econusa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/econusa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 16 Dec 2020 05:02:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 econusa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/econusa/ 32 32 135956295 Disambut Tambur di Selpele, Raja Ampat https://telusuri.id/disambut-tambur-di-selpele-raja-ampat/ https://telusuri.id/disambut-tambur-di-selpele-raja-ampat/#respond Thu, 17 Dec 2020 09:57:36 +0000 https://telusuri.id/?p=25903 Meskipun bukan kampung wisata, Selpele punya tanah adat yang jadi bintang bagi wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, yakni Wayag. Alhasil, tak sedikit warga Selpele yang menggantungkan diri pada wisata Wayag. Tapi COVID-19 mengubah semuanya....

The post Disambut Tambur di Selpele, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun bukan kampung wisata, Selpele punya tanah adat yang jadi bintang bagi wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, yakni Wayag. Alhasil, tak sedikit warga Selpele yang menggantungkan diri pada wisata Wayag.

Tapi COVID-19 mengubah semuanya. Penduduk Selpele yang menyambung hidup dari pariwisata mesti memutar otak agar terus bertahan hidup. Ini penting mengingat betapa jauhnya Selpele dari Kota Sorong. Perlu sekitar 17 jam bagi kapal reguler Kurisi untuk mencapai Sorong dari Selpele.

Tim Ekspedisi Raja Ampat memasuki perairan Selpele hari Jumat tanggal 18 September 2020 saat cuaca cerah. Sebelum merapat ke pelabuhan, Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa memberitahukan bahwa kami akan disambut masyarakat pukul 9 pagi setelah mereka selesai beribadah di gereja. Tim EcoNusa adalah rombongan dari luar pertama yang mereka sambut sejak kasus Februari lalu.

Suling Tambur

Disambut suling tambur oleh masyarakat Selpele/Istimewa

Disambut suling tambur

Kami disambut di dermaga oleh barisan ibu-ibu yang menunggu aba-aba dari mayoret. Itu bukan drum band atau marching band, melainkan suling tambur. Sebuah tradisi khas Papua Barat yang biasanya disajikan pada peristiwa-peristiwa tertentu, salah satunya adalah saat menyambut undangan khusus.

Ada tiga alat musik yang digunakan pada suling tambur, yakni suling, peluit, dan tambur. Tamburnya cukup unik. Semestinya yang menjadi membran tambur adalah kulit sapi atau rusa. Namun, keterbatasan biaya membuat mereka hanya sanggup membalut selongsong tambur dengan karung atau terpal yang akan sobek jika dipukul terlalu keras.

Biasanya, selain suling tambur, undangan akan menerima kalungan bunga. Namun kali ini tidak, sebab semuanya sudah disesuaikan dengan protokol kesehatan. Orang-orang saling mengambil jarak dan membungkus hidung dan mulut dengan masker.

Tarian masyarakat Selpele

Tarian masyarakat Selpele/Istimewa

Setelah penyambutan, Linda Ayei, perwakilan Grup Suling Tambur Ibu PKK Selpele, bercerita bahwa sebelum COVID-19 merebak ibu-ibu PKK Selpele hendak wisata rohani ke Manokwari. Wisata rohani itu semestinya jadi wisata rohani pertama bagi mereka. Namun, keinginan itu mesti ditunda.

“Mimpi itu su tinggal mimpi. Mungkin (kami belum bisa ke Manokwari) sampai situasi kembali normal,” ujar Linda.

Selpele, Raja Ampat

Masyarakat Selpele berkumpul untuk mengikuti penyuluhan/Istimewa

Banyak kasus penyakit kulit di Selpele

Dalam pemeriksaan kesehatan, dokter tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, Nanda, menemukan banyaknya kasus penyakit kulit yang diakibatkan oleh jamur, tungau, dan beberapa infeksi sekunder akibat luka yang tidak ditangani dengan baik. 

Anak-anak terlihat menggaruk-garuk badan karena gatal. Di kulit mereka ada bekas-bekas garukan yang dalam bahasa medis disebut lesi central healing

Penyakit-penyakit kulit itu menyebar karena berbagi tempat tidur di rumah, kontak kulit semisal karena mandi bersama, dan higienitas yang buruk. Jika tidak ditangani dengan baik, infeksi sekunder bisa muncul dan meluas ke sekujur tubuh. 

