depok Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/depok/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 14 Jul 2022 06:46:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 depok Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/depok/ 32 32 135956295 Singgah ke Pameran Ondel-Ondel https://telusuri.id/singgah-ke-pameran-ondel-ondel/ https://telusuri.id/singgah-ke-pameran-ondel-ondel/#respond Thu, 07 Jul 2022 06:47:28 +0000 https://telusuri.id/?p=34472 “Lho, ternyata nggak bisa masuk dari sini?” Kata saya.  Kami berempat dalam mobil Honda Mobilio yang melintas Jalan Meruyung Raya, Limo, Depok. Padahal tepat di depan Gang Manggis (jalan yang saya maksud) terpantek plang Studio...

The post Singgah ke Pameran Ondel-Ondel appeared first on TelusuRI.

]]>
“Lho, ternyata nggak bisa masuk dari sini?” Kata saya. 

Kami berempat dalam mobil Honda Mobilio yang melintas Jalan Meruyung Raya, Limo, Depok. Padahal tepat di depan Gang Manggis (jalan yang saya maksud) terpantek plang Studio Hanafi, namun tanda verboden terpasang jelas di atas palang hitam putih yang melintang di gang itu. 

Meski motor tampak melintas keluar masuk, kami memutuskan untuk tidak ambil risiko. Kami melanjutkan perjalanan dan parkir di halaman ruko-ruko.  

“Pantesan Google Maps nggak ngarahin lewat situ,” kata saya yang sejak tadi memang sok tahu mengarahkan jalan lewat Meruyung Raya daripada mengikuti petunjuk Google Maps yang menyuruh kami berputar dulu lewat Jalan Raya Muchtar. 

Bukan apa-apa, banyak pengalaman pahit ketika manut sama Google Maps malah diarahkan lewat jalan yang terlalu sempit atau terlalu curam untuk kami. Wajar dong kalau saya skeptis (dan sok tahu). 

“Ya, sudah. Parkir di sini, jalan kaki,” istri saya, memutuskan. 

Kebetulan hari itu panas sedang tajam-tajamnya. Saya langsung menghela nafas. Tapi, ya sudahlah, jalan kaki hanya 10 menit menurut Google Maps. Lho, sekarang percaya sama Google Maps? Ya, mau bagaimana lagi. 

Setelah menitipkan mobil ke penjaga parkir ruko, kami jalan kaki lewat gang kecil di samping taman pemakaman umum. Di ujungnya, kami menyusuri tepi kali kecil, semacam jalur irigasi yang padat dengan lumpur. 

Dalam hati saya membatin, sudah berapa lama ya tidak menyusuri jalan seperti ini? Jalanan yang hanya dilapisi semen seadanya dan lebarnya pas-pasan untuk dilalui dua motor. Aneh ya, sesuatu yang dulu jadi arena sehari-hari bisa begitu asing dan eksotis setelah situasi berubah. 

“Masih jauh?” tanya ibunya anak-anak.  

Saya coba untuk tidak marah-marah meskipun panas menyengat, meskipun kaos sudah banjir keringat. 

“Nggak usah ditanya, nanti juga sampe!” kata saya, gagal menahan kesal. 

Tak lama, kami sampai di sebuah jalan beraspal, dan tak jauh dari situ tujuan kami terlihat. Akhirnya, saya merasa lega. Entah kenapa harus kesal, apakah karena panas atau sedikit rasa bersalah telah ‘menjebak’ keluarga ke tujuan yang entah akan membuat mereka senang atau tidak. 

Apapun itu, akhirnya kami sampai di Galeri Kertas, salah satu (kalau bukan satu-satunya) galeri seni sungguhan di Depok. 

Pameran Ondel-Ondel  

Alasan kami berkunjung ke tempat ini memang berasal dari saya. Ya, saya sudah ingin mendatangi tempat ini sejak lama. Mungkin sejak empat atau lima tahun lalu. Bahkan, sempat punya niat mengajak kerjasama tempat ini dengan coworking space kami dulu. 

Tapi seperti biasa, kesibukan demi kesibukan dan perubahan demi perubahan selalu mengurungkan niat. Lalu, pandemi menghentikan kegiatan di tempat ini sementara. Sampai ketika kami berkunjung di ujung bulan Juni ini, beberapa hari setelah pembukaan pameran.

