danau nyadeng Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/danau-nyadeng/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:15:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 danau nyadeng Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/danau-nyadeng/ 32 32 135956295 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/ https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/#respond Tue, 15 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46632 Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare....

The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare. Ekosistem karst yang pernah diajukan sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016 ini mencakup dua wilayah administrasi, yaitu Berau dan Kutai Timur. 

Masyarakat Dayak Lebo yang mendiami Merabu, bagian dari Dayak Basap yang menginduk pada Dayak Punan—salah satu rumpun suku Dayak terbesar di Kalimantan—dikenal sebagai suku pemburu (hewan) dan peramu obat-obatan tradisional. Di era modern, masyarakat Merabu umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan berburu sarang burung walet di liang-liang gua yang tersebar melimpah di hutan Merabu.

Sejak 2011, Kampung Merabu mulai mengenal konsep ekowisata setelah riset etnografi dan arkeologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) beberapa dekade sebelumnya. TNC—yang beberapa tahun kemudian sempat berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—membantu masyarakat memetakan potensi sumber daya alam untuk dijadikan peluang ekonomi alternatif melalui pengembangan destinasi wisata secara berkelanjutan.

Lokasinya Kampung Merabu terletak di pedalaman, sekitar 30 kilometer dari jalan poros Berau–Samarinda, melewati area perkebunan kelapa sawit yang telah merambah kampung tetangga. Sejak 9 Januari 2014, Merabu jadi kampung pertama di Kabupaten Berau yang mendapatkan izin Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan desa seluas 8.245 hektare pada 9 Januari 2014. Sekitar 37,5 persen dari total luas kampung 22.000 hektare (220 km2). Di dalam kawasan hutan desa tersebut, terdapat tiga destinasi utama yang wajib dikunjungi jika merencanakan perjalanan wisata ke Merabu.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Foto udara permukiman Kampung Merabu di pinggiran Sungai Lesan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur via TelusuRI/Deta Widyananda

1. Gua Bloyot

Gua Bloyot telah menjadi objek cagar budaya di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur. Gua ini menjadi salah satu bagian dari sedikitnya 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

Beberapa lukisan ikonis di dinding utama Gua Bloyot antara lain gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

Aula utama Gua Bloyot dan lukisan-lukisan prasejarah di dinding gua via TelusuRI/Deta Widyananda

Untuk menuju Gua Bloyot, kamu wajib ditemani pemandu lokal lalu berjalan kaki sejauh empat kilometer dari kampung dengan kontur medan relatif datar di antara belantara Kalimantan. Sesekali terdengar teriakan owa, orang utan, maupun beruang endemik Kalimantan bersahut-sahutan dari jarak yang jauh. Mendekati Gua Bloyot, trek pendakian akan terjal di antara batuan cadas dan memasuki lorong gua yang gelap, sehingga diperlukan penerangan (headlamp) dan helm untuk keselamatan.

Kampung Merabu menyediakan paket wisata one day trip atau berkemah semalam jika ingin merasakan sensasi menginap di dalam gua. Biasanya tempat camp akan digelar di aula Gua Lima Cahaya yang terletak di atas Gua Bloyot. Dinamakan ‘Lima Cahaya’ karena terdapat lima lubang di langit-langit gua untuk akses masuk sinar matahari dan corak warna cahayanya bisa berbeda-beda.

2. Danau Nyadeng

Danau Nyadeng berwarna toska ini tampak kontras dengan lebatnya hutan hujan tropis khas Kalimantan di sekelilingnya. Memiliki luas kurang lebih seperempat hektare, titik terdalam danau ini disinyalir bisa mencapai 40 meter. Untuk itu hanya orang yang benar-benar mahir berenang yang diizinkan untuk bermain air di danau ini.

Telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut mengalir jernih ke anak-anak sungai sekaligus menjadi sumber air minum warga. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat. 

Danau Nyadeng dan fasilitas untuk pengunjung via TelusuRI/Deta Widyananda

Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, di antaranya pondok kayu termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Saat musim hujan, air danau akan meluap ke daratan sehingga direkomendasikan untuk bermalam di pondok kayu daripada menggelar tenda. Jangan lupa menyiapkan kantung tidur (sleeping bag) dan lotion antinyamuk agar bisa beristirahat dengan nyaman.

Untuk menuju Danau Nyadeng, moda transportasi satu-satunya hanyalah menggunakan ketinting atau perahu kayu menyusuri aliran Sungai Lesan sejauh lima kilometer atau sekitar 20 menit. Setibanya di Dermaga Nyadeng, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki santai sejauh satu kilometer dengan waktu tempuh 20 menit. Sejumlah pohon besar mudah dijumpai, antara lain meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Kunjungan wisata ke Danau Nyadeng biasanya serangkai dengan Puncak Ketepu sehingga harus menginap satu malam di tepi danau.

3. Puncak Ketepu

Puncak Ketepu berada di ketinggian 393 mdpl. Sepintas tampak pendek, tetapi nyatanya tetap memerlukan perjuangan untuk bisa menjangkau Puncak Ketepu. Sama seperti Gua Bloyot, perjalanan ke Puncak Ketepu membutuhkan fisik ekstra. Sebab, jalur pendakian sangat terjal meski jaraknya ‘hanya’ 500 meter. Kamu harus berhati-hati dengan batu-batu karst yang tajam sehingga direkomendasikan menggunakan sepatu khusus trekking.

Menurut pemandu lokal, jalur ke Puncak Ketepu searah menuju Danau Tebo, bagian dari ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur, yang masih berjarak seharian dengan berjalan kaki. Persimpangan jalur ke danau tersebut berada di liang gua mendekati Puncak Ketepu. Terdapat jalan setapak yang curam melipir tebing di sisi jurang dalam.

Pemuda pemandu lokal di Puncak Ketepu dan pemandangan yang dapat dilihat saat cuaca cerah via TelusuRI/Deta Widyananda

Umumnya pendakian ke Puncak Ketepu dimulai sejak sebelum subuh, sekitar pukul 04.00–04.30 WITA. Durasi pendakian setidaknya 1,5–2 jam, tergantung ketahanan fisik kamu. Tujuan pendakian pada jam-jam tersebut karena daya tarik Puncak Ketepu adalah pemandangan alam yang tersaji jelang matahari terbit.

Sejatinya Puncak Ketepu bukanlah yang tertinggi di ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun, puncak ini jadi yang paling mudah dijangkau untuk kegiatan wisata. Dari puncak yang tidak terlalu luas, gulungan kabut tipis bak kapas membentuk awan yang melayang rendah di kanopi hutan. Puncak-puncak karst lainnya juga akan terlihat lebih tinggi di sekitarnya. Panorama pagi itu biasanya ditemani suara lengkingan owa kalimantan yang terdengar bergema.

  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur

Aktivitas tambahan

Selain empat destinasi utama tersebut, ada aktivitas-aktivitas tambahan yang bisa kamu lakukan di Merabu. Pastikan datang pada saat yang tepat. Kamu bisa mengkonfirmasi waktunya ke pihak pengelola ekowisata Merabu.

Pertama, kamu bisa mengikuti warga Merabu melakukan tradisi bercocok tanam padi gunung atau manugal. Tradisi budi daya pangan dengan sistem ladang berpindah secara gotong royong ini hanya berlangsung dua kali dalam setahun. Lalu malamnya akan berlangsung pesta lemang, yaitu makan-makan bersama di pondok tengah kebun. Lemang adalah kuliner khas Merabu berupa beras ketan dalam bambu panjang yang dibakar.

Kedua, mengikuti rangkaian Festival Tuaq Manuk yang biasa digelar pada pertengahan tahun. Festival kebudayaan yang masuk dalam kalender wisata Kabupaten Berau ini sejatinya merupakan tradisi gotong royong bernuansa spiritual yang merangkul semua golongan, sekaligus sebagai wadah literasi tentang unsur-unsur kehidupan sehari-hari yang melekat dalam adat Dayak Lebo: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem kesakralan. 

