Denpasar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/denpasar/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Mar 2024 12:25:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Denpasar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/denpasar/ 32 32 135956295 Dilema Penyu dan Manusia (2) https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/ https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/#respond Wed, 28 Feb 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41256 Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk...

The post Dilema Penyu dan Manusia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk menjauhkan mereka dari bahaya. Alih-alih langsung dilepas begitu menetas, Pak Kadek memilih untuk membesarkan tukik-tukik itu terlebih dahulu. Dia melakukannya bukan tanpa alasan.

Menurutnya, membesarkan anak-anak penyu sebelum dirilis ke laut dapat memperkecil peluang mereka mati dimakan predator. “Tukik yang baru menetas, peluang hidupnya cuma satu per seribu,” jelasnya. Memang, ketika baru menetas, bayi penyu akan merangkak ke laut, berenang cepat-cepat—para ilmuwan menyebutnya swimming frenzy—menghindari mulut dan cakar predator. Oleh karena itu, mereka biasanya menetas saat malam, ketika pasir mendingin dan seolah berbisik pada mereka, “inilah saatnya.”

Selain itu, menurut Pak Kadek, ukuran penyu yang sudah dirasa pas memudahkan proses dokumentasi. “Biar kelihatan kalau difoto, jadi, kegiatan kami jelas,” imbuhnya.

Bagaimana mengatakannya, tetapi saya tidak sependapat. Saya pikir, penyu harus segera mencapai lautan begitu keluar dari cangkang telur. Terlalu banyak intervensi terhadap siklus hidup penyu dapat menjauhkan mereka dari sifat alaminya dan mengubah hidup mereka untuk selamanya. Oleh karena itu, bukankah metode pembesaran ini sangat tidak natural? Seakan bisa membaca pikiran saya, Pak Kadek menjelaskan pendapatnya.

“Penyu-penyu itu pernah kami beri makan berbagai macam dedaunan. Mereka bisa memilih mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Siapa yang mengajari? Bukankah itu insting?” jelasnya. Logika sederhana, tetapi saya masih sulit menerimanya. Saya pikir, persoalannya tak sesimpel itu. Saya pernah mengikuti pelatihan konservasi orang utan pada 2013 silam dan mendapati betapa sulit melepas hewan liar kembali ke habitatnya. Mereka harus dilatih supaya bisa menjalani hidupnya sebagai satwa liar. Lebih-lebih, mereka yang direnggut dari habitatnya sejak masa-masa awal hidupnya, seperti penyu-penyu ini.

Dilema Penyu dan Manusia (2)
Tempat penetasan telur-telur penyu/Asief Abdi

Mengasuh Tukik di Penangkaran

Hewan yang lahir dan hidup di penangkaran perlu diajari perkara keadaan di habitat alaminya. Penyu-penyu di tempat ini menghabiskan satu sampai dua tahun hidupnya di kolam-kolam dangkal, bubur ikan, dan jam makan rutin layaknya manusia. Banyak ahli meyakini, bahwa membesarkan tukik untuk merilisnya kemudian sama saja dengan merampas bayi-bayi itu dari masa-masa paling menentukan dalam hidup mereka. 

Saat merangkak ke laut, tukik tak sekadar bergerak. Mereka merekam lingkungan sekitar—imprinting, kata ilmuwan, mengingat koordinatnya, tekstur pasirnya—barangkali juga aromanya, untuk kembali saat waktunya bertelur kelak. Setelah mencapai lautan, mereka mengembangkan kemampuan paru-paru dan otot-ototnya untuk mengarungi dan menyelami samudra. Pelajaran yang jelas tak diberikan fasilitas penangkaran. 

Penyu yang menetas dan tumbuh di penangkaran melewatkan momen-momen penting itu. Besar kemungkinan mereka akan kesulitan hidup di lautan. Mereka terbiasa hidup di tempat yang kondisinya sama sekali berbeda dengan segara. Menurut saya, tanpa habituasi yang tepat, penyu-penyu itu tak akan bisa apa-apa usai dilepas. Kemampuan biologisnya tak berkembang seperti saudara-saudara liarnya. Karena sudah terbiasa dengan manusia, bisa-bisa mereka malah mendekati perahu nelayan dan meminta jatah tangkapan. Ada baiknya memasang alat pelacak dan mengamati kehidupan mereka usai dilepasliarkan. Dengan demikian, efektivitas cara tersebut tak bermodal keyakinan buta belaka.