  • Sudut pandang lain dari karya Edi Bonetski yang dipamerkan
  • Salah satu lukisan berukuran besar karya Edi Bonetski
  • Salah satu karya Edi Bonetski
  • Karya Edi Bonetski berukuran besar di dinding Galeri Kertas
  • Instalasi yang menampilkan proses Edi Bonetski dalam berkarya

Pameran ini berjudul Ondel-Ondel: yang Rural dan yang Urban, menampilkan karya kertas dari Edi Bonetski, seorang street artist yang juga mendalami seni musik dan seni pertunjukan. Ya, deskripsi itu saya comot dari akun Instagram resmi mereka. Sebab saya juga belum kenal siapa itu Edi Bonetski. Maaf, pengetahuan seni saya memang minim dan miskin, makanya saya harus belajar. 

Sebentar, sebelum saya lanjut bercerita, saya mau comot lagi beberapa hal dari deskripsi pameran itu. Ya, sekadar memberi gambaran saja. 

“Pameran ini merupakan respon Edi Bonetski terhadap fenomena hilangnya memori kolektif masyarakat Indonesia terhadap sosok Ondel-Ondel yang bermula sebagai salah satu bentuk kesenian jalanan yang kaya akan sejarah dan kebudayaan.”

“Dalam konteks kontestasi ruang rural dan urban inilah sejarawan Th. Pigeaud dalam bukunya yang masyhur Javaanse Volkvertoningen (1928) mengemukakan para raksasa dan makhluk halus masih hidup dalam memori kolektif masyarakat Jawa. Sosok-sosok besar itu maujud dalam kesenian berbentuk boneka-boneka raksasa. Dihadirkan dalam- perayaan upacara-upacara terpenting siklus kehidupan manusia di antero Jawa dan Bali. (JJ Rizal/ Sejarawan, dalam catatan pengantar Pameran)” 

Oke, untuk yang paham seni mungkin bisa membaca dua paragraf di atas dan mengerti lebih jauh apa yang mau disampaikan pameran ini. Buat saya, mengunjungi pameran adalah membuka diri untuk pengalaman yang lain, yang mungkin jauh dari keseharian dan syukur-syukur bisa membantu saya memandang, merasakan dan mengerjakan apa-apa dengan lebih peka. 

Kalau dari yang saya amati, perupa Edi Bonetski sepertinya menampilkan ondel-ondel dalam berbagai bentuk yang bisa jadi jauh dari bentuk ondel-ondel yang masyarakat kenal pada umumnya. Ya, ada beberapa figur yang masih mirip ondel-ondel asli, seperti instalasi ondel-ondel kecil yang berbaris di tangga, tapi ada juga bentuk yang butuh imajinasi untuk melihat “di mana ondel-ondelnya?” 

Terus terang, lepas dari mengerti atau tidak, saya selalu senang melihat pameran seni. Melihat bentuk-bentuk yang menentang logika itu buat saya jadi ajang menelusuri perasaan saya sendiri. Bisa nggak saya menerima apapun yang ditampilkan ini sebagai “seni”? Atau, saya justru jadi memberontak dan berseru “ini bukan seni” di sosmed? Atau, saya malah berkata “saya tidak mengerti” dan berhenti di situ. Ah, jelas saya nggak mau yang seperti itu. Saya menolak untuk menutup pandangan dan perasaan pada hal-hal yang berbeda, hanya karena saya tidak mengerti atau tidak terbiasa dengannya. 

Saya ceritakan sedikit pameran ini. Di ruang pertama, dibagi atas beberapa bagian. Pertama, dari langit-langit bergantung kantong-kantong kertas dengan coretan dan kata-kata (protes?) di permukaannya. Bentuknya, sedikit banyak mengingatkan pada tubuh ondel-ondel yang gembung. 

Lalu di sisi-sisi ruangan ada karya pada kertas besar. Lukisan, saya kira, atau mungkin bentuk seni rupa gabungan antara lukis dan hal lain. Tapi yang menarik buat saya adalah karya di sudut ruangan yang dominan warna kuning dan hitam, di situ selain coretan di dinding, perupa juga menampilkan klise rontgen dengan cat putih yang sepertinya dari correction pen atau yang kita lazim sebut tip-eks

Area utama Galeri Kertas dan karya-karya Edi Bonetski di pameran Ondel-Ondel yang rural dan yang urban/Wicak Hidayat

Masih banyak sudut lain, dan instalasi lain di pameran ini. Saya tidak perlu mendeskripsikan semuanya kan? Paling baik adalah kalau kalian, yang kebetulan membaca tulisan ini, berkunjung langsung ke sana. 

