dieng Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/dieng/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 30 Oct 2023 07:41:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 dieng Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/dieng/ 32 32 135956295 Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/#respond Mon, 30 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39976 “Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun...

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun pendaki yang tidak ingin menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencapai puncak. Hanya sekitar dua jam perjalanan, pendaki sudah dapat merasakan keindahan tujuh gunung dalam sekali waktu dari ketinggian sekitar 2.365 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Gunung Bismo mungkin kurang populer daripada Gunung Prau yang lokasinya tidak terlalu berjauhan. Padahal Gunung Bismo juga menawarkan bentang alam yang menakjubkan.

Suatu siang, saya bersama dua teman mengawali perjalanan dari Yogyakarta menuju Dieng untuk melihat secara langsung keindahan Gunung Bismo. Kami memutuskan mendaki Gunung Bismo via Sikunang, Kecamatan Kejajar. Tidak ada pertimbangan khusus, hanya karena basecamp itulah yang pertama kali kami temukan.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Basecamp Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Setibanya di basecamp, kami beristirahat sebentar dan menata kembali barang bawaan yang akan kami bawa naik ke puncak. Menata barang bawaan dengan baik akan mempermudah perjalanan sekaligus mengurangi beban pada tas carrier. Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan untuk packing basah, yaitu mengemas semua barang dalam kantong tahan air. Sebuah cara terbaik mengingat cuaca yang tidak bisa kami prediksi. 

Saat itu kondisi basecamp cukup ramai. Terdapat beberapa rombongan yang juga hendak mendaki di hari itu. Rasanya masuk akal karena waktu akhir pekan di musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk mendaki gunung dan melepas penat.

Memulai Langkah Pertama

Usai menata barang bawaan, kami memulai pendakian tepat pukul 17.30 WIB. Perjalanan dari basecamp menuju Pos 1 melewati perkampungan dan persawahan milik warga. Jalur cukup mudah dengan tanjakan yang masih minim. Kami hanya memerlukan waktu sekitar 15—20 menit untuk sampai di pos pertama.

Ketika kami tiba di Pos 1, langit Dieng perlahan meredup. Cahaya jingga mulai menguasai dan suara azan Magrib berkumandang. Silih berganti dari masjid satu ke masjid yang lain. Kami duduk sebentar menunggu azan selesai. Tak lama, perjalanan kami lanjutkan dan mulai dari sinilah Gunung Bismo menampakkan keistimewaannya.

Jalur pendakian dari Pos 1 menuju Pos 2 mulai bergelombang. Walaupun demikian masih tergolong aman karena penduduk setempat sering menggunakan jalur tersebut ketika hendak berladang. Terdapat dua jalur yang bisa pendaki pilih, yaitu jalur landai atau curam.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Papan informasi Pos 2 Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Karena menganggap bahwa trek curam lebih cepat, kami memilih jalur tersebut. Namun, kami kemudian menyesali keputusan ini. Setelah bertemu penjaga warung di Pos 3, beliau bilang jika jalur landai justru lebih cepat dan medannya lebih mudah.

Langit benar-benar gelap seutuhnya ketika kami mencapai Pos 3. Saat itulah kerlip lampu-lampu di Dieng mulai terlihat dari ketinggian. Sepanjang perjalanan, alam menyuguhkan kami pemandangan yang mengagumkan. Rasanya seperti berjalan di tempat-tempat wisata, seperti paralayang atau Bukit Bintang. Pemandangan tersebut membuat perjalanan kami tidak begitu terasa melelahkan. Apalagi udara sejuk yang menyelimuti Dieng, membikin perjalanan kami kian menyenangkan. Panorama Dieng dari ketinggian itu kemudian menemani perjalanan kami hingga ke puncak.

Mencari Tempat Berkemah

Jika pendakian di gunung lain umumnya melewati hutan-hutan lebat, Gunung Bismo tidak demikian. Pohon-pohon rimbun seperti terpusat di beberapa titik saja. Sisanya hanya berupa lembahan dan ladang penduduk yang asri. Masyarakat Sikunang benar-benar mendesain jalur ini menjadi sangat ramah bagi pendaki.

Tidak lama berjalan, kami mencapai satu-satunya warung yang berdiri di sekitar Pos 3. Warung itu menjual air mineral, mi instan, dan aneka gorengan. Penjualnya adalah laki-laki yang sudah berumur. Kami beristirahat sebentar di warung tersebut sembari bertanya lokasi camp terbaik untuk kami berkemah malam ini.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Lampu-lampu permukiman Dieng di malam hari dari ketinggian Gunung Bismo/Laillia Riani

Bapak penjaga warung pun menjelaskan, “Ada banyak puncak, Mbak, di sini. Paling dekat dari sini ada Puncak Nemu-nemu, lalu Puncak Tugel, dan paling tinggi ada Puncak Indraprasta. Tapi pendaki enggak boleh camp di puncak, soalnya takut angin kencang. Bahaya. Nanti setelah puncak Tugel itu, ada camping area. Biasanya pendaki camp di situ. Tapi kalau mau jalan sedikit lagi nanti akan nemu lokasi yang bagus juga buat camping. Kalau jalan pasti nanti tahu sendiri lokasinya. Semoga belum dipakai orang.”

Setelah mendengar informasi tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Tugel yang katanya tidak jauh lagi. Langit begitu cerah malam itu. Cahaya bulan dan gemerlap bintang seolah menerangi perjalanan kami. Keindahan ini semakin nyata ketika akhirnya kami tiba di Puncak Tugel.

Kami mulai mencari camping area usai puas menikmati suasana malam di puncak Tugel, yang sudah berisi sekitar lima tenda besar. Teringat kata bapak penjaga warung tadi, kami mencari lokasi camp yang beliau maksud.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Berpose di Puncak Tugel Gunung Bismo saat akan turun/Laillia Riani

Kami terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan sebuah area datar yang hanya cukup untuk satu tenda. Di area ini terdapat pohon yang menghalangi angin yang mulai bertiup kencang bersamaan dengan suhu udara yang kian menusuk. Kami pun memutuskan segera membangun tenda. Lokasinya seperti private camp karena hanya  ada tenda kami saja. 

Selepas tenda berdiri, kami memutuskan lekas beristirahat agar besok pagi bisa mengejar matahari terbit. Rasanya dingin yang luar biasa menyelimuti dataran tertinggi di wilayah Wonosobo malam itu. Baju berlapis dan sleeping bag ternyata tidak cukup untuk menghalau suhu Gunung Bismo yang seperti membeku.

Pemandangan Tujuh Gunung dari Puncak Indraprasta

Keesokan harinya, lamat-lamat kami mendengar langkah kaki di sekitar tenda. Tandanya pagi sudah datang dan orang-orang sudah bersiap menyaksikan matahari terbit. Kami pun tak ingin ketinggalan. Kami segera mengemas barang-barang yang perlu kami bawa, mengunci tenda, lalu berangkat ke puncak tertinggi Gunung Bismo, Puncak Indraprasta.

Cahaya emas matahari pagi perlahan mulai meninggi. Suasana dingin berangsur hangat bersamaan dengan pemandangan yang makin terlihat jelas. Gunung-gunung api Jawa Tengah yang berjajar di sekitar Gunung Bismo.

  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo

Dari Puncak Indraprasta, kami bisa memandang Gunung Sumbing dan Sindoro yang begitu gagah. Di sebelah timur terdapat Gunung Prau yang memanjang. Di sudut antara ketiga gunung itu, tampak dari kejauhan Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu. Tak lupa Gunung Slamet juga terlihat di ujung barat. Tidak hanya itu, Bukit Sikunir dan Gunung Kembang pun tak absen dari sajian panorama pagi itu.

Kami melihat pemandangan berbeda tatkala mengedarkan mata ke arah Dataran Tinggi Dieng. Terdapat petak-petak ladang sayur milik penduduk setempat yang sekilas tampak menawan dan berwarna-warni.

Setelah puas menikmati puncak Gunung Bismo, kami kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan dan kemudian berkemas. Tepat pukul 10.00, kami turun gunung. Bagi kami, Gunung Bismo benar-benar meninggalkan kesan indah yang tak terlupakan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/feed/ 0 39976
Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2) https://telusuri.id/tembakau-garangan-pengetahuan-lokal-masyarakat-dieng-2/ https://telusuri.id/tembakau-garangan-pengetahuan-lokal-masyarakat-dieng-2/#respond Wed, 16 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39608 Belum puas berkunjung di sekitar Pasar Induk Wonosobo, saya memutuskan untuk melaju ke daerah Dieng. Dataran tinggi yang menjadi pusat pariwisata Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut tutur informasi yang saya terima, masyarakat Dieng memiliki tradisi...

The post Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Belum puas berkunjung di sekitar Pasar Induk Wonosobo, saya memutuskan untuk melaju ke daerah Dieng. Dataran tinggi yang menjadi pusat pariwisata Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut tutur informasi yang saya terima, masyarakat Dieng memiliki tradisi dan pengetahuannya sendiri terkait tembakau garangan. Selain memang Dieng terkenal sebagai lahan yang cocok untuk menanam tembakau.

Saya melaju dari arah kota selama satu jam untuk sampai ke Dieng. Jarak yang saya tempuh tidak terlalu jauh. Namun, arus lalu lintas yang begitu padat dan kontur jalan menanjak membuat saya cukup lama menghabiskan waktu di jalan.  

Ketika sampai di kawasan Dieng, saya cukup kewalahan dengan suhu rendah yang menusuk kulit. Saya sampai harus memakai dua jaket sekaligus. Maklum, saya terbiasa hidup di pesisir sehingga cukup kaget dengan kondisi tersebut.

Seorang pemuda gimbal bernama Fizi sudah menanti-nanti kehadiran saya. Sebelumnya saya sudah menjalin kontak untuk berkunjung ke tempatnya. Fizi adalah sosok yang ramah. Ia kerap memaksa saya menginap di rumahnya, lantaran kondisi tubuh saya yang tidak memungkinkan untuk pulang saat itu juga.

Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2)
Tembakau garangan khas Dieng, Wonosobo/Mohamad Ichsanudin Adnan

Beda Tembakau Garangan dari Pasar dan Dieng

Selama berada di rumahnya, saya sempat memerhatikan ayah Fizi khusyuk melinting tembakau garangan. Saat itu kami sedang seru-serunya membicarakan tentang bola, karena apalagi bertepatan dengan momen Piala Dunia FIFA Qatar 2022. Saya pun tidak mau kalah menunjukkan tembakau garangan yang saya beli di toko Pak Tanir sebelumnya.

Ketika saya mengeluarkan tembakau itu dari tas kecil saya, sontak mereka terkejut. Mereka tidak menyangka bila ada orang dari luar Wonosobo yang mengenal komoditas tersebut. Saya sendiri mengaku kalau mengenalnya baru-baru ini, bahkan melintingnya pun masih kaku.

Jika mengamati lebih lanjut, tembakau yang saya beli di pasar ternyata memiliki bentuk dan wujud berbeda dengan jenis tembakau yang masyarakat Dieng miliki. Tembakau yang ada di pasar cenderung berbentuk sampai gepeng agar tidak kemasukan angin. Waktu penyimpanannya pun bisa sangat lama sehingga bentuknya menjadi kotak dan sulit untuk melinting tembakau garangan tersebut. Adapun tembakau yang belum masuk ke pasar cenderung terurai dan mudah sekali melintingnya. 

Ayah Fizi mengaku mendapatkan tembakau dari petani yang berada di Kecamatan Kejajar. Daerah tersebut juga merupakan lokasi yang tepat untuk mencari garangan, karena banyak dari warganya yang masih menanam tembakau. Sementara di daerah tempat tinggal Fizi, lahan tembakau sudah beralih menjadi komoditas lainnya, seperti carica, kentang, dan tanaman sayur lainnya. 

Tembakau di Kejajar terbilang cukup murah daripada membelinya di pasar. Hal tersebut karena proses jual beli yang berhadapan langsung dengan petani. Tanpa perantara sama sekali. Meskipun demikian, tembakau tersebut cenderung masih terurai sehingga daya simpannya tidak selama yang ada di pasar..

Pengetahuan Lokal Tembakau Garangan Dieng

Saya yang terbilang belum lama mengenal garangan, sontak mengajukan beberapa keresahan lain mengenai tembakau yang saya pegang ini. Belakangan saya kerap menjadikan tembakau garangan sebagai rokok utama, menggantikan rokok bungkusan yang bisa saya beli di warung. Sejak mengonsumsi tembakau garangan, saya jadi tidak doyan dengan jenis rokok bungkusan yang beredar di pasaran.

Akan tetapi, saya malah bingung dengan jenis tembakau yang satu ini. Tak hanya proses melintingnya yang susah, tembakau ini juga cenderung tidak mudah untuk dibakar. Sampai-sampai sisa minyak di korek saya habis hanya untuk mengisapnya. Setiap kali berhasil saya isap, bara yang keluar malah cepat meredup. Tak ada pilihan selain terus-menerus mematikan api.

Menurut ayah Fizi, sumber masalah yang saya alami terdapat pada proses meraciknya. Tembakau garangan membutuhkan kemenyan agar bisa menciptakan rasa yang halus. Namun, kita mesti melakukan proses penaburan kemenyan dengan cermat. Jika kemenyan terlalu banyak, maka tembakau akan sulit untuk terbakar. Bila terlalu sedikit, tembakau jadi sangat menyiksa tenggorokan. Maka menabur kemenyan harus secara merata dan jumlahnya tidak terlalu berlebihan.

Selain dari proses peracikan, teknis memantik api ke tembakau juga harus diperhatikan. Berbeda dengan rokok atau jenis tembakau lain yang hanya butuh sekali pantik, tembakau garangan perlu beberapa kali memantik api dalam waktu yang cukup lama. Tujuannya agar kemenyan pada tembakau dapat terbakar secara sempurna. 

Namun, jangan kaget bila bara apinya malah menjadi makin besar. Dan tidak perlu repot-repot meniup api, cukup biarkan sampai berangsur padam. Nyala api yang besar muncul karena proses pembakaran kemenyan. Kemenyan yang terbakar secara sempurna akan mati dengan sendirinya. Jika mematikan api secara sengaja maka proses pembakaran tersebut belum benar-benar membakar kemenyan.

Selain itu, waktu dan suasana batin ternyata juga berpengaruh terhadap rasa yang tembakau itu hasilkan. Saya akui tidak begitu paham alasan yang masuk akal di balik faktor tersebut. Namun, selama saya mengisap tembakau garangan, fenomena ini kerap saya jumpai dalam keseharian. Maka dari itu, guna menciptakan rasa yang baik perlu juga memerhatikan suasana. Mungkin juga karena suasana batin yang buruk, sehingga membuat proses peracikannya jadi tidak sempurna.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tembakau-garangan-pengetahuan-lokal-masyarakat-dieng-2/feed/ 0 39608
Tani Jiwo: dari Hostel ke Pemberdayaan Literasi Dieng https://telusuri.id/tani-jiwo-dari-hostel-ke-pemberdayaan-literasi-dieng/ https://telusuri.id/tani-jiwo-dari-hostel-ke-pemberdayaan-literasi-dieng/#respond Thu, 23 Jun 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34153 Bisnis penginapan memang bak jamur di musim hujan, di setiap kota apalagi di kota-kota tujuan wisata, penginapan memainkan peran penting menjaga keberlangsungan wisatawan yang melancong. Dari yang harga miring, hingga berbintang. Semua hadir dengan kualitas...

The post Tani Jiwo: dari Hostel ke Pemberdayaan Literasi Dieng appeared first on TelusuRI.

]]>
Bisnis penginapan memang bak jamur di musim hujan, di setiap kota apalagi di kota-kota tujuan wisata, penginapan memainkan peran penting menjaga keberlangsungan wisatawan yang melancong. Dari yang harga miring, hingga berbintang. Semua hadir dengan kualitas yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Lalu bagaimana jika semua penginapan menerapkan konsep yang sama, apakah akan ada sama rasa yang didapat pengunjung yang mengarah ke kebosanan?

Tani Jiwo, sebuah penginapan yang berlokasi di Dieng. Tepatnya di Jalan Dieng Nomor 31, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di tengah-tengah dataran tinggi yang berdekatan dengan kompleks percandian Arjuna dan Gunung Prau, menjadikan Tani Jiwo berada di lanskap yang sempurna untuk mengintip keindahan Dieng dari jantungnya. Namun, alih-alih hanya menawarkan lanskap yang indah, Tani Jiwo berkomitmen untuk menyediakan penginapan murah, ramah, serta berkelanjutan. Bagaimana ceritanya?

Salah satu ruangan di Tanijiwo

Dalam bahasa Jawa, Tani Jiwo bermakna jiwa petani. Kenapa mengambil petani sebagai nama? Hal ini menurut situs resminya adalah sebagai upaya untuk mencerminkan spirit petani Indonesia yang selalu nandur sedulur. Petani yang merupakan salah satu pondasi bangsa urusan pangan, telah menurunkan nilai-nilai kekeluargaan demi mencapai panen yang sukses. Hubungan dengan alam, hubungan dengan manusia lainnya dijaga seharmonis mungkin untuk mencapai keteraturan yang biasa kita sebut dengan “tentram”.

Para pengurus Tani Jiwo sadar, keberlangsungan pariwisata Dieng juga berarti keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Jangan sampai orang-orang lokal kalah saing dengan orang luar sehingga nantinya tenaga kerja lokal menjadi diremehkan. Oleh karena itu Tani Jiwo mengupayakan untuk mempekerjakan orang-orang lokal yang sudah sedari dulu memahami kehidupan di tanah Dieng. Orang-orang muda Dieng fasih berbahasa Jawa—bahasa ibu yang digunakan untuk percakapan sehari-hari—dan bahasa Indonesia untuk melayani kebutuhan pengunjung akan informasi di sekitar Dieng.

Tani Jiwo sadar betul akan Dieng yang menjadi titik perkumpulan wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Oleh karena itu, Tani Jiwo tidak ingin jika pengalaman menginap hanya sekedar menghabiskan waktu di kasur ataupun di kamar. Tani Jiwo menyediakan perpustakaan mini yang dilengkapi buku-buku yang sudah dikurasi sedemikian rupa untuk menambah pengetahuan. 

Sebagai komitmen untuk menjaga lingkungan, Tani Jiwo terus berusaha dengan menyediakan tempat sampah di titik-titik strategis taku menggunakan material ramah lingkungan dengan usia pemakaian panjang, aktif berdiskusi hingga melakukan gerakan bersama Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) & warga sekitar Dieng untuk meminimalisir kerusakan lingkungan. Tak berhenti di situ, Tani Jiwo juga menanamkan utamanya kepada para karyawan. “Kami percaya, apabila tuan rumah sudah teredukasi dengan nilai-nilai tersebut, maka secara naluriah akan memberikan edukasi serupa pada pengunjung,” ucap Sinlu, salah satu dari tim marketing Tani Jiwo.

Buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit/Tanijiwo

Salah satu terobosan Tani Jiwo yang paling terkenal adalah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dieng: Sebelum Matahari Terbit. Penerbitan buku ini sekaligus menandai kesadaran akan buku yang membahas tentang Dieng masih sedikit. Dengan sedikit usaha, anak-anak muda Dieng dikumpulkan dan menulis berbagai macam cerita naratif ringan nan berwawasan. Semisal cerita tentang hubungan petani dan pendaki di Gunung Prau, cerita tentang Dieng sebagai pusat kebudayaan Jawa pada masa silam, hingga cerita anak gimbal dari sudut pandang yang berbeda. Kesemua ini dimaksudkan untuk merangsang pengetahuan dan mengalihkan sudut pandang semua orang yang memandang Dieng hanya sebagai komoditi wisata.