Sebenarnya, teknik pembesaran telah lama digunakan dalam upaya konservasi penyu. Headstarting, begitu para ilmuwan Barat menyebutnya. Teorinya sederhana, semakin besar ukuran anak penyu, semakin besar pula kesempatannya sintas. Meski sudah banyak diterapkan, beberapa pihak meragukan metode ini lantaran belum ada penelitian yang dianggap cukup valid terkait efektivitasnya. Selain itu, kehidupan penyu di penangkaran jauh dari sifat alami penyu sehingga berpotensi mengubah perilaku dan menjadi sarana penularan penyakit. Lalu, sejauh mana batas intervensi manusia sebaiknya?

Emma Marris dalam bukunya, Wild Souls, menyampaikan kegelisahannya soal itu. Aktivitas manusia di muka bumi dan dampaknya yang masif telah melahirkan suatu tanggung jawab etik terhadap penghuni bumi lainnya. Menurutnya, manusia telah membentuk dunia yang ditinggali satwa liar kiwari. Oleh karena itu, ia percaya manusia punya “tugas” terhadap mereka. Permasalahannya, bagaimana menjaga bentuk tanggung jawab itu tetap seimbang, merawat otonomi mereka sekaligus tetap rendah hati? “Jika kita tak melakukan apa-apa, makhluk nonmanusia menderita. Akan tetapi, jika manusia berbuat terlalu banyak, yang akan terjadi malah dominasi dan opresi,” tulis dia.

Saya mendiskusikan persoalan ini dengan Veryl Hasan, kawan saya yang juga merupakan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unair. “Langsung lepas begitu menetas dan biarkan alam bekerja,” ujarnya. Sebuah artikel yang terbit di Marine Turtle Newsletter menyebut headstarting hanya tampak ampuh di permukaan, tetapi kenyataannya tidak. Artikel lain yang diterbitkan Turtle Foundation bahkan menyebut tindakan penangkaran yang membesarkan dan menarik pengunjung untuk melihat anak-anak penyu sebagai eksploitasi terhadap tukik.

Meski tampak bisa mengatasi persoalan susutnya populasi penyu, headstarting justru mengaburkan akar masalah yang dihadapi binatang itu, seperti perburuan, perdagangan liar, overfishing, polusi, dan perubahan iklim. Selama masalah-masalah tersebut tak selesai, memulihkan jumlah penyu di lautan sepertinya tak banyak berguna, hanya menyediakan lebih banyak karapaks bagi pemburu liar untuk dijarah. Tidak heran jika banyak pihak mengkritik praktik tersebut. Lebih-lebih jika penyu dijadikan objek wisata berlabel konservasi.

  • Dilema Penyu dan Manusia (1)
  • Dilema Penyu dan Manusia (2)

Antroposentrisme Wisata Penyu

Melihat letaknya yang berada di spot wisatawan, sulit untuk tidak berpikir bahwa penangkaran ini juga berfungsi menarik pengunjung. Seperti kebun binatang gratis dengan kotak donasi. Akibatnya, penyu-penyu itu lambat laun akan terbiasa dengan manusia. Tak ada yang mengajarkan mereka untuk menjauhi manusia. Saya bisa mengerti mengapa fasilitas semacam ini mendapat banyak sorotan para pemerhati satwa liar.

Profauna, organisasi yang getol mengampanyekan kesejahteraan satwa liar menyebut penangkaran penyu sebagai bisnis. Dalam situs resminya, mereka mengkritik praktik penangkaran penyu di Indonesia yang rata-rata dibangun dengan biaya minim untuk meraup untung. Profauna bahkan tidak menyarankan wisatawan untuk mengunjungi dan mendukung fasilitas tersebut. 

