ciremai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ciremai/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 27 Mar 2025 05:47:24 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 ciremai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ciremai/ 32 32 135956295 Teman Rinjani https://telusuri.id/teman-rinjani/ https://telusuri.id/teman-rinjani/#comments Sun, 24 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43671 Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun. Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki...

The post Teman Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun.

Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki mulai berdatangan. Sebuah ruangan besar di lantai dua penginapan jadi tempat kumpul. Kami akan bermalam di situ. Tempatnya bersih. Beralaskan karpet. Ada bantal-bantal. Bebas ngapling di mana.

Saya pilih dekat colokan listrik tunggal biar pengawasan lebih mudah. Kamar mandi ada dua. Air mengalir lancar dan serasa es—bikin menggigil. Namun, levelnya masih di bawah dinginnya Ranu Pani. Atau Cemoro Kandang, Lawu.

Bahkan waktu saya ke Rinjani via Senaru 27–29 April 2024, desa di kaki Gunung Rinjani ini tidak dingin. Tentu banyak faktor memengaruhi, baik ketinggian desa maupun memang belum masuk musim dingin. 

Saat dulu mendaki via Senaru, saya reservasi tiket mandiri (perorangan). Lain ketika lewat Sembalun kali ini, saya memanfaatkan jasa open trip (OT). Sebuah layanan pendakian bersama yang ditangani pihak swasta. Alasan utama memakai OT adalah soal tiket daring Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI) TNGR. Waktu kapan pun yang saya pilih, pihak OT bisa menyediakan tiket digitalnya. Tidak perlu berebut kuota di hari, tanggal, bulan tertentu. Sebab, memang waktu saya terbatas sekali.

Saya dapat tiket untuk tanggal pendakian 1–4 Juni 2024. Lega. Tambah lagi, dipastikan ada teman mendaki. Tidak kayak lewat Senaru sebelumnya yang benar-benar solo climbing! Carrier di punggung, daypack di dada, dan tangan kanan jinjing tenda.

Teman Rinjani
Kepadatan di depan kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Resor Sembalun/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Teman Baru dari Cirebon

OT Rinjani mempertemukan saya dengan banyak pendaki dari daerah lain, seperti Ambon, Makassar, Jakarta, dan Tangerang. Senang bukan main. Lebih bungah lagi, pas di satu momen, saya kenalan pendaki dari Cirebon. Rumahnya di Taman Cipto. Tidak jauh dari kediaman saya di Perumnas Rajawali.

Namanya Teguh Umbara. Waktu itu dia mau keluar ruangan. Cari makan malam. Saat saya ajak ngobrol, ternyata tahun kelahiran sama: 1985. Namun, dia lulus SMA lebih dulu tahun 2002, sedangkan saya setahun kemudian.

Dia alumnus SMAN 2 Cirebon. Anaknya empat, perempuan semua. Masih ikhtiar pengen punya anak cowok. Saya lulusan SMAN 3 Cirebon. Anak lima, tiga cowok dan dua cewek. Anak pertama-kedua kembar. Ketika saya tunjukkan video pendakian bareng tiga jagoan anak lanang, berjibaku di trek pasir berbatu jelang puncak Slamet via Permadi, Teguh terpana.

“Nanti kalau punya anak lelaki, bakal saya ‘siksa’ seperti itu,” ucapnya serius. Maksudnya, dia punya keinginan kuat akan melatihnya demikian, kalau punya seorang putra.

Saya sendiri, sebagai pendaki yang telah naik gunung sejak tahun 2001, punya cita-cita menularkan hobi ini ke generasi penerus. Maka ketika punya tiga anak laki-laki, saya mantap mengenalkan kegiatan alam terbuka (kemah dan mendaki) kepada mereka sejak dini. Anak kembar saya, Rean Carstensz Langie dan Evan Hrazeel Langie, perdana mendaki gunung saat kelas 6 SD (12 tahun). Adiknya, Muhammad, sampai puncak Ciremai kelas 1 SD (7 tahun). Saya berperan sebagai pelatih, pemandu, sekaligus porter.

Teguh sendiri mengaku kenal naik gunung belum lama. “Habis Covid aja,” katanya. 

