desa wisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/desa-wisata/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Nov 2024 08:22:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 desa wisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/desa-wisata/ 32 32 135956295 Target 6.000 Desa Wisata dan Anugerah Desa Wisata Indonesia: Apresiasi atau Eksploitasi? https://telusuri.id/target-6-000-desa-wisata-dan-anugerah-desa-wisata-indonesia-apresiasi-atau-eksploitasi/ https://telusuri.id/target-6-000-desa-wisata-dan-anugerah-desa-wisata-indonesia-apresiasi-atau-eksploitasi/#respond Sat, 24 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42550 Dilansir melalui beberapa laman berita digital, seperti Antara News, RRI, dan Kompas, di tahun 2024 ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menargetkan jumlah total desa wisata di Indonesia tembus 6.000. Target tersebut dinilai bertujuan...

The post Target 6.000 Desa Wisata dan Anugerah Desa Wisata Indonesia: Apresiasi atau Eksploitasi? appeared first on TelusuRI.

]]>
Dilansir melalui beberapa laman berita digital, seperti Antara News, RRI, dan Kompas, di tahun 2024 ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menargetkan jumlah total desa wisata di Indonesia tembus 6.000. Target tersebut dinilai bertujuan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas kepariwisataan, dan membuka berbagai lapangan pekerjaan. Kemenparekraf sendiri menyebutkan jumlah desa wisata dalam dua tahun terakhir mencapai 3.419 desa (2022) dan 4.573 (2023).

Di samping itu, target desa wisata dibarengi dengan dibentuknya kegiatan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Kegiatan tersebut merupakan program apresiasi kepada desa wisata terbaik. Berdasarkan informasi di situs web resmi ADWI, program apresiasi desa wisata ini mengklasifikasikan desa wisata menjadi desa wisata rintisan, desa wisata berkembang, desa wisata, dan desa wisata mandiri.

Program apresiasi tidak terlepas dari kategori penilaian. Dalam ADWI, terdapat lima kategori penilaian: 1) daya tarik, yaitu bagaimana suatu desa memiliki keunikan, keautentikan, dan kreativitas daya tarik desa; 2) amenitas, yakni pemenuhan standar CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental sustainability) dalam sarana dan prasarana; 3) digital, sebagai pelayanan infrastruktur dan menciptakan konten kreasi promosi melalui media digital; 4) kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM), yaitu cakupan peningkatan lapangan kerja, dampak ekonomi, dan pelibatan SDM; dan 5) resiliensi, pengelolaan desa yang berkelanjutan dengan memerhatikan isu lingkungan dan manajemen risiko.

Selain itu, terdapat berbagai persyaratan untuk menunjang suatu desa wisata dapat terlibat dalam ADWI. Syarat-syaratnya meliputi: 1) peserta wajib menjadi bagian dari keanggotaan di Jejaring Desa Wisata (JADESTA); 2) peserta wajib melampirkan surat keputusan bupati (SK desa wisata); dan 3) peserta wajib melengkapi semua informasi potensi, atraksi, paket, fasilitas.

Secara tidak langsung, program ADWI mendorong berbagai desa agar berlomba untuk terlibat bahkan menjadi pemenang dalam nominasi ADWI. Untuk menjadi pemenang, suatu desa haruslah beralih bentuk menjadi desa wisata yang unik untuk menarik wisatawan. Di sisi lain, menjadi sebuah desa wisata tidaklah mudah. Banyak hal yang dilibatkan dan dipikirkan karena terkait pengelolaan, keberlanjutan, dan dampak terhadap masyarakat itu sendiri.

Akhirnya, timbul pertanyaan, apakah target pencapaian 6.000 desa wisata oleh Kemenparekraf di tahun 2024 ini relevan dengan dampak terhadap lapangan? 

Target 6.000 Desa Wisata dan Anugerah Desa Wisata Indonesia: Apresiasi atau Eksploitasi?
Penelitian lapangan penulis di desa wisata Segajih, Kulon Progo, Yogyakarta/Anindya Laksmi Larasati

Angka Sebagai Penentu Kebijakan

Kenaikan desa wisata menunjukkan “angka yang berbicara” agar menjadi sebuah kebijakan atau keputusan. Selain itu, angka merepresentasikan dari adanya rezim nilai yang membentuk kebijakan publik. Sebagaimana Lachlan dkk (2015) dalam Making Culture Count: The Politics Of Cultural Measurement yang menyatakan bahwa perdebatan nilai selalu ada dalam ranah kebijakan.

Nilai diposisikan sebagai hal yang terlihat dan diperhitungkan, sehingga menjadi landasan dalam pengambilan keputusan yang lebih luas. Dengan kata lain, target pencapaian Kemenparekraf seyogianya dibarengi dengan pemahaman proses dan dampak kebijakan tersebut terhadap masyarakat.

Dalam kebijakan publik, angka memberikan bahasa yang umum dan konsisten untuk mengkomunikasikan keputusan, mengurangi ketidakpastian, mengkoordinasikan tindakan, dan menyelesaikan perselisihan (Innes 1990; Porter 1996; Rose 1999; Stone 2002) dalam Lachlan (2015: 12). Angka sebagai tren pengukuran budaya saat ini merefleksikan bahwa indikator yang penting dalam kebijakan yang berbasis bukti. 

Kebijakan berbasis bukti tersebut dapat didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam membuat keputusan yang tepat mengenai kebijakan. Seperti pendapat John Frow dalam Lachlan (2015: 16) yang menyatakan terdapat banyak domain nilai dalam bidang budaya, yakni ketika kelompok sosial yang berbeda menggunakan kriteria nilai yang mungkin tidak sejalan dengan realitas.

Artinya, apakah target pencapaian 6.000 desa wisata di tahun 2024 sudah sesuai dengan gagasan masyarakat itu sendiri? Sebagaimana masyarakat adalah kunci penting dalam desa wisata, sehingga tidak bersifat memaksa sementara masyarakat belum sepenuhnya mampu. 

Konflik Kepentingan

Pada dasarnya, desa wisata menimbulkan dualisme yang berbeda. Keberadaan desa wisata menunjukkan telah terjadi transisi pariwisata dari massal menjadi wisata alternatif. Tentu saja hal ini menjadi angin segar bagi desa agar dapat berdaya dan memberikan keuntungan karena menjadi salah satu pilihan dalam pengembangan pariwisata. Keuntungan desa wisata berasal dari produk wisata, seperti pengalaman wisata dengan suasana autentik, keragaman budaya, keunikan alam, hingga suvenir.

Di sisi lain, menjadi “desa wisata” tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penelitian lapangan penulis di Desa Hargotirto, Kulon Progo, Yogyakarta, menunjukkan dalam pembentukan desa wisata tidak terlepas dari konflik kepentingan.

Konflik kepentingan tersebut terjadi antara perintis dengan pihak pemerintah desa. Konflik kepentingan tersebut berdampak pada sulitnya dukungan dari pemerintah desa terhadap pembentukan hingga pengelolaan desa wisata Segajih. Salah satunya adalah pada saat Segajih mendapatkan hadiah kabel jaringan komunikasi dari pemerintah pusat, tetapi pemerintah desa tidak menyetujui hal tersebut karena dinilai mengganggu kepentingan pemerintah desa. 

Tourist Gaze dan Eksploitasi Ruang

Agar menjadi autentik dan memikat wisatawan, banyak desa akan berkompetisi dalam mengubah desanya. Hal tersebut dikenal sebagai tourist gaze. Istilah ini diperkenalkan oleh John Urry, seorang sosiolog dalam buku The Tourist Gaze, yakni praktik dan pengalaman wisata yang menekankan sikap konsumen dan kesenangan visual wisatawan.

Sederhananya, tourist gaze menekankan pada bagaimana sudut pandang wisatawan terhadap suatu objek yang berbeda dari kehidupan keseharian mereka. Akan tetapi, kritiknya jika dilakukan secara terus menerus, tourist gaze dapat berubah menjadi bumerang dan menjebak desa wisata ke dalam praktik-praktik eksploitasi ruang dan budaya. 

Target 6.000 desa wisata di tahun 2024 memungkinkan banyak desa akan mengubah desanya sesuai dengan pandangan wisatawan. Modifikasi tersebut dinilai memiliki dampak positif pada perekonomian. Hal ini sejalan dengan Vestheiem dalam Craik di bukunya Re-Visioning Arts And Cultural Policy: Current Impasses And Future Directions (2007) bahwa kebijakan budaya didasarkan pada argumen sosial dan ekonomi, yaitu budaya dianggap mempunyai dampak positif terhadap perekonomian, integrasi sosial, kesehatan, statistik kriminal, dan sebagainya.

Secercah Solusi

Kebijakan desa wisata di tengah-tengah tren pariwisata dewasa ini harapannya bukanlah sebuah tekanan terhadap suatu wilayah atau desa itu sendiri. Penulis berpendapat desa wisata ideal adalah desa wisata yang muncul berdasarkan gagasan atau aspirasi dari masyarakat. Desa wisata bukanlah sebatas pada transisi tren wisata, melainkan dapat menjamin transformasi kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya warganya.

Salah satu caranya adalah dengan mengedepankan sudut pandang orang lokal atau local people gaze. Sebagaimana desa wisata tersebut dikelola dengan nilai dan identitas asli dari desa tersebut, sehingga tidak terjebak pada tourist gaze.

Selain itu, desa wisata bukanlah sebuah elemen yang berkisar pada sudut pandang wisatawan dan tuntutan industri pariwisata semata. Hal itu dimaksudkan agar setidaknya warga lokal tidak tersingkir di tengah kehancuran budaya lokal, atau mengalami manipulasi budaya yang mengarah pada pengaburan identitas.

Referensi:

Craik, J. (2007). Re-Visioning Arts And Cultural Policy: Current Impasses And Future Directions (p. 104). ANU Press.
Jadesta. (2024). Anugerah Desa Wisata Indonesia 2024. https://jadesta.kemenparekraf.go.id/adwi2024.
MacDowall, L., Badham, M., Blomkamp, E., & Dunphy, K. (Eds.). (2016). Making Culture Count: The Politics Of Cultural Measurement. Springer.
Mandra. (2024, 18 Februari). RRI: Menparekraf Target Bentuk Ribuan Desa Wisata. https://www.rri.co.id/bisnis/561716/menparekraf-target-bentuk-ribuan-desa-wisata.
Mubarokah, M. E., & Tashandra, N.. (2023, 13 Agustus)  Kemenparekraf Target Kembangkan 250 Desa Wisata hingga 2024. https://travel.kompas.com/read/2023/08/13/095147827/kemenparekraf-target-kembangkan-250-desa-wisata-hingga-2024.
Setiawan, M. F. (2024, 18 Februari). Menparekraf targetkan bentuk 6.000 desa wisata selama 2024. https://www.antaranews.com/berita/3970467/menparekraf-targetkan-bentuk-6000-desa-wisata-selama-2024


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Target 6.000 Desa Wisata dan Anugerah Desa Wisata Indonesia: Apresiasi atau Eksploitasi? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/target-6-000-desa-wisata-dan-anugerah-desa-wisata-indonesia-apresiasi-atau-eksploitasi/feed/ 0 42550
Geliat Ekowisata Desa Santuun https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/ https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/#respond Tue, 31 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36980 Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri,...

