climate justice Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/climate-justice/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 31 Dec 2024 16:07:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 climate justice Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/climate-justice/ 32 32 135956295 Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan “Simpang Belajar” di Manggarai Barat https://telusuri.id/antusiasme-orang-muda-sukseskan-lokakarya-pangan-lokal-berkelanjutan-simpang-belajar-di-manggarai-barat/ https://telusuri.id/antusiasme-orang-muda-sukseskan-lokakarya-pangan-lokal-berkelanjutan-simpang-belajar-di-manggarai-barat/#respond Wed, 04 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44353 Urban Futures, yang dikelola oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), baru saja menyelesaikan gelaran lokakarya pangan lokal berkelanjutan dengan judul “Simpang Belajar”. Kegiatan yang berlangsung pada pada 11–14 November 2024 ini mengajak 15 orang...

The post Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan “Simpang Belajar” di Manggarai Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Urban Futures, yang dikelola oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), baru saja menyelesaikan gelaran lokakarya pangan lokal berkelanjutan dengan judul “Simpang Belajar”. Kegiatan yang berlangsung pada pada 11–14 November 2024 ini mengajak 15 orang muda memetakan potensi dan masalah seputar pangan di sekitarnya, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi yang dapat mereka lakukan untuk mencapai visi tersebut. Kehadiran Dicky Senda dari komunitas Lakoat Kujawas sebagai fasilitator dan Musfika Syam dari Videoge Arts & Society sebagai co-fasilitator memberikan perspektif baru dan memperkaya diskusi selama lokakarya Simpang Belajar.

Kenalkan Konsep Lodok Lingko

Lokakarya Simpang Belajar berlangsung secara hybrid selama empat hari, sebab fasilitator menghadapi tantangan tak terduga akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Dicky Senda bersama Pamflet mengikuti kegiatan secara daring dari Denpasar, Bali, sedangkan Rombak Media bersama peserta berada di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Fasilitator membuka sesi dengan memperkenalkan sistem Lodok Lingko pada hari pertama. Lingko merupakan sistem pertanian tradisional yang dirancang seperti jaring laba-laba. Penerapannya pada dinamika “Simpang Belajar” kali ini adalah peserta punya wilayah Lodok (di dalam) yang digunakan untuk merancang visi atau tujuan mereka mengikuti kelas ini; cicing (bagian luar) menjadi representasi kontribusi peserta, meliputi pengalaman dan keterampilan apa saja yang mereka bawa ke dalam kelas; sedangkan garis pemisah digunakan untuk meletakkan aturan bersama selama kegiatan yang sudah disepakati oleh seluruh peserta.

Peserta lokakarya membentuk plano kecil di hari pertama (kiri) dan plano besar di hari kedua untuk mempelajari sistem Lodok Lingko yang diperkenalkan Dicky Senda sebagai fasilitator/Dokumentasi Simpang Belajar

Fasilitator juga memantik diskusi dengan mengajak peserta mengasosiasikan diri sebagai sebuah bahan pangan. Mereka lalu berkelompok, dan masing-masing kelompok memilih satu bahan pangan yang mewakili identitas para anggota. Tiga bahan pangan terpilih yang dijadikan sebagai nama kelompok yakni kelor, cabai, dan kelapa kemudian menjadi bahan diskusi mulai perjalanannya dari kebun hingga berada di atas piring makan kita. Selain itu, peserta juga mendiskusikan permasalahan, peluang, dan solusi dari masing-masing bahan tersebut.

Dari sesi ini, penulis sekaligus aktivis pangan, Dicky Senda menyimpulkan bahwa sistem pangan lokal adalah refleksi kompleksitas ekologi, sosial, budaya, dan politik. Kondisi ekologis memengaruhi jenis pangan lokal, sedangkan kebijakan politik memengaruhi harga dan ketersediaannya. Selain itu, Indonesia  yakni menjadi negara pembuang makanan terbesar kedua di dunia sekaligus memiliki angka stunting ketiga tertinggi di Asia. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi bersama melalui gerakan pangan lokal yang terintegrasi, dengan fokus pada membangun kesadaran untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pangan lokal secara berkelanjutan.

Masih menggunakan pendekatan lokal untuk memantik diskusi antarpeserta, Dicky Senda membawa konsep “Asam di Mbeliling, ikan di Papagarang, ketemunya di Warloka”. Pasar Warloka yang berlokasi di pesisir Desa Warloka, sekitar 17 km atau 30 menit berkendara ke arah selatan dari Luwansa Beach Resort, Labuan Bajo, merupakan salah satu pasar tertua yang masih menerapkan sistem barter. Setiap hari Selasa, masyarakat pesisir dan pegunungan bertemu dan membawa potensi pangan masing-masing untuk ditukar, misalnya ikan dari masyarakat pesisir ditukar dengan sayur dari masyarakat pegunungan. Jika di Warloka orang-orang bertukar pangan, maka di Simpang Belajar, peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang ini dapat bertukar ilmu untuk membayangkan dan mewujudkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan.

Dicky Senda, pegiat pangan lokal dan pendiri komunitas Lakoat Kujawas di Mollo, Timor Tengah Selatan, mengisi materi ruang secara daring/Dokumentasi Simpang Belajar

Kunjungan Lapangan ke Lompong Cama, Maggotnesia, dan Kolektif Videoge

Selepas mengikuti sesi dalam ruangan bersama Dicky Senda, esoknya (12/11/2024) para peserta terbagi menjadi tiga kelompok dan mengadakan kunjungan lapangan ke tempat berbeda, yakni Lompong Cama, Maggotnesia, dan Kolektif Videoge. Di Lompong Cama, peserta mempelajari metode bercocok tanam, cara mengolah hasil kebun menjadi makanan siap santap, serta mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos bersama Citra Kader, seorang chef sekaligus pegiat pangan di Labuan Bajo. Citra juga mengajak peserta berdiskusi mengenai pengaruh krisis iklim di daerah pesisir Manggarai Barat terhadap tanaman pangan.

Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan "Simpang Belajar" di Manggarai Barat
Citra Kader (paling kanan) mendemonstrasikan cara mengolah dan memasak hasil kebun di Lompong Cama kepada para peserta lokakarya Simpang Belajar/Dokumentasi Simpang Belajar

Peserta yang mengunjungi Maggotnesia menggali wawasan tentang pengolahan sampah organik dan budidaya larva maggot untuk mengurai limbah sampah makanan bersama Royen Aquilinus, inisiator Maggotnesia. Harapannya, lewat kunjungan ini peserta dapat memperoleh wawasan tentang manajemen sampah organik yang menjadi alternatif solusi lingkungan yang dapat diterapkan di wilayah masing-masing, khususnya Labuan Bajo yang memproduksi sampah organik dari aktivitas pariwisata.

Sementara itu, peserta yang berkunjung ke Videoge mempelajari praktik pengarsipan pangan bersama Aden Firman, pendiri Kolektif Videoge. Aden berbagi wawasan dan kiat tentang bagaimana Videoge melakukan praktik pengarsipan pangan yang melahirkan sebuah buku berjudul Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo. Tidak hanya itu, peserta juga mengikuti aktivitas tur kampung dan tur dapur untuk mengenali potensi dan riwayat kampung setempat, bertemu dengan warga yang beraktivitas di industri pangan rumahan, dan belajar tentang praktik pangan lokal, yakni memasak ikan menggunakan resep suku Bajo dan suku Bugis.

Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan "Simpang Belajar" di Manggarai Barat
Peserta mengunjungi Maggotnesia untuk belajar pengolahan limbah makanan, terutama sampah organik dan budidaya larva maggot/Dokumentasi Simpang Belajar

Refleksi Kegiatan dan Rencana Sistem Pangan Berkelanjutan

Pada penghujung kegiatan, Dicky Senda mengajak peserta berefleksi dengan cara menggambar porsi makan di atas kertas. Ternyata, sebagian besar peserta menggambar nasi. Dicky Senda lantas menyoroti bagaimana isu kelangkaan pangan lokal itu dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya durasi pengolahan, akses ke pangan lokal yang semakin sulit, perubahan iklim dan zaman, serta adanya inovasi makanan modern.

Selain itu, Dicky juga meminta peserta untuk kembali melihat Lodok Lingko yang dibuat di hari pertama. Tujuannya mencari tahu, apakah ada beberapa perkembangan setelah mengikuti sesi selama empat hari. Dengan bekal tersebut, peserta lantas merancang visi kota yang sudah ada supaya benar-benar terlaksana sesuai slogan “Manggarai Barat: Selaras Alam, Budaya, Manusia”.

Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan "Simpang Belajar" di Manggarai Barat
Tur kampung dan tur dapur bersama Videoge di Labuan Bajo/Dokumentasi Simpang Belajar

Tutup Kegiatan dengan Kesan Pesan

Pamflet dan Rombak Media menutup rangkaian Simpang Belajar dengan berbagi kesan dengan peserta. Salah satu peserta, Ani, mengungkapkan rasa terima kasih dan semangatnya, “Terima kasih atas fasilitasi selama empat hari. Dari awal mulai, banyak sekali wawasan yang saya peroleh. Saya mempunyai ide membuat program [seputar pangan] baru, dan semoga ini terus berjalan untuk mengingatkan kita bahwa kita punya banyak hal yang bisa dilakukan.”