“Mengenai buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit, gerakan ini dimulai sejak renovasi perpustakaan rumah kami. Tujuannya adalah untuk membuka & memberikan kebutuhan literasi yang masih minim di Dieng.”

“Selain memperkenalkan produk baru kami, keberadaan buku ini juga menjadi kesempatan bagi kami & teman-teman yang terlibat untuk belajar dari lebih banyak sumber,” tambahnya.

Selain itu, Tani Jiwo juga mengusung program residensi sebagai bagian untuk mengembangkan anak muda Dieng dan luar Dieng untuk menulis tentang Dieng. Perhatian Dieng sulit sekali dilepaskan dari kacamata pariwisata, padahal Dieng adalah ruang hidup yang sangat luas untuk manusia, alam, dan juga hewan yang lebih dari sekedar “festival”, hal inilah yang kemudian coba diwadahi oleh Tani Jiwo. Bagaimana cara skema program ini berjalan?

Program residensi yang menjalin banyak pemuda Dieng maupun luar Dieng/Tanijiwo

“Residensi di Tani Jiwo berusaha mengenalkan potensi Dieng melalui disiplin ilmu yang beragam. Dari setiap peserta terpilih akan menjalani beberapa hari di Dieng untuk riset sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti. Para narasumber yang dipilih adalah penduduk Dieng & sekitarnya. Data-data yang terkumpul oleh peserta kemudian akan diolah secara pribadi menjadi karya, baik tulisan, visual maupun audio. Keluaran dari residensi ini mengijinkan peserta untuk dipamerkan dalam satu wadah Tani Jiwo, maupun di luar Tani Jiwo yang mengangkat isu serupa.”

Tahun ini, Tani Jiwo menyongsong semangat baru setelah dua tahun pagebluk melumpuhkan berbagai sektor. Termasuk pariwisata di Dieng. Sebagai salah satu yang terdampak, Tani Jiwo tentu mengusahakan kestabilan sirkulasi pengunjung seperti sedia kala. Tani Jiwo kembali membuka kesempatan berkolaborasi dengan siapapun untuk tumbuh kembang bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tani Jiwo: dari Hostel ke Pemberdayaan Literasi Dieng appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tani-jiwo-dari-hostel-ke-pemberdayaan-literasi-dieng/feed/ 0 34153
Berencana ke Dieng? Singgah ke 8 Tempat Ini https://telusuri.id/8-tempat-wisata-dieng/ https://telusuri.id/8-tempat-wisata-dieng/#respond Fri, 17 Dec 2021 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31619 Bicara soal Dataran Tinggi Dieng, mungkin banyak orang yang sudah tidak asing lagi dengan kawasan wisata yang satu ini. Udaranya yang sejuk dan pemandangan alamnya membuat siapa pun yang mengunjunginya menjadi amat terpukau. Secara administratif...

The post Berencana ke Dieng? Singgah ke 8 Tempat Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Bicara soal Dataran Tinggi Dieng, mungkin banyak orang yang sudah tidak asing lagi dengan kawasan wisata yang satu ini. Udaranya yang sejuk dan pemandangan alamnya membuat siapa pun yang mengunjunginya menjadi amat terpukau.

Secara administratif Dieng berada di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Ada cukup banyak pilihan destinasi wisata, mulai dari deretan lembah, gunung, bukit, candi, hingga acara tahunan seperti Dieng Culture Festival. Oleh karenanya, untuk menelusuri seluruh kawasan ini butuh waktu yang tak sebentar. 

Nah, kali ini aku akan merekomendasikan kepada kamu beberapa tempat wisata yang bisa kamu kunjungi saat ke sana.

Matahari terbenam di sekitar tanaman kentang Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah via TEMPO/Boy Komar

1. Desa Sembungan

Nama desa ini sudah banyak terdengar dan familiar di telinga para pejalan, baik dari yang suka wisata untuk semata-mata melepas penat dari hiruk pikuk kota dan padatnya pekerjaan, sekadar iseng-iseng cari tempat baru, atau bahkan buat yang suka memacu adrenalin. Apalagi, desa ini didapuk sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa yang tepatnya berada di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. 

Dari beberapa penduduk yang pernah berbincang denganku, ada fakta menarik bahwa sebenarnya di Desa Sembungan masyarakat masih menggunakan bahasa Jawa medok yang biasa dituturkan oleh orang Jawa sekitar Joglo (Jogjakarta-Solo). Tetapi tidak jarang juga saat berkomunikasi masyarakat akan menggunakan bahasa Jawa ngapak.

Hal ini biasanya disesuaikan dengan lawan bicaranya. Terlebih lagi karena Wonosobo berbatasan langsung dengan Banjarnegara yang masyarakatnya menuturkan bahasa ngapak hingga membuat masyarakat Desa Sembungan memiliki kepiawaian tersendiri dalam berbahasa Jawa. Jadi kalau dikatakan medok ya nggak medok-medok amat tapi kalau ngapak ya enggak juga, pokoknya unik deh. 

Keunikan ini sebenarnya juga bisa ditemui di sekitar Pegunungan Dieng selain di Desa Sembungan. Para pelawat bisa menemuinya di sekitar Rangkaian Gunung Dieng yang tidak lain berada di garis batas antara Wonosobo dan Banjarnegara.

Selain keunikannya lantaran berada di ketinggian, warga Desa Sembungan juga memiliki sistem pengelolaan pariwisata yang dirasa sudah begitu sadar akan pentingnya wisata. Masyarakat di sini telah memperdulikan pariwisata karena memang pada dasarnya sebagai sektor tumpuan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Los-los setiap tempat berdagang hanya diperuntukkan oleh warga sekitar dengan harga sewa yang tergolong sangat rendah. Sehingga para pedagang yang berada di tempat wisata sudah dapat dipastikan adalah warga lokal. Hal ini membuat dagangan yang dijual di sekitar Desa Sembungan tidak terlalu mahal, bahkan sesuai standar harga lokal. 

Di samping menjadi pedagang, masyarakat juga dapat bekerja seperti sebagai penjaga parkir, penginapan, usaha toilet yang cukup menggiurkan. Meski hanya sebagai tukang parkir atau penjaga toilet umum penghasilan yang dapat diperoleh masyarakat bisa untuk menyekolahkan anak hingga di perguruan tinggi. Oh ya, di desa ini juga banyak berbagai tempat wisata yang dapat didatangi.

Wisatawan berfoto dengan latar Gunung Sindoro di Bukit Sikunir, Wonosobo, Jawa Tengah via TEMPO/Budi Purwanto

2. Bukit Sikunir

Masih berada di Desa Sembungan, bukit ini memiliki kekhasannya tersendiri dibandingkan dengan bukit lainnya. Karena berada di negeri di atas awan jadinya kalau awan masih begitu tebal, bukit sering kali tidak terlihat walau hanya  berjarak pandang 5 meter.

Sebaiknya pengunjung mendatangi bukit yang satu ini saat masuk subuh, di mana matahari sedang mempersiapkan diri untuk terbit. Apabila cuaca sedang mendukung dengan curah hujan yang ringan,  sekitar bukit akan terlihat sangat indah. Akan tetapi, saat musim penghujan datang biasanya akan lebih sulit menemukan momen matahari terbit maupun tenggelam. Namun, tentu hal itu bukan penghalang karena sekalipun dinikmati saat siang hari Bukit Sikunir masih begitu indah.

3. Telaga Cebong

Telaga Cebong berada tak jauh dari Bukit Sikunir, lokasinya masih berada di Desa Sembungan. Jaraknya tak terlalu jauh, Telaga Cebong berada di balik Bukit Sikunir atau tepatnya di sebelah barat dari bukit tersebut. Dengan parkir kendaraan di Bukit Sikunir para wisatawan bisa menuju Telaga Cebong hanya dengan berjalan kaki. Namun, harus tetap berhati-hati saat melintas karena lokasi ini berada di Gunung-gemunung Dieng yang mempunyai curah hujan tinggi. Salah-salah, malah bisa terpeleset.

Menurut warga sekitar, mengunjungi kawasan wisata Dieng termasuk Telaga Cebong memang lebih baik di musim kemarau meski udaranya akan jauh lebih dingin yang bahkan bisa sampai bertemu embun upas.

4. Dieng Plateau Theater

Untuk para penikmat sejarah, tempat ini menjadi spot yang cocok untuk menambah Wawasan. Seperti namanya, Dieng Plateau Theater memang merupakan kawasan wisata yang menyuguhkan dokumentasi sejarah Dieng. Di sini para pengunjung akan memahami kalau Dieng sendiri berasal dari kata di (gunung) dan Hyang (leluhur/dewa) yang artinya tempat bersemayamnya para dewa. Karena memang menjadi tempat yang dirasa masih suci, maka para pejalan jangan sampai berbuat aneh-aneh yang melanggar norma dan moralitas. Jadi mengunjungi Dieng bukan hanya menelusuri alam saja, melainkan pengunjung juga dapat belajar mengenai sejarah Dieng. 

Selain itu tepat di samping gedung ada arena permainan yang memacu adrenalin seperti flying fox, tapi kalau tidak berani bisa saja hanya berswafoto di sana.

Dieng Plateau Theater/Rosla Tinika Sari

5. Bukit Batu Pandang Ratapan Angin

Dengan berjalan kaki dari Dieng Plateau Theater pengunjung dapat langsung mendaki bukit dengan membayar Rp10.000. Kalau sedang hujan dan lupa tidak bawa jas hujan, para pejalan masih bisa tenang karena dapat menyewanya di sini.