The post Geliat Ekowisata Desa Santuun appeared first on TelusuRI.

]]>
Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri, dikelilingi hutan dan alam yang masih hijau dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di tengah maraknya perkembangan desa menjadi desa wisata, para pemuda Desa Santuun pun ingin membangun desanya menjadi tempat wisata yang terkenal di Kalimantan Selatan. TelusuRI berkesempatan mewawancarai salah seorang pemuda penggagas desa wisata yakni Hairul Rizky, ketua kelompok sadar wisata Desa Santuun.

Desa Santuun semula seperti desa-desa lainnya, orang-orang hidup dari bertani dan berladang. Semenjak potensi wisata desa ini mulai wara-wiri di media sosial, orang-orang mulai ramai mengunjungi desa ini, mengisi rasa penasaran akan wisata air terjun yang viral. Rizky dan kawan-kawan yang melihat fenomena ini kemudian mencoba mengelola dan mempromosikan spot-spot wisata di desa. Kemudian, seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang tertarik mengunjunginya.

Kami mempromosikan itu (Desa Santuun) tahun 2019. Melihat potensi yang ada di sini, yang kaya akan potensi wisatanya, habis itu diposting di media sosial dan banyak orang tertarik ke sini,” ungkap Hairul.

desa santuun
Santuun yang masih asri membawa pada petualangan yang seru/Hairul Rizky

Ada sekitar 13 spot wisata yang ada di desa ini: Batu Tungku, Sungai Bura, Air Terjun HTI, Goa Batu Kumpai, Kebun Kopi, Gunung Batu Kumpai, Lok Lua, Tampirak Lokagung, Situs Peninggalan Jepang, Rukit Batu Tinggi, Riam Batu Tinggi, Bukit Pa’asahan, dan Tebing Pa’asahan.

Air Terjun HTI adalah salah satu spot yang paling sering dibicarakan orang-orang. Dengan air jernih dan ketinggian sekitar 7 meter, orang-orang dari Tanjung atau bahkan Banjarmasin rela mengunjunginya meski berjarak hampir 250 kilometer dari Ibukota Kalimantan Selatan tersebut. Air terjun ini juga menjadi pemberitaan media-media lokal dan dikatakan bahwa air terjun ini “terasa sangat nyaman sebagai tempat berenang”.

Meskipun sudah lumayan terkenal pada waktu itu, kondisi jalan menuju desa atau lokasi wisata masih tidak nyaman. Apalagi akses ke air terjun yang harus melewati jalan tanah yang berlumpur. “Sebenarnya, jalan [ke desa] tidak semua bagus, ada sekitar 80% lah, ada yang belum disemen. Kalau jarak dari Tanjung itu ke Santuun sekitar 1,5 jam, 20 menit terakhir paling yang jalannya agak rusak, banyak batu-batu,” ucap Hairul.

Inisiasi wisata di desa ini tidak lepas dari usaha anak-anak muda yang tergabung di komunitas pecinta alam setempat, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), dan kelompok dari KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial). Untuk kelompok yang terakhir disebut, merupakan amanat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk desa-desa yang memiliki hutan agar mampu mengelola hutan mereka. Soal wisata di Santuun, semua pihak terlibat aktif mendukung berjalannya ekowisata. Ada sekitar 15 orang pemuda yang berkecimpung mengurus wisata di desa, dengan rentang usia 17 hingga 20-an ke atas.

Konsep ekowisata yang mereka usung adalah tidak mengizinkan adanya sampah wisata yang masuk ke dalam desa. Hal ini untuk meminimalisir desa ini dari timbunan sampah hasil wisatawan seperti di tempat-tempat wisata pada umumnya.. 

Ada cerita menarik yang disampaikan Hairul saat merintis desa ini menjadi desa wisata. “Pada saat merintis ke puncak Batu Kumpai itu, kami tidak berharap untuk orang masuk ke sini (berwisata). Kami tidak mengharapkan imbalan, tapi ada yang tidak membayar, ada juga yang membayar lebih, semisal 15 ribu, ini diberi 50 ribu. Jadi ketika kami tidak minta imbalan, orang justru memberi lebih.” 

Setelah sudah dikelola, para pengurus menetapkan karcis masuk sebesar 15 ribu rupiah, sudah termasuk tarif parkir hingga pemandu sampai ke puncak.

  • Desa Santuun
  • Tempat kemping di Santuun
  • gua

Dalam upaya membekali Hairul dan kawan-kawan pengetahuan mengelola desa wisata, mereka mendapatkan kesempatan studi banding ke Sukabumi, tepatnya Tanakita bersama Dinas Kehutanan. Selama di sana mereka mempelajari bagaimana dan apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan desa berbasis ekowisata. Setelahnya, mereka jadi banyak tahu cara mengelola desanya.

“Pambakal (kepala desa) sampai camat sudah mendukung [wisata di Santuun].”

Rupanya baru setahun setelah dikelola, pandemi yang kala itu sedang ganas-ganasnya di Wuhan turut mendatangi negeri ini. Otomatis, sebagai tempat wisata, Desa Santuun menghentikan segala kegiatan wisata. Penutupan ini berlangsung cukup laman hingga dibuka kembali Idulfitri tahun 2022. Selama vakum dan kembali buka.

“Biasanya pencatatan kunjungan per tiga bulan. Catatan kunjungan tertinggi pada Hari Raya Idulfitri kemarin (2022), sekitar 213 orang yang ke sini,” ungkap Hairul

Pembangunan secara bertahap kemudian berlangsung demi memudahkan para wisatawan yang ingin menghabiskan waktu lebih lama di Desa Santuun. Mereka memanfaatkan rumah para warganya menjadi penginapan sederhana. Konsep seperti ini umum di desa-desa wisata, selain menguntungkan warga, juga bisa menjalin relasi yang lebih dalam dari sekedar pemilik bisnis-konsumen. 

“Kami menyediakan camping ground, atau bisa menginap di rumah-rumah warga atau di sekre, tapi yang paling utama itu disarankan camping ground. Soalnya, tempatnya dekat dan strategi untuk menuju ke wisata-wisata lain,” terang Hairul.

Kesulitan desa-desa terpencil yang ingin menjadi desa wisata sudah pasti ada di dana. Sama halnya dengan Desa Santuun yang agak kesulitan dalam dana pembangunan pariwisata, yang tentunya harus dibagi lagi dari dana penerimaan desa. 

“Kalau untuk pembangunan [desa] ini pastinya dana. Keterlambatan dana itu jadi juga terlambat pembangunan di wisatanya. Infrastruktur jalannya juga belum 100% baik untuk menuju ke tempat wisata. Kalau ada acara-acara, kita minta sponsornya ke CSR perusahaan, semisal baru-baru ini ada event kreasi bivak.” tutupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Geliat Ekowisata Desa Santuun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/feed/ 0 36980
Festival Jerami, Pelengkap Daya Tarik Desa Wisata Banjarejo  https://telusuri.id/festival-jerami-pelengkap-daya-tarik-desa-wisata-banjarejo/ https://telusuri.id/festival-jerami-pelengkap-daya-tarik-desa-wisata-banjarejo/#respond Tue, 29 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36248 Desa Banjarejo—salah satu desa wisata di Kabupaten Grobogan—belum lama ini kembali menghelat Festival Jerami selama sepuluh hari sejak 30 September hingga 9 Oktober 2022. Ini merupakan perhelatan yang ketiga kalinya, perhelatan pertama pada tahun 2018...

The post Festival Jerami, Pelengkap Daya Tarik Desa Wisata Banjarejo  appeared first on TelusuRI.

]]>
Desa Banjarejo—salah satu desa wisata di Kabupaten Grobogan—belum lama ini kembali menghelat Festival Jerami selama sepuluh hari sejak 30 September hingga 9 Oktober 2022. Ini merupakan perhelatan yang ketiga kalinya, perhelatan pertama pada tahun 2018 dan yang kedua tahun 2019.

Festival Jerami sempat absen selama dua tahun karena pandemi COVID-19, yaitu pada tahun 2020 dan 2021. Seiring penyebaran virus corona yang mulai melandai, tahun 2022 Desa Banjarejo kembali bisa menyelenggarakannya. Kali ini, Festival Jerami #3 mengangkat tema “Peradaban Nusantara”. 

Festival Jerami merupakan festival yang di dalamnya mempertunjukkan  pelbagai patung berukuran raksasa yang terbuat dari jerami. Melimpahnya jerami seusai panen padi di Desa Banjarejo memantik ide penyelenggaraan festival ini. Sebagaimana helatan sebelumnya, pada Festival Jerami #3 kali ini juga menampilkan pelbagai patung berukuran raksasa. Ada 23 patung jerami dalam festival yang terselenggara di lapangan Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah itu.

Sesuai tema yang diusung, yakni Peradaban Nusantara, patung-patung yang ditampilkan melukiskan rangkaian perkembangan peradaban di Nusantara, sejak zaman prasejarah, zaman purba, masa kerajaan, era kolonial, hingga era modern. 

Patung Jerami Gajah Mada
Patung Gajah Mada, salah satu tokoh di era kejayaan Majapahit/Badiatul Muchlisin Asti

Patung Dewi Sri

Beberapa patung yang ditampilkan di antaranya merupakan replika dari fosil, karakter dewa-dewi, tokoh kerajaan, karakter hewan, kendaraan, dan aneka bentuk lainya. Salah satu patung yang tampak menonjol karena berukuran paling besar di antara patung-patung jerami lainnya adalah patung Dewi Sri—simbol kemakmuran dalam mitologi Jawa karena sosoknya yang lekat dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi. 

Patung Dewi Sri memiliki tinggi 7 meter dan lebar 2,5 meter. Tampak kokoh dan cantik, sehingga sepertinya patung ini paling banyak dijadikan sebagai spot atau latar foto oleh para pengunjung.  Selain patung Dewi Sri, ada juga patung Gajah Mada. Dalam historiografi Nusantara, Gajah Mada merupakan sosok panglima perang dan mahapatih yang sangat populer di era kejayaan Kerajaan Majapahit.  Sosok Gajah Mada populer dengan Sumpah Palapanya.