Dicky Senda selaku fasilitator pun menyampaikan harapannya, “Silakan teman-teman diskusikan lebih lanjut, tidak harus selesai malam ini, mungkin nanti teman-teman akan dapat insight tiba-tiba yang menginspirasi dan bisa menjadi ciri identitas atau nama dari koalisi atau komunitas ini.” Dengan begitu, harapannya koneksi yang terjalin antarpeserta tidak terputus.

Wilsa, selaku perwakilan dari Pamflet, juga berharap para peserta tetap saling terkoneksi. Sehingga wawasan yang didapat dalam kegiatan tersebut pada akhirnya bisa dituangkan dalam bentuk komunitas atau lainnya.

Foto sampul: Peserta lokakarya bersama Citra Kader (dua dari kiri), seorang chef dan pegiat pangan lokal Labuan Bajo menunjukkan masakan siap santap yang bahannya berasal dari hasil kebun Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan “Simpang Belajar” di Manggarai Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/antusiasme-orang-muda-sukseskan-lokakarya-pangan-lokal-berkelanjutan-simpang-belajar-di-manggarai-barat/feed/ 0 44353
Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/ https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/#respond Wed, 03 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42272 Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah...

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah dikuasai secara bergantian oleh Kesultanan Bima (Sumbawa) dan Kesultanan Gowa (Sulawesi); sampai dengan ritus-ritus adat sebagai bentuk harmoni dengan alam di sekitarnya. Masyarakatnya tersebar di tiga kabupaten yang biasa disebut kawasan Manggarai Raya, yaitu Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat. 

Tak hanya itu. Sebagai bagian dari budaya, alam dataran rendah Flores yang relatif kering dengan curah hujan rendah, menumbuhkan komoditas-komoditas pangan endemik dan unik. Salah satu yang khas adalah sorgum atau garai. Produk kuliner yang sempat lama melekat sebagai bahan pokok utama di NTT selain jagung.

Namun, gempuran beras dan kenikmatan tepung terigu (seperti digunakan pada adonan mi dan roti) turut berkontribusi pada terpinggirkannya sorgum dari daftar utama makanan pokok. Liputan Tirto (04/10/2023) menyebutkan bahwa banyak generasi muda tidak tahu nama dan bentuk sorgum itu sendiri. Sebab sorgum dan varietas pangan lokal lainnya sudah digeser dari meja makan orang-orang NTT, tak terkecuali di Manggarai Raya. Padahal sorgum jauh lebih bermanfaat dan sehat karena bebas gluten, tetapi terabaikan saat program swasembada beras merebak di masa Orde Baru.

Kini, belakangan mulai tumbuh optimisme dan kepercayaan diri untuk mengangkat kembali aneka pangan lokal yang terlupakan. Satu hal yang menarik, harapan itu muncul dari generasi muda, khususnya di Manggarai Raya. Manggarai Raya, khususnya Manggarai Barat, bukan hanya membicarakan Labuan Bajo dan komodo. Di balik gemerlap polesan destinasi wisata super premium, terdapat gebrakan para orang muda yang peduli pada kehidupan berkelanjutan. Salah satunya dengan upaya melestarikan pangan lokal dengan memanfaatkan komoditas-komoditas yang tumbuh di sekitar rumah. Menyeimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus fungsi ekologis.

Bisnis lestari di Lembah Pesari

Tidak terlalu jauh dari gemerlap destinasi wisata super premium Labuan Bajo, kira-kira berjarak tak lebih dari 20 km, nyala terang kiprah perempuan Flores tergambar pada sosok Elisabet Yana Tararubi (39). Seorang lulusan D3 kebidanan dan pernah bekerja di salah satu klinik di Banyuwangi, Jawa Timur, yang kemudian mengubah haluan hidupnya untuk berdikari di tanahnya sendiri.

Bersama sang suami, perempuan kelahiran Sikka itu mendirikan Sten Lodge Eco Homestay di kampung Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat. Di dalamnya, Dapur Tara yang menjadi bagian penginapan ramah lingkungan tersebut menjadi daya tarik lebih bagi pengunjung, baik itu dari kalangan domestik maupun mancanegara. Kedua bidang bangunan itu bersanding dengan kebun berlimpah varietas lokal yang jadi kebanggaan Liz, sapaan akrabnya.

Pernyataan yang disampaikan di akun Instagram pribadinya, saat Najwa Shihab—jurnalis kenamaan—berkunjung ke Dapur Tara belasan minggu yang lalu, menegaskan misi utama Liz dalam melestarikan sumber-sumber pangan lokal yang terlupakan. “Hari ini, [kami] menyediakan apa yang dikasih semesta,” katanya.

Dalam usahanya menjaga keberlanjutan lingkungan di Lembah Pesari, nama lain dari daerah yang ia tempati sekarang, Liz memutuskan untuk menerapkan teknik permakultur tradisional. Keputusan itu lahir dari kesadarannya akan bahaya pertanian dengan pola tanam monokultur yang kurang berkelanjutan. Hasil makanan yang ia olah bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, melainkan juga tamu-tamu yang menginap di homestay miliknya

Liz (kiri) dan sudut kebun permakultur di kompleks Dapur Tara dan homestay miliknya (Instagram Dapur Tara Flores)

Menurut Kementerian Pertanian, permakultur merupakan salah satu desain sistem produksi pangan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lanskap produksi pangan yang dikerjakan meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami yang tumbuh di lingkungan sekitar.  Sistem ini mendasarkan pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan. Salah satu penerapan permakultur yang dilakukan Liz adalah menanam berbagai jenis tanaman sesuai fungsinya dalam mendukung ekosistem. Misalnya, rumput untuk meningkatkan sumber air bersih, lalu tanaman kemangi dan serai yang mampu mengurangi populasi hama serangga yang berpotensi merugikan.

Namun, ada satu kendala yang ia hadapi, yaitu belum adanya pasokan listrik di tempat tinggalnya itu sehingga ia tidak bisa memanfaatkan lemari pendingin untuk menyimpan makanan. Sebagai solusi agar kualitas bahan makanan tetap terjaga, Liz aktif mempraktikkan metode pengawetan tradisional, seperti pengasapan dan pengawetan sambal dalam bambu.

Bisnis lestari yang dilakukan Liz memang sekilas tidak “seksi” atau jauh dari kata “modern”. Akan tetapi, ia melakukannya untuk menciptakan kedaulatan pangannya sendiri demi masa depan berkelanjutan. Di tengah maraknya jual beli lahan untuk keuntungan individu dan atas nama pengembangan pariwisata, Liz menitipkan pesan. Ia mengatakan, “Penting sekali untuk tidak menjual tanah yang kita punya, sebab tanah dan hutan adalah sumber makanan dan obat-obatan yang tak ternilai harganya.”

Perenungan berbuah kecap raping

Namanya Angela Ratna Sari Biu. Akrab disapa Angel Biu. Perempuan muda asal Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai ini adalah seorang lulusan S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana, Kupang. Namanya mencuat ke publik ketika ia mulai dikenal setelah menemukan kecap raping atau kecap berbahan gula aren beberapa tahun lalu.

Pertemuan Angel Biu dengan kecap raping tidak berlangsung tiba-tiba. Semua bermula pada perenungan Angel Biu terhadap perjalanannya berbisnis pangan selama lima bulan. Penggunaan plastik dalam bahan baku dan kemasan makanan yang dijual membuatnya sadar jika telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan. 

Sejak saat itu, Angel Biu mulai mengubah sudut pandang dan pola bisnisnya. Ia berupaya mengolah pangan lokal untuk mengurangi potensi sampah anorganik yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Meskipun awalnya merasa kebingungan, ia menantang dirinya sendiri untuk menciptakan resep-resep baru yang unik dan menarik bagi konsumen.

Pelbagai riset maupun wawancara ke masyarakat lokal dilakoni Angel Biu. Hingga akhirnya ia sampai pada satu simpulan setelah berbicara dengan para petani gula aren. Mereka mengungkapkan masalah yang sering dihadapi, yaitu produksi gula aren berlebih. Angel Biu pun kembali merenung, mengapa tidak mengolah sisa gula aren menjadi sesuatu yang baru? 

Pertanyaan kunci tersebut menghasilkan jawaban-jawaban setelahnya. Angel Biu menemukan bahwa rasa dari gula aren hampir sama dengan kecap, yang manisnya disukai oleh banyak ibu di dapur mereka. Ia juga menyadari pohon aren merupakan varietas lokal yang tumbuh di lingkungan sekitar, sehingga mengolah limbah gula aren menjadi kecap merupakan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Pengolahan sisa gula aren menjadi kecap ramah lingkungan itu diberi nama kecap raping. Dalam bahasa Manggarai, “raping” berarti aren.

