demak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/demak/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 17 Jan 2024 08:24:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 demak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/demak/ 32 32 135956295 Melihat dari Dekat Tradisi Sedekah Bumi Desa Sugihmanik https://telusuri.id/melihat-dari-dekat-tradisi-sedekah-bumi-desa-sugihmanik/ https://telusuri.id/melihat-dari-dekat-tradisi-sedekah-bumi-desa-sugihmanik/#respond Sun, 26 Nov 2023 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40149 Bulan Apit atau bulan Dzulqadah dalam kalenderium Hijriyah menjadi momentum sebagian masyarakat Jawa untuk melakukan tradisi apitan atau sering juga disebut merti desa atau sedekah bumi. Sedekah bumi sendiri menurut Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya...

The post Melihat dari Dekat Tradisi Sedekah Bumi Desa Sugihmanik appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan Apit atau bulan Dzulqadah dalam kalenderium Hijriyah menjadi momentum sebagian masyarakat Jawa untuk melakukan tradisi apitan atau sering juga disebut merti desa atau sedekah bumi. Sedekah bumi sendiri menurut Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (2018) merupakan upacara tradisi yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya sebagai rezeki, sekaligus bentuk permohonan kepada Tuhan agar hasil bumi pada periode yang akan datang berhasil dengan baik.

Tradisi sedekah bumi banyak kita temui pada masyarakat Pulau Jawa, khususnya daerah pantai utara. Umumnya, mereka berprofesi sebagai petani atau berladang yang menggantungkan hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam.

Beberapa waktu lalu, saya singgah ke Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa ini juga melangsungkan tradisi sedekah bumi setiap setahun sekali di bulan Apit dalam penanggalan Jawa, tepatnya pada hari pasaran Selasa Kliwon. Pemerintah desa beserta masyarakat Desa Sugihmanik menggelar tradisi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu ini.

Prosesi pembersihan Telaga Sendangsari
Prosesi pembersihan Telaga Sendangsari/Badiatul Muchlisin Asti

Prosesi Pembersihan Sendangsari

Sedekah bumi Desa Sugihmanik tahun ini jatuh pada hari Selasa, 13 Juni 2023. Masyarakat memulai tradisi dengan prosesi pembersihan telaga Sendangsari, sebuah sumber mata air peninggalan Sunan Kalijaga di desa tersebut. Prosesi membersihkan telaga dilakukan pagi hari sekitar pukul 07.00, seluruh masyarakat desa menyaksikannya.

Prosesi pembersihan telaga berlangsung unik, karena sesuai adat yang telah berlaku turun-temurun, mereka yang bertugas membersihkan telaga harus merupakan keturunan asli Desa Sugihmanik. Selain itu, saat membersihkan telaga, para petugas tidak boleh mengenakan celana dan baju, cukup mengenakan sarung saja. Di tengah pembersihan telaga, mereka juga harus menyantap ingkung bebek dan minum air tape (badeg).

Siangnya sekitar pukul 13.00, di Balai Panjang yang juga merupakan peninggalan Sunan Kalijaga, terselenggara langen tayub. Balai Panjang memiliki jejak sejarah sebagai tempat Sunan Kalijaga beristirahat (ngaso) bersama para pendherek-nya saat misi pencarian kayu sirap dan saka untuk bahan mendirikan Masjid Agung Demak. Selain menjadi balai, tempat ini berfungsi sebagai tempat musyawarah, mengajar, dan mengaji.

Sebelum dan sesudah prosesi pembersihan telaga dan pagelaran langen tayub, masyarakat melakukan doa dan makan bersama sejumlah ambengan yang telah disediakan.

Prosesi dalam tradisi sedekah bumi tersebut merupakan napak tilas jejak Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan Islam di Desa Sugihmanik, sekaligus wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan yang telah memberikan rezeki yang melimpah.

  • Penduduk Desa Sugihmanik tengah menikmati ambengan yang telah disediakan sebagai rangkaian dalam prosesi pembersihan Telaga Sendangsari
  • Ambengan yang berisi nasi dan lauk pauk dalam tampah yang menyertai setiap prosesi sedekah bumi di Desa Sugihmanik
  • Penduduk Desa Sugihmanik tengah menikmati ambengan yang telah disediakan sebagai rangkaian dalam prosesi pembersihan Telaga Sendangsari

Kirab Bendhe Pusaka

Sehari sebelum prosesi pembersihan sendang, terselenggara kirab budaya. Jajaran perangkat desa dan BPD serta sejumlah elemen masyarakat terlibat. Ratusan warga pun berduyun-duyun menyaksikan kirab yang bermula di kompleks Sendangsari menuju ke Balai Desa Sugihmanik ini.

Bendhe—pusaka peninggalan Sunan Kalijaga—ikut serta dalam kirab. Bendhe dimasukkan dalam sebuah kotak berlapis kain putih dan digotong empat pemuda yang berperan sebagai manggala yudha. Kasi Pemerintahan Desa, Evien Hidayanto, yang memimpin rombongan ini.

Malamnya, selepas Isya, dihelat pentas wayang yang malam itu menghadirkan dalang Ki Anom Dwijo Kangko dari Surakarta. Pagelaran wayang ini menyedot antusiasme masyarakat untuk menyaksikannya. Sebelum pentas wayang, digelar prosesi penyerahan bendhe pusaka oleh Kasi Pemerintahan Desa, Evien Hidayanto, kepada Kepala Desa Sugihmanik, Imam Santoso. Setelahnya, dilakukan pembacaan sejarah ringkas asal-usul Desa Sugihmanik oleh tokoh masyarakat yang juga mantan kades Sugihmanik, Istiyanto.

  • Gunungan hasil bumi berupa buah-buahan dan sayuran juga ikut memeriahkan Kirab Budaya Merti Desa, Desa Sugihmanik
  • Kirab budaya di Desa Sugihmanik dalam rangka sedekah bumi 2023
  • Kirab budaya di Desa Sugihmanik dalam rangka sedekah bumi 2023

Napak Tilas Jejak Sunan Kalijaga

Semua prosesi sedekah bumi di Desa Sugihmanik bermaksud untuk napak tilas kisah asal-usul Desa Sugihmanik, khususnya yang berkaitan dengan jejak Sunan Kalijaga dan para pendherek-nya.

Diceritakan, suatu saat, rombongan Sunan kalijaga dalam misi pencarian kayu sirap dan saka untuk pembangunan Masjid Demak sampai di suatu perkampungan pinggir hutan, yang konon perkampungan itu bernama “Matamu”. Rombongan berhenti untuk beristirahat dan melaksanakan salat.

Pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono, dalam sebuah kesempatan menceritakan kepada penulis bahwa setelah salat, Sunan Kalijaga pergi memeriksa hutan di sekitarnya. Ternyata di sebelah selatan kampung Matamu, terdapat kawasan hutan jati yang pohonnya lurus-lurus dan berusia tua. Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan para santri untuk menebang pohon-pohon jati itu. Beberapa hari kemudian, tampak genting sirap berjajar rapi di pinggir hutan. Sunan Kalijaga senang melihat genting-genting sirap itu, sehingga Sunan Kalijaga memberi nama hutan itu ”Hutan Jati Sirap”.