Apalagi di lantai atas, yang dijangkau melalui tangga besi spiral. Masih banyak lagi karya-karya yang menarik. Kata-kata saya kok rasanya malah membuat karya-karya itu hambar, atau terkesan dibuat-buat karena saya berusaha menutupi kekurang tahuan saya soal seni dengan teori-teori yang tidak perlu. 

Memang klise jadinya, tapi memang sebuah pameran itu lebih baik didatangi. Karena dengan begitu, pengalamannya akan milik diri sendiri. 

Berbincang dengan Hanafi 

Di tempat itu kami memang sudah ada rencana untuk bertemu teman saya. Arkan, namanya, seorang yang pengetahuan seninya lebih baik dari saya. Kebetulan juga, dia cukup akrab dengan teman-teman di Galeri Kertas / Studio Hanafi, jadi saya punya kesempatan untuk bercengkrama dengan mereka. 

Sebuah gagasan, yang lama dorman, pun saya cetuskan kembali bersama Arkan. Gagasan itu sederhana: bahwa permainan bisa digunakan untuk membantu orang (atau kelompok) melahirkan karya. 

Buat saya gagasan itu menarik, namun saya selalu kesulitan menyampaikannya. Apalagi karena bentuk konkritnya masih jauh dari jelas. 

“Oh, games? Kayak mobile legend?” kata seorang pria dengan panggilan Om Sugeng, saya kurang tahu persisnya apakah juga seniman, pastinya saya yakin dia salah satu teman yang sering nongkrong di sana. 

Diskusi kami (saya, Arkan dan Om Sugeng) memanas, mulai dari origami, Angry Birds hingga permainan dampu jadi bahan obrolan. Sayangnya, saya juga masih belum bisa mengerucutkan ide itu: bagaimana menggunakan permainan sebagai alat bantu berkarya. 

Lalu, Arkan mengajak saya untuk duduk-duduk di taman dekat sungai. Tak lama Mas Hanafi, pelukis dengan reputasi internasional itu, menghampiri dengan santai. 

Ya, bukan kebetulan, toh dia memang sudah akrab dengan Arkan dan ini adalah rumahnya. Tapi saya tidak punya niat untuk bertemu langsung dengannya. Saya pikir, akan sulit dan dia pasti sibuk. Jadi, ini memang kejutan yang sungguh menyenangkan. 

Tapi, begini, tanpa bermaksud mengecewakan teman-teman yang baca tulisan ini. Saya tidak akan tuliskan obrolan saya dengan Arkan dan Mas Hanafi di sini. Bukan, bukan karena “harus datang sendiri” tapi karena saya tidak minta izin padanya untuk menuliskan percakapan itu. 

Lha, tulisan ini saja dibuat tanpa niat kok. Awalnya kan saya mengusulkan perjalanan ke Galeri Kertas atas alasan “mengantar anak-anak”. 

Jadi, maaf, percakapan yang sungguh membuka wawasan itu akan jadi bahan inspirasi pribadi saya dulu. Mungkin, kalau sempat, ada beberapa di antaranya yang bisa saya sarikan dan tuangkan ulang ke dalam bentuk yang berbeda. 

Apa sih yang kami bicarakan? Topiknya luas, mulai dari soal bagaimana pameran ini akhirnya bisa terjadi, kegiatan di galeri dan studionya, bagaimana ia mengawali studio itu hingga tentu saja soal pemerintah dan komunitas kesenian lain. 

Nah, iya, saya memang senang menyeret-nyeret gosip soal pemerintahan ke dalam percakapan. Sekadar mau tahu kok, bukan mau makar. Kalau sudah kenal lebih dalam, obrolannya bisa lebih ngaco, karena menyeret-nyeret soal kepercayaan. Ah, tapi saya kan belum kenal jauh dengan kalian yang baca tulisan ini? 

Oh ya, tentunya di kesempatan itu saya juga berusaha melempar gagasan soal menggunakan permainan dalam menghasil karya. Keringat dingin saya mengutarakannya, dan sepertinya saya masih gagal untuk menjelaskannya. Lagi-lagi, ini soal bentuk yang belum jelas. 