Teman Rinjani
Teguh di Danau Segara Anak Gunung Rinjani/Teguh Umbara

Bertukar Cerita

Tadinya Teguh hobi naik sepeda. Senang rute menanjak, tetapi beberapa teman kurang suka. Akhirnya berpisah jalan. “Kebetulan saya juga sempat kena obesitas,” Teguh menyebut alasan lain tertarik mendaki. Ia mengidentifikasi diri sebagai “PSK” alias Pria Satus Kilo (pria seratus kilogram).

Dia lalu mencoba pendakian perdana pergi-pulang tanpa bermalam (tektok) di Gunung Ciremai via Linggarjati tahun 2022. Eh, langsung cocok. Sejak itu keranjingan. Hampir tiap pekan tektok Ciremai. Kemudian merambah gunung lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

“Tinggal Semeru belum,” ujarnya lirih. Menunjukkan penantian yang entah kapan terwujud. Memendam penasaran pada Ranu Kumbolo, merasakan Tanjakan Cinta, menapaki medan kerucut berpasir yang lebih halus dari trek “Letter E” Rinjani, lalu berdiri gagah di Mahameru (3.676 mdpl).

Saya beruntung sudah merasakannya 22 tahun lalu. Saat masih kelas 2 SMA. “Saya ke Semeru 2002,” cerocos saya memanas-manasi Teguh.

Saya mengenang momen ketika dataran puncak bergetar disertai suara gemuruh. Tiba-tiba kawah Jonggring Saloka meletupkan material vulkanik ke udara. Asapnya menggumpal, mengundang para pendaki mengabadikan momen khas tersebut. 

Letupan itu muncul tiap 15 menit sekali. Batas toleransi kita diperbolehkan ada di area puncak maksimal pukul 09.00 WIB. Selebihnya, arah angin berubah, berpotensi membawa material pasir berbatu yang panas dari perut bumi dan gas berbahaya ke arah pendaki.

Belakangan saya baru tahu ternyata Teguh belum menjajal Gunung Ciremai via jalur Sadarehe. Rute ke atap Jawa Barat yang pernah saya daki bersama anak lanang pada 6 November 2022 ini baru diresmikan pada 25 Agustus 2022 di Rajagaluh, Majalengka.

Tampaknya bensin pendakian Teguh segera menyambar kobaran api di dada dan betis. Dua pekan sepulang dari Rinjani, ia langsung bergegas ke Sadarehe. Mengirim kabar gembira berupa sunrise di puncak Ciremai via grup Rinjani 1–4 Juni 2024

Saya turut meramaikan. Saya mengirim foto merubung tiang papan penunjuk puncak Ciremai Sadarehe bersama tiga jagoan saya. Pendaki Tangerang, Uda Johny, berkomentar dengan gambar stiker, Gaaass pooll, jangan kasih kendor!

  • Teman Rinjani
  • Teman Rinjani

Pertemuan Lanjutan

Dua bulan sepulang dari Lombok, saya coba mengunjungi Teguh di kompleks perumahan elit Taman Cipto. Sengaja saya tidak janjian lagi. Dadakan, karena dua kali berencana sebelumnya justru meleset.

“Masa di Lombok ketemu, di Cirebon enggak,” batin saya.

Alhamdulillah, dia ada di rumah. Kami akhirnya bertemu kembali. Waktu itu belum lama momen Agustusan.

Saya pun memulai obrolan, “Sudah, Mas, ke Kerincinya?”

Ia menjawab pelan, “Sudah. Saya juga baru dari Latimojong. Tujuh belasan di sana.”   

Sontak saya kaget. Gila!

“Bareng Tiga D?”

“Yang Kerinci, iya. Yang Latimojong, udah daftar [malah] batal. Kuota pendaki enggak terpenuhi. Akhirnya pakai OT lain.”

Segera saya wawancara Teguh. Ingin dengar cerita serunya di Kerinci dan Latimojong. Suguhan kopi Toraja menambah hangat suasana. “Dari Makassar masih jauh (ke kaki Latimojong). Pulangnya lewat Toraja, lebih dekat ke Makassar,” paparnya.

Hanya saja pas di Kerinci, Teguh belum jodoh bisa melihat kawahnya. “Full kabut sejak mulai masuk Tugu Yudha.” 

Dia coba bersabar. Menunggu cuaca cerah. Namun, sampai satu setengah jam di titik tertinggi Pulau Sumatra, angin malah tambah kencang dan udara makin menggigit.