Suatu hari, Sunan Kalijaga memerintahkan para santrinya untuk membuat surau. Siang dan malam surau tersebut dikerjakan para santri, sehingga tidak lama kemudian surau itu pun berdiri. Sunan Kalijaga juga memerintahkan untuk dibuatkan kentongan dan bedug. Pergilah beberapa orang santri mencari kayu, yang akan dibuat kentongan dan bedug. 

Konon, kayu yang diperoleh terlalu panjang, hingga Sunan Kalijaga memerintahkan memotongnya menjadi dua. Bagian ujung dibuat bedug dan dipasang di surau yang baru didirikan. Sedangkan bagian pangkalnya juga dibuat bedug, yang dipersiapkan dipasang di Masjid Agung Demak nantinya. 

Setelah surau lengkap dengan bedug dan kentongan selesai didirikan, Sunan Kalijaga masih punya keinginan dibuatkan sebuah balai. Balai itu akan digunakan sebagai tempat mengajar para santri, serta akan digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Balai didirikan di atas tanah agak tinggi. Dinding dan lantainya terbuat dari lembaran kayu jati tebal, serta atapnya dibuat dari genting sirap. Karena balai itu bentuknya memanjang, para santri memberi nama “Balai Panjang”.

Konon ketika itu datang musim kemarau, sehingga mata air dan sumur penduduk kering. Sunan Kalijaga sangat prihatin melihat hal itu. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu agak jauh dari Balai Panjang, memohon ampun kepada Allah SWT dan memanjatkan doa agar perkampungan Matamu terhindar dari bahaya kekeringan. 

Setelah selesai berdoa, tiba-tiba dari bawah batu terdengar suara ikan berenang. Mendengar suara itu, diperintahlah beberapa orang santri mengangkat batu besar yang tadi didudukinya. Ternyata, di bawah batu terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Di dalam telaga ada beberapa ekor ikan palung yang sedang berenang di air yang sangat jernih. 

Air dalam telaga memancar keluar, disertai riak-riak yang berkilauan seperti manik-manik. Melihat riak air yang keluar dari telaga seperti butiran manik, Sunan Kalijaga berkenan mengganti nama perkampungan “Matamu” menjadi perkampungan “Sugihmanik”. 

Batu Betuah Petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga
Batu Betuah Petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Sugih artinya kaya, manik artinya air yang berkilau bak manik-manik. Karena telaga itu berjasa menolong penduduk dari kekeringan, Sunan Kalijaga kemudian memberi nama telaga itu dengan nama “Sendang Sentono Dalem”. Sekarang lebih akrab disebut sebagai “Sendangsari” karena letaknya berada di Dusun Sendangsari, Desa Sugihmanik.

Karena suara ikan palung membuat Sunan Kalijaga dapat menemukan telaga, ia kemudian berpesan, yang intinya melarang penduduk Sugihmanik mengonsumsi ikan palung. Hingga saat ini, larangan itu ditaati oleh masyarakat Desa Sugihmanik. 

Setelah kebutuhan genting sirap tercukupi, para santri memikulnya untuk dibawa ke Demak. Namun sampai di tengah perjalanan, barulah ingat bahwa bendhe pusaka milik Sunan Kalijaga tertinggal. Ada seorang santri berniat mengambil bendhe tersebut, tetapi dicegah oleh Sunan Kalijaga dengan berkata: ”Wis ben bendhe kuwi keri ana Kampung Sugihmanik, mergo mbesuk dukuh kuwi bakal dadi desa sing rame” (Biarkanlah bendhe itu tertinggal di kampung Sugihmanik, karena kelak pedukuhan itu akan jadi desa yang ramai). Ucapan Sunan Kalijaga itu terbukti. Saat ini Desa Sugihmanik sangat ramai dan padat penduduknya.

Bendhe peninggalan rombongan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih ada, disimpan oleh penduduk Sugihmanik. Akan tetapi bendhe tersebut sekarang sudah lapuk dan pecah, sehingga pada pelaksanaan tradisi sedekah bumi digunakanlah bendhe duplikatnya. Balai Panjang juga masih digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat setiap tahun sekali. Bedug yang dibuat para santri dulu juga masih ada, tersimpan dan terawat dengan baik hingga saat ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat dari Dekat Tradisi Sedekah Bumi Desa Sugihmanik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-dari-dekat-tradisi-sedekah-bumi-desa-sugihmanik/feed/ 0 40149
Festival Jerami, Pelengkap Daya Tarik Desa Wisata Banjarejo  https://telusuri.id/festival-jerami-pelengkap-daya-tarik-desa-wisata-banjarejo/ https://telusuri.id/festival-jerami-pelengkap-daya-tarik-desa-wisata-banjarejo/#respond Tue, 29 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36248 Desa Banjarejo—salah satu desa wisata di Kabupaten Grobogan—belum lama ini kembali menghelat Festival Jerami selama sepuluh hari sejak 30 September hingga 9 Oktober 2022. Ini merupakan perhelatan yang ketiga kalinya, perhelatan pertama pada tahun 2018...

The post Festival Jerami, Pelengkap Daya Tarik Desa Wisata Banjarejo  appeared first on TelusuRI.

]]>
Desa Banjarejo—salah satu desa wisata di Kabupaten Grobogan—belum lama ini kembali menghelat Festival Jerami selama sepuluh hari sejak 30 September hingga 9 Oktober 2022. Ini merupakan perhelatan yang ketiga kalinya, perhelatan pertama pada tahun 2018 dan yang kedua tahun 2019.

Festival Jerami sempat absen selama dua tahun karena pandemi COVID-19, yaitu pada tahun 2020 dan 2021. Seiring penyebaran virus corona yang mulai melandai, tahun 2022 Desa Banjarejo kembali bisa menyelenggarakannya. Kali ini, Festival Jerami #3 mengangkat tema “Peradaban Nusantara”. 

Festival Jerami merupakan festival yang di dalamnya mempertunjukkan  pelbagai patung berukuran raksasa yang terbuat dari jerami. Melimpahnya jerami seusai panen padi di Desa Banjarejo memantik ide penyelenggaraan festival ini. Sebagaimana helatan sebelumnya, pada Festival Jerami #3 kali ini juga menampilkan pelbagai patung berukuran raksasa. Ada 23 patung jerami dalam festival yang terselenggara di lapangan Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah itu.

Sesuai tema yang diusung, yakni Peradaban Nusantara, patung-patung yang ditampilkan melukiskan rangkaian perkembangan peradaban di Nusantara, sejak zaman prasejarah, zaman purba, masa kerajaan, era kolonial, hingga era modern. 

Patung Jerami Gajah Mada
Patung Gajah Mada, salah satu tokoh di era kejayaan Majapahit/Badiatul Muchlisin Asti

Patung Dewi Sri

Beberapa patung yang ditampilkan di antaranya merupakan replika dari fosil, karakter dewa-dewi, tokoh kerajaan, karakter hewan, kendaraan, dan aneka bentuk lainya. Salah satu patung yang tampak menonjol karena berukuran paling besar di antara patung-patung jerami lainnya adalah patung Dewi Sri—simbol kemakmuran dalam mitologi Jawa karena sosoknya yang lekat dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi. 

