenai sejarah Jalan Raya Pos dan peran jembatan ini dalam mobilitas masyarakat dari masa ke masa. Konsep ini mirip dengan pengelolaan heritage road di beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, yang menggabungkan nilai historis sebuah jalan dengan pengembangan wisata.

Khusus berkaitan dengan keberadaan kera ekor panjang, tentu saja perlu ada upaya konservasi terhadap habitat satwa ini. Penyediaan papan peringatan untuk tidak memberi makan satwa liar secara langsung, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, kiranya dapat membantu menjaga populasi mereka tetap lestari.

Dengan pendekatan yang tepat, jalur Jembatan Citarum Lama diharapkan bisa terus berfungsi sambil mampu mempertahankan nilai historis dan ekologinya. Bagaimanapun, bagi sebagian orang, jembatan ini tetap memiliki daya tarik tersendiri yang tak bisa tergantikan oleh jalur baru yang lebih modern.

Melewati jalur Jembatan Citarum Lama bukan hanya sekadar melakoni perjalanan fisik, tetapi juga memasuki semacam lorong waktu. Setiap kelokan dan tanjakan di jalur ini menyimpan kisah tentang masa lalu yang gemanya masih bisa dirasakan hingga hari ini.

Bagi para pencinta sejarah, pengendara yang ingin mencari jalur alternatif dari arah Bandung menuju Cianjur maupun arah sebaliknya, atau mereka yang ingin sekadar menikmati suasana alam yang lebih tenang, jalur Jembatan Citarum Lama dapat menjadi opsi yang menarik. Sekaligus menawarkan pengalaman berkendara yang berbeda dibandingkan dengan jalur utama yang padat dan bising. 


Referensi:

Arifianto dan Muhaemin. (2020, 21 Desember). Jadi yang Pertama di Indonesia, Kisah Pembangunan Jembatan Tol Rajamandala Bisa Mendebarkan Jantung. Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-011143809/jadi-yang-pertama-di-indonesia-kisah-pembangunan-jembatan-tol-rajamandala-bisa-mendebarkan-jantung?page=all, diakses pada Kamis, 10 April 2025.
Slamet, Ikbal. (2023, 29 Mei). Kenangan di Tol ‘Gope’ Jembatan Rajamandala Cianjur. Detik.com, https://www.detik.com/jabar/berita/d-6743344/kenangan-di-tol-gope-jembatan-rajamandala-cianjur, diakses, Kamis, 10 April 2025.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/feed/ 0 47079
Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra https://telusuri.id/dari-kabut-sukanagara-ke-ombak-apra/ https://telusuri.id/dari-kabut-sukanagara-ke-ombak-apra/#comments Mon, 12 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46893 Udara dingin Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat, menyelimuti tubuh saat saya mulai mengayuh pedal mountain bike dari Doneng Sanua, losmen tempat saya menginap selama di Sukanagara. Bermodal semangat ‘45, saya melaju melewati jalanan di tengah-tengah...

The post Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra appeared first on TelusuRI.

]]>
Udara dingin Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat, menyelimuti tubuh saat saya mulai mengayuh pedal mountain bike dari Doneng Sanua, losmen tempat saya menginap selama di Sukanagara. Bermodal semangat ‘45, saya melaju melewati jalanan di tengah-tengah perkebunan teh yang berkabut dan lengang. Hanya berteman deru angin pagi, kicauan burung liar, dan sesekali bunyi jangkrik yang bersembunyi di rerumputan pinggiran jalan, serta suara roda sepeda yang bergesekan dengan aspal. 

Tujuan saya adalah Pantai Apra, Sindangbarang. Jarak yang harus saya tempuh pagi itu untuk sampai ke Pantai Apra sekitar 65,7 kilometer. Medannya lumayan menantang lantaran sebagian rute yang harus saya lewati adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok yang dihiasi banyak tanjakan dan turunan tajam. Tentu saja, tanjakan akan memaksa otot kaki dan paha bekerja lebih keras sementara turunan menuntut saya untuk lebih berhati-hati dan waspada.

Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra
Jembatan Leuwi Lutung, sekitar 30 kilometer sebelum Sindangbarang dari arah Tanggeung/Djoko Subinarto

Kali Ini Lebih Percaya Diri

Sebenarnya, tahun 2023 lalu, saya sudah berupaya melakukan solo ride ke Pantai Apra. Cuma, waktu itu saya salah membawa sepeda. Kala itu, saya sempat nekat menggunakan sepeda lipat ukuran 16 inci, single gear, dengan kombinasi gear set 44T chainring depan dan sprocket 16T. Setelah mencoba melaju dan terengah-engah dari Sukanagara hingga perbatasan Pagelaran, saya pun tidak pede (percaya diri) untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, saya balik lagi ke Sukanagara dan kunjungan ke Pantai Apra pun batal waktu itu.

Nah, Selasa pagi bulan lalu (1/4/2025), dengan menunggang MTB ber-gear set 38T–28T untuk chainring  depan dan sprocket 13T–32T, saya merasa jauh lebih pede menuju Pantai Apra. Pantai ini memang tidak sepopuler Pelabuhan Ratu atau Pangandaran. Namun, justru inilah yang membuat saya penasaran untuk keukeuh menyambanginya. 

Setelah menanjak asoy merayapi jalur tanjakan Sukarame yang dikelilingi perkebunan teh, saya melahap turunan demi turunan hingga Pagelaran dan akhirnya sampai di kawasan Tanggeung. Di Tanggeung, persisnya di daerah Leuwi Lutung, saya bertemu sejumlah pesepeda yang hendak menuju Pagelaran. Kami pun saling sapa. Mengetahui saya hendak menuju Pantai Apra, salah seorang dari rombongan pesepeda itu menyemangati saya. “Semangat, Kang. Dari sini, sekitar 30-an kilometer lagi,” katanya. Tapi, ia menambahkan, jalannya rolling. “Siap-siap tenaga untuk nanjak,” lanjutnya.

Dan memang betul. Setelah Leuwi Lutung, saya dihadapkan sejumlah tanjakan yang lumayan menguras tenaga dan kesabaran. Kilometer demi kilometer saya lalui. Napas terkadang mulai berat dan kaki terasa semakin kaku saat harus melaju di tanjakan dan melahap tikungan. Namun, setiap tanjakan dan tikungan yang saya lewati menghadirkan pemandangan yang memesona: hamparan persawahan nan elok, sungai yang mengalir tenang, dan bukit-bukit hijau yang anggun terlihat dari kejauhan.

Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra
Gerbang masuk wisata Pantai Apra/Djoko Subinarto

Masuk Pantai Apra Gratis

Setelah total 4,5 jam mengayuh pedal, akhirnya saya sampai di Pantai Apra. Langit cerah kebiruan membentang luas di atas kepala, sementara ombak besar berkejaran menuju pantai. Saya turun dari sepeda, menarik napas dalam-dalam, dan tersenyum lega. Ini adalah momen yang sejak lama saya tunggu-tunggu: berada kembali di bibir pantai Laut Selatan.

Pantai Apra berada tak jauh dari Alun-alun Sindangbarang, sekitar 500 meter jaraknya. Tidak seperti beberapa pantai lain di pesisir selatan Jawa Barat, menurut saya, pantai ini relatif lebih sepi. Tidak overcrowded, seperti—katakanlah—Pangandaran. Tidak ada wisatawan yang berdesakan. Pasir hitam terlihat membentang luas, suara ombak terus bergemuruh.

Ada hal menarik yang saya temui di sini. Saat saya hendak memasuki kawasan Pantai Apra dan membayar retribusi ke petugas, saya justru langsung dipersilakan masuk tanpa harus membayar sepeser pun.

“Mangga lebet, we. Sapedah sareng anu mampah mah teu kedah mayar (Silakan masuk saja. Sepeda dan pejalan kaki tidak perlu bayar),” kata seorang petugas, dengan tanda pengenal tergantung di dadanya.

Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra
Sepeda tidak ditarik ongkos masuk ke Pantai Apra/Djoko Subinarto

Sementara itu, saya melihat pengunjung dengan mobil dan motor ditarik ongkos masuk. Terus terang, ini kebijakan yang bagus dan bisa dicontoh oleh pengelola tempat wisata lain. Saya pikir, seharusnya lebih banyak destinasi wisata di negeri ini yang menerapkan hal serupa sebagai bentuk dukungan terhadap wisata ramah lingkungan. 

Saya pun melenggang menuju bibir pantai. Ombak terlihat lumayan besar, sesuai dengan karakteristik pantai selatan yang dipengaruhi oleh arus kuat Samudra Hindia. Tampak ada beberapa plang peringatan tentang larangan berenang.

Di tepi pantai, sejumlah dipan untuk bersantai disewakan dengan harga Rp10.000 per dua jam. Angin laut menerpa wajah saya, membawa aroma khas. Rasanya begitu damai, seolah semua kepenatan perjalanan seusai merayapi jalan yang naik-turun menguap begitu saja.