Untuk penyakit jamur yang lesinya kecil, cukup diberikan salep miconazole 2%, sedangkan untuk lesi yang lebih luas diberikan obat jamur ketoconazole oral selama 7-10 hari. Untuk penyakit kulit yang lebih serius, seharusnya diberikan permethrin 5%. Hanya saja, karena ketersediaan obat yang terbatas, tim EcoNusa hanya bisa memberikan salep Gentamicin.

Seperti yang dialami oleh Lehi, perempuan 18 tahun. Dokter mendiagnosis dia terkena tinea corporis, yaitu kondisi penyakit kulit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh, mulai dari tangan, badan, sampai kaki. Lehi merasa gatal karena berkeringat atau saat tidur di malam hari. Awalnya gatal itu hanya di punggung. Namun, karena dianggap biasa dan terus digaruk, tidak tertangani dengan baik, penyakit itu menyebar. Dokter menyarankan Lehi untuk terapi obat dan menjaga kebersihan badan serta tempat tidur.

Di tengah pandemi ini, masyarakat Selpele tak hanya harus waspada terhadap penyebaran COVID-19 saja. Mereka juga harus berjibaku dengan penyakit kulit yang rata-rata diderita.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Disambut Tambur di Selpele, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/disambut-tambur-di-selpele-raja-ampat/feed/ 0 25903
Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/ https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/#respond Mon, 07 Dec 2020 08:56:51 +0000 https://telusuri.id/?p=25753 Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu. Kurabesi dijangkarkan di perairan...

The post Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu.

Kurabesi dijangkarkan di perairan utara Pulau Meos Mansar. Arus selatan yang sedang kencang tidak memungkinkan untuk membawanya berlabuh di dermaga Kampung Yenbuba. Untuk ke kampung itu, tim ekspedisi memakai perahu-motor cepat.

Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Di gerbang kampung terdapat papan bertuliskan “Untuk sementara aktivitas wisata dihentikan.” Di kirinya berdiri bangunan berdinding papan yang ternyata adalah BUMDes MART Meos Mansar. Nyaris tidak ada isinya, seolah-olah sudah sangat lama tidak digunakan. Ada dua toples permen dan beberapa gulung tisu.

Beberapa langkah kemudian ada sebuah bangunan lain yang tampaknya dijadikan sebagai pos COVID-19. Pada dinding-dindingnya tertempel informasi tentang COVID-19 serta jadwal keberangkatan kapal dari dan menuju Waisai sekaligus pemberitahuan soal standar protokol kesehatan.

Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Menggantungkan hidup pada pariwisata

Hampir 70 persen masyarakat Yenbuba menggantungkan hidup pada pariwisata. Di Kampung Yenbuba, menurut Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa, terdapat 20 homestay yang menjadi anggota PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat). Di antara seluruh pulau di Raja Ampat, Kampung Yenbuba adalah pulau dengan jumlah keanggotaan PERJAMPAT terbanyak. 

“Sebenarnya masih banyak lagi [homestay di Kampung Yenbuba]. Hanya saja [homestay-homestay itu] belum mampu memenuhi kriteria dari PERJAMPAT,” jelas Samuel.

Yacob Sauyai, Kepala Kampung Yenbuba yang juga merupakan Ketua PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat), meluangkan waktu untuk berbincang dengan Tim Ekspedisi. 

“[Pandemi ini membuat kami] harus kembali dan masuk hutan, membuat kebun. Kami harus tetap bersyukur agar ini menjadi pembelajaran. Terus bergerak untuk beradaptasi,” ujarnya. 

Rasa syukur ini oleh Pak Yacob juga ditekankan kepada 108 kepala keluarga di Kampung Yenbuba. Menurutnya orang di pulau lebih beruntung daripada mereka yang bekerja di kota. Sekarang ini orang-orang kota tidak bisa keluar rumah; punya uang tapi stress. Sementara itu masyarakat yang tinggal di pulau masih bisa ke laut untuk cari ikan dan ke kebun untuk menanam bahan makanan.