Patung Dewi Sri memiliki tinggi 7 meter dan lebar 2,5 meter. Tampak kokoh dan cantik, sehingga sepertinya patung ini paling banyak dijadikan sebagai spot atau latar foto oleh para pengunjung.  Selain patung Dewi Sri, ada juga patung Gajah Mada. Dalam historiografi Nusantara, Gajah Mada merupakan sosok panglima perang dan mahapatih yang sangat populer di era kejayaan Kerajaan Majapahit.  Sosok Gajah Mada populer dengan Sumpah Palapanya.

Dewi Sri Jerami
Berpose dengan latar belakang patung Dewi Sri/Badiatul Muchlisin Asti

Ada juga replika kereta kencana yang merupakan kereta kuda yang dulu jamak dijadikan sebagai alat transportasi andalan kaum bangsawan, di masa kerajaan maupun di masa kolonial. Ada juga pelbagai patung dengan karakter hewan seperti gajah, banteng, ular, dan tikus, rusa, dan lainnya. Berbagai patung atau replika fosil juga ditampilkan serta replika sepeda motor, monas, dan lain sebagainya.   

Pelbagai patung dan replika yang ditampilkan semuanya berbahan dasar jerami. Membuatnya tentu membutuhkan kemampuan seni tinggi, di samping juga menelan biaya yang tak sedikit. Untuk membuat 23 patung yang ditampilkan dalam Festival Jerami #3 menghabiskan setidaknya 10 ton jerami dan biaya mencapai puluhan juta rupiah.

Pesta Rakyat 

Festival Jerami #3 Desa Wisata Banjarejo tidak sekedar festival yang “menyulap” melimpahnya jerami menjadi aneka patung yang indah—yang menarik untuk dilihat, akan tetapi sepertinya juga didesain menjadi semacam “pesta rakyat”.

Oleh pihak panitia, perhelatan ini dilengkapi dengan aneka acara pendukung yang menjadi magnet bagi masyarakat luas untuk berkunjung dan menikmati pelbagai hiburan yang ditampilkan, selain tentu saja melihat dan mengambil dokumentasi dengan latar aneka patung jerami. Festival ini memang tidak gratis. Pengunjung harus membeli tiket. Tapi sepadan dengan hiburan yang disuguhkan. Pengunjung bisa memilih sendiri jenis hiburan yang dipilih sesuai yang agenda. Selama sepuluh hari,  panitia memang menampilkan aneka hiburan yang berbeda setiap harinya.

Seperti pada pembukaan festival, panitia menghadirkan Abah Lala—penyanyi dan pencipta lagu yang tengah naik daun karena popularitas lagu ciptaannya Ojo Dibandingke yang viral setelah dinyanyikan penyanyi cilik Farel Prayoga.  

  • Patung gajah jerami
  • Festival Jerami
  • Sepeda motor jerami

Di hari-hari selanjutnya, berturut-turut panitia menghadirkan penyanyi cover lagu yang juga lagi naik daun, Maulana Ardiansyah, dan juga Farel Prayoga—penyanyi cilik yang viral setelah sukses “menggoyang” Istana Negara. Dan masih banyak lagi hiburan lain yang ditampilkan.

Sayang, di balik riuh dan gempita masyarakat menikmati Festival Jerami #3 Desa Wisata Banjarejo, cuaca nampak sedang tidak bersahabat. Hujan yang sering mengguyur menjadi kendala tersendiri. Selain menjadi ‘penghalang’ sebagian masyarakat untuk datang, juga menjadikan lapangan tempat festival becek.

Namun, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, Festival Jerami #3 merupakan contoh baik (best practice) sebuah desa yang berhasrat menggeliatkan roda ekonomi melalui sebuah daya tarik wisata berupa festival berbasis kearifan lokal (local wisdom).  

Festival Jerami ini bisa menjadi pelengkap daya tarik Desa Banjarejo—yang telah dikukuhkan sebagai desa wisata pada 2016 lalu, setelah pada Senin, 15 Agustus 2022, dua museum berbasis situs purbakala yaitu Museum Banjarejo dan Museum Situs Gajahan Sendang Gandri yang berada di Desa Banjarejo diresmikan oleh Bupati Grobogan, Sri Sumarni.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Festival Jerami, Pelengkap Daya Tarik Desa Wisata Banjarejo  appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/festival-jerami-pelengkap-daya-tarik-desa-wisata-banjarejo/feed/ 0 36248
Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (3) https://telusuri.id/museum-masjid-agung-demak/ https://telusuri.id/museum-masjid-agung-demak/#respond Sat, 22 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35184 Berkunjung ke Masjid Agung Demak tak lengkap rasanya bila tak sekalian singgah ke Museum Masjid Agung Demak yang masih satu kompleks dengan lokasi masjid. Letaknya di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak atau sebelah utara...

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung ke Masjid Agung Demak tak lengkap rasanya bila tak sekalian singgah ke Museum Masjid Agung Demak yang masih satu kompleks dengan lokasi masjid. Letaknya di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak atau sebelah utara persis situs kolam wudu bersejarah.

Museum Masjid Agung Demak berdiri di atas lahan seluas 16 meter persegi, dibangun dengan anggaran mencapai Rp1,1 miliar yang berasal dari APBD Demak dan sisanya dari Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Masjid Agung Demak. Di dalam museum tersimpan koleksi benda-benda bersejarah peninggalan Walisongo dan Masjid Agung Demak yang jumlahnya mencapai 60 koleksi.

Museum ini buka dari Senin hingga Minggu pada jam kerja. Tak ada tiket masuk alias gratis, tapi pengunjung dianjurkan untuk berinfak seikhlasnya di kotak infak yang telah disediakan. Benda-benda bersejarah apa saja yang dapat kita lihat di Museum Masjid Agung Demak? Dari 60-an koleksi, berikut ini di antaranya.

Maket Masjid Demak

Museum Masjid Agung Demak
Maket Masjid Demak 845-1864/Badiatul Muchlisin Asti

Maket atau miniatur Masjid Agung Demak 1845–1864 M tersimpan di Museum Masjid Agung Demak. Maket itu konon aslinya dibuat oleh Sunan Kalijaga—yang memang ditunjuk sebagai arsitek pembangunan Masjid Agung Demak. Termasuk dalam penentuan kiblat masjid yang konon dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Soal kiblat ini, pada abad ke-18 M (Masjid Agung Demak berdiri pada abad ke-15 M), pernah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari—mufti Kerajaan Banjar dan penulis Kitab Sabilal Muhtadin—melawat ke Tanah Jawa dan menyelidiki pembuatan Masjid Demak, bahkan masjid-masjid di seluruh Jawa. Maka, beliau menyimpulkan bahwasannya masjid yang benar-benar tempat mihrabnya menghadap kiblat adalah Masjid Demak.

Menurut Zainal Abidin bin Syamsudin dalam buku Fakta Baru Walisongo (2017), demikian itu karena kepiawaian para sunan sebagai ahli dalam ilmu falak (astronomi).