Saya merasakan ihwal bagaimana suara ombak bisa begitu menenangkan. Ada penelitian memang yang menyebutkan bahwa suara alami, seperti ombak dan desir angin, mampu membantu menurunkan stres dan meningkatkan kesehatan mental. Mungkin itulah sebabnya saya merasa begitu rileks berada di pinggir pantai hari itu.

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati tempat yang relatif masih alami dan belum terlalu tersentuh pariwisata massal. Tanpa keberadaan banyak wisatawan, saya benar-benar bisa merasakan ketenangan yang boleh jadi sulit ditemukan di tempat-tempat wisata populer.

Bergegas Pulang

Ingin rasanya berlama-lama berada di Pantai Apra hingga senja menjelang dan sang surya tenggelam ke peraduannya. Namun, saya harus kembali lagi ke Sukanagara. Perjalanan pulang toh tidak kalah berat. Saya harus melahap sejumlah tanjakan panjang dan terjal mulai dari Tanggeung hingga perbatasan Sukanagara. Belum lagi jika hujan dan cuaca buruk, mengingat di beberapa titik, di sepanjang jalur Sindangbarang-Sukanagara, terdapat kawasan rawan longsor dan pohon tumbang.

Maka, saat matahari mulai kian condong ke arah barat, saya sadar bahwa ini adalah saat yang tepat untuk kembali Sukanagara. Saya mengambil sepeda MTB saya yang telah menjadi teman setia dalam perjalanan ke Pantai Apra hari itu.

Saya memandang ke arah laut untuk terakhir kalinya sebelum pergi. Ia seolah berbisik, “Kembalilah kapan saja.”

Saya mulai mengayuh pedal perlahan. Jalanan panjang terbentang di depan menanti untuk kembali saya rayapi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-kabut-sukanagara-ke-ombak-apra/feed/ 1 46893
Bersepeda ke Wana Wisata Pokland Cianjur https://telusuri.id/bersepeda-ke-wana-wisata-pokland-cianjur/ https://telusuri.id/bersepeda-ke-wana-wisata-pokland-cianjur/#respond Sat, 13 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42333 Suatu pagi bersamaan dengan terbitnya fajar aku melewati sawah-sawah sambil bersepeda menggerakkan tubuh yang terasa kaku. Awal perjalanan menuju Wana Wisata Pokland disuguhi pemandangan cantiknya matahari terbit, yang menambah kehangatan pagi untuk memulai hari baru....

The post Bersepeda ke Wana Wisata Pokland Cianjur appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu pagi bersamaan dengan terbitnya fajar aku melewati sawah-sawah sambil bersepeda menggerakkan tubuh yang terasa kaku. Awal perjalanan menuju Wana Wisata Pokland disuguhi pemandangan cantiknya matahari terbit, yang menambah kehangatan pagi untuk memulai hari baru.

Sepanjang perjalanan aku sangat menikmati indahnya pagi dengan kayuhan sepeda. Sesekali aku berhenti sejenak untuk mengabadikan panorama dengan gawai, termasuk pemandangan sawah saat kondisi pascapanen.

Perjalanan dimulai dari rumah menuju Doktormangku, Bojongpicung, Cianjur. Tepat di pertigaan aku menepi terlebih dahulu karena menunggu teman yang sudah janji mau bersepeda juga. Aku menunggu sekitar 10 menit dengan membaca artikel di internet yang bisa dituntaskan dalam waktu singkat. Kemudian setelah temanku datang, kami bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Pagi ini kami bersepeda cukup santai karena tidak berniat pergi terlalu jauh, hanya ke tempat wisata saja. Kalau ditempuh dengan motor, untuk sampai ke Wana Wisata Pokland bisa ditempuh sekitar 15–30 menit. Sementara jika menggunakan sepeda bisa memakan waktu kurang lebih 60 menit.

Bersepeda ke Wana Wisata Pokland Cianjur
Menunggu kedatangan teman di pinggir jalan sembari melihat anak-anak pergi ke sekolah berjalan kaki/Riris Ismidiyati

Perubahan Rute

Aku memerhatikan jalan yang cukup ramai dengan anak sekolah. Dari Doktormangku menuju Cipetir, kami memilih rute yang tidak banyak dilalui kendaraan, di antaranya lewat perumahan warga dan pesawahan. Sawah-sawah di wilayah ini sudah ditanami padi. Mungkin panennya lebih awal dari sawah yang pertama kami lewati sebelumnya.

Terpancar keindahan persawahan dengan latar belakang perbukitan hijau. Kami pun beristirahat sejenak sambil berswafoto. Di tempat ini banyak ditemukan burung kuntul yang sedang mencari makan, tetapi sayangnya tidak sempat dipotret.

Di tengah perjalanan kami mengubah rute bersepeda sedikit lebih jauh dari rencana. Namun, rute ini nantinya akan bertemu jalan yang sama di Haurwangi. Kami langsung belok ke perkebunan kapas milik warga di Kampung Sukatani. Kami jadi menemukan rute yang baru menuju Wana Wisata Pokland.

  • Bersepeda ke Wana Wisata Pokland Cianjur
  • Bersepeda ke Wana Wisata Pokland Cianjur

Pepohonan menjulang tinggi dengan daun yang cukup lebat memberikan kesan rindang. Selain kapas, kami juga melewati perkebunan warga yang ditanami berbagai sayuran dan bibit-bibit bunga untuk diperjualbelikan.

Tidak hanya itu. Kami juga melalui semak belukar dengan rumput dan ilalang yang tinggi. Sisa-sisa embun pagi masih menempel pada dedaunan sehingga udara pagi terasa segar. Tetesannya pun mengenai pakaian kami.

Saat jalanan menurun sempat ada tragedi kecil, yaitu salah satu teman terpeleset. Sebabnya ia mengerem hanya menggunakan rem depan saja, sehingga langsung tergelincir ditambah rumput-rumput yang licin. Kami harus tetap waspada. Jika menggunakan rem depan maka harus dibarengi juga dengan rem belakang agar seimbang, apalagi di jalanan yang menurun.Setelah trek tanaman semak, kami menemukan jalan berbatu yang menanjak. Oleh karena itu kayuhan pedal sepeda terasa lebih berat. Tidak lama kemudian kami hampir sampai di Wana Wisata Pokland. Saat hari kerja, wisata yang cocok untuk healing therapy ini cukup sepi pengunjung.

Wajah Baru Pokland

Tempat wisata ini sempat viral pada masanya. Namun, sekarang mungkin hanya sedikit yang berkunjung. Padahal sekarang lebih nyaman dengan beberapa fasilitas wisata, seperti gazebo kayu yang sebelumnya rusak dan lapuk karena rayap, kini telah diperbaiki. Wajah baru tersebut menarik untuk dinikmati kembali sembari merasakan kesejukan dari tegakan pohon pinus.

Wana Wisata Pokland terletak di Kampung Selakopi, Haurwangi, Cianjur, Jawa Barat. Di tempat ini banyak ditemui vegetasi pinus yang berjajar rapi serta pemandangan pegunungan wilayah Saguling yang menghadap ke arah utara. Kawasan wisata tersebut dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bekerja sama dengan pihak Perhutani dan pemerintah desa setempat.

Waktu operasional Wana Wisata Pokland buka setiap hari, mulai pukul 08.00 sampai dengan 17.00 WIB. Khusus untuk hari Sabtu buka 24 jam. Tiket masuk juga cukup terjangkau, yaitu hanya Rp10.000 per orang dengan biaya parkir Rp2.000 untuk motor dan Rp5.000 untuk mobil. Jika pengunjung mau mencoba wahana di kawasan wisata dikenakan biaya tambahan Rp10.000 per wahana.

Sebelumnya memang banyak wahana yang bisa digunakan untuk berswafoto, tetapi sebagian di antaranya sekarang sudah tidak difungsikan lagi. Namun, justru jadi lebih ramah lingkungan dan lebih alami. Di sini kami hanya duduk-duduk sebentar menikmati kesegaran hutan pinus, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing.

Dalam perjalanan balik dari tempat wisata menuju Ciranjang, kami memilih jalan Cipeuyeum yang kemudian bertemu rute yang sama ke Doktormangku. Jalur alternatif yang sebenarnya lebih tepat untuk bersepeda santai dan tidak terburu-buru, daripada memilih jalan utama yang lebih ramai lalu lintas, berat, dan melelahkan. Jalan desa yang kami lalui biasanya berfungsi sebagai jalur alternatif bagi kendaraan yang terjebak macet menuju Ciranjang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda ke Wana Wisata Pokland Cianjur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-ke-wana-wisata-pokland-cianjur/feed/ 0 42333
Kenapa Kabut Senja Tak Lagi Jatuh di Sukarame? https://telusuri.id/kenapa-kabut-senja-tak-lagi-jatuh-di-sukarame/ https://telusuri.id/kenapa-kabut-senja-tak-lagi-jatuh-di-sukarame/#respond Thu, 11 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38614 Saya berkendara dari pusat kota Sukanagara, Cianjur, ke arah selatan menuju Sukarame. Jaraknya sekitar delapan kilometer. Sukarame berada di ujung selatan Kecamatan Sukanagara, dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Desa ini pasti...