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Kampung Yenbuba terus waspada

Sebagai kepala kampung, ia merasa bahwa kebijakan-kebijakan perlu segera diambil. Masyarakat tentu banyak yang takut akibat informasi yang beredar. Itulah yang menjadi alasan kenapa posko COVID-19 didirikan dan sosialisasi terus diberikan. Kewaspadaan terhadap akses keluar-masuk menjadi pokok utama yang menjadi perhatian pemerintah kampung.

Menurut data Gugus Tugas COVID-19 Papua Barat Per tanggal 13 September 2020, di Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, sudah ada 52 kasus positif. Hal ini yang membuat kepala kampung makin khawatir dengan masyarakatnya yang sering keluar-masuk dari dan ke Waisai. Karena itu pemerintah kampung sudah siap menerapkan kuncitara dan menutup Yenbuba dari orang luar. 

Pak Yacob berkata dengan serius, “Kami tidak peduli siapa yang mau datang. Jika kita tidak ketat maka akan membahayakan masyarakat sendiri.”

“Pariwisata sekarang ini masih menjadi pertanyaan besar. Ujungnya masih belum kelihatan. Tapi kebutuhan kita ada di depan mata. Kita harus cari solusi sendiri dan tetap waspada,” ujar Pak Yacob menutup ceritanya.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/feed/ 0 25753
Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/ https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/#respond Sat, 05 Dec 2020 04:09:08 +0000 https://telusuri.id/?p=25717 Masa pandemi di Saporkren, membuat wisatawan pengamat burung tak banyak berkunjung. Kebun kecil jadi penyemangat untuk terus bertahan.

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan “Rarama Bebye Ro Rumfarkor Ine” di gapura kayu yang sudah mulai berlumut menyambut kami saat memasuki kompleks SD YPK Getsemani, Kampung Saporkren, Raja Ampat. Deretan kata itu berasal dari bahasa Biak Betew yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kamu yang Datang ke Sekolah Ini.”

SD YPK Getsemani menjadi satu-satunya sekolah di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sekolah itu memiliki 90 orang murid dan 10 pengajar. Ada enam kelas dalam kompleks yang terdiri dari dua bangunan itu.

Menurut penuturan Darius Ap, seorang guru di sekolah SD YPK Getsemani, proses kegiatan belajar mengajar berubah semenjak COVID-19, meskipun tak banyak. Walaupun wilayah itu masih dikategorikan sebagai zona hijau, kegiatan belajar mengajar harus mengikuti protokol COVID-19. Waktu belajar digilir. Satu hari adalah waktu belajar bagi kelas 1, 3, dan 5. Hari berikutnya giliran kelas 2, 4, dan 6. Tiap kelas pun dibagi menjadi dua demi menjaga jarak. 

“Anak-anak di sini, sih, masih biasa saja dengan COVID-19. Mereka tahu (tentang COVID-19) karena kami juga sering informasikan. Tapi (pandemi) tidak menjadi hal yang menakutkan bagi mereka,” ungkap Darius.

Jika dari sisi pendidikan tidak banyak yang berubah dari Kampung Saporkren, kondisi wisata memantau burung (birdwatching) beda cerita.

Menyusuri hutan Saporkren

Hutan Saporkren dikenal sebagai habitat dari lima spesies burung endemik Pulau Waigeo, di antaranya cendrawasih pohon atau cendrawasih merah (red bird-of-paradise), cendrawasih belah rotan (cendrawasih Wilson), Raja Ampat pitohui, gagak hutan (brown hooded crow), dan spice imperial pigeon (merpati yang memiliki mahkota). Semuanya hidup bebas, bahkan terkadang sampai masuk kampung.

Homestay Saporkren

Homestay Saporkren/M. Syukron

Semaraknya wisata memantau burung Saporkren berimbas pada okupansi penginapan-penginapan (homestay) di kampung itu. Karena lazimnya pengamatan dilakukan di pagi hari, para birdwatcher lebih senang menginap di homestay yang jaraknya tak jauh dari hutan Saporkren ketimbang menyewa kamar di tempat lain. Tapi itu dulu, sebelum pandemi datang.

Sony Rumbino, salah seorang peserta kegiatan penyuluhan pertanian yang ternyata juga seorang pemandu wisata berkata bahwa sejak Februari tidak ada lagi tamu yang datang ke Saporkren. Pandemi membuat rutinitas Sony dan warga kampung berubah. Kondisi begini adalah anomali. Sejak 2004 ketika Sony dan beberapa orang warga mulai memandu wisatawan dari dalam dan luar negeri melihat burung di Saporkren, baru sekali ini situasi begini terjadi. 