Dewi Sri Jerami
Berpose dengan latar belakang patung Dewi Sri/Badiatul Muchlisin Asti

Ada juga replika kereta kencana yang merupakan kereta kuda yang dulu jamak dijadikan sebagai alat transportasi andalan kaum bangsawan, di masa kerajaan maupun di masa kolonial. Ada juga pelbagai patung dengan karakter hewan seperti gajah, banteng, ular, dan tikus, rusa, dan lainnya. Berbagai patung atau replika fosil juga ditampilkan serta replika sepeda motor, monas, dan lain sebagainya.   

Pelbagai patung dan replika yang ditampilkan semuanya berbahan dasar jerami. Membuatnya tentu membutuhkan kemampuan seni tinggi, di samping juga menelan biaya yang tak sedikit. Untuk membuat 23 patung yang ditampilkan dalam Festival Jerami #3 menghabiskan setidaknya 10 ton jerami dan biaya mencapai puluhan juta rupiah.

Pesta Rakyat 

Festival Jerami #3 Desa Wisata Banjarejo tidak sekedar festival yang “menyulap” melimpahnya jerami menjadi aneka patung yang indah—yang menarik untuk dilihat, akan tetapi sepertinya juga didesain menjadi semacam “pesta rakyat”.

Oleh pihak panitia, perhelatan ini dilengkapi dengan aneka acara pendukung yang menjadi magnet bagi masyarakat luas untuk berkunjung dan menikmati pelbagai hiburan yang ditampilkan, selain tentu saja melihat dan mengambil dokumentasi dengan latar aneka patung jerami. Festival ini memang tidak gratis. Pengunjung harus membeli tiket. Tapi sepadan dengan hiburan yang disuguhkan. Pengunjung bisa memilih sendiri jenis hiburan yang dipilih sesuai yang agenda. Selama sepuluh hari,  panitia memang menampilkan aneka hiburan yang berbeda setiap harinya.

Seperti pada pembukaan festival, panitia menghadirkan Abah Lala—penyanyi dan pencipta lagu yang tengah naik daun karena popularitas lagu ciptaannya Ojo Dibandingke yang viral setelah dinyanyikan penyanyi cilik Farel Prayoga.  

  • Patung gajah jerami
  • Festival Jerami
  • Sepeda motor jerami

Di hari-hari selanjutnya, berturut-turut panitia menghadirkan penyanyi cover lagu yang juga lagi naik daun, Maulana Ardiansyah, dan juga Farel Prayoga—penyanyi cilik yang viral setelah sukses “menggoyang” Istana Negara. Dan masih banyak lagi hiburan lain yang ditampilkan.

Sayang, di balik riuh dan gempita masyarakat menikmati Festival Jerami #3 Desa Wisata Banjarejo, cuaca nampak sedang tidak bersahabat. Hujan yang sering mengguyur menjadi kendala tersendiri. Selain menjadi ‘penghalang’ sebagian masyarakat untuk datang, juga menjadikan lapangan tempat festival becek.

Namun, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, Festival Jerami #3 merupakan contoh baik (best practice) sebuah desa yang berhasrat menggeliatkan roda ekonomi melalui sebuah daya tarik wisata berupa festival berbasis kearifan lokal (local wisdom).  

Festival Jerami ini bisa menjadi pelengkap daya tarik Desa Banjarejo—yang telah dikukuhkan sebagai desa wisata pada 2016 lalu, setelah pada Senin, 15 Agustus 2022, dua museum berbasis situs purbakala yaitu Museum Banjarejo dan Museum Situs Gajahan Sendang Gandri yang berada di Desa Banjarejo diresmikan oleh Bupati Grobogan, Sri Sumarni.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Festival Jerami, Pelengkap Daya Tarik Desa Wisata Banjarejo  appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/festival-jerami-pelengkap-daya-tarik-desa-wisata-banjarejo/feed/ 0 36248
Titin Riyadiningsih: Memajukan Wisata dari Desa https://telusuri.id/titin-riyadiningsih-memajukan-wisata-dari-desa/ https://telusuri.id/titin-riyadiningsih-memajukan-wisata-dari-desa/#respond Thu, 01 Sep 2022 09:00:27 +0000 https://telusuri.id/?p=34899 Bagi sebagian anak muda, bekerja di kota-kota besar adalah impian yang harus dicapai. Gaji yang tinggi, jenjang karir yang menjanjikan, hingga fasilitas dan sarana yang lengkap membuat banyak anak muda memilih meninggalkan kampung halamannya demi...

The post Titin Riyadiningsih: Memajukan Wisata dari Desa appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian anak muda, bekerja di kota-kota besar adalah impian yang harus dicapai. Gaji yang tinggi, jenjang karir yang menjanjikan, hingga fasilitas dan sarana yang lengkap membuat banyak anak muda memilih meninggalkan kampung halamannya demi mencapai ambisi dan hidup, yang katanya akan lebih makmur Berbeda dengan Titin Riyadiningsih, dia lebih memilih untuk kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi dan menjadikan desanya berdaya sebagai desa wisata.

Titin Riyadiningsih (Instagram_titinriyadiningsih)
Titin Riyadiningsih via Instagram/titinriyadiningsih

Malam itu, Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021 yang digelar pada Desember 2021 mengumumkan Desa Wisata Sumberbulu sebagai peraih Juara 1 dalam kategori souvenir. Terpancar rasa tidak percaya dalam diri Titin dan teman-temannya. Perjuangannya selama ini akhirnya membuahkan hasil yang signifikan sekaligus membuktikan pada semua orang bahwa sebuah desa bisa berkembang dengan usaha yang tekun. Malam itu bakal menjadi malam yang akan dikenangnya seumur hidup.

Bagaimana bisa seseorang dengan latar belakang kesehatan gigi, beralih peran menjadi penggagas desa wisata dan sukses membawa perubahan bagi masyarakatnya? 

Awal Mula Perjuangan

Assesment lapangan dan sertifikasi desa wisata berkelanjutan di Desa Sumberbulu (Instagram_titinriyadiningsih)
Assesment lapangan dan sertifikasi desa wisata berkelanjutan di Desa Sumberbulu via Instagram/titinriyadiningsih

Jauh sebelum Desa Sumberbulu gegap gempita merayakan keberhasilan mereka, ada masa-masa perjuangan panjang yang menjadi kenangan Titin. Sekembalinya dari kuliah Higiene Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Titin sempat bekerja di klinik selama satu tahun sebelum memutuskan pulang ke Sumberbulu untuk kemudian mengembangkannya sebagai desa wisata. 

“Semasa kuliah di Jogja sering bantuin teman pengabdian masyarakat, sering bantu teman penelitian juga, melihat ke Desa Wisata Pentingsari gitu kan.” 

Dirinya kemudian melihat potensi wisata di Sumberbulu yang belum pernah dikelola, padahal orang-orang seringkali datang ke Sumberbulu. Namun karena tidak adanya pengelolaan, akhirnya hanya berakhir sebatas kunjungan tanpa adanya dampak ke masyarakat sekitar.  Gairahnya yang timbul karena seringkali kerja lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, jalan-jalan, membuatnya berpikir untuk menjadikan desanya berkembang layaknya desa-desa lainnya yang sudah lebih dahulu menjadi desa wisata.

Pada tahun 2018, dirinya bersama teman-temannya kuliah dan karang taruna menganalisis apa saja potensi yang ada di desa dengan metode SWOT, dan juga mewawancarai masyarakat tentang arah pembangunan di desa tersebut. Selesai kegiatan tersebut, didapatlah gambaran besar untuk arah pembangunan Sumberbulu sebagai desa wisata.

Titin banyak merujuk ke Desa Pentingsari sebagai contoh yang paripurna sebuah desa wisata. “Pentingsari kan kulturnya hampir sama dengan di Sumberbulu, meski di sana—Pentingsari dekat dengan lereng Merapi yang menjadi pendukungnya. Tapi yang terkuat di sana adalah sumber daya manusianya.”

“Setelah dirunut dan analisa SWOT, ternyata potensi dan kultur Sumberbulu hampir sama dengan di Pentingsari.”

Segera setelah permasalahan dan tujuan berhasil dipetakan, Titin dan kawan-kawan mendatangi para tokoh masyarakat untuk mempresentasikan terkait kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Tidak disangka, paparan Titin disambut antusias sebagian masyarakat yang menyatakan siap untuk membangun desa secara bersama-sama, meskipun ada sebagian yang ragu apakah ini akan berjalan dengan mulus.

Dengan niat baik membangun desa, tidak serta merta semuanya mau menerima ide terobosan Titin. Titin yang sebelumnya dikenal tidak pernah mengikuti kegiatan karang taruna di desa tiba-tiba muncul dengan ide-ide desa wisata. Setahun pertama, perjuangan meyakinkan warga desa banyak menguras pikiran dan tenaga. Salah satu perjuangan yang paling diingatnya adalah pencarian rumah yang diproyeksikan akan menjadi rumah tinggal untuk wisatawan. Selama 3 bulan, Titin dan teman-temannya mendapati hanya lima rumah yang bersedia.

“Buat apa sekolah tinggi-tinggi tapi sekarang masih nganggur, masih ngalor ngidul,” ucap salah seorang warga, yang masih membekas di benaknya. 

Kerja keras baru saja dimulai. Selama dua tahun awal, perjuangan tersebut merupakan perjuangan yang benar-benar berat karena semua berangkat dari nol. “Berkat kegigihan teman-teman dan bagaimana kita mencari peluang untuk menjadi desa wisata, belajar ke desa wisata yang lain, analisis desa yang sudah menjadi desa wisata, sampai tahun 2019 kita akhirnya memproklamirkan diri sebagai desa wisata.”

Jalan itu Terbuka

Dirinya sempat terpikir untuk menyerah, apalagi melihat teman-teman kuliahnya yang memilih jalan hidup yang lebih mudah dibanding dirinya. “Udah lah, ngapain,” jerit pikirannya yang sudah mulai meronta untuk berpindah haluan. Untungnya dia dikelilingi oleh teman-teman yang tetap bersamanya meskipun keadaan lagi susah. Dirinya dan teman-teman mencari berbagai cara untuk pendanaan desa. Mereka sempat berjualan baju bekas yang keuntungannya kemudian digunakan untuk mempercantik desa seperti beli bak sampah dan membangun gapura.