Tuaq Manuk memiliki tujuan besar agar masyarakat dan hutan Kampung Merabu diberikan keberkahan dan senantiasa bersyukur pada hasil yang diterima. Baik untuk kebutuhan tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Panen padi sukses, buah-buahan dan madu berlimpah, juga termasuk memberi obat dan doa pada warga yang mengalami beragam kesulitan.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Akses jalan tanah di antara perkebunan kelapa sawit Kampung Merapun menuju Kampung Merabu via TelusuRI/Mauren Fitri

Transportasi dan akomodasi

Akses termudah untuk menjangkau Kampung Merabu adalah melalui Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Tersedia penerbangan reguler dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, dan Samarinda ke Bandara Kalimarau Berau. Adapun jika ingin mencoba petualangan seru, kamu bisa mencoba jalur darat dari Balikpapan ke Tanjung Redeb sejauh hampir 500 km melalui jalan poros Bontang–Sangatta atau Tenggarong–Kutai Timur.

Tidak ada transportasi umum memadai yang tersedia dari Tanjung Redeb menuju Merabu. Satu-satunya jalan adalah membawa kendaraan pribadi atau menyewa mobil berikut sopirnya. Rata-rata harga sewa mobil (termasuk sopir) dari Tanjung Redeb ke Kampung Merabu sekitar Rp1,5 juta sekali jalan, menempuh jarak 173 kilometer dengan waktu tempuh antara 4,5–5 jam perjalanan. Untuk transportasi kembali ke Tanjung Redeb, biasanya menggunakan armada mobil milik warga Merabu dengan tarif serupa.

Untuk saat ini tersedia penginapan di rumah warga yang sederhana (homestay) dengan tarif terjangkau. Sebagaimana konsep ekowisata berbasis masyarakat, Kampung Merabu juga memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam pengembangan ekowisata di luar pekerjaan utama.

Untuk kebutuhan listrik, terdapat instalasi panel surya di lahan seluas satu hektare yang terletak di selatan kampung. Jangkauan sinyal seluler dan internet terbatas. Namun, pemerintah kampung menyediakan akses Wi-Fi di kantor kepala kampung yang biasanya dinyalakan pada saat-saat tertentu.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Kantor sekretariat Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Kerima Puri di Merabu, yang mengelola ekowisata kampung via TelusuRI/Rifqy Faiza Rahman

Pilihan paket wisata Kampung Merabu

Berdasarkan informasi di Instagram resmi Kampung Merabu, tersedia sejumlah paket wisata dengan varian harga dan durasi perjalanan yang bisa kamu pilih.

Paket WisataFasilitasHarga
1 Day Trip
(Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
Perahu, life jacket, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip
(Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
Perahu, tenda, life jacket, pemandu lokalRp640.000 (untuk 1–3 pax)
1 Day Trip
(Gua Bloyot)
Headlamp, helm, pemandu lokalRp240.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip
(Gua Bloyot)
Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip(Gua Sedepan Bu)Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp345.000 (untuk 1–3 pax)

Harga paket wisata tersebut bisa berubah tergantung kuota kelompok wisata, serta belum termasuk transportasi dari tempat asal ke Merabu (PP), lalu donasi konservasi Rp10.000 per orang (wisatawan domestik) dan Rp250.000 per orang (wisatawan mancanegara). Kampung Merabu juga membuka donasi untuk adopsi pohon sebagai upaya melestarikan hutan desa mereka. 

Untuk permintaan tur khusus atau informasi paket wisata lebih lanjut kamu bisa menghubungi Bu Yervina melalui WhatsApp (+62-813-4593-9332). 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/feed/ 0 46632
Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu https://telusuri.id/berdamai-di-danau-nyadeng-dan-puncak-ketepu/ https://telusuri.id/berdamai-di-danau-nyadeng-dan-puncak-ketepu/#respond Thu, 28 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40700 Sebuah studi dari Canterbury menyebut aroma alam bisa meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikis manusia. Merabu telah lama menyediakan “fasilitas” itu di Nyadeng dan Ketepu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Hanya beberapa...

The post Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah studi dari Canterbury menyebut aroma alam bisa meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikis manusia. Merabu telah lama menyediakan “fasilitas” itu di Nyadeng dan Ketepu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Menyusuri arus Sungai Lesan yang sedang dangkal dengan ketinting menuju dermaga Danau Nyadeng/Deta Widyananda

Hanya beberapa puluh meter selepas meninggalkan kampung, tim TelusuRI ditemani dua juru mudi perahu sekaligus pemandu—Decky Aprillius (25) dan Henry (30)—serasa memasuki dunia yang benar-benar berbeda. Kebisingan mesin tempel dari dua ketinting tidak serta-merta mengalahkan gemericik arus Sungai Lesan yang dangkal dan kicau burung-burung di sekitar.

Kami sempat melihat sekilas elang hitam (Ictinaetus malayensis) terbang rendah di antara ranting-ranting pohon terap. Pohon-pohon terap yang tumbuh condong memberi peneduh alami sepanjang perjalanan menuju dermaga Danau Nyadeng (14/10/2023).

Rute perairan ke arah hulu kadang berkelok-kelok. Decky menjadi motoris di ketinting yang ditumpangi Deta dan barang bawaan berat lainnya. Sementara saya dan Mauren satu perahu dengan Henry. Beberapa tikungan sempit beriak di antara pulau-pulau batu dilewati keduanya dengan lihai.

Penampilan rombongan wisata ini tampak kontras. Tim TelusuRI memakai busana outdoor yang berasa anak kota sekali, sementara Decky dan Henry begitu bersahaja. Selain topi, yang menarik adalah alas kaki berupa sepatu pul bulat warna putih bermerek Bowling. Bikinan Malaysia.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Kami tiba di dermaga Danau Nyadeng setelah lima kilometer atau 20 menit mengarungi sungai. Dua kawan lokal menambatkan ketinting pada batang pohon di pinggiran sungai. Untuk melanjutkan ke danau, masih ada satu kilometer lagi yang harus ditempuh dengan jalan kaki.

Jalur trekking cukup jelas dengan kontur datar. Jalan setapak tersamar serasah daun kering. Meskipun belum pukul 4 sore, suasana agak temaram karena tutupan hutan begitu rapat.  Kami menjumpai sejumlah pohon besar dengan plakat kayu berisi informasi pengadopsi di depannya, seperti meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Gerahnya kampung tidak menjalar sampai ke sini. Bahkan mungkin oksigen yang kami hirup berlebih.

Aliran sungai kecil nan bening di sisi kiri jalur jadi pertanda penting. Setelah 20 menit berjalan, Danau Nyadeng muncul di depan mata. Permukaan airnya yang berwarna toska menjadi anomali di tengah rimbunnya hutan. Entah bagaimana caranya air sejernih itu bisa muncul dari celah-celah batuan karst dan membentuk telaga.

Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Nico (kiri) dan Maria, sepasang turis asal Jerman dan Meksiko tengah mengobrol sembari menikmati keindahan danau. Tampak tiga pemandu lokal, Dedi, Henry, dan Decky (paling kanan) bersantai di atas batang pohon setelah berenang/Rifqy Faiza Rahman

Magis Danau Nyadeng

Kolam alami itu adalah pusat perhatian bagi segala kehidupan di sekelilingnya. Termasuk Nico dan Maria, pasangan turis asal Jerman dan Meksiko yang tiba sebelum kami. Mereka ditemani dua pemandu, yaitu Dedi dari Merabu dan Burdan, orang Pontianak. Burdan juga mendampingi dua pelancong tersebut ketika beberapa hari sebelumnya berlibur ke Taman Nasional Kayan Mentarang, Malinau, Kalimantan Utara.

Kecuali tim TelusuRI yang enggan berdingin ria sore hari, orang-orang itu tampak tak kuasa menahan godaan magis Danau Nyadeng. Mereka terjun dan berenang ke telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. 

Danau Nyadeng menjadi sumber air minum warga sekaligus salah satu destinasi wisata unggulan Kampung Merabu. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat telaga seluas kurang lebih seperempat hektare itu. Suasananya benar-benar membuat pengunjung seperti kami betah berlama-lama.

Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Ada kamar-kamar untuk beristirahat, meski kondisinya perlu perawatan lebih lanjut. Rumah pohon ini menjadi tempat tidur pasangan turis mancanegara itu. Sementara TelusuRI dan para pemandu menempati pondok kayu panjang di sebelahnya. Sebagian memasang hammock di tiang-tiang penyangga, sedangkan saya cukup membeber matras di atas tikar rotan yang sudah tersedia. 