Tentu pengaruhnya besar sekali bagi kondisi perekonomian penduduk Saporkren yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Sony merespons situasi dengan membuka lahan dan berkebun sejak Mei kemarin. Ia perlu melakukan sesuatu untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya.

Menyusuri Hutan Saporkren

Menyusuri Hutan Saporkren/M. Syukron

Sony berbaik hati mengajak kami ke hutan untuk melihat kebunnya. Lokasinya tak seberapa jauh dari permukiman. Hanya perlu sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah terakhir, lewat jalan setapak tak mulus. Tanah basah dan licin, namun Sony berjalan santai tanpa alas kaki sambil menenteng kamera DSLR Canon—pemberian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—yang ia gunakan untuk memotret satwa.

Hutan sudah menjadi arena bermainnya. Aktif dalam kelompok tani hutan yang mengawasi kawasan Saporkren (2.000 ha)—dan beberapa kali menangkap pemburu liar yang masuk hutan untuk menembak burung—membuat kakinya kebal menapaki hamparan batugamping khas bentang alam karst. Santai sekali ia berjalan. Sementara itu, kami yang meskipun sudah memakai alas kaki, kepayahan menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset.

Kebun Kecil di Hutan Saporkren

Kebun kecil di hutan Saporkren/M. Syukron

Kebun kecil Sony Rumbino

Setelah melewati rintangan berupa semak belukar dan pohon-pohon roboh, kami pun tiba di lahan Sony. Kebun seluas sekitar 50×60 meter itu ia tanami kasbi, betatas, sirih, dan jagung yang bibitnya masih bisa ia cari dengan mudah di hutan. Agar tidak dirusak oleh babi hutan, Sony melindungi kebunnya dengan pagar kayu setinggi setengah meter. Sambil menunggu panen pertamanya, ia kini sedang mempersiapkan bibit-bibit tanaman lain untuk ditanam.

Bagi Sony, kendala dalam berkebun adalah soal modal awal untuk membiayai pengadaan alat dan bahan untuk pembibitan dan merapikan lahan. Pengetahuan yang ia dapat dalam penyuluhan ketahanan pangan oleh tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, serta bantuan peralatan pertanian yang diberikan, rasa-rasanya bisa mengangkat sedikit beban di pundak Sony dan warga Saporkren yang sedang berjuang bertahan di masa pandemi.

Wah, jadi rindu bercocok tanam di Pulau Kapoposang!


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/feed/ 0 25717
Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/ https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/#respond Fri, 04 Dec 2020 05:31:39 +0000 https://telusuri.id/?p=25702 Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan...

The post Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV).

Daging tumbuh itu sebenarnya bukan penyakit serius asal ditangani secara tepat. Tapi perempuan berumur 19 tahun itu belum terpapar informasi bagaimana menangani mata ikan secara tepat. Selama ini ia hanya mengobati mata ikan tersebut dengan ramuan yang diracik dari dedaunan. Kondisinya bukan membaik, namun makin lama mata ikan itu terasa kian menyakitkan. Telunjuknya sudah membengkak, hitam, dan bernanah. Area sekitar jari tangannya pun gatal. Dalam kondisi seperti itulah tim medis menjumpai Evelin.

Selain kegiatan sosialisasi COVID-19 dan ketahanan pangan, EcoNusa Response COVID-19 Expedition juga mengadakan pemeriksaan kesehatan di Kampung Urbinasopen. Kegiatan itu digelar di depan Gereja Immanuel.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/Istimewa

Dokter Lalu Rahmat Yuanda Aji, yang akrab disapa Nanda, salah seorang tenaga medis anggota ekspedisi, menemukan bahwa kondisi jari telunjuk Evelin sudah parah. Mata ikan itu juga bukan tak mungkin akan menyebar ke jari-jari lain. Perlu penanganan segera. Jika tidak, terpaksa amputasi harus dilakukan. 