“Coba, kamu tulis dulu skemanya kayak gimana,” nasehat dari Mas Hanafi ke saya dan Arkan. Baiklah, boleh itu jadi PR kami. Hitung-hitung, bekal untuk perjalanan berikutnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah ke Pameran Ondel-Ondel appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-ke-pameran-ondel-ondel/feed/ 0 34472
Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/ https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/#respond Sun, 24 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29911 Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang...

The post Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni appeared first on TelusuRI.

]]>
Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang satu ini, mulai dari Astrea Grand kala SMA, Supra karbu kala kuliah hingga yang injeksi. Ini bukan endorse, diakui atau tidak, memang Supra series ini cocok untuk kantong pejalan.

Banyak “unexpected journey” yang saya lalui bersama si Supra. Salah satunya ketika melakukan perjalanan menuju Lampung dari Depok sepanjang 276 km yang akan saya ceritakan kali ini. 

Bensin sudah terisi penuh, tas daypack saya sangkutkan pada bagian setang, karena kali ini Kevin menemani saya. Cukup punya nyali di umurnya yang masih 19 tahun berani menerima ajakan saya. Tujuan pertama kami ialah Pelabuhan Merak. Kalau dari Depok ambil arah menuju Sawangan, lanjut ke Tangerang, ambil plang menuju Serang dan beri sentuhan akhir berupa penunjuk jalan bernama Cilegon. Sekitar 5 jam nonstop tanpa istirahat karena fisik yang masih prima. Kami tiba di Pelabuhan Merak tepat pukul 5 sore. Waktu yang tepat, pas senja.

Supra saya tepikan di pendopo yang terletak di pinggir jalan menuju pelabuhan. Lalu, kami melihat matahari tenggelam dari balik kapal-kapal cargo yang lalu lalang. Cukup memberikan nuansa baru bagi saya yang terbiasa menatapnya dari Setu. Tiket keberangkatan kapal pukul 10 malam, namun menurut peraturan kapal, saya mesti boarding 2 jam sebelum keberangkatan. 19.30 kami memasuki pelabuhan, melewati pos pengecekan lalu berputar putar di dalam area pelabuhan yang cukup besar.

Fery Malam
Tas dan Ferry di Malam Hari

Apes! Saya baru tahu semisal jika sudah boarding, tidak disarankan untuk turun dari kapal. Sekembali dari Indomaret, jembatan penghubung kapal sudah terlipat, kapal telah bersiap untuk berangkat, dan kami masih di pinggir dermaga. “Sedikit kocak, banyak paniknya,” begitu kalau kata Payung Teduh. Nggak lucu, kalau membayangkan motor saya sampai ke Bakauheni lebih dulu ketimbang supirnya. Paniknya? Ya iyalah panik masa masih dijelasin.

Saya teriak-teriak meminta bantuan kepada penumpang yang ada di pinggir kapal, salah satu dari mereka berkata untuk naik dari lambung kapal. Tanpa pikir panjang kami langsung menuju lambung kapal. Ada banyak lubang mungkin berukuran 3×5 meter, lebih dari cukup untuk masuk menuju kapal. Yang jadi masalah ialah bagaimana kami masuk jika tinggi lubang itu sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri. Kami menyusuri pinggiran kapal dan alhamdulillah ada sebuah undakan yang cukup tinggi. Melalui undakan tersebut kami masuk. Nafas tersengal, dan masih tertawa tentunya!

“Baru ya dek?” Ucap petugas kapal ketika sampai di parkiran motor. Iya, memang ini perjalanan Ferry pertama saya, mengingat berangkat jam 10 malam kami pikir masih banyak waktu untuk ngopi cantik di pinggir dermaga, dan ternyata tidak.

Setelah berbincang dengan ABK, kami menghampiri sumber suara orkes dangdut yang cukup meriah. Orkes ini berada di geladak kapal, dengan banyak bangku panjang permanen lengkap dengan sandarannya, ada warung kecil dengan berbagai jajanan di etalasenya, dan tak lupa termos beserta kopinya. Rp12 ribu rupiah untuk segelas kopi gunting, cukup sepadan sambil melihat kerlap kerlip lampu yang ciamik kala kapal meninggalkan pelabuhan. Estetik!

2 jam perjalanan kami habiskan di atas kapal, tak terasa sampai juga di pelabuhan Bakauheni, kerlap kerlip lampu kian mendekat. Setelah aba aba dari pengeras suara kami bergegas menuju Supra untuk bersiap. Memakai helm dan meluncur keluar kapal menginjakkan kaki di Lampung dini hari. Lalu apa?