Angel Biu (kiri) dan produk kecap gula aren cap Raping sebagai salah satu produk unggulan UMKM Hekang Dite (Instagram Angel Biu dan Hekang Dite)

Pada 2021, ia mendirikan UMKM Hekang Dite dan menjadi direktur program untuk memperluas bisnisnya. Tujuan utamanya sesuai nama “hekang” yang tersemat di jenama tersebut, yang dalam bahasa setempat berarti rumah. Angel Biu ingin membawa konsep rumah untuk menjadi tempat yang dekat dan akrab bagi masyarakat lokal.

Tentu saja jalan Angel Biu tak semulus yang dibayangkan. Menurutnya, penerapan lingkungan berkelanjutan di Manggarai Barat masih memiliki banyak tantangan. Meskipun sudah ada banyak advokasi tentang keberlanjutan, implementasinya masih minim. Sebab, banyak yang mengira bahwa keberlanjutan hanya berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal konsep berkelanjutan sebenarnya melibatkan semua aspek kehidupan. Belum lagi berbagai macam stereotip, seperti budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai peran sentral, atau pandangan miring padanya sebagai lulusan universitas yang harusnya bekerja di perusahaan besar.

Namun, tantangan demi tantangan yang dihadapi bukanlah akhir perjalanan. Angel Biu percaya diri untuk terus maju dan tidak takut dengan jalan hidupnya berbisnis pangan lokal yang ramah lingkungan. Sebab baginya, setiap kontribusi, sekecil apa pun itu memiliki nilai yang baik. Ia berpesan kepada semua perempuan di mana pun berada, “Mereka tidak perlu takut untuk bermimpi dan menekuni passion mereka, karena setiap pribadi memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.”

Setiap orang berhak atas pilihan hidupnya. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk setara.

Urun tangan orang muda lewat Urban Futures

Kiprah-kiprah orang muda Manggarai Raya tersebut merupakan secercah harapan bagi pelestarian sumber daya pangan lokal dan lingkungan. Namun, mereka tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada urun tangan orang-orang muda lainnya, bahkan lintas generasi, serta sinergi lintas sektor untuk mewujudkan transformasi sistem pangan perkotaan yang lebih berkelanjutan. 

Salah satu langkah progresif untuk mewujudkan itu adalah melalui Urban Futures. Sebuah program global berjangka waktu lima tahun yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). 

Di Indonesia, Manggarai Barat merupakan kota pertama (disusul Bandung) untuk peluncuran Urban Futures. Acara yang berlangsung pada 24 Januari 2024 di Aula Sekretariat Pemerintah Daerah Manggarai Barat tersebut diresmikan Yayasan Humanis bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, dan Koalisi Pangan Bernas yang mencakup Yayasan KEHATI selaku ketua serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Yakines sebagai anggota. Tujuan penyelenggaraan program Urban Futures adalah untuk memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan generasi muda, dan aksi iklim untuk partisipasi aktif orang muda dalam transformasi pangan yang ramah lingkungan dan inklusif.

Menyambut baik program ini, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas, Jarot Indarto, Ph.D., mengatakan, “Fokus utama kami hingga tahun 2027 adalah memperkuat aspek pangan lokal, memanfaatkan sumber pangan alternatif seperti yang terdapat di wilayah pesisir, mengurangi pemborosan dan limbah pangan, meningkatkan kandungan gizi melalui biofortifikasi, dan menyediakan data yang dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan.”

Angel Biu, pendiri UMKM Hekang Dite Manggarai dan pebisnis kecap raping, turut hadir menyampaikan kisah inspiratifnya dalam acara ini. “Orang muda bukan masa lalu dan bukan masa depan, tetapi masa sekarang. Orang muda harus aktif, kreatif, dan inovatif untuk memanfaatkan sumber daya lokal,” tegasnya.

Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan
Petrus Antonius Rasyid dari Bappeda Kabupaten Manggarai Barat (kiri) memberikan cendera mata kepada Marius Bria Nahak, pemilik usaha Kopi Wamor Labuan Bajo/Koalisi Pangan Bernas

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Marius Bria Nahak, orang muda yang mendirikan usaha kopi Manggarai bernama Kopi Wamor Labuan Bajo. Menurutnya, masyarakat lokal Manggarai sendiri juga berhak menikmati kopi berkualitas. Tak melulu hasilnya diekspor ke luar negeri.

Urban Futures memercayai bahwa wirausaha muda, seperti halnya Liz, Angel Biu, dan Marius bukanlah hal baru. Namun, ekosistem yang mewadahi mereka masih minim. Oleh karena itu, Urban Futures ingin merangkul orang muda dan UMKM untuk mencapai kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Orang muda memiliki identitas dan posisi unik dalam masyarakat, namun ruang-ruang atau ekosistem dalam sistem pangan yang dapat mewadahi aspirasi orang muda masih belum tersedia,” ucap Rebecca, perwakilan dari Pamflet Generasi, salah satu mitra program Urban Futures.

Kedaulatan pangan adalah masa depan. Berdaulat pangan berarti berdaulat atas kehidupan.


Foto sampul: Acara Kick-off Program Urban Futures di Manggarai Barat/Koalisi Pangan Bernas


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/feed/ 0 42272
Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal https://telusuri.id/epilog-arah-singgah-dari-akhir-menuju-awal/ https://telusuri.id/epilog-arah-singgah-dari-akhir-menuju-awal/#respond Sat, 30 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40764 Satu bulan perjalanan ke Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur menyisakan kenangan tak terlupakan. Tidak akan cukup diceritakan dengan sekat-sekat jejaring maya yang tersedia. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Ketika kembali...

The post Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu bulan perjalanan ke Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur menyisakan kenangan tak terlupakan. Tidak akan cukup diceritakan dengan sekat-sekat jejaring maya yang tersedia.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal
Antrean kendaraan di salah satu ruas tanjakan yang berlubang di jalan poros Berau-Samarinda. Saat malam, jalan ini tanpa penerangan sama sekali sehingga bisa menyebabkan ban mobil menghantam lubang yang cukup dalam/Rifqy Faiza Rahman

Ketika kembali dari Merabu ke Tanjung Redeb sore (16/10/2023), tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI menumpang mobil Asrani. Ester ikut serta. Kebetulan Asrani memang akan mengikuti acara deklarasi damai calon kepala kampung se-Kabupaten Berau. Calon lainnya dari Merabu, yaitu Doni Simson, Delfi Oley, dan Elisabet Ida Saloq sudah berangkat terlebih dahulu paginya.

Sepanjang 103 kilometer awal atau hampir tiga jam sampai tiba di Warung Tower 2, Gunung Sari, Merasa, Asrani yang menyetir. Selepas makan, saya diberi kesempatan mengemudi di sisa 70 km menuju hotel tempat kami akan menginap di Tanjung Redeb. Kurang lebih dua jam perjalanan, saya benar-benar merasakan betapa menantangnya jalan poros Samarinda—Berau tersebut.

Saat berkendara malam harus fokus karena badan jalan sempit, naik turun, berkelok-kelok, banyak lubang, dan minim penerangan. Tidak terhitung ban mobil harus kejeblos lubang dalam karena saya yang belum paham medan kurang antisipasi. Belum lagi truk-truk besar berseliweran dan kadang melaju dengan kecepatan tinggi. Kabut tebal kadang-kadang turun ketika berada di tengah hutan.

Rute seperti itu sudah sangat sering dilewati Asrani dan orang-orang Merabu lainnya. Saking seringnya, mereka seperti hafal tikungan, tanjakan, maupun titik-titik jalan yang rusak berat. Tidak terkecuali arah sebaliknya, dari Merabu ke Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Tatkala dahulu belum beraspal sepenuhnya, mereka bisa terjebak berhari-hari di jalan karena buruknya jalan. Antrean panjang terjadi saat menunggu giliran melalui jalur yang berlumpur atau ada tanah longsor di musim hujan.

Asrani dan orang-orang Merabu sudah amat kenyang dengan bertahun-tahun bersabar menunggu kehadiran negara lewat pembangunan infrastruktur jalan. Aksesibilitas memang belum sepenuhnya merata seperti Pulau Jawa, termasuk akses jaringan listrik dan telekomunikasi. Namun, Asrani mengatakan, “Kami ini sebenarnya merasa beruntung hidup di dua zaman. Zaman susah ketika fasilitas serba terbatas, lalu zaman sekarang yang sudah lumayan maju.”

Tim TelusuRI saja benar-benar bersyukur masih bisa mengakses listrik dan sinyal ketika singgah delapan hari di Merabu. Meski tidak tersedia sepanjang hari, tetapi rasanya cukup dan sesuai kebutuhan. Kami sebagai orang dari luar kampung, merasa beruntung tidak harus naik ketinting menyusuri sungai berhari-hari, seperti masyarakat Merabu alami beberapa dekade lampau. Tatkala Merabu benar-benar bagaikan planet lain yang tidak mudah dijangkau siapa pun.