Wisata lepas penyu yang lazim di Bali saya pikir juga perlu direnungkan kembali. Lebih dari satu dekade lalu saya pernah melihat pelepasan tukik di Pantai Kuta. Masih segar di ingatan saya saat bayi-bayi rentan itu diwadahi baskom warna-warni untuk dilepas ke lautan. Seseorang dengan pengeras suara memberi aba-aba agar tak ada yang menghalangi jalan makhluk-makhluk kecil itu menjemput kebebasan. Mereka merangkak, sirip kecilnya mencengkeram pasir, menyambut ombak yang datang, dan hilang bersama gelombang.

Melepas penyu ke laut itu baik, saya tahu. Wisatawan yang ikut melepas tukik ke lautan pasti merasa telah melakukan hal yang benar. Tapi, benarkah? Setelah menetas, tukik akan berpacu dengan waktu. Jika dibiarkan terlalu lama di ember atau baskom demi menunggu waktu rilis yang tepat—atau rombongan wisatawan, energi yang seharusnya digunakan untuk mencapai lautan, melintasi terumbu karang, dan menghindari rahang-rahang lapar, justru akan habis. Akibatnya, saat hendak dilepas, bayi-bayi itu seperti mainan yang kehabisan baterai, menjadikan mereka semakin rentan di lautan. Semua ini membuat saya berpikir bahwa upaya yang sebelumnya saya kira “benar” ternyata tidak juga. Sesuatu yang dilakukan atas nama konservasi, nyatanya antroposentris. Tak cocok dengan pandangan deep ecology Arne Naess. Dan saya kaget saat mengetahui bahwa di tempat lain, yang terjadi malah lebih buruk.

Sepulang dari Bali saya mengobrol dengan kawan lama saya, Thobib Hasan alias Tobi. Tahun lalu ia melakukan penelitian di Belitung dan melihat tukik-tukik dieksploitasi.

“Parah banget, Mas, di sana itu. Kalau mau melepas penyu harus bayar dulu!” ujarnya dengan ekspresif. Bagus, kini wisatawan harus membayar untuk melepas bayi-bayi penyu. 

Dilema Penyu dan Manusia (2)
Mau lepas penyu, bayar dulu/Thobib Hasan

“Oh, ya? Bayar berapa memangnya?” tanya saya.

“Rp25.000 satu tukik! Gila, kan?”

“Ada fotonya, nggak? Coba lihat.” Ia mengambil iPhone-nya dan menunjukkan foto itu. 

Pengalaman serupa juga dialami Veryl. Tahun lalu, ia juga mengerjakan sebuah riset di Belitung. Di sana, ia ditawari telur penyu. “Mereka jual telur penyu, tapi ya sembunyi-sembunyi. Aku aja kemarin ditawari. Cuma Rp3.000 satu butir. Murah,” katanya. Menyedihkan, penyu-penyu itu nasibnya sudah malang sejak dalam cangkang.

Melihat berbagai ancaman bagi kelangsungan hidup penyu, rasanya memang masih banyak yang perlu dilakukan demi kelestarian spesies mereka. Tampaknya, sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk menjaga eksistensi mereka di muka bumi. Dan memang, sesekali manusia terpaksa harus ikut campur demi kelestarian suatu jenis makhluk hidup.

Penangkaran penyu merupakan salah satu bentuk intervensi manusia terhadap takdir spesies tersebut. Hingga kini, banyak spesies berhasil ditarik dari bibir jurang kepunahan oleh campur tangan manusia. Namun, tanpa pengetahuan dan teknik yang tepat, bisa-bisa niat mulia malah berujung bencana. Saya pikir, ada baiknya meninjau kembali upaya pelestarian penyu yang selama ini dilakukan oleh fasilitas penangkaran, membaca atau melakukan riset yang memadai untuk menguji metode yang dianut. Agar penyu-penyu yang diserahkan ke rahim sang segara, bisa menjadi penyu seutuhnya dan bisa mengarungi takdirnya sebagai satwa liar yang patuh pada kehendak evolusi.