Saka Guru Peninggalan Para Wali

Museum Masjid Agung Demak
Saka guru Masjid Agung Demak yang asli/Badiatul Muchlisin Asti

Di museum juga tersimpan empat saka guru (tiang penyangga) bagian bangunan induk Masjid Agung Demak yang asli. Empat saka guru itu adalah peninggalan empat wali, yaitu Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Ampel (Surabaya), dan Sunan Kalijaga (Demak).

Saka guru yang saat ini menyangga bangunan induk Masjid Agung Demak adalah replikanya, di mana formasi tata letak keempat saka guru tersebut adalah sebagai berikut: bagian barat laut, yakni saka guru buatan Sunan Bonang; bagian barat daya, yakni saka guru buatan Sunan Gunung Jati; bagian tenggara, saka guru buatan Sunan Ampel; dan bagian timur laut, saka guru buatan Sunan Kalijaga.

Pintu Bledeg Ki Ageng Selo

Museum Masjid Agung Demak
Pintu bledeg peninggalan Ki Ageng Selo, salah satu murid Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Pintu bledeg adalah daun pintu berukir peninggalan salah satu murid Sunan Kalijaga yang bernama Ki Ageng Selo (Grobogan) yang dibuat pada sekitar tahun 1466 M atau 887 H. Daun pintu terbuat dari kayu jati berukir tumbuh-tumbuhan, jambangan, sejenis mahkota, dan kepala binatang mitos dengan mulut bergigi yang terbuka.

Menurut cerita rakyat yang berkembang, kepala binatang tersebut menggambarkan petir yang konon pernah ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Karena itulah orang-orang menamakan pintu itu sebagai pintu bledeg dan merupakan candra sengkala yang berbunyi nogo mulat saliro wani, yaitu tahun 1388 Saka atau tahun 1466 Masehi atau 887 Hijrah.

Daun Pintu Makam Kesultanan 

Pintu makam kesultanan berangka tahun 1710 M ini masih terlihat utuh dan indah dengan ragam ukir suluran dan bunga pada bagian tengah pintu. Hanya saja kusen-kusennya, yang berada di samping dan atasnya memang terlihat sudah rusak dan tampak sangat tua. 

Bedug dan Kentongan Wali Abad XV

Museum Masjid Agung Demak
Bedug wali abad XV/Badiatul Muchlisin Asti

Bedug dan juga kentongan merupakan properti hasil kreasi budaya para wali yang menjadi sarana untuk menginformasikan kepada masyarakat akan masuknya waktu salat. Bedug dan juga kentongan yang tersimpan di Museum Masjid Agung Demak tertulis merupakan peninggalan abad XV.

Gentong Kong dari Dinasti Ming

Museum Masjid Agung Demak
Guci peninggalan Dinasti Ming, hadiah dari Putri Campa pada abad XIV/Badiatul Muchlisin Asti

Gentong kong berupa guci keramik peninggalan Dinasti Ming jumlahnya ada 3 buah. Merupakan hadiah dari Putri Campa pada abad XIV. Tinggi guci 90 cm dan garis tengahnya 100 cm. Guci milik Kesultanan Demak itu dulu digunakan sebagai penampung air untuk memasak.

Kap Lampu Peninggalan Pakubuwono ke-1 dan Kayu Tatal Buatan Sunan Kalijaga

Museum Masjid Agung Demak
Kap lampu peninggalan Paku Buwono ke-1/Badiatul Muchlisin Asti

Kap lampu yang ada di Museum Masjid Agung Demak tertulis tahun 1710 M. Merupakan peninggalan Pakubuwono ke-1.

Sunan Kalijaga dalam membuat salah satu tiang penyangga (saka guru) bangunan induk Masjid Agung Demak tidak menggunakan kayu utuh, namun serpihan kayu yang kemudian dikenal dengan nama saka tatal atau kayu tatal. Baik tiang penyangganya maupun beberapa serpihan kayu tatal itu kini tersimpan di Museum Masjid Agung Demak.

Kitab Suci Kuno Al-Quran 30 Juz Tulisan Tangan

Museum Masjid Agung Demak
Al-Quran kuno tulisan tangan/Badiatul Muchlisin Asti

Menurut cerita, Al-Quran bertuliskan tangan 30 juz itu ditemukan di bawah atap (bangunan atas) ketika Masjid Agung Demak sedang dipugar. Koleksi kitab suci kuno Al-Quran 30 Juz tulisan tangan tersebut disimpan di dalam lemari pajang kaca, dengan pengawet alami di dekatnya.

Tafsir Al-Quran Juz 15-30 Karya Sunan Bonang

Tafsir Sunan Bonang Juz 15 s/d 30 yang tersimpan di Museum Masjid Agung Demak ini tertulis selesai ditulis pada saat terbitnya matahari (waktu dhuha) hari Sabtu, tanggal 20 bulan Syakban tahun 1000 H. Sebuah sumber menyebutkan, kitab ini adalah satu harta kaum muslim Jawa yang selamat dari ‘perampokan’ manuskrip oleh Raffles.

Batu Umpak Andesit

Batu umpak andesit adalah batu-batuan yang diambil dari Majapahit. Fungsinya sebagai pengganjal tiang agar tidak keropos, sebab keadaan tanah di kawasan Demak pada waktu itu masih banyak yang becek (rawa-rawa).

***

Itulah beberapa koleksi yang bisa kita lihat di Museum Masjid Agung Demak, yang bisa mengantarkan imajinasi kita ke masa lampau, saat majelis dakwah Walisongo masih hidup dan gigih menyiarkan dakwah Islamiyah ke segenap penjuru tanah Jawa.

Sejenak menikmati dan menyelami berbagai koleksi benda-benda bersejarah di Museum Masjid Agung Demak menjadi penutup lawatan ke Demak. Semoga bermanfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-masjid-agung-demak/feed/ 0 35184
Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (2) https://telusuri.id/masjid-agung-demak/ https://telusuri.id/masjid-agung-demak/#respond Fri, 21 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35185 Setelah berziarah ke makam Sunan Kalijaga, maka Masjid Agung Demak adalah destinasi lawatan selanjutnya yang tak boleh dilewatkan. Jaraknya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Hanya sekitar tiga kilometer saja. Masjid Agung Demak...

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah berziarah ke makam Sunan Kalijaga, maka Masjid Agung Demak adalah destinasi lawatan selanjutnya yang tak boleh dilewatkan. Jaraknya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Hanya sekitar tiga kilometer saja.

Masjid Agung Demak merupakan masjid bersejarah yang didirikan oleh Walisongo sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Kini menjadi wisata religi ikonik di Demak yang banyak menyedot peziarah dari berbagai penjuru daerah. 

Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Letaknya persis di barat Alun-alun Kota Kabupaten Demak. Masjid Agung Demak termasuk masjid tertua di Indonesia yang didirikan oleh Walisongo.

  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak

Kapan Masjid Agung Demak didirikan? Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menyebutkan, setengah riwayat mengatakan bahwa masjid wali yang bersejarah itu didirikan pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi bertepatan dengan tanggal 1 Dzulqaidah tahun Jawa 1428.

Akan tetapi di samping itu ada pula yang berpendapat lain mengenai tahun berdirinya Masjid Agung Demak, di antaranya pendapat yang menyatakan bahwa Masjid Agung Demak didirikan pada tahun Saka 1401, berdasarkan gambar bulus (kura-kura) yang terdapat di dalam pengimaman masjid. Gambar bulus diartikan: kepala bulus berarti angka satu (1); kaki 4 berarti angka empat (4); badan bulus berarti angka nol (0); dan ekor bulus berarti angka satu (1).

