covid-19 Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/covid-19/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 22 May 2025 14:44:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 covid-19 Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/covid-19/ 32 32 135956295 Menyepi di Bali Kala Pandemi https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/ https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/#respond Tue, 11 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45920 Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel...

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel itu berharga Rp1.000.000.

Kira-kira dua jam penerbangan menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sesampainya di bandara, saya sedikit bingung. Hari sudah gelap. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 18.00. Saya nyaris tak sadar, Bali masuk wilayah Indonesia bagian tengah, sehingga waktunya lebih cepat satu jam dibandingkan Jakarta. 

Bandara itu tidak terlalu ramai. Saya memilih menggunakan taksi daring untuk menuju hotel di sekitar Jalan Legian. Jaraknya sekitar enam kilometer dari bandara, menghabiskan waktu kira-kira 20 menit. Jalanan yang saya lewati sangat sepi. Padahal, malam belum beranjak jauh.

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Suasana Jalan Legian yang sepi, Mei 2021/Fandy Hutari

Malam Sunyi di Bali

Saya melewati titik-titik yang sebelum pandemi ramai wisatawan asing. Sebut saja, Gang Poppies Lane, tak jauh dari Pantai Kuta.

“Di sini dulu sangat ramai,” kata si sopir taksi daring.

Mendengar nama itu, saya ingat lagu Slank, yang dirilis tahun 1998 berjudul “Poppies Lane Memory”. Gang kecil ini terkenal di kalangan wisatawan karena kehidupan malamnya. Di sini, banyak berdiri penginapan murah, toko pernak-pernik, dan bar. Mengutip Kintamani.id,1 Poppies Lane dahulu tak bernama. Warga hanya menyebutkan rurung, yang artinya jalanan sempit. Warga yang tinggal di situ itu menyebutnya Gang Taman Sari. Ada pula warga yang menyebutnya gang memedi karena sempit, sepi, dan lengang.

Nama Poppies berawal dari nama warung milik Sang Ayu Made Cenik Sukeni pada 1970. Wisatawan asing banyak yang datang ke warung itu. Lalu, ada langganan dua orang turis asal Amerika Serikat bernama George dan Bob yang memberikan nama Poppies untuk warung Sang Ayu. Poppies diambil dari nama bunga yang tumbuh di California, Amerika Serikat. Di sekitar Jalan Legian juga, kata sang sopir taksi daring, sebelum pandemi banyak bule asyik berpesta hingga di tengah jalan. Namun, ketika saya lintasi, kosong melompong.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021—periode saat saya berkunjung ke Bali—hanya ada 51 wisatawan asing yang masuk ke Bali. Jumlah ini jauh dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. Pada 2019, jumlahnya 6.275.210 turis asing datang ke Pulau Dewata. Lalu turun pada 2020 menjadi 1.069.473 orang. Baru setelah kondisi berangsur membaik, pada 2022 ada 2.155.747 wisatawan asing yang berkunjung ke Bali.

  • Menyepi di Bali Kala Pandemi
  • Menyepi di Bali Kala Pandemi

Sehabis menaruh ransel, saya berjalan-jalan di sekitar Legian. Malam itu, saya menyaksikan suasana sangat senyap. Banyak bar, restoran, kelab malam, dan toko-toko yang tutup. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang tampak. Dari lorong yang gelap, seorang pedagang menawarkan untuk membeli makanan yang dijajakannya. Hari itu, saya menyaksikan Bali yang berbeda. Bali yang porak-poranda karena pandemi. Saya mendengar, mereka yang semula bekerja mengandalkan pariwisata beralih menjadi petani di desanya.

Melansir CNBC Indonesia,2 pada 2020 hingga 2023 hanya terdapat tambahan 817 kamar hotel di Bali. Akan tetapi, terjadi pengurangan sebanyak 1.591 kamar akibat penutupan hotel. Lantas, menurut Ida Ayu Kade Adi Juniari dan Ni Nyoman Ayu Suryandari,3 ada 200-an restoran di Bali tutup karena pandemi. Beberapa tercatat tutup permanen.

Rupanya, kebijakan pemerintah membuka-menutup Bali saat itu tak mampu berbuat banyak. Laporan Kompas,4 11 Mei 2021, Bali paling terpukul di antara provinsi lainnya. Pertumbuhan ekonomi Bali paling rendah. Pada 2020 tercatat minus 9,31 persen. Pada triwulan I tahun 2020, pertumbuhannya minus 1,20 persen. Lalu, terjun bebas hingga minus 12,32 persen pada triwulan III 2020. Pada triwulan awal 2021, status perekonomian Bali ada di minus 9,85 persen.

Saya mengunjungi Tugu Peringatan Bom Bali atau memiliki nama lain Monumen Panca Benua atau Ground Zero Monument, tak jauh dari hotel saya menginap. Suara musik mengentak terdengar lamat-lamat dari sebuah bar yang masih bertahan dari pandemi.

Monumen ini diresmikan pada 2004. Dibangun untuk mengenang tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dari 22 negara. Nama-nama mereka diabadikan di dinding monumen itu. 

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Monumen Bom Bali pada Mei 2021/Fandy Hutari

Keliling Bali yang Sepi

Keesokan harinya, saya menyewa sepeda motor untuk berkeliling beberapa hari. Pantai Kuta adalah tujuan pertama. Suasananya sangat sepi. Nyaris tak ada wisatawan. Hanya satu-dua orang turis yang berjalan di pasir putih itu. Ada pula beberapa pedagang minuman, tukang tato, tukang pijat, dan tukang gelang yang berseliweran. Padahal, jika situasi normal, pantai ini sangat sesak turis.

Meninggalkan Pantai Kuta, hari berikutnya saya mengunjungi Museum Bali dan Museum Bajra Sandhi di Denpasar. Di Museum Bali, terdapat koleksi benda-benda etnografi, di antaranya peralatan dan perlengkapan hidup, kesenian, keagamaan, dan lainnya yang menggambarkan kehidupan dan perkembangan kebudayaan Bali masa lampau. Gagasan pendirian Museum Bali berasal dari Th. A. Resink. Usulan itu diterima asisten residen Bali Selatan, W.F.J. Kroon, yang kemudian membangun museum etnografi pada 1910.5

Sementara di Museum Bajra Sandhi atau Museum Monumen Perjuangan Rakyat Bali, saya melihat-lihat 33 diorama, berbagai foto, dan lukisan. Saya pun naik ke atas menara, menapak anak tangga di tengah bangunan. Dari menara, kita bisa melihat pemandangan sekitar.

Pencetus ide pembangunan monumen yang dari kejauhan mirip pagoda ini adalah Gubernur Bali Ida Bagus Mantra pada 1980. Arsitek monumen adalah Ida Bagus Gede Yadnya, yang memenangkan kompetisi arsitektur monumen tersebut pada 1981. Desain arsitekturnya punya arti hari kemerdekaan Indonesia, dengan 17 gerbang pintu masuk, delapan pilar utama, dan ketinggian monumen 45 meter. Monumen mulai dibangun pada 1981, tetapi sempat terhenti dan dilanjutkan pada 1987. Tahun 2003, monumen diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat presiden.6

Sore menjelang matahari terbenam, saya mengunjungi Pantai Padma. Di sini, kondisinya berbeda dengan Pantai Kuta. Wisatawan, terutama dari dalam negeri, ramai menikmati senja. Anjing-anjing berlari ke sana-ke mari.

Perjalanan terakhir di Bali, saya pergi ke Ubud, kira-kira 20-an kilometer dari Legian. Di sana, saya menginap semalam di sebuah rumah yang di depannya terhampar sawah.

Bali kini kembali lagi menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara. Bali sekarang tak lagi sepi.


  1. Baihaki, Imam. “Poppies Lane Kuta, Gang Kecil Di Bali yang Tak Pernah Sepi dan Mendunia,” dalam Kintamani.id, 2018. (https://www.kintamani.id/poppies-lane-kuta-gang-kecil-bali-tak-pernah-sepi-dan-mendunia/) ↩︎
  2. Sandi, Ferry. “Hotel di Bali Bertumbangan, Tutup Lebih 1.500 Kamar,” dalam CNBC Indonesia, 16 Januari 2024. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20240116185158-4-506387/hotel-di-bali-bertumbangan-tutup-lebih-1500-kamar). ↩︎
  3. Juniari, Ida Ayu Kade Adi dan Ni Nyoman Ayu Suryandari. “Dampak Pandemi Covid-19 pada Restoran di Bali,” dalam Kompasiana. 28 Mei 2021. (https://www.kompasiana.com/dayujuni/60b0476fd541df7cfa2312d2/dampak-pandemi-covid-19-pada-restoran-di-bali). ↩︎
  4. Nugraheni, Arita. “Bali Paling Terpukul Pandemi,” dalam Kompas, 11 Mei 2021. (https://www.kompas.id/baca/riset/2021/05/11/bali-paling-terpukul-pandemi). ↩︎
  5. “Bali Museum” dalam wikipedia.org (https://en.wikipedia.org/wiki/Bali_Museum). ↩︎
  6. “Sejarah dan Keunikan tentang Monumen Bajra Sandhi” dalam denpasar.kota.go.id, 1 Maret 2019 (https://www.denpasarkota.go.id/wisata/sejarah-dan-keunikan-tentang-monumen-bajra-sandhi). ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/feed/ 0 45920
Nasib Kebun Binatang saat Pandemi https://telusuri.id/nasib-kebun-binatang-saat-pandemi/ https://telusuri.id/nasib-kebun-binatang-saat-pandemi/#respond Mon, 29 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30578 Hampir dua tahun, Indonesia dan dunia telah hidup berdampingan dengan COVID-19. Pandemi tak hanya melumpuhkan aktivitas manusia, kebun binatang juga terdampak. Banyak satwa yang bernasib malang akibat pandemi yang memaksa kebun binatang menutup operasional.Penutupan ini...