“Akhirnya turun,” ujarnya kecewa. “Eh, pas turun, dekat batas vegetasi, cuaca cerah sekali,” sesalnya. 

Pertengahan September lalu, Teguh juga berhasil menggapai atap Sumatra Selatan: Gunung Dempo (3.178 mdpl). Daftar tunggu tiap gunung yang akan ia daki, sejauh ini berjalan sesuai rencana.

Dari kiri ke kanan: foto-foto Teguh saat di tiga puncak gunung dalam waktu berdekatan, yaitu Kerinci Latimojong, dan Dempo/Dokumentasi Teguh Umbara

Sisi Positif Open Trip

Tak bisa dimungkiri, layanan OT memudahkan pendaki zaman sekarang. Yang penting fisik prima dan duit melimpah, bisa langsung ikut pilihan perjalanan OT. Tentunya memilih operator OT yang punya rekam jejak baik, memiliki pemandu berpengalaman dan bersertifikasi. Bukan OT yang cari untung semata, lantas mengabaikan keselamatan dan tanggung jawab pada klien.

Naik sama siapa, sudah tidak bingung lagi. Layanan OT mempertemukan pendaki dari mana saja. Lintas generasi. Seperti yang saya jajal saat ikut OT Rinjani, saya ketemu Teguh dan rombongan Tangerang: Pak Orick, Uda Johny, Mas Yoke, dan lain-lain.

Saya lebih senang menyebut peserta OT sebagai pendaki gunung trendi masa kini. Tanpa maksud merendahkan sama sekali. Bagaimanapun mereka sudah menjalani olahraga mendaki gunung; berkeringat, berlelah-lelah, kedinginan, hingga mencapai puncak idaman.

Mendaki gunung bukan lagi “milik” anggota organisasi pencinta alam. Teguh buktinya. Mulai mendaki 2022, dengan modal kantung tebal dan waktu luang sebagai bos perusahaan, koleksi gunungnya lebih lengkap dari saya yang mendaki 21 tahun lebih dulu.

Terima kasih, Rinjani. Kami tinggalkan jejak kaki di puncakmu. Menorehkan cerita persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Membentangkan kenangan sampai anak cucu. Salam lestari! 




Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teman Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teman-rinjani/feed/ 1 43671
Mendaki Ciremai via Linggarjati di Musim Hujan Ternyata Memang Melelahkan https://telusuri.id/mendaki-ciremai-musim-hujan/ https://telusuri.id/mendaki-ciremai-musim-hujan/#respond Sun, 04 Mar 2018 02:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=7064 Ide mendaki Ciremai musim hujan sebenarnya bukan dari saya atau tiga kawan yang nanjak bareng saya 24-25 Februari 2018 kemarin. Itu sebenarnya kaul dari dua kawan lain, sementara niat awal kami cuma menemani. Lucunya, kedua...

The post Mendaki Ciremai via Linggarjati di Musim Hujan Ternyata Memang Melelahkan appeared first on TelusuRI.

]]>
Ide mendaki Ciremai musim hujan sebenarnya bukan dari saya atau tiga kawan yang nanjak bareng saya 24-25 Februari 2018 kemarin. Itu sebenarnya kaul dari dua kawan lain, sementara niat awal kami cuma menemani. Lucunya, kedua kawan itu malah absen di acara yang mereka rencanakan sendiri.

Tapi apa daya. Tiket kereta ke Jawa Barat sudah dibeli, logistik sudah dilengkapi, dan saya sudah telanjur rindu sama halimun gunung. Sebagai tambahan, saya juga penasaran sekali merasakan sensasi naik Gunung Ciremai via Linggarjati pas musim basah.

ciremai

Kawah “Cerme” berubah jadi toska di musim hujan/Fuji Adriza

Sebelum ini, saya baru sekali mendaki Gunung Ciremai. Juga lewat Linggarjati. Seingat saya waktu itu awal bulan Juni 2016 dan musim kemarau baru saja menyapa.

