ekowisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ekowisata/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:57:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 ekowisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ekowisata/ 32 32 135956295 Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/ https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/#respond Fri, 07 Feb 2025 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45564 Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan...

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan pangan, energi, dan air. Hal ini diperparah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan, yang menganggap deforestasi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Riset Satya Bumi menyebut daya dukung tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit di Indonesia sudah mendekati ambang batas. Angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare, dengan daerah cakupan terluas ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang luasannya sudah melampaui kebutuhan (surplus). Sementara menurut data MapBiomas, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,7 juta hektare. Daripada memaksakan ekspansi sawit, mestinya pemerintah memerhatikan tata kelola yang lebih baik.

Arah kebijakan yang tidak memiliki sensitivitas pada alam tersebut berpeluang menimbulkan bahaya berupa bencana ekologis, mengancam ketahanan dan diversifikasi pangan lokal, serta merebut ruang hidup masyarakat adat. Belum lagi pemusnahan habitat satwa-satwa endemis yang populasinya sudah makin kritis.

Padahal, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang majemuk justru menjadi nilai plus Indonesia. Masyarakat atau komunitas adat lokal, yang telah hidup berharmoni dengan hutan secara turun-temurun, terbukti mampu melestarikan tegakan hutan—baik itu hutan tropis di daratan maupun hutan mangrove di kawasan perairan—sekaligus menjaga ekosistem kehidupan di dalamnya. 

Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah adat Namblong, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. PT PNM mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang membentang di Lembah Grime. Izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, aktivitas PT PNM masih berjalan. Pembabatan hutan terus berlangsung dan ratusan hektare lahan berhutan milik sejumlah marga telah rata dengan tanah. Meski belum ada kegiatan penanaman, tetapi perusahaan yang tidak memiliki kantor tetap itu telah menyiapkan bibit-bibit sawit siap tanam. Keberadaan industri ekstraktif ini sedang “dilawan” oleh masyarakat lokal dengan beragam cara, di antaranya pengelolaan sumber daya alam oleh Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)/Foto oleh Deta Widyananda

Inilah cara kreatif “menjual” hutan tanpa harus membabat hutan

Pengalaman dari perjalanan ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dalam dua tahun terakhir telah memberikan sudut pandang nyata soal harmoni manusia dan alam, serta tantangan internal-eksternal yang bisa mengancam eksistensinya. TelusuRI ingin mengajak pemerintah maupun para pemangku kepentingan dengan kesadaran penuh untuk bercermin dari jalan hidup para local champion dan masyarakat adat tersebut. Mereka cerdas dan bijak dalam memanfaatkan hasil hutan dan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi tanpa harus merusak hutan.

Inilah cara-cara mereka, yang (seharusnya) bisa menjadi pedoman nyata pemerintah agar lebih kreatif dan bijaksana dalam membuat kebijakan ramah lingkungan.

1. Ekowisata Tangkahan, Langkat, Sumatra Utara

Sepanjang 1995–2000, sekitar 400 hektare hutan di Tangkahan dibabat habis oleh pembalakan liar. Masyarakat dan cukong bekerja sama dalam bisnis kotor pada balok-balok kayu damar senilai jutaan rupiah. Padahal, kampung di pinggiran Sungai Sei Batang Serangan ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, satu-satunya tempat empat mamalia besar endemis berada dalam satu ‘rumah’: harimau, gajah, orang utan, dan badak.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2001, sejumlah pembalak liar mulai menemukan kesadaran dan berubah haluan, yang kemudian membentuk komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger tanggal 22 April. Salah satu inisiatornya adalah Rutkita Sembiring. Tugas utamanya antara lain menghentikan illegal logging, juga mengajak rekan-rekan pembalak untuk bertobat dan mencari jalan hidup yang lebih baik.

Inisiatif tersebut lalu berkembang melahirkan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Terinspirasi dari ekowisata Bukit Lawang, yang telah membuktikan upaya “menjual” hutan tidak dengan menebang, tetapi melalui ekowisata. LPT menggerakan ekonomi alternatif dan merestorasi alam melalui ekowisata berkelanjutan. Sampai sekarang, LPT bekerja sama dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan TNGL, yang bertanggung jawab menampung gajah-gajah sumatra di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Gajah-gajah tersebut umumnya dievakuasi dari konflik manusia-satwa di Aceh-Sumatra Utara. Di PLSK, sejumlah induk dan anak gajah dirawat oleh mahout (pawang gajah), yang juga bertugas memberi edukasi konservasi kepada para tamu LPT, baik domestik maupun mancanegara.