Referensi

Marris, Emma. 2021. Wild Souls. New York: Bloomsbury Publishing.
Phillot, Andrea. P. 2023. Holding and Headstarting Sea Turtle Hatchlings. Indian Ocean Turtle Newsletter No. 38.
Sandi, Bayu, Thomas Reischig, Hiltrud Cordes. 2015. Exploitation of Turtle Hatchlings: How Headstarting Poses an Increasing Problem Sea Turtle Conservation in Indonesia. Poster for 35th Annual Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation.
Woody, Jack B. 1991. It’s Time to Stop Headstarting Kemp’s Ridley. Marine Turtle Newsletter 55:7-8.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dilema Penyu dan Manusia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/feed/ 0 41256
Dilema Penyu dan Manusia (1) https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/ https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/#respond Tue, 27 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41246 Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti...

The post Dilema Penyu dan Manusia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti pada suatu pagi di bulan Januari, saat saya dan paman berjalan kaki di pantai Sanur.

Matahari masih malu-malu, tetapi pantai itu sudah riuh. Wisatawan lokal dan mancanegara berseliweran. Ada yang bersepeda, jogging, foto-foto, dan bersantai di pantai. Kami meneruskan langkah, merampungkan sekian kilometer yang ditargetkan paman. “Kaki itu fondasi tubuh. Kalau kakimu kuat, tubuhmu akan sehat,” katanya.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pagi yang mendung di Pantai Sanur/Asief Abdi

Langit masih murung. Saya khawatir hujan akan turun. Tidak, mendung bukan pertanda hujan. Pandangan saya menyapu pantai. Kapal-kapal yang tertambat menjadi tempat kawanan pecuk bertengger. Ombak tampak ragu-ragu. Jika ingin berselancar, wisatawan harus sedikit ke tengah untuk mendapatkan gelombang yang cukup.

Sambil terus berjalan paman mengoceh soal kehidupan, menguliahi keponakannya tentang bagaimana menjadi bijak dalam menyikapi hidup. Lama-lama, saya memelankan langkah, membiarkannya berjalan duluan.

Meski tidak tinggal dan bekerja di sini, saya turut lega melihat Bali kembali hidup usai nyaris tiga tahun mati suri ditelan pandemi. Kafe dan bar kembali beroperasi, kursi dan meja ditata, payung-payung pantai kembali dibuka. Sebuah ekskavator merangkak di pasir. Lehernya berayun-ayun, mesinnya meraung mengganggu suasana pagi. Tak jauh dari alat berat itu, sesuatu menarik perhatian saya. Tempat pelestarian penyu. Saya melangkah masuk.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Tempat pelestarian penyu di Pantai Sanur/Asief Abdi

Pelestarian Penyu di Pantai Sanur

Baru kali ini saya berkunjung ke penangkaran penyu. Saya bahkan baru tahu jika tempat seperti itu ada. Di dalamnya, terdapat petak-petak kolam berisi penyu laut. Turis-turis tampak antusias melihat reptil bertempurung itu berenang menggunakan siripnya. Beberapa menjulurkan tangan, menyodorkan dedaunan atau ikan yang sudah dicincang pada hewan-hewan itu. Rasanya seperti berada di kebun binatang. 

Ada dua jenis penyu di situ, yaitu penyu sisik dan penyu lekang. Ukurannya beragam. Ada yang sedang, ada pula yang besar hingga sepertinya terlalu besar untuk berada di penangkaran. Pengunjung berdatangan. Anak-anak kecil menghambur, tak sabar ingin menengok hewan yang mungkin hanya pernah mereka lihat di Discovery Channel

Seorang laki-laki bertubuh besar menghampiri saya. Barangkali karena saya tampak sangat antusias dengan penyu-penyu itu. Kelak saya tahu bahwa ia adalah Made Winarta, sang pengelola. Saya taksir usianya sekitar 50 tahun.

“Suka hewan?” katanya.

“Iya, Pak,” jawab saya.

“Dari komunitas pencinta reptil?”

“Bukan, Pak. Saya turis.”

Kami kemudian duduk di tepi kolam dan mengobrol soal tempat itu, Pelestarian Penyu Sindu Dwarawati.