Oh ya meski di sekitar bukit banyak bunga warna-warni yang bermekaran, para pelancong tidak diperkenankan untuk memetik apalagi merusak tanaman. Diterapkannya aturan ini dikarenakan agar tetap terjaganya kawasan saat mengunjungi bukit yang berada di Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, ini pelawat juga dapat melintasi jembatan merah putih, berswafoto dengan burung hantu, melihat-lihat tanaman carica yang termasyhur di Pegunungan Dieng.

Telaga warna di Dieng, Jawa Tengah via TEMPO/ Sri Wahyuni

6. Telaga Warna

Saat mendaki di Puncak Bukit Batu Pandang Ratapan Angin, pengunjung juga dapat melihat telaga dengan warna yang dapat berubah saat terik matahari mengalami transformasi. Kalau  siang hari telaga dapat berwarna biru, namun beberapa saat akan berubah warna kuning atau dengan siluet yang apik.

Jadi kalau mau melihat perubahan warna selayaknya warna pelangi di permukaan telaga harus lebih sabar lagi karena peralihan warna di telaga ini bergantung pada cuaca dan sinar mentari.

7. Kawah Sikidang

Kawah yang berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara ini menjadi tempat yang paling direkomendasikan saat ke Dieng lantaran ketenaran dan keelokannya yang begitu memanjakan diri, bukan cuma mata, perut, atau lainnya. 

Kalau musim hujan, pengunjung bisa pinjam payung para pedagang dengan cuma-cuma, alias gratis. Berdasarkan pengalaman sewaktu ke Kawah Sikidang saat musim hujan dan hujan sedang turun, pernah mendapat tawaran untuk memakai payung salah seorang pedagang bahkan sebelum memohon izin untuk meminjamnya.

Kalau di kawah ini wisatawan juga bisa membeli kentang, carica, gendot (cabai khas Dieng), atau bahkan purwoceng untuk menghangatkan badan yang tentunya dengan tidak membanting harga dan masih sesuai standar harga lokal.

Kawah Sikidang di Dataran Tinggi Dieng
Kawah Sikidang di Dataran Tinggi Dieng via TEMPO/M. Taufan Rengganis

8. D’Quiano Hot Spring Waterpark

D’Quiano Hot Spring Waterpark ini merupakan taman air yang ada di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Untuk mengunjunginya, aku sarankan teman-teman datang saat sore hari. Waktu yang pas untuk sekalian mandi sore. Apalagi setelah seharian lelah mengunjungi Dieng dengan energi yang mungkin banyak berkurang.

Dengan air panasnya, D’Quiano Hot Spring Waterpark dapat menghangatkan tubuh diantara dinginnya udara Dieng. Sebelum menemui malam dan menikmati santap malam, lebih baik terlebih dulu menyegarkan badan yang sudah seharian jalan keliling Dieng ke arena permainan air ini. Jadi kalau sinar matahari sudah angslep badan sudah jauh lebih segar dan semakin lahap saat bertemu sajian makan malam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Berencana ke Dieng? Singgah ke 8 Tempat Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/8-tempat-wisata-dieng/feed/ 0 31619
Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/ https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/#respond Sun, 15 Aug 2021 12:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28826 Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke...

The post Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan appeared first on TelusuRI.

]]>
Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke Dieng, lain cerita sebelum pandemi singgah. Mereka datang untuk berkunjung ke Pasar Kumandang, Bongkotan. Pasar ini berhasil mencuri perhatian karena mengusung konsep pasar tempo dulu dan terletak di tengah hutan yang masih asri. 

Saya sendiri penasaran dan berkesempatan mengunjungi Pasar Kumandang bersama teman SMP. Kebetulan saya sedang berada di rumah Wonosobo, dan ingin menghabiskan akhir pekan dengan lebih produktif—tidak hanya sekedar rebahan di pojokan kamar.

Kami ke sana mengendarai sepeda motor dari rumah dengan estimasi waktu kurang lebih sekitar satu jam. Begitu tiba, suasana di area pasar sudah ramai pengunjung, dan rupanya saya kesiangan karena sudah begitu antre kendaraan yang terparkir. Terlihat tukang parkir dan beberapa petugas mulai kewalahan saat memberikan karcis pada para pengunjung sudah mulai mengular.

Letak pasar di tengah hutan/Annisa S

Lokasi Pasar Kumandang

Lokasi Pasar Kumandang mudah ditemukan, karena tidak jauh dari pusat Kota Wonosobo. Terletak di Jl. Candi Bongkotan, Dukuh Bongkotan, Desa Bojasari, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo. Pasar ini hanya buka di hari minggu saja, mulai pukul 07.00 – 13.00 WIB.

Ini pasar wisata, bukan pasar tradisional pada umumnya. Letaknya berada di tengah hutan rindang, menggunakan koin atau kepingan kayu sebagai alat transaksi di dalam pasar. Tentu membuat saya penasaran ingin segera bertandang.

Begitu memasuki pintu masuk pasar, alunan musik angklungan menyambut. Para pemusik lengkap menggunakan blangkon dan pakaian batik khas tempo dulu bermotif garis berwarna coklat tua.

Dari pintu masuk, rupanya harus melewati tangga yang terbuat dari tanah. Ada papan penunjuk arah yang tersebar di area pasar sehingga memudahkan para pengunjung memilih area yang dituju. Setelah tiba di area pasar, banyak hal menarik yang saya jumpai. 

Koin untuk bertransaksi di pasar/Annisa S

Transaksi menggunakan kepingan kayu

Untuk bisa bertransaksi di pasar ini, para pengunjung harus membeli kepingan kayu terlebih dahulu di tempat pembelian yang bernama Bakul Koin. Satu keping kayu nominalnya adalah Rp2 ribu. Pengunjung bebas membeli berapa keping pun selama kepingan kayu masih tersedia di tempat pembelian.

Kebetulan saya dan teman sampai pasar pukul 10.00 WIB, Bakul Koin sudah ramai. Beruntungnya, saya masih kebagian walaupun hanya 5 keping saja. Sebab, peredaran koin di pasar ini memang dibatasi.

Suasana khas tempo dulu

Memasuki area pasar, ada banyak ornamen zaman dulu yang direpresentasikan di sini. Lihat saja para penjual yang berasal dari Desa Bongkotan, mereka mengenakan menggunakan jarik, kemben, dan blangkon. Para penjual di sini harus menggunakan tungku dari tanah liat guna memasak makanan yang dijual.

Menariknya, penggunaan besek bambu, dan daun pisang wajib digunakan sebagai pengganti plastik untuk semua kemasan makanan. Pengunjung yang membuang sampah sembarangan juga diberlakukan denda, dan tidak boleh merokok sembarangan di area pasar. Para pengelola telah menyediakan tempat khusus di salah satu sudut pasar.

Sayup-sayup alunan musik gamelan terdengar, serta lalu-lalang pengunjung yang datang membuat semakin riuh pasar. Ada yang menarik di sini, yakni penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi saat bertransaksi.

Kuliner yang disajikan pun semua khas Wonosobo, dipadu jajanan tempo dulu untuk nostalgia para pengunjung. Ada cilok bumbu kacang, tiwul, rujak buah, klepon, cenil, lopis, tempe kemul, nasi megono, pecel, mie ongklok, soto, dan masih banyak jajan lain yang lezat saya temui disini. 

Harganya pun terjangkau. Saya membeli satu porsi cilok seharga Rp4 ribu, dibayar dengan dua keping koin. Untuk nasi megono, harganya 3 keping sudah termasuk lauk tempe kemul. Tak hanya kuliner yang menggoda, sebagai pecinta kopi, saya dan teman saya juga mencicipi kopi tubruk khas Pasar Kumandang. Gelasnya terbuat dari bambu seperti gelas zaman dulu. Secangkir kopi ini, kebetulan saya mendapatkan secara gratis. Kebetulan, pemiliknya adalah teman kami SMP yang tak sengaja bertemu di pasar ini. 

Susana pasar Kumandang/Annisa S

Mainan anak tradisional 

Beragam permainan anak tradisional ada di sini, mulai dari egrang kayu, egrang batok kelapa, sirkuit ndeso, jungkat-jungkit, lumbungan, hingga memberi makan kambing.

Ada yang disediakan gratis, dan ada juga yang berbayar. Para pengunjung juga banyak mengajak anak-anaknya untuk bermain di sini. Nampaknya pelbagai permainan  di sini erat kaitannya dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa “permainan anak adalah pendidikan.”

Belajar aksara Jawa

Para pengunjung bisa mengikuti les Bahasa Jawa dan aksara Jawa gratis, di gubuk bambu di area pasar. Pengajar yang merupakan anak muda desa penuh semangat menerangkan, saya jadi sadar pentingnya belajar aksara Jawa.

Tetiba, saya ingat kalau dulu selalu malas untuk menghafalnya. Maka setiap ujian tiba, saya selalu membawa gantungan kunci beraksara Jawa yang saya pasang di tempat pensil. Memang, aman-aman saja dari pantauan guru kelas untungnya. 

Tidak hanya les aksara Jawa, beragam koleksi buku cerita, sejarah, juga tersedia. Pengunjung yang ingin membaca dan misal tidak tertarik dengan kelas aksara Jawa, bisa membaca beragam koleksi buku. Gubuk ini cocok untuk singgah sebentar, setelah memutari pasar dari pojok ke pojok sebelum akhirnya pulang. 

Candi peninggalan Mataram Kuno 

Menjelang pukul 12.00 WIB, saya bersama teman pun bergegas untuk pulang karena pasar segera tutup. Tak disangka, pintu keluar mengarahkan kami pada situs Candi Bongkotan.

Konon, ini merupakan situs bersejarah peninggalan Dinasti Syailendra. Ditemukan pada tahun 1996, di kawasan kebun milik seorang warga. Berdasarkan data penelitian Badan Arkeologi Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dilihat dari struktur bangunan batuan candinya, diketahui candi ini lebih tua jika dibandingkan dengan Candi Dieng.