Dibantu perawat, Destyana, Dokter Nanda melakukan operasi kecil dengan peralatan yang sudah dipersiapkan tim ekspedisi. Kedua insan medis itu menghilangkan jaringan-jaringan yang sudah mati (debridement) pada telunjuk sang pasien, kemudian mensterilkannya dan memberikan salep Gentamicin di sekitar jari Evelin. 

Walaupun sudah diberikan bius lokal sebelum tindakan operasi, Evelin nyatanya masih meringis kesakitan. Namun tekad yang kuat untuk sembuh membuatnya rela menahan rasa sakit itu sampai operasi selesai. Baginya, lebih baik sakit sebentar ketimbang harus terus-menerus tertekan karena memikirkan kondisi telunjuk tangan kirinya itu. Apalagi saat ini ia sedang dalam periode menyusui anak pertamanya.

“Mungkin Tuhan sudah memberikan jalan [agar] dokter ke sini,” ujarnya.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/M. Syukron

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/Istimewa

Dokter di Urbinasopen adalah pemandangan langka

Dokter adalah pemandangan langka di Urbinasopen. Warga kampung hanya mengandalkan mantri dan puskesmas jika mengalami masalah kesehatan. Untuk penanganan lebih lanjut yang membutuhkan pertolongan dokter, pasien mesti naik perahu selama sekitar tiga jam ke Waisai atau Sorong.

“Terakhir [kali] dokter datang ke pulau itu sepertinya lebih dari setahun yang lalu,” ungkap Evelin. “Apalagi dengan kondisi COVID-19 seperti ini,” imbuhnya. “[Dokter lebih jarang datang karena] mau keluar-masuk kampung orang sudah berhati-hati.” Jadi, begitu mengetahui ada rombongan yang hendak datang ke kampung dan menggelar pemeriksaan kesehatan, ia langsung menuju gereja dan mendaftarkan diri.

Menurut Dokter Nanda, setiap puskesmas seharusnya minimal mempunyai dua dokter umum dan dua dokter gigi serta perawat. Tapi, untuk daerah-daerah terpencil seperti Urbinasopen, kondisi ideal seperti demikian tentu saja terlalu utopis. Puskesmas dan mantri yang tersedia sudah cukup membuat penduduk bersyukur, apalagi ketika mereka sadar bahwa banyak kampung yang bahkan tak punya seorang pun petugas kesehatan.

Pentingnya edukasi tentang “sakit” kepada masyarakat

Selain infrastruktur, Dokter Nanda juga mengatakan bahwa pola pikir masyarakat tentang “sakit” juga harus terus diedukasi. Belum lagi soal kesadaran kesehatan masyarakat. Masyarakat masih cenderung menyepelekan penyakit. Padahal, jika bisa mengenali gejalanya sejak dini, penanggulangan penyakit akan menjadi lebih mudah. Ia mengambil contoh kasus Evelin. Seharusnya mata ikan itu bisa disembuhkan tanpa operasi. Namun, karena mata ikan itu dicoba ditangani sendiri, kondisinya jadi lebih parah.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/M. Syukron

 Tim EcoNusa Response COVID-19 Expedition/Istimewa

Tim medis memeriksa 31 pasien di Urbinasopen. Menurut Dokter Nanda, orang dewasa di Urbinasopen rata-rata terkena osteoarthritis, penyakit yang biasanya dialami manusia berusia 50-an, bersifat degeneratif, yang diakibatkan oleh berkurangnya cairan sendi. Biasanya yang terkena adalah sendi-sendi besar seperti lutut. Yang cukup mengejutkan, ada pula warga yang sudah mengalami osteoarthritis pada usia yang baru sekitar 30-an. Dokter Nanda menyimpulkan bahwa itu terjadi karena aktivitas berlebihan dalam mengangkat beban.

Sementara itu, yang dialami anak-anak umumnya adalah gatal-gatal pada badan, terutama kaki. Penyebabnya adalah bakteri Gram-positif yang menjangkit karena gaya hidup kurang bersih dan tidak memakai alas kaki. Nyatanya, di Kampung Urbinasopen anak-anak memang bermain tanpa menggunakan alas kaki.

Menurut Dokter Nanda, “Kaki yang terluka sangat rentan terkena penyakit terluka apalagi di lingkungan yang tidak higienis, seperti mata ikan itu.”


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa.  Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/feed/ 0 25702