Pak Kadek—begitu ia minta disapa—mengaku sudah lima belas tahun bergelut dengan pelestarian penyu. Cukup lama hingga ia bisa mengenali jenis penyu hanya dari jejak sirip mereka di pasir. Ia berkisah soal perjuangannya membangun fasilitas pelestarian penyu lautnya itu.

“Awalnya saya pakai kotak styrofoam sederhana,” kata dia.

“Kotak ikan itu, Pak?” tanya saya.

“Iya, yang itu. Ya, syukur sekarang sudah bisa punya kolam.”

Seolah sepakat, pandangan kami tertuju pada kolam. Ia kemudian bercerita betapa senang dia saat menemukan penyu hijau di Sanur. “Bayangkan, dari awal saya mulai, baru tahun lalu ada penyu hijau bertelur di Sanur!” ujarnya penuh semangat.

Saya mengangguk-angguk. Pasti luar biasa rasanya menemukan reptil purba itu. Lebih-lebih jika hewan itu bukan sekadar binatang.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pak Kadek dan penyu-penyu di fasilitas penangkarannya/Asief Abdi

Makna Kehadiran Penyu

Bagi Pak Kadek, penyu punya makna simbolis. Oleh karena itu, melestarikan penyu bukan perkara melindungi satwa langka belaka. “Penyu itu simbol bumi. Menjaga penyu berarti menjaga bumi,” kata dia.

Benar juga, penyu merupakan salah satu avatar Wisnu dalam kosmologi Hindu. Penyu bukan hewan melata semata, melainkan juga jelmaan dewata. Saya teringat arca penyu yang menghiasi candi-candi Hindu di lereng gunung Lawu. Benar-benar upaya mulia.

“Perjuangan saya ini seperti serpihan debu saja. Masih banyak yang perlu dilakukan,” ujar Pak Kadek. Rendah hati sekali, batin saya. Ia mengaku bahwa upayanya tak hanya untuk alam, tetapi juga demi negara. Pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 lalu, ia menyiapkan dua puluh ekor penyu untuk dilepasliarkan oleh delegasi masing-masing negara. “Biar dunia tahu kalau Indonesia berjuang untuk konservasi penyu,” katanya.

Sangat patriotis. Seperti yang diketahui, semua jenis penyu laut merupakan spesies dilindungi. Bagaimana tidak, bahaya datang dari mana-mana.

Berbagai jenis ancaman menghantui eksistensi penyu di muka bumi, mulai dari sedotan plastik dari meja makan, hingga bencana perubahan iklim. Di Bali, hiruk piruk orang di pantai merintangi penyu-penyu untuk berbiak. Menurut Pak Kadek, aktivitas wisatawan di pantai membuat struktur pasir memadat sehingga tukik kesulitan mencapai permukaan begitu menetas. Siapa yang akan sadar kalau ternyata ia sedang berdiri di atas sarang penyu? Selain itu, kata dia, polusi cahaya mengurungkan niat penyu untuk naik ke daratan saat hendak bertelur di malam hari.

Saya teringat pantai Jimbaran yang terang benderang, tempat saya makan semalam. Apa jadinya jika semua pantai di dunia disulap menjadi tempat gemerlap? Ke mana para penyu akan bertelur? Haruskah nasib mereka berakhir di penangkaran? Dan, bagaimana nasib penyu-penyu itu di sana?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dilema Penyu dan Manusia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/feed/ 0 41246
Gula Pedawa Pingit dan Senggait yang Aduhai https://telusuri.id/gula-pedawa-pingit-senggait-yang-aduhai/ https://telusuri.id/gula-pedawa-pingit-senggait-yang-aduhai/#respond Sat, 31 Jul 2021 23:58:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28968 Saya kerap melakukan perjalanan singkat sendirian ke Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng untuk sekedar melepas penat dari hiruk pikuk Kota Denpasar. Namun kali ini saya bersama Satyawati, seorang teman perempuan yang berasal dari Jakarta....