Dan kini, di tengah tantangan yang belum menyentuh kata usai, di saat upaya menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan perlindungan hutan masih berlangsung, kekhasan alam dan budaya Merabu telah memikat banyak orang untuk berkunjung.

* * *

Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal
Herna Hermawan atau Wawan, guru sekaligus pegiat konservasi mangrove di KPHM Belukap pimpinan Samsul Bahri, Desa Teluk Pambang, Bengkalis/Mauren Fitri

Meski berbeda situasi, tetapi semangat senada juga diusung orang-orang hebat yang kami temui di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Siak, Bengkalis, dan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Jargon “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga” yang disuarakan Kepala Balai Besar TNGL, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P. berlaku untuk siapa pun dan di mana pun.

Sampai sekarang saja, pembicaraan kami dengan para narasumber masih terekam jelas dalam ingatan. Empat topik utama dalam ekspedisi ini, yaitu restorative economy (ekonomi restoratif), social forestry (perhutanan sosial), renewable energy (energi terbarukan), dan climate justice (keadilan iklim), menjadi pintu masuk sisi-sisi lain yang tak terduga. 

Para mahout Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan, Joni Rahman, Budiman, Sudiono, Katio, dan Cece Supriatna, terus berjuang menjaga sembilan gajah sumatra dari ancaman konflik dan penyakit Elephant endotheliotropic herpesvirus (EEHV). Rutkita Sembiring, mantan penebang kayu ilegal, tak henti berkeliling mengampanyekan pelestarian hutan dan ekowisata.

Bobi Chandra dan segenap karyawan Ecolodge Bukit Lawang masih berkomitmen menerapkan kaidah-kaidah ramah lingkungan di tengah tantangan lingkungan dan stigma. Pengabdian tim SMART Patrol yang dipimpin Misno belum mengenal kata lelah menyisir hutan demi keutuhan kawasan TNGL.

Dari pelosok Besitang, seorang Hatuaon Pasaribu akan selalu menyuarakan pertanian berbasis konservasi lewat jengkol, petai, durian, cempedak, rambutan, dan aren. Tak surut nyali sekalipun rekan-rekan lainnya tergoda uang cepat hasil praktik mafia tanah.

Penduduk perdesaan di tepian Sungai Subayang, baik di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, berupaya melestarikan jejak adat Kekhalifahan Batu Songgan sekaligus menggali potensi-potensi ekonomi alternatif yang berkelanjutan. Mencari titik temu yang saling memberi manfaat antara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dengan pendampingan lembaga masyarakat sipil.

Generasi muda Siak terus berinovasi lewat ikan gabus dan produk-produk lokal berkualitas demi restorasi gambut dan masa depan Siak Hijau. Di seberang Selat Malaka, Samsul Bahri, Hasnur Rasid, Herna Hernawan, Indra, dan orang-orang Teluk Pambang bergerak di tengah terik dan ancaman illegal logging untuk konservasi 1.001,9 hektare hutan mangrove.

Lalu Merabu, kampung kecil yang dirintis etnis Dayak Lebo di tepi Sungai Lesan, yang bersandar pada kawasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat, menjadi penutup cerita-cerita harmoni manusia dan alam dalam Arah Singgah 2023.

* * *

Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal
Hengki Pratama, dubalang muda Tanjung Belit, siaga di bagian haluan piyau dalam perjalanan balik dari air terjun Batu Dinding ke Tanjung Belit. Saat Sungai Subayang keruh sehabis hujan, motoris piyau harus lebih waspada karena kadang ada batu, akar, atau lokasi dangkal yang tidak terlihat di balik permukaan air/Deta Widyananda

Tidak kurang dari 8.700 kilometer kami tempuh selama sebulan ekspedisi. Aneka ragam transportasi, mulai dari pesawat terbang, mobil, bus, motor, dan perahu kami naiki untuk berpindah dari satu tujuan ke tujuan lain. Menemui lebih dari 30 narasumber lokal di tiga provinsi, Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dengan berbagai macam latar belakang.

Namun, Arah Singgah lebih dari sekadar utak-atik mengumpulkan angka-angka statistik. Arah Singgah sekaligus menjadi ruang tim TelusuRI untuk berkontemplasi. Kami tidak hanya memperluas jangkauan cerita-cerita itu kepada pembaca, tetapi juga mengendap sebagai bahan perenungan kami sendiri. 

Mengingat keterbatasan yang ada, tidak semua kisah tertuang di ruang-ruang kolaboratif, situs web, maupun media sosial. Walaupun demikian, kami yakin suatu saat cerita-cerita tersebut akan menemui waktu dan tempatnya sendiri. Setidaknya dalam bingkai jiwa yang sama, kesejahteraan hidup manusia yang selaras dengan alam sebagai sumber kehidupan. 

Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal
Berfoto salam lima jari khas Merabu ASIK bersama Asrani dan Ester di depan rumahnya, sebelum meninggalkan Merabu untuk kembali ke Tanjung Redeb. Lima jari adalah simbol lukisan tangan yang banyak ditemukan di Gua Bloyot/Deta Widyananda

Rasanya satu bulan terlampau sebentar untuk sebuah ekspedisi yang panjang dan berat. Terlalu banyak wacana, keinginan, bahkan janji-janji kami yang harus ditebus kala nantinya diizinkan kembali ke tempat-tempat nan jauh itu. Kami akui, keterikatan batin yang terjalin dengan orang-orang lokal yang luar biasa tersebut tidak akan mudah dilupakan begitu saja. Namun, kami percaya ini bukanlah akhir dari perjalanan. Kami baru saja membuka pintu untuk awal perjalanan berikutnya.

Semoga kita semua belajar dari perjalanan ini. Sampai jumpa di ekspedisi Arah Singgah berikutnya! (*)


Foto sampul:
Mauren Fitri, project leader Arah Singgah 2023 melintasi Jembatan Nini Galang yang membentang di atas Sungai Batang Serangan. Jembatan ini menghubungkan kawasan perkampungan dengan Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Epilog Arah Singgah: Dari Akhir Menuju Awal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/epilog-arah-singgah-dari-akhir-menuju-awal/feed/ 0 40764
Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/ https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/#respond Fri, 22 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40478 Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bayangkan sedang berada...

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pohon mangrove terendam air laut yang sedang pasang di pesisir Senekip, Teluk Pambang, Bengkalis/Mauren Fitri

Bayangkan sedang berada di daerah pesisir di suatu pulau. Siang bolong. Terik matahari centang-perenang. Saat kulminasi musim kemarau. Derajat hawanya setara suhu puncak demam tifoid. Embusan angin begitu kering. Air bersih yang diharapkan menyegarkan berasa payau. Satu-satunya sumber kesejukan adalah oksigen yang dikeluarkan pohon-pohon mangrove di pesisir Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan.

Tim TelusuRI menemukan itu semua di desa yang terletak di sebelah barat Pulau Bengkalis, Riau. Akibatnya? Tiga personel tumbang. Kepayahan yang didera hanya dari tiga jam keliling mengamati kawasan mangrove sekitar Sungai Kembung dan Pantai Senekip di dekat perairan Selat Malaka.

Di lantai rumah kontrakan milik Samsul Bahri (55), yang jadi sekretariat Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), tubuh kehilangan daya dan sakit kepala. Terbaring lemas mengiba pada tenaga kipas angin—disetel putaran tertinggi—untuk meluruhkan cairan keringat yang terbuang. Kalau masih kurang sejuk, mungkin kami akan memilih rebahan ke masjid di seberang rumah. Ada banyak kipas di sana.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul terlihat anteng mengemudikan perahu bermesin 15 PK menyusuri hutan mangrove di aliran anak Sungai Kembung/Deta Widyananda

Samsul Bahri, tuan rumah sekaligus juru perahu kami tadi, terlihat anteng-anteng saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan berarti dari Ketua Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap itu. Ia malah merasa kasihan kepada kami.

“Kekebalan” Pak Samsul, sapaannya, terhadap cuaca membara di Bengkalis tidak tercipta tiba-tiba. Lebih dari dua dekade menanam puluhan hektare mangrove, hanya dibantu seperlunya oleh segelintir orang, kulit pria berdarah Jawa itu sudah berdamai dengan ganasnya sengatan matahari. Bahkan sampai pada taraf nyaris terbakar, terutama ketika beraktivitas di laut karena saking panas dan keringnya. Sesuatu yang ia alami, ia lakoni hampir seumur hidupnya. Setiap hari, selama puluhan tahun. Nyaris tanpa setop.

“Ya, begitulah bapak. Enggak cuma ngurus mangrove, tapi juga sering jadi imam masjid, khatib Jumat. Dulu malah sempat jadi guru ngaji,” tanggapnya. Ia sering menggunakan diksi “bapak” untuk menyebut dirinya, daripada “aku” atau “saya”.

Selama di sana, kami seperti anak yang baru pulang dari perantauan nan jauh. Dan Samsul adalah seorang bapak yang teramat rindu, ingin lekas bertukar cerita dengan anak-anaknya.

