dewi nawangwulan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/dewi-nawangwulan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 06 Mar 2024 13:05:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 dewi nawangwulan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/dewi-nawangwulan/ 32 32 135956295 Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3) https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-3/ https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-3/#respond Fri, 08 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41317 Dari uraian silsilah Ki Ageng Tarub, kita jadi mengetahui bahwa secara genealogis, Ki Ageng Tarub bukanlah keturunan orang sembarangan. Ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, adalah seorang waliyullah, cucu Syekh Jumadil Kubro—seorang mubalig yang datang ke Indonesia...

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari uraian silsilah Ki Ageng Tarub, kita jadi mengetahui bahwa secara genealogis, Ki Ageng Tarub bukanlah keturunan orang sembarangan. Ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, adalah seorang waliyullah, cucu Syekh Jumadil Kubro—seorang mubalig yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1300 M. Sedang ibunya, baik yang versi Dewi Rasa Wulan maupun Dewi Retna Dumilah, merupakan bangsawan dari Kadipaten Tuban.

Menurut sejumlah sumber, setelah menikah dengan Dewi Nawangwulan, Jaka Tarub mendapat gelar Ki Ageng Tarub dan meneruskan perjuangan ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, dalam pengembangan dakwah dan syiar Islam. Maka tidak aneh bila di kemudian hari, Ki Ageng Tarub juga populer sebagai seorang aulia, yang makamnya selalu dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah sampai sekarang. Saat ini, makam Ki Ageng Tarub yang berada di Desa Tarub, Tawangharjo, menjadi salah satu destinasi wisata religi favorit di Kabupaten Grobogan.

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)
Buku karya Damar Shashangka yang juga mengupas cerita lebih logis tentang Jaka Tarub dan “tujuh bidadari”/Penerbit Dolphin

Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari

Dari rangkaian ulasan tentang sosok Ki Ageng Tarub, tentu kisah pernikahannya dengan seorang bidadari masih menyisakan pertanyaan yang mengganjal. Sayangnya, sulit mendapatkan sumber data yang valid untuk memverifikasi kisah tersebut, mengingat transmisi kisah ini memang dituturkan dari mulut ke mulut. 

Sejauh ini belum ada data sahih, apalagi tertulis yang bisa dirujuk, kecuali kisah yang dituturkan oleh Damar Shashangka lewat novel sejarahnya yang lain. Dalam Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa (2015), Damar Shashangka mengisahkan Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang sebenarnya. Menurut sejarawan muda asal Malang ini, Dewi Nawangwulan adalah seorang perempuan berdarah Jawa-Sunda. Ia manusia biasa, bukan bidadari, tetapi memiliki paras yang cantik bak bidadari.       

Dikisahkan, suatu ketika ada tujuh gadis berparas cantik dari Parahyangan—bukan kahyangan—yang datang ke Tarub. Mereka diantar oleh beberapa laki-laki. Mereka bertujuh adalah putri dari tiga brahmana yang tinggal di Parahyangan, yaitu Danghyang Ragasuci, Danghyang Langlang Wisesa, dan Danghyang Wulungan. 

Rara Purwaci dan Rara Asri adalah putri Danghyang Ragasuci. Rara Kencana dan Rara Manik adalah putri Danghyang Langlang Wisesa. Rara Cinde, Rarasati, dan Rara Sindhang adalah putri Danghyang Wulungan.

Mereka menuju ke Tarub dengan menempuh jalur laut, bertolak dari Pelabuhan Kelapa (Jakarta sekarang) menuju ke Pelabuhan Simongan (Semarang saat ini). Dari Simongan mereka berjalan kaki menuju ke Tarub. Sesampainya di Tarub mereka tidak masuk ke Pedukuhan Tarub, melainkan memilih berdiam di hutan yang terkenal angker di sebelah selatan pedukuhan.

Kedatangan mereka diendus oleh penduduk Tarub. Orang-orang mulai kasak-kusuk membicarakan adanya para wanita di tengah hutan, yang mereka katakan sebagai bidadari karena paras cantik dan tubuh yang sempurna. Didesak oleh rasa penasaran, Jaka Tarub memberanikan diri masuk ke hutan. Ia menemukan mereka sedang mandi di sendang.

Jaka Tarub awalnya juga mengira mereka para bidadari. Namun, setelah mengamati dengan saksama, barulah ia menyadari mereka adalah manusia biasa. Setelah bertemu, Jaka Tarub memperkenalkan diri dengan nama Kidang Telangkas, putra dari janda Akuwu Tarub (Nyi Ageng Kasihan). Mendengar itu, mereka terlihat sangat gembira.    