Candi Bongkotan dibangun saat kerajaan Mataram Kuno, tepatnya saat Dinasti Syailendra menempati Dukuh Bongkotan untuk menjadikan pusat kajian spiritual. 

Berkunjung ke Pasar Kumandang banyak cerita menarik yang bisa saya bawa pulang; wisata, sejarah, dan kuliner lokal bisa semakin berkembang berkat kolaborasi para warga desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/feed/ 0 28826
Depok-Dieng: Berdua di atas Roda https://telusuri.id/depok-dieng-berdua-di-atas-roda/ https://telusuri.id/depok-dieng-berdua-di-atas-roda/#respond Sat, 18 Jan 2020 13:49:25 +0000 https://telusuri.id/?p=19365 Sekitar bulan September 2018, saya dan Hendra teman saya sepakat menstarter motor untuk melakukan perjalanan ke Dieng. Motor kami berplat B, sementara Dieng berplat AA. Kami sepakat untuk melintasi 359 km menuju Gunung Prau. “Sepakat,”...

The post Depok-Dieng: Berdua di atas Roda appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar bulan September 2018, saya dan Hendra teman saya sepakat menstarter motor untuk melakukan perjalanan ke Dieng. Motor kami berplat B, sementara Dieng berplat AA. Kami sepakat untuk melintasi 359 km menuju Gunung Prau. “Sepakat,” setidaknya itulah bekal yang kami perlukan. Jika dalam perjalanan grup ada ketua untuk mengambil segala keputusan, sosok itu tak ada jika hanya berdua.

Ya, berdua.

Perjalanan ini hanya representasi dari basa-basi obrolan warung kopi kala mentari mulai mencapai titik tengah. Kami akhirnya sepakat untuk memulai perjalanan pukul 3 sore. Kala itu kami hanya mempunyai uang total Rp700.000. Tanpa pikir panjang kami memulai perjalanan menuju arah Cikarang. Tepat azan Magrib kami sampai di bibir pantura, tempat yang sesuai jika ingin putar balik karena belum terlalu jauh. Namun sayangnya kami tidak mengambil keputusan itu sehingga tulisan ini masih bisa dilanjutkan.

Selepas Magrib kami memacu motor melewati pantura, diawali dari Batang di mana kami harus beradu pacu dengan truk-truk besar berikut muatan yang dibawa. Terbiasa melihat truk berjalan lambat di sekitar rumah, saya cukup gegar menjumpai truk-truk yang balapan menyintas malam. Entah apa yang dituju, entah apa yang dicari.

Kadang pahit jika nyatanya kita hidup sekadar untuk gaji.

Semangat!

Kami bermodalkan maps yang terinstal di gawai. Kota demi kota kami lalui, Karawang, Cikampek, Indramayu, hingga sampai di kota telur asin: Brebes.

Helm-helm yang melindungi kepala kami sepanjang perjalanan/Muhammad Husen S.

Setengah perjalanan menyadarkan saya bahwasanya petualangan tidak hanya bisa dilakukan oleh yang bertubuh kuat serta berdompet tebal, tapi juga orang yang sabar: sabar duduk berjam-jam di kendaraan umum atau duduk di atas jok tipis roda dua. Teman perjalanan masih sama, yakni truk-truk serta bus-bus dengan kecepatan yang bikin geleng-geleng kepala dan tentu saja Hendra.

Singkat cerita, kami berhenti di Kota Brebes untuk mengisi bensin dan mengisi perut. Ya, seperti inilah repotnya jika bertualang membawa lambung. Saya bergurau dengan Hendra, andai sistem pencernaan bisa ditanggalkan dalam sebuah perjalanan, sudah berapa rupiah yang bisa kita hemat?

Pecel ayam pinggir aspal menjadi destinasi kuliner kami. Memangnya ada apa lagi jam 12 malam di jalur pantura?

Rasa-rasanya, kelezatan tidak hanya dipengaruhi oleh cara penyajian sebuah hidangan, tapi juga kondisi lambung.

Alhamdulillah rasa kantuk hilang

Empat puluh lima menit menepi, entah sudah berapa batang Gudang Garam kami bakar. Mata mulai dihinggapi rasa kantuk dan saya mulai menyesali terlahir sebagai vertebrata. Jika di gawai pintar ada skeleton scanner mungkin saya bisa lihat bahwa tulang belakang saya sudah bertransformasi menjadi terali atau entah apalah. Saya mampu memanggul keril berjam-jam dalam pendakian. Namun rasanya saya akan bilang tidak untuk mengulang kembali momen dibonceng di motor berjam-jam lamanya.

Tiket masuk Gunung Prau/Muhammad Husen S.

Kami meng-update peta di gawai ponsel, dan, untuk meneruskan perjalanan, kami harus melalui daerah Batang. Di sini kami baru sadar; kami seharusnya melalui jalur selatan, bukan utara. Tapi—yasudahlah—karena memang kami berdua ini minus jadi kami maklum dan hanya saling menyalahkan dan tertawa. Ya, semudah itu untuk tertawa memang.

Motor kami pacu di kecepatan sekitar 90 km/jam, melewati beberapa kota sebelum menuju Batang, di antaranya ialah Kota Tegal.

Lalu saat pegal mulai berkongsi dengan kantuk, yang membuat kami ingin buru-buru sampai, pengusir kantuk pun datang. Tak tanggung-tanggung, wujudnya adalah sebuah motor Scorpio lengkap dengan pengendara berbaju cokelat. Ya, bapak polisi. Aduh, memang kami berdua ini minus sekali. Karena terburu-buru, entah berapa lampu merah kami lewati tanpa memerhatikan warna lampunya. Maklum, sepi. Alhasil, kami digiring menuju pos polisi terdekat.

Alhamdulillah rasa kantuk hilang.

Linguistik. Saya sangat bersyukur kami mampu berbahasa Jawa dengan fasih, sehingga pak polisi berasa bertemu kerabat jauh. Demi melihat plat nomor kami berserta keril di tangki, pak polisi pun iba. Tilang kali ini yang terbaik sepanjang hidup saya. Pak polisi pun bernostalgia tentang petualangannya dulu. Mengobrollah kami tentang ceritanya mendaki puncak tertinggi Jawa Tengah. Secangkir kopi beliau sediakan, menemani sebuah obrolan hangat dari pelanggar hukum dan penindak hukum. Epik!

Tepat jam 1 dini hari kami melanjutkan perjalanan seraya dipesani pak polisi: “Alon-alon wae, le. Gununge mboten n[g]andi-ndi.” Artinya: pelan-pelan saja, gunungnya takkan ke mana-mana. Kami hanya melempar salam dan senyum dari atas motor.

Setelah bertolak dari pos polisi tersebut barulah kami kembali menjadi pengemudi yang taat aturan.

Sampailah kami di Batang kota. Jika melihat peta, perjalanan memang sebentar lagi. Namun, medan yang dilalui ialah jalanan membelah bukit. Rasanya kami enggan melanjutkan jika trek seperti itu. Kami pun sepakat mencari pom bensin untuk sejenak meluruskan badan serta tertidur.

“Tangi, le.” Suara dari security pom membangunkan saya. Saya lihat jam tangan. Tepat jam 6 pagi. Saya lantas bergegas ambil wudu untuk salat Subuh. Iya, tahu. Sudah telat. Selepas salat jamaah dengan Hendra, kami lanjut mencari warung kopi terdekat untuk sekadar sarapan dan, tentunya, Gudang Garam time. Di titik ini kami me-review perjalanan, tertawa dan bercanda masih tak percaya celetukan di obrolan pagi hari kemarin benar-benar dilakukan.

Kami pacu motor menuju jalan berbukit. Dan, benar saja, trek yang kami temui seperti trek di Gunung Bunder di daerah TNGHS Bogor. Bedanya jalan ini lebih panjang dan menanjak. Saya bergumam dalam hati, nampaknya perjalanan akan semakin seru. Sisi aspalnya yang tadinya atap-atap rumah berubah menjadi pepohonan menjulang tinggi lengkap dengan daun paku-pakuan berukuran besar di kanan dan kiri. Jumanji dengan kearifan lokal, canda saya di motor, yang langsung disambut tawa oleh Hendra.

Mesranya. Loh!

Satu jam melewati areal hutan, sampailah kami di punggung bukit. Jam 8 pagi dan mentari tepat sekali mulai muncul dari balik bukit. Perlahan ia menyinari ladang warga, memberi nutrisi kepada daun-daun melalui fotosintesis. “Negeri dongeng,” spontan saya menyeletuk saat itu. Kami berhenti sebentar untuk berfoto di jalan tanpa nama tersebut. Semesta tampaknya memberi kami penyemangat di perjalanan yang melelahkan ini.

Speechless.

Trek menuju puncak Gunung Prau/Muhammad Husen S.

Lalu kami melewati punggungan bukit memanjang yang kemudian tersambung ke Dataran Dieng yang kami tuju. Tulisan “DIENG” ukuran besar menyambut kami. Tapi kami tak berhenti di sana untuk berfoto, berlalu saja menuju Gunung Prau.

Singkat cerita namun panjang perjalanan, sampailah kami di Base Camp Kalilembu. Kami tidak naik melalui Patak Banteng karena kami rasa pasti akan penuh pendaki.

Menghabiskan senja di Gunung Prau

Tepat jam 10 pagi kami sampai. Hendra memakirkan motornya di antara motor berplat AA. Baru turun sejenak, kami langsung disambut beberapa pendaki Tangerang. “Goblog,” itulah sapaan pertama pagi itu.

Kami langsung mengurus Simaksi dan mengobrol dengan pendaki yang menyapa kami tadi. Ketika mereka berangkat, kami memilih tidur dan sepakat untuk memulai pendakian jam 2 siang.