The post Nasib Kebun Binatang saat Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Hampir dua tahun, Indonesia dan dunia telah hidup berdampingan dengan COVID-19. Pandemi tak hanya melumpuhkan aktivitas manusia, kebun binatang juga terdampak. Banyak satwa yang bernasib malang akibat pandemi yang memaksa kebun binatang menutup operasional.Penutupan ini tentu saja menyebabkan pemasukan penjualan tiket turun drastis. Bahkan, bisa disebut tidak ada pemasukan dari situ. Sejumlah kebun binatang di Indonesia pun harus memutar otak untuk tetap bertahan di masa pandemi. 

Di samping fungsi rekreasi, kebun binatang di Indonesia juga menjadi tempat untuk riset dan konservasi satwa. Menurut data survei internal Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI), terdapat 60 kebun binatang yang menjadi anggota organisasi profesi tersebut. Anggota PKBSI mengemban hajat hidup kurang lebih 5.000 jenis satwa dengan 70.000 individu satwa.

Harimau Sumatra-Unsplash-Rebecca Campbell
Harimau Sumatra via Unsplash/Rebecca Campbell

Nasib kebun binatang

Pandemi di Indonesia dimulai 2 Maret 2020 ketika dua orang terkonfirmasi positif COVID-19. Pada tanggal 9 April 2020, wabah tersebut sudah menyebar ke 34 provinsi. Pemerintah pun mengambil langkah sigap memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kebijakan itulah yang menyebabkan banyak sektor penunjang kehidupan masyarakat berhenti beroperasi. Hanya sektor esensial dan kritikal yang boleh tetap berjalan dengan penerapan protokol kesehatan. Pemberlakuan kebijakan PSBB di Indonesia mengakibatkan sejumlah kebun binatang terpaksa tutup demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Sejak awal penutupan kebun binatang seluruh Indonesia, pihak PKBSI menyatakan bahwa hanya sekitar 10% anggota yang mampu memberi pakan selama satu hingga tiga bulan. 90% lainnya hanya bisa bertahan kurang dari satu bulan, bila tidak ada bantuan sama sekali. Bukan tanpa sebab, hal itu terjadi karena kebanyakan kebun binatang Indonesia mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket ke pengunjung. Jika ditutup dan tidak ada kunjungan, pemasukan berkurang drastis.

Rusa di Kebun Binatang-Unsplash-Helene Nguyen
Rusa di Kebun Binatang via Unsplash/Helene Nguyen

Di sisi lain, kehidupan di kebun binatang harus terus berlanjut. Mulai dari biaya pakan ternak, biaya perawatan, maupun gaji para karyawan. Kebun binatang tidaklah sama dengan bisnis yang bisa ditutup dan merumahkan karyawan. Kebun binatang menyangkut kehidupan makhluk hidupnya. Belum lagi, sebagian satwa di kebun binatang merupakan satwa dilindungi, terancam punah, serta populasinya tak banyak di alam.

Upaya bangkit kembali

Permasalahan pakan memang jadi masalah utama saat kebun binatang tutup. Sehingga, manajemen kebun binatang perlu melakukan penyesuaian. Contoh saja upaya substitusi pakan, puasa satwa, maupun pengurangan porsi. Upaya substitusi pakan dilakukan oleh pengelola kebun binatang di berbagai daerah.

Pengelola kebun binatang semula memberi hewan karnivora pakan 50% ayam dan 50% daging sapi. Kini porsinya menjadi 75% daging ayam serta 25% daging sapi. Ada juga hewan herbivora yang pakannya diganti dengan kualitas standar, meski biasanya diberi pakan berkualitas tinggi.

Untuk dampak sendiri, manajemen berujar substitusi pakan dapat mempengaruhi bobot satwa di kemudian hari. Penurunan berat badan tidak bisa ditampik. Apalagi kalau bukan karena nutrisi, gizi, maupun serat yang terkandung di pakan pengganti berbeda dengan pakan aslinya.

Di beberapa kebun binatang, kebijakan puasa satwa diberlakukan. Maksudnya adalah terdapat satwa-satwa yang diberi makan dua hari sekali agar bisa bertahan dan menekan anggaran untuk pakan. Berkaitan dengan permasalahan pakan, sejumlah kebun binatang masih akan memantau kondisi satwa dengan menyiagakan dokter hewan. Perhatian lebih diberikan pada satwa yang masuk kategori rawan kepunahan.

Permasalahan berikutnya adalah soal karyawan yang bekerja di kebun binatang, misalnya zookeeper dan dokter hewan. Menurut data PKBSI, ada 22.000 pegawai di kebun binatang anggotanya. Upaya yang dilakukan pihak manajemen adalah memberlakukan shift kerja. Hal ini tentu memengaruhi upah karyawan yang akan dipotong karena durasi kerjanya pun berkurang. Meskipun demikian, ternyata permasalahan gaji karyawan masih jadi kendala karena kendala finansial yang dialami pihak kebun binatang.

Kemudian, terdapat permasalahan seputar pajak yang menghantui manajemen kebun binatang. Situasi pandemi ini, pajak di sejumlah daerah masih perlu dibayar penuh sama dengan sebelum pandemi melanda. Padahal, aliran dana dan pemasukan kebun binatang bisa dibilang surut. Ketika ada momen-momen yang seharusnya jadi kesempatan emas (peak season), kala itu pula kebun binatang ditutup. Momentum peak season yaitu libur tahun baru, libur semester, maupun libur lebaran. Manajemen tentu mengharap keringanan mengingat kondisi sekarang, seperti pembebasan pajak dan penghapusan denda.

Poster Donasi SOZ Benih Baik X PKBSI - Situs PKBSI
Poster Donasi SOZ Benih Baik X PKBSI/Situs PKBSI

Kontribusi masyarakat

Segelintir kebun binatang akhirnya berusaha mencari dana tambahan selain dari bantuan pemerintah setempat. Dana itu dapat diperoleh dari donasi masyarakat umum. PKBSI pun sempat menggalang dana untuk kesejahteraan satwa dan karyawan kebun binatang anggota di seluruh Indonesia. Di samping itu, pengelola beberapa kebun binatang aktif mengajak masyarakat untuk berpartisipasi demi keberlanjutan hidup satwa di kebun binatang. 

Gerakan galang dana itu diwujudkan dengan semisal masyarakat bisa membeli tiket yang temponya hingga beberapa bulan berikutnya. Selain itu, terdapat juga donasi dengan hadiah berupa masker bergambar satwa yang lucu. Bahkan, ide menarik lain juga muncul, yakni adopsi satwa. Bukan berarti satwa yang diadopsi akan diambil dan jadi milik pengadopsi. Namun, masyarakat dapat membantu memberi pakan pada satwa tertentu.

Segala upaya dilakukan guna menyiasati agar kebun binatang tetap “hidup” di era pandemi. Walaupun ada kebun binatang yang sudah boleh beroperasi kini, tetap saja ada tatanan yang berubah. Pembatasan jumlah pengunjung dan penerapan protokol kesehatan ketat jadi hal baru di kebun binatang. Belum lagi kalau kebijakan pemerintah berubah, sehingga kebun binatang terpaksa tutup kembali. Sejatinya tanggung jawab atas kesejahteraan makhluk hidup di kebun binatang tidak hanya di tangan pengelola, tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Mari bantu selagi mampu!Bagi teman-teman yang ingin berdonasi demi membantu kehidupan satwa di kebun binatang, klik tautan berikut di sini atau langsung kunjungi akun Instagram PKBSI di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Nasib Kebun Binatang saat Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nasib-kebun-binatang-saat-pandemi/feed/ 0 30578
Suasana Malam Malioboro Kala Pandemi COVID-19 https://telusuri.id/suasana-malam-di-malioboro-di-tengah-pandemi-covid-19/ https://telusuri.id/suasana-malam-di-malioboro-di-tengah-pandemi-covid-19/#respond Sat, 20 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30287 Jumat, 18 Juni 2021, merupakan pengalaman berhargaku menikmati suasana malam di Malioboro saat pandemi COVID-19. Menuju ke sana berawal dari ketidaksengajaan. Terus terang, aku agak labil ketika dihadapkan banyak pilihan yang membuatku lama mengambil keputusan....

The post Suasana Malam Malioboro Kala Pandemi COVID-19 appeared first on TelusuRI.