Para wanita kemudian memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangan mereka ke Tarub. Mereka mengaku kedatangan ke Tarub atas perintah bapak-bapak mereka yang mendapatkan petunjuk, bahwa salah satu di antaranya kelak akan menjadi tanah subur bagi tumbuhnya benih penguasa Jawa. Mereka diperintah melakukan perjalanan ke Tarub, yang disebut sebagai tempat amajang wulan tinaruban (di bawah cahaya bulan dan dinaungi tarub).

Sesuai petunjuk, ketika tiba di Tarub mereka tidak diperbolehkan masuk ke pedukuhan, tetapi harus menunggu di tengah hutan. Mereka akan didatangi oleh seseorang yang akan memilih salah satu dari mereka untuk diperistri. Orang yang akan datang itu segesit kidang (kijang). Dan orang yang dimaksud itu adalah Kidang Telangkas yang kini sudah ada di hadapan mereka.

Setelah memahami maksud kedatangan para wanita tersebut, meski merasa aneh, Jaka Tarub alias Kidang Telangkas memilih salah satu di antara mereka. Jaka Tarub memilih Rara Purwaci. Setelah Jaka Tarub menjatuhkan pilihan, pada hari itu juga rombongan dari Parahyangan pamit.

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)

Nawangwulan Meninggalkan Jaka Tarub

Penduduk Tarub pun gempar setelah mengetahui Jaka Tarub membawa pulang seorang wanita cantik dari hutan belantara. Jaka Tarub menyembunyikan jati diri Rara Purwaci, dengan alasan dia merupakan putri seorang brahmana, sehingga dalam dirinya juga memiliki warna brahmana.

Dalam aturan Dharmasastra—salah satu susastra Hindu yang berkaitan dengan agama, kewajiban, dan hukum—pernikahan antara putri seorang brahmana dengan seorang kesatria yang lebih dekat dengan kehidupan sudra akan menemui banyak kerumitan.

Alasan itu yang membuat Jaka Tarub memutuskan untuk menyembunyikan jati diri Rara Purwaci. Jaka Tarub meminta Rara Purwaci untuk tidak membuka jati dirinya sebagai putri seorang brahmana. Bahkan Jaka Tarub sendiri bersumpah, bila ia sendiri yang justru melanggar hal itu, disengaja atau tidak, maka Rara Purwaci boleh meninggalkannya.

Jaka Tarub kemudian memberi nama baru untuk Rara Purwaci: Nawangwulan. Nawang berarti menatap, wulan berarti rembulan; karena kecantikan Rara Purwaci serupa rembulan yang sangat berkesan ketika dipandang.

Jati diri Rara Purwaci yang disembunyikan dan ketidakjelasan asal usulnya, menjadikan penduduk Tarub meyakini bahwa Rara Purwaci yang sudah beralih nama menjadi Nawangwulan itu benar-benar seorang bidadari. Demikianlah, akhirnya Jaka Tarub hidup dengan penuh cinta dan kasih dengan Rara Purwaci hingga melahirkan seorang putri jelita yang diberi nama Nawangsih.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat berlangsung panen raya di Pakuwon Tarub, tatkala ritual pemujaan Bhatara Shri siap dilaksanakan, pandhita satu-satunya di Pakuwon Tarub mendadak meninggal dunia. Padahal menurut kepercayaan masyarakat Tarub ketika itu, ritual tersebut tidak boleh ditunda karena bisa menimbulkan malapetaka berkepanjangan.

Di tengah kebingungan mencari pandhita pengganti, Jaka Tarub tanpa sadar mengatakan bahwa Nawangwulan bisa mengisi posisi pandhita untuk memimpin ritual pemujaan terhadap Bhatara Shri, karena ia adalah putri seorang brahmana. Setelah mengatakan itu, Jaka Tarub baru menyadari bahwa ia telah melanggar sumpahnya sendiri.

Saat itulah Nawangwulan marah. Meski akhirnya Nawangwulan bersedia memimpin ritual pemujaan kepada Bhatari Shri, tetapi setelahnya ia memilih pergi dari Tarub, sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan Jaka Tarub dahulu.. 

Jaka Tarub sangat sedih dengan kenyataan getir yang dihadapinya. Namun, ia hanya bisa pasrah. Nyatanya, Nawangwulan atau Rara Purwaci memang putri seorang brahmana dan tugasnya telah berakhir, setelah dari pernikahan dengannya melahirkan Nawangsih. Kelak, Nawangsih dinikahkan dengan Raden Bondan Kejawan—putra Prabu Brawijaya V—yang disebut-sebut sebagai lalajěr bhumi Jawa, yang akan melahirkan penguasa Jawa sesudah kehancuran Majapahit. Dan ramalan itu pada akhirnya terbukti. 