The post Kenapa Kabut Senja Tak Lagi Jatuh di Sukarame? appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya berkendara dari pusat kota Sukanagara, Cianjur, ke arah selatan menuju Sukarame. Jaraknya sekitar delapan kilometer. Sukarame berada di ujung selatan Kecamatan Sukanagara, dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Desa ini pasti dilalui jika kita ingin pergi dari Sukanagara ke Sindang Barang atau Cidaun di pesisir selatan.

Matahari mulai condong ke arah barat. Angin dingin pegunungan berembus perlahan, menusuk pori-pori kulit. Beberapa kendaraan melaju cepat. Seolah berkejaran melintasi punggung-punggung bukit perkebunan teh, yang terhampar di antara Sukakarya dan Sukarame.

Sabtu petang itu (22/4/2023) saya menyengaja bertandang ke Sukarame. Tujuannya hanya satu, yaitu ingin menikmati kabut senja khas pegunungan. Walau pada akhirnya tetap gagal menikmati senja berkabut di desa ini.

Patok kilometer di tepi jalan raya, yang menandakan jarak dari Sukanagara ke Sukarame
Patok kilometer di tepi jalan raya, yang menandakan jarak dari Sukanagara ke Sukarame/Djoko Subinarto

Sukarame Dahulu dan Sekarang

Kedatangan pertama saya ke Sukarame sudah terjadi 30 tahun silam, untuk sebuah keperluan. Persis dua bulan setelah pemilihan umum (pemilu) yang terselenggara secara serentak pada 9 Juni 1992. Kabut tebal menyambut kedatangan saya ke desa yang sunyi kala itu. Saya juga sampai harus menginap beberapa pekan di desa tersebut. 

Saya menginap di sebuah rumah panggung sederhana milik seorang warga. Berdinding bilik dan mempunyai tiga jendela. Sayangnya, seperti sebagian rumah penduduk lainnya, rumah tersebut tidak memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK). Untuk keperluan mandi, mencuci baju maupun buang hajat, saya terpaksa harus lari ke sungai yang terletak di tengah-tengah kebun teh. Atau, nebeng ke rumah tetangga yang memiliki fasilitas MCK. 

Pada tahun segitu, jaringan listrik sama sekali belum tersedia di Sukarame. Untuk penerangan rumah di malam hari, warga mengandalkan lampu petromaks atau semprong. Maka saat malam hari kondisi di luar rumah benar-benar gelap, kecuali bulan sedang terang purnama. Sehabis isya, Sukarame seperti desa mati. Nyaris tak ada kehidupan.

Beberapa minggu tinggal di Sukarame membuat saya seolah benar-benar terputus dari dunia luar. Terisolasi. Meski demikian, saya menikmati kondisi itu. Lebih-lebih udara sejuk yang saya hirup saban hari, membuat badan serta pikiran lebih rileks. Hampir sepanjang hari kabut tebal turun menyapa. Nuansa pegunungan benar-benar terasa. 

Dari penuturan salah seorang aparatur desa, di awal tahun 1990-an mayoritas warga Sukarame bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan. Ada juga yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Salah satu problem yang menonjol di Sukarame ketika itu adalah angka putus sekolah yang masih tinggi. Sebagian besar anak di Sukarame tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SD. Penyebabnya antara lain faktor biaya dan jarak ke sekolah yang cukup jauh.

Tampak depan SD Negeri Sukarame, Kabupaten Cianjur
Tampak depan SD Negeri Sukarame, Kabupaten Cianjur/Djoko Subinarto

Kini, setelah tiga dasawarsa berlalu, saya kembali menginjakkan kaki di Sukarame. Saya berhenti persis di depan SD Negeri Sukarame.

“Apakah anak-anak sekarang masih banyak yang putus sekolah setelah tamat SD? Mudah-mudahan tidak,” batin saya sembari mengamati plang sekolah yang berdekatan dengan kantor desa Sukarame.

Sementara di sepanjang jalan saya melihat tiang dan kabel listrik dan telepon berderet. Itu artinya jaringan listrik dan telekomunikasi telah masuk ke Sukarame. Desa ini tak lagi terpencil seperti saat saya datang untuk pertama kalinya. Dua menara besar milik operator seluler juga terlihat menjulang di sekitar SD Negeri Sukarame dan kantor desa.

Tak Ada Kabut Lagi di Sukarame

Bangunan-bangunan di sekitar sekolah terlihat banyak yang telah berubah. Selain itu, lalu lintas kendaraan relatif lebih ramai. Sepeda motor, yang dulu langka di desa ini, tampak berseliweran. Sebaliknya, ada satu hal yang tidak terlihat lagi di Sukarame: kabut jatuh tatkala senja. 

“Kabut paling ada pagi hari. Itu juga kadang-kadang. Kalau petang, sekarang ini, tidak pernah ada lagi kabut,” kata seorang bapak yang membuka sebuah warung di teras rumahnya. Lokasinya beberapa ratus meter ke selatan dari SD Negeri Sukarame.

Kondisi jalan raya di Sukarame
Kondisi jalan raya di Sukarame/Djoko Subinarto

Mengutip Rutledge dkk (2022), kabut muncul ketika uap air, atau air dalam bentuk gas mengembun. Selama proses pengembunan, molekul uap air bergabung untuk membuat tetesan air kecil yang cair dan menggantung di udara. Disebutkan pula bahwa kabut terjadi saat cuaca sangat lembap dan harus ada banyak uap air di udara agar kabut terbentuk.

Sementara itu, Haby (2014) menjelaskan bahwa kabut cenderung lebih tebal dan bertahan lebih lama di kawasan perdesaan. Alasannya adalah suhu dan kelembapan. Kelembapan cenderung lebih tinggi di daerah perdesaan. Area dengan konsentrasi kelembapan yang lebih besar akan lebih mungkin mengalami kabut. 

Berdasar informasi tersebut, saya kemudian menarik sebuah kesimpulan. Tidak adanya kabut senja di Sukarame sekarang dapat bermakna bahwa konsentrasi kelembapan di desa itu sepertinya telah berkurang secara signifikan. Rentang 30 tahun memang waktu yang lumayan panjang untuk terjadinya banyak perubahan. Termasuk soal perubahan lingkungan, seperti yang terjadi di Sukarame, yang menjadikan kabut senja menyingkir dari desa ini.

Referensi

Rutledge, K., dkk. (2022). Fog. National Geographic Society. https://education.nationalgeographic.org/resource/fog.

Haby, J. (2014). Why is Fog More Common in Rural Areas?. The Weather Prediction. https://www.theweatherprediction.com/habyhints/192.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenapa Kabut Senja Tak Lagi Jatuh di Sukarame? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenapa-kabut-senja-tak-lagi-jatuh-di-sukarame/feed/ 0 38614
Ke Perkebunan Teh Tegalega untuk Sekadar Menikmati Sunyi https://telusuri.id/ke-perkebunan-teh-tegalega/ https://telusuri.id/ke-perkebunan-teh-tegalega/#respond Thu, 02 Feb 2023 04:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=36554 Suasana sunyi, udara bersih, panorama pegunungan, dan hamparan hijau perkebunan teh adalah kemewahan yang bakal kalian dapatkan jika bertandang ke Tegalega, yang lokasinya berada tak jauh dari Pasar Gekbrong, Cianjur, Jawa Barat. Pagi kembali datang....

The post Ke Perkebunan Teh Tegalega untuk Sekadar Menikmati Sunyi appeared first on TelusuRI.

]]>
Suasana sunyi, udara bersih, panorama pegunungan, dan hamparan hijau perkebunan teh adalah kemewahan yang bakal kalian dapatkan jika bertandang ke Tegalega, yang lokasinya berada tak jauh dari Pasar Gekbrong, Cianjur, Jawa Barat.

Pagi kembali datang. Mentari menampakkan parasnya, menyapa semesta raya, setelah semalaman sempat menghilang. Kesibukan tampak kentara dan terasa di sekitar Pasar Gekbrong, Cianjur, pagi itu. Aktivitas perniagaan warga di pasar itu ikut membuat arus lalu-lintas di Jalan Raya Gekbrong, yang menghubungkan Cianjur dan Sukabumi, nyaris selalu tersendat saban pagi. 

  • Kebun Teh Tegalega
  • Pasar Gekbrong
  • Kebun Teh Tegalega

Pasar Gekbrong adalah pasar tradisional, yang masuk ke wilayah administrasi Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Ditilik dari topografinya, pasar ini berada di titik paling tinggi dari gugusan salah satu bukit yang ada di sisi timur kaki Gunung Gede–Pangrango. 