]]>
Jumat, 18 Juni 2021, merupakan pengalaman berhargaku menikmati suasana malam di Malioboro saat pandemi COVID-19. Menuju ke sana berawal dari ketidaksengajaan. Terus terang, aku agak labil ketika dihadapkan banyak pilihan yang membuatku lama mengambil keputusan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kawasan Malioboro merupakan salah satu destinasi wisata Yogyakarta yang selalu ramai dikunjungi para wisatawan lokal dan mancanegara. Pedagang kaki lima, tukang becak, pak kusir, seniman, dan pelaku usaha kreatif berkumpul di titik yang sama. Jangan lupa, pedagang lokal, Plaza Matahari, dan Pasar Beringharjo siap memenuhi selera belanja konsumen.

Karena Malioboro merupakan salah satu pusat Kota Jogja, maka rute jalan menuju ke sana dibuat searah. Tujuannya tentu untuk mengurai kemacetan. Hampir setiap kota turut merasakan gerahnya kemacetan. Apalagi ketika berada di pusat kota. Setiap perayaan momen tertentu, misal lebaran dan malam pergantian tahun, kemacetan sudah menjadi masalah klasik dalam tata ruang perkotaan.Pandemi memang merubah kondisi pariwisata Jogja secara keseluruhan. Kini, para pramuwisata se-DIY tidak henti-hentinya menghimbau wisatawan agar manut protokol kesehatan. Langkah seperti ini perlu diapresiasi meskipun tidak semua wisatawan menurut imbauan tersebut. Maka tidak heran, kawasan objek wisata menjadi salah satu sarang penyebaran penyakit menular.

Pose Bang Yudis di Malioboro
Pose Bang Yudis di Malioboro/Genta Ramadhan

Awalnya, aku diajak oleh Bang Yudis, teman se-indekos, untuk makan angin. Kebetulan sekali, aku perlu piknik untuk mengurangi rasa suntuk di indekos. Banyak orang juga merasakan hal yang serupa sepertiku. Sebelumnya, niat kami ialah makan nasi uduk samping Martabak KumKum. Lokasinya berada di Sagan, tepatnya Jalan Prof. Herman Yohanes. Sayangnya warung ini berhenti beroperasi akibat kebijakan PPKM bulan Juli silam.

Setelah salat Magrib, kami berangkat ke sana menggunakan motor. Di sana, menu makanan tersedia cukup banyak. Sistem pengambilan makanan berupa prasmanan. Artinya, konsumen boleh memilih teman nasi sesuai selera. Namun, porsinya tetap diatur oleh si penjual. Menariknya, metode pembayaran pun juga kekinian, yaitu tunai dan pindai barcode QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).

Hotel Grand Inna Mutiara
Hotel Grand Inna Mutiara/Genta Ramadhan

Seperti biasa, aku dan Bang Yudis menikmati makan malam. Ibarat isi baterai ponsel sebelum digunakan. Di sana, aku mengamati Bang Yudis sedang asyik menggunggah aktivitasnya ke media sosial. Nampaknya, ada orang lain juga melakukan hal yang serupa. Aku bertanya sendiri, untuk apa manusia sekarang unggah story di media sosial pula?

Setelah ritual makanan, kami bersiap-siap meluncur ke Malioboro. Namun, kami harus menunggu teman kampus Bang Yudis yang katanya sedang dalam perjalanan. Kata Bang Yudis, dia berasal dari Bangka yang barusan tiba di Jogja. Hal ini membuatku kesal karena tindakan blunder Bang Yudis. Alhasil rencana berangkat kami tertunda setengah jam dari yang rencana awal. Namun setelah aku mencoba menguasai diri agar emosiku tidak meledak, akhirnya aku memaklumi alasannya dan berlapang dada.

Akhirnya, kami berangkat ke Malioboro. Karena Jalan Prof. Herman Johannes dibuat searah, terpaksa kami memutar arah. Untungnya, ada gang kecil yang bisa memangkas waktu perjalanan menuju jalan protokol menuju simpang Gramedia. Setibanya di sana, kami memarkir motor di Taman Parkir Abu Bakar Ali. Tempat ini merupakan lahan parkir vertikal untuk kendaraan bermotor yang berdekatan dengan kawasan Malioboro. 

Kami memarkir motor di lantai tiga. Desain taman parkir ini cocok untuk kawasan wisata karena banyak wisatawan berlalu lalang di Malioboro. Selain itu, ada stasiun kereta Tugu yang selalu sibuk melayani arus penumpang kereta.

Aku dan Gapura Kampung Ketandan
Aku dan Gapura Kampung Ketandan/Genta Ramadhan

Sekarang, waktunya menjelajahi Malioboro.

Kami bertiga menikmati suasana malam Malioboro dengan syahdu. Sesekali, aku kembali menengok Jogja Library (Joglib). Dulu ketika ada tugas kuliah dan lagi gabut, aku sering bertandang ke sana untuk mencari koran. Biasa, sesekali aku bernostalgia soal Joglib. Di depannya, terdapat Hotel Grand Inna menjadi landmark area Malioboro. Jangan lupa, Malioboro juga menyediakan kawasan pedestrian dan spot foto yang menjanjikan.

Syahdan, kami berjalan ke arah Alun-Alun Utara Kraton. Sepanjang perjalanan, aku melihat gang kecil dengan nama kampung yang khas. Salah satunya, Kampung Ketandan yang merupakan rumah warga berketurunan Tionghoa. Selain itu, terdapat deretan arsitektur Tionghoa yang menjadi ciri khas Kampung Ketandan. Aku sering melihat gapura kawasan itu, tetapi belum masuk gang lebih dalam. Istana Agung dan Benteng Vreedebrug juga terletak lokasi yang sama.

Kaki kami penat setelah berjalan terlalu lama. Seperti biasa, aku dan Bang Yudis menemani teman Bang Yudis membeli oleh-oleh. Kemudian, aku berniat membeli oat milk sebagai cemilan. Sayangnya, toko ini tutup begitu cepat karena pandemi. Alih-alih demikian, kami mencari warung makan lesehan untuk mengisi tenaga. Sayangnya, aku tidak membelinya karena harga makanan disana mahal. Sebagai gantinya, aku menikmati wedang ronde yang menyegarkan. Setelah selesai, kami kembali ke indekos dengan perasaan penat dan bercampur puas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Suasana Malam Malioboro Kala Pandemi COVID-19 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suasana-malam-di-malioboro-di-tengah-pandemi-covid-19/feed/ 0 30287
Ketika Karnaval Peringatan HUT RI Masuk Gang https://telusuri.id/ketika-karnaval-peringatan-hut-ri-masuk-gang/ https://telusuri.id/ketika-karnaval-peringatan-hut-ri-masuk-gang/#respond Thu, 09 Sep 2021 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30418 Kemeriahan HUT RI ke-76 memang sedikit berkurang ketika masih terjadi pemberlakuan PPKM Level 3 di Kota Bandung, namun hal itu tak menyurutkan warga untuk memperingatinya. Karena terjadi pelarangan melakukan karnaval di jalan raya, tentu saja...

The post Ketika Karnaval Peringatan HUT RI Masuk Gang appeared first on TelusuRI.

]]>
Kemeriahan HUT RI ke-76 memang sedikit berkurang ketika masih terjadi pemberlakuan PPKM Level 3 di Kota Bandung, namun hal itu tak menyurutkan warga untuk memperingatinya. Karena terjadi pelarangan melakukan karnaval di jalan raya, tentu saja karnaval masuk gang-lah yang menjadi pilihan. Hal itu muncul karena warga butuh hiburan setelah merasa peringatan HUT RI tahun 2020 terasa hambar walaupun ada lomba-lomba tetapi dilakukan secara terbatas.

Sebenarnya aku dan rekan-rekan panitia HUT RI tingkat RT sedang sibuk mengurusi persiapan lomba-lomba. Sang ketua RT memberitahu jika RT lain mengajak untuk bersama-sama melakukan karnaval. Kataku tak ada salahnya untuk berpartisipasi. Antusias warga masyarakat tak begitu kuat ketika aku menawarkan ke rumah-rumah bagi mereka yang akan mengikuti kegiatan karnaval itu. Kupikir mungkin hanya anak-anak saja yang akan mengikuti kegiatan itu.

Esok harinya seluruh panitia sibuk melaksanakan kegiatan HUT RI di RT kami. Panitia memang sepakat untuk melaksanakan lomba sampai pukul 15.00 WIB karena warga juga akan mengikuti karnaval. Seperti biasa, lomba-lomba pun digelar dengan segala keseruannya. Acara dibuka dengan lomba cerdas cermat tingkat SD yang sudah lama jarang dilaksanakan. Ada juga balap kerupuk, balap karung, balap memasukkan paku ke dalam botol, dan ada lomba giring balon dengan terong. Gang Ciroyom III hari itu benar-benar menyenangkan. 

Tiga orang anak berpose dengan gaya berbeda sebelum karnaval
Tiga orang anak berpose dengan gaya berbeda sebelum karnaval/Deffy Ruspiyandy

Ketika jeda acara lomba. Aku serta warga yang ada disuguhi dengan kenyataan unik yang membuat tersenyum bahkan boleh dikatakan sampai tertawa terpingkal-pingkal. Apa sesungguhnya yang menjadi kehebohan? Anak-anak memakai pakaian dengan beragam corak, bahkan ada anak yang sengaja dihias menjadi tuyul. Yang paling unik dan membuat tertawa adalah ketika sebagian laki-laki malah bertingkah sebagai perempuan dengan gaya khas dan itu membuat warga tertawa ketika melihatnya. Sungguh sebuah hiburan tak terduga yang membuat bahagia warga saat itu.