Kepala desa pun sebenarnya tidak merestui berdirinya Sumberbulu sebagai wisata. Tetapi kegigihan Titin untuk mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang diadakan oleh Dinas Pariwisata membuatnya memiliki relasi yang cukup kuat dan luas, alhasil Titin berhasil mendapatkan pendampingan dari Kementerian Pariwisata pada 2019. Hal tersebut cukup mampu mendorong kepercayaan diri dan dukungan masyarakat desa meski belum 100%. 

“Kita tidak memaksa masyarakat untuk berubah menjadi desa wisata, kita memberikan bukti kepada mereka bahwa Sumberbulu itu sebenarnya bisa menjadi desa wisata.”

Untuk menambah promosi dan minat, Titin dan teman-teman juga mencetak brosur dan menitipkannya pada dinas terkait untuk disebarkan. Juga, promosi ke sekolah dan instansi untuk menambah jumlah kunjungan. 

Titin juga mengajak masyarakat desa untuk kunjungan ke Desa Pentingsari, untuk melihat langsung bagaimana pengelolaan desa wisata dan bertukar pengalaman dalam manajemen desa wisata. “Sepulang dari Pentingsari ada perubahan lagi gitu. Dari lima homestay sekarang sudah 48 homestay yang bergabung dengan kita.” Sekarang, untuk menambah personel homestay, Titin cukup menghubungi lewat ponsel, tidak lagi seperti dulu yang harus door to door.

Salah satu yang menonjol dari Desa Sumbernbulu adalah souvenirnya (Instagram_titinriyadingingsih)
Salah satu yang menonjol dari Desa Sumbernbulu adalah souvenirnya via Instagram/titinriyadiningsih

“Alhamdulillah, sudah banyak perubahan,” ucapnya.

Lanskap Sumberbulu yang didominasi persawahan menjadikan masyarakatnya agraris dengan hasil alam berupa beras, jagung, singkong, ketela dan lain sebagainya. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Seperti yang kita tahu, nasib petani Indonesia tidaklah mujur. Dari sekian panjang alur ekonomi pemasaran suatu komoditi, petanilah yang seringkali mendapat banyak kerugian dibanding yang lainnya. Menjadi desa wisata, salah satu tujuannya adalah memperbaiki taraf hidup masyarakat agar ada kecakapan selain dari bertani.

Sertifikasi sebagai desa wisata yang berkelanjutan pun sudah diterima Sumberbulu yang langsung diserahkan oleh Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno. Sebelumnya, pengelola desa wisata diberikan pelatihan dan arahan untuk menjadi desa wisata berkelanjutan. Persiapan yang dilakukan terkait birokrasi tidak hanya secara fisik, tetapi juga perlu melengkapi dokumen yang jumlahnya mencapai 174 buah yang terdiri dari beberapa kategori: kelembagaan, ekonomi, sosial-budaya, kelestarian lingkungan. Selama seminggu mereka berusaha untuk memenuhi syarat dokumen tersebut dan juga assessment dari ahli pariwisata. 

Puncak Tapi Bukan Penghabisan 

Pada malam ADWI 2021, Titin dan kawan-kawan diundang ke Jakarta oleh Kementerian Pariwisata. Mereka juga mendapat pesanan berupa lukisan 7×4 meter yang dilukis oleh teman-teman Sumberbulu untuk ikut serta dipamerkan. Di akhir acara, mereka tidak hanya memboyong satu piala, tapi juga berhasil mendapatkan sertifikat desa wisata berkelanjutan yang berlaku selama tiga tahun. 

“Momen di mana kita kemarin diundang ke Jakarta, menerima sertifikat dan menjadi juara 1 kategori souvenir, membuat saya sendiri tuh nggak percaya sampai saat ini bisa sampai di titik itu. Dari hal kecil yang saya lakukan bareng teman-teman di Sumberbulu, sekarang sudah bernilai banyak untuk masyarakat yang ada di Sumberbulu.”

“Karena kembali lagi yang kita kejar semuanya dari awal itu bukan serta merta uang, tapi bagaimana caranya kita bisa mewadahi masyarakat lebih tahu, lebih paham bahwa tantangan ke depan itu lebih banyak, tidak hanya kita sekedar hidup di desa,” tambahnya. 

Sekarang Titin sudah menjabat sebagai direktur Bumdes di Desa Pendem dan perannya di Sumberbulu sudah beralih menjadi penasihat. Sudah saatnya penyelenggaraan desa wisata dikaderisasi dengan baik agar kesempatan belajar dan berkembang selalu ada bagi generasi muda. Titin sekarang lebih banyak berada di balik layar untuk memberi arahan.

Semakin menjamurnya desa wisata berarti semakin banyak yang ingin berkecimpung masuk mengurus desa dan segala kelebihannya wisatanya. Hal itu bagus, mengingat pemerintah juga mencanangkan pembangunan nasional berkelanjutan yang dimulai dari desa. Titin mengingatkan kepada siapapun yang ingin terjun mengurus desa wisata untuk jangan berfokus kepada materi tapi fokuslah pada pembangunan masyarakat atau lingkungan. Pola pikir yang berfokus pada materi akan menjerumuskan para pengelola pada langkah yang terbatas. 

“Kalau diniatkan untuk memperbaiki lingkungan, memperbaiki pola pikir masyarakat, secara otomatis akan bertahap naik. Memang butuh proses, niat, perjuangan, komitmen, konsistensi,” paparnya. “Dengan adanya desa wisata, perubahan dalam segi pemikiran, ekonomi, dan pendidikan itu berubah drastis. Karakter masyarakat akan terbentuk secara otomatis.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Titin Riyadiningsih: Memajukan Wisata dari Desa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/titin-riyadiningsih-memajukan-wisata-dari-desa/feed/ 0 34899
Menyusuri Alam dan Budaya Desa Wisata Tinalah https://telusuri.id/menyusuri-alam-dan-budaya-desa-wisata-tinalah/ https://telusuri.id/menyusuri-alam-dan-budaya-desa-wisata-tinalah/#respond Wed, 22 Dec 2021 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31767 Dewasa ini, desa wisata semakin menjamur di Indonesia. Satu per satu masyarakat mulai mengelola potensi desa. Banyak ragam yang ditonjolkan oleh desa wisata sebagai jenama mereka; ada yang promosikan pesona alamnya, ada yang dengan hasil...

The post Menyusuri Alam dan Budaya Desa Wisata Tinalah appeared first on TelusuRI.

]]>
Dewasa ini, desa wisata semakin menjamur di Indonesia. Satu per satu masyarakat mulai mengelola potensi desa. Banyak ragam yang ditonjolkan oleh desa wisata sebagai jenama mereka; ada yang promosikan pesona alamnya, ada yang dengan hasil kerajinannya, ada yang dengan keunikan budayanya. Desa wisata di Jawa, khususnya Yogyakarta seakan tidak pernah kehabisan pesona untuk unjuk gigi. Salah satunya adalah Desa Wisata Tinalah.

Alam yang hijau dan udara dingin khas pegunungan, dikelilingi Pegunungan Menoreh dan Sungai Tinalah, desa ini berada di Kabupaten Kulon Progo, Kecamatan Samigaluh, Desa Purwoharjo. Desa ini secara resmi menjadi desa wisata pada 2013 dengan memakai jenama Dewi (Desa Wisata) Tinalah. Berdasarkan situs resmi Desa Tinalah, nama tersebut diberikan untuk menggambarkan sosok sahabat yang memberikan kenyaman dan ketenangan, yang akhirnya juga menjadi motto desa yakni pesona alam dan budaya.

Dewi Tinalah
Kawasan Dewi Tinalah/Galuh Fahmi

Secara resmi, desa ini menyediakan paket wisata yang bisa pengunjung pilih, sesuai dengan maksud dan keinginan pengunjung. Kalau mau santai-santai sambil menikmati semliwir angin dari Menoreh kamu bisa memesan Paket Camping Jogja. Kalau mau ada aktivitas fisik dan sedikit menantang kamu bisa memilih Paket Outbound Jogja. Kalau untuk ramai-ramai sambil berdiskusi dan makrab organisasi bisa dicoba Paket Makrab Jogja.

Salah satu wisata alam yang terkenal di Tinalah adalah Goa Sriti. Goa Sriti memang tidak seterkenal Goa Pindul, yang sudah lebih dahulu dikenal masyarakat banyak namun goa ini memiliki sejarah yang panjang. Konon saat Perang Diponegoro, goa ini digunakan sebagai tempat persembunyian pasukan Diponegoro, sekaligus tempat pelantikan Diponegoro sebagai sultan dengan nama Sultan Abdul Hamid. Goa Sriti punya ruang cukup luas untuk dimasuki beberapa orang, namun sedikit pengap dan gelap.

Untuk penyuka wisata sejarah, wisatawan bisa berkunjung ke salah satu tempat bersejarah yang ada di Desa Tinalah, yakni Rumah Sandi. Rumah Sandi merupakan salah satu saksi bisu perjuangan Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda ke-2 yang berperan dalam menyebarkan informasi perjuangan kepada luar negeri. Meskipun sempat mengalami kerusakan, rumah ini telah dipugar dan difungsikan sebagai museum untuk mengenang perjuangan bangsa. 

  • Dewi Tinalah
  • Dewi Tinalah
  • Dewi Tinalah

Matahari pagi memang terlihat menyenangkan untuk dilihat, apalagi dari daerah ketinggian. Gardu pandang di Desa Tinalah yakni Puncak Kleco. Puncak Kleco merupakan salah satu tempat favorit di Desa Tinalah untuk melihat matahari terbit. Kita bisa melihat pemandangan Wates, Jogja, dan Pegunungan Menoreh dari atas sini yang kadang masih diselimuti kabut tipis.

“Sebelum menjadi desa wisata, masyarakat kebanyakan menjadi petani, peternakan, pengrajin mebel kayu , atau berjualan,” ungkap Galuh Fahmi, salah seorang pengelola Desa Tinalah. 

“Setelah menjadi desa wisata, banyak masyarakat terlibat sebagai pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif, seperti menjadi pemandu wisata, penyedia homestay, penyedia kuliner,” lanjutnya.

Menjadi desa wisata itu bukan hanya menjadikan desa sebagai tempat pertunjukkan, tetapi lebih dari itu dapat kita lihat perekonomian desa semakin maju, masyarakat menjadi tulang punggung pergerakan wisata desa. Desa menjadi lebih terbangun dengan label “desa wisata”, banyak pikiran yang menjadi terbuka akan pentingnya aktualisasi diri di tengah modernisasi. Maklum, kemajuan teknologi tidak bisa kita pungkiri turut andil menyebarkan dampak positif menjadi desa wisata.