Karena musim sudah kering, naik-turun kami berempat tidak diguyur hujan. Cuaca cerah—panas malah—sampai-sampai saya naik memakai kaus kutung. Kami pun berhasil mendirikan kemah di tempat yang lumayan tinggi, yakni di Pos Sanggabuana II. Pendakian ceria, tapi tetap saja dengkul merana.

ciremai

Lebih tinggi dari awan/Fuji Adriza

Naik via Linggarjati musim hujan memang lebih melelahkan

Saran saya, kalau ada kawanmu yang bilang mending jangan naik Ciremai lewat Linggarjati pas musim hujan, sebaiknya kamu memang jangan naik Ciremai lewat Linggarjati pas musim hujan. Benar-benar melelahkan. Saya sendiri sudah membuktikan.

Kecuali kamu dikaruniai dengkul super, kamu perlu sekurang-kurangnya 10 jam untuk tiba di Pos Sanggabuana II, lokasi favorit buat berkemah sebelum muncak pagi-pagi buta.

Musim hujan, kamu akan perlu waktu yang lebih lama untuk tiba di Sanggabuana II. (Itu pun kalau kamu ngotot mau kemping di sana.) Halangannya pun bertambah, yakni air hujan yang mengguyur dari atas, air yang mengalir di jalur pendakian, trek yang licin, keringat yang makin mengucur karena harus jalan berbalut jas hujan, dan lain-lain.

ciremai

Kamp tertinggi di akhir Februari/Fuji Adriza

Pas pendakian kemarin, karena sudah gelap dan hujan masih rintik-rintik, kami akhirnya buka tenda di sebuah lahan lumayan lapang beberapa menit sebelum Batu Lingga. Padahal semula kami mau kemping di Sanggabuana II, supaya muncaknya lebih enak.

Dalam hati saya sedikit kecewa sembari merutuki perut yang mulai dibalut “tas pinggang.” Kawan-kawan lain juga barangkali merasakan hal yang sama.

ciremai

Perjalanan turun melewati hutan rimbun/Fuji Adriza

Betapa terkejutnya kami pagi-pagi pas muncak ketika mendapati bahwa tak ada lagi rombongan yang mendirikan tenda di pos-pos di atas kami. Batu Lingga kosong, Sanggabuana I dan II juga melompong, apalagi Blok Pangasinan.

Ciremai rasa Kawah Ijen

Kawah Ciremai memang mempesona. Ia luas dan tampak purba. Apalagi dari celah-celah batu di ujung sana solfatara selalu keluar membentuk kolom-kolom putih yang membubung perlahan ke angkasa.

Dua tahun yang lalu saat tiba di bibir kawah Ciremai saya dan kawan-kawan disambut pelangi. Tapi akhir Februari kemarin sebuah danau temporer warna toska di kawah Ciremai yang kebagian tugas menyambut kami. (Di musim kemarau genangannya warna putih.)

Saat melihatnya, saya hampir tak percaya sambil berpikir, “Ini Ciremai atau Kawah Ijen?” Tapi warnanya lebih pekat dari air Kawah Ijen dan lebih menyerupai salah satu dari tiga kawah Danau Kelimutu.

Di puncak, kami duduk-duduk santai sambil menyeruput kopi sobek di tempat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Kali ini pucuk tertinggi Ciremai tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa rombongan, ada yang sibuk menyanyikan salawat, lainnya sibuk menambah koleksi foto buat diunggah di Instagram.

Barangkali hanya setengah jam kami di puncak. Tidak mau kesiangan, kami lalu kembali turun ke kemah, yang ternyata adalah kemah tertinggi akhir pekan itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Ciremai via Linggarjati di Musim Hujan Ternyata Memang Melelahkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-ciremai-musim-hujan/feed/ 0 7064
Ciremai, dari Tanjakan ke Tanjakan https://telusuri.id/pendakian-gunung-ciremai/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-ciremai/#comments Tue, 13 Jun 2017 17:59:18 +0000 https://telusuri.000webhostapp.com/?p=71 Udara dingin Kuningan menyambut saya malam itu. Rambut panjang saya berkibar-kibar ditiup angin. Jalan semakin menanjak. Sepeda motor itu menderu melewati Museum Gedung Perundingan Linggarjati. Pengendara ojek yang saya tumpangi harus mengatur perseneling agar motor...

The post Ciremai, dari Tanjakan ke Tanjakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Udara dingin Kuningan menyambut saya malam itu. Rambut panjang saya berkibar-kibar ditiup angin. Jalan semakin menanjak. Sepeda motor itu menderu melewati Museum Gedung Perundingan Linggarjati. Pengendara ojek yang saya tumpangi harus mengatur perseneling agar motor itu bisa mengantarkan saya ke basecamp Linggarjati, salah satu gerbang pendakian gunung tertinggi di Jawa Barat—Ciremai (3078 mdpl).