Menyambut panggilan laut

Menanam mangrove sebagai jalan hidup tidak pernah terbayangkan Pak Samsul sebelumnya. Masa remaja putra dari pasangan Sucipto dan Sirah, transmigran asal Pacitan, itu lebih banyak ikut orang tuanya menggarap lahan pertanian dan membalak kayu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pak Samsul juga membantu pekerjaan sampingan bapaknya, yang memiliki keahlian sebagai tabib—mengobati orang sakit.

Di masa-masa itu, selain bekerja di pertambangan minyak, gas, dan batubara—penopang ekonomi terbesar Bengkalis—banyak orang Bengkalis menyeberang ke Malaysia. Mengadu nasib, mencari kerja apa pun. Biasanya dilakukan selama satu bulan penuh, lalu pulang ke Bengkalis. Begitu seterusnya. Dahulu masyarakat bebas keluar masuk antarnegara. Perbatasan belum seketat sekarang. 

Sampai pada 2002, banjir rob setinggi 50 sentimeter menerjang Teluk Pambang. Dalam setahun, rob biasa terjadi pada bulan Oktober—Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar.

Padahal posisi kediaman Pak Samsul, yang berada di tepi jalan kabupaten, masih berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Senekip, kawasan pesisir terdekat. Ditengarai salah satu sumber penyebab yang membawa air laut pasang dengan cepat adalah meluapnya aliran anak Sungai Kembung yang bermuara ke laut. Anak sungai itu berjarak setengah kilometer ke arah barat dari rumahnya. Ia juga biasa menambatkan perahu miliknya di sana. 

Mayoritas warga menganggap banjir rob adalah musibah alam semata. Hampir tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui pentingnya peran “pagar hidup” mangrove sebagai pelindung pesisir. Sampai-sampai tidak menarik sama sekali untuk dikerjakan. Tidak terkecuali Pak Samsul.

Namun, mengingat besarnya dampak air pasang yang meresahkan dan merepotkan tersebut, kesadaran hati itu akhirnya mengetuk hati pak Samsul. Gejolak laut memanggil, memilih Pak Samsul sebagai lokomotif perubahan di kampungnya.

Suami Siti Wasiah (52) itu menyadari hutan mangrove di belakang rumahnya nyaris gundul. Banyak ditebang dari pucuk batang hingga akar. Pelakunya kebanyakan orang suku lokal suruhan pengusaha panglong arang yang beroperasi di desa-desa pinggiran Sungai Kembung, seperti Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Secara keseluruhan kondisi lingkungan rawa dan ekosistem mangrove di Pulau Bengkalis saat itu memang terbilang genting. Salah satu wilayah pesisir paling terancam di Provinsi Riau. Menurut Fikri (2006, seperti dikutip dalam Miswadi dkk., 2017), diperkirakan terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992—2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul (baju toska) dan Indra, warga suku asli setempat, memilah bibit mangrove di kebun pembibitan KPHM Belukap, Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Maka dari itu, bapak ingin memperbaiki tata ruang lingkungan,” ujar Pak Samsul. Ia bertekad menjadikan [pelestarian] mangrove sebagai pekerjaan utamanya. “Satu [hal] yang bapak pikirkan adalah regenerasi anak cucu yang akan datang, karena pada saat ini mungkin alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Jadi, mangrove ini perlu kita jaga.”

Konservasi mangrove adalah dunia baru baginya. Pak Samsul, yang waktu itu berusia 35 tahun, segera menemui mendiang Pak Sa’dullah (60), orang Jawa Bengkalis yang juga aktivis mangrove. Di tempat Pak Sa’dullah, ia belajar menanam, memahami peran mangrove, dan potensi ekonominya. Darinya, Pak Samsul seperti mendapat suntikan energi yang dahsyat untuk memulai perjuangan merehabilitasi mangrove.

“Ada satu pesan dari beliau yang bikin bapak masih terngiang sampai sekarang, ‘nek dudu kowe sopo maneh?’ (kalau bukan kamu siapa lagi?).” kenang Pak Samsul.

Tak air hujan ditampung, tak air peluh diurut, tak air talang dipancung. Di tahun yang sama, Pak Samsul tancap gas, mengerahkan segala daya dan upaya menyelamatkan ekosistem mangrove di pesisir Teluk Pambang. Ia mengajak segelintir tetangganya untuk bergiat lingkungan dengan menanam kembali mangrove.

Tahun 2004 Desa Teluk Pambang memiliki dua kelompok pelopor untuk mengelola mangrove dengan skema perhutanan sosial. Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) itu terdiri dari KPM Belukap dan KPM Perepat yang diketuai Pak M. Ali B. Keberadaan KPM diperkuat Surat Keputusan Bupati Bengkalis No. 824 Tahun 2004, yang muncul bersamaan saat pendampingan program restorasi mangrove dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri.

Payung hukum tersebut mendorong Pak Samsul melesat lebih kencang. Tak jarang ia harus menanam mangrove dan patroli sendirian sehari penuh. Ia mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya dengan melaut.

Banyak orang mencibir Pak Samsul. Menilai tindakannya sia-sia. Bahkan musuhnya tidak sedikit. Tak terhitung Pak Samsul adu urat dengan pengusaha panglong arang, yang sempat berniat memasukkannya ke penjara.

“Saya dulu juga pernah memergoki oknum polisi perairan (polair) yang main illegal logging. Saya marahi habis-habisan,” ungkap Pak Samsul.

Seiring waktu berjalan, sekarang dampaknya sangat terasa. Mangrove yang sehat berhasil memperlambat laju abrasi dan menghalang banjir rob naik ke permukiman. Hutan mangrove seluas 40 hektare itu tampak rimbun. Di salah satu titik dekat tambak udang vaname, rata-rata batang pohonnya berdiameter tiga inci. Akarnya mencengkeram permukaan tanah berlumpur. Usia pohon sudah mencapai 12—15 tahun, di luar rumpun pohon yang sudah ada sejak lama dan berumur lebih tua. Pohon tertingginya mencapai 20 meter.

Pak Samsul sendiri tidak menyangka “bayi mangrove” yang ia asuh sejak kecil sudah tumbuh sebesar itu. Menurutnya, sama seperti manusia, merawat mangrove juga harus penuh kasih sayang.

Adagium “biarlah waktu yang menjawab” rupanya benar-benar terbukti di Teluk Pambang. Kakek dua cucu itu kini tidak perlu lagi repot-repot menanggapi cemoohan orang-orang.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Bibit-bibit mangrove siap tanam/Rifqy Faiza Rahman

Setiap sentinya berharga

Kegigihan Pak Samsul bersama dua kelompok pelopor pengelola mangrove di Teluk Pambang mengundang atensi banyak pihak. Sejumlah organisasi nirlaba ikut turun mengakselerasi perjuangannya merestorasi mangrove. Salah satu yang menonjol adalah YKAN, yang sejak awal 2022 lalu melaksanakan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di dua desa sekitar Sungai Kembung, yaitu Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Satu di antara sekian inisiatif program tersebut adalah membantu dan mendampingi penyusunan peraturan desa. Temanya tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove melalui skema perhutanan sosial. Keluaran yang ingin dicapai adalah alam tetap lestari dan masyarakat tetap bisa memperoleh sumber penghidupan dari alam.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Rumah kontrakan yang dijadikan kantor sekretariat YKAN berdempetan dengan kediaman Pak Samsul (kanan), sekaligus basecamp KPHM Belukap/Rifqy Faiza Rahman

Proses panjang yang dilalui membuahkan hasil. Pada 25 Agustus 2023 lalu, pemerintah desa menetapkan Peraturan Desa Teluk Pambang Nomor 02 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial Desa Teluk Pambang. Poin penting dari aturan ini adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), yang diketuai Indra Sukmawan (40), seorang wiraswasta lokal. Selain masih menjadi ketua KPM Belukap, di LPHD Pak Samsul juga duduk di Seksi Perlindungan dan Pengawasan. Putra menantunya, Hasnur Rasid (36), mengemban tugas di Seksi Perencanaan.

Selain KPM Belukap dan Perepat, LPHD menambah delapan kelompok baru, yaitu Bumi Hijau, Lenggadai, Nipah, Berembang, Akit, Api-api, Bumi Pesisir, dan Bakau Putih. Luas kawasan restorasi mangrove pun bertambah signifikan, dari 40 hektare direncanakan menjadi sekitar 1.001,9 hektare. Setiap kelompok bertanggung jawab merawat dan memantau rata-rata 100 hektare hutan mangrove.