Biarlah soal kapan persisnya Masjid Agung Demak didirikan oleh Walisongo menjadi domain dan perdebatan para sejarawan. Yang jelas, Masjid Agung Demak didirikan pada sekitar abad ke-15 di masa Raden Patah—raja pertama dari Kesultanan Demak. 

Masjid ini memiliki keunikan yang dilekatkan dengan eksistensi  Walisongo. Dalam buku 100 Masjid Terindah Indonesia yang diterbitkan oleh PT Andalan Media (2011), Masjid Agung Demak masuk di dalamnya.

Disebutkan dalam buku tersebut, bangunan Masjid Agung Demak kemungkinan merupakan tonggak arsitektur yang menjadi ciri khas bangunan masjid Nusantara, yakni atap limas bersusun tiga layaknya atap rumah joglo dan bentuk ruangan yang mirip pendopo jika dilihat dari luar.

Disebutkan pula, sesuai dengan waktu pembangunannya, material kayu mendominasi bangunan masjid. Dengan dihiasi oleh ukiran-ukiran indah, kayu-kayu tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati secara visual. Selain bangunan masjid yang indah, berikut ini beberapa fakta historis jejak Walisongo yang dapat kita lihat dan telusuri saat melawat ke Masjid Agung Demak:

Arsitektur Bangunan yang Tidak Berubah Sejak Didirikan

Salah satu keunikan dari Masjid Agung Demak adalah corak arsitektur bangunannya yang tidak mengalami perubahan signifikan sejak didirikan hingga sekarang. Bangunan masjid ini, sebagaimana masjid lainnya, terbagi dalam dua bagian yakni bagian bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Adapun bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Sedang atap masjidnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut saka majapahit. Atap limas masjid terdiri dari tiga bagian yang konon menggambarkan: iman, Islam, dan ihsan.

  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak

Perhatikan foto-foto yang dikutip dari situs Collectie Nederland dan Wikipedia di atas. Dari waktu ke waktu hingga sekarang, corak arsitektur Masjid Agung Demak tidak mengalami perubahan signifikan. Hanya pada tahun  1932, tepatnya pada hari Selasa Pon, 2 Agustus, Masjid Agung Demak dilengkapi dengan menara masjid.

Letak menara berada di halaman depan sisi selatan Masjid Agung Demak. Konstruksinya terbuat dari baja siku, kaki menara berukuran 4 x 4 meter serta tinggi 22 meter. Atap menara berbentuk kubah dengan hiasan bulan sabit serta lengkungan-lengkungan yang ada pada dindingnya.

Dalam buku berjudul Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak & Grebeg Besar yang ditulis Sugeng Haryadi (2003) menyebutkan, di bagian atas menara terdapat sebuah ruangan berbentuk segi delapan berdinding kayu atau papan dan atap bordes  terbuat dari sirap tipis.

Saka Guru Peninggalan Para Wali

Di bagian bangunan induk Masjid Agung Demak kita akan mendapati empat tiang utama yang disebut saka guru. Keempat saka guru tersebut merupakan peninggalan empat wali dari anggota Walisongo, yakni Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Ampel (Surabaya), dan Sunan Kalijaga (Kadilangu, Demak).

Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal,  yang merupakan peninggalan dari Sunan Kalijaga. Saka guru yang saat ini ada di Masjid Agung Demak tidak asli alias hanya replika. Bekasnya yang asli dapat kita lihat di Museum Masjid Agung Demak yang berada satu kompleks dengan Masjid Agung Demak.

Saka Majapahit

Disebut saka majapahit karena delapan buah saka guru itu merupakan hadiah dari Kerajaan Majapahit yang diboyong oleh Raden Patah setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara.

Di samping itu terdapat surya majapahit, yakni gambar hiasan segi delapan yang sangat populer pada era Kerajaan Majapahit, yang dibuat sekitar tahun 1479. Sebuah artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang disebut maksurah tampak mendominasi keindahan ruang dalam masjid. 

  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak

Situs Kolam Wudu Bersejarah

Di kompleks Masjid Agung Demak juga kita dapati sebuah situs kolam wudu bersejarah yang berada di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak. Kolam wudu itu bersejarah karena dulu di zaman para wali, kolam itu digunakan masyarakat untuk mencuci kaki dan berwudhu sebelum masuk ke masjid untuk melaksanakan shalat dan kegiatan lainnya.

Makam Raden Patah

Di dalam kompleks Masjid Agung Demak juga kita akan mendapati beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak, termasuk di antaranya adalah Raden Patah yang merupakan raja pertama Kesultanan Demak. Makamnya berbentuk kijing sederhana dari bahan pualam kuning di bagian luar tungkub makam Sultan Trenggono.

Batu pualam kuning yang dijadikan kijing makam Raden Patah adalah untuk menggantikan batu andesit yang lama, yang sesungguhnya justru menghilangkan kesan kekunoan makam pendiri Kesultanan Demak tersebut.

Di sebelah makam Raden Patah, terletak makam istrinya, makam Adipati Unus, makam Pangeran Sekar Sedo Lepen, Pangeran Mekah, Pangeran Ketib, dan makam adik kandungnya, Raden Kusen Adipati Terung.

Masjid Agung Demak
Kompleks makam Raden Patah/Badiatul Muchlisjn Asti

Siapakah Raden Patah? Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya—Raja Majapahit terakhir. Raden Patah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak yang saat berkuasa bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. 

Selain sebagai seorang sultan, Raden Patah juga populer sebagai seorang negarawan, ahli hukum, ahli ilmu kemasyarakatan, seniman, dan juga ulama. Menurut Agus Sunyoto (2017), Raden Patah berperan penting dalam mengembangkan kesenian wayang agar sesuai dengan ajaran Islam. 

Dalam ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lainnya, Raden Patah berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya dan kemudian dinikahkan dengan putrinya bernama Dewi Murtasimah. Dalam struktur majelis dakwah Walisongo, sebuah sumber menyebutkan, Raden Patah termasuk anggota Walisongo angkatan kelima. 

Sehingga Raden Patah tidak hanya seorang raja, namun juga seorang ulama dan wali. Hanya saja penting dicatat, selama ini banyak yang mengira bahwa Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena di zaman kesultanan inilah Islam tersebar secara elegan dan masif di seluruh penjuru Nusantara. 

Namun nyatanya Kesultanan Demak bukanlah kerajaan Islam pertama di Jawa. Bertolak dari sisa-sisa artefak dan ideofak yang dapat dilacak, sebagaimana yang disampaikan oleh sejarawan NU Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2017), ditemukan fakta bahwa kerajaan Islam yang awal di Jawa bukanlah Demak, melainkan Lumajang yang disusul Surabaya, Tuban, Giri, dan baru Demak. Keislaman Lumajang paling sedikit menunjuk kurun waktu sekitar abad 12 Masehi, yaitu saat Kerajaan Singasari di bawah kekuasaan Sri Kertanegara.