Hiruk-pikuk keramaian yang selalu menyergap Pasar Gekbrong saban pagi justru sangat berkebalikan dengan suasana yang menyelimuti kawasan perkebunan teh Tegalega, yang berada sekitar tiga kilometer sebelah utara Pasar Gekbrong.

Bagi mereka yang rindu suasana pagi yang sepi-sunyi dengan udara bersih dan panorama pegunungan nan asri, tak perlu sungkan untuk menyambangi Tegalega. Untuk menuju ke sana, kalian bisa gunakan akses dari sisi utara Pasar Gekbrong.

Tak jauh dari pangkalan ojek yang ada di seberang Pasar Gekbrong, ada sebuah jalan yang tak terlalu besar, yang telah full beton. Jalan tersebut mengarah ke utara, dengan kontur naik-turun. Ikuti saja jalan itu.

Selain rumah-rumah penduduk, di sepanjang jalan tersebut kalian juga akan menjumpai ladang maupun kebun bambu, yang sebagian rumpun batang dan daunnya melengkung memayungi jalan.

Tatkala mendekati kawasan perkebunan Tegalega, kalian akan melihat gapura ‘selamat datang’, yang menegaskan bahwa kalian memasuki wilayah Kecamatan Warungkondang.

Di antara sejumlah pohon palem yang berjajar di kanan-kiri jalan, terlihat bentangan luas pohon teh. Di pagi hari sepi nan sunyi, yang dominan terdengar di sini cuma gemerisik dedaunan tertiup hembusan angin serta suara nyanyian sejumlah burung liar. Paling ketika agak siangan, sesekali bunyi deru mesin kendaraan warga mulai terdengar. Mereka umumnya memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi mengingat jalan relatif sepi.

Perkebunan teh Tegalega ini termasuk ke dalam wilayah pengelolaan PT Perkebunan Nusantara VIII.  Dari tengah-tengah perkebunan teh Tegalega, jika cuaca sedang cerah, kita dapat melihat dengan jelas sosok Gunung Gede–Pangrango yang berdiri megah di sisi barat dan Gunung Cimaja dan Gunung Gedogan yang berada di sisi utara.

Sewaktu saya melongok Tegalega, Rabu (14/12/2022) pagi, sebagian Gede–Pangrango sedang dibalut awan sehingga hanya bagian punggung bawahnya yang terlihat. Saat yang sama, puncak Gunung Cimaja dan Gunung Gedogan justru terlihat cukup jelas.

Kebun Teh Tegalega
Lantana camara/Djoko Subinarto

Saya susuri jalan perkebunan yang berbatu-batu dan bercampur tanah coklat. Serumpun tanaman saliara (Lantana camara) di kanan jalan menarik perhatian saya. Tanaman ini biasa kita jumpai tumbuh liar di alam bebas, seperti di sekitar lahan pertanian, padang rumput, lembah, lereng gunung, daerah pesisir, tanah terlantar, tepi hutan, tepi pantai, pinggir jalan maupun di kawasan hutan yang baru pulih dari kebakaran atau penebangan.

Saliara merupakan salah satu spesies tumbuhan berbunga dalam keluarga verbena (Verbenaceae). Tanaman yang memiliki daun dengan aroma menyengat ini adalah tumbuhan semak. Ia memiliki sistem perakaran yang sangat kuat dengan akar tunggang utama dan alas dari banyak akar samping yang dangkal. Di alam bebas, ia dapat tumbuh tegak hingga mencapai 1,8 meter.

Pagi itu, seekor kupu-kupu yang tampak mencolok berayun-ayun menyesap madu bunga saliara. Warna bunga saliara bervariasi. Ada yang oranye, merah darah, kuning, pink, bahkan ungu. Bunganya kecil berbentuk payung. Bunganya dapat mekar dalam waktu yang relatif lama. Bentuk mahkota bunganya menyerupai cakram dengan diameter sekitar 5 centimeter.

Buah saliara berbentuk bulat, kecil. Buah muda berwarna hijau. Ketika tua, berwarna ungu kehitaman. Rasanya manis. Aman dikonsumsi. 

Dari depan semak saliara itu, saat saya bergerak melangkah lebih jauh, seekor tupai berlari melintas di hadapan saya. Hanya sekelebat, tupai itu lantas menghilang di antara rimbunnya pohon teh yang ada di sisi barat. Berkali-kali menyambangi kebun teh, baru kali itulah saya bersua dengan tupai.

  • Kebun Teh Tegalega
  • Kebun Teh Tegalega

Pagi itu adalah untuk kesekian kalinya saya dolan-dolan ke Tegalega. Tiga tahun terakhir ini, saban ke Cianjur atau Sukabumi, jika ada waktu senggang di pagi hari, saya gunakan untuk jalan-jalan pagi di perkebunan teh Tegalega.

Jarak dari pusat Kota Sukabumi ke Tegalega sekitar 18 kilometer. Adapun dari pusat Kota Cianjur berjarak sekitar 16 kilometer.

Suasana yang relatif sepi–sunyi, udara bersih serta panorama pegunungan yang khas adalah yang mendorong saya memilih untuk sering jalan-jalan pagi di sekitar perkebunan teh Tegalega.

Dari perkebunan Tegalega ini, jika kita mengikuti jalan utama ke arah utara, kita bisa sampai ke daerah Mangunkerta dan Cijedil, Cugenang, yang November lalu sempat terdampak cukup parah oleh guncangan gempa bumi berkekuatan 5,6 skala Richter.

Saat hari beranjak agak siang, tak jarang terlihat beberapa pelintas menghentikan kendaraannya hanya sekadar untuk berfoto dengan latar kebun teh Tegalega. Ada juga yang berhenti agak lamaan sembari menikmati hidangan mie hangat dan segelas kopi di tenda penjual yang biasa mangkal di depan perkebunan teh Tegalega.Setelah beberapa jenak jalan-jalan santuy menikmati suasana pagi di perkebunan teh Tegalega, biasanya saya langsung menuju Pasar Gekbrong untuk membeli satu atau dua sisir pisang ambon lumut, sekadar oleh-oleh untuk orang rumah. Menurut pemilik kios pisang langganan saya di Pasar Gekbrong, pisang-pisang yang dijualnya adalah hasil dari para petani di sekitar Gekbrong.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ke Perkebunan Teh Tegalega untuk Sekadar Menikmati Sunyi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-perkebunan-teh-tegalega/feed/ 0 36554
‘Nge-teawalk’ ke Takokak https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/ https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/#respond Thu, 22 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36422 Di antara lengkungan bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengepung sebagian wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat, hamparan-hamparan kebun teh turut pula melengkapi panorama, memberikan nuansa hijau alami yang menyejukkan mata dan boleh jadi  menentramkan hati. Hamparan-hamparan kebun...

The post ‘Nge-teawalk’ ke Takokak appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara lengkungan bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengepung sebagian wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat, hamparan-hamparan kebun teh turut pula melengkapi panorama, memberikan nuansa hijau alami yang menyejukkan mata dan boleh jadi  menentramkan hati. Hamparan-hamparan kebun teh itu bisa kamu temukan, misalnya, di kawasan Takokak dan Sukanagara. Keduanya adalah kecamatan yang berada di sisi selatan Kabupaten Cianjur.

Kalau kalian suka mbolang menikmati panorama alam pegunungan, dan juga suka teawalk, baik sendirian atau pun bareng kawan-kawan se-gank, boleh coba sekali-kali mblusuk ke Takokak atau Sukanagara. Dari pusat Kota Cianjur ke Takokak berjarak sekitar 54 kilometer.  Adapun jarak ke Sukanagara dari pusat Kota Cianjur adalah 48 kilometer.

kebun teh
Hamparan Teh di Takokak/Djoko Subinarto

Selain dari pusat Kota Cianjur, Takokak dan Sukanagara dapat diakses dari wilayah Sukabumi. Kawasan Takokak beririsan langsung dengan kawasan Nyalindung, Sukabumi. Dari Nyalindung menuju Takokak sekitar 10 kilometer. Sementara dari Takokak ke Sukanagara berjarak sekitar 29 kilometer. 

Kamis (3/11/2022) pagi lampau, saya mencoba menjajal rute Nyalindung-Takokak-Sukanagara. Untuk sampai Nyalindung, dari daerah Sukaraja, Sukabumi, saya terlebih dahulu harus menuju daerah Baros. Dari kawasan Baros inilah, jalan menuju Nyalindung terbentang.

Salah satu yang ikonik dan menjadi penanda penting kawasan Baros yaitu Jembatan Leuwi Lisung—sering juga disebut Jembatan Jubleg. Jembatan ini membentang di atas Sungai  Cimandiri. Sebagian angkot yang melayani trayek Jubleg-Nyalindung kerap ngetem menunggu penumpang di atas jembatan ini.