Jelas tak pernah terduga sebelumnya. Jika satu hari sebelumnya warga tak begitu antusias mengikuti karnaval, ternyata hari itu warga yang mau ikut karnaval lumayan banyak khususnya ibu-ibu yang ingin mendampingi anak-anaknya. Beruntung koordinator karnaval di RT-ku bisa mengatur secara baik sehingga kontingen karnaval itu bisa diatur sedemikian rupa. Maka setelah siap, rombongan itu diberangkatkan untuk bergabung dengan rombongan dari RT lain yang diiringi dengan musik dangdut.

Peserta karnaval wanita yang antusias pada momentum tersebut
Peserta karnaval wanita yang antusias pada momentum tersebut/Deffy Ruspiyandy

Warga yang tidak mengikuti kegiatan karnaval menyaksikan arak-arakan ini dari dalam gang. Saat itu kau membayangkan akan mengularnya seperti apa peserta karnaval tersebut. Aku sendiri sudah takjub dengan banyaknya peserta karnaval RT-ku yang begitu mengular maka dapat kubayangkan jika digabung dengan RT-RT lain maka rombongan akan semakin panjang.

Tatkala menunggu kedatangan peserta karnaval, banyak aktivitas yang dilakukan oleh warga. Mereka ada yang sengaja menyapu jalan karena banyak sampah ketika kegiatan lomba dilaksanakan, ada juga yang sengaja mengobrol sambil duduk-duduk, ada yang menyeduh kopi lalu menikmatinya bahkan ada yang tidur-tiduran di bangku mungkin karena merasa kecapekan setelah menjadi panitia lomba. Namun mereka tetap antusias menunggu kedatangan peserta karnaval..

Kurang lebih 30 menit lamanya aku dan warga lain menunggu kedatangan peserta karnaval itu. Tampak sekali warga sangat butuh hiburan. Anak-anak, remaja, dewasa bahkan mereka yang sudah disebut kakek dan nenek saja hadir ingin menyaksikan kegiatan itu. Betul saja, keramaian semakin memuncak ketika terdengar iringan musik yang terdengar keras. Tak lama arak-arakan itu muncul. Gang yang lebarnya sekitar 2 meter itu menjadi lautan manusia yang jelas membuat sesak mereka yang berada di dalamnya. Namun mereka tak mempedulikan itu. Semuanya Bahagia dan tak terlihat rasa cemas id wajah mereka. Ada yang berjoget ada pula yang sekedar berjalan saja.

Kontingen karnaval perwakilan sebuah RT
Kontingen karnaval perwakilan sebuah RT/Deffy Ruspiyandy

Arak-arakan yang memanjang hampir 100 meter itu semakin menarik ketika menampilkan peserta dengan kostum yang berbeda-beda. Ada yang sengaja membawa roda dengan terisi bayi besar sambal menyedot botol susu yang diperankan oleh orang dewasa. Ibu-ibu yang sengaja memakai seragam merah putih. Beberapa anak memakai seragam ulama, seragam polisi, tentara bahkan ada pula yang memakai pakaian yang terbuat dari karung goni. Semuanya berbaur menjadi satu dan semakin meramaikan suasana saat itu. Saat itu mereka semua bergembira dan senang walaupun mereka harus berdesak-desakkan.

Ternyata arak-arakan dengan begitu banyak orang membuat para peserta yang baru setengah jalan harus mundur dari kegiatan tersebut. Alasannya karena rupanya walaupun jaraknya dekat ternyata cukup menguras tenaga ketika ada banyak orang disekitarnya. Juga mereka yang tak melanjutkan arak-arakan karena merasa panas dan juga sedikit terasa sesak nafas. Namun yang masih kuat tetap meneruskan karnaval itu. Karena begitu panjangnya arak-arakan maka terjadi pula kemacetan yang mengular Panjang hingga melewati gang itu hampir dua puluh menit lamanya apalagi peserta karnaval di belakang malah berjoget-joget dengan lagu dangdut yang diputar.

Tentu saja momen ini sangat menghibur warga yang dilewati oleh peserta karnaval tadi. Tentu saja hal ini menciptakan kerumunan namun aku bersyukur tak terjadi apa-apa karena kudengar mereka yang mengikuti karnaval sehat semua. Dengan adanya kegiatan karnaval ini membuat acara lomba pukul balon bagi anak-anak di RT kami akhirnya urung dilaksanakan dan salah seorang peserta karnaval anak-anak di daerahku ternyata handphone miliknya hilang mungkin karena jatuh hingga sampai malam pun barang tersebut belum berhasil ditemukan.

Tetapi kejadian itu tak mengurangi kegembiraan semua orang dengan adanya acara karnaval masuk gang itu. Sebuah hiburan gratis yang mungkin selama ini sulit didapatkan. Semoga saja untuk peringatan HUT RI tahun depan acaranya semakin marak dan mudah-mudahan negeri ini sudah merdeka dari COVID 19. Kita berdoa, semoga hal itu benar-benar terwujud dan kita bisa melaksanakan kehidupan secara normal di masa adaptasi kebiasaan baru pada tahun 2022.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ketika Karnaval Peringatan HUT RI Masuk Gang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketika-karnaval-peringatan-hut-ri-masuk-gang/feed/ 0 30418
Melihat Lebih Dekat Rupa Perjalanan dari Kupang ke Rote Kala Pandemi https://telusuri.id/kupang-rote-kala-pandemi/ https://telusuri.id/kupang-rote-kala-pandemi/#respond Wed, 28 Jul 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29344 Pertengahan bulan Juni lalu terjadi sebuah peristiwa penting yang mengharuskan saya untuk bertandang kesekian kalinya ke Pulau Rote. Saya yang merindukan Rote dan segala ceritanya, mulai bersiap-siap pada malam sebelum esok pagi-pagi buta berangkat. Saya...

The post Melihat Lebih Dekat Rupa Perjalanan dari Kupang ke Rote Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pertengahan bulan Juni lalu terjadi sebuah peristiwa penting yang mengharuskan saya untuk bertandang kesekian kalinya ke Pulau Rote. Saya yang merindukan Rote dan segala ceritanya, mulai bersiap-siap pada malam sebelum esok pagi-pagi buta berangkat. Saya menyiapkan pakaian atau barang apa saja yang perlu dibawa. Tidak lupa juga, saya membawa beberapa cemilan kecil untuk bekal selama di atas kapal.

Ya, kapal. Saya akan berangkat dengan menggunakan transportasi jalur laut. Jika berbicara jalur laut, maka sudah pasti perjalanan akan berlangsung cukup lama. Apalagi, yang saya tumpangi adalah kapal ferry lambat. Makanya, perlu untuk membawa cemilan sebagai teman agar tidak kelaparan nanti.

Saya berangkat dari rumah pukul 5 pagi karena, sesuai informasi yang didapat, kapal akan berangkat ke Pulau Rote pukul 8 pagi. Motor yang saya tumpangi membawa saya menuju Pelabuhan Bolok, Desa Nitneo, Kupang Barat. Pelabuhan penyeberangan ini, merupakan salah satu pelabuhan terkenal di Kota Kupang. 

Sesampainya di pelabuhan, saya melihat begitu banyak pengunjung yang sudah menunggu pembukaan loket untuk tes antigen dan juga GeNose. Bagi penumpang dengan tujuan Kupang—Rote (dan pastinya semua rute), memang diwajibkan untuk membawa surat bebas COVID-19. Sehingga, perjalanan akan tetap aman dan terlindung dari penularan COVID-19.

Antri GeNose
Antrian GeNose/Resti Seli

Saya memilih untuk mengikuti GeNose dikarenakan harganya lebih murah, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp50.000. Karena inilah banyak penumpang yang juga memilih GeNose. Sangat banyak yang mengantri ditambah alat teknis yang masih belum stabil—kata petugas nakes—maka, saya mengantri cukup lama hingga kelelahan. Belum lagi terjadi desak-desakan dengan penumpang lain, membuat saya semakin geram karena mereka tidak menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak dengan tepat. Bahkan, ada juga pengunjung yang sempat-sempatnya melepas masker dengan alasan kepanasan. 

Satu hal yang cukup saya soroti saat menjalani tes GeNose ini adalah, tempat yang kita pakai untuk meniup udara berbahan dasar plastik. Saya melihat ada begitu banyak tumpukannya tepat di bawah meja si petugas. GeNose memang sangat membantu karena harganya yang terjangkau, tetapi ternyata juga menyumbang banyak sampah plastik. Namun, bagaimana lagi? GeNose memang lebih murah, jadi lebih banyak diminati para pejalan.

Tes GeNose
Tes GeNose/Resti Seli

Setelah selesai mengantri tes GeNose saya berlanjut untuk membeli tiket. Sebelum itu, saya mencuci tangan terlebih dahulu. Syukurlah, setiap sudut pelabuhan disediakan tempat mencuci tangan.