Rangkaian kisah tersebut, yang saya rangkum dari novel sejarah karya Damar Shashangka, tetapi hemat saya kesahihan ceritanya masih perlu diverifikasi. Terutama terkait sumber yang dirujuk. Agar alur kisah Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub versinya—yang memang terasa lebih rasional dan logis itu—bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Wallahu a’lam.


Referensi

Oetomo, T. Wedy. (1983). Ki Ageng Selo Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 (edisi hard cover). Yogyakarta: Narasi.
Purwadi dan Kazunori Toyoda. (2005). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Santoso, Teguh. (2016). Cerita Rakyat Grobogan. Yogyakarta: Histokultura.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon: Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin.
Shashangka, Damar. (2015). Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa. Banten: Dolphin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-3/feed/ 0 41317
Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2) https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-2/ https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-2/#respond Thu, 07 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41307 Sebagai sebuah legenda, tak ada yang aneh dalam kisah Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Karena lazimnya legenda memang acap diliputi oleh fragmen-fragmen yang irasional. Kisah ini sama seperti legenda yang berkembang di daerah lainnya, seperti...

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai sebuah legenda, tak ada yang aneh dalam kisah Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Karena lazimnya legenda memang acap diliputi oleh fragmen-fragmen yang irasional. Kisah ini sama seperti legenda yang berkembang di daerah lainnya, seperti kisah Malin Kundang yang berubah menjadi batu setelah dikutuk oleh ibunya, hingga Sangkuriang yang menendang perahu sampai berubah menjadi gunung yang kini bernama Tangkuban Perahu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Meski berkaitan dengan peristiwa sejarah, tetapi karena pola transmisinya yang umumnya tidak tertulis, diceritakan dari mulut ke mulut dan tidak diketahui sumbernya (anonim), menjadikan banyak legenda yang mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan kisah aslinya.   

Itulah yang menjadikan kisah dalam legenda umumnya berbaur antara mitos dan fakta historis. Sebagaimana dinyatakan oleh Hasanuddin WS seperti dikutip dalam sebuah artikel di Liputan6.com, legenda adalah cerita rakyat yang berisikan tentang tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dengan mitos. 

Oleh karena itu, legenda sering disebut semihistoris alias tidak merupakan rangkaian cerita yang murni berisi fakta historis. Bahkan tak sedikit legenda yang murni fiksi. Maka, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklornya.

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2)
Bangunan tempat makam Ki Ageng Tarub berada/Badiatul Muchlisin Asti

Mempertanyakan Pernikahan Jaka Tarub dengan Bidadari

Sebagai sebuah legenda, kisah Jaka Tarub—atau setelah dewasa populer dengan nama Ki Ageng Tarub—seolah tidak menyimpan problem. Problematik muncul ketika di kehidupan nyata, sosok Ki Ageng Tarub diyakini oleh sebagian umat (Islam) sebagai seorang aulia, yang makamnya didatangi oleh para peziarah dari berbagai daerah, bahkan dijadikan sebagai destinasi wisata religi atau spiritual dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Tidak sedikit peziarah yang meyakini Ki Ageng Tarub merupakan sosok waliyullah dan penyebar agama Islam sebagaimana para wali dalam majelis dakwah Wali Songo.   

Di sisi lain, publikasi diri dan kisah hidupnya sejauh ini tidak jelas karena tak lebih dari kisah legenda yang lebih banyak diliputi mitos ketimbang fakta historis. Sejumlah pertanyaan, seperti benarkah Jaka Tarub mencuri selendang atau Jaka Tarub menikah dengan bidadari, sampai sekarang tak kunjung menemukan jawabannya. 

Ketika saya berkesempatan wawancara dengan juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro via YouTube pribadi saya pada 2021 lalu, saya mendapatkan keterangan bahwa Jaka Tarub tidak mencuri selendang salah satu bidadari. Alasannya, karena kata “mencuri” memiliki konotasi negatif. Sayangnya, saya tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari juru kunci, seperti bagaimana alur cerita Jaka Tarub bisa menikah dengan bidadari bila ia tidak mengambil selendangnya—sebagaimana terdapat dalam cerita legenda.