Desa Tinalah, ungkap Fahmi, sudah menjadi ruang kolaborasi lintas generasi baik generasi muda maupun tua. Generasi muda yang energik diberikan ruang tampil, tantangan, serta tanggung jawab untuk keberlangsungan kegiatan desa wisata.  Para pemuda diberikan kesempatan untuk menjadi pemandu wisata, pemandu outbound, pelatihan desa wisata, dan pengembangan konten kreatif di berbagai media daring.

TelusuRI melihat Desa Tinalah keluar sebagai pemenang pada Anugerah Desa Wisata 2021 kategori desa digital. Program yang digagas Kemenparekraf ini berhasil memicu desa-desa untuk semakin kreatif menemukan ruang untuk melabeli diri mereka dengan label wisata. Dalam salah satu artikel di situs Kemenparekraf, ada empat tingkatan desa wisata yaitu: rintisan, berkembang, maju, dan mandiri. Desa Tinalah sendiri masuk pada kategori.

Galuh mengungkapkan apa yang ingin dicapai oleh desanya lima tahun kedepan. “Rencana pengembangan desa wisata lima tahun ke depan dengan semakin banyaknya partisipasi masyarakat di desa, akan disosialisasikan ke masyarakat dan melibatkan berbagai kelompok-kelompok masyarakat seperti seni budaya, PKK, Karang taruna dan UMKM.”

Kedepannya akan lebih banyak diadakan paket homestay yang ada di Desa Tinalah untuk memberikan kesempatan lebih kepada para masyarakat untuk bisa berpartisipasi lebih dalam kegiatan desa wisata. Perkembangan dan perencanaan ini patut kita syukuri, terlebih Indonesia berhasil melewati masa krisis akibat COVID-19 yang menghantam perekonomian negeri.

Desa Tinalah, berdasarkan penilaian dari Kemenparekraf merupakan desa wisata yang masih berkembang, yang artinya desa ini mempunyai potensi dan sudah mulai dikembangkan secara serius. Masih ada beberapa tahap yang harus dikembangkan guna mencapai desa wisata mandiri. Penambahan fasilitas, kegiatan, dan juga kelengkapan tentu akan menambah semarak wisata di desa ini, tetapi yang lebih penting adalah bisa tetap menjaga desa wisata yang berkelanjutan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menyusuri Alam dan Budaya Desa Wisata Tinalah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-alam-dan-budaya-desa-wisata-tinalah/feed/ 0 31767
Ayam Gecok dan Sepenggal Cerita dari Cikakak https://telusuri.id/ayam-gecok-dan-sepenggal-cerita-dari-cikakak/ https://telusuri.id/ayam-gecok-dan-sepenggal-cerita-dari-cikakak/#respond Sun, 31 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31193 Seorang laki-laki paruh baya mulai menghentakkan alu, diikuti oleh dua orang ibu-ibu. Alunan gejog lesung menyambut kehadiran kami sore itu di Desa Wisata Cikakak. Terdengar begitu harmonis. Saya kerap menemui pertunjukan gejog lesung ketika berkunjung...

The post Ayam Gecok dan Sepenggal Cerita dari Cikakak appeared first on TelusuRI.

]]>
Seorang laki-laki paruh baya mulai menghentakkan alu, diikuti oleh dua orang ibu-ibu. Alunan gejog lesung menyambut kehadiran kami sore itu di Desa Wisata Cikakak. Terdengar begitu harmonis. Saya kerap menemui pertunjukan gejog lesung ketika berkunjung ke desa-desa wisata, meski tak semua menyuguhkannya sebagai penyambutan pengunjung. Namun tentu saja, nada yang dihasilkan berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya.

“Silahkan mencoba, Mbak!” ujar bapak paruh baya tersebut. Saya dan Hanif—rekan perjalanan kala itu—pun mengambil alih dua buah alu, memegangnya dengan erat, lalu mengikuti petunjuk dari beliau. Sore itu, suara jegog lesung kami memecah kesunyian Pendopo Pakoso, tempat yang menjadi pusat seni dan budaya desa ini.

Usai mengeluarkan cukup banyak tenaga untuk menghentakkan alu, kami berbincang sejenak mengenai Desa Wisata Cikakak yang baru kali pertama kami kunjungi ini sembari berjalan kaki menuju Azacraft—pusat souvenir dan oleh-oleh Desa Wisata Cikakak. Di sana, Pak Bahrudin dan pemilik ruang menyuguhkan hidangan utama yang sejak dari Purwokerto memenuhi isi pikiran.

Sejujurnya, dua hal yang membuat saya tertarik datang mendadak ke sini yakni karena ayam gecok—yang kata Pak Bahrudin sangat enak—dan juga karena penasaran dengan sentra ciu Cikakak—yang belakangan lebih dikenalkan sebagai “tirta brahma”. Saya ceritakan nanti kenapa nama baru ini muncul.

Baru-baru ini saya memang punya ketertarikan akan proses pembuatan minuman alkohol, ciu salah satunya. Saya bahkan sempat mengunjungi Bekonang dengan membawa rasa penasaran bagaimana proses pengolahan ciu di sana. Namun sayangnya, saya tak berani mengetuk satupun rumah produksi ciu. Seorang teman berkata, “Kalau nggak ada kenalan di Bekonang, nggak usah ke sana. Nanti kenapa-napa.” Rasa takut kemudian menggelayuti meski rasa penasaran membuncah. Akhirnya, waktu itu saya keluar dari kawasan Bekonang tanpa membawa cerita. 

Saatnya mencicipi ayam gecok

Sambil menyendok sepiring nasi, Mas Andi yang adalah carik sekaligus penggiat wisata di Desa Wisata Cikakak mulai menceritakan kisah-kisah menarik. Dimulai dari proses pembuatan ayam gecok yang rasanya sangat cocok dengan lidah saya.

“Ayam gecok menjadi salah satu kuliner khas di sini, kerap disajikan pada pembukaan acara adat maupun hajat. Terbuat dari bahan utama ayam kampung yang ditumbuk dan dibakar, lalu disiram santan kelapa lengkap dengan bumbu yang dibakar juga,” jelasnya.

Menariknya, santan yang digunakan untuk membuat ayam gecok tidak dimasak bersama dengan ayam di atas panggangan api. Santan dibuat dari kelapa parut yang disiram air panas, tidak direbus lagi setelahnya, langsung dituangkan ke dalam ayam yang sudah dibumbui. Aromanya makin terasa sedap karena diolah dalam tembikar.

Desa Wisata Cikakak
Ayam gecok dan sayur pendampingnya/Mauren Fitri

Rasanya yang gurih menjadi lebih nikmat ketika memakannya bersama dengan oseng kuncar dan juga orek taoge muda. Kedua hidangan ini terasa pedas. Pas dengan kuah ayam gecok yang asin.

Tidak ada penolakan dari lidah saya yang baru kali pertama memakan oseng kuncar. Renyah karena dimasak tidak terlalu matang. Orek taogenya juga tampak familiar baik dari segi rasa maupun bentuk. Awalnya saya mengira ini adalah tempe kering, tetapi setelah dilihat lebih dekat, ternyata taoge muda yang dibalut kecap dan gula jawa. Bumbu warnanya merata. Kriuk-kriuk, renyah, rasanya pedas manis.

Selain ayam gecok, di sini kita juga bisa menyantap nasi penggel, makanan yang dibagikan setelah dilangsungkannya upacara adat. Nasi penggel dipercaya membawa berkah karena mendapatkan doa dari tokoh adat setempat. Sayangnya, saat itu kami tak mencicipinya.

Setelah perut terisi penuh, saya melihat ragam oleh-oleh. Deretan kepala kera menggantung di tembok, beberapa diletakkan pada rak kayu. Kera memang menjadi salah satu ikon desa ini. Jika di Desa Sangeh, Bali, ada Monkey Forest, di sini ada Taman Kera. Kera ekor panjang hidup berdampingan dengan masyarakat di area hutan sekitar pemukiman penduduk. “Di sini terdapat tradisi Rewanda Bojana (pemanggilan kera), tradisi masyarakat sekitar untuk memberi makan kera berupa gunungan hasil bumi. Acaranya diadakan setiap tahun, ” ujar Mas Andi. Selain kepala kera yang terbuat dari batok kelapa, ada pula kerajinan lain seperti besek bambu, piring bambu, dan juga bunga hias.

Perjalanan singkat dilanjutkan ke rumah sebelah yang menjadi Basecamp Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk melihat pembibitan sayuran dan menengok dapur pembuatan wajik kethek, salah satu kuliner yang kerap dijadikan oleh-oleh.

Setelahnya, kami singgah ke Masjid Soko Tunggal yang menjadi destinasi wisata religi, melihat ramahnya kera-kera di sekitar masjid, mampir ke pesarehan Kyai Tholih yang merupakan leluhur Desa Cikakak dan pendiri Masjid Saka Tunggal, serta berkunjung ke Rumah Adat Juru Kunci (Juri Kunci Lebak, Juru Kunci Tengah, dan Juru Kunci Nduwur) yang berada dalam satu kawasan.

Kementerian dalam negeri Ditjen PMD menetapkan Desa Cikakak yang terletak di Kabupaten Banyumas menjadi desa adat dalam program Pilot Project Pelestarian Adat Istiadat dan Budaya Nusantara tahun 2011. Oleh karenanya wajar saja jika kita bisa menelusuri banyak hal di sini. Mulai dari alam, adat, budaya, hingga kuliner.

Terus, jadi ke dapur “tirta brahma” nggak?

Jadi dong! Tapi akan saya ceritakan pada lain kesempatan, ya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Ayam Gecok dan Sepenggal Cerita dari Cikakak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ayam-gecok-dan-sepenggal-cerita-dari-cikakak/feed/ 0 31193
Cerita di Balik Desa Wisata Sumberbulu, Karanganyar https://telusuri.id/cerita-di-balik-desa-wisata-sumberbulu-karanganyar/ https://telusuri.id/cerita-di-balik-desa-wisata-sumberbulu-karanganyar/#respond Thu, 14 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30977 Namanya Sumberbulu, sebuah dusun yang berada di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Pendem Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar. Hawa Sumberbulu adem, serasa di antara dua dunia, tak terlalu dingin dan tak terlalu panas. Konon nama...

The post Cerita di Balik Desa Wisata Sumberbulu, Karanganyar appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Sumberbulu, sebuah dusun yang berada di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Pendem Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar. Hawa Sumberbulu adem, serasa di antara dua dunia, tak terlalu dingin dan tak terlalu panas. Konon nama Sumberbulu dinamakan sesuai dengan salah satu sumber air di desa ini, yang mengalir dibawah pohon bulu. Sumber air inilah yang menghidupi masyarakat dan akhirnya menjadi sebuah desa dengan nama Sumberbulu.  Sumberbulu yang awalnya hanya desa biasa, mulai berdikari sebagai desa wisata di bawah kerjasama para pemuda.