Masjid Agung Demak
Bedug di Masjid Agung Demak/Badiatul Muchlisin Asti

Bila kita berkunjung ke Masjid Agung Demak, setidaknya fakta-fakta jejak historis Walisongo itu yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan. Masih banyak lagi benda-benda bersejarah lainnya, antara lain pintu bledheg, mimbar khutbah, dan sebagainya—yang sebagian besar dapat kita saksikan di Museum Masjid Agung Demak yang didirikan dalam rangka untuk melestarikan benda-benda bersejarah terkait Masjid Agung Demak dan Walisongo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-agung-demak/feed/ 0 35185
Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1) https://telusuri.id/melawat-ke-demak-menyusuri-jejak-walisongo/ https://telusuri.id/melawat-ke-demak-menyusuri-jejak-walisongo/#respond Thu, 20 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35314 Menyebut Demak, maka yang terlintas adalah wisata religinya. Sulit menyebut wisata lainnya di Kota Wali itu selain wisata religi yang berupa makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak. Kedua destinasi wisata itulah yang paling masyhur...

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Menyebut Demak, maka yang terlintas adalah wisata religinya. Sulit menyebut wisata lainnya di Kota Wali itu selain wisata religi yang berupa makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak. Kedua destinasi wisata itulah yang paling masyhur di Demak. Wisatawan—atau lazim disebut peziarah, datang dari berbagai daerah di seantero Indonesia, terutama dari Jawa dan Madura.  

Di Demak sendiri, Makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak menjadi semacam “paket wisata” yang tak terpisahkan. Bila ke Demak, para peziarah hampir bisa dipastikan melawat ke keduanya. Apalagi dari sisi jarak tidak terlalu jauh alias sangat dekat, dan dari sisi historis saling berkelindan erat.

Makam Sunan Kalijaga terletak di Kelurahan Kadilangu, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak.  Hampir setiap hari dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Apalagi di bulan-bulan tertentu seperti Rajab, Syakban, dan Muharram, makam Sunan Kalijaga hampir selalu disesaki oleh para peziarah. 

Ramainya peziarah tak bisa dipisahkan dari sosok Sunan Kalijaga sebagai salah satu anggota majelis dakwah walisongo yang fenomenal. Sosok Sunan Kalijaga menjadi daya pikat paling magnetis bagi para peziarah untuk mengunjungi makamnya. 

  • Makam Sunan Kalijaga
  • Masjid Sunan Kalijaga

Mengenal Sosok Sunan Kalijaga

Siapakah Sunan Kalijaga? Dibanding dengan wali yang lain di majelis dakwah Walisongo, nama Sunan Kalijaga boleh dibilang paling fenomenal. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid—putra dari Ki Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. 

Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menulis, di antara wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar. Seorang pemimpin, pejuang, muballigh, pujangga, dan filsuf. Daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena beliau adalah terhitung seorang reizende muballigh (mubalig keliling). Jikalau beliau bertablig, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.

Sementara Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2017) menulis, Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Walisongo yang mengembangkan dakwah Islam melalui seni dan budaya. Sunan Kalijaga termasyhur sebagai juru dakwah yang tidak saja piawai mendalang, melainkan dikenal pula sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan yang dimasuki ajaran Islam. Melalui pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh keramat oleh masyarakat dan dianggap sebagai wali pelindung Jawa.

Dari cerita legenda yang masyhur, nama Kalijaga yang disematkan kepadanya konon bermula dari perintah gurunya—Sunan Bonang, untuk bertapa di pinggir sebuah sungai. Lamanya bertapa hingga semak belukar tumbuh dan merambati badannya. Dari situlah, kemudian beliau disebut Kalijaga yang artinya “menjaga kali atau sungai”.

Namun ada pula yang berpendapat beda—dan relatif lebih logis. Menurut pendapat ini, nama Kalijaga hanyalah simbolisme dan bukan makna yang sebenarnya. Nama Kalijaga berasal dari kata kali yang berarti sungai atau air yang mengalir, dan kata jaga yang berarti menjaga. Jadi, Kalijaga berarti “penjaga sungai atau aliran air” yang dimaknai sebagai “penjaga aliran kepercayaan—yang hidup di masyarakat”. 

Masjid Sunan Kalijaga
Masjid Sunan Kalijaga di kadilangu Demak, diperkirakan tahun 1910 via universiteitleiden.nl

Realitanya, seperti dinyatakan oleh Umar Hasyim dalam buku Sunan Kalijaga (1982), sebagai seorang mubalig, Sunan Kalijaga tidak menunjukkan sikap antipati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama Islam. Tetapi dengan kebijaksanaan, aliran-aliran kepercayaan yang hidup dalam masyarakat itu, dihadapi atau digauli dengan sikap penuh rasa toleransi yang tinggi.

Dalam cerita disebutkan, Sunan Kalijaga-lah satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan dan aliran kepercayaan yang hidup di kalangan rakyat. Sehingga pelbagai strategi dakwahnya dikenal paling “membumi”, antara lain melalui sarana seni dan budaya.

Meski begitu fenomenal, namun tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, kecuali diyakini jasadnya dikebumikan di Kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak—kira-kira berjarak tiga kilometer dari Masjid Agung Demak. 

Sejumlah sumber menyebutkan, Sunan Kalijaga termasuk berusia lanjut. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir tahun 1440-an. Dalam masa hidupnya, beliau mengalami empat kali masa pemerintahan, yakni zaman akhir Kerajaan Majapahit tahun 1478, zaman Kesultanan Demak 1478-1546, Kesultanan Pajang 1560-1580, dan awal Mataram Islam.

Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, Sunan Kalijaga pernah datang di Mataram saat Panembahan Senopati telah mengangkat dirinya menjadi sultan. Kalau informasi ini benar, berarti usia Sunan Kalijaga mencapai sekitar 140 tahun.  

  • Masjid Sunan Kalijaga
  • Masjid Sunan Kalijaga

Berziarah ke Makam Sunan Kalijaga

Sebenarnya, terdapat dua versi makam Sunan Kalijaga. Makam pertama terletak di Kelurahan Kadilangu, Demak—sebagaimana yang sudah masyhur; dan yang kedua adalah di Dusun Soko, Desa Medalem, Kecamatan Senori, Tuban. Klaim makam Sunan Kalijaga di Tuban merupakan pendapat dari KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur—presiden ke-4 RI—berdasarkan firasat yang diperolehnya.

Terlepas dari mana yang lebih valid dari kedua versi itu, yang pasti, versi makam Sunan Kalijaga di Kadilangu lebih masyhur dan paling banyak dikunjungi para peziarah hingga kini. Selain itu, laman resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah juga menyebut lokasi yang diyakini sebagai makam Sunan Kalijaga ada di Kadilangu Demak.

Di Kadilangu, apabila kita masuk lewat gerbang utama menuju kompleks Makam Sunan Kalijaga, maka kita akan memasuki lorong beratap rapi sepanjang sekira 160 meter yang di kanan kirinya dipenuhi kios pedagang. Gerbang utama itu sendiri terletak di sisi selatan masjid atau dekat kolam Segaran peninggalan Sunan Kalijaga.