Kami terbangun lalu mengemas ulang keril dan bergegas melakukan pendakian. Pendakian tersantai yang saya rasakan. Melalui jalur ini dibutuhkan waktu empat jam menuju puncak—dengan catatan sangat-sangat santai sekali.

Di awal pendakian kami disambut ladang terasering warga. Ladang yang dibentuk berundak-undak karena lapak yang digunakan adalah bukit, bukannya tanah lapang. Ladang bawang berubah menjadi ladang kentang, lalu berubah menjadi kebun pepaya kala kami masuk hutan.

Treknya cukup santai. Tidak banyak tanjakan ekstrem dan sangat menghibur menurut saya. Selepas hutan kami sampai di trek pinggir bukit yang menyajikan pemandangan lereng gunung lengkap dengan punggungan bukit. Hah! Seandainya gunung seperti ini ada di dekat rumah saya, rasanya tiap minggu saya pasti ke sini, pikir saya saat itu.

Trek yang tadinya berada di pinggir bukit mulai melipir menuju atas bukit: jalan setapak dengan lebar sekitar tiga meter! Dari sini mulai terlihat areal berkemah.

Gunung Sumbing dan SIndoro/Muhammad Husen S.

Sekitar sembilan puluh menit menapaki punggungan bukit sampailah kami di bibir sabana. Jika lewat Patak Banteng, kamu akan langsung sampai di areal kamp dengan pemandangan Sindoro-Sumbing. Tapi, melalui Kalilembu kamu harus menyusuri sabana yang cukup panjang. Apakah ini buruk? Tentu tidak. Jalur ini malah saya rekomendasikan untuk kamu yang ingin ke Prau; relatif sepi dengan vegetasi yang masih rapat lalu disambut sabana sepanjang mata memandang. Asyik, bukan?

Kami berjalan santai, namun kadang berlari bak anak kecil kegirangan. Di sini ada jalur setapak yang landai, namun kami malah memilih menapaki undakan-undakan bukit, naik dan turun. Tersengal saat naik, berlari saat turun. Kami hanya berdua saat melintasi sabana ini. Perjalanan ditemani canda tawa, lomba lari, dan berbagai hal kekanak-kanakan lainnya. Pada saat itu kami sama-sama sudah berumur kepala dua padahal.

Ya, sudahlah. Kelakuan bodoh memang tak ada penyembuhnya.

Areal berkemah mulai terlihat. Bergegaslah saya menuju tempat itu dan langsung mendirikan tenda. Dan Hendra hanya duduk manis. Ya, kami sepakat: jika di motor Hendra akan melayani saya, di gunung saya melayani Hendra. Tapi rasanya saya kesal juga dibuatnya karena ia bertingkah bak mandor.

Tenda sudah berdiri kokoh dan kompor mulai disetel. Secangkir kopi dan Gudang Garam dalam kemasan kaleng menemani kami menghabiskan senja. Pemandangan Sindoro-Sumbing di depan mata serta lantunan lagu dari gawai makin memantapkan suasana. Tak pernah terpikir, hanya untuk suasana seperti ini kami berdua rela melakukan perjalanan lama.

Lelah terbayar tuntas, rasa penat terbalas. Terima kasih atas perjalanan yang tak terlupakan. Mungkin ini akan menjadi salah satu hal terbodoh yang saya lakukan. Bodoh sekaligus epik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Depok-Dieng: Berdua di atas Roda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/depok-dieng-berdua-di-atas-roda/feed/ 0 19365
Dari Bogor ke Dieng Naik Motor https://telusuri.id/dari-bogor-ke-dieng-naik-motor/ https://telusuri.id/dari-bogor-ke-dieng-naik-motor/#comments Fri, 24 Aug 2018 05:30:41 +0000 https://telusuri.id/?p=10361 Libur panjang akan tiba. Berbagai destinasi wisata menghiasi laman Instagram saya. Setelah menimang-nimang destinasi wisata mana yang cocok dengan keuangan dan waktu, pilihan saya jatuh ke Dieng, kawasan wisata yang berada pada ketinggian rata-rata 2.000...

The post Dari Bogor ke Dieng Naik Motor appeared first on TelusuRI.

]]>
Libur panjang akan tiba. Berbagai destinasi wisata menghiasi laman Instagram saya. Setelah menimang-nimang destinasi wisata mana yang cocok dengan keuangan dan waktu, pilihan saya jatuh ke Dieng, kawasan wisata yang berada pada ketinggian rata-rata 2.000 mdpl.

Salah satu tujuan saya adalah menyaksikan golden sunrise dari Bukit Sikunir. Konon Sikunir punya sunrise terindah se-Asia Tenggara. Dan ini adalah kali ketiga saya berangkat dari Bogor ke Dieng naik motor. Entah kenapa saya tidak pernah bosan mengunjungi negeri di atas awan tersebut.

dari bogor ke dieng naik motor

Sebelum berangkat/Wahyu Prasetya

Beberapa hari sebelum perjalanan dari Bogor ke Dieng naik motor dimulai, persiapan pun saya lakukan: servis motor sekalian ganti oli, kampas rem, dan air radiator. Jas hujan, jaket, baju dan celana ganti, sarung tangan, sepatu, hingga peralatan motret seperti kamera, tas tripod, pembersih kamera, power bank, dan charger, juga saya siapkan.

Untung saja dalam perjalanan ini saya tidak sendiri, melainkan ditemani pujaan hati.

Dari Bogor ke Dieng naik motor lewat Jalur Pantura

Hari yang dinanti tiba. Jam 8 malam perjalanan dari Bogor ke Dieng naik motor pun dimulai. Rute yang saya pilih lewat Jalur Pantura.

dari bogor ke dieng naik motor

Tiba di tujuan setelah perjalanan panjang dari Bogor ke Dieng naik motor/Wahyu Prasetya

Namun baru saja sampai daerah Cileungsi, Bogor, kami berdua sudah kena macet imbas dari perbaikan jalan. Di Cikarang, Bekasi, juga macet. Barangkali sudah tak aneh lagi karena itu adalah kawasan Industri. Perlu waktu 3 jam untuk keluar dari kemacetan tersebut.

Biasanya saya berkendara dua jam nonstop dengan waktu istirahat 20 menit. Namun karena kali ini begitu macet—ditambah doi juga mulai mengantuk—dalam perjalanan kali ini saya lebih banyak berhenti.

Tempat yang paling tepat untuk istirahat adalah pom bensin. Para bikers biasa menyebutnya “Hotel Merah Putih.” Favorit para penggila roda dua adalah pom bensin yang areal istirahatnya dilengkapi warung makan, tempat istirahat, musala, dan, tentu saja, toilet. Malam itu yang menjadi pilihan kami berdua untuk istirahat adalah sebuah pom bensin di daerah Pamanukan.

dari bogor ke dieng naik motor

Ronde susu hangat di Dieng/Wahyu Prasetya

Setelah mengistirahatkan badan, jam 3 dini hari perjalanan kembali kami lanjutkan. Kombinasi dari jalanan yang gelap dan bis atau truk yang ugal-ugalan membuat saya jadi ekstra hati-hati dalam berkendara.

Setiba di daerah Kajen, Kabupaten Pekalongan, tepatnya di Linggosari, jalanan berubah dari lurus menjadi berliku dengan tikungan-tikungan tajam melewati perbukitan.

dari bogor ke dieng naik motor

Cakrawala jinggi/Wahyu Prasetya

Jalanan ini sangat sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Namun pemandangan yang disuguhkan begitu memesona. Hutan yang rimbun, perkebunan warga, perbukitan yang terlihat dari kejauhan, semuanya benar-benar memanjakan mata.

Pemandangan indah berlanjut hingga Wanayasa, Batur, dan terus sampai Dieng.

Ronde susu yang menghangatkan dinginnya Dataran Tinggi Dieng

Setiba kami di Dieng, hari sudah siang. Kami berdua pun mencari warung makan. Harga makanan di Dieng terbilang murah. Dengan uang Rp 15.000 kamu sudah bisa makan layaknya prasmanan. Tinggal ambil sesuka hati—asal tahu diri.

dari bogor ke dieng naik motor

Wisatawan memadati Sikunir/Wahyu Prasetya

Setelah perut terisi, saya sempat bingung memilih antara menyewa homestay atau berkemah di pinggiran Telaga Cebong. Informasi dari pemilik warung, warga setempat, dan wisatawan membuat saya lebih memilih homestay.

Menurut warga sekitar, saat musim kemarau daerah Dieng sedang dingin-dinginnya. Suhu bahkan bisa mencapai 0 °C. Bahkan bisa terjadi fenomena embun upas (bun upas), yakni embun yang membeku. Seperti salju kalau kata para wisatawan yang ke Dieng mah. Namun embun upas adalah sebuah petaka bagi para petani di Dieng sebab fenomena itu dapat merusak tanaman mereka.

dari bogor ke dieng naik motor

“Golden sunrise” di Puncak Sikunir/Wahyu Prasetya

Harga sewa kamar homestay di sini pun cukup bervariasi, mulai dari Rp 100.000 sampai jutaan, tergantung fasilitas dan lokasinya. Kebetulan saya mendapatkan yang lumayan murah. Setelah negosiasi yang alot, kami sepakat dengan harga Rp 125.000/hari (Hotel Asri I). Meskipun fasilitasnya ala kadar, lumayan sekali kalau hanya untuk istirahat.

Saat malam tiba, sayang sekali rasanya kalau tak berkeliling di Dieng. Nasi goreng jadi menu makan malam kami. Selain itu dua gelas ronde susu hangat juga menemani kami berdua melewatkan malam Dieng yang begitu dingin.