Titin Riyadiningsih begitu bersemangat menceritakan sedikit kisah dari Sumberbulu kepada saya. Titin, sapaan akrabnya adalah seorang manajer Desa Wisata Sumberbulu. Perintisan desa ini sebagai desa wisata diawali pada 2017. Karang taruna dan para pemuda desalah yang memulai kegiatan berwisata pada desa ini. Para pemuda berdiskusi dengan para mahasiswa yang sempat KKN di desa ini, membicarakan bagaimana cikal bakal desa ini berdiri menjadi desa wisata. Teman-teman Titin semasa kuliah juga turut menyumbangkan pikiran dan menggali potensi dan identifikasi dari Desa Sumberbulu. Semangat para pemuda ini demi membangun desanya patut diacungi jempol. Dua tahun berjalan, secara resmi, desa ini dikukuhkan pada 2019 oleh perangkat desa.

Titin, yang berlatar belakang mahasiswa kesehatan gizi, menyukai kegiatan organisasi sebagai sarana pengembangan diri. Awal mula ketertarikannya dalam pengembangan desa sewaktu mengikuti temannya penelitian di salah satu desa wisata di Yogyakarta. Diskusi dan bertukar pikiran dengan temannya yang jurusan sosiologi, mulai membuka matanya pada dunia pariwisata, utamanya pensejahteraan masyarakat. Desa Pentingsari, dimana temannya melakukan penelitian, adalah desa yang menjadi inspirasinya, karena menurutnya keadaan yang hampir sama dengan desanya sendiri. “Tempat kita hampir benar-benar sama dengan Pentingsari, dari masyarakatnya, gotong royongnya ada, SDM dan lain lain juga sama, kenapa di tempat saya sendiri belum bisa dikembangkan,” ungkapnya. 

Diskusi lainnya, antara lain dengan pihak Pariwisata UGM yakni Pak Desta, bersama teman-teman lainnya, meyakinkan mereka untuk terus belajar mengembangkan desanya. “Karena saya kuliah di Yogya, sering ke berbagai desa wisata, di Yogya aja bisa, kenapa di tempat saya tidak bisa,” katanya. Itulah yang memotivasinya untuk mengembangkan desanya sebagai desa wisata.

Desa Sumberbulu menitik beratkan pada community based tourism, upaya ini dimaksudkan untuk membawa pola pikir yang segar pada masyarakat desa dan juga pengunjung. Pengunjung yang berasal dari berbagai macam tempat, dengan terciptanya wisata yang dekat antar masyarakat dan pengunjung akan dapat saling belajar bagaimana memahami keberagamaan dan memaknai kebersamaan. Desa Sumberbulu menawarkan ragam wisata seperti kegiatan pertanian organik, bio gas, peternakan, outbound, kerajinan, dan kesenian. Saat pagebluk merebak, mereka mengembangkan jamu-jamu tradisional yang diproduksi oleh mereka sendiri. Inisiatif masyarakat inilah yang membuat desa ini terus bertahan.

Selain itu, bentang alamnya terdapat 6 sendang yang mengalir jernih sebagai sumber air desa. Tak jauh dari desa, terdapat gua yang saat ini belum bisa difungsikan sebagai atraksi wisata. Analisis dari Jejaring Desa Wisata (Jadesta) oleh Kemenparekraf menempatkan Sumberbulu dalam kategori maju dengan nilai 38,85. Baru-baru ini Sumberbulu juga masuk dalam 50 besar desa wisata dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) yang diselenggarakan oleh Kemenparekraf untuk mengapresiasi para pelaku pariwisata khususnya di bidang desa wisata.

Kesulitan tentunya banyak ditemui dalam memulai sesuatu yang baru, begitupun yang dialami oleh Titin. Sumber daya manusia yang tidak merata adalah titik terberat yang harus dirubah. Titin mengungkapkan latar belakang masyarakat desa yang bermacam-macam membuatnya harus berpikir keras dan meyakinkan mereka; ide desa wisata itu adalah perubahan yang bermanfaat.

Lambat laun, pola pikir masyarakat yang tadi sempat menolak, pelan-pelan mulai menerima pariwisata sebagai bagian dari kegiatan mereka. ”Kita sampai pada detik ini karena pengelola desa wisata, dan kekompakan masyarakat dengan kita (pengurus) alhamdulillah sudah mengikuti kita,” paparnya.

Saya salut dengan keinginan para pemuda desa yang pulang kembali ke desa dan membangun bersama. Pemuda-pemuda desa yang merantau, ketika mereka mau kembali ke desa, mereka akan dibekali pelatihan untuk menjadi operator tur. Karang taruna berperan sentral dalam menjembatani berbagai kegiatan anak-anak desa seperti latihan menari dan pemilihan putra-putri Sumberbulu. Kegiatan diskusi antar pemuda desa juga tak kalah menarik, sembari terus berbenah mengenai rencana desa. Titin menegaskan pentingnya keberlanjutan desa wisata pada generasi muda karena merekalah yang akhirnya mewarisi semua kegiatan yang ada di Desa Sumberbulu. Bahkan yang di perantauan tetap bisa memberi kontribusi kepada desa mereka secara daring.

Pagebluk memang memberi dampak terhadap industri pariwisata, tak terkecuali Sumberbulu. Para pengelola Desa Sumberbulu malah menggiatkan diri belajar dari berbagai platform yang diadakan oleh dinas terkait. Inovasi dan buah pikiran selama masa pagebluk tentu saja tidak terhenti, akhirnya lahirlah Kafe Toya Wening yang kesemuanya memanfaatkan para pemuda desa. Jamu-jamu yang sempat disinggung sebelumnya, adalah produk dari pagebluk yang diproduksi oleh ibu-ibu desa. “Respon pasar bagus, jumlah ibu-ibu yang mengikuti program pengolahan jamu juga bertambah, jamu yang dihasilkan selain seduh juga ada jamu celup seperti teh celup.”

5 tahun sudah desa wisata ini berjalan, seiring dengan sumber daya manusia yang semakin maju, pagebluk sudah dihadapi dengan sigap, Desa Sumberbulu sekarang sedang bersiap menghadapi tantangan berikutnya; menyambut antusiasme pariwisata pasca pagebluk. Antusiasme dari masyarakat Indonesia nampak memuncak, meski PPKM masih diterapkan di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tempat sudah mulai dipadati dan beberapa tempat sudah membuka pintu untuk wisatawan. 

Harapan adalah harapan, Titin juga berharap kedepannya, sumber daya manusia selalu menjadi perhatian lebih dari pemerintah lebih dari sekedar pengucuran dana. Titin menilai nyawa desa wisata itu berada pada sumber daya manusia yang berdikari dan terlatih. Pelatihan dan pendampingan terus menerus sangat diperlukan untuk kelangsungan pariwisata di desa, apalagi Indonesia ingin membangun negeri dimulai dari desa. Ekonomi yang baik berasal dari sumber daya manusia yang baik juga, bukan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Cerita di Balik Desa Wisata Sumberbulu, Karanganyar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-di-balik-desa-wisata-sumberbulu-karanganyar/feed/ 0 30977
Desa Wisata Ngargoretno, Wisata Alam dengan Kearifan Lokal https://telusuri.id/desa-wisata-ngargoretno-wisata-alam-dengan-kearifan-lokal/ https://telusuri.id/desa-wisata-ngargoretno-wisata-alam-dengan-kearifan-lokal/#respond Thu, 26 Aug 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30212 Membahas Magelang berarti membicarakan keindahan alamnya, yang terpaku bersama gunung-gunung di sekitarnya. Andong, Menoreh, Merapi, Merbabu, Telomoyo, dan gunung lainnya ikut menghiasi Kabupaten yang berdekatan dengan Yogyakarta ini. Berdasarkan website pemerintah kabupaten Magelang, kata Magelang...

The post Desa Wisata Ngargoretno, Wisata Alam dengan Kearifan Lokal appeared first on TelusuRI.

]]>
Membahas Magelang berarti membicarakan keindahan alamnya, yang terpaku bersama gunung-gunung di sekitarnya. Andong, Menoreh, Merapi, Merbabu, Telomoyo, dan gunung lainnya ikut menghiasi Kabupaten yang berdekatan dengan Yogyakarta ini. Berdasarkan website pemerintah kabupaten Magelang, kata Magelang berasal dari Glangglang pada prasasti POH dan Mantyasih yang ada pada masa pemerintahan Dyah Balitung. Menurut legenda dulu wilayah Magelang merupakan daerah hutan (alas) Kedu yang dibuka oleh Panembahan Senopati untuk memperluas wilayah perkampungan. Niat sang panembahan memperoleh tantangan dari raja jin yang tidak ingin wilayahnya diganggu. Singkat cerita, sang panembahan berhasil mengalahkan raja jin dengan siasat atepung temugelang yang dalam perjalanannya menjadi Magelang.

Meskipun banyak teori asal usul kata Magelang, semuanya sepakat bahwa Magelang adalah daerah dengan pemandangan yang indah. Kamu pasti tahu dong Candi Borobudur—candi budha terbesar di dunia, atau Punthuk Setumbu yang berlatar Candi Borobudur dikelilingi hutan, atau kamu juga pasti tahu Dusun Butuh Kaliangkrik yang viral karena mirip dengan desa di Himalaya. Selain destinasi populer seperti contoh di atas, Magelang juga punya desa wisata yang masih asri dan enak untuk dikunjungi, yakni Desa Wisata Ngargoretno.

Desa Ngargoretno terletak di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Terdiri dari 6 dusun antara lain; Selorejo, Wonokerto, Wonosuko, Tegalombo, Karangsari, Sumbersari. Dari kejauhan nampak barisan Pegunungan Menoreh yang hijau, terpaut 7 km dari Borobudur yang populer sebagai destinasi utama di Magelang.

Desa ini menobatkan diri sebagai desa wisata pada 2016 dengan konsep community based tourism yang memberdayakan masyarakat sebagai tulang punggung utama pemain wisata. Dalam pengelolaan hasil alamnya, Ngargoretno menerapkan tiga konsep; sehat tani, sehat masyarakat, dan sehat produk. Pengelolaan berdasarkan masyarakat ini didasari akan keharusan sebuah komunitas mampu memenuhi ekonomi mereka tanpa bergantung kepada pihak lain.