Di kios-kios yang terdapat di lorong menuju makam, dijual aneka oleh-oleh dan buat tangan seperti kaos bertuliskan Sunan Kalijaga, aneka tasbih, peci, baju koko, blangkon, mainan anak, serta berbagai kuliner sebagai oleh-oleh, baik yang khas Demak atau pun khas daerah sekitarnya.

Begitu memasuki kompleks makam, kita akan mendapati berbagai pusara tokoh-tokoh yang terkenal dalam cerita seputar Walisongo seperti makam Pangeran Haryo Penangsang, Empu Supo, dan lain sebagainya. 

Masjid Sunan Kalijaga
Selo atau batu tempat duduk Sunan Kalijaga saat memberi wejangan kepada para muridnya/Badiatul Muchlisin Asti

Sebelum sampai ke lokasi makam Sunan Kalijaga, kita juga akan menjumpai sebuah batu yang dikelilingi tembok pendek. Keterangan yang ada menyebutkan bahwa batu itu merupakan Selo Palenggahanipun Kanjeng Sunan Kalijaga. Artinya selo atau batu yang dulu digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai tempat duduk, yaitu saat memberi taushiyah atau wejangan kepada para muridnya.

Adapun makam Sunan Kalijaga, sebagaimana makam Walisongo pada umumnya, berada dalam bangunan tungkup berdinding tembok dengan hiasan dinding terbuat dari kayu berukir. Di sekeliling makam itulah para peziarah melantunkan serangkaian dzikir dan doa.

Di sisi utara makam yang sekaligus jalur keluar yang dilewati, terdapat gentong peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut informasi, terdapat dua gentong peninggalan Sunan Kalijaga, yakni padasan (tempat air wudlu) dan pedaringan (tempat menyimpan beras). Di dua gentong itu diisi air yang kemudian dituangkan dalam gelas-gelas sebagai minum para peziarah.

Airnya diambil dari sungai yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi makam, kemudian diendapkan di bak penampungan, lalu disalurkan ke dalam gentong lewat mesin filter untuk disterilisasi agar layak minum.

Masjid Peninggalan Sunan Kalijaga

Bila kita berziarah ke makam Sunan Kalijaga, kita juga akan mendapati masjid peninggalannya. Letak masjid berada di sisi timur kompleks Makam Sunan Kalijaga. Menurut cerita, dulunya masjid ini dibangun oleh Sunan Kalijaga dalam bentuk langgar (musala). Sayangnya, tak diketahui pasti kapan Sunan Kalijaga mendirikannya. Yang jelas, Sunan Kalijaga membangun langgar sebelum Masjid Agung Demak berdiri. Bahkan menurut cerita, corak bangunan Masjid Agung Demak diilhami oleh bangunan langgar yang didirikan oleh Sunan Kalijaga.

Secara arsitektur, bangunan awal Langgar Sunan Kalijaga memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Demak. Bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan bersusun tiga yang melambangkan iman, Islam, dan ihsan. Gentingnya terbuat dari kepingan kayu jati (sirap) dan memiliki empat saka guru (tiang penyangga utama bangunan) yang terbuat dari kayu jati pilihan.

Langgar Sunan Kalijaga mengalami perluasan dan pengembangan menjadi masjid karena tuntutan jumlah jemaah yang semakin banyak. Pengembangan dilakukan di masa Pangeran Wijil—putra Sunan Kalijaga. Entah Pangeran Wijil yang mana, tak ada data yang bisa dirujuk. Hanya saja, dari prasasti yang tersimpan di masjid, diketahui bahwa Masjid Sunan Kalijaga direnovasi pertama kali pada tahun 1564 M oleh Pangeran Wijil.

Sumur Jolotundo
Sumur Jolotundo, sumur keramat peninggalan Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Lalu pada tahun 1970, dilakukan renovasi besar-besaran. Bangunan induk yang aslinya berukuran 10 x 16 m mengalami perluasan dengan tetap mempertahankan saka guru atau tiang penyangga utama masjid. Dan pada tahun 1990, kembali dilakukan pembangunan fisik meliputi pembangunan tempat salat dan tempat wudhu perempuan yang dibuat terpisah dengan pria.

Selain masjid, jejak historis lainnya yang dapat kita jumpai saat berziarah ke makam Sunan Kalijaga adalah sebuah situs peninggalan Sunan Kalijaga berupa sumur keramat yang disebut dengan nama Sumur Jolotundo. Terletak sekira 200 meter di timur kompleks Makam Sunan Kalijaga atau timur Masjid Sunan Kalijaga. Hingga sekarang, air di sumur itu dipakai oleh warga dan peziarah untuk berbagai keperluan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melawat-ke-demak-menyusuri-jejak-walisongo/feed/ 0 35314
Nasi Kropokhan, Warisan Kuliner Kesultanan Demak https://telusuri.id/nasi-kropokhan-warisan-kuliner-kesultanan-demak/ https://telusuri.id/nasi-kropokhan-warisan-kuliner-kesultanan-demak/#respond Mon, 20 Dec 2021 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31699 Dalam peta kuliner Indonesia, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, boleh dikatakan tidak cukup diperhitungkan. Demak lebih tenar dengan destinasi wisata religinya. Kota Wali ini terdapat Masjid Agung Demak yang populer sebagai pusat penyebaran Islam pertama oleh...

The post Nasi Kropokhan, Warisan Kuliner Kesultanan Demak appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam peta kuliner Indonesia, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, boleh dikatakan tidak cukup diperhitungkan. Demak lebih tenar dengan destinasi wisata religinya. Kota Wali ini terdapat Masjid Agung Demak yang populer sebagai pusat penyebaran Islam pertama oleh Walisongo. Di kompleks masjid ini juga dilengkapi museum yang menyimpan pelbagai benda bersejarah terkait dakwah Walisongo.

Di Demak terdapat pula makam Sunan Kalijaga, tepatnya di Desa Kadilangu, Demak. Sunan Kalijaga termasuk anggota Walisongo paling populer dengan gaya dakwahnya yang membumi dengan masyarakat Jawa ketika itu.

Meski demikian, sebagaimana daerah lain, Demak juga menyimpan khazanah kuliner khas. Antara lain yang bisa disebut: nasi ndoreng, sup balungan, botok telur asin, dan asem-asem daging. Selain itu, sebagai kota penghasil buah belimbing yang cukup masyhur, Demak juga memiliki sejumlah kuliner olahan berbasis belimbing sebagai oleh-oleh, antara lain dalam bentuk manisan, sirup, dan koktail.

Satu lagi kuliner khas Demak yang mesti disebut karena memiliki nilai sejarah yang tinggi—namun  selama ini nyaris terlupakan. Kuliner itu bernama nasi kropokhan. Sejumlah sumber menyebutkan, hidangan berkuah ini merupakan warisan kuliner Demak sebagai menu favorit para bangsawan di Kesultanan Demak tempo dulu.  