Mengejar “golden sunrise” di Bukit Sikunir

Jam 3 dini hari waktu setempat kami berdua sudah terbangun dan segera bersiap untuk ke Desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo. Sambungan, desa tertinggi di Pulau Jawa, adalah di mana Bukit Sikunir berada.

dari bogor ke dieng naik motor

Menikmati pagi yang dingin di Puncak Sikunir/Wahyu Prasetya

Setiba di sana, kami mendapati bahwa Sikunir sudah ramai sekali (tiket masuk Rp 10.000/orang, parkir Rp 5.000). Musim kemarau begini jalur menuju puncak sangat berdebu sehingga kami kesulitan untuk bernapas. Apalagi mesti berbagi jalan dengan ratusan wisatawan yang juga sedang menuju puncak—macet lagi macet lagi….. Normalnya hanya perlu waktu 30 menit untuk ke puncak.

Jam setengah 6 pagi waktu setempat, sang mentari mulai mengeluarkan warna romantisnya. Para wisatawan begitu antusias ingin melihat matahari terbit—yang konon—terindah se-Asia Tenggara. Para pedagang beredar menjajakan dagangan mereka. Ramainya orang di areal puncak membuat saya susah untuk dapat posisi motret yang saya inginkan.

dari bogor ke dieng naik motor

Memandang Gunung Sindoro/Wahyu Prasetya

Untungnya saat mentari mulai meninggi para wisatawan mulai meninggalkan puncak perlahan-lahan. Hanya tersisa beberapa orang saja termasuk kami berdua yang masih betah menikmati suasana Sikunir.

Jam 8 pagi kami pun turun untuk mencari sarapan dan segelas kopi khas daerah Dieng. Adalah sebuah kebiasaan bagi saya untuk mencicipi kopi khas dari tempat-tempat yang saya datangi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bogor ke Dieng Naik Motor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bogor-ke-dieng-naik-motor/feed/ 7 10361
Puncak Sikunir, Perjalanan Melihat “Sunrise” di Desa Tertinggi Pulau Jawa https://telusuri.id/melihat-sunrise-puncak-sikunir-dieng/ https://telusuri.id/melihat-sunrise-puncak-sikunir-dieng/#respond Wed, 04 Apr 2018 01:30:08 +0000 https://telusuri.id/?p=7801 Sering mendengar cerita dari beberapa teman pendaki, selalu takjub melihat foto pemandangan atas awan, bucket list saya jadi gemuk. Sebenarnya, beberapa kali saya berencana untuk menyaksikan sunrise secara langsung dari tempat yang tinggi, entah di...

The post Puncak Sikunir, Perjalanan Melihat “Sunrise” di Desa Tertinggi Pulau Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Sering mendengar cerita dari beberapa teman pendaki, selalu takjub melihat foto pemandangan atas awan, bucket list saya jadi gemuk.

Sebenarnya, beberapa kali saya berencana untuk menyaksikan sunrise secara langsung dari tempat yang tinggi, entah di bukit atau di gunung. Namun, sering kali pula hanya berakhir dalam angan-angan karena kurangnya persiapan atau tidak ada teman.

Gayung bersambut. Menjelang liburan Imlek kemarin saya diajak teman untuk melihat sunrise di Dataran Tinggi Dieng. Tepatnya di Puncak Sikunir. Tawaran mendadak ini tentu menggiurkan bagi saya, meskipun kami bertiga sama-sama belum pernah menginjakkan kaki di Dieng.

puncak sikunir

Mie ongklok dan sate/Hannum Masayu

Berbekal informasi dari mesin pencarian di internet, kami berangkat dengan persiapan seadanya, baik dari fisik maupun kelengkapan untuk menginap dan mendaki. Saking senangnya membayangkan akan melihat pemandangan dari atas awan, saya sampai tidak bisa tidur.

Keesokan harinya, dengan mengandalkan peta digital kami naik mobil meninggalkan Jogja. Tengah hari kami meninggalkan kota Jogja dan menjelang sore kami tiba di Wonosobo. Saya suka suasana kota ini. Cukup ramai tapi tidak bising. Udaranya sejuk dan ada beberapa bangunan lama yang masih berdiri kokoh di tengah kota. Rasanya nyaman. Entah kenapa Wonosobo mengingatkan saya pada Kota Malang, tapi minus kemacetan dan keriuhannya.

Mencoba mie ongklok Bu Umi di Wonosobo

Hal pertama yang kami lakukan ketika sampai di Wonosobo adalah mencicipi kuliner khasnya yang legendaris, mie ongklok. Berdasarkan rekomendasi seorang teman, kami mampir di Warung Mie Ongklok dan Sate Bu Umi. Letaknya persis di sebelah Masjid Al-Manshur, di sekitar Alun-Alun Wonosobo. Katanya, ini adalah salah satu warung mie ongklok yang cukup terkenal. Saya sangat antusias meskipun belum pernah melihat wujud mie ongklok.

Di warung Bu Umi, ada dua menu yang tersedia yaitu mie ongklok dan sate. Kami bertiga kompak memesan mie ongklok karena sate sudah biasa kami makan. Namun ibu penjual—entah itu Bu Umi atau bukan—berkata lain. Menurutnya mie ongklok tidak lengkap jika dimakan tanpa sate. Sate ibarat pasangan mie ongklok.

puncak sikunir

Pohon carica sepanjang jalan/Hannum Masayu

Kami pun menyerah dan memesan sate demi mendapatkan citarasa paripurna dari semangkok mie ongklok. Ada tiga jenis sate yang tersedia—sate ayam, kambing dan sapi. Saya memesan sate sapi, kedua teman saya memesan sate ayam.

Ketika pesanan datang, saya agak kacewa karena porsi mie ongklok lebih kecil dari mangkuk bergambar ayam jago. Bayangan saya, mie ongklok akan disajikan dalam piring layaknya bakmi goreng Jogja. Saya salah.

Porsi sedikit tapi mengenyangkan

Satu porsi sate berisi sepuluh tusuk dengan potongan daging ukuran sedang. Rasa kecewa saya langsung terobati begitu mencium aroma khas mie ongklok, mie kuning pipih dicampur irisan kubis rebus serta potongan daun kucai mentah, disiram dengan kuah kacang dan kuah kental rasa udang. Di atasnya ditaburi bawang goreng dan, jika suka, tersedia potongan cabe rawit dan bawang merah untuk memeriahkan rasa.

Saya kira mie ongklok akan terasa mbleneg karena kuahnya kental. Ternyata setelah diaduk kuah kental tersebut berubah menjadi agak cair. Rasa dan aromanya unik, gurih dan manis; cita rasa mie yang belum pernah saya cicipi sebelumnya. Sate sapi yang saya pesan bumbunya seperti sate pada umumnya namun ditambah siraman kuah kental seperti pada mie ongklok. Nah, keunikan rasa mie ongklok ini akan bertambah nikmat jika dipadukan dengan kuah sate.

puncak sikunir

Gerbang masuk Desa Sembungan/Hannum Masayu

Bagi kami, satu porsi sate ternyata terlalu banyak. Jadi, sebaiknya satu porsi sate dimakan ramai-ramai untuk dua sampai tiga porsi mie ongklok—kecuali kamu tidak suka rasa mie ongklok dan hanya ingin menikmati satenya saja. Sejujurnya saya dapat menikmati keunikan rasa mie ongklok tanpa bantuan daging sate yang empuk, meskipun saya masih menambahkan bumbu sate. Meski begitu, keduanya punya keunikan rasa yang layak untuk dicicipi secara terpisah, atau disantap bersamaan. Dan ternyata satu mangkok kecil mie ongklok sudah mengenyangkan perut saya.

Pohon carica sepanjang jalan

Setelah menandaskan mie ongklok dan sate, kami terus ke Dieng. Kami tak tahu persis letak Puncak Sikunir. Jadi kami hanya mengarahkan mobil menuju penginapan yang kami temukan di internet, yang katanya dekat Sikunir. Di tengah perjalanan, kami dibelokkan oleh semacam pintu gerbang masuk Dieng.

Sebenarnya gerbang tersebut lebih menyerupai terminal kecil yang lengang. Penjaganya pun tak kelihatan sehingga kami sempat bingung apakah harus membayar atau tidak. Setelah agak lama menunggu, seorang petugas memberikan karcis, Rp 10.000/orang. Petugas itu menanyakan tujuan kami sambil memberikan selebaran penginapan milik seorang temannya. Kami hanya mengiyakan dan bertanya mengenai lokasi Sikunir. Petugas tersebut menyarankan untuk terus lanjut ke atas mengkuti jalan raya.

puncak sikunir

Parkiran Sikunir yang masih lengang/Hannum Masayu

Semakin ke atas, pemandangan semakin hijau. Udara semakin sejuk. Hamparan tebing, bukit hijau berselimut kabut, dan deretan rumah di lerengnya sangat memanjakan mata. Tenang. Tanaman khas perkebunan kaki gunung seperti wortel, kubis, dan sawi pun tidak jauh berbeda dengan daerah asal saya—Magetan, kota kecil di kaki Gunung Lawu. Namun, tetap saja saya merasa takjub tiap kali melihat pemandangan hijau dan kabut.

Ada satu hal yang membuat saya penasaran. Di sepanjang jalan, banyak sekali tumbuh tanaman sejenis pepaya tapi lebih kecil. Awalnya saya kira itu adalah pepaya jenis california yang setahu saya memang tumbuh tidak terlalu tinggi. Semakin ke atas semakin terlihat jelas bahwa batangnya lebih kecil dan banyak cabang. Buah-buah yang bergelantungan di batangnya pun—meskipun sudah terlihat kekuningan—juga terlampau kecil untuk buah pepaya.

Melewati beberapa toko oleh-oleh, barulah saya tercerahkan. Pohon-pohon itu adalah carica yang ternyata masih satu kerabat dengan pepaya. Ia dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi yang basah di ketinggian 1500-3000 meter di atas permukaan laut. Makanya carica bisa tumbuh baik di Dataran Tinggi Dieng, bahkan jadi oleh-oleh khas wilayah itu.