Tim TelusuRI sempat diajak Pak Samsul melihat lebih dekat area hutan mangrove di sepanjang tepian menuju muara Sungai Kembung dan kawasan pesisir timur Teluk Pambang. Jalur yang akan dilalui juga menjadi rute patroli Pak Samsul selama empat kali dalam sebulan. Jika naik perahu lewat perairan, jarak dari titik mula dermaga—tempat perahu Pak Samsul terparkir—menuju Pantai Senekip sekitar 13—14 kilometer. Sekitar satu jam perjalanan dengan perahu bermesin 15 PK miliknya, yang juga biasa digunakan melaut untuk cari ikan.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Perahu Pak Samsul yang kami tumpangi sedang melaju di jalur sempit di dalam kawasan konservasi mangrove Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Ini mesinnya baru, bantuan program MERA,” ujar Pak Samsul menerangkan mesin tempel perahunya. “Mesin bapak sebelumnya hilang saat malam pulang dari melaut, karena dicuri orang. Bapak lupa bawa pulang.”

Air sedang pasang, yang memang merupakan kondisi ideal untuk membawa perahu ke laut. Di beberapa titik, bagian terdalam Sungai Kembung bisa mencapai 30 meter. Perahu itu meliuk lincah. Mengikuti alur anak sungai di tengah pepohonan mangrove.

Permukaan sungai kecokelatan, memantulkan bayangan pohon-pohon mangrove yang tumbuh merimbun. Beberapa buah dari jenis Xylocarpus granatum seukuran tempurung kelapa menggantung pada ranting yang ramping. Tampak satu-dua ekor biawak muncul ke permukaan lalu kembali menyelam. Sekeluarga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) asyik bergelantungan dari satu dahan ke dahan lain.

Kami melihat lebih banyak kawanan burung khas pesisir ketika sudah di lepas pantai, antara lain burung kuntul dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). Cuaca sedikit berangin sehingga menyebabkan laut lumayan berombak. Sayang kabut pagi itu cukup pekat sehingga menutupi daratan Kampung Segenting, Johor, Malaysia di kejauhan. Kami hanya menyaksikan bangunan tanggul pemecah ombak sepanjang 600 meter. 

Di sepanjang pesisir itulah Pak Samsul dan para anggota kelompok lainnya menempatkan plot-plot penanaman mangrove. Terutama dekat kawasan wisata Pantai Senekip, perbatasan Desa Teluk Pambang dan Pambang Baru. Setiap plot tanam berupa rumpon berukuran 6×25,5 meter. Total ada 13 rumpon yang dikerjakan per kelompok. 

“Sekarang pohon tertingginya [masih] sekitar satu meter. Yang lain enggak kelihatan kalau lagi pasang,” jelas Pak Samsul. Saat itu air sedang pasang setinggi 1—1,5 meter sejak pukul enam pagi. “Dulu bibir pantai agak jauh, sekitar 100—200 meter. Sekarang tenggelam [karena] laut makin naik.”

Pohon-pohon mangrove yang ditanam Pak Samsul dan kelompok lain merupakan hasil pembibitan di kebun belakang rumahnya. Sedikitnya ada tiga jenis mangrove yang dibudidayakan, yaitu belukap (Rhizophora mucronata), bakau putih (Rhizophora apiculata), dan api-api (Avicennia marina). Ketiganya memiliki keunggulan masing-masing.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Salah satu spesies mangrove yang banyak dibudidayakan di kebun pembibitan Pak Samsul/Rifqy Faiza Rahman

“Api-api cenderung susah disemai dan lebih cocok [ditanam] di dekat perairan daripada di daratan, tetapi batang pohonnya akan tumbuh lebih besar. Kalau belukap atau bakau putih relatif lebih tahan hama,” terang Pak Samsul. Bibit mangrove siap ditanam jika sudah menginjak usia enam bulan.

Ribuan bibit mangrove siap tanam diburu banyak orang atau instansi tertentu yang ingin berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Biasanya dibeli dengan skema donasi untuk kegiatan pribadi, komunitas, hingga sektor pemerintahan. Baik di level nasional maupun internasional.

Saking tidak teganya mengeruk uang dari mangrove, ia menerapkan tarif donasi—yang rasanya—terlalu murah dan kurang sepadan dengan miliaran butir cucuran peluh yang menguap. “Per bibitnya Rp1.500—2.000,” kata Pak Samsul menunjukkan bibit setinggi 30—40 sentimeter.

Dalam satu bibit, harga donasi tersebut sudah mencakup biaya polybag, tanah, dan pengambilan propagul (indukan bibit mangrove). Propagul yang digunakan harus diambil dari pohon mangrove berusia minimal 15 tahun agar bibit tumbuh maksimal dan tahan hama. 

Pasar bibit mangrove Pak Samsul termasuk salah satu yang terbesar di Riau, selain milik kelompok Pak Darsono di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ada juga pelaku lama di Dumai, tetapi skalanya lebih kecil.

Pak Samsul tak ambil pusing jika ada beberapa bibit yang gagal melewati “seleksi alam”. Biasanya pertumbuhan tunas kurang sempurna dan ia harus menggantinya dengan bibit baru. Mengulang proses dari awal. Namun, ia mengaku akan tetap menanam bibit tersebut. Setiap senti batang yang bertumbuh sangat berharga. Baginya itu seperti merepresentasikan komitmennya pada konservasi mangrove.

“Kalau tak laku tanam sendiri, kalau laku alhamdulillah jadi ekonomi. Pokoknya tanami terus,” ujar Pak Samsul tegas.

Masa depan perdagangan karbon

Per September 2023, Indonesia resmi terjun ke perdagangan karbon dunia. Langkah progresif tersebut ditandai dengan pemberian izin usaha penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Mekanisme teknis jual beli karbon diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Sistem pencatatan transaksi unit karbon dan basis data IDXCarbon terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sebagai implementasi dari Perjanjian Paris 2015 (COP21), sejak 2020 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) meminta setiap negara menentukan bentuk kontribusi iklim secara nasional, atau disebut Nationally Determined Contributions (NDCs). Langkah ini merupakan percepatan aksi untuk target jangka panjang menurunkan emisi hingga nol pada 2060. 

Indonesia memiliki target mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen (dilakukan sendiri) dan 41 persen (melalui kerja sama internasional) pada 2030. Terdapat lima sektor, sesuai kategori NDC, yang menjadi fokus utama pengendalian iklim dan reduksi emisi melalui perdagangan karbon, yaitu energi, limbah, industri dan proses produksi, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.

Siapa pun bisa terlibat dalam perdagangan karbon, selama mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Mulai dari perorangan, badan hukum, perusahaan, asosiasi, maupun kelompok masyarakat yang terorganisasi. Tidak terkecuali LPHD Teluk Pambang. 

Sebelum bergerak lebih jauh di Bursa Karbon, didampingi oleh YKAN, di tahap awal LPHD Teluk Pambang sedang mengajukan permohonan ke Menteri LHK untuk mendapatkan payung hukum pengelolaan hutan desa. Luasnya 1.001,9 hektare, dengan rincian sekitar 996 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL). Tutupan lahan tersebut didominasi oleh vegetasi mangrove, yang juga diandalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon.

Mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, rehabilitasi mangrove merupakan satu dari 22 aksi mitigasi perubahan iklim. Bersama dengan gambut, pengelolaan mangrove juga ditetapkan sebagai komoditas perdagangan karbon di sektor kehutanan.

Rasid menyatakan perdagangan karbon menjadi salah satu tujuan pemanfaatan kawasan hutan desa Teluk Pambang. Target lainnya adalah perlindungan mangrove, ekowisata, budidaya perikanan, produk turunan mangrove, dan pertanian—kelapa, karet, pinang, dan sawit dalam skala kecil. Ia mengakui ada potensi ekonomi luar biasa dari perdagangan karbon mangrove.

Pria kelahiran Teluk Sungka, Indragiri Hilir itu sudah mencoba membuat perhitungan sederhana. Dari satu hektare lahan mangrove, yang berisi sedikitnya 5.000 pohon dengan jarak tanam 50—100 sentimeter, berdasarkan hasil penelitian YKAN terdapat potensi 1.900 ton karbon yang dihasilkan. Dengan asumsi harga termurah $5 per ton karbon, maka LPHD bisa menerima uang $9.500 atau sedikitnya berkisar 145 juta rupiah. Sementara luas hutan desa yang akan dikelola mencapai seribu hektare. Bisa dibayangkan betapa besar potensi pundi-pundi uang yang akan diterima. Hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masa depan cerah tampak nyata adanya untuk Teluk Pambang. Belum lagi peluang dari pengelolaan ekowisata maupun pembuatan produk turunan mangrove.

Setiap negara di dunia memang diminta “ambisius” mengurangi emisi karbon. Namun, di sisi lain perdagangan karbon seperti dua mata pisau. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, mengingatkan potensi kerawanan dan ketidakadilan dari konsep perdagangan karbon untuk mewujudkan keadilan iklim dunia.

Dalam tulisan opini berjudul Keadilan Iklim: Keluar dari Jebakan Greenwashing di Forest Digest (04/12/2023), ia meminta negara mewaspadai modus greenwashing. Greenwashing adalah situasi paradoks. Seseorang maupun perusahaan melakukan klaim palsu terhadap produksi atau tindakan yang dibuat atas nama ramah lingkungan dan keberlanjutan. Menutupi realitas sebenarnya, yang acap kali bertolak belakang dengan bahasa-bahasa manis di permukaan.