Ketika fragmen “mencuri selendang” dihilangkan dari kontruksi cerita sebagaimana dalam legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang sudah sangat masyhur, maka alur baru harus direkonstruksi agar ceritanya menjadi runtut dan tidak melompat. Karena saat saya tanyakan terkait kebenaran Jaka Tarub menikah dengan bidadari, juru kunci menjawab dengan tegas: “benar”—sembari menyebutkan hal itu sebagai karomah yang dikaruniakan kepada Ki Ageng Tarub oleh sebab kemuliaannya.   

Padahal menurut saya, apabila kita kritis, dalam tinjauan syariat Islam manusia menikah dengan bidadari di kehidupan dunia merupakan sesuatu yang tidak akan pernah ada. Menurut Islam, bidadari hanya ada di surga kelak di kehidupan akhirat. Di dalam Alquran, kata “bidadari” sering digunakan untuk menunjukkan seorang wanita berparas jelita yang dipersiapkan oleh Allah untuk penghuni surga.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan jika bidadari turun ke bumi, ia akan menyinari seluruh langit dan bumi serta memenuhinya dengan aroma yang harum semerbak. “Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis sahih ini menyiratkan kemustahilan penduduk bumi menikah dengan bidadari. Sepanjang sejarah para nabi dan rasul serta para sahabat—yang mereka semua berkedudukan lebih mulia—tak pernah ada yang mendapatkan anugerah menikah dengan bidadari, kecuali jaminan masuk surga kelak di akhirat.

Kenapa makna bidadari harus diletakkan dalam konteks syariat Islam? Karena pada kehidupan nyata, sosok Jaka Tarub disebut-sebut sebagai seorang aulia dan penyebar agama Islam, sehingga makna “bidadari” dalam kisah kehidupannya juga haruslah diletakkan dalam tinjauan syariat Islam.

Tanpa tinjauan syariat Islam pun, dalam sejarah peradaban modern manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan merupakan sesuatu yang absurd dan sulit diterima nalar. Kisah Jaka Tarub terjadi di era Kerajaan Majapahit, yang ketika itu peradaban sudah sangat maju. Sehingga peristiwa manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan seperti itu tidak bisa diterima nalar, dan menurut saya ahistoris—kecuali diterima sekadar cerita mitologis atau sebuah cerita yang bersifat simbolis. 

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2)
Sampul depan buku karya Damar Shashangka yang di antaranya mengungkap silsilah Ki Ageng Tarub/Badiatul Muchlisin Asti

Menggali Silsilah Ki Ageng Tarub

Selain soal “menikah dengan bidadari”, ada satu persoalan yang menurut saya mendasar dan masih krusial, yaitu terkait silsilah Ki Ageng Tarub. Siapa ayah dan ibunya?

Bila merujuk pada cerita legenda, di antaranya yang ditulis di Babad Tanah Jawi, bayi Jaka Tarub dipungut oleh seorang janda dan dipelihara. Setelah berumur tujuh tahun, kelihatan tampan. Teman sepermainannya sangat sayang kepadanya. Kegemarannya nulup—istilah untuk menyebut berburu burung dengan tulup atau sumpit—ke hutan.  

Dalam buku-buku babad tidak disebutkan siapa nama orang tua Jaka Tarub. Namun, dalam kajian historis saya mencatat setidaknya dua versi silsilah Jaka Tarub. 

Pertama adalah silsilah Ki Ageng Tarub menurut versi yang paling umum, sekaligus versi yang dipegang oleh KRAT Hastono Adinagoro. Menurut versi ini, Ki Ageng Tarub adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dengan Dewi Rasa Wulan, putri Tumenggung Wilwatikta dan adik kandung Raden Mas Syahid alias Sunan Kalijaga.

Lalu versi kedua adalah silsilah Ki Ageng Tarub yang dikemukakan oleh Damar Shashangka dalam novel sejarah karyanya yang berjudul Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan (2011).  Di dalam buku tersebut, Damar Shashangka menyebutkan Ki Ageng Tarub yang bernama kecil Kidang Telangkas adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah.

Kedua versi itu saling beririsan karena keduanya menyebutkan ayah kandung Ki Ageng Tarub adalah Syekh Maulana Maghribi. Bedanya terletak pada nama ibu kandungnya. Baik itu versi KRAT Hastono Adinagoro maupun Damar Shashangka, keduanya menyebutkan bahwa pertemuan dengan Syekh Maulana Maghribi terjadi saat Dewi Rasa Wulan atau Dewi Retna Dumilah sedang melakukan tapa ngidang. Namun, dari sisi konstruksi cerita, Damar Shashangka lebih detail dalam mengulas cerita silsilah Ki Ageng Tarub sehingga alur historisnya lebih jelas. 