Seperti kebanyak desa wisata lainnya, Ngargoretno menawarkan nilai edukasi untuk para pengunjungnya, disamping pemandangan alamnya yang memang menjual. Ada pelbagai produk wisata edukasi yang bisa pengunjung nikmati semisal edukasi pertanian, peternakan kambing etawa, peternakan lebah madu, pengolahan kopi marmer merah, pembibitan teh, serta pengolahan gula aren. Dengan memahami alur pertanian, diharapkan bisa memicu pengunjung untuk belajar lebih lanjut mengenai pertanian dan mempraktekannya.

Deswita Ngargoretno
Deswita Ngargoretno via Instagram/deswita_ngargoretno

Kambing etawa dikenal sebagai penghasil susu kambing terbaik. Di desa ini, olahan susu kambing etawa menjadi sajian yang harus dinikmati setiap pengunjung. Pengunjung bahkan bisa diajarkan cara memerah susu kambing dengan benar. Susu kambing memang terasa lebih cair daripada susu sapi yang lebih kental, tetapi fakta nutrisi membuktikan bahwa kandungan kalsium dan magnesiumnya lebih tinggi. Susu kambing juga cocok untuk orang yang lagi diet. 

Budaya, sudah tentu menjadi komoditas desa wisata yang dipertunjukkan, apalagi di Jawa Tengah yang terkenal dengan adat kerato yang kental. Ngargoretno menawarkan berbagai atraksi budaya semacam Kuda Lumping, Bangilun, Gamelan, Dolanan Bocah, Kerajinan Bambu Wulung, Batik Ngargoretno, dan Budi Pekerti Jawa. 

Desa Ngargoretno juga menampilkan atraksi kesenian Bangilun yang dipentaskan dengan syair sholawat yang diiringi rebana, serta pemain yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam, serta aksesoris lainnya. Kesenian ini merupakan kesenian Islam-Jawa yang merupakan jalan dakwah para penyiar Islam di kalangan masyarakat Jawa Tengah. Moral kehidupan juga menjadi pesan yang disampaikan oleh kesenian ini.

Ada pula Batik Ngargoretno yang terkenal dengan sebutan Batik Kere Blirik Gendis.  Dinamakan kere karena dulu sang kreator, Widiharto, memproduksi batik ini dengan biaya yang terbatas. Mencanting pada kain batik kere dilakukan dengan cara zig-zag, berbeda dengan cara mencanting pada batik biasa. Batik ini terdapat beberapa motif yang terinspirasi dari alam sekitar desa; ada Lereng Menoreh, daun bambu, bukit marmer merah, dan lainnya. Usaha batik ini dirintis oleh Widhi yang ingin membangun desanya lebih baik. 

Atraksi alam lain yang terkenal adalah wisata batu marmer. Museum Wisata Alam Marmer Menoreh, terkenal akan batu marmer merah yang hanya ada dua di dunia, Italia dan Desa Ngargoretno. Secara swadaya sejak 2016, warga beserta BUMDes mengelola lahan seluas 70 hektar kawasan batu marmer merah. Sebagian sudah ditambang terlebih dahulu dan 50 hektar sisanya dijadikan lahan wisata. Perusahaan sempat mengincar marmer merah untuk ditambang lebih lanjut, tetapi perlawanan warga desa akhirnya mencegah mereka merusak lebih lanjut.

Ada gua purba yang bisa mengantarkan petualangan kamu menjelajahi dalam pegunungan Menoreh. Pada ketinggian 630 mdpl, kamu bisa menjelajahi gua dengan kedalaman sekitar 20 meter dengan tinggi ruang berkisar 2 meter. Akses menuju gua juga sudah dipermudah para penduduk lokal dengan membuatkan anak tangga.

Atas kerjasama para penduduk, mereka telah berhasil membangkitkan Ngargoretno sebagai salah satu destinasi wisata di Magelang. Dengan kelola yang sepenuhnya ada pada mereka, kebebasan menentukan arah pariwisata harusnya lebih fleksibel. Kalau kamu suatu saat mengunjungi Magelang, jangan hanya singgah di Borobudur ya, mampir juga ke Desa Ngargoretno yang akan menyambutmu dengan ramah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Desa Wisata Ngargoretno, Wisata Alam dengan Kearifan Lokal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/desa-wisata-ngargoretno-wisata-alam-dengan-kearifan-lokal/feed/ 0 30212
Nyambu, Menuju Desa Bebas Sampah Plastik https://telusuri.id/desa-nyambu-bebas-sampah-plastik/ https://telusuri.id/desa-nyambu-bebas-sampah-plastik/#respond Tue, 03 Aug 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29668 Anais Nin, pengarang Henry and June, pernah menuliskan sepatah kata tentang Bali “Life, religion, and art all converge in Bali. They have no word in their language for ‘artist’ or ‘art’. Everyone is an artist.” ...

The post Nyambu, Menuju Desa Bebas Sampah Plastik appeared first on TelusuRI.

]]>
Anais Nin, pengarang Henry and June, pernah menuliskan sepatah kata tentang Bali “Life, religion, and art all converge in Bali. They have no word in their language for ‘artist’ or ‘art’. Everyone is an artist.”  Berlebihan? Nampaknya tidak sama sekali. Beberapa orang menjulukinya heaven on earth, beberapa lainnya menjulukinya Gods Island. Ada mistikus cinta yang nampaknya turut memberi berkah pulau ini. Selalu ada sisi yang masih tersembunyi, meskipun sekarang Bali begitu populer sebagai destinasi wisata baik lingkup nasional hingga internasional.  Ada sisi istimewa yang belum sepenuhnya terungkap, salah satu yang masih tersimpan rapi itu adalah Desa Nyambu.

Desa Nyambu mungkin belum  seterkenal desa-desa wisata lainnya yang sudah lebih dahulu eksis. Desa ini  terletak di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, sekitar 21 km dari Denpasar. Wilayah ini dihuni  sekitar 3500 jiwa.  Antara dua sungai dan hamparan sawah yang luasnya mencapai 60% wilayah desa, desa ini cocok menjadi percontohan sebagai desa wisata ekologi yang mengusung sustainability, serenity, spirituality. Nyambu baru diberdayakan sebagai desa wisata pada 2015.

desa wisata nyambu
Lingkungan yang asri menciptakan lingkungan yang sehat/Anton Muhajir

Sustainability, Serenity, Spirituality

Sustainability, serenity, spirituality diperkenalkan sebagai dasar keletakkan Nyambu sebagai desa wisata.

Sustainable mengacu pada konsep yang diperkenalkan UNWTO dalam Indicator of Sustainable Development for Tourism Destination yang mengharuskan pariwisata berkelanjutan mampu untuk memenuhi aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.

Serenity menjadi tren dalam paradigma dunia wisata. Orang-orang tidak lagi berlomba-lomba mencari kesenangan saat melakukan perjalanan, tapi antara kehidupan hingar-bingar perkotaan, orang-orang kembali menelusuri jalan kesunyian.

Spirituality sebagai aspek kehidupan manusia, ternyata berhasil masuk menjadi hal yang dicari-cari orang saat berwisata. Orang-orang melihat aspek spiritual bukan hanya sebagai pertunjukkan, tetapi masuk ke dalam ranah personal, pencarian hakikat diri.

desa wisata nyambu
Susur sawah sebagai bagian dari wisata/Anton Muhajir

Sinergi Membangun Desa

British Council  beserta Yayasan Wisnu bersinergi dengan warga desa membangun pariwisata yang berbasis masyarakat. Yayasan Wisnu dilansir dari halaman Facebook mereka adalah sebuah LSM yang bergerak dalam pengembangan kapasitas masyarakat Bali melalui penelitian, pengembangan masyarakat, dan pengelolaan informasi komunitas. Salah satu yang direspon oleh Yayasan Wisnu adalah pengelolaan sampah yang imbas naiknya pamor wisata Bali.

Desa Nyambu, seperti desa-desa wisata lainnya di Indonesia, menyediakan alam sebagai atraksi utama. Bingkai persawahan hijau dengan terasering yang diselingi pepohonan kelapa, siapa yang tidak sejuk memandangnya?

Susur sawah dapat dilakukan dengan dipandu oleh guide lokal. Selain susur sawah, kita diajak untuk menyusuri budaya di Desa Nyambu. Ada 67 pura yang berdiri di desa ini menjadi ciri khas Desa yang hampir keseluruhan menganut Hindu. Apabila kaki terasa lelah, disediakan penyewaan sepeda.

Dengan basis kemasyarakatan, fasilitas-fasilitas wisata semua disediakan oleh para penduduk, mulai penginapan, pemandu, serta program wisata. Namun Desa Nyambu enggan untuk menjadi mass tourism, pasalnya dengan menjadi mass tourism keeksklusifan Desa Nyambu menjadi berkurang, kemungkinan terjadi degradasi lingkungan lebih cepat.

Kunjungan Desa Nyambu relatif dibatasi 20-25 orang per bulan. Ada reservasi yang harus dilakukan minimal tiga hari melalui website Jaringan Ekowisata Desa sebelum mengunjungi desa. Ini karena para pemandu dan juga pengelola berasal dari berbagai profesi yang berbeda sehingga mereka bisa mempersiapkan diri sebelum wisatawan datang.

Tiga Pilar Penjaga

Air yang jernih mengalir membasuh jiwa yang kotor, dengan cepat melalui celah-celah bebatuan. Mata air yang menjadi sumber air minum serta kebutuhan lainnya dijaga dengan baik oleh masyarakat Desa Nyambu.

Agama Hindu yang membawa konsep tiga hubungan; hubungan antar manusia, hubungan dengan sang pencipta, dan hubungan dengan alam. Ketiga konsep hubungan tersebut harus seimbang dalam menjaganya, kalau ada satu hal saja yang kurang, maka akan terjadi bencana.

Sampah-sampah plastik yang menjadi musuh lingkungan selama dua dekade terakhir juga mulai terlihat mencemari desa. Jalan, selokan, pematang sawah tidak ada yang luput dari bungkusan plastik. Masyarakat Desa Nyambu berupaya mengurangi sampah plastik sekali pakai.

Pada prosesnya, ada penerapan bank sampah sebagai upaya meminimalisir sampah di lingkungan desa. LAKSMI sebagai komunitas yang dibentuk oleh Saraswati dan DIageo Indonesia yang bertujuan mengurangi limbah plastik menjadikan Desa Nyambu sebagai pilot project desa bebas plastik. 

Salah satu buah kreasi manusia adalah kerajinan. Berbagai bentuk dihasilkan manusia dari olahan tangannya, ada dalam bentuk pakaian, makanan, dan benda lainnya untuk menunjukkan kekhasan dari suatu tempat. Begitu pula yang ada di Nyambu, mereka memproduksi panganan khas seperti kerupuk lele, kripik lele, kripik belut, kue ladrang.