Ketika kami tiba, bangunan itu sepi. Hanya ada seorang ranger sedang menonton televisi. Jalur Linggarjati memang disebut-sebut sebagai yang paling terjal di antara jalur-jalur lain Gunung Ciremai. Jarak vertikal dari Linggarjati ke puncak paling jauh di antara jalur-jalur lain—sekitar 2500 meter—sebab Pos Linggarjati berada pada ketinggian 600 mdpl. Sementara jalur Apuy dan Palutungan dimulai dari sekitar 1000 mdpl. Selain terjal, rute ini terkenal kering. Tiada mata air kecuali genangan yang muncul kadang-kadang di Pos Sangga Buana II saat musim hujan sedang mencapai puncaknya. Air harus dibawa sendiri dari Pos Cibunar. Jadi, perlu perencanaan perjalanan matang jika ingin mendaki lewat Linggarjati. Sebelum memilih jalur ini, para pendaki biasanya berpikir seribu kali. Barangkali itulah sebabnya basecamp sepi malam itu, meskipun hari Jumat.

Tanjakan Bapa Tere/Fuji Adriza

Palutungan dan Apuy lebih landai, walaupun waktu tempuhnya lebih lama—tentu saja pengalaman yang diperoleh akan sangat berbeda dibandingkan pendakian lewat Linggarjati.

Keesokan paginya, sekitar pukul 7, saya bersama tiga kawan melapor ke Pos Linggarjati. Setelah mengisi formulir perizinan, menyertakan fotokopi KTP, dan membayar retribusi, kami diberi kantong plastik untuk sampah kami sendiri, yang ketika pulang akan diperiksa oleh petugas.

Dari Tanjakan ke Tanjakan

Hutan Gunung Ciremai salah satu yang paling rapat di antara gunung-gunung di Pulau Jawa. Dari Pos Pertama, Cibunar, kami berjalan di bawah naungan pinus. Semakin naik, pinus semakin berkurang digantikan oleh pohon-pohon lain yang lebih besar dan berbalut lumut. Sulur-sulur menggantung. Akar-akar melintang di jalan membentuk tangga-tangga alami. Sabtu pagi itu cerah. Matahari bersinar terik dan awan hanya berupa arsiran. Namun teriknya surya berhasil ditapis oleh kanopi hutan Gunung Ciremai. Tak terasa kami pun tiba di Pos Kondang Amis. Ketika sedang mengatur napas, Arul, salah seorang rekan sependakian saya, berkata, “Pendakian sebenarnya baru dimulai setelah ini.” Ah masa?

Ternyata benar. Jalur dari Kondang Amis ke Kuburan Kuda memang lebih terjal dari trek sebelumnya. Lalu, di Kuburan Kuda sudah menunggu sebuah tanjakan yang lumayan terjal—tanjakan pertama yang benar-benar menguras tenaga. Ternyata legenda keterjalan Ciremai memang benar adanya.

Banyak gunung memiliki tanjakan legendaris. Semeru punya Tanjakan Cinta, Rinjani punya Tanjakan Tujuh Bukit Penyiksaan/Penyesalan. Namun barangkali hanya Ciremai yang dikaruniai tiga tanjakan legendaris sekaligus—Bingbin, Seruni, dan Bapa Tere. Setelah Pos Pamerangan, kami berhadapan dengan tanjakan pertama—Tanjakan Bingbin. Tidak terlalu panjang dan terjal memang. Sekitar 45 menit kemudian kami tiba di Tanjakan Seruni yang lebih terjal—dan panjang. Hampir sekitar satu setengah jam kemudian barulah kami tiba di Tanjakan Bapa Tere.

Di antara tiga tanjakan itu, Bapa Tere lah yang paling terjal. Melihatnya dari bawah, saya sampai ternganga—hampir vertikal, tinggi antara 10-15 meter. Saya harus jeli benar mencari pegangan, baik berupa batu berlumut ataupun perakaran. Salah mengambil pijakan, alamat pulang ditandu ranger. Untung sudah ada yang memasang webbing yang disambung dari akar ke akar sehingga memanjat Bapa Tere terasa menjadi lebih mudah. Tapi sama sekali tidak disarankan melewati Bapa Tere di malam hari. Selain berbahaya, juga tidak ada yang bisa dinikmati mata.