Saya sempat kepikiran mendirikan tenda. Untungnya Decky memberi peringatan dini. Baru saja membicarakan potensi hujan, tiba-tiba gerimis mengguyur Nyadeng sebentar. “Kalau lagi hujan deras, air danau bisa meluap dan daerah ini bisa banjir, Bang,” Decky mengingatkan sambil menunjuk area tanah datar di depan pondok.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Namun, tidak bisa dimungkiri. Lanskap Nyadeng mencuri hati saya. Belum ada satu jam sejak kedatangan, saya tiada henti berdecak-decak kagum. Memuji nama Tuhan berulang-ulang dalam hati. Ada rasa tak percaya yang sempat menyelinap, kok kami bisa akhirnya sampai sini?

Barangkali daya magis Nyadeng dan keasrian hutan di sekitarnya, sampai menginspirasi Decky membuat skripsi khusus tentang danau ini. Alumnus S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman tahun 2022 itu menulis tugas akhir berjudul Pengaruh Kerapatan Vegetasi Tutupan Lahan terhadap Proses Infiltrasi Air di Kawasan Danau Nyadeng Kampung Merabu, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Marjenah, M.P. 

“Hitung-hitung ini bentuk kontribusi kecil saya buat kampung, Bang,” katanya. Mungkin suatu saat ia berminat melakukan penelitian untuk menemukan titik terdalam Danau Nyadeng, yang disinyalir lebih dari 40 meter.

Ketika beranjak larut, setelah sekian lama, saya mengalami salah satu malam ternikmat sepanjang hidup. Burdan pun berpikir serupa. Kami meriung tanpa sekat di atas bangku dari batang-batang kayu. Membicarakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Kampung Merabu hingga bertukar pengalaman masing-masing.

Kami melawan hawa dingin dengan mengepung api unggun yang sudah dibuat tiga pemuda masa depan Merabu tersebut. Kalau saja Henry berhasil mendapatkan binatang buruan malam itu, forum bersahaja ini akan berlanjut pesta memanggang payau—sejenis kijang. Sesekali kami menengadah jauh di atas kepala, memandang gemintang yang tak malu-malu menyemut di kolong langit.

Tanpa aba-aba, Decky menembang lewat notasi abstrak dari dawai-dawai sape. Alunannya memecah keheningan hutan. Gelas demi gelas kopi dan teh panas surut diseruput. Kami semua hanyut dalam kedamaian. 

Tidak terkecuali Maria, sorot mata dan seulas senyum bibirnya turut terbius mendengar permainan Decky. Nico sigap menulis kegiatan yang tak terjadwal ini ke dalam buku catatannya. Untuk sementara, kamilah yang menjadi pusat perhatian alam pada malam itu.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Harmoni Puncak Ketepu

Tujuan kami tidak berhenti di Danau Nyadeng. Niat pantang surut sekalipun para tetangga di Merabu sudah mewanti-wanti kondisi jalur dan durasi yang harus kami tempuh ke Puncak Ketepu. Estimasi jarak pendakian ke puncak sekitar 500 meter dan trekking kurang lebih kisaran 1,5—2 jam. Kami berangkat summit pukul 04.15 WITA.

Trek mulanya datar sejauh 200 meteran. Lalu setelah plakat merah tulisan Puncak Ketepu yang menempel di pohon, jalur langsung menanjak terjal tanpa ampun. Saking sadisnya jalur pendakian yang dilalui, saya sempat berkelakar, “Ini gunung 393 mdpl, tetapi serasa gunung 3.000-an mdpl.”

Ritme langkah dan napas kami amat kontras dengan Decky dan Henry. Lagi-lagi kami beruntung. Seolah memahami payahnya langkah orang-orang kota, Decky yang memimpin di depan mengatur waktu istirahat sebanyak tiga kali. Tidak ada pos khusus sepanjang jalur. Dalam catatan alat Global Positioning System (GPS) yang saya bawa, kami rehat sejenak di dataran sempit dekat dinding batu (ketinggian 158 mdpl); di tanah berbatu karst lancip (270 mdpl), dan terakhir di gua (330 mdpl).

Berdasarkan keterangan Henry, gua tersebut merupakan percabangan dua jalur. Belok kiri memasuki liang lapang untuk naik 100 meter ke Puncak Ketepu, sedangkan lurus menyusuri celah sempit adalah rute ke Danau Tebo, Kutai Timur, yang masih berjarak satu hari jalan kaki—kalau saya mungkin perlu dua hari ke sana.

Pagi mulai beranjak terang ketika kami akhirnya tiba di Puncak Ketepu. Arloji saya menunjukkan waktu sekitar pukul 05.40 WITA. Satu jam lewat 25 menit. Di luar dugaan, dengan langkah tertatih, kami masih bisa lebih cepat 35 menit dari perkiraan awal.

“Kayaknya belum pernah seharu ini selama [pengalaman] muncak ke gunung,” Deta menyampaikan testimoninya. Fotografer tim itu mengaku hampir menangis sesaat menginjakkan kaki di Puncak Ketepu. Tidak sia-sia ia menolak tunduk pada keputusasaan pada trek curam, meski sempat dua kali muntah di tengah perjalanan ke puncak. 

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Tanpa membuang banyak waktu, kami mengeksekusi misi terpenting di Puncak Ketepu. Decky segera bersiap. Ia seolah berubah menjadi sosok yang berbeda dalam balutan baju jomok, cawat kain, penutup kepala dari kulit musang dengan mahkota paruh enggang, dan sebilah mandau di lingkar pinggang; walaupun semuanya meminjam dari Ransum, ketua adat Dayak Lebo Kampung Merabu.

Duduk di atas batuan dolomit kelabu nan runcing, ia pangku sape miliknya. Saya, Deta, dan Mauren siaga dengan kamera masing-masing untuk merekam dalam tiga sudut pandang. Tepat beberapa saat sebelum matahari terbit dari balik punggungan karst, kami larut dalam momen terbaik pagi itu.

Di tengah lengking owa kalimantan bersahut-sahutan, dua tembang instrumental mengalun berurutan. Decky memainkan satu lagu Dayak, lalu ditutup Tanah Airku gubahan Saridjah Niung atau Ibu Sud. Tanpa tambahan musik, tanpa lirik.

Lentingan sape nan jernih perlahan melebur bersama harmoni alam Ketepu. Mengikat kabut berarak di hijaunya hutan Merabu dan puncak-puncak karst Sangkulirang-Mangkalihat. Jemari tangan Decky meliuk dalam petikan-petikan dawai yang begitu menyayat dan menghunjam jiwa.

Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Decky memainkan masing-masing satu lagu tradisional Dayak dan nasional dengan kostum Dayak Lebo di Puncak Ketepu. Untuk sesaat waktu seakan terhanyut dalam petikan dawai sape kesayangan anak sulung Asrani itu/Mauren Fitri

Tanda mata dari aroma alam

Rasanya tak salah kalau Asrani (48), bapak Decky, bilang prinsip orang Merabu sekarang berubah. Memikirkan kesejahteraan hidup dahulu, baru kemudian melestarikan hutan. Belakangan, saya menyadari lema “kesejahteraan” yang ia maksud bisa memiliki dua arti.

Tolok ukur pertama yang paling mudah tentu sejahtera karena makmur dan mapan secara ekonomi. Di luar hasil hutan, masyarakat Merabu bisa memaksimalkan potensi-potensi alternatif melalui ekowisata maupun produk-produk turunannya, antara lain susur sungai dan hutan, kuliner, kerajinan, serta festival adat. Arti sejahtera dalam konteks ini sedang diperjuangkan sejak dua dekade lalu sampai sekarang. 

Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Seekor elang terbang melintas di atas hutan Danau Nyadeng. Terjaganya hutan tidak hanya menyejahterakan manusia, tetapi juga fauna-fauna endemik Kalimantan yang hidup di kawasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat, khususnya hutan desa Merabu/Rifqy Faiza Rahman

Makna kedua tak lain adalah kesejahteraan fisik dan psikis. Saya menemukan bahasa ini dalam studi yang dilakukan Dr. Jessica Fisher, seorang peneliti pascadoktoral, bersama timnya di Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), University of Kent, Canterbury, Inggris.

Dalam tulisan berjudul “Nature, smells, and human wellbeing” yang rilis di Ambio (A Journal of Environment and Society), sebuah penerbit jurnal asal Stockholm, Swedia, Jessica Fisher dan kawan-kawan memvalidasi fakta bahwa interaksi manusia dengan alam adalah pengalaman multi-indra dan menunjukkan potensi pentingnya penciuman aroma-aroma tertentu dari alam bagi kesejahteraan fisik dan psikis manusia.