Menurut Damar Shashangka, Dewi Retna Dumilah adalah putri bungsu Adipati Tuban, Arya Adikara. Dia adalah adik dari Raden Ayu Teja. Dewi Retna Dumilah sendiri bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi di sebuah hutan saat dirinya sedang menuruti perintah ayahnya melakukan tapa ngidang, yaitu bertapa mengikuti cara hidup seekor kijang (dalam bahasa Jawa disebut kidang); makan hanya dedaunan muda, minum langsung dari sumber air, selama tujuh bulan.

Di hutan itulah Dewi Retna Dumilah bertemu Syekh Maulana Maghribi. Keduanya berkomunikasi dan berinteraksi, hingga saling jatuh cinta. Apalagi setelah tahu bahwa mereka satu agama, karena ayah Dewi Retna Dumilah juga sudah lama memeluk Islam.

Damar Shashangka menyebutkan, keislaman Dewi Retna Dumilah bermula dari kakaknya, Raden Ayu Teja, yang dinikahi oleh seorang Cina muslim, bangsawan dari Dinasti Ming bernama Haji Gan Eng Chu. Nama Islamnya adalah Haji Abdulrahman.

Haji Gan Eng Chu ditempatkan di Tuban oleh Raja Kauthara, Bong Tak Keng, untuk memimpin para Cina muslim di sana. Sebelumnya, Haji Gan Eng Chu bertugas di Manila. Semenjak perkawinan antara Haji Gan Eng Chu dengan Raden Ayu Teja inilah, mertuanya, Adipati Arya Adikara, tertarik untuk memeluk Islam.

Tak jauh dari lokasi pertemuan antara Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah, hidup seorang bekas murid Syekh Jumadil Kubro yang kemudian membantu menikahkan keduanya. Resmilah Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah menjadi pasangan suami istri.

Keduanya tinggal di gubug sederhana, hingga Dewi Retna Dumilah hamil. Akan tetapi, karena ketakutan sebab secara tidak langsung telah melanggar perintah ayahnya untuk bertapa ngidang, beberapa waktu kemudian ia pun memutuskan pulang ke Tuban. Hingga kemudian Dewi Retna Dumilah kembali datang menyerahkan bayinya kepada Syekh Maulana Maghribi, lalu Dewi Retna Dumilah balik ke Tuban. 

Karena merasa tidak bisa mengurus bayi itu, maka Syekh Maulana Maghribi menaruh bayi mungil yang diberinya nama Kidang Telangkas ke dalam peti emas berukir indah pemberian Dewi Retna Dumilah. Ditaruhlah peti berisi bayi itu di tempat seorang janda pemimpin dukuh itu biasa datang di pusara suaminya yang telah lama meninggal. 

Bayi itu pun kemudian ditemukan oleh sang janda, Nyi Ageng Kasihan, dan kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang layaknya anak kandungnya sendiri. Di dalam peti itu, Syekh Maulana Maghribi menulis pesan di selembar daun lontar agar bayi tersebut diberi nama “Kidang Telangkas”.

Yang menarik dari silsilah Ki Ageng Tarub, sebagaimana diungkap Damar Shashangka, ternyata Ki Ageng Kasihan, suami dari Nyi Ageng Kasihan yang menemukan dan merawat bayi Kidang Telangkas, merupakan kakek buyut Jaka Tarub.    

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2)
Silsilah trah Ki Ageng Tarub yang tertera di dinding kompleks makam Ki Ageng Tarub/Badiatul Muchlisin Asti

Menurut Damar Shashangka, nama asli Ki Ageng Kasihan adalah Ki Arya Penanggungan, seorang bangsawan dari Kerajaan Pajajaran. Saat terjadi konflik antarsaudara, Ki Arya Penanggungan memilih hijrah dari Pajajaran ke Majapahit melalui jalur laut dan mendarat di Tuban. Saat itu, Ki Arya Penanggungan membawa seorang anak yang dititipkan kepada pembesar Tuban. 

Ki Arya Penanggungan sendiri memilih menyembunyikan jati dirinya. Ia masuk ke pedalaman Jawa dan menetap di wilayah ini. Ia menikahi Nyi Ageng Kasihan yang kemudian menjadi ibu angkat Ki Ageng Tarub. Dari pernikahan ini, Ki Arya Penanggungan atau Ki Ageng Kasihan tidak memiliki anak hingga wafat.