Sedari awal sebenarnya, tujuan saya hanya ingin ke Lampung. Namun akhirnya saya putuskan untuk terus menuju dermaga 4 Ketapang, gerbang menuju pulau Pahawang. Ekspektasi saya adalah banyak warung berjejer 24 jam, namun nyatanya semua tutup. Motor saya parkirkan di sebuah warung dan langsung terlelap di bangku panjangnya. Jam tangan menunjukkan pukul 03.00 dini hari. 

Aktivitas dermaga, tepat pukul jam 6 pagi membuat saya terbangun. Mandi di toilet umum, sehabis itu memesan kopi sembari mencari informasi bagaimana kami bisa sampai di Pahawang. Singkat obrolan kami ikut salah satu trip yang berangkat pada hari itu dengan merogoh kocek sekitar Rp150 ribu untuk “one day trip”. Periode ini aktivitas wisata mulai menggeliat kembali di tengah pandemi, kembali membuka harapan para pegiat usaha di komoditas ini, kami pun tak banyak menawar, sadar diri.

Selamat Datang di Pahawang
Selamat Datang di Pahawang

Sup

Supra sudah naik kapal, segelas kopi sebagai bekal perjalanan sudah di tangan. Ada banyak peserta trip, namun yang tak disangka ialah supir kapalnya merupakan orang yang lama tinggal di Depok, kembali pulang karena PHK akibat pandemi. Saya tertawa, sempit kali dunia ini, sudah menempuh 200 km masih saja bertemu orang Depok. Namun dalam hati bergumam “alhamdulillah”, setidaknya ada kawan lokal jika kembali bersua ke sini.

Kapal membawa kami menuju salah satu spot snorkeling terkenal di Pahawang, tempat ikan nemo dan juga tulisan “Pahawang Island” di bawah laut berada. Banyak karang maupun biota laut yang menyita perhatian. Jika mendaki gunung kita selalu monoton melihat gumpalan awan serta matahari terbit, tidak dengan dunia bawah laut, meski hanya beberapa meter dari permukaan. Mungkin satu satunya yang mengecewakan ialah, masih ada cukup banyak sampah plastik yang terbawa. Memang memalukan jejak manusia yang satu ini.

Bawah Laut Pahawang
Bawah Laut Pahawang

Sesampainya di pulau selanjutnya, saya dan Kevin memilih tidur diatas kapal sampai trip selesai, panas matahari tampaknya tak mampu mengusik kami berdua kali ini. Sejenak perjalanan ini mampu membuat kami lupa akan berbagai hal. Dalam hati masih tidak menyangka kalo Supra mampu mengantar kami berdua sampai ke sini. Tak terasa matahari sudah mulai menyingsing, pertanda trip akan selesai. Yang tadinya tak memikirkan apa apa, jadi menambah pikiran baru. Pertanyaan selanjutnya pun muncul. Di mana kami akan bermalam? 

Rombongan kami sampai kembali Dermaga 4 Ketapang, semua peserta kembali ke homestay. Saya dan Kevin? masih terdiam sejenak di pinggir dermaga sambil berpikir mau ke mana lagi setelah ini. Saya memutuskan untuk mandi dan makan dahulu agar lebih jernih berpikir, atau mungkin keajaiban akan menghampiri kami di perjalanan kali ini.

Setelah beberes, tak disangka pemandu trip yang sedari tadi menemani kami menawarkan mesnya untuk bermalam. Saat berbincang tadi beliau juga bercerita tentang masa-masa dia menjadi musafir sebelum memiliki organisasi travel yang cukup besar seperti sekarang. Bang Ari namanya. Melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas tumpangannya. Jika dari kalian ada yg ingin berkunjung ke Pulau Pahawang jangan ragu menggunakan jasa beliau. Lengkapnya ada di Instagram.Kami menghabiskan malam bersama para pemandu wisata, meski berada di Lampung, nyatanya banyak yang berasal dari Jawa Barat, entah itu dengan plat B bisa sampai di daerah ini. Rata-rata mengatakan bahwa perjalanan kami cukup membahayakan. Kami sendiri pun mengakui hal tersebut. Malam itu dilalui dengan bergitar ria di pinggir pantai, sungguh, ketimbang pahawang yang tadi, menurut saya best momen-nya adalah di Dermaga 4 ketapang ini, ketika bersama mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/feed/ 0 29911