Lebih lanjut mereka menyebut, dampak yang terjadi sangat signifikan. Lingkungan yang bersih dan ketiadaan polusi ala perkotaan memungkinkan masyarakat mendapatkan manfaat besar, di antaranya merasa lebih rileks, gembira, dan sehat. Hubungan masyarakat dengan sumber daya alam di sekitar rumahnya akan kian erat, sehingga dengan sendirinya alam tetap terjaga kelestariannya.

Pengalaman menyatu dengan alam bisa menjadi daya tarik ekowisata tersendiri bagi Kampung Merabu, misalnya eco-healing. Tamu-tamu dari luar kampung tidak hanya datang untuk sekadar bersenang-senang, tetapi juga menemukan tanda mata dari alam untuk meraih ketenangan, kesegaran, membangun keterikatan dengan hutan, dan sebenar-benarnya menikmati hidup. Tak lupa, menumbuhkan kesadaran dan komitmen menjaga hutan dari gangguan apa pun.

Kira-kira situasi seperti itulah yang kami alami saat bermalam di Danau Nyadeng maupun naik ke Puncak Ketepu. Ada perasaan tak biasa yang hinggap di kalbu.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Raga yang sempat berada di titik jenuh mendadak bugar. Otak pun mendaur ulang pikiran yang suntuk kembali segar. Entah karena sempat berendam di pinggiran telaga, menenggak airnya untuk minum, atau efek asupan udara nirpolusi dari pori-pori daun.

Yang jelas, saya dan Deta memiliki pengakuan senada. Kami telah mengalami tidur paling nyenyak selama hampir sebulan ekspedisi. Padahal alas tidur hanya papan kayu dan matras seadanya di pondok terbuka, sehingga angin dan agas berseliweran dengan leluasa.

Di Danau Nyadeng dan Ketepu, puncak kedamaian itu terletak pada orkestrasi alam yang sederhana dalam keberagaman hutan dan seisinya. Beradu padu dengan asyik.

Entahlah. Tahu-tahu kami merasa sudah merindu Merabu. (*)


Foto sampul:
Decky memainkan sape dengan balutan kostum adat Dayak Lebo di Danau Nyadeng setelah turun dari Puncak Ketepu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berdamai-di-danau-nyadeng-dan-puncak-ketepu/feed/ 0 40700
Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/ https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/#respond Tue, 26 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40673 Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan,...

The post Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Lanskap permukiman Merabu yang dibangun di sudut tepian Sungai Lesan. Kampung berpenghuni sekitar 80-an KK atau 200-an penduduk tersebut kini menatap sinar terang dari geliat ekowisata alam dan budaya berbasis masyarakat/Deta Widyananda

Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan, mobil yang disewa TelusuRI berbelok arah ke kiri di simpang gapura Kampung Merapun. Jalan berubah drastis dari aspal ke tanah kering berkerikil yang sudah dikeraskan. Melewati sejumlah titik permukiman di antara perkebunan kelapa sawit yang jadi sumber kehidupan sedikitnya lima perusahaan sawit.

“Jarak dari gapura ke Kampung Merabu masih ada kurang lebih 31 kilometer,” kata Hardi, sopir asal Bone yang sudah lama merantau ke Berau itu. Cuaca hari itu (09/10/2023) cerah, sehingga kami bisa melihat gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di kejauhan. Tembok alam raksasa tersebut tampak kontras dengan hijaunya hamparan sawit yang telah mendominasi Kampung Merapun.

Merapun adalah desa tetangga terdekat dengan Merabu. Kontur jalan di kawasan ini kebanyakan datar, meskipun ada beberapa titik naik turun lembah. Saat hujan kondisi jalan akan sedikit berlumpur dan licin, sehingga ban rawan kehilangan traksi. Seorang pengemudi harus lihai mengendalikan motor atau mobilnya agar tidak selip. 

Sebenarnya ada jalan tercepat menuju Merabu, yakni dari utara via Kampung Muara Lesan. Jarak dan waktunya bisa dua kali lipat lebih pendek dan cepat daripada lewat Merapun. Akan tetapi, beberapa waktu lalu Sungai Lesan meluap. Jembatan kayu satu-satunya yang menghubungkan dua desa rusak diterjang banjir bandang. Kami pun terpaksa harus mengambil rute memutar dan cukup melelahkan. Jika digambarkan, jumlah kilometer yang kami tempuh baru sepertiga dari keseluruhan jarak Tanjung Redeb ke Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.

Asrani (48), kepala Kampung Merabu sekarang, menyebut akses jalan saat ini jauh lebih mendingan ketimbang beberapa dekade lalu. Semasa masih bersekolah di Tanjung Redeb dan jalan poros Berau—Samarinda belum dibangun, Asrani harus naik ketinting selama dua hari menyusuri sungai-sungai besar, seperti Lesan dan Kelay hingga bertemu Sungai Segah di pusat kota Tanjung Redeb. Bermalam di pinggiran hutan, membawa terpal untuk melindungi dari hujan.

Pengalaman Ransum (61), ketua adat Kampung Merabu, lebih berat lagi. Di masanya “teknologi” ketinting dan mesin tempel belum ditemukan. Ia bersama sejumlah warga menaiki rakit kayu dan mendayung dari Merabu ke Tanjung Redeb selama tiga hari perjalanan. Membawa hasil hutan, seperti getah damar, lilin madu, dan rotan. “Kalau mudik balik, bisa tembus 19—20 hari karena melawan arus. Kalau air sungai lagi besar, bisa tembus satu bulan,” ungkap Ransum. 

Di Tanjung—sebutan orang Merabu terhadap ibu kota Berau—mereka bisa dapat upah 10 rupiah per hari dari hasil berdagang tersebut. “Uang segitu enggak akan habis kalau buat makan enam orang di warung. [Sisanya] belanja beras, gula tebu, garam kotak, sama pakaian buat dibawa pulang,” tambahnya.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Setelah jembatan kayu yang menghubungkan Muara Lesan-Merabu rusak diterjang banjir bandang Sungai Lesan, jalan tanah berkerikil di tengah perkebunan sawit ini jadi akses satu-satunya ke Kampung Merabu. Tampak di kejauhan pohon menggeris menjulang berlatar gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat/Mauren Fitri

“Jalan poros [Berau—Samarinda] ini kan juga dulunya yang buat perusahaan kayu. Terus jalan ke kampung juga yang bikin perusahaan sawit,” terang Asrani dalam sebuah kesempatan mengobrol di rumahnya. Ia mengkritik ketidakhadiran negara untuk rakyatnya, “Mana mau pemerintah buat jalan?”

Situasi “mendingan” yang disebut Asrani sebelumnya memang masih jauh dari kata ideal. Jauhnya lokasi kampung, baik dari Berau maupun Samarinda-Balikpapan, lalu daya tarik wisata yang menggaransikan petualangan, kian menguatkan segmentasi Merabu bukan untuk semua orang. Hanya orang-orang yang memiliki minat khusus untuk berwisata ke kampung penyangga ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat itu.

Maka tatkala The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat—yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—masuk Merabu sejak 2011, dari yang semula meriset etnografi dan arkeologi di sepanjang aliran Sungai Lesan dan kawasan karst, berkembang mendampingi pengembangan potensi ekonomi lokal berbasis masyarakat.

Peningkatan kapasitas warga Merabu menjadi prioritas selain pembangunan infrastruktur fisik. Mereka diajak melihat sudut pandang lebih luas dari sekadar budidaya karet maupun memanen sarang burung walet, yaitu ekowisata. 

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Sepasang turis mancanegara menikmati pemandangan dan keheningan Danau Nyadeng, Merabu. Nico (kanan) yang berasal dari Jerman dan Maria yang berpaspor Meksiko baru pertama datang berwisata ke Merabu dan mengaku tahu nama kampung ini dari Lonely Planet. Mereka terkesan dengan keindahan alamnya yang masih terjaga/Deta Widyananda

Tantangan membuka pikiran masyarakat

“Dulu [masyarakat punya] ketergantungan di gua, [memanen] sarang walet,” ujar Yervina (40), bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK, menerangkan awal mula penghidupan masyarakat Merabu sebelum beralih ke ekowisata.

Penghasilan dari sarang burung walet pada masa jayanya memang sangat menggiurkan. Jalan semalaman saja di hutan mudah mendapatkan hasil, karena sepanjang pinggiran hutan pasti ada gua-gua karst yang dihinggapi walet. Bahkan tidak sampai satu malam, dalam hitungan jam saja sudah bisa membawa pulang satu kresek sarang walet senilai 5—10 juta rupiah.