Ada kelompok desa yang bertugas mengolah dan memasarkan hasil olahan desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) ikut memeriahkan ekonomi desa. Ekonomi kerakyatan yang diusung dengan slogan “dari rakyat untuk rakyat” tampaknya berjalan dengan baik di desa ini.

Menjadi desa wisata bukan berarti kebergantungan kepada sektor pariwisata terus menerus, ada saatnya desa harus bergerak tanpa embel-embel “pariwisata,” tampaknya hal ini sudah disadari oleh lapisan masyarakat. Ketika pagebluk menggebuk, Desa Nyambu tidak terpengaruh soal wisata yang menjadi sepi. Eksklusifitas yang diusungnya sudah membiasakan  diri dengan sedikit wisatawan. Pekerja

Bli Wayan, penggerak wisata Desa Nyambu berpesan kepada kami mengenai keindahan Desa Nyambu yang harus dinikmati dengan datang langsung ke desa. Moga saja pagebluk ini cepat berlalu agar kita bisa berkunjung ke sana.


Ditulis oleh: M. Irsyad Saputra

The post Nyambu, Menuju Desa Bebas Sampah Plastik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/desa-nyambu-bebas-sampah-plastik/feed/ 0 29668
Desa Wisata Wukirsari, Merajut Hidup dan Melestarikan Wayang https://telusuri.id/desa-wisata-wukirsari-merajut-hidup-dan-melestarikan-wayang/ https://telusuri.id/desa-wisata-wukirsari-merajut-hidup-dan-melestarikan-wayang/#respond Sun, 01 Aug 2021 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29221 Alkisah, jaman dahulu hiduplah seorang abdi dalem istana yang menyingkir ke pedalaman akibat adanya perjanjian giyanti yang memecahkan mataram menjadi dua kesultanan yang berbeda; Ngayogyakarta dan Surakarta. Dia memutuskan untuk membuka lahan baru sebagai sebuah...

The post Desa Wisata Wukirsari, Merajut Hidup dan Melestarikan Wayang appeared first on TelusuRI.

]]>
Alkisah, jaman dahulu hiduplah seorang abdi dalem istana yang menyingkir ke pedalaman akibat adanya perjanjian giyanti yang memecahkan mataram menjadi dua kesultanan yang berbeda; Ngayogyakarta dan Surakarta. Dia memutuskan untuk membuka lahan baru sebagai sebuah perkampungan di daerah pucung. Abdi dalem tersebut terkenal sangat ahli dalam membuat wayang.

Lambat laun lahan yang tadinya kosong mulai terisi oleh para pendatang yang ingin belajar cara membuat wayang ke abdi dalam tersebut. Lama-lama daerah tersebut semakin besar dan bergabung dengan desa-desa lainnya menjadi desa yang bernama Wukirsari. Sang abdi dalam mendapat amanah oleh sang sultan untuk tetap melestarikan wayang sebagai bagian dari kebudayaan Jawa, hingga sampai sekarang desa tersebut terkenal sebagai desa pengrajin wayang.

Begitulah kisah awal mula Wukirsari yang dituturkan Demy, ketua pengelola Desa Wisata Wukirsari kepada saya. Wukirsari, sebuah desa yang bertempat di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul memiliki luas 15 km dan terdiri dari 16 dusun. Desa ini terletak sejauh 17 km dari Yogyakarta. Suasananya masih rindang, banyak pohon-pohon yang masih bisa ditemukan di kawasan ini. Hawanya pun sejuk, berbeda dengan Kota Yogyakarta yang sudah mulai panas akibat banyaknya kendaraan bermotor.

Inisiasi Desa Wisata Wukirsari sebagai desa wisata dari sebelum 2014 sudah ada, tetapi pengerjaan yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan membuat program ini harus berakhir. 

Seakan-akan tanpa ada kejelasan untuk menjadi desa wisata, pada 2014 para sesepuh bersama Bayu Bintoro yang waktu itu menjabat sebagai lurah meresmikan kembali program desa wisata yang disponsori oleh Bank BCA. Anak-anak muda banyak berperan dalam keberlangsungan desa wisata hingga hari ini.

desa wisata wukirsari
Desa Wisata Wukirsari via @visitjogja

Perjuangan Menjadi Desa Wisata

Mas Demy menerangkan awal mula perintisan Wukirsari sebagai wisata melalui perjuangan yang berat. Saat itu desa belum punya fasilitas gedung apapun, dengan berat hati, terpaksa harus menumpang gedung PAUD yang terletak di Dusun Karangasem. “Karena kita baru pertama kali kebentuk, akhirnya kita numpang joglo PAUD, kebetulan sentra pengrajin wayang juga berada di dusun tersebut,” papar Demy. Promosi gencar dilakukan demi menarik pengunjung datang.

BCA akhirnya memberikan bantuan berupa infrastruktur berupa pembangunan joglo, gedung pertunjukkan, toilet, dapur, serta tempat makan yang didirikan di  lahan yang disediakan pemerintah desa seluas 7000 m2. Dalam kurun waktu 2014-2016, pengelola Wukirsari menggunakan fasilitas joglo PAUD. “Pagi dipakai buat sekolah, siangnya baru kita bisa menerima tamu,” kenang Demy.

Pernah suatu ketika kunjungan tamu yang ingin menginap di Desa Wisata Wukirsari , Demy dan kawan-kawan kalang kabut soal penginapan, maklum mereka belum pernah menerima kunjungan tamu yang menginap.

“Kami memberitahu tamu dari sekolah bahwa kami belum berpengalaman untuk menyediakan homestay, tetapi tamu tidak masalah, akhirnya kami bisa menyediakan homestay.”

“Pengalaman itulah yang akhirnya kami bisa menangani tamu yang banyak dan homestay,” tambahnya.

Pada tahun 2016, ketika pembangunan infrastruktur sudah rampung, kegiatan mulai dialihkan ke joglo baru. Awal mula homestay pun hanya ada 5 buah rumah yang bersedia dijadikan homestay, lama-lama yang berminat menjadikan rumahnya sebagai homestay semakin banyak. Masyarakat awalnya enggan menjadikan rumahnya sebagai tempat singgah, penyebabnya berbagai macam dari minder dan takut berinteraksi. “Cerita dari mulut ke mulut berkembang, Ah seneng nih aku di datengin tamu di rumah,” akhirnya banyak yang mau ikutan” ucap Demy. Sekarang homestay di Desa Wisata Wukirsari sudah berjumlah 25 dan akan terus berkembang kedepannya. 

desa wisata wukirsari
Proses pembuatan wayang di Desa Wisata Wukirsari

Anak Muda Tonggak Perubahan

Anak muda selalu identik dengan semangat dan hal-hal baru. Rhoma Irama menggunakan istilah “darah muda” untuk menggambarkan remaja-remaja yang penuh semangat berapi-api. Pemuda Desa Wisata Wukirsari juga bersemangat dalam membangun desa mereka. Salah satu kegiatan yang melibatkan para kawula muda adalah Sendratari Gatotkaca Kalajaya.

Sendratari yang ditampilkan di sini akan menjadi ciri khas penampilan desa. Demy menceritakan kegigihan pemuda-pemuda desa dalam belajar ke Sendratari Ramayana Balet yang ada di Prambanan. Mereka benar-benar belajar dari nol selama 4 bulan konsisten. Ada sekitar 60 orang yang terlibat dalam latihan ini. Akhirnya pagebluk COVID-19 mulai masuk dan menghentikan kegiatan ini sama sekali.

Pandemi memang memukul paling dalam pada sisi pariwisata. Orang-orang menjadi jarang bepergian jauh dan lebih memilih di rumah saja. Sampai saat ini pagebluk di Indonesia belum mendapatkan penanganan yang efektif, walau program vaksinasi sudah mulai digalakan.

Desa Wukirsari memutar otak untuk tetap menjalankan pariwisata saat pagebluk: melalui daring. “Kita sempat bikin virtual workshop dengan sekolah yang menjadi langganan kami di Jakarta, acara selama dua hari, barang peraga kami kirim dari Yogyakarta, dan dipandu lewat daring,” ujar Demy memaparkan kegiatan desa saat pagebluk.

desa wisata wukirsari
Pertunujukkan wayang di Desa Wisata Wukirsari via YouTube Solusi BCA

Wayang dan Kehidupan

Dalam penjualan wayang kulit, Wukirsari awalnya tidak mengandalkan pemasaran kolektif tetapi para warga memilih memasarkan barang sendiri-sendiri. Pemasaran masing-masing ini dirasa kurang efektif, kemudian mereka menjadi satu di desa wisata. Showroom yang dibangun bisa digunakan untuk menampung produk wayang.

Wayang di desa ini dibuat dari kulit kambing, sapi, dan kerbau. Kulit kambing terbilang cocok untuk wayang souvenir yang berukuran kecil. Sifatnya yang lembut, tipis, dan berwarna putih. Kulit sapi bagus digunakan untuk bahan dasar wayang, kulit sapi bisa dibelah menjadi tiga, harga akan menjadi lebih murah tetapi menurunkan kualitas wayangnya. Yang terakhir kulit hewan yang paling bagus adalah kulit kerbau. Ketebalan dan kekuatan kulit kerbau diatas kulit sapi dan tahan di segala cuaca. Pembuatan wayang di Wukirsari masih mengandalkan tenaga manusia demi keotentikan.

Warga mulai merasakan dampak ekonomi dari menjadi desa wisata. Warung-warung mulai bermunculan untuk melayani kebutuhan pengunjung. Bagi para pengrajin wayang, mereka bisa nyambi jadi pemandu untuk kebutuhan wisata.

“Dulunya mereka ada yang keluar desa menjadi buruh pabrik, dengan desa wisata mereka akhirnya mendapat penghasilan dari lingkungan mereka sendiri,” terang Demy.

Tentu ini sebuah kemajuan yang pesat, mengingat ketimpangan pemasukan antara masyarakat kota dan desa, yang akhirnya memicu urbanisasi besar-besaran. Sayangnya pagebluk tidak berhenti memberi serangan.

Demy, masih dengan suara yang jelas terdengar dari seberang pulau, berujar ingin melanjutkan sendra tari yang sempat terhenti karena pagebluk, melestarikan wayang bukan cuma dibebankan tanggung jawab kepada Desa Wisata Wukirsari selaku para pengrajin, tapi kesadaran masyarakat luas bahwa kebudayaan itu milik kita, milik Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Desa Wisata Wukirsari, Merajut Hidup dan Melestarikan Wayang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/desa-wisata-wukirsari-merajut-hidup-dan-melestarikan-wayang/feed/ 0 29221