The post Gula Pedawa Pingit dan Senggait yang Aduhai appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya kerap melakukan perjalanan singkat sendirian ke Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng untuk sekedar melepas penat dari hiruk pikuk Kota Denpasar. Namun kali ini saya bersama Satyawati, seorang teman perempuan yang berasal dari Jakarta. Mungkin tagline perjalanan kali ini, “Dua orang kota, ingin tersesat di desa.” Tapi tentu saja perjalanan ini tidak akan tersesat, sebab saya sendiri sudah berulang kali datang ke Desa Pedawa, bahkan saya memiliki keluarga kecil atau paling tidak keluarga yang saya anggap dekat karena setiap kali ke Pedawa saya selalu menginap di sana. 

Kami berdua berangkat hari Sabtu sepulang saya bekerja. Kira-kira pukul 14.00 WITA. Perjalanan normal ditempuh dalam waktu 3 jam menggunakan sepeda motor. Jaraknya kira-kira 85 km dari Kota Denpasar. Kami berdua meniatkan perjalanan santai sembari mengisi waktu di akhir pekan. Rencananya kami akan ngopi di Puncak Wanagiri sebelum ke Desa Pedawa.

Perlu diketahui bahwa Desa Pedawa termasuk Desa Bali Aga. Bali Aga sebutan bagi desa-desa tua dengan penduduk asli Bali. Desa ini memiliki kebudayaan, adat, serta keyakinan yang berbeda dari penduduk Bali pada umumnya. Selain itu Desa Pedawa memiliki gula aren yang sudah terkenal bagus kualitasnya. Saya akan membeli gula Pedawa untuk saya olah di Denpasar. Kebetulan saya dan beberapa kawan sedang mencoba meracik kopi susu gula aren yang lagi hits di kalangan anak muda Denpasar. 

Hujan di Puncak Wanagiri, Kopi dan Mie Kuah

Di Puncak Wanagiri/Jong Santiasa Putra

Perjalanan segera kami mulai. Dari Denpasar sampai Polres Badung atau Pasar Beringkit, Kabupaten Badung, kami berdua masih mendapati sejumlah titik kemacetan. Setelah itu, lempeng lurus makmur sampai tujuan. 

Puncak Wanagiri Buleleng adalah salah satu tempat asik untuk singgah para pejalan seperti saya ini. Setelah lelah dalam perjalanan, kita bisa istirahat sebentar di gazebo-gazebo pinggir jalan, pedagang di sana menyediakannya. Sambil menikmati kopi panas dan melihat pemandangan dua danau di depan kita, Danau Buyan dan Danau Tamblingan. 

Selain itu, daerah ini merupakan tempat favorit bagi turis untuk swafoto, ada tempat foto buatan penduduk sekitar. Spot-nya ada yang berbentuk menara, ada yang berbentuk sarang burung, ada yang berbentuk dermaga, dan lain sebagainya. Namun karena pandemi wisata swafoto ini sepi. Keadaannya pun terlihat tidak terawat.

Sayangnya hujan mengguyur sebelum sampai Puncak Wanagiri. Kami harus berjibaku melawannya. Hujan beberapa kali datang dan pergi. Namun di sisi lain, dua danau di depan kami sungguh elok nan indah. Dari riak-riak yang air hujan kami tahu datangnya arah hujan. Sungguh syahdu. Selain kopi kami juga memesan mie kuah telur ekstra cabai sembari menunggu reda. Sesekali ada sejumlah pengunjung datang, entah untuk berteduh atau memang sengaja datang untuk menikmati suasana. 

Rumah Bli Made dan Rujak Kelapa Muda 

Perjalanan berlanjut menuju Desa Pedawa. Kami tetap menggunakan jas hujan, jaga-jaga jika lebat tinggal terobos saja, tidak usah repot berhenti untuk memakai lagi. Kami berdua akan menginap di rumah kenalan—yang sudah saya anggap seperti keluarga. Ialah rumah Bli Made Saja, seorang penyair berbahasa Pedawa yang sajak-sajaknya bernuansa alam desa tempat ia tinggal.

Tenang saja, jalan menuju Desa Pedawa walaupun berliku namun sudah beraspal, jadi tidak menyulitkan meski kita mengendarai motor seperti saya ini. Udara sejuk, dingin, serta banyak pohon-pohon di sepanjang perjalanan. Tentu tidak akan membuat perjalanan membosankan.