Adapun anaknya yang ditinggalkan di Tuban mengabdi sebagai pejabat di sana dan berhasil menikahi keturunan Adipati Ranggalawe, bahkan kemudian berhasil menduduki takhta Kadipaten Tuban. Putra Ki Ageng Kasihan terkenal dengan gelar Adipati Arya Adikara, yang tak lain adalah ayah kandung Dewi Retna Dumilah, dan tentu juga kakek Kidang Telangkas alias Jaka Tarub alias Ki Ageng Tarub. Bila merujuk pada silsilah ini, Ki Ageng Tarub yang kelak dikenal sebagai penurun raja-raja Mataram Islam, memiliki darah Sunda dari kakek buyutnya itu.

Yang menarik lagi adalah hubungan antara Dewi Rasa Wulan dengan Dewi Retna Dumilah yang ternyata memiki hubungan ibu-anak. Sejumlah literatur menyebutkan, Sunan Kalijaga adalah putra seorang adipati Tuban dan ibu bernama Dewi Retna Dumilah. 

Yudi Hadinata, misalnya, dalam buku Sunan Kalijaga: Biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan, dan Pengaruh-pengaruhnya (2015) menyatakan bahwa Sunan Kalijaga diperkirakan lahir sekitar tahun 1430-an karena menikah dengan putri Sunan Ampel pada usia 20-an tahun, sementara Sunan Ampel saat itu berusia 50-an tahun. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada 1450 atau 1455. Ia mempunyai ayah bernama Tumenggung Wilwatikta dan ibu bernama Dewi Retna Dumilah.

Menurut Damar Shashangka, setelah menyerahkan bayi Kidang Telangkas kepada Syekh Maulana Maghribi, Dewi Retna Dumilah menikah lagi dengan Adipati Tuban yang terkenal dengan gelar Adipati Wilwatikta. Sehingga dari silsilah versi Damar Shashangka ini, antara Ki Ageng Tarub dengan Sunan Kalijaga dan Dewi Rasa Wulan masih ada hubungan saudara tiri. Seibu lain ayah.

Dari ulasan ini, manakah yang lebih valid (sahih) dari dua versi silsilah Ki Ageng Tarub tersebut? Wallahu a’lam. Perlu kajian dan riset lebih mendalam lagi.

(Bersambung)


Referensi

Abdi, Husnul. (2022, April 25). Legenda adalah Cerita Rakyat yang Berhubungan dengan Sejarah, Kenali Jenis-jenisnya. Liputan6. https://www.liputan6.com/hot/read/4947886/legenda-adalah-cerita-rakyat-yang-berhubungan-dengan-sejarah-kenali-jenis-jenisnya?page=3.
Hadinata, Yudi. (2015). Sunan Kalijaga: Biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan, dan Pengaruh-pengaruhnya. Yogyakarta: Dipta.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-2/feed/ 0 41307
Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1) https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-1/ https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-1/#respond Wed, 06 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41298 Di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, terdapat sebuah makam yang diyakini tempat bersemayam seorang tokoh besar pada zamannya, yang populer dengan nama Ki Ageng Tarub. Menurut sejumlah literatur, pada masa kecilnya Ki...

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, terdapat sebuah makam yang diyakini tempat bersemayam seorang tokoh besar pada zamannya, yang populer dengan nama Ki Ageng Tarub. Menurut sejumlah literatur, pada masa kecilnya Ki Ageng Tarub bernama Kidang Telangkas dan setelah menginjak remaja dikenal dengan nama Jaka Tarub. Keberadaan tokoh ini dinisbatkan dengan cerita rakyat (legenda) tentang Jaka Tarub yang menikah dengan seorang bidadari dari kahyangan.

Versi makam Jaka Tarub sendiri diketahui tidak hanya di Desa Tarub yang berada di wilayah Grobogan. Makam Ki Ageng Tarub juga diklaim berada di Dusun Pacanan, Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Ada juga yang mengaku berada di Desa Widodaren, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. 

Bahkan di Jawa Tengah sendiri, selain di Grobogan, makam Ki Ageng Tarub juga diklaim ada di Desa Sani (Pati), Desa Tarub (Karanganyar), Desa Tarub (Adiwerna, Tegal), dan di Desa Bulupitu (Kutowinangun, Kebumen). Namun, menurut penelitian Ambar Widyawati pada 2003, sebagaimana dikutip KRT Priyohadinagoro (2010) dalam blog kiagengtarub.blogspot.com, disebutkan bahwa makam Ki Ageng Tarub yang asli adalah makam yang berada di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan.