Hariadi mengutip salah satu catatan pemikiran dari Bernice Maxton-Lee, yang menulis Narratives of sustainability: A lesson from Indonesia (2018) di jurnal Soundings terbitan Lawrence Wishart, Inggris. Poinnya, jika pengelola hutan—dalam hal ini masyarakat akar rumput—bisa dibayar mahal agar membiarkan hutan mereka menyerap karbon, sementara polusi dan buangan emisi yang dihasilkan oleh pembayar karbon tersebut di tempat lain seolah dapat “dikompensasi”, berarti perdagangan karbon malah bukan menjadi solusi berkelanjutan. Justru yang terjadi adalah ketidakadilan iklim.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Penulis membawa sekarung bibit mangrove di kebun pembibitan Pak Samsul. TelusuRI turut mendonasikan 200 bibit untuk mendukung konservasi mangrove di Teluk Pambang/Mauren Fitri

Di satu sisi berjuang menghambat laju pendidihan global, di sisi lain aktivitas industri ekstraktif terus berjalan dan kadang lepas kontrol. Di sinilah peran pemerintah untuk lebih berani menjadi batas. Salah satu upaya mendesak yang bisa dilakukan adalah membuat Undang-Undang (UU) khusus tentang Keadilan Iklim. Sebuah peraturan flagship, mengatur aksi iklim yang berbasis keadilan ekonomi dan berpihak pada masyarakat. Merekalah kelompok yang hidup paling dekat dan sangat mengenal dengan alamnya sendiri. Masyarakat berhak memilah partner pembayar karbon yang tidak berpotensi greenwashing.

Yang menarik, Rasid seolah sadar melihat kacamata lain dari perdagangan karbon, tetapi tidak ia sampaikan secara eksplisit. Ia hanya bilang, tidak ingin terlalu membubungkan harapan pada perdagangan karbon semata. Ada urgensi yang jauh lebih penting untuk dikejar.

Dengan berulang-ulang, ia menekankan kepada semua kelompok tetap fokus sesuai target utama pembentukan LPHD, “Kita [harus] lebih banyak [memperluas kawasan] perlindungan daripada pemanfaatan, karena [prioritas kawasan] perlindungan bisa menjadi acuan untuk perdagangan karbon ke depannya.”

Senada dengan sang menantu. Meskipun menyiratkan asa, Pak Samsul menitip pesan penting. Mengutip perkataan bapak mertuanya, Rasid berujar, ”Kita menanam satu pohon mangrove itu sudah dapat pahala. Kita enggak usah hitung duitnya. Yang penting banyak manfaatnya [bagi] orang di seluruh dunia, walaupun [hanya] dari satu batang.”

Tidak ada rem di kaki Pak Samsul

Jauh sebelum dunia mulai berkampanye mewujudkan keadilan iklim, Pak Samsul sudah menciptakan keadilan iklimnya sendiri. Dari puluhan hektare yang ditanam sendirian selama hampir dua dekade, kini meluas menjadi 1.001,9 hektare. Dirawat bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat anggota LPHD Teluk Pambang.

Ia telah memastikan jaminan lingkungan hidup dari asrinya hutan mangrove kepada anak cucunya. Menyediakan ruang tumbuh burung-burung, herpetofauna, hingga menyamankan tempat tidur bagi kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Tidak akan mudah mencari orang segila dan seulet Samsul Bahri. Apalagi mengharapkan pada anak-anak muda. Satu banding seribu—bahkan sejuta. Kenyataan ini diakui Herna Hernawan atau Pak Wawan (57), guru olahraga SMAN 3 Bengkalis kelahiran Garut dan anggota KPM Belukap. Ketika ditanya testimoninya soal Pak Samsul, ia mengacungkan dua jempol dan menggelengkan kepala; tanda setuju jika tetangganya itu memang gila. Begitu pun Rasid, yang merasa masih harus banyak belajar. Memelihara dan mempertahankan yang sudah ada tidak kalah berat daripada menanam.

Apalagi masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain regenerasi. Dari 105 anggota LPHD Teluk Pambang, yang tersebar ke 10 kelompok, hanya sekitar 10—15 persennya merupakan anak muda.

Menurut Rasid, kebanyakan dari anak-anak muda di Teluk Pambang lebih memilih mencari kerja atau melanjutkan kuliah di luar Bengkalis. Kalaupun ada, perlu waktu lama untuk dibina. Kecanduan pada gawai dan gim daring juga berpengaruh besar. Berkecimpung di mangrove tampak tidak menjanjikan bagi mereka.

Namun, Rasid tidak ingin terlalu khawatir. Ia memiliki strategi khusus dalam jangka panjang untuk mengatasi itu. 

“Kalau dari aku pribadi, aku pengin jalan [kerja] dengan yang tua dulu. Begitu berhasil, baru kita gandeng anak muda,” ujarnya. Ia memahami anak-anak muda perlu ruang untuk tetap hidup, sehingga lebih memilih pekerjaan yang pasti menghasilkan.

Memupuk harapan regenerasi berkelanjutan perlu energi dan sinergi. Itulah yang diharapkan Pak Samsul. Ia sudah babat alas, tinggal yang muda yang meneruskan perjuangannya. Ia hanya ingin pemerintah pusat dan daerah mau bersinergi dengan kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove, agar ada sinkronisasi kebijakan dan jaminan keberlanjutan. 

Selain tantangan regenerasi, LPHD Teluk Pambang juga masih harus siaga menghadapi “musuh lama”, yaitu perambahan dan pembalakan liar oleh pengusaha panglong. Meskipun saat ini sudah tidak beroperasi di wilayah Teluk Pambang, tidak menutup kemungkinan para pembalak tersebut akan kembali secara diam-diam. Di sisi lain, Pak Samsul sebenarnya masih berupaya merangkul pemain panglong atau orang suku lokal agar ikut menjaga mangrove. 

Pak Samsul sempat mengenalkan kami kepada Indra, orang suku Akit, kelompok adat terpencil di Bengkalis. Dulunya ia bersama istri dan seorang anaknya tinggal di rumah apung di pinggiran Sungai Kembung. Dekat Jembatan Kembung Luar dan pabrik panglong arang. Kini sudah pindah dan membangun rumah panggung di satu area lahan pembibitan mangrove KPM Belukap. Sosoknya malu-malu. Meski tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, ia murah senyum.

“Dulu kerjanya cari kayu mangrove buat panglong. Makan cari ikan di sungai,” tutur Pak Samsul. “Bapak enggak tega lihatnya. Makanya bapak suruh pindah ke sini dan bantu bapak ngurus mangrove, biar anak dan istrinya enggak tinggal di pinggir sungai lagi.”

Perjalanan konservasi memang selalu akan mengesampingkan garis finis. Bukan cuma lembaga yang harus terus berjuang, Pak Samsul pun tidak mengenal kata selesai dalam kamus hidupnya. Tidak ada rem sepakem apa pun yang bisa menghentikannya, sampai napas melepas embusan terakhir. 

Selama istri merestui, Pak Samsul tidak akan berhenti menanam dan merawat mangrove di Teluk Pambang. Kendati kurang begitu memahami dunia konservasi mangrove, Bu Siti Wasiah mengaku selama ini selalu mendukung dengan caranya sendiri.

“Sudah terserah Bapaklah,” celetuk Bu dengan senyum lebar, “saya cuma bisa bantu dari dapur saja, masak. Bikin makanan buat keluarga.” 

Tidak terkecuali malam itu. Hidangan nasi putih, bihun, sayur tumis tempe, kari ayam, dan kerang tersaji di ruang tamu rumah Pak Samsul. Tak lupa camilan keripik ubi balado bikinan Bu Siti Wasiah dan anggota kelompok UMKM Asy-Syura. Kami berkumpul, makan, dan berbincang hangat serasa tiada sekat. Suasana seperti ini yang mungkin menguatkan tekad baja Pak Samsul mengasihi mangrove sampai detik ini. (*)

Referensi

Fikri R. (2006). Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Perubahan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Miswadi, Firdaus, R., dan Jhonnerie, R. (2017). Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh masyarakat Suku Asli Sungai Liong Pulau Bengkalis. Dinamika Maritim Volume 6 Number 1, Agustus 2017.


Foto sampul:
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/feed/ 0 40478
Prolog: Arah Singgah 2023 https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/ https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/#respond Sat, 09 Dec 2023 09:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=40368 Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Dalam...

The post Prolog: Arah Singgah 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Prolog Arah Singgah 2023
Hutan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat berselimut awan di pagi hari, tandon air raksasa yang menghidupi masyarakat Dayak Lebo Kampung Merabu. Menyimpan ribuan tahun jejak prasejarah/Deta Widyananda

Dalam The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020 rilisan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampai dengan tahun 2019 sekitar 120 juta hektare lahan atau 64 persen daratan Indonesia adalah kawasan hutan negara—dengan berbagai macam fungsi dan peruntukan. Termasuk di antaranya 5,3 juta hektare kawasan konservasi perairan. Indonesia bersanding bersama Brazil dan Republik Demokratik Kongo sebagai pemilik kawasan tutupan hujan tropis terluas. Penyumbang paru-paru dunia.