Menjelang tiba di Puncak Gunung Ciremai
Menjelang tiba di Puncak Ciremai/Fuji Adriza

Setelah Tanjakan Bapa Tere ada sebuah pertigaan. Kanan ke puncak. Mengambil kiri maka Anda akan tiba di Pos Pendakian Linggasana, yang terletak di desa yang bersebelahan dengan Linggarjati. Pos Linggasana cukup inovatif. Demi menjaring pendaki, mereka menyediakan sarapan pagi nasi goreng bagi setiap orang yang akan memulai pendakian. Lewat Linggarjati, yang akan Anda dapatkan hanyalah beberapa helai kantong plastik—dan sertifikat pendakian.

Menurut beberapa pendaki yang kami temui, Pos Batu Lingga dan Sangga Buana I sudah penuh. Sangga Buana II masih kosong, begitu pula dengan Pangasinan. Paling logis adalah bermalam di Sangga Buana II, lalu pukul 3 dinihari mendaki menuju puncak hanya dengan daypack. Meskipun posisi Pangasinan lebih tinggi sehingga perjalanan menuju puncak menjadi lebih singkat, terlalu berat untuk bergerak menuju pos itu saat hari menjelang gelap. Lagipula dari Sangga Buana II hanya perlu waktu paling lama dua jam untuk menggapai Puncak Ciremai. Maka, sekitar pukul 6 sore, setelah berjalan selama sekitar 10 jam, kami mendirikan kemah di Sangga Buana II.

Pelangi di Puncak Ciremai

Memang lebih nikmat rasanya bertahan dalam kantong tidur dibandingkan keluar tenda dan memulai perjalanan ke puncak. Namun berhangat-hangat di tenda tidak akan membawa Anda ke mana-mana. Jadi, sekitar pukul 4 dinihari, setelah mengisi lambung, kami melakukan pemanasan sebelum memulai pendakian.

Dengan headlamp di kepala, kami meliuk-liuk menuju puncak. Bau belerang yang seperti telur rebus sesekali tercium—kawah Ciremai memang besar sekali. Sesekali kami harus meloncat sebab jalan setapak tanah itu putus oleh jalur air. Saat gelap, pendaki mesti jeli mencari jalur paling enak dan tidak membuat repot.

Saat semburat mulai memancar di ufuk timur, kami tiba di Pos Pangasinan. Ada beberapa tenda di sana, di antara rumpun-rumpun edelweis yang belum mekar. Tak terbayang rasanya bermalam di Pangasinan yang terbuka dan tiada lagi ditumbuhi pohon besar.

Di bibir kawah Ciremai
Di bibir kawah Ciremai/Fuji Adriza

Lampu senter sudah bisa dimatikan. Jingga di cakrawala sudah cukup untuk menerangi jalur. Selain itu, seekor burung jalak juga ikut menemani perjalanan saya, seolah jadi pemandu menuju puncak. (Ketika turun pun, seekor jalak juga menemani rombongan kami sampai Sangga Buana II.) Di timur tampak Gunung Slamet dalam latar belakang jingga, bersama-sama dengan Sumbing dan Sindoro. Di antara si kembar, mengintip Lawu yang puncaknya bergerigi. Di utara, kabut menyelimuti Waduk Darma, Teluk Cirebon, dan Laut Jawa.

Dari kejauhan terdengar suara orang beramai-ramai. Pertanda puncak sudah dekat. Ketiga kawan sependakian saya sudah lebih dulu menjejakkan kaki di tanah tertinggi Jawa Barat. Saya perbulat tekad dan berjalan mantap menuju puncak. Ketika sudah tiada lagi tanah yang lebih tinggi, pandangan saya beradu dengan kawah Gunung Ciremai yang luas dan dalam. Lalu, ketika menengadah ke atas, selengkung pelangi menyapa dari langit. Sejak sepuluh tahun lalu memulai hobi mendaki gunung, baru kali ini kedatangan saya di puncak disambut oleh pelangi.


Sebelumnya dimuat di blog Kompasiana Fuji Adriza

The post Ciremai, dari Tanjakan ke Tanjakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-ciremai/feed/ 2 71