Pagi hari di pelabuhan sungguh hal yang patut dinikmati. Melihat lalu-lalang orang banyak dan melihat kapal-kapal berlabuh dan berlayar, memiliki daya tariknya sendiri. Salah satu fasilitas yang sangat menarik perhatian saya adalah jalan panjang khusus untuk penumpang yang berjalan kaki. Lumayan panjang sehingga cukup instagramable.

Yap, saya sudah diatas KM (Kapal Motor) Uma Kalada dan sepersekian menit kemudian, kapal mulai berlayar.

Suasana Diatas Kapal
Suasana di atas kapal/Resti Seli

Suasana di kapal sangat ramai. Ada musik yang diputar, ada yang makan, dan ada yang lalu lalang. Meskipun begitu, penumpang yang sedang tiduran di tempat tidur—yang sudah disediakan—tidak begitu terganggu. Jika dilihat, kapal ini tidak cukup rapi. Tentu selain karena kapal ini merupakan kapal tua yang berkarat, tidak sedikit penumpang yang membuang sampah sembarangan. Begitulah, memang sebagian penumpang abai akan kebersihan. Padahal, tempat sampau sudah disediakan.

Ah, sudahlah. Saya kembali menikmati cemilan yang saya bawa sambil menikmati indahnya pemandangan. Seperti biasa, perjalanan kurang lebih 4 jam untuk sampai ke Rote.

Pelabuhan Pantai Baru
Pelabuhan Pantai Baru/Resti Seli

Akhirnya, tiba juga di Pelabuhan Pantai Baru, Rote. Dari atas kapal sangat terlihat bahwa pelabuhan ini cukup tertata rapi dengan besi-besi besar warna kekuningan. Petugas ABK (Anak Buah Kapal) segera melemparkan tali besar ke seberang dermaga yang kemudian dikaitkan di dermaga. Mungkin untuk menahan agar kapal tidak terbawa gelombang air laut—walaupun saat itu laut sedang tenang. Terlihat juga penumpang yang ingin berangkat ke Kupang sedang menunggu kapal mereka.

Sebelum memasuki pelabuhan ini, kapal akan melewati pertemuan dua pulau yang menjadi pintu masuk dan keluar pelabuhan. Sungguh memanjakan mata. Apalagi laut yang tenang membuat pemandangan dari lantai atas kapal ini sangat menenangkan. 

Setelah turun kapal, para penumpang diminta untuk menunjukkan surat bebas COVID-19. Saya lalu berjalan keluar menuju tempat parkir untuk mencari tumpangan.Pelabuhan Bolok ini tidak begitu besar, tetapi, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, pelabuhan ini ditata cukup rapi sehingga tidak sesak.

Perjalanan darat menuju Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah pun dimulai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Lebih Dekat Rupa Perjalanan dari Kupang ke Rote Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kupang-rote-kala-pandemi/feed/ 0 29344
Tempat Wisata Kuliner Pinggir Kali di Tulungagung https://telusuri.id/pinka-wisata-pinggir-kali-tulungagung/ https://telusuri.id/pinka-wisata-pinggir-kali-tulungagung/#respond Sat, 22 May 2021 03:07:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27949 Sudah lama rasanya saya tidak berkunjung ke Kota Tulungagung untuk menjelajahi pesona yang ada di sana, rasanya kangen sekali tapi apa daya. Saat memiliki rencana berwisata, dunia sedang berperang melawan pandemi COVID-19 yang sampai saat...

The post Tempat Wisata Kuliner Pinggir Kali di Tulungagung appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah lama rasanya saya tidak berkunjung ke Kota Tulungagung untuk menjelajahi pesona yang ada di sana, rasanya kangen sekali tapi apa daya. Saat memiliki rencana berwisata, dunia sedang berperang melawan pandemi COVID-19 yang sampai saat ini juga belum usai, dan entah sampai kapan. Mari kita berdoa agar COVID-19 segera hilang dari muka bumi ini. 

Awal pandemi saya rasa banyak sekali peraturan yang harus diterapkan agar dapat memutus persebaran COVID-19, misalnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berjaga jarak minimal satu meter, menggunakan masker, Work From Home (WFH,) dan masih banyak lagi.

Saat awal pandemi saya merasa seperti burung yang dimasukan dalam kandang dan tidak bisa kemana-mana, dengan kegiatan yang itu-itu saja. Alias makan, tidur, scrolling sosmed, menonton, kelas daring yah ya begitu-begitu saja. Memang membosankan, tapi mau bagaimana lagi semua dilakukan karena untuk menghambat persebaran COVID-19. Pasti juga tidak hanya saya yang bosan dalam melakukan aktivitas yang itu-itu saja, apalagi bagi mereka yang suka traveling atau kegiatan yang berada di luar rumah. Pariwisata misalnya, sempat ditutup sementara sampai keadaan memang sudah benar-benar membaik.

Sampai akhirnya ada kebijakan new normal pada saat itu, sehingga kita dapat menjalankan kegiatan asalkan sesuai dengan protokol kesehatan, tahun pertama saat awal pandemi saya memang tidak kemana-mana hanya dirumah saja. Namun pada tahun ini alias 2021 saat ramadhan, saya memiliki keinginan untuk berkunjung ke Tulungagung.

Senang sekali rasanya, akhirnya bisa keluar dari kandang, saat menuju Kota Tulungagung saya berangkat dengan menggunakan transportasi umum, yaitu kereta. Setelah hampir satu tahun setengah saya tidak bepergian dengan menggunakan kereta, dan pada saat itulah saya meneteskan air mata karena terharu bisa menaiki kereta lagi. Tak apa deh dikata norak tapi itu memang yang saya rasakan. 

Saat tiba di Tulungagung saya singgah di rumah sahabat terbaik saya sejak saya SD kelas lima, saya menginap di sana dalam kurun waktu yang cukup lama. Ya sambil melepas rindu karena memang sudah lama tak bertemu. Saat-saat bulan puasa seperti ini aktivitas kami ya hanya di rumah saja sambil menonton film dari platform kesayangan kami.

Wisata Kuliner PINKA/Cindar Bumi Putri W

Menjelang sore hari adalah waktu yang kami tunggu-tunggu karena saatnya kita ngabuburit dan mencari takjil di daerah pinggir kali, atau warga lokal menyebutnya dengan PINKA. PINKA ini merupakan tempatnya kaum kawula muda untuk hanya sekedar nongkrong, jogging, dan berfoto-foto. Meskipun tongkrongan didominasi oleh anak muda, di sana juga ada taman bermain untuk anak kecil. Ada ayunan, jungkat-jungkit, dan pelbagai permainan lain yang bisa dinikmati pada pagi-siang-sore hari. 

Pemandangan kali/Cindar Bumi Putri W

Meskipun hanya pinggiran kali, tapi ada hal yang sangat menarik. Tempat ini merupakan tempat wisata kuliner, banyak sekali jenis makanan tersaji. Dari makanan ringan hingga berat semua ada di sana. Sejauh pengamatan saya para penjual menjual aneka jajanan tradisional seperti getuk, cenil, onde-onde, dan kue basah maupun kering. Ada juga penjual sayur (yang sudah dimasak tentunya). Tidak kalah penting lagi nih untuk kalian yang suka nyemil-nyemil di sini banyak penjual pentol, tahu mercon, batagor, cireng, seblak, dan masih banyak lagi. Intinya semua makanan tersedia dari yang gurih, manis, dan pedas. Perut tiba-tiba jadi lapar!

PINKA memiliki tempat yang berseberangan dengan terpisahkan. Adalah sebuah sungai yang masing-masing dihiasi oleh banyaknya orang jualan. Di sini juga terdapat Warkop Sor Trembesi—warung kopi di bawah pohon trembesi, karena lapaknya persis berada di bawah pohon trembesi.

Gerobak jualan yang masih tutup/Cindar Bumi Putri W

Saat sore pada bulan puasa seperti ini, PINKA sangatlah ramai. Bagaikan lautan manusia. Masyarakat berbondong-bondong berburu takjil. Karena itulah saya lebih senang jalan-jalan ke PINKA kala siang hari karena tidak terlalu ramai. Meski begitu, tentu saja banyak penjual yang menutup lapaknya. Tak apa, karena tujuan saya adalah melepas penat dan mengobati kerinduan dengan kota Tulungagung ini. 

Suasana PINKA pada saat malam hari seperti alun-alun, iya karena makin banyak orang yang berjualan disana, serta disana juga tersedia wahana permainan yang dapat dinikmati oleh anak kecil seumur TK-SD seperti odong-odong, kereta api dan mandi bola. 

The post Tempat Wisata Kuliner Pinggir Kali di Tulungagung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pinka-wisata-pinggir-kali-tulungagung/feed/ 0 27949
Arti Rumah Kala Pandemi https://telusuri.id/arti-rumah-kala-pandemi/ https://telusuri.id/arti-rumah-kala-pandemi/#respond Wed, 10 Feb 2021 04:15:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26939 Saya mengusap lembut sampul paspor yang warna putihnya mulai menguning. Setahun sudah benda ini terabaikan begitu saja. Biasanya akhir tahun kaki saya sudah gatal melangkah beranjak pergi ke luar Indonesia. Menyandang ransel dan ‘menggembel’ di...