Akan tetapi, di era tersebut beberapa orang kurang bijak mengelola pemasukan sebesar itu dengan baik alih-alih berpikir jangka panjang. Yervina menilai orang dahulu berpikir hasil sarang walet bisa untuk selamanya, padahal alam suatu saat akan menurun juga apabila dieksploitasi habis-habisan. Tak tebersit sedikit pun untuk berinvestasi dengan membeli sepeda motor, apalagi menabung. Uang jutaan rupiah habis tak bersisa hanya dalam hitungan hari. Entah untuk hura-hura ke kota, pesta minum, main perempuan maupun kegiatan-kegiatan nirfaedah dan tidak punya arah. Dampaknya akan terasa ketika usia sudah lanjut dan tidak bisa lagi jalan ke hutan memanen sarang walet.

Di antara itu ada segelintir penduduk yang lebih terarah dalam mengatur keuangannya. “Jadi, beruntunglah mereka [yang lebih terarah]. Ketika gua sudah tidak menghasilkan [karena harga walet turun], sekarang larinya ke wisata. Mereka mempergunakan uangnya dengan baik, [sehingga] bisa berinvestasi dan memiliki modal untuk wisata,” jelas guru SDN 001 Merabu itu. 

Ia dan keluarga besarnya bukan tanpa usaha untuk mendidik masyarakat. Terutama mendiang Agustinus, suaminya yang juga kepala kampung periode 2018—2021 dan merupakan saudara kandung Asrani-kepala kampung sekarang. Keduanya terbilang getol untuk mengedukasi masyarakat agar bisa bijak mengelola pendapatan sarang burung walet dengan baik. Meskipun pada akhirnya tidak semua sejalan.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Tim TelusuRI menyapa dan berbincang dengan Yervina (paling kiri), yang siang itu (10/10/2023) baru pulang mengajar di SDN 001 Merabu. Selain menjadi guru, istri mendiang Agustinus itu juga mengemban tugas sebagai bendahara BUMKam Lebo ASIK/Rifqy Faiza Rahman

Ketika harga sarang burung walet benar-benar anjlok, masyarakat belum sepenuhnya beralih ke ekowisata. Peluang lain yang sedang terbuka adalah membudidayakan bibit kelapa sawit pribadi, untuk dijual ke perusahaan di luar Kampung Merabu. Masing-masing memiliki potensi ekonomi yang cukup bagus.

“Sebenarnya semuanya penting. Wisata penting, walaupun orang bilang jangan bergantung sama wisata. Sawit juga penting, tapi jangan juga tergantung pada sawit,” jelas Yervina. “Kalau menurut saya, apa yang ada peluangnya di kampung ini silakan Anda [masyarakat] tangkap begitu. Jika ingin di wisata, maka berpikir kita harus bikin [sesuatu], seperti punya perahu, homestay, atau transportasi.”

Perjalanan membuka pola pikir masyarakat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yervina mengakui perlu waktu untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat. Termasuk soal homestay, misalnya, yang belum semua warga mau karena merasa tidak layak melayani tamu. Sehingga setiap tamu yang datang seringnya diinapkan di rumah Yervina, Ester, Juari, atau Doni Simson—ketua BUMKam.

Namun, seperti yang ia sampaikan, Yervina justru mendorong agar masyarakat jeli melihat peluang lain di luar ekowisata. Tujuannya semata agar tidak terlalu bergantung pada kedatangan wisatawan untuk menunjang kehidupan masing-masing, terutama menjamin pendidikan anak-anak hingga ke jenjang tertinggi. Ia mengingatkan agar orang-orang Merabu tidak terlena dengan status kampung sebagai destinasi wisata. 

Harapan berkelanjutan

Dalam perkembangannya, Merabu menghadapi sejumlah aral yang tidak bisa dianggap enteng. Di tengah arus tamu yang datang silih berganti dan harus mendapat pelayanan terbaik, tantangan demi tantangan seakan menuntut untuk diselesaikan. Salah satunya adalah keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai fasilitas pendukung kebutuhan dasar masyarakat kampung.

Selama kami singgah di Merabu, Ester, istri Asrani dan kepala kampung periode 2022—2023, telah memberitahu kalau PLTS sudah mati sejak Mei lalu. Katanya ada masalah pada daya baterai sehingga perlu diganti dengan yang baru, mengingat spesifikasi keahlian teknisi PLTS berbeda dengan teknisi listrik PLN biasa.

Matinya PLTS berbulan-bulan itu, setelah hampir lima tahun sebelumnya menyala 24 jam, terasa sangat berdampak pada aktivitas rumah tangga warga. “Karena ada masalah di baterai, jadi kami kembali lagi ke awal rasanya,” celetuk Ester sedikit tergelak.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Instalasi PLTS yang dihibahkan secara cuma-cuma oleh pihak ketiga untuk Kampung Merabu. Operasional PLTS dikelola oleh BUMKam Lebo Asik melalui PT Sinang Puri Energy. Keberadaan sumber energi terbarukan seperti ini tidak hanya krusial memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga pengelolaan ekowisata Merabu/Deta Widyananda

Sumber listrik diesel atau genset kembali diandalkan, meskipun tidak semua warga punya. Bahan bakar minyak yang mahal, bisa hampir 2—3 kali lipat dari harga normal, membuat Ester hanya memaksimalkan tenaga genset pribadi saat petang sampai malam. Biasanya mulai pukul 18.00 hingga tengah malam. Berlaku pula untuk genset besar yang ada dalam satu lahan dengan PLTS, yang tidak dinyalakan setiap hari karena keterbatasan bahan bakar.

PLTS didapatkan Kampung Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam Lebo ASIK, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.

Keberadaan PLTS komunal tersebut krusial karena menjadi simbol nyata energi terbarukan yang seiring dengan pengembangan ekowisata di Kampung Merabu. Tentu yang paling pokok adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti memompa sumber air dari sungai untuk kebutuhan harian, menyalakan kulkas dan perlengkapan elektronik lainnya, hingga yang tidak kalah penting adalah menjadi penerangan untuk anak-anak yang belajar di rumah maupun sekolah. 

Pada saat bersamaan, operasional PLTS secara optimal jelas akan membantu kelancaran aktivitas wisata di Kampung Merabu. Para tamu tidak akan kesulitan untuk setidaknya mengisi ulang perangkat elektroniknya, seperti ponsel, kamera, dan laptop selama di sana. Lancarnya aliran listrik juga membantu akses internet lewat Wi-Fi kampung, yang berasal dari bantuan Kemenkominfo, tetap menyala.

Dari bocoran yang disampaikan Doni Simson, ada rencana untuk mengambil alih kepemilikan instalasi PLTS dari PT Akuo Energy Indonesia ke PT Sinang Puri Energy, unit usaha BUMKam. Sebelum itu terjadi, pihaknya menginginkan perbaikan baterai terlebih dahulu. “Soalnya cuma teknisi dari orang Akuo Energy saja yang bisa memperbaiki. Teknisi listrik biasa enggak bisa, karena beda tekniknya,” jelasnya. 

Kelak ketika listrik ramah energi tersebut berfungsi kembali sebagaimana 2018—2022, Merabu diyakini makin melesat lebih jauh. Sampai-sampai masyarakat, bahkan orang luar sekalipun, tidak pernah membayangkan Merabu akan seperti ini sebelumnya karena karena geliat ekowisata. Tidak pernah terpikirkan pula Merbabu dianggap sebagai laboratorium alam dan cagar budaya yang mengundang peneliti-peneliti untuk datang. 

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Gary (kiri) melihat keseruan membakar ikan sungai bersama Natanael, pemuda Merabu, di pekarangan sempit depan rumah Yervina. Videografer independen yang berbasis di London tersebut sudah menginap hampir seminggu di Merabu untuk mengambil beberapa stok foto dan video. Bahasa menjadi salah satu kendala yang harus segera diatasi jika ada tamu asing datang berkunjung/Mauren Fitri

Untuk berkembang lebih jauh, kuncinya justru terletak pada sinergi dan kekompakan masyarakatnya. Kehadiran The Nature Conservancy (TNC), YKAN, Indecon, maupun lembaga masyarakat sipil lainnya berfungsi mengakselerasi langkah orang-orang Merabu. Kini, konsistensi Merabu, terutama di sektor ekowisata yang saat ini menjadi unggulan, bergantung sepenuhnya pada komitmen warganya.