Waktu itu saya dan Satyawati, asik membandingkan bagaimana kehidupan di desa dan kota. Terutama cara pandang terhadap hal-hal materialistik yang kadang kala jika terus dipenuhi, seringkali menyesatkan pandangan hidup. Maklum kami berdua ini sedari kecil sudah hidup di kota, bahkan tidak punya kampung untuk disinggahi. 

Tidak terasa kami pun sampai. 

Bli Made Saja ternyata sudah menunggu kedatangan kami, ia langsung menyambut dengan tawa karena kami memakai jas hujan. Terang saja di Pedawa belum turun hujan sedari pagi. Sementara kami datang dengan basah kuyup. Bli Made mempersilahkan kami duduk di pendopo rumahnya. Entah dari mana datangnya Bli Made datang membawa 2 kelapa hijau yang tampaknya baru saja dipetik. 

Saya dan Bli Made membuka kelapa dengan kapak, lalu menuangkannya dalam ketel. Mencampurkan dengan terasi, garam, cabai rawit yang sebelumnya telah diulek kasar, tidak lupa mengeruk daging kelapa muda agar lengkap rasanya. Seger tapi pedas, saya sih suka. Teman saya—Satyawati mengernyitkan alis.

“Inilah minuman pembuka di Pedawa, rujak kelapa muda,” tungkas saya menjawab kernyit alisnya itu. 

Rujak kelapa muda/Jong Santiasa Putra

Setelah minuman pembuka tandas tak tersisa, Ibu Bli Made Saja tanpa tedeng aling-aling mempersiapkan makan malam untuk kami berdua. Tapi porsinya sungguh berlebihan. Keluarga ini memang sangat senang saya datang, padahal sebelumnya saya sudah mengatakan agar tidak memasak apapun. 

Menunya ada sayur daun labu, pindang sambal bawang, sayur paku, pepes ikan laut, dan tentu saja sambel garam buatan Ibu Bli Made yang selalu menjadi favorit saya. Sebab  garamnya  tidak seperti garam di kota, teksturnya lebih besar dari yang biasa saya makan di daerah asal saya. 

Makan malam dari Ibu Bli Made/Jong Santiasa Putra

Usai menyantap hidangan tersebut, kami duduk santai di pendopo, menikmati udara dingin dan suara jangkrik yang bersahutan. Hal ini merupakan suasana yang sangat istimewa dan langka. Saya mengutarakan maksud saya kepada Bli Made Saja untuk membeli sekaligus melihat proses pembuatan gula aren Pedawa yang terkenal itu. 

“Pembuatan gula pedawa itu, agak pingit (sakral), aku tidak tahu apakah kita akan diberi izin untuk mengabadikan gambar. Kalau beli, aman. Sekarang aku kontak saudaraku.” Katanya serius sambil menatap wajah saya. 

Dari penuturan Bli Made, saya tahu kepingitan yang dimaksudnya. Bahwa jika petani berangkat ke ladang untuk mengiris jaka, petani tersebut tidak boleh disapa, karena hal tersebut dapat mempengaruhi kuantitas produksi getah. Di bawah pohon jaka juga tidak boleh dicabut rumput atau tanaman yang tumbuh serta tidak boleh mengabadikan proses pembuatan dari nira menjadi gula. Sehingga jarang ada yang mendapatkan foto proses pembuatan gula pedawa secara natural. 

Obrolanpun berlanjut dari seluk beluk gula Pedawa hingga produk olahannya, satu diantaranya bernama senggait. Makanan kecil dari parutan ubi jalar yang dicampur gula pedawa encer, kemudian dicetak berbentuk lingkaran kecil. Teksturnya seperti jaring-jaring bertumpuk dan berwarna coklat keemasan. Kudapan ini cocok untuk peneman minum  kopi di pagi hari. Rencana kami pun berubah, jika tidak mendapat proses pembuatan gula pedawa, mungkin kami akan mengunjungi tempat produksi senggait. 

“Senggait itu disebut juga cakar ayam, di tempat lain namanya sarang burung.” Kata Bli Made Saja menutup obrolan kami bertiga.