The post Arti Rumah Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya mengusap lembut sampul paspor yang warna putihnya mulai menguning. Setahun sudah benda ini terabaikan begitu saja. Biasanya akhir tahun kaki saya sudah gatal melangkah beranjak pergi ke luar Indonesia. Menyandang ransel dan ‘menggembel’ di suatu tempat sekedar menikmati atmosfer perjalanan yang berbeda. Saya rindu melewati malam-malam yang melelahkan di bandara saat menanti penerbangan pagi. Berbagi cerita dengan para musafir dan tersenyum hangat pada warga lokal.

Pandemi COVID-19 membuat langkah terhenti begitu saja. Merubah tatanan segala lini kehidupan yang membuat saya, kamu dan kita lelah yang tak terkatakan. Namun dibalik kelelahan dan kejenuhan akan pandemi, saya menemui hal-hal yang luput dalam perenungan saya sebagai bocah yang suka ‘hilang’ dari rumah.

Selama ini rumah bagi saya tak ubah kerinduan akan masakan ibu saya saat melepas lelah dalam melakukan perjalanan. Menuntaskan rindu dalam hitungan hari kemudian beranjak pergi. Rumah juga sebagai persinggahan sementara kala masalah keuangan saya mulai menipis. Seperti itu saya memaknai sebuah rumah. Tak ada kegembiraan berarti kecuali saat dalam perjalanan dan bertemu orang asing.

“Cobalah duduk di depan (toko bapak), biar berinteraksi dengan orang. Biar bisa terbuka pikiran. Ndak mambanam sedalam kamar doh. (Enggak mendap dalam kamar aja),” omel Ibu saya kala awal–awal pandemi saat pulang ke rumah.

Terbiasa di tanah rantau saya melewati sebagian waktu sebagai anak kosan dan menghabis hari–hari dengan melakukan perjalanan, saya cukup asing dengan suasana lingkungan di rumah. Rumah sekedar pelepasan rasa lelah yang membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar kala pulang. Menjadi manusia rebahan yang sibuk berkhayal bikin bucket list tempat yang ingin segera dikunjungi.  

Ibu saya pun mengenang sikap saya yang berbeda saat ia melewati suatu perjalanan bersama saya kala itu. “Kamu waktu itu cerewet bercerita dengan orang,” ucap ibu saya melihat sikap saya yang lebih banyak diam di rumah daripada berbicara banyak.

Saya menghela napas merenungi kembali tentang diri ini untuk pertama kalinya berada di rumah dalam jangka waktu yang cukup lama setelah sejak usia belasan tahun meninggalkan rumah. Rumah bagi saya masih terasa asing dan yang tersisa dalam ingatan ini adalah rasa masakan Ama, begitu saya memanggil ibu saya.

Perjalanan itu Bernama Rumah

Saya selalu mengumbar kepada orang–orang yang resah dengan kebiasaan saya melakukan perjalanan bahwa perjalanan mengasah sisi humanis saya sebagai makhluk sosial dan meleburkan keegoisan saya sebagai manusia. Cukup beralasan ketika orang–orang di sekitar saya sibuk mempertanyakan tujuan hidup saat mereka yang berada di usia saya sibuk bercengkrama dengan bocah dan pusing memikirkan menu makanan di rumah. Sementara hari–hari saya berkutat pada perjalanan dan destinasi apa yang ingin saya tuju.

Foto: Eka Herlina

Saya selalu berujar bahwa perjalanan yang saya lakukan baik ketika melangkah ke luar Indonesia atau sekedar mengunjungi suatu daerah adalah sebagai pembentukan karakter diri agar lebih baik pada kehidupan sosial. Bagaimana menghadapi perbedaan dengan bijak serta soal kemandirian hidup. Perjalanan bagi saya tak ubahnya sebuah sekolah dan orang–orang yang saya temui adalah mata pelajaran. 

Ternyata saya tidak sepenuhnya benar dengan pemikiran egois saya. Saya lupa masih merupakan bagian dari anggota keluarga yang selalu siap menyambut saya dalam keadaan apapun. Saya abai pada kehangatan ruang keluarga dan tawa yang senantiasa pecah dalam kebahagiaan bernama keluarga. Bahwa rumah tidak sekedar masakan Ama yang kerap dirindukan dalam perjalanan.

Pandemi membuat langkah saya terhenti dan kembali berada di rumah dalam waktu yang cukup lama. Perjalanan saya saat ini bernama rumah perlahan mengasah sisi kepekaan saya sebagai manusia. Saya menyadari binar mata kasih sayang ayah saya saat beliau tiba-tiba mengelus lembut kepala saya ketika saya sedang menikmati makan siang. Beranjak dewasa, ternyata di mata seorang ayah, saya tetaplah gadis manja. 

Foto: Eka Herlina

Rumah membuat saya banyak menghabiskan waktu dengan Ama ternyata mencubit hati saya akan sebuah kepedulian. Ama menyisihkan sedikit rezeki yang ia dapat untuk berbagi ke kerabat jauh ayah. Dari Ama saya juga belajar tidak ada kata malu untuk belajar kembali pada hal -hal yang terlupakan. Bersama Ama, saya mulai belajar mengaji membaca Alqur’an dengan baik. Ama mendatangkan seorang guru Tahsin yang usianya lebih dari sepuluh tahun dibawah saya. 

Saya sempat kehilangan momen tumbuh kembang saat beranjak remaja tanpa kehadiran Ama karena mesti merantau ke tempat nenek.  Lebih banyak di rumah, ternyata tak sekedar masakan Ama yang membuat saya berkesan tapi juga celetuk-celetuknya yang mengandung nasehat membuat saya bersyukur pada takdir Allah memiliki ibu yang menakjubkan. 

Pandemi membuat saya jadi mengetahui hal-hal yang mengagumkan dari adik saya. Saya menemui sikap bijak dari sosok adik yang terasa seperti seorang kakak dalam bersikap menghadap sosial kehidupan. Rumah yang terasa asing perlahan menguap kala saya mulai memberanikan diri menebar senyum dari balik masker kepada tetangga. Pandemi membuka mata saya akan hangatnya sebuah perjalanan bernama rumah. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Arti Rumah Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/arti-rumah-kala-pandemi/feed/ 0 26939
Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/ https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/#respond Fri, 04 Dec 2020 05:31:39 +0000 https://telusuri.id/?p=25702 Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan...

The post Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV).

Daging tumbuh itu sebenarnya bukan penyakit serius asal ditangani secara tepat. Tapi perempuan berumur 19 tahun itu belum terpapar informasi bagaimana menangani mata ikan secara tepat. Selama ini ia hanya mengobati mata ikan tersebut dengan ramuan yang diracik dari dedaunan. Kondisinya bukan membaik, namun makin lama mata ikan itu terasa kian menyakitkan. Telunjuknya sudah membengkak, hitam, dan bernanah. Area sekitar jari tangannya pun gatal. Dalam kondisi seperti itulah tim medis menjumpai Evelin.

Selain kegiatan sosialisasi COVID-19 dan ketahanan pangan, EcoNusa Response COVID-19 Expedition juga mengadakan pemeriksaan kesehatan di Kampung Urbinasopen. Kegiatan itu digelar di depan Gereja Immanuel.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/Istimewa

Dokter Lalu Rahmat Yuanda Aji, yang akrab disapa Nanda, salah seorang tenaga medis anggota ekspedisi, menemukan bahwa kondisi jari telunjuk Evelin sudah parah. Mata ikan itu juga bukan tak mungkin akan menyebar ke jari-jari lain. Perlu penanganan segera. Jika tidak, terpaksa amputasi harus dilakukan. 

Dibantu perawat, Destyana, Dokter Nanda melakukan operasi kecil dengan peralatan yang sudah dipersiapkan tim ekspedisi. Kedua insan medis itu menghilangkan jaringan-jaringan yang sudah mati (debridement) pada telunjuk sang pasien, kemudian mensterilkannya dan memberikan salep Gentamicin di sekitar jari Evelin. 

Walaupun sudah diberikan bius lokal sebelum tindakan operasi, Evelin nyatanya masih meringis kesakitan. Namun tekad yang kuat untuk sembuh membuatnya rela menahan rasa sakit itu sampai operasi selesai. Baginya, lebih baik sakit sebentar ketimbang harus terus-menerus tertekan karena memikirkan kondisi telunjuk tangan kirinya itu. Apalagi saat ini ia sedang dalam periode menyusui anak pertamanya.

“Mungkin Tuhan sudah memberikan jalan [agar] dokter ke sini,” ujarnya.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/M. Syukron

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/Istimewa

Dokter di Urbinasopen adalah pemandangan langka

Dokter adalah pemandangan langka di Urbinasopen. Warga kampung hanya mengandalkan mantri dan puskesmas jika mengalami masalah kesehatan. Untuk penanganan lebih lanjut yang membutuhkan pertolongan dokter, pasien mesti naik perahu selama sekitar tiga jam ke Waisai atau Sorong.

“Terakhir [kali] dokter datang ke pulau itu sepertinya lebih dari setahun yang lalu,” ungkap Evelin. “Apalagi dengan kondisi COVID-19 seperti ini,” imbuhnya. “[Dokter lebih jarang datang karena] mau keluar-masuk kampung orang sudah berhati-hati.” Jadi, begitu mengetahui ada rombongan yang hendak datang ke kampung dan menggelar pemeriksaan kesehatan, ia langsung menuju gereja dan mendaftarkan diri.