Perjalanan Merabu masih sangat panjang dan tidak akan berujung. Aral-aral pasti akan selalu ada dan bisa menghambat pengembangan ekowisata. Akan sayang jika Gua Bloyot, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, dan potensi sumber daya alam lain yang telah dipoles sedemikian rupa terabaikan karena tidak dijaga dengan maksimal.

Akan tetapi, Asrani tidak ingin putus harapan. Setidaknya untuk saat ini. Jika ditanya, Merabu ingin lebih dikenal sebagai destinasi khusus ekowisata atau budaya, ia menjawab panjang, “Kami ingin Merabu bisa dikenal baik dalam maupun luar negeri. Kami juga punya hutan, kami juga punya budaya,” harapnya.

“Kalau orang datang ke sini itu bukan hanya mengunjungi tempat wisatanya, tapi juga melihat budayanya, melihat alamnya, melihat keramahan masyarakatnya.” (*)


Foto sampul:
Siluet Pak Cay, pemandu lokal saat memasuki pintu utama Gua Bloyot, yang terkenal karena adanya lukisan telapak tangan di dinding gua. Penemuan gua dan jejak prasejarah tersebut menjadi awal mula pengembangan ekowisata di Kampung Merabu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/feed/ 0 40673
Ide-Ide Liar Asrani https://telusuri.id/ide-ide-liar-asrani/ https://telusuri.id/ide-ide-liar-asrani/#respond Sun, 24 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40634 Perawakannya kecil. Namun, nyali dan mimpinya untuk kemajuan Merabu bahkan jauh melebihi jumlah huruf namanya sendiri. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Malam itu (12/10/2023) Merabu gelap total. Pembangkit Listrik Tenaga Surya...

The post Ide-Ide Liar Asrani appeared first on TelusuRI.

]]>
Perawakannya kecil. Namun, nyali dan mimpinya untuk kemajuan Merabu bahkan jauh melebihi jumlah huruf namanya sendiri.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Ide-Ide Liar Asrani
Tampak tiang listrik dan lampu penerangan jalan di depan Rumah Asrani, yang terletak di timur kampung dan menghadap aliran Sungai Lesan. Sejak baterai PLTS komunal di kampung bermasalah, masyarakat mengandalkan genset untuk kebutuhan listrik pada malam hari. Jika minyak (solar) habis, mereka akan melalui malam sampai fajar berselimut gelap/Mauren Fitri

Malam itu (12/10/2023) Merabu gelap total. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di selatan kampung sudah mati sejak bulan Mei 2023. Baterai-baterainya perlu perbaikan. Genset kampung yang biasanya menyala sejak petang sampai tengah malam, membisu karena belum ada yang sempat mengambil minyak ke kampung sebelah.

Kerlip bintang yang bertaburan di antara langit kelabu tidak sepenuhnya menolong. Satu-satunya sumber cahaya yang bisa diandalkan adalah senter. Di tengah padamnya listrik, tim TelusuRI terpaksa menahan diri untuk mengisi ulang daya baterai ponsel, kamera, dan laptop. 

Rumah Asrani dan Ester yang kami tempati selama di kampung sedang kosong sedari pagi. Hari itu Pak Kopon, Belian (dukun adat) kampung yang juga paman Asrani, dikabarkan meninggal dunia setelah cukup lama dirawat di rumah sakit di Tanjung Redeb. Ester, yang masih menjabat kepala kampung, mengajak sejumlah warga melayat ke Inaran, Kecamatan Sambaliung, Berau. Jaraknya sekitar 195 kilometer dari Merabu atau 5—6 jam perjalanan. Ia titip pada kami untuk menjaga rumah.

Jika berpegangan aturan adat, seperti yang disampaikan Ransum, mendiang yang wafat di luar kampung memang pantang dimakamkan di kampung asalnya. Sehingga ia dimakamkan di tempat keluarganya yang lain, yaitu Inaran. Bulu kuduk sempat berdiri, begitu mengetahui rumah kosong di samping kediaman Asrani adalah milik Pak Kopon.

Sementara Asrani belum menampakkan batang hidungnya. Meski Ester memberi informasi suami dan anak sulungnya—yang baru diwisuda—akan pulang hari ini dari Samarinda, tetapi mereka tak kunjung datang. Situasi yang amat dimaklumi, mengingat jauhnya jarak ibu kota Provinsi Kalimantan Timur itu dengan Merabu. Hampir 400 kilometer atau paling cepat 10 jam naik mobil. Kami memutuskan tidur lebih awal, karena memang tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dalam keadaan gelap.

Tiba-tiba selang setengah jam lewat tengah malam, terdengar suara pintu diketuk-ketuk. Saya dan Deta terkesiap. Sempat terdiam beberapa saat, berbekal senter kami memutuskan mengecek pintu depan. Tidak ada orang. Namun, dari samping rumah tampak sorot cahaya kekuningan dan terdengar deru mesin mobil.

“Oh, mungkin Pak Ra sudah datang,” ujar saya menyebut sapaan Asrani. Kami lekas menutup pintu depan dan berpindah ke belakang, yang terletak dekat dapur.

Di balik pintu, sosok yang ditunggu-tunggu sudah datang. Seorang lelaki berperawakan kecil, mengenakan kaus kerah dan celana kain sederhana, menjabat tangan kami erat. Genggamannya kuat. Kami juga menyapa Decky, yang tampak kusut karena menyetir tanpa diganti semenit pun dari Samarinda. Beberapa saat kemudian Ester juga datang. 

Meski baru menempuh perjalanan jauh, raut muka yang terlihat di bawah peci manik bundar khas Dayak itu sepintas tidak menyiratkan letih. Sudah biasa, katanya. Ia pun mengajak kami duduk di sofa yang menghadap meja makan.

Gimana? Apa yang mau diobrolkan ini?” tanyanya. Suaranya sedikit serak. Setiap menyelesaikan ujung satu kalimat, ia berdeham. Kondisi yang sebenarnya merupakan efek kelelahan dari perjalanan.  

Pertanyaan itu sebenarnya basa-basi saja. Kami jelas baru akan mewawancarai lebih ideal besok malam, sepulang trekking ke Gua Bloyot. Namun, tanpa dikomando, Asrani malah mengajak kami ngobrol hampir satu jam. Anehnya, kantuk hebat yang sempat menyerang jadi tertahan. Seolah paham, ia pun sedikit membawa kami ke semesta kehidupannya, yang seluruh manis getirnya dicurahkan untuk Merabu. Tanah kelahiran dan tempat ia tumbuh besar menjadi seperti sekarang.

Ide-Ide Liar Asrani
Sembari sesekali mengulas senyum, Asrani malam itu bercerita banyak tentang pengalaman getirnya, terutama di akhir periode kepemimpinannya sebagai kepala Kampung Merabu/Deta Widyananda

Memilih dipenjara

Sesuai harapan, malam berikutnya listrik kampung kembali hidup. Di bawah temaram lampu, di atas kursi ban bekas yang terpajang di sudut pagar teras rumah, Asrani (48) duduk sembari mengenang titik-titik terendah yang menimpa masyarakat Kampung Merabu.

Jelang akhir kepemimpinannya sebagai kepala kampung—Asrani memimpin Merabu dua periode, mulai 1998 sampai dengan 2011—ia mendapat kado pahit. Sebuah perusahaan sarang burung walet, yang dilindungi aparat, menyeretnya ke penjara.

Asrani dituduh mencuri hasil sarang walet di kawasan Gua Ranggasan, yang merupakan lahan konsesi perusahaan. Ia juga dianggap menyulut ide untuk menggerakkan ratusan masyarakat dari tiga kampung—Merabu, Mapulu, Panaan—melawan eksistensi perusahaan swasta dari luar kampung tersebut. Bahkan fasilitas mes perusahaan di Kampung Merabu sempat dirusak dan dihancurkan warga yang terpancing emosi.

Khawatir situasi memanas dan berpotensi menimbulkan korban berjatuhan, Asrani pasang badan. Ia memaksa polisi menahan dirinya, kepala kampung Mapulu, dan Asriansyah, sekretaris desa Panaan, lalu meminta warga lainnya dibebaskan. Ester, istri Asrani, dan Decky Aprillius, anak sulung Asrani yang waktu itu masih kelas 6 SD, sempat ketakutan dan menangis melihat sang tulang punggung keluarga ditangkap polisi.