Setiap tahun, tiap tanggal 15 Safar dalam penanggalan Jawa, haul Ki Ageng Tarub diperingati secara meriah dengan adanya kirab gunungan hasil bumi oleh warga Desa Tarub. Haul dihadiri pejabat pemerintah kabupaten (pemkab) dan sejumlah petinggi trah Keraton Surakarta Hadiningrat. Di antaranya yang pernah hadir adalah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari, GKR Ayu Koes Indriyah, dan GKR Galuh.

Setiap peringatan Hari Jadi Kabupaten Grobogan, pusara Ki Ageng Tarub juga masuk dalam agenda ziarah ke makam para leluhur oleh Pemkab Grobogan. Selain makam Ki Ageng Tarub, saat perayaan hari jadi tersebut, bupati Grobogan bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan pejabat di lingkungan pemkab juga berziarah ke makam Ki Ageng Getas Pendowo, Ki Ageng Selo, dan Pangeran Puger—bupati Grobogan pertama.

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)

Legenda Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari

Masyarakat Grobogan sendiri sejak dulu telah mengenal legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang mandi di sebuah telaga. Salah satu dari bidadari tersebut, selendang atau pakaiannya diambil dan disembunyikan oleh Jaka Tarub. Sehingga sang bidadari tidak bisa kembali ke kahyangan. Bidadari yang diketahui bernama Dewi Nawangwulan itu kemudian dinikahi oleh Jaka Tarub. 

Di Desa Tarub, Tawangharjo, makam Jaka Tarub dan sendang telaga itu bisa dinapaktilasi terlepas dari validitasnya. Dalam laman Pencatatan pada situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, tercatat cerita Jaka Tarub versi Yogyakarta dan Grobogan—yang sebenarnya secara alur cerita mirip bahkan boleh jadi memang sama. 

Secara garis besar, cerita legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari versi masyarakat Grobogan dapat diceritakan sebagai berikut:

Syahdan, di Pedukuhan Tarub, pernah hidup seorang anak muda bernama Jaka Tarub. Ia memiliki kegemaran berburu burung perkutut di hutan.

Suatu hari, seperti biasa, Jaka Tarub pergi berburu burung perkutut di hutan. Saat Jaka Tarub berada di tengah hutan, langkahnya seketika terhenti karena sekonyong-konyong ia melihat tujuh perempuan jelita yang sedang mandi di telaga. Kiranya perempuan-perempuan itu adalah para bidadari yang turun dari kahyangan.

Pada saat itulah, Jaka Tarub tertarik melihat kecantikan mereka, sehingga diam-diam mengambil pakaian salah satu bidadari yang tengah mandi itu. Dan pakaian itu adalah milik seorang bidadari yang bernama Dewi Nawangwulan. 

Dewi Nawangwulan tak bisa kembali ke kahyangan karena pakaiannya diambil oleh Jaka Tarub. Ia pun ditinggal teman-temannya kembali ke kahyangan. Jaka Tarub keluar dari persembunyianya dan menghampiri Dewi Nawangwulan yang sedih karena tak bisa kembali ke kahyangan. 

Dari sinilah kemudian terjalin kisah cinta antara Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan. Karena tak bisa kembali ke kahyangan, Dewi Nawangwulan akhirnya bersedia diperistri oleh Jaka Tarub. Jaka Tarub sangat bahagia memiliki istri seorang bidadari.

Di masyarakat Pedukuhan Tarub, Jaka Tarub dikenal sebagai seorang petani yang tekun. Sejak kehadiran istrinya yang seorang bidadari, hasil panen padi Jaka Tarub semakin melimpah, seperti tak pernah berkurang. Rahasianya ternyata berasal dari kemampuan Dewi Nawangwulan yang bisa menanak nasi, hanya dari secangkir padi tapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dalam sehari. Hanya saja, Dewi Nawangwulan berpesan agar Jaka Tarub jangan sampai masuk ke dapur saat dirinya memasak. 

Pesan istrinya itu selalu dipegang teguh oleh Jaka Tarub, hingga hidup mereka pun dikaruniai kebahagiaan. Apalagi setelah Dewi Nawangwulan melahirkan seorang anak perempuan jelita seperti paras ibunya.  Oleh Jaka Tarub, anak itu diberi nama Dewi Nawangsih. 

“Nawang” diambil dari nama istrinya, Sedang “sih” berarti kasih atau cinta. Nama putrinya itu menyiratkan kebesaran cinta Jaka Tarub kepada istrinya. Sayang, kebahagiaan keluarga itu kemudian dirusak oleh aksi Jaka Tarub yang melanggar janjinya. 