Menurut Dokter Nanda, setiap puskesmas seharusnya minimal mempunyai dua dokter umum dan dua dokter gigi serta perawat. Tapi, untuk daerah-daerah terpencil seperti Urbinasopen, kondisi ideal seperti demikian tentu saja terlalu utopis. Puskesmas dan mantri yang tersedia sudah cukup membuat penduduk bersyukur, apalagi ketika mereka sadar bahwa banyak kampung yang bahkan tak punya seorang pun petugas kesehatan.

Pentingnya edukasi tentang “sakit” kepada masyarakat

Selain infrastruktur, Dokter Nanda juga mengatakan bahwa pola pikir masyarakat tentang “sakit” juga harus terus diedukasi. Belum lagi soal kesadaran kesehatan masyarakat. Masyarakat masih cenderung menyepelekan penyakit. Padahal, jika bisa mengenali gejalanya sejak dini, penanggulangan penyakit akan menjadi lebih mudah. Ia mengambil contoh kasus Evelin. Seharusnya mata ikan itu bisa disembuhkan tanpa operasi. Namun, karena mata ikan itu dicoba ditangani sendiri, kondisinya jadi lebih parah.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/M. Syukron

 Tim EcoNusa Response COVID-19 Expedition/Istimewa

Tim medis memeriksa 31 pasien di Urbinasopen. Menurut Dokter Nanda, orang dewasa di Urbinasopen rata-rata terkena osteoarthritis, penyakit yang biasanya dialami manusia berusia 50-an, bersifat degeneratif, yang diakibatkan oleh berkurangnya cairan sendi. Biasanya yang terkena adalah sendi-sendi besar seperti lutut. Yang cukup mengejutkan, ada pula warga yang sudah mengalami osteoarthritis pada usia yang baru sekitar 30-an. Dokter Nanda menyimpulkan bahwa itu terjadi karena aktivitas berlebihan dalam mengangkat beban.

Sementara itu, yang dialami anak-anak umumnya adalah gatal-gatal pada badan, terutama kaki. Penyebabnya adalah bakteri Gram-positif yang menjangkit karena gaya hidup kurang bersih dan tidak memakai alas kaki. Nyatanya, di Kampung Urbinasopen anak-anak memang bermain tanpa menggunakan alas kaki.

Menurut Dokter Nanda, “Kaki yang terluka sangat rentan terkena penyakit terluka apalagi di lingkungan yang tidak higienis, seperti mata ikan itu.”


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa.  Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/feed/ 0 25702
Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/ https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/#respond Tue, 24 Nov 2020 09:02:31 +0000 https://telusuri.id/?p=25508 Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa...

The post Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa mempertahankan ide atau gagasan kita, setidaknya di depan para dosen penguji. Saya pun sempat mengalami penyakit sejuta umat dalam menghadapi skripsi, yakni insecure alias ketakutan akan ketidakmampuan saya untuk menyelesaikannya. Terlebih momok skripsi akan selalu membayangi sampai ujian pendadaran.

Untuk mengurangi rasa khawatir yang tak kunjung usai, saya mencoba membuat jadwal yang benar-benar saya taati. Awalnya, saya menargetkan akhir 2019 sudah ujian seminar proposal. Tapi, saya malah terbuai karena terlalu fokus menuntaskan tanggung jawab saya di organisasi. Meskipun judul sudah di-acc sejak akhir Oktober, sampai Natal tiba pun belum saya sentuh sedikit pun skripsi saya. Saya pikir, dibawa santai saja, masih bisa, kok, terkejar selesai bulan Mei dan ikut wisuda Agustus.

Mengawali tahun baru, saya bikin resolusi paling realistis: kejar tayang proposal skripsi agar bisa ujian seminar proposal secepatnya. Bersamaan kejar tayang proposal tersebut, berita COVID-19 sudah tersebar ke penjuru dunia. Ketakutan pun mulai bermunculan di mana-mana. Saya, sih, menanggapinya dengan santai. “Ah, peduli kucing. Penting skripsi saya selesai. Lagian tidak akan ngefek juga ke skripsi saya,” pikir saya. Bak ibu yang sedang hamil, saya mencoba fokus seratus persen kepada sang buah hati—skripsi—dan tidak mau berpikir terlalu jauh dari apa yang sedang ada di depan mata.

Pertengahan Februari saya sudah seminar proposal. Tapi, bukannya langsung mengerjakan Bab IV, saya malah berleha-leha tak melakukan apa pun selama sebulan. Ketika saya sudah mengumpulkan niat dan semangat untuk kembali berperang, tak disangka-sangka corona akhirnya masuk juga ke Negeri Khatulistiwa ini. Seketika juga semua aktivitas terhenti. Saya masih santai-santai saja waktu itu, belum panik seperti orang kesurupan, sebab saya lihat baru di Jakarta saja ada yang kena. Di Jogja sendiri, sih, masih aman-aman saja. Eh, tapi, kok, seminggu-dua minggu kemudian makin gila saja perkembangannya.

Tak pernah terpikirkan oleh saya jika efek COVID-19 akan benar-benar membuat stres. Bagaimana tidak? Aktivitas luring terhenti dan tak semua orang, perusahaan, atau lingkungan kerja mampu beradaptasi secara cepat, tak terkecuali administrasi kampus dan pelaksanaan penelitian saya. Tiga minggu setelah kasus pertama diberitakan, universitas saya langsung menutup semua akses ke kampus. Aktivitas administrasi kampus pun boleh dibilang dalam dua minggu pertama benar-benar lumpuh. Rencana saya untuk melakukan penelitian dan wawancara ke beberapa instansi harus benar-benar tertunda. Selama bulan Maret saya pusing tujuh keliling.

Waktu corona masih di Negeri Tirai Bambu, saya masih berniat untuk datang langsung ke instansi tempat penelitian saya di Surabaya, Bandung, dan Makassar. Sebenarnya itu ide cukup nekat, karena dosen pembimbing saya menyarankan untuk sekadar mengambil data di kota tempat saya kuliah saja. Tapi, kalau tidak hajar sepenuhnya, rasanya seperti ada yang kurang. Saya cukup menyesal juga tidak langsung mengeksekusi penelitian setelah seminar. Pembenaran saya, sih, namanya juga mahasiswa; malas itu bukan penyakit tapi memang sudah mendarah daging saja. Mau tidak mau saya harus cari “jalan tikus” biar target wisuda Agustus tetap terkejar.

Jalan skripsi saya saat corona bisa dibilang memotong arus dan tidak menaati prosedur. Supaya selesai sebelum Lebaran, saya nekat mencari dan menghubungi narasumber alternatif selain yang seharusnya saya datangi di tiga kota besar tadi. Syukurnya, semua narasumber yang saya hubungi langsung bersedia dan tidak keberatan apabila saya hubungi hanya lewat WhatsApp dan saya wawancara secara daring. Bahkan, saya tidak membawa surat izin penelitian dari kampus. Narasumber sudah aman, sekarang saya butuh data lainnya. Saya coba korek informasi dari kampung halaman untuk mencari responden. Ternyata cukup susah kalau tidak pakai surat resmi. apalagi bagi mahasiswa peneliti seperti saya yang tidak punya terlalu banyak jejaring.

Pengerjaan skripsi benar-benar saya kebut satu bulan penuh sepanjang April. Saya sudah seperti romusa rasa-rasanya, mengerjakan skripsi tiada henti dan tanpa pandang waktu, begadang sampai tidur hanya beberapa jam tiap harinya selama sebulan, hanya untuk melayani tuan yang bernama skripsi. Tapi, lebih baik jangan terlalu berlebihan seperti saya, sebab saya harus membayar “utang” dalam bentuk gejala tifus pascaskripsi. Kerja, kerja, kerja—tifus.

Upacara wisuda dan pelepasan daring/Dimas Purna Adi Siswa

Untuk menyiasati data yang belum sepenuhnya saya dapat, kadang saya menggunakan hipotesis atau asumsi pribadi terlebih dahulu. Baru nanti saya ubah dan sesuaikan apabila data benar-benar sudah ada. Untungnya asumsi saya hampir sembilan puluh persen sesuai dengan data yang akhirnya saya dapatkan. Coba kalau tidak, bisa-bisa harus kerja dua kali.

Ketika selesai, naskah skripsi langsung saya kirimkan kepada dosen pembimbing. Dan kesusahan/kesulitan sepertinya memang selalu beriringan dengan kemudahan. Setelah sebulan kerja rodi, saya seperti merdeka dari penjajahan.

Awalnya, saya pikir proses revisi naskah skripsi akan memakan waktu hingga sebulan. Sudah banyak cerita soal proses revisi skripsi yang berlangsung berminggu-minggu, jadi barangkali lumrah saja saya berasumsi demikian. Tapi, nyatanya, keesokan hari setelah saya kirimkan, dosen pembimbing saya mengirimkan revisian. Benar-benar terkejut saya. Total, saya hanya perlu waktu tiga hari untuk memoles naskah sampai menjadi sempurna dan siap untuk dihidangkan. Saya apresiasi betul dosen pembimbing saya; benar-benar mengerti dan memahami mahasiswanya, meskipun dirinya dikenal perfeksionis.