Jembatan Leuwilisung
Jembatan Leuwilisung/Djoko Subinarto

Dari Jembatan Leuwilisung ke arah Nyalindung, jalan cenderung menanjak tipis dan bekelak-kelok. Posisi jalan berada di punggung perbukitan. Secara umum, kondisi jalan relatif lengang. Cuma, permukaan jalannya tak seluruhnya mulus. Di beberapa titik, permukaan jalan didominasi batu dan tanah. Di pagi hari, saat jam masuk sekolah, tak jarang kita dapat menyaksikan sejumlah anak berjalan bareng-bareng menuju sekolah mereka.

Untuk mencapai Takokak dari arah Nyalindung, patokannya adalah Indomaret Nyalindung. Setelah Indomaret ini, ada jalan ke arah kiri. Di mulut jalan, terdapat plang penunjuk arah. Lurus: Sagaranten. Belok kiri: Takokak dan Sukanagara.

Maka, kita ambil jalan ke kiri jika tujuannya adalah perkebunan teh di Takokak dan Sukanagara.

Perbatasan Takokak-Nyalindung
Perbatasan Takokak-Nyalindung/Djoko Subinarto

Memasuki jalan yang menuju Takokak-Sukanagara, jalan tampak lebih sunyi jika dibandingkan dengan jalan Raya Baros-Nyalindung. Kanan-kiri penuh oleh lanskap hijau. Ada belukar, padang rumput, kebun, sawah, hutan, juga sejumlah permukiman penduduk, yang tak terlalu padat. Tak ada angkot di jalur ini. Satu-dua motor yang ditumpangi warga melaju kencang. Terkadang terlihat juga truk atau mobil bak terbuka.

Setelah beberapa kilometer merayapi jalan, akhirnya saya sampai di perbatasan Takokak-Nyalindung. Ada sebuah tugu sederhana yang menjadi batas wilayah. Di kanan depan saya, tampak sebagian perkebunan teh. Luas wilayah Kecamatan Takokak  adalah 14.216,47 hektare. Berada di ketinggian rata-rata 1.167 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian, cukup ideal bagi budidaya tanaman teh.

Saya beristirahat sebentar tak jauh dari kebun teh, sembari memastikan posisi saya lewat fasilitas Google Maps. Dari fasilitas Google Maps pula saya ketahui  di depan saya, setelah Kantor Kecamatan Takokak, terdapat Danau Cigunung. Dan setelah Danau Cigunung, jika saya meneruskan perjalanan, saya akan sampai ke Perkebunan Teh Ciwangi, Sukanagara. 

Lantaran penasaran, dan melihat cuaca cerah, saya putuskan meneruskan perjalanan. 

Mendekati Kantor Kecamatan Takokak, denyut kehidupan tampak lebih terasa. Suasana lebih ramai. Ada sekolah, toko-toko, sejumlah instansi di kanan-kiri jalan yang saya lewati. Setelah melewati pusat Kecamatan Takokak, suasana kembali relatif sunyi. Sampai akhirnya saya tiba di depan Danau Cigunung. Lokasi danau ini berada di kiri jalan, jika datang dari arah Kecamatan Takokak. Luasnya lima hektare dan dikelilingi hutan pinus. Di seberang Danau Cigunung berjejer beberapa warung, yang pengunjung dapat mampir di danau untuk sekadar beristirahat sembari ngopi atau ngemil.

  • Danau Cigunung
  • Plang Perkebunan Ciwangi

Saya sempat ambil gambar Danau Cigunung beberapa kali, sebelum meneruskan perjalanan. Hutan kecil, kebun, rumah-rumah penduduk kembali saya lewati, hingga setelah sebuah mushala, saya mendapati sebuah plang agak kusam. Tertulis di plang itu: PT Lamteh. Perkebunan Ciwangi Cianjur. Gelondongan-gelondongan kayu teronggok di pinggir jalan kebun teh. Entah siapa empunya. Suasana hening.  Tidak ada aktivitas apa pun. 

Mereka yang suka keheningan atau mereka yang kepingin sedikit menjauh dari kebisingan maupun hiruk pikuk kota sembari memanjakan mata dengan menikmati lanskap hijau hamparan pohon teh, saya pikir kawasan kebun teh Ciwangi cocok untuk dijadikan pilihan. Setelah bergerak beberapa puluh meter memasuki perkebunan teh, saya berhenti sembari menjeprat-jepret kamera ponsel untuk ber-selfie dan mengambil gambar panorama sekitar.

Dari tengah-tengah kebun teh, saya arahkan pandangan ke sisi timur laut, menatap lapisan perbukitan nun jauh di depan saya. Perkiraan saya, di balik bukit-bukit itulah, pusat Kecamatan Sukanagara berada.

Kembali ke Google Maps, saya ketahui dari tempat saya berdiri menuju Kecamatan Sukanagara masih sekitar 20 kilometeran. Saya lihat langit di sisi timur, selatan, dan barat, yang semula cerah, terlihat mulai mendung. Saya khawatir terjebak hujan. dan memutuskan bergegas kembali ke Sukaraja, Sukabumi.

Di tengah perjalanan, beberapa kali saya mendengar nyaring suara halilintar. Saya berharap hujan tidak segera turun. Tapi, toh harapan tinggal harapan. Langit justru semakin gelap. Sekitar  17 kilometer sebelum Pasar Sukaraja, Sukabumi, hujan deras turun tak terbendung.

Saya buru-buru menepi untuk berteduh di sebuah emperan warung yang tutup. Dalam hati, saya mengucap syukur karena beruntung hujan deras itu tidak turun selagi saya tengah berada di kebun teh atau di tengah-tengah hutan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Nge-teawalk’ ke Takokak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/feed/ 0 36422
Tak Sengaja Menemukan Tugu Helm Kopral Syarif https://telusuri.id/tak-sengaja-menemukan-tugu-helm-kopral-syarif/ https://telusuri.id/tak-sengaja-menemukan-tugu-helm-kopral-syarif/#respond Wed, 23 Nov 2022 04:01:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36157 Iseng-iseng ngelayap merayapi salah satu sisi selatan kawasan Cianjur, Jawa Barat, akhirnya malah menemukan lokasi Tugu Kopral Syarif. Siapakah dia? Dan apa jasanya bagi Indonesia? Minggu (2/10/2022) pagi, saya iseng dolan ke kawasan Cibeber, salah...

The post Tak Sengaja Menemukan Tugu Helm Kopral Syarif appeared first on TelusuRI.

]]>
Iseng-iseng ngelayap merayapi salah satu sisi selatan kawasan Cianjur, Jawa Barat, akhirnya malah menemukan lokasi Tugu Kopral Syarif. Siapakah dia? Dan apa jasanya bagi Indonesia?

Minggu (2/10/2022) pagi, saya iseng dolan ke kawasan Cibeber, salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur. Dari ibu kota Kabupaten Cianjur, Cibeber berjarak sekitar 17 kilometer ke arah selatan. Adapun dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, Cibeber berjarak sekitar 80 kilometer ke arah barat daya.

Terdapat sejumlah rute yang dapat kita pilih dari Bandung menuju Cibeber. Rute mainstream yaitu melalui jalan nasional, Jalan Raya Bandung–Cianjur via Lingkar Selatan yang menuju Terminal Pasir Hayam. Dari Pasir Hayam, kita masih terus ke selatan mengikuti jalur jalan yang mengarah ke Sindang Barang, di kawasan Laut Kidul. Jarak dari Pasir Hayam ke Cibeber sekitar 11 kilometer—tak begitu jauh.

sawah
Hamparan Sawah di Cibeber/Djoko Subinarto

Minggu pagi di awal Oktober itu, dari arah Bandung, saya memilih tak sepenuhnya menggunakan rute mainstream untuk menuju Cibeber. Saya merayapi Jalan Raya Bandung–Cianjur hanya sampai kawasan Cipeuyem. Persis sebelum Stasiun Kereta Api Cipeuyeum, ada jalan ke arah kiri. Nama jalannya adalah Jalan Hegarmanah. Saya masuk ke jalan tersebut. 

Beberapa kali meneliti peta Google, jalan tersebut tampak bisa tembus ke kawasan Cibeber. Saya pikir kenapa tidak mencoba menjelajahi jalan ini. 

Beberapa meter memasuki Jalan Hegarmanah, yang tak terlalu lebar itu, saya jumpai seorang penjual roti bakar. Sekalian saja saya istirahat sembari membeli roti bakarnya. Penjual roti bakar itu seorang pria. Sudah rada sepuh. Ia menjual roti bakar menggunakan sebuah gerobak dorong. 

“Mau yang mana? Ada yang lima ribu. Ada yang tiga ribu,” katanya, dalam bahasa Sunda aksen Cianjuran.

Saya memilih yang tiga ribu. Saya memesan tiga potong roti. Bapak penjual roti bakar itu segera menyiapkan pesanan saya.

Sembari menunggu pesanan, saya menanyakan rute menuju Cibeber kepadanya.