Pada Januari 2011, Asrani dan koleganya mendekam hampir empat bulan di penjara. Sekitar 1,5 bulan di Polres Berau dan dua bulan di rumah tahanan negara (Rutan) Tanjung Redeb, Berau. Belakangan ia baru tahu, jika pemidanaan terhadap mereka hanyalah akal-akalan pemerintah supaya tensi konflik agak mereda. Menurut Asrani, sebenarnya pemerintah bisa berpihak pada warga kampung—ia kenal dekat dengan Bupati Berau saat itu, tetapi di sisi lain “terpaksa” berkompromi karena tekanan perusahaan.

Konflik antara perusahaan dan masyarakat terjadi karena ketidakadilan bagi hasil sarang burung walet di liang-liang gua karst Sangkulirang-Mangkalihat. Asrani dan warga kampung, yang ekonominya telah puluhan tahun bergantung pada sarang walet, menilai perusahaan terlalu serakah dan mencaplok ceruk-ceruk penghidupan masyarakat. 

Ide-Ide Liar Asrani
Contoh sarang burung walet yang ditemukan Pak Cay, juru pelihara Gua Bloyot, dari dalam lorong Gua Sedepan Ketep. Di era jayanya, sarang walet jadi sumber ekonomi andalan masyarakat Kampung Merabu. KIni perlahan ditinggalkan setelah adanya ekowisata/Rifqy Faiza Rahman

Perselisihan itu belum berakhir ketika Asrani dan Kepala Kampung Mapulu menghirup udara bebas. Pada sebuah rapat yang diinisiasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau, tujuan mencari jalan tengah antara perusahaan dan masyarakat kampung tidak menemui titik terang.  

“Saya ini tukang porak-poranda kalau lagi rapat sama pejabat-pejabat pemerintah,” ungkap Asrani (48) mempraktikkan menggebrak meja dengan kedua tangannya. Ketika hasil negosiasi dianggap terlalu berat sebelah ke pihak perusahaan, Asrani pun muntab. “Saya ambil bangku-bangku itu, kulempar dan kuhamburkan!”

Seorang diri, Asrani bak pendekar yang sedang mengobrak-abrik perguruan silat. Meja-meja dibanting dan dibalik. Nyaris semua pejabat yang hadir kena semprot. Mulai Bupati Berau, Kapolres Berau, sampai Kapolda Kalimantan Timur tidak luput dari kemarahan Asrani. Bahkan kapolres dan orang-orang perwakilan perusahaan hampir saja dikejar dan hendak dipukul Asrani.

“Saya kalau sudah merasa benar, ya, pasti begitu,” tegasnya. Ia mengaku, yang dilakukan semata membela masyarakat kampung agar tidak makin dibodohi kapitalisme. 

Di matanya, ia yakin kebenaran akan selalu menang walaupun menghadapi banyak tantangan. Pahitnya pengalaman di balik jeruji besi tidak membuatnya surut tekad dan nyali, yang sampai sekarang masih menyala-nyala.

“Biarpun mantan narapidana, saya bangga,” ujarnya tegas, “karena berbuat baik [dengan] memperjuangkan orang-orang yang tertindas.”

Rekam jejak Asrani yang vokal dan berani menjadikannya buah bibir di kalangan masyarakat dan pemerintahan, terutama seantero Kalimantan Timur. Beberapa orang menyebutnya sebagai pahlawan, karena menyelamatkan nasib ratusan warga kampung. Kini kondisi di Merabu relatif kondusif. Perusahaan sarang burung walet tersebut tidak lagi cawe-cawe hutan desa Merabu, dan memilih beroperasi di kampung lain. 

Asrani memang seperti mbabat alas, membuat pondasi dasar sebelum kampung dibangun lebih berkembang dan kukuh secara berkelanjutan. Memperbaiki jalan kampung, menjadi yang terdepan jika berhadapan dengan oknum-oknum pengincar hutan untuk keperluan industri.

Termasuk membuka pintu untuk jaringan besar dari luar kampung, di antaranya The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat, yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). TNC tersebut mulanya masuk Merabu melalui peneliti dan fasilitator lokal yang meriset lukisan tangan prasejarah di gua-gua karst, sampai dengan mengkaji sudut pandang etnografis suku Dayak Lebo, khususnya yang hidup di sekitar kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Dengan jalan yang sudah terbuka, lewat tangan Franly Aprilano Oley hingga Agustinus sebagai kepala kampung periode selanjutnya, Merabu kian melesat. Namanya mengundang peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga media untuk berkunjung dan mengenal lebih dekat.

Ide-Ide Liar Asrani
Panorama pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kampung Merabu, dilihat dari Puncak Ketepu. Tempat ini menjadi salah satu destinasi ekowisata unggulan sekaligus kawasan hutan desa yang dilindungi dan dikelola masyarakat/Mauren Fitri

Memetik hasil kaderisasi kepala kampung

Usia Franly 23 tahun ketika menjabat kepala kampung pada 2012. Termuda kedua setelah Asrani, yang saat menjadi kepala kampung masih berusia 21 tahun. Franly bukanlah pemuda asli Merabu. Asalnya dari Modoinding, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Atas ajakan kawannya, Franly datang merantau dari Tanjung Redeb dan bekerja sebagai tukang saat membangun gedung sekolah dasar (SD) di Merabu pada 2009—2011.

Ketika pekerjaan selesai, ia memilih tidak ikut kawan-kawannya kembali ke Tanjung Redeb. Ia menetap karena sudah dekat dengan orang-orang kampung. Sampai akhirnya ia terpikat dengan Mariana, seorang gadis Merabu, lalu menikah tak lama setelah bertunangan di tahun itu.  

Tak dinyana setahun setelah menikah, Asrani yang jabatannya habis dan bertugas sebagai panitia pemilihan, malah berinisiatif mencalonkannya sebagai kepala kampung baru. Franly sempat menolak karena merasa tidak mampu. Namun, mengingat Asrani banyak membantunya selama di kampung—termasuk mengurus pernikahan—ia pun luluh. Suara pun nyaris bulat, Franly terpilih sebagai Kepala Kampung Merabu untuk masa jabatan sampai tahun 2017. Agustinus, yang berusia tiga tahun lebih tua, didapuk sebagai sekretaris kampung. 

“Saya memang sengaja mendorong Franly maju. Anggap saja kaderisasi,” tutur Asrani. “Dia memang masih muda, tapi semangatnya tinggi dan pekerja keras.”

Di bawah kepemimpinan Franly (2012—2017), Merabu mulai melakukan tata kelola pemerintahan dan merumuskan beberapa konsep program untuk memajukan kampung. Ada beberapa capaian penting yang berhasil diraih. Melalui pendampingan TNC dan kerja sama beberapa tokoh masyarakat, Franly melegalkan sebuah lembaga warga bernama Kerima Puri, yang bertugas mengelola hutan dan sumber daya alam Merabu.

Kerima Puri adalah cikal bakal Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) dan selanjutnya di era Agustinus bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Asrani dilibatkan di dalamnya sebagai ketua pertama Kerima Puri. Dalam bahasa Lebo, rima adalah hutan dan puri bermakna cantik atau indah. Adapun partikel ke, secara harfiah berarti “menuju”, simbol tujuan besar yang ingin dicapai. Menurut catatan TNC, nama tersebut merupakan usulan dari Marjayanti, seorang perempuan asli Merabu.

Lembaga tersebut yang kemudian mampu mendorong lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.28/Menhut-II/2014 tanggal 9 Januari 2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu, dengan luas 8.245 hektare. Sekitar 37,5 persen dari total luas Kampung Merabu yang mencapai 22.000 hektare. Di dalamnya mencakup kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas di (HPT) di Kampung Merabu.

Berbekal SK itu, selanjutnya Franly bersama Kerima Puri kemudian juga memetakan potensi sumber daya alam Merabu. Memberi tanda-tanda lokasi Gua Bloyot dan beberapa gua prasejarah lainnya, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, hingga titik-titik yang diperbolehkan untuk permukiman, ladang, dan membangun fasilitas kampung. Dari segala sumber daya yang ada, Merabu mulai mengembangkan ekowisata. Turis asing yang datang pun juga tidak bisa dibilang sedikit. 