Kamipun beranjak tidur, karena jika obrolan berlanjut mungkin hingga esok hari topiknya tidak akan selesai. 

Melihat Proses Senggait 

Sinar matahari pagi menyusur halaman, saya terbangun saat mendengar obrolan Bli Made bersama kedua orang tuanya di luar kamar. Saya beranjak bersama Satyawati. Kami bersiap, mandi, dan lain sebagainya. Misi dilanjutkan menuju petani gula Pedawa. Rupanya Bli Made sudah mengontak beberapa kenalannya yang bekerja sebagai tukang iris getah jaka. 

Namun setibanya di rumah salah satu kawannya, ia tidak memasak gula hari itu karena hasil niranya belum terpenuhi. Kami langsung beranjak ke rumah kawannya yang lain. Ternyata sama, tidak memasak juga. Hingga akhirnya kami bertiga singgah di rumah  saudara Bli Made, Bli Kadek Susila Jaya. Bli Kadek juga tidak memasak gula siang itu, ia rencananya memasak gula pada sore hari. 

“Tunggu ya, tetangga sebelah lagi memasak gula. Saya coba tanyakan, apakah ia memperbolehkan kita memotret proses pembuatannya.” Kata Bli Susila memberi secercah harapan. 

Ternyata tetangga Bli Kadek tidak mengizinkan maksud saya. Benar kata Bli Made semalam, sejumlah petani di Desa Pedawa masih meyakini jika seseorang memotret proses pembuatannya, maka kualitas gula akan terpengaruh. Tapi tak apa, saya sebagai tamu harus menghormati segala bentuk keyakinan masyarakat Desa Pedawa. 

Kebetulan ketika saya datang, Bli Susila bersama istrinya sedang memproduksi jajan senggait. Saya melihat langsung proses pembuatannya, mulai dari memarut ubi jalar, lalu menggoreng dengan minyak panas, kemudian mencampurnya dengan gula pedawa. Setelah berwarna coklat keemasan, cepat-cepat adonan diangkat lalu dimasukan ke dalam cetakan kayu yang berbentuk lingkaran. 

Proses pembuatan Senggait/Jong Santiasa Putra

“Ini harus cepat-cepat dibeginikan, kalau tidak ubi jalar ini akan kaku,” ujar Bli Susila saat memasukan jajan ke cetakan. 

Kami bertiga disuguhi beberapa jajan senggait lengkap dengan kopi hitam panas. Perpaduan kopi panas dengan tekstur dan rasa senggait, saat bercampur di mulut adalah sensasi yang sangat khas. Berulang kali saya melahap senggait, berulang kali juga saya menyeruput kopi. Sampai-sampai Bli Susila menawarkan senggaitnya lagi untuk saya, aduh saya jadi malu. 

Pada kesempatan itu Bli Susila bercerita bisnis rumahan yang ia jalani, sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain menitipkannya di warung sekitar desa Pedawa, ia juga mengirim hasil olahannya ke pasar Badung dan beberapa warung di Denpasar. Namun karena situasi pandemi, pengiriman ke Denpasar pun mandek, ia hanya membuat sedikit untuk di warung sekitar rumahnya saja. 

“Dulu, lumayan, setiap minggu saya ke Denpasar mengirim senggait ke pasar badung, tapi sekarang, susah.” Keluhnya. 

Semalam Bli Made ternyata mengontak Bli Susila agar menyiapkan gula pedawa pesanan saya. Saya membeli 20 kg gula Pedawa untuk kebutuhan di warung, serta beberapa bungkus senggait sebagai oleh-oleh untuk teman-teman. Setelah menunaikan obrolan, kami beranjak pamit.

Pukul 13.00 WITA, saya pulang ke Denpasar setelah sebelumnya makan siang di rumah Bli Made. Oleh ibu Bli Made saya juga dibekali sejumlah rebung dan 3 ikat besar batang kecombrang hasil kebun keluarga. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gula Pedawa Pingit dan Senggait yang Aduhai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gula-pedawa-pingit-senggait-yang-aduhai/feed/ 0 28968