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)

Dikisahkan, setiap kali Dewi Nawangwulan memasak di dapur, ia selalu dibantu teman-temannya dari kalangan bidadari. Itulah rahasia Dewi Nawangwulan bisa menanak nasi dari secangkir beras sehingga bisa menjadi nasi satu bakul penuh, komplet dengan lauk pauknya. 

Namun, hari itu menjadi hari yang nahas, karena saat Dewi Nawangwulan sedang memasak di dapur dengan dibantu oleh teman-teman bidadarinya, tiba-tiba Jaka Tarub masuk. Para bidadari itu pun kaget dan kemudian beterbangan kembali ke kahyangan dan tidak akan pernah kembali lagi untuk membantu Dewi Nawangwulan. 

Dewi Nawangwulan pun sedih bukan kepalang. Ia menangis tersedu-sedu. Sejak kejadian itu, kehidupan keluarga Jaka Tarub berubah drastis. Dewi Nawangwulan tak lagi menikmati hidup seperti sebelumnya. Hari-harinya dipenuhi kemurungan dan kelesuan. Dalam waktu tak lama, persediaan padi di lumbung mulai menipis. 

Ketika persediaan padi makin menipis, terkejutlah Dewi Nawangwulan karena mendapati pakaiannya yang hilang dulu. Tahulah ia sekarang, jika pakaiannya itu ternyata dicuri oleh suaminya dan disembunyikan di bawah timbunan padi. Akhirnya, dengan mengenakan pakaiannya itu, Dewi Nawangwulan memutuskan kembali pulang ke kahyangan. 

Dewi Nawangwulan segera terbang menuju ke kahyangan. Meninggalkan Pedukuhan Tarub, juga meninggalkan Jaka Tarub dan seorang putri jelita yang masih bayi. Sesaat sebelum terbang, Dewi Nawangwulan berpesan kepada Jaka Tarub: bila sewaktu-waktu Nawangsih menangis karena merindukan ibunya, Jaka Tarub diminta menggendong Nawangsih ke luar rumah dan membawanya ke dekat pohon pisang, karena ia akan datang untuk menemui putrinya yang sangat dicintainya.

Legenda Jaka Tarub dalam Karya Seni

Begitulah kisah legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan yang sangat masyhur dan merupakan cerita rakyat yang dituturkan leluhur masyarakat Grobogan dari generasi ke generasi.

Cerita legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari itu juga dapat dibaca di buku yang berjudul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada 1941. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam edisi hard cover oleh penerbit Narasi, Yogyakarta (cetakan pertama, 2014) dengan judul Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.

Kemasyhuran legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari itu menginspirasi banyak seniman lukis yang secara imajinatif memvisualkannya ke dalam lukisan-lukisan yang indah. Di antaranya maestro pelukis Indonesia, Basuki Abdullah, yang membuat lukisan bertajuk Jaka Tarub.

Lukisan Basuki Abdullah itu kemudian menginspirasi pelukis asal Grobogan, Eko Supa, untuk membuat lukisan berjudul Spirit Selendang. Lukisan karya Eko Supa ini termasuk lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Temporer Museum Basoeki Abdullah bertema “Spirit Potret” pada 2018. 

Pada pameran tersebut, Eko Supa bersama sekitar 30 seniman lukis se-Indonesia. Bagi yang lukisannya terpilih, diminta untuk melukis karya maupun karakter Basoeki Abdullah dengan eksplorasi sesuai aliran dan imajinasi masing-masing.

Saat itu Eko Supa membuat lukisan karikatur yang menggambarkan Basoeki Abdullah masuk ke dalam lukisan Jaka Tarub—sebuah lukisan yang pernah dibuat Basoeki Abdullah berdasarkan legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Dalam lukisannya, Eko Supa menggambarkan karakter Basoeki Abdullah yang mengambil selendang bidadari, sehingga karya lukisannya itu diberi judul Spirit Selendang dan terpajang di katalog galeri pameran tersebut. 

Tak hanya dalam lukisan, cerita legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari juga diadaptasi ke dalam berbagai karya seni lainnya, mulai dari cerita komik, drama, hingga film. Hal ini membuktikan kemasyhuran cerita rakyat yang sangat populer dan melegenda.

(Bersambung)


Referensi

Priyohadinagoro, KRT. (2010, April 17). Situs Makam KI Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub Blogs. https://kiagengtarub.blogspot.com/2010/04/situs-makam-ki-ageng-tarub.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-1/feed/ 0 41298