“Ikuti terus saja jalan ini. Nanti bisa sampai Cibeber. Sudah bagus jalannya. Dulu mah, jalannya rusak. Cuma ke sana nggak ada angkot. Kalau pun mau pakai sepeda motor, harus yang mesinnya bagus dan remnya juga pakem. Ke selatan, jalannya nanjak-mudun,” jelasnya.

Penjual roti bakar itu menambahkan bahwa untuk menuju Cibeber bisa juga naik kereta api Siliwangi, dari Stasiun Cipeuyeum. Kereta ini melayani trayek Sukabumi–Cianjur–Cipatat. Ia mengatakan hal tersebut sembari membungkus tiga potong roti bakar pesanan saya dan kemudian memberikannya kepada saya.

Saya masukkan roti bakar dalam bungkusan plastik putih dan masih terasa hangat itu ke dalam ransel. Kemudian saya sodorkan selembar uang kertas Rp5.000 dan dua lembar Rp2.000. Saya pun segera pamit.

Suasana perdesaan kental terasa. Sawah maupun ladang terlihat membentang di sela-sela permukiman. Di kejauhan, tumpukan gunung serta bukit juga terlihat jelas berkat cuaca cerah pagi itu.

Benar kata bapak penjual roti bakar, mendekati kawasan Cibeber, kontur jalan turun-naik. Di beberapa titik, turunannya lumayan curam. Beruntung, jalan sudah berupa cor beton. Cukup mulus.

Di salah satu titik jalan yang agak landai, saya berhenti persis di bawah naungan sebuah pohon pisang yang tumbuh di kebun milik warga. Di depan saya, terbentang hamparan sawah. Terlihat samar-samar, nun jauh di sisi barat, Gunung Gede–Pangrango.

Saya teruskan perjalanan. Tiga atau empat tanjakan tebal saya lewati. Termasuk juga beberapa jembatan. 

Di sebuah titik lain, kembali saya berhenti. Yang membuat saya berhenti adalah deretan pohon bunga zinnia yang menjadi pembatas antara tepi jalan dengan lahan sawah yang terlihat sedang dipersiapkan untuk ditanami. Saya menyaksikan beberapa kumbang mungil dan kupu-kupu kuning kecil terbang hilir mudik mengitari rumpun bunga zinnia itu.

  • Bunga Zinia/Djoko Subinarto (1)
  • Bayam ekor kucing

Bergegas lagi menuju lebih ke selatan, kali ini yang saya temui sebagai pembatas antara tepi jalan dan sawah yang masih belum digarap adalah bunga bayam ekor kucing (boroco). 

Beberapa tanjakan tipis kembali harus saya lewati. Cuaca yang kian terik membuat butir-butir peluh bermunculan menghiasi sudut-sudut wajah saya. Saya perlu menepi mencari warung untuk membeli air minum. Tak jauh dari sebuah pertigaan, ketika celingukan kanan-kiri mencari warung itulah, pandangan mata saya tertumbuk pada sebuah tugu yang ada di seberang jalan.

Saya segera dekati tugu itu. Tertulis di dinding belakang tugu: “Tugu Pahlawan Revolusi Kemerdekaan.” Adapun tulisan yang tertera di tugu berbunyi: ”Gugurnya Kopral Syarif 1949”. Di atas tugu teronggok sebuah helm tentara.

Lantas, siapakah Kopral Syarif? Dan mengapa ada tugu untuknya? Pertanyaan itu terngiang di kepala saya.

Beberapa literatur menyebut nama lengkap Kopral Syarif adalah Kopral Syarif Waluyo. Ia adalah anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari Resimen Tangerang yang, saat masa Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia, sempat ditugaskan di kawasan Cianjur.

Konon, suatu ketika, satu kompi pasukan Belanda melintas di wilayah Cijaruman, Cibeber. Kopral Syarif, bersama dua temannya, melihat hal ini dan segera memutuskan melakukan penghadangan. Kontak senjata tak terhindarkan. Namun, karena ketiga pejuang itu kalah jumlah dan juga kalah dalam hal amunisi, ketiganya terkepung oleh pasukan Belanda. Kopral Syarif bersama dua rekannya akhirnya gugur di medan laga.

Untuk menghormati dan mengingat jasa Kopral Syarif inilah, warga lantas membuat tugu di lokasi di mana berlangsungnya pertempuran yang menewaskan Kopral Syarif dengan dua rekannya—yang hingga kini tidak pernah diketahui namanya.

Tugu Kopral Syarif
Tugu Kopral Syarif di Cibeber Cianjur/Djoko Subinarto

Tugu Kopral Syarif sendiri telah ada sejak tahun 1950. Tahun 2013 silam, tugu ini direnovasi. Posisi Tugu Kopral Syarif berada di sisi kanan jalan menuju arah Cibeber, yang berbukit-bukit, sekitar lima kilometer sebelum Kantor Kecamatan Cibeber.Tentu saja, sampai kapanpun, saya tak akan pernah mengetahui keberadaan Tugu Kopral Syarif ini andai tidak iseng ngelayap ke Cibeber via jalur Hegarmanah di awal Oktober itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Sengaja Menemukan Tugu Helm Kopral Syarif appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-sengaja-menemukan-tugu-helm-kopral-syarif/feed/ 0 36157
Beberapa Tugu Ikonik di Kota Tauco https://telusuri.id/beberapa-tugu-ikonik-di-kota-tauco/ https://telusuri.id/beberapa-tugu-ikonik-di-kota-tauco/#respond Mon, 22 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34900 Selain Tugu Tauco di Cianjur, terdapat pula Tugu Lampu Gentur, Tugu Kecapi Suling, dan Tugu Kuda Kosong. Adakah makna atau pesan-pesan tertentu di sebalik tugu-tugu tersebut? Selama ini, tauco begitu identik dengan Cianjur. Begitu menyebut...

The post Beberapa Tugu Ikonik di Kota Tauco appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain Tugu Tauco di Cianjur, terdapat pula Tugu Lampu Gentur, Tugu Kecapi Suling, dan Tugu Kuda Kosong. Adakah makna atau pesan-pesan tertentu di sebalik tugu-tugu tersebut?

Selama ini, tauco begitu identik dengan Cianjur. Begitu menyebut Cianjur, yang mungkin segera terlintas di benak sebagian orang adalah tauco. Julukan Kota Tauco melekat kuat-kuat pada Cianjur. Itu tidak salah. Lembar-lembar sejarah mencatat tauco telah masuk ke wilayah Cianjur jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. 

2C_Noda coretan di Tugu Tauco by DJOKO SUBINARTO
Noda coretan di Tugu Tauco/Djoko Subinarto

Sejumlah literatur menyebut pembawa tauco pertama ke Cianjur adalah seorang pedagang asal Tiongkok bernama Tan Kei. Diperkirakan itu terjadi sekitar tahun 1880. Sejak itu pula industri pengolahan tauco di Cianjur mulai berkembang, yang berangsur menjadikan produk hasil fermentasi rebusan kacang kedelai ini kemudian identik dengan Kota Cianjur.

Nama Cianjur sendiri dapat merujuk kepada setidaknya dua wilayah administratif. Yang pertama yaitu Kabupaten Cianjur, dengan luas sekitar 3.614 kilometer persegi. Yang kedua adalah kecamatan Cianjur, yang sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Cianjur, dengan luas sekitar 26,15 kilometer persegi.

Jika melintas ke tengah-tengah Kota Cianjur, persis di perpotongan Jalan Dr. Muwardi dan Jalan HOS Cokroaminoto, di antara jejeran toko oleh-oleh khas Cianjur, kita dapat melihat Tugu Tauco. Keberadaan tugu ini tentu saja untuk kian menegaskan bahwa tauco memang identik dengan Cianjur.

Terlihat replika tiga botol tauco raksasa berwarna kecoklatan, yang seolah sedang mengucurkan tauco ke sebuah mangkuk, terpajang di Tugu Tauco. Kabarnya, di awal-awal sejak peresmiannya, tugu ini dilengkapi dengan air yang memancur. Namun, saat melongok tugu ini, di siang bolong berawan, pada pertengahan Mei 2022 lalu, saya sama sekali tak mendapati adanya air yang memancur. Yang justru membuat saya agak prihatin yaitu keberadaan beberapa coretan hasil dari tangan-tangan jahil di sekitar tugu nan ikonik ini.

3C_Tugu Lampu Gentur by DJOKO SUBINARTO
Tugu Lampu Gentur/Djoko Subinarto

Dan berbicara tugu ikonik di Cianjur, Tugu Tauco bukan satu-satunya. Jika bergeser ke sebelah barat, sekitar 1,7 kilometer dari Tugu Tauco, kita dapat bersua dengan Tugu Lampu Gentur. Tatkala meluncur dari arah Kota Kembang, Bandung, menuju kawasan Puncak atau sebaliknya, Tugu Lampu Gentur ini pasti akan kita lewati.