Situasi tersebut merupakan berkah sekaligus mengundang bahaya. Tingginya keanekaragaman hayati serta kebutuhan perut jutaan penduduk Nusantara rupanya malah turut memicu deforestasi. WWF’s Living Forest Report: Chapter 5 (2015) memproyeksikan Pulau Sumatra dan Kalimantan menyumbang deforestasi global selama 2010—2030. Indonesia tidak sendiri. Sembilan kawasan lainnya adalah Amazon, Atlantic Forest (Gran Chaco), Cerrado, Choco-Darien, Congo Basin, Afrika Timur, bagian timur Australia, Greater Mekong, dan Papua Nugini.

Berdasarkan data KLHK, sepanjang periode 1990 sampai dengan 2019, Indonesia telah kehilangan lahan hutan seluas 13,75 juta hektare. Sekitar 1,46 persen dari keseluruhan hutan yang ada di Indonesia. Kebakaran masif, perambahan hutan, pembalakan liar, dan perburuan satwa ilegal adalah penyebab berkurangnya tutupan lahan secara signifikan. 

Sekilas angka tersebut kecil, seperti tak akan berdampak apa-apa. Namun, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Meskipun laju deforestasi terbilang menurun, angka deforestasi tetaplah berarti masih terjadi deforestasi. Sebuah tekanan luar biasa hingga mengancam hajat hidup banyak penghuni bumi, karena bernapas dari sumber udara yang sama.

Berita gejolak alam—yang menjadi bencana— mendera. Menimbulkan penderitaan. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kekeringan serta sulitnya akses air bersih dan pangan. Akibat segelintir oknum dengan kepentingannya sendiri, harapan hidup flora, fauna, dan orang-orang tak bersalah pun terancam.Di sela kekacauan itu, ada orang-orang hebat bergerak meniti jalan sunyi. Jalan hidupnya tidak populer dan terdengar nyaris mustahil dilakukan. Keseimbangan hidup bukan tawaran yang menggiurkan banyak orang. Ada yang berjuang sendirian. Ada pula yang memiliki kekuatan besar di balik amanah jabatan strategis. Melalui Arah Singgah 2023, TelusuRI ingin menjadi media penampung sekaligus penerus beragam kisah itu.

Prolog Arah Singgah 2023
Motoris dan penumpang piyau melintasi Sungai Subayang yang keruh setelah diguyur hujan deras. Piyau jadi satu-satunya transportasi utama masyarakat desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Bertemu para peramu harmoni

Melalui Arah Singgah, TelusuRI melakukan ekspedisi menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kadang jarang atau bahkan tidak terdengar sama sekali di media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Jika episode Arah Singgah pertama lalu kami berjalan ke arah matahari terbit—Bali dan Nusa Tenggara Timur—kali ini kami pergi ke arah berlawanan.

Di edisi kedua, Arah Singgah mengusung tema “Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam” di tanah Sumatra dan Kalimantan. Kami berupaya menginventarisasi cerita-cerita penyelarasan kehidupan antara manusia dan alam di Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Ada empat topik utama yang kami angkat di ekspedisi ini, yaitu restorative economy (ekonomi restoratif), social forestry (perhutanan sosial), renewable energy (energi terbarukan), dan climate justice (keadilan iklim). Setidaknya satu dari empat topik tersebut melekat pada seluruh destinasi yang dituju selama periode September—Oktober 2023.

Prolog Arah Singgah 2023
Detail mata dan muka Christopher, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang dirawat di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Kabupaten Langkat/Deta Widyananda

Di Kabupaten Langkat, kami singgah ke dua destinasi ekowisata yang telah lama dikenal turis, yaitu Tangkahan dan Bukit Lawang. Melihat kerja para mahout, berbincang dengan mantan pembalak liar, hingga menjumpai seorang polisi hutan. Lalu kami diajak oleh Hutaoan Pasaribu, ketua Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) Sejahtera, menengok ladang perkebunannya di resor Sekoci yang rawan akan konflik lahan mafia tanah. Ketiga daerah tersebut merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah Sumatra Utara.

Kami juga menemui Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P., untuk mendengar mimpi besar dan program konservasi berbasis masyarakat yang ia canangkan. Bukan sesuatu yang mustahil. Namun, perjalanannya tak akan semudah melepas lebah dari madu.

Prolog Arah Singgah 2023
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Kami menyebar lebih jauh ke tiga kabupaten berbeda di Riau. Melihat langsung jejak nyata Samsul Bahri menghijaukan puluhan hektare pesisir Bengkalis dengan mangrove. Berbincang dengan komunitas generasi muda penuh inovasi dan kreativitas di Siak, kabupaten yang 57 persen wilayahnya merupakan lahan gambut.

Kami menyempatkan pula bermalam di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kampar untuk merasakan denyut kehidupan masyarakat desa adat yang aksesnya bergantung pada Sungai Subayang. Yang tampak di permukaan, tidak semulus yang dibayangkan.

Menyeberang ke Kalimantan, kami fokus menggali cerita di Merabu. Sebuah kampung Dayak Lebo di pelosok Berau yang hidupnya bersandar pada napas hutan Pegunungan Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan karst dengan sumber daya alam melimpah dan tempat memasok kebutuhan dasar, seperti air, hasil hutan, ekowisata, obat-obatan tradisional, hingga kuliner. Di balik itu, eksistensi adat berada di bayang kepunahan.

Prolog Arah Singgah 2023
Ibu-ibu melakukan “manugal”, menanam padi gunung di lahan kering secara gotong-royong. Tradisi setahun sekali ini masih dilestarikan di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur/Mauren Fitri

Selama ekspedisi, kami menyaksikan dan merasakan pelbagai situasi perjalanan yang mungkin tak segemerlap kehidupan di Pulau Jawa. Apalagi kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Bahkan membeli minyak untuk sekadar menyalakan listrik dari petang sampai tengah malam tidak segampang datang dan belanja ke toko kelontong terdekat. Muka tertampar realitas paling fundamental. Indonesia bukan hanya Jawa. Indonesia tidak sekadar berbicara Jakarta. Sumatra dan Kalimantan, pulau besar yang tertuduh menyumbang deforestasi—dan terus berjuang menutup lubang-lubang di kawasan hutan berbasis masyarakat dan kearifan lokal—juga bagian dari Nusantara.

Prolog Arah Singgah 2023
Hatuaon Pasaribu, petani hutan mitra Taman Nasional Gunung Leuser, menunjukkan pohon jengkol di kebun miliknya/Deta Widyananda

Para peramu harmoni yang kami temui menyadarkan itu. Apa apresiasi sepadan untuk orang-orang yang mengabdikan diri merawat pertiwi?

Selamat datang di Arah Singgah!

Jauh bukan satu-satunya alasan mengapa tiga provinsi itu menjadi tujuan utama ekspedisi Arah Singgah tahun ini. Namun, jauh tidak menjadi ambisi yang harus dikejar sebagai sebuah pencapaian pribadi kami. Jauh adalah harapan spektrum cerita yang kami laporkan mampu merengkuh lebih banyak pembaca maupun pemerhati kebijakan.

Selama ekspedisi, puluhan orang yang menjadi narasumber telah berbagi banyak cerita kepada TelusuRI. Masing-masing memiliki peran. Masing-masing menyuarakan isu terkini yang relevan, mulai dari ekonomi restoratif, konservasi, iklim, energi terbarukan, sampai dengan perhutanan sosial—di daratan dan perairan. Lengkap dengan keresahan maupun harapan terhadap aneka perubahan; yang cepat atau lambat pasti akan datang.

Kami harus mengakui jika kami bukanlah juru selamat untuk menjawab itu. Kami hanyalah perpanjangan dari suara dan tangan mereka untuk menjangkau mata dan telinga yang lebih luas lagi. Melalui tulisan, foto, dan video. Karya-karya jurnalistik yang sebisa mungkin kami sajikan secara berimbang. Walau sekilas tampak setitik, tetapi jika kami seyakin Pak Hatuaon Pasaribu tentang masa depan, maka semoga Arah Singgah bisa mengetuk hati siapa pun yang peduli.

Inilah, Arah Singgah 2023. Selamat menikmati dan belajar dari tutur serta laku orang-orang yang kami temui. Ada belasan bahkan puluhan sosok yang berupaya mengisi hidupnya untuk mencari titik temu, antara keseimbangan alam maupun memenuhi kebutuhan ekonomi. Merenungi suara-suara hutan, sungai, danau, embun, kabut, hingga para satwa yang turut berjuang menjaga harmoni.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Trekking di dalam hutan desa Merabu, Kabupaten Berau/Rifqy Faiza Rahman

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Prolog: Arah Singgah 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/feed/ 0 40368