Prestasi Franly berlanjut di era Agustinus (2018—2021). Pada masa kepemimpinannya, agar tata kelola makin baik, adik kandung Asrani itu menyatukan seluruh unit usaha kampung di bawah naungan BUMKam. Satu pintu untuk seluruh kegiatan usaha, di antaranya ekowisata, pengelolaan hutan desa, dan operasional PLTS komunal sebagai energi terbarukan di Kampung Merabu.

PLTS didapatkan Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.

Ide-Ide Liar Asrani
Lahan instalasi panel surya dengan luas kurang lebih satu hektare di selatan kampung, berdekatan dengan area hutan desa Kampung Merabu. Kehadiran PLTS di kampung buah dari kegigihan Franly dan Agustinus, sosok muda setempat yang dikader langsung oleh Asrani/Deta Widyananda

Agustinus pulalah yang mencetuskan slogan “Kampung Merabu ASIK”: Aman, Sejahtera, Indah, dan Kreatif. Slogan tersebut menjadi “mantra” yang membersamai semangat maju masyarakat merabu. Ekowisata juga makin menonjol. Sejumlah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang ekowisata, seperti Indecon, turut hadir memberikan pelatihan-pelatihan dasar seputar ekowisata. Masyarakat diajak menggali lebih dalam segala potensi yang dimiliki Merabu, sebagai suku pemburu dan peramu. 

Sayang, keduanya sudah tidak lagi ada di Merabu. Franly memutuskan pergi dan bekerja ke Bali, sedangkan Agustinus sudah meninggal dunia pada 2021 karena COVID-19. Istri Agustinus, Yervina, sekarang aktif sebagai guru dan bendahara BUMKam. Dialah yang mengurus segala paket ekowisata di Kampung Merabu saat ini. 

Meskipun begitu, setidaknya Asrani telah membuktikan ke semua orang. Untuk memastikan pembangunan Kampung Merabu tetap berkelanjutan sekaligus berpihak pada masyarakat, kuncinya terletak pada sosok. Ia mempersilakan orang-orang muda visioner dan berdedikasi tinggi untuk memimpin sebuah kampung yang memiliki persoalan kompleks.

Gagasan kebudayaan yang akan diperjuangkan

Di keseharian, Asrani adalah seorang bapak biasa pada umumnya. Ia membantu menyapu dan mengepel rumah, sementara Ester menyiapkan sarapan di dapur dan membantu Cornelius alias Dudung—anak keempat—bersiap ke sekolah. Ia juga biasa mandi di sungai, menjala ikan pagi dan sore, juga berkebun sampai kulit legam. Sesekali sowan ke rumah Pak Ransum, tetua adat, menyerap ilmu-ilmu tradisi darinya. 

Terkadang, Asrani tidak sempat melakukan rutinitas tersebut. Sebabnya ia sering pergi ke luar kota bahkan lintas pulau. Pengalamannya mengembangkan Merabu, atau kerasnya keberpihakan pada kesejahteraan kampung, membuatnya sering diundang berbicara di forum-forum mana pun. Ia menempuh perjalanan bertemu orang-orang baru yang terkesan dengan kisah hidupnya. 

Ide-Ide Liar Asrani
Balai adat Dayak Lebo yang terletak di antara lapangan bola dan rumah Ransum, ketua adat Kampung Merabu. Meski berat, Asrani berkomitmen memperjuangkan pendidikan dan literasi kebudayaan agar adat Dayak Lebo tetap lestari/Deta Widyananda

Di antara segenap pengalaman hidup Asrani, ia sepenuhnya menyadari satu hal krusial yang sangat fundamental untuk memajukan Merabu: pendidikan. Pendidikan akan memperluas ruang pola pikir dan kesempatan berdaya lebih besar. Kelak anak-anak muda akan menggunakan kreativitasnya untuk menciptakan kemandirian kampung dan tidak terlalu bergantung pada siapa pun.

“Saya adalah putra asli Merabu. Saya salah satu orang yang dulu mengawali pendidikan di kampung ini,” ungkap Asrani.

Dahulu belum ada SD di Merabu, sehingga ia harus pergi ke Merapun, kampung tetangga, untuk bersekolah. Selanjutnya menyelesaikan jenjang SMP di Muara Lesan dan SMA di Tanjung Redeb. Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya SPP, Asrani menyambi bekerja apa pun di luar jam sekolah. Ia bahkan nyaris kuliah di ibu kota Kabupaten Berau itu, sebelum akhirnya orang tuanya menyusul dan memintanya pulang kampung. Disuruh maju jadi calon kepala kampung.

Tidak tuntasnya pengalaman belajar Asrani hingga jenjang perguruan tinggi, “diselesaikan” oleh Decky, yang baru lulus S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman. Anak keduanya baru masuk S-1 Hukum di kampus yang sama, sedangkan anak ketiga seusia SMP dan tinggal di Tanjung Redeb. Setidaknya, Asrani sudah cukup tenang memiliki pewaris yang memiliki latar belakang pendidikan lebih baik darinya, yang suatu saat akan muncul Franly atau Agustinus baru dan menjadi pemimpin kampung masa depan. 

Tantangan selanjutnya adalah menularkan semangat yang sama ke anak-anak lainnya. Meskipun kemauan sekolahnya tinggi, ia tidak memungkiri masih ada orang tua yang apatis pada pentingnya pendidikan. Terutama pendidikan-pendidikan kebudayaan Dayak Lebo, yang menjadi identitas adat Kampung Merabu.

“Kita akan upayakan ke depan, kita dorong anak-anak sekolah [di kampung] ini mau mempelajari dan memelihara budaya,” paparnya. Mimpi yang berat, sejujurnya, mengingat literasi kebudayaan anak-anak sedang rawan tergerus kemajuan zaman. Sebagai orang tua, Asrani ingin agar budaya jangan sampai hilang, karena itulah identitas Dayak Lebo Merabu. Ia berusaha mencari cara lain merawat adat di luar Festival Tuaq Manuk yang hanya ada satu tahun sekali. 

Asrani juga mengaku menyiapkan ide-ide besar untuk membuat Merabu menjadi lebih dikenal orang. Mulai dari yang ringan sampai ekstrem, seperti rencana membangun gazebo atau pondok kayu di puncak karst yang berada di belakang Ketepu dan lokasinya jauh lebih tinggi. Di bayangan otaknya juga sudah tergambar hal-hal teknis, misalnya mengangkut tandon air ke atas puncak batu itu. Sebuah wacana yang kalau dipikir masak-masak, terasa gagasannya out of the box—jika tidak ingin dianggap gila.  

Rencana tersebut jelas tidak termuat dalam baliho visi-misinya sebagai calon kepala kampung baru tahun ini. Satu-satunya alat peraga kampanye itu tampak mencolok di pinggir lapangan kampung.

Ide-Ide Liar Asrani
Asrani dan Ester, istrinya, dipotret saat hendak makan malam di sebuah warung pinggiran jalan poros Berau-Samarinda, Kelay, Kabupaten Berau. Setelah Ester purna tugas, Asrani siap memimpin kembali dan mewujudkan ide-ide liarnya untuk kesejahteraan Kampung Merabu/Rifqy Faiza Rahman

Ketika TelusuRI berkunjung sekitar pertengahan Oktober lalu, Merabu memang sedang bersiap menyelenggarakan pemilihan kepala kampung (pilkakam). Masa jabatan Ester akan habis. Setelah 12 tahun, Asrani kembali maju menjadi calon kepala kampung. Bersaing dengan tiga orang lainnya.

Dalam perjalanan ke Tanjung Redeb untuk menghadiri acara deklarasi damai antarcalon kepala kampung se-Kabupaten Berau—kami ikut menumpang mobilnya—Asrani tampak tenang. Seolah-olah yakin akan menang pilkakam.

Beberapa hari kemudian berita yang tidak terlalu mengejutkan datang. Asrani resmi terpilih lagi menjadi kepala kampung. Meneruskan estafet istrinya. Ransum menaruh harapan besar padanya. Saatnya kita tagih mimpi-mimpi besarnya. (*)


Foto sampul:
Asrani (depan) mempraktikkan cara orang Dayak Lebo menjala ikan dari atas perahu sembari bersenandung. Sungai Lesan yang mengalir di depan rumahnya itu penuh ikan air tawar yang biasa dikonsumsi sehari-hari/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ide-Ide Liar Asrani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ide-ide-liar-asrani/feed/ 0 40634