Lampu gentur merupakan salah satu produk kerajinan khas Cianjur yang kini telah menjadi warisan budaya tak benda Kabupaten Cianjur. Gentur sendiri merujuk kepada nama sebuah kampung di Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Cianjur, tempat lampu hias ini diproduksi. Selain untuk memenuhi pasar domestik, produk lampu gentur Cianjur juga diekspor untuk memenuhi permintaan pasar di sejumlah negara.

Kecapi suling

4C_Tugu Suling by DJOKO SUBINARTO
Tugu Suling/Djoko Subinarto

Bergeser ke arah timur dari Tugu Lampu Gentur dan Tugu Tauco, kita dapat menjumpai tugu lainnya yakni Tugu Kecapi Suling. Tugu ini berada di Jalan Raya Bandung Cianjur. Persisnya di daerah Sukamantri, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur.

Tugu Kecapi Suling mengapit Jalan Raya Bandung-Cianjur. Dengan demikian, ada dua tugu berdiri di tepi jalan. Jika meluncur dari arah Cianjur, Tugu Suling berada di sisi kiri, sementara Tugu Kecapi berada di sisi kanan kita.

Kecapi dan Suling keduanya adalah waditra (instrumen musik) yang lazim dipergunakan dalam musik-musik tradisional Sunda, terutama pada tembang Cianjuran dan musik degung.

Sayang, seperti juga Tugu Tauco, beberapa coretan terlihat pula menghiasi tugu ini. Di saat yang sama, rumput liar tumbuh subur sementara kepingan-kepingan sampah bertebaran di sekitar tugu.

6C_Tugu Kuda Kosong by DJOKO SUBINARTO
Tugu Kuda Kosong/Djoko Subinarto

Kurang lebih lima kilometer dari Tugu Kecapi Suling, ke arah Bandung, berdiri tugu ikonik lainnya, yaitu Tugu Kuda Kosong. Tugu ini menjadi bagian dari taman kecil, yang menjadi pembatas perpotongan jalan antara Jalan Raya Bandung-Cianjur dan Jalan Raya Cibogo-Ciranjang.

Kuda kosong adalah salah satu seni tradisional khas Cianjur. Unsur utama dalam seni kuda kosong adalah kuda beserta aksesorisnya, hiasan bunga, payung, penuntun kuda plus beberapa prajurit sebagai pengiring.

Cikal bakal seni kuda kosong bisa dilacak ke masa pemerintahan kerajaan Mataram. Konon, di masa itu, Raja Mataram memberi hadiah berupa sebilah keris, seekor kuda, dan bibit pohon saparantu kepada Dalem Cianjur, Raden Kanjeng Aria Wiratanudatar.

Saat dibawa ke Cianjur, kuda hadiah dari raja Mataram tersebut hanya dituntun alias tidak ditunggangi. Begitu sampai ke Cianjur, kuda hadiah itu langsung diarak keliling kota dan sekaligus menjadi sebuah tontonan bagi masyarakat Cianjur. Sejak itulah, konon, seni kuda kosong lahir di Cianjur dan lantas menjadi salah satu seni tradisi yang identik dengan Kabupaten Cianjur.

Atraksi seni kuda kosong pernah dilarang dipertontonkan selama rentang tahun 1998-2006 oleh pemerintah Kabupaten Cianjur. Penyebabnya karena sebagian besar masyarakat Cianjur masih meyakini bahwa atraksi kuda kosong dilakukan dengan melibatkan hal-hal mistis dan gaib yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.

Namun, pada tahun 2006, saat masa kepemimpinan Bupati Tjetjep Muchtar Soleh, setelah melakukan musyawarah dengan para ulama dan budayawan setempat, seni kuda kosong akhirnya dapat kembali dipertunjukkan di hadapan publik. Saat ini, seni kuda kosong hanya ditampilkan pada acara perayaan hari jadi Kabupaten Cianjur dan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tentu saja, di samping Tugu Kuda Kosong, Tugu Kecapi Suling, Tugu Tauco, dan Tugu Lampu Gentur, Cianjur masih menyimpan beberapa tugu ikonik lainnya. Misalnya, Tugu Pandan Wangi di Rancagooong serta Tugu Teh di Sukanagara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Beberapa Tugu Ikonik di Kota Tauco appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/beberapa-tugu-ikonik-di-kota-tauco/feed/ 0 34900
Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/ https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/#respond Sat, 09 Jul 2022 02:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34493 Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau...

The post Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna appeared first on TelusuRI.

]]>
Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau yang berjualan di sekitar Taman Asmaul Husna.

Cincau tampaknya telah identik atau menjadi trademark Taman Asmaul Husna. Di kawasan ini, berjejer puluhan penjual cincau, yang menggelar dagangannya menghadap langsung ke Jalan Raya Bandung-Cianjur. 

Penjual cincau
Penjual cincau/Djoko Subinarto

Siang itu, aku sedang berada dalam perjalanan dari Puncak, Cianjur, menuju Padalarang, Bandung Barat, dan memutuskan berhenti sejenak di Taman Asmaul Husna. Aku kemudian mendekati salah satu lapak penjual cincau yang ada di situ. Penjualnya seorang ibu berkerudung. Ia tengah menyiapkan pesanan cincau untuk lima orang yang baru saja turun dari sebuah mobil. Kelima penumpang itu lantas duduk lesehan di atas tikar di dalam lapak, menunggu pesanan cincau mereka dihidangkan.

Lapak penjual cincau
Lapak penjual cincau/Djoko Subinarto

Di seberang lapak itu, beberapa mobil dan sepeda motor terparkir. Pengendara dan penumpangnya juga duduk-duduk lesehan di dalam lapak-lapak penjual cincau. Begitu kelar membuatkan pesanan cincau untuk para penumpang mobil, aku segera minta pada ibu penjual cincau itu untuk membuatkan satu gelas buatku.

“Mau pakai es atau tidak?” tanyanya.

Kujawab, “Pakai. Tapi, sedikit.”

Aku duduk di dekatnya. Tak begitu lama, ia menyodorkan cincau pesananku. Namun, tidak langsung aku nikmati. Cincau itu aku taruh di atas tikar. Kubiarkan beberapa saat agar esnya lebih mencair serta air gulanya lebih meresap dan merata.

Ibu penjual cincau itu mengaku bahwa cincau buatannya sama sekali tanpa pengawet. “Karena tanpa pengawet, jadi terbatas kekenyalannya. Tidak bisa lama sampai berhari-hari. Paling bertahan sekitar 12 jam. Setelah itu, bakal encer lagi. Berubah jadi air,“ jelasnya, seraya menambahkan bahwa jika cincau tidak laku, dan telah lewat dari 12 jam, maka ia langsung membuang cincau itu.

Ibu itu berjualan cincau selama 24 jam nonstop. Ia bergiliran dengan suami dan salah seorang anaknya menunggui dagangannya. Si ibu hanya bertugas dari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 20.00.

“Tadi, pagi-pagi, anak saya yang nunggu lapak.”

Ia membuat cincau sebanyak dua kali, pagi dan petang. ”Untuk jualan yang siang, bikinnya pagi hari. Untuk jualan yang malam, bikinnya sore hari, ” paparnya.

Daun cincau
Daun cincau/Djoko Subinarto

Daun cincau

Cincau yang biasa dikonsumsi dalam wujud gel atau agar-agar dari pengolahan daun cincau. Untuk membuat gel cincau, daun cincau perlu diblender kasar atau diremas-remas dalam air matang, sebelum kemudian ditiriskan hingga mengental.  

Secara umum, terdapat dua jenis tanaman cincau. Jenis pertama adalah cincau hitam (Platostoma palustre). Adapun jenis kedua yaitu cincau hijau (Cyclea barbata).  

Menurut ibu penjual cincau yang aku ajak berbincang siang itu, untuk membuat 20 gelas cincau dibutuhkan sekurangnya satu kilogram daun cincau. Daun-daun cincau itu ia dapatkan dari pemasok.

”Harganya Rp15.000 per kilo. Tapi, kalau pas musim kemarau, harganya naik jadi Rp25.000 per kilo,” sebutnya.

Ibu itu memilih membeli daun-daun cincau dari pemasok karena ia tak memiliki lahan untuk menanam pohon cincau. Ia telah dua belas tahun berjualan cincau di Taman Asmaul Husna.

“Sebelumnya mah berjualan di rumah,” katanya.

Selain cincau, di lapaknya, ia juga menyediakan minuman dan makanan ringan. Ada air mineral kemasan, teh botol, kopi saset, dan beberapa minuman kemasan lainnya, kacang atom, chiki ball, juga pop mie. Sementara itu, di sejumlah lapak lain, di samping cincau, aku juga melihat ada mie bakso dijajakan.