Badai corona memang benar-benar memaksa semua umat manusia untuk berubah dan beradaptasi kembali untuk bisa bertahan. Kaget dan tersendat-sendat karenanya memang keniscayaan. Tapi, bukan berarti tidak bisa melaluinya juga.

Sudah hampir sembilan bulan hidup di tengah pandemi, saya kira corona bukan momok yang sangat menakutkan, tapi juga tidak bisa diremehkan. Syukurnya, hampir semua lini sudah beradaptasi—dan saya harap kamu juga demikian. Apabila sekarang di tengah-tengah pandemi begini kamu sedang mengerjakan skripsi, semoga cerita saya bisa sedikit menolong.

Tapi, saran utama saya, sih, paling penting jaga kewarasan diri saja dulu. Habis itu baru mengurus skripsi.

The post Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/feed/ 0 25508
Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/ https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/#respond Sat, 14 Nov 2020 10:38:46 +0000 https://telusuri.id/?p=25257 Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis?...

The post Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis? Lah, trus apa kabar warung makan-warung makan di sekitaran pasar? Gak laku, dong, jualan mereka?!”

Kemudian, tak lama setelah itu, tak sengaja aku melihat unggahan Instagram Adriani Zulivan. Mbak Adriani menceritakan kegiatan memasak gratis yang kunyinyiri tempo hari. Melihat unggahan itu aku jadi merasa tak enak hati, apalagi kutahu Mbak Adriani dan suaminya, Mas Joyo (Elanto Wijoyono), adalah orang-orang baik yang peduli sesama.

Keinginan untuk membantu pun muncul dari dalam pikiranku. Segera kuhubungi Mbak Adriani untuk menyatakan maksudku, meskipun aku belum punya gambaran memadai soal kegiatan memasak dan membagikan makanan gratis itu.

Setelah melihat jadwal libur, baru di pekan kedua bulan November aku punya waktu luang untuk membantu kegiatan itu. Begitu Mbak Adriani mengatakan bahwa setelah 6 November kegiatan akan diistirahatkan sementara selama dua minggu, aku pun kelimpungan. Akhirnya kusiasati kembali jadwal liburku yang terbatas, terus kucocokkan dengan jadwal kereta ekonomi jurusan Jakarta-Jogja. Kereta kelas ekonomi adalah pilihan pertama. Maklum, masa pandemi ini sangat memengaruhi keadaan ekonomi bulananku, sampai-sampai ada satu istilah yang selalu membahana dalam pikiranku: eman-eman.


Akhirnya aku berada di Warmindo Bakzoo, Jl. Veteran 36, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, tak jauh dari seberang pintu masuk barat Kebun Binatang Gembira Loka, setelah menempuh 11 jam perjalanan naik kereta. Hampir dua pertiga perjalanan aku memakai face shield, salah satu hal yang diwajibkan PT KAI selain menunjukkan hasil rapid test yang non-reaktif. Tak nyaman, memang. Tapi semua harus dilakukan supaya wabah tak makin parah.

Warmindo Bakzoo/Daan Andraan

Hari pertama di warmindo yang jadi dapur umum itu aku hanya membantu memotong kentang yang hendak diracik jadi sambal kentang goreng untuk nasi bungkus yang akan dibagikan besok. Tak ada kegiatan memasak hari itu sebab sudah ada donasi 145 porsi nasi bungkus.

Ketika matahari tepat di atas kepala, aku ditawari makan siang bersama. Ikan goreng, tahu goreng, sayur ubi tumbuk, dan sambal dadakan yang luar biasa pedas menjadi menu makan siang kami. Sambil menikmati itu semua aku mulai menodong Mbak Adriani untuk bercerita tentang gerakan memasak makan siang gratis ini.

dapur gendong
Para relawan Dapur Gendong sedang menyiapkan nasi bungkus/M. Berkah Gamulya

Gerakan ini, tutur Mbak Adriani, berawal ketika Mas Mul (G. Berkah Mulyana) tersentuh hatinya melihat keadaan buruh gendong pasar di Jogja semasa corona ini. Hampir semua buruh gendong di pasar itu adalah wanita sepuh. Upah mereka hanya Rp2.000 untuk sekali menggendong beban yang kadang lebih berat ketimbang tubuh renta mereka. Sebelum pandemi, penghasilan simbah-simbah buruh gedong itu hanya Rp20.000-50.000 per hari. Tentu sekarang, ketika orang-orang lebih memilih di rumah saja, penghasilan mereka makin turun. Sementara, pengeluaran harian mereka tak ikut menurun.

Aktivitas memasak di Dapur Gendong/Daan Andraan

Sebagian besar di antara mereka bukan berasal dari sekitar pasar. Buruh-buruh gendong di Pasar Beringharjo, misalnya, banyak yang dari Kulonprogo. Dari rumah, mereka naik bus kecil dengan ongkos Rp7.000 sekali jalan—pulang-pergi berarti Rp14.000. Untuk makan nasi dengan lauk tempe mereka keluar uang Rp4.000. Ditambah biaya toilet umum, total pengeluaran mereka sehari sekitar Rp20.000. Jika penghasilan rata-rata minimal mereka Rp20.000 per hari, apa yang bisa mereka bawa pulang? Maka, tak jarang mereka memilih tak pulang, tidur di pasar, ketika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran harian.

Lalu Mas Mul, Mas Joyo dan Mbak Adriani (aktivis sosial), serta Mas Dodok (Dodok Putra Bangsa, seniman dan penggerak “Jogja Ora Didol”) sepakat membuat dapur umum untuk memasak makan siang yang akan dibagikan gratis kepada para buruh gendong—”Porter woman,” demikian Mas Dodok menyebut.

Kiriman perdana Dapur Gendong, sebutan untuk dapur umum mereka, tanggal 19 Oktober 2020 adalah 130 bungkus berisi capcay jowo, telur balado, nasi putih, dan air minum. Penerimanya adalah para buruh gendong di Pasar Beringharjo. Dana untuk nasi bungkus itu, cerita Mbak Adriani, berasal dari donasi beberapa LSM, PPI, Gusdurian, dan orang-orang yang peduli.

Demi memudahkan penyediaan dan distribusi, Dapur Gendong memakai data yang mereka terima dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), sebuah lembaga yang melakukan pendampingan dan penguatan gerakan perempuan akar rumput, tak terkecuali buruh gendong. Yasanti mencatat bahwa di Pasar Beringharjo ada 145 buruh gendong, Pasar Giwangan 100 orang, Pasar Gamping 25, dan Pasar Kranggan 13.

Jumlah relawan yang semula belasan sekarang jadi lebih dari 30 orang. Mereka meluangkan waktu terlibat dalam empat kelompok tugas, yakni tim dapur (juru masak), tim bungkus (mengemas masakan), tim bersih (mencuci piring dan membersihkan dapur), dan tim distribusi (mengantar makanan ke pasar).

dapur gendong
Menu Dapur Gendong/Daan Andraan

Para relawan itu sebagian adalah para pekerja yang terkena dampak pandemi COVID-19.

Ibu Dijah (59 tahun), misalnya. Sewaktu tinggal di Jakarta ia bekerja di katering. Awal 2020 kemarin ia pulang ke Jogja membawa asa untuk membuka usaha. Namun rencana itu batal karena pandemi tiba. Sekarang, setiap hari ia datang ke Dapur Gendong dan menjadi kepala dapur yang bertanggung jawab menyiapkan lebih dari 150 nasi bungkus per hari. Relawan lainnya, Yusuf Bernadion Marcelino, sebelum pandemi adalah seorang koki di salah satu restoran di Jogja. COVID-19 membuatnya dirumahkan. Cerita-cerita mengharukan juga dibawa oleh para relawan lain yang ikhlas membantu Dapur Gendong tanpa bayaran. Doa-doa terbaik kudaraskan pada mereka semua.


Di hari terakhirku di Jogja, aku berniat datang jam 9 pagi ke Dapur Gendong, ketika para relawan sedang membungkus makanan. Kegiatan harian di Dapur Gendong sudah terjadwal—jam 7 memasak, jam 9 membungkus, dan jam 11 mendistribusikannya ke pasar-pasar. Setelah itu, para relawan akan istirahat makan siang sebelum kembali menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak keesokan harinya.

Tapi, sebelum ke Dapur Gendong aku ke Pasar Beringharjo terlebih dahulu untuk melihat dan mengambil foto para buruh gendong.

dapur gendong
Berfoto bersama buruh gendong/M. Berkah Gamulya

Setiba di sana, suasana masih sepi dan beberapa kios belum buka. Aku berkeliling pasar, melihat beberapa orang buruh gendong duduk-duduk di lorong kios sayur di lantai 2. Tiba-tiba seorang simbah melintas di depanku dengan karung besar di punggungnya. Aku mengikutinya. Dari belakang sini hanya tampak karung besar dan sepasang kaki kecil ringkih yang perlahan menapaki dinginnya lantai pasar. Saat mencoba mengambil foto, tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku langsung memalingkan muka, teringat ibuku di rumah.

Setelah berhasil menenangkan emosi, aku memesan ojol dan berjanji dalam hati, “Ini bukan terakhir kalinya aku ke Dapur Gendong; aku pasti akan kembali.”

The post Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/feed/ 0 25257