Nasi kropokhan, sajian kuliner warisan Kesultanan Demak yang nyaris terlupaka
Nasi kropokhan, sajian kuliner warisan Kesultanan Demak yang nyaris terlupakan/Badiatul Muchlisin Asti

Menu Favorit Sultan Demak

Meski belum ada data valid yang bisa dirujuk, kecuali cerita turun-temurun, nasi kropokhan dipercaya sebagai menu kegemaran para sultan Demak ketika itu. Sehingga bila dirunut, maka nasi kropokhan sudah eksis sejak berabad lampau ketika Kesultanan Demak masih berjaya di sekitar abad ke-16. Sebagai menu kegemaran para bangsawan kerajaan, nasi kropokhan pun dipercaya sering dijadikan sebagai hidangan di acara-acara kerajaan.

Nasi kropokhan sendiri berupa nasi yang diberi kuah sayur bersantan yang berisi labu putih dan daging kerbau. Cita rasanya gurih, asam, dan segar, juga pedas. Taste asam pada kuah nasi kropokhan diperoleh dari elemen daun kedondong. Sedang tone pedasnya, diperoleh dari elemen cabai di dalamnya—yang biasanya dibiarkan utuh. Tingkat kepedasannya bisa diatur dari jumlah cabai sesuai selera.

Bahan utama nasi kropokhan adalah daging kerbau dan labu putih. Bumbu nasi kropokhan meliputi: bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jintan, dan lada. Sebagai pelengkap bumbu, ada daun jeruk, daun salam, laos, cabai, garam, gula pasir, santan, dan daun kedondong.

Dalam pengolahannya, daging kerbau direbus hingga empuk. Masukkan semua bumbu rempah yang telah dihaluskan agar meresap ke daging. Kemudian masukkan labu putih, daun kedondong, cabai utuh, dan santan. Untuk memperkuat rasa, bisa tambahkan sedikit gula pasir. Tunggu sekitar 30 menit dengan api sedang, dan sayur kropokhan siap dihidangkan.

Dalam penyajiannya, sayur kropokhan biasa disantap dengan nasi putih hangat. Bisa disajikan terpisah atau campur, yakni sepiring nasi diguyur kuah kropokhan lengkap dengan potongan labu putih dan daging kerbaunya. Nasi kropokhan pun siap disantap.

Pada zaman dahulu, daging kerbau pada nasi kropokhan diperuntukkan bagi para sultan dan kalangan bangsawan kerajaan. Adapun kulit kerbau diperuntukkan bagi masyarakat biasa. Agar sayur lebih banyak, maka dicampur dengan labu putih. Nama Kropokhan sendiri konon berasal dari kata kropoh yang artinya dicampur.

Nasi Kropokhan, Simbol Toleransi Islam dan Hindu

Bahan utama nasi kropokhan adalah labu putih—yang biasa tumbuh di daerah tropis, dan juga daging kerbau. Kenapa daging kerbau? Dugaan kuat, hal itu berkaitan erat dengan strategi dakwah Walisongo. 

Di masa-masa awal penyebaran Islam di tanah Jawa dengan pusat dakwahnya di Masjid Agung Demak, masyarakat Jawa, tak terkecuali Demak, masih banyak yang menganut agama Hindu yang meyakini sapi sebagai hewan yang sakral. Sehingga daging kerbau dipilih sebagai pengganti untuk bahan masakan agar tidak melukai perasaan umat Hindu.

Strategi serupa juga diterapkan oleh Sunan Kudus di wilayah dakwahnya, Kudus. Saat pertama kali merintis syiar dakwah Islam di Kudus, Sunan Kudus juga melarang umat Islam menyembelih sapi sebagai satwa sakral dalam doktrin agama Hindu. Tujuannya tak lain agar tidak melukai perasaan umat Hindu. 

Sebagai gantinya, daging kerbau dipilih sebagai bahan untuk membuat berbagai olahan masakan. Itulah rahasianya, hingga saat ini, di Kudus masih banyak dijumpai berbagai olahan kuliner berbahan daging kerbau seperti sate kerbau, soto kerbau, dan nasi pindang—yang proteinnya juga menggunakan daging kerbau. 

Nasi kropokhan sebagai warisan kuliner kesultanan Demak dan biasa dijadikan sebagai hidangan di acara-acara kerajaan tempo dulu, juga menggunakan daging kerbau. Boleh dibilang, penggunaan daging kerbau ini merupakan simbol toleransi umat Islam atas umat Hindu. Sehingga harmoni antar umat beragama dapat dengan mudah dicapai. Dengan cara itu pula, syiar Islam di tanah Jawa berkembang dengan pesat.

Pondok Ikan Demung, salah satu resto yang menyajikan menu nasi kropokhan
Pondok Ikan Demung, salah satu resto yang menyajikan menu nasi kropokhan

Berburu Nasi Kropokhan yang (Masih) Langka

Beberapa sumber menyebutkan, pada perkembangannya, nasi kropokhan bertransformasi menjadi hidangan yang disajikan pada acara-acara hajatan warga Demak. Hanya saja, menu ini kemudian seperti redup. Banyak warga Demak yang tak lagi mengenalnya. Sehingga nasi kropokhan ini nyaris tak pernah menjadi perbincangan sebagai (salah satu) kuliner pusaka Demak yang musti di-uri-uri atau dilestarikan.

Padahal nasi kropokhan ini sangat potensial dijenamakan sebagai ikon kuliner Kabupaten Demak, mengingat akar historisnya nyambung dengan posisi Demak sebagai Kota Wali. Ya, secara historis, nasi kropokhan terkait erat dengan Kesultanan Demak yang  merupakan pusat penyebaran Islam pertama di tanah Jawa oleh Walisongo.

Hingga saat ini, pengunjung dan wisatawan luar daerah masih kesulitan mendapati nasi kropokhan di Demak. Itu karena masih sangat sedikit warung atau rumah makan di Demak yang menyajikan kuliner ini. 

Tahun 2015, untuk pertama kalinya terdapat sebuah rumah makan yang mengangkat nasi kropokhan sebagai menu spesialnya. Rumah makan itu bernama “Rumah Makan Pawon Wolu” di Jalan Sultan Hadiwijaya 40, Kelurahan Mangunjiwan, Demak Kota. Rumah makan itu dikelola oleh Tatik Sulistijani, salah seorang anggota DPRD Demak ketika itu. Sayangnya, tak lama kemudian, tersiar kabar rumah makan itu tutup permanen.

Setelah itu, hingga saat ini masih sulit mencari rumah makan di Demak yang menyajikan menu nasi kropokhan. Salah satu dari sedikit warung makan yang menyediakan menu nasi kropokhan adalah “Warung Makan Seger Waras” yang beralamat di Jalan Bhayangkara Baru Demak, Kelurahan Bintoro, Demak. Warung ini terletak di seberang poli umum RSUD Sunan Kalijaga Demak.

Selain itu, ada satu lagi, yaitu Pondok Ikan Demung yang beralamat di Jalan Demung-Trengguli KM 1, Kerangkulon, Wonosalam, Demak. Pondok ikan ini awalnya menyajikan menu-menu serba ikan, karena pondok makan ini memang sekaligus merupakan wahana pemancingan. Belakangan, menu nasi kropokhan ditambahkan, sebagai salah satu upaya memperkenalkan menu khas Demak yang (nyaris) terlupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Nasi Kropokhan, Warisan Kuliner Kesultanan Demak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nasi-kropokhan-warisan-kuliner-kesultanan-demak/feed/ 0 31699