Kehadiran para penjual cincau membuat kawasan Taman Asmaul Husna tak pernah sepi. Para pengendara yang melaju dari Bandung menuju Cianjur, atau sebaliknya dari Cianjur menuju Bandung, kerap memanfaatkan lapak para penjual cincau ini untuk sekadar rehat, sambil tentu saja membasahi kerongkongan dengan cincau yang disajikan dengan parutan es plus cairan gula aren.

Taman Asmaul Husna sendiri membentang sekitar satu kilometer dan berada persis di kedua sisi Jalan Raya Bandung-Cianjur, tak jauh dari Jembatan Citarum, Rajamandala. Di taman ini, terdapat 14 panel tulisan kaligrafi, yang menghiasi dua sisi jalan. Taman Asmaul Husna disebut-sebut sebagai satu-satunya taman kaligrafi terbesar di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. 

Kendaran di depan lapak cincau
Kendaran di depan lapak cincau/Djoko Subinarto

Tahun 2018 lalu, saat persiapan dan penyelenggaraan Asian Games, Pemkab Cianjur sempat melarang para penjual cincau berjualan di Taman Asmaul Husna. Tapi, kemudian, pada tahun 2019, mereka diperbolehkan kembali berjualan di taman ini.

“Dulu, memang sempat dilarang berjualan,” kata ibu penjual cincau, sambil membuatkan pesanan secangkir kopi instan untuk salah seorang pengendara sepeda motor. 

“Tapi, ke depannya mau dilarang lagi berjualan di sini. Denger-denger disuruh pindah nanti ke dalam rest area Haurwangi. Kalau saya sih, ngikutin apa kata pemerintah aja. Yang penting bisa tetep berjualan,” harapnya. 

Mentari mulai agak condong ke sisi barat. Sinarnya sudah tidak terlalu terik.

“Berapa, Bu?” tanyaku memastikan harga segelas cincau pesananku yang telah tandas kulahap.

“Lima ribu,” jawabnya.

Kusodorkan uang kertas lima ribuan, sembari mengucapkan terima kasih.

Dan aku segera melanjutkan perjalanan menuju Padalarang, Bandung Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/feed/ 0 34493
Menyusuri Cianjur Di Akhir Pekan https://telusuri.id/menyusuri-cianjur-di-akhir-pekan/ https://telusuri.id/menyusuri-cianjur-di-akhir-pekan/#respond Sun, 07 Feb 2021 08:46:05 +0000 https://telusuri.id/?p=26903 Sebut saja namanya Dian, seorang karyawati yang senang bertualang seperti kamu. Dian selalu menyempatkan akhir pekannya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dikunjungi selama akhir pekan, dengan budget yang tidak terlalu mahal. Tentu saja Dian melakukan ini...

The post Menyusuri Cianjur Di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebut saja namanya Dian, seorang karyawati yang senang bertualang seperti kamu. Dian selalu menyempatkan akhir pekannya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dikunjungi selama akhir pekan, dengan budget yang tidak terlalu mahal.

Tentu saja Dian melakukan ini dengan alasan, bahwa hobinya tidak boleh mengganggu tabungan yang Ia kumpulkan untuk masa depan. Jelas, Dian punya mimpi yang lebih luas daripada selembar tiket perjalanan wisatanya.

Melalui artikel yang dikirimkan, Dian ingin berbagi pengalamannya mengunjungi salah satu kota penghasil beras di pulau Jawa, dan tentu saja kalian sudah kenal dengan varietas unggulnya.

Ia menyempatkan akhir pekan lalu untuk mengunjungi Cianjur, sebuah kota yang kita lewati manakala hendak menuju Bandung menggunakan Jalur Cipanas, Bogor, dan Jalur Sukabumi.

Kota yang bersuhu sejuk ini menurut Dian menyimpan banyak pesona wisata yang sayang untuk tidak dibagikan kepada kalian. Lokasinya yang berada di dataran tinggi menjadikan Cianjur memiliki destinasi wisata yang didominasi oleh pemandangan alam.

Little Venice Cipanas
Little Venice/Yuda Tri Lesmana (Google Local Guide)

Little Venice, Cipanas

Sebut saja Little Venice yang berada di kota bunga, Cipanas. Tepatnya berada di Batulawang, Kec. Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sebuah resort yang menghadirkan kesan Italia untuk menarik perhatian wisatawan seperti Dian untuk berkunjung.

Little Venice dirancang menyerupai mirip kota aslinya, Venice, italia. Dengan menghadirkan wisata air dan kanoe. Bangunan-bangunan di sekitar lokasi ini juga dibuat mirip dengan gaya arsitektur Eropa. Dian menghabiskan waktu menaiki kanoe yang disediakan pengelola untuk mengitari danau buatan, atau berswafoto di spot-spot bangunan sekitar danau ini. Jika tidak mau bermain kanoe, Dian merekomendasikan kamu untuk mengelilingi taman bunga yang dirawat dengan baik oleh pengelola, untuk kamu nikmati kecantikannya tanpa di petik.

Di sekitar tempat ini juga tersedia bangunan-bangunan dengan konsep unik. Cukup bagus untuk sekedar dijadikan background swafoto karena terdapat bangunan bergaya Asia hingga Timur Tengah.

Tiket masuk ke Little Venice sebesar Rp40 ribu, jika kamu mau menaiki kanoe atau atraksi lain, pengelola menerapkan harga mulai dari Rp20-25 ribu per atraksinya. Kamu bebas pilih sendiri mana yang kamu suka.

Karena tempatnya yang berada di kawasan wisata, Dian tidak kesulitan menggunakan transportasi umum, mengingat ada angkutan kota yang bisa digunakan untuk mengantar kita hingga ke lokasi ini. Bahkan tersedia parkiran bagi kalian yang hendak menggunakan kendaraan pribadi seperti motor, biaya parkirnya terjangkau, hanya Rp10 ribu untuk kendaraan roda 2, dan Rp50 ribu untuk kendaraan roda empat.

Menurut Dian, jika kita menggunakan lajur Sukabumi untuk menuju Cianjur, kita bisa menjumpai destinasi wisata lain yang menarik dan kaya akan pengetahuan. Tempat tersebut bernama Situs Gunung Padang.

Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang/Igor Rudik (Flickr)

Dari catatan rekomendasi yang dibuat olehnya, Dian menyebutkan bahwa lokasi wisata yang beralamat di Jl. Alternatif Cibubur, Karyamukti, Campaka, Kab. Cianjur ini menjadi situs megalitikum yang banyak dikunjungi untuk riset atau penelitian antropologi. Ada hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa tempat ini adalah punden berundak berbentuk piramida terbesar di Asia Tenggara atau bahkan dunia.

Namun karena Dian tidak menggunakan jalur ini, dia tidak menyebutkan banyak hal tentang tempat wisata yang terkenal di Cianjur tersebut.

Taman Bunga Nusantara

Taman Bunga Nusantara
Taman Bunga Nusantara/Desyi Yin (Flickr)

Ia melanjutkan perjalanan dari Little Venice menuju Taman Bunga Nusantara, sebuah taman yang berisi bunga warna-warna warni dan penangkaran Elang Jawa. Menurut literasi, lokasi ini didirikan atas prakarsa ibu Dani Bustanil Arifin pada tahun 1992, yang kebetulan saat itu menjabat sebagai ketua Yayasan Bunga Nusantara. Lokasi ini dibangun sebagai area Agrowisata yang kemudian diresmikan sebagai lokasi wisata pada tahun 1995 oleh Presiden kala itu, Soeharto. 

Yang menjadi tujuan utama Dian berkunjung ke sini adalah Taman Mawar dan Taman bunga yang diperlakukan khusus dalam Green House. Dian berniat untuk membawa beberapa tanaman bunga untuk dihadiahkan kepada Ibunya di rumah.

Untuk menuju taman ini, Dian menyebutkan kita bisa menggunakan beberapa transportasi yang disediakan oleh pengelola dengan membayar sejumlah uang. Seperti dotto train (kereta dotto) yang merupakan miniatur kereta. Dotto train bisa digunakan untuk mengitari area taman bunga setelah membayar tiket sebesar Rp50 ribu Kereta ini dioperasikan oleh pengelola untuk mengakomodasi pengunjung pada akhir pekan dan hari libur nasional.

Jika butuh kendaraan lain yang bisa mengantar keliling Taman Bunga Nusantara, Dian merekomendasikan garden tram dan mobil wara-wiri. Moda transportasi ini beroperasi setiap hari, dengan harga tiket Rp40 ribu per orang untuk wara-wiri, dan Rp50 ribu untuk garden tram.

Dian menyebutkan bahwa lokasi ini sangat menghibur akhir pekannya, sehingga Ia merasa lebih fresh setelah mengunjungi tempat tersebut, mengingat lokasinya sangat dekat dengan Jakarta.

Kamu juga bisa membagikan tulisan perjalanan seperti yang Dian lakukan dengan menghubungi TelusuRI. Kami tunggu cerita menarikmu.

The post Menyusuri Cianjur Di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-cianjur-di-akhir-pekan/feed/ 0 26903