Tiba di desa tertinggi di Pulau Jawa

Kami terus menyusuri jalan besar sampai akhirnya masuk ke jalan yang lebih kecil. Dari situ kami melewati beberapa tempat wisata, seperti Telaga Warna, Dieng Plateau Theater, dan Kawah Sikidang. Sampai akhirnya kami sampai di gerbang Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa.

Sampai sini kami juga tidak tahu harus menuju ke mana. Kami putuskan untuk bertanya pada warga sekitar arah menuju Puncak Sikunir. Ternyata tinggal lurus mengikuti jalan yang semakin menyempit dengan aspal yang entah mulai rusak atau memang belum diaspal.

puncak sikunir

Areal perkemahan di pinggir Telaga Cebong

Sekali lagi kami disambut perkebunan sayuran dan pohon carica di sepanjang jalan. Tak berapa lama kami sudah masuk kawasan permukiman yang cukup padat dan ramai. Di situ ternyata guest house terdekat sebelum menuju ke Puncak Sikunir berada.

Di sebelah kanan pemukiman ini, terlihat Telaga Cebong yang indah. Namun, bukannya mencari penginapan, kami lebih memilih untuk melihat-lihat sekitar lokasi dan memastikan letak titik pemberangatan ke Puncak Sikunir. Sebenarnya seorang teman saya—yang sudah membawa alat pancing dari Jogja—juga lebih tertarik untuk mencoba memancing di Telaga Cebong. Baiklah.

Mendadak “camping”

Jalan menuju Telaga Cebong ini mirip jalan setapak yang pasti akan membuat dua mobil yang berpapasan kerepotan. Untungnya waktu itu jalanan cukup sepi. Hanya beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk sekitar yang bersepeda motor.

Tidak lama, kami sudah sampai di parkiran lengang yang dikelilingi oleh beberapa warung. Turun dari mobil sekitar pukul lima sore, udara sudah terasa dingin. Ternyata sisi Telaga Cebong di belakang lokasi parkir ini adalah camping ground bagi para pemburu sunrise Sikunir.

Di tepi telaga sudah banyak tenda yang berdiri, tapi suasana sekitar cenderung lengang, tidak banyak orang. Hanya ada sepasang muda mudi dan dua keluarga yang sedang sibuk mendirikan tenda serta tiga orang yang sedang memancing.

puncak sikunir

Telaga Cebong/Hannum Masayu

Mempertimbangkan jalan kecil yang telah kami lalui sebelumnya dan rasa enggan jika harus kembali mencari penginapan, kami memutuskan untuk camping di pinggir Telaga Cebong sambil memancing. Warung di salah satu sudut parkiran menyediakan perlengkapan camping yang cukup lengkap. Karena tidak mempersiapkan apa pun untuk camping, kami menyewa tenda, sleeping bag, dan juga selimut besar yang tebal. Kami juga mendapatkan seikat kayu bakar dan selembar kardus untuk membuat api unggun. Menyenangkan juga karena saya sudah lama tidak camping dan menyalakan api unggun.

Ibu pemilik warung membantu kami mendirikan tenda karena langit sudah mulai gelap. Ia takut hujan deras turun seperti hari-hari sebelumnya. Namun ia meyakinkan kami jika tendanya aman. Menjelang magrib, tenda kami sudah berdiri kokoh. Mobil kami parkir tepat di sebelah tenda. Kabut pun mulai turun. Kami bergegas menata tenda dan mempersiapkan api unggun untuk menghangatkan badan.

Apa mau dikata, baru beberapa menit kami menikmati hasil jerih payah menyalakan api unggun, hujan mulai turun. Teman saya juga mengemasi peralatan pancingnya. Selesai sudah acara memancing dan api unggun kami malam itu. Lebih baik kami bersiap tidur untuk mempersiapkan pendakian besok pagi.

Pendakian menuju Puncak Sikunir

Jam empat pagi alarm berbunyi. Kami bersiap untuk mendaki ke Puncak Sikunir. Badan saya sudah mulai beradaptasi dengan udara Dieng setelah tengah malam sempat terbangun karena kedinginan.

Di luar tenda terdengar riuh orang mengobrol. Ternyata calon pendaki Sikunir sudah ramai. Tempat parkir yang semalam masih lengang pun pagi ini penuh sesak oleh kendaraan. Ada untungnya juga kami memilih camping di pinggir Telaga Cebong, jadi tidak perlu bangun lebih pagi, melewati jalan yang sempit, dan kerepotan mencari tempat parkir.

puncak sikunir

Kabut yang mulai turun ketika magrib/Hannum Masayu

Pukul setengah lima semua orang memulai pendakian. Suasana sangat ramai dan padat namun semuanya masih rapi dan tidak berebut jalan. Awalnya, kami disambut jalan ber-paving dengan penerangan warung di kanan kiri menjajakan gorengan. Di penghujung jalan, perjuangan menuju Puncak Sikunir pun dimulai. Tidak ada lagi penerangan, kami harus mengandalkan headlamp, senter, maupun lampu ponsel.

Jalan yang menanjak sudah dibuat menjadi anak-anak tangga. Beberapa dilapisi dengan batu, sedang sisanya masih berupa tanah. Hujan yang mengguyur semalaman membuat jalan menjadi licin. Beberapa kali saya hampir terpeleset. Untungnya, di beberapa titik terdapat pegangan dari tali, bambu, dan kayu yang sedikit membantu.

Sayangnya, di banyak bagian pegangan tersebut sudah goyah atau patah. Agak berbahaya juga jika terlalu menumpukan beban pada pegangan itu. Setelah tiga puluh menit terengah-engah dan sempat ditarik teman karena kelelahan, saya sampai juga di Puncak Sikunir. Saya benar-benar harus lebih sering berolahraga!

Akhirnya melihat “sunrise” di “negeri di awan”

Di Puncak Sikunir, semburat merah matahari mulai menampakkan diri. Sayangnya, pos terbaik untuk melihat sunrise sudah penuh sesak. Kami mencari tempat lain agar lebih leluasa untuk menyaksikan sang surya daripada hanya melihat kerumunan kepala manusia. Agak sedikit turun di sebelahnya, kami menemukan tempat yang cukup lengang. Di depan saya terlihat Gunung Sindoro yang kokoh berdiri berselimut awan, dan gunung Sumbing yang ndelik di belakangnya.

puncak sikunir

Matahari terbit di Puncak Sikunir/Hannum Masayu

Pandangan saya masih tertuju pada langit yang dihiasi awan bersemu merah di kejauhan, serta kelip lampu di bawah. Ketika semburat merah semakin ramai menghiasi langit, perlahan bulatan kuning telur matahari muncul sempurna. Momen yang cepat namun magis. Rumah-rumah di lereng gunung dan bukit-bukit hijau yang diselimuti kabut mulai terlihat. Seorang pendaki di sebelah saya berkata jika kemarin awannya lebih bagus daripada hari ini. Ia sudah dua hari camping di Telaga Cebong untuk berburu foto sunrise di Sikunir. Saya hanya mengiyakan dan menjawab jika ini sudah lebih dari cukup. Mungkin karena momen seperti ini langka bagi saya.

Saya termenung beberapa saat, bersyukur dapat menikmati keindahan negeri di atas awan. Sungguh perjuangan manis bagi saya yang jarang berolahraga dan belum pernah naik gunung. Lain kali sebelum mendaki saya harus mempersiapkan diri dengan lebih baik.

Kentang mini manis

Setelah mengambil beberapa foto sebagai kenangan, kami pun kembali ke perkemahan. Perjalanan turun ternyata tidak lebih mudah daripada mendaki. Apalagi jalanan masih terasa licin oleh sisa air hujan. Kaki harus bekerja lebih keras untuk menahan badan agar tidak terpeleset. Karena sudah terang, jalanan berundak ini terlihat jelas. Anak tangganya ternyata cukup curam dan tinggi. Untungnya, perjalanan turun terasa lebih cepat dan saya bisa bebas menikmati pemandangan sekitar yang subuh tadi belum terlihat.

Di beberapa persimpangan, kami disambut pemain akustik yang mendendangkan lagu dua penyanyi dangdut yang sedang naik daun, Via Vallen dan Nella Kharisma. Lagunya yang familiar cukup menghibur pendaki yang sedang turun maupun yang baru naik Sikunir.

puncak sikunir

Kentang manis dan gorengan/Hannum Masayu

Kami pun sampai di jalan ber-paving tadi. Warung-warung sudah ramai dikerubuti pendaki yang mulai kelaparan. Saya tertarik dengan salah satu olahan kentang mini yang ditawarkan. Kentang mini itu dimasak dalam wajan besar dengan kuah berwarna hitam. Kata teman saya, warna hitam itu bukan berasal dari bumbu, melainkan sisa tanah dari kentang yang tidak dicuci. Tentu saja ia bercanda.

Saya tidak bisa mendeskripsikan rasa manis tersebut berasal dari gula merah atau campuran bumbu lain. Penjual yang saya tanya juga hanya tersenyum dan mengatakan jika bumbunya macam-macam rempah. Hmm.. Saya curiga jangan-jangan campuran tanah itu benar adanya.

Meski begitu saya sungguh tidak peduli karena rasanya enak dan cukup mengenyangkan perut yang sudah mulai kelaparan. Kami pun memilih salah satu warung yang terbuka. Duduk menikmati kentang manis, tempe kemul, pisang goreng, dan teh hangat sambil memandangi Telaga Cebong dari atas bersama teman-teman—ah, saya tidak ingin pulang!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Puncak Sikunir, Perjalanan Melihat “Sunrise” di Desa Tertinggi Pulau Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-sunrise-puncak-sikunir-dieng/feed/ 0 7801