2. Kelompok Tani Hutan Konservasi, Langkat, Sumatra Utara

Tidak hanya di Tangkahan. Selama lebih dari tiga dekade, riwayat perusakan kawasan penyangga TNGL  juga merambah 16.000 hektare hutan di daerah pedalaman Besitang. Alih fungsi lahan yang masif mengubah area hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Mafia tanah pun merajalela, konflik horizontal antara masyarakat dengan pemangku kawasan konservasi tak terelakkan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai upaya memulihkan kawasan. Terdapat 16 KTHK yang masing-masing beranggotakan petani mitra sekitar dengan cakupan lahan mencapai hampir 1.000 hektare. Setiap petani diberi lahan garapan seluas dua hektare untuk menanam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti durian, jengkol, cempedak, aren, petai, dan rambutan. Tanaman-tanaman HHBK ini disebut juga Multi-Purpose Tree Species (MPTS). Program KTHK membuat masyarakat anggota kemitraan tersebut memiliki potensi ekonomi alternatif sekaligus merestorasi kawasan hutan, sehingga tidak lagi bergantung pada perambahan, pembalakan, maupun sawit.

Salah satu kelompok yang masih aktif sampai sekarang adalah KTHK Sejahtera pimpinan Hatuaon Pasaribu. Mantan guru yang getol menggalakkan semangat konservasi dan ekonomi restoratif di tengah keterbatasan dan masih adanya ancaman mafia tanah. Sejauh ini, Pasaribu dan para anggota maupun sejumlah kelompok lainnya telah membuktikan hasil positif dari KTHK. Mereka hanya perlu dukungan pemerintah untuk menjamin keamanan pekerjaaan di lapangan, serta menjangkau akses pasar dan sarana-prasarana budidaya lebih luas lagi.

3. Hutan Mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau

Bertahun-tahun, setidaknya sampai 2002, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis rutin dihajar rob setengah meter setiap Oktober–Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar. Hutan mangrove menyusut akibat perambahan dan pembalakan liar oleh panglong, perusahaan penebangan kayu setempat. Data mencatat, terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992–2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Situasi itu menggerakkan hati Samsul Bahri, seorang nelayan kecil berdarah Jawa untuk menyelamatkan ekosistem mangrove. Pada 2002, ia mulai membudidayakan dan menanam bibit-bibit mangrove di hutan rawa belakang rumahnya. Dua tahun kemudian, Samsul membentuk dan mengetuai Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap, yang diperkuat surat keputusan Bupati Bengkalis saat itu. Selain Belukap, juga ada KPM Perepat yang dipimpin M. Ali B. Dua kelompok ini merupakan pelopor pengelolaan mangrove dengan skema perhutanan sosial.

Lambat laun, 40 hektare hutan mangrove berhasil direstorasi. Pohon tertingginya bisa mencapai 20 meter. Banjir rob sudah berkurang signifikan. Kerja kerasnya mendapat atensi pemerintah dan sejumlah lembaga nirlaba internasional, yang kemudian memberi bantuan pendanaan kegiatan dan advokasi sampai terbentuknya legalitas Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang. Kini, bukan hanya konservasi semata, Samsul dan masyarakat Teluk Pambang menatap masa depan ekonomi restoratif melalui ekowisata dan perdagangan karbon dari 1.001,9 hektare ekosistem mangrove yang telah merimbun.

4. Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur

Masyarakat suku Dayak Lebo di Kampung Merabu adalah jagawana ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Meski dikepung sawit yang tumbuh menjamur di kampung tetangga, orang-orang Merabu masih gigih mempertahankan hutan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sebab, Dayak Lebo lama dikenal sebagai suku pemburu dan peramu obat-obatan tradisional. Madu hutan alami juga jadi salah satu produk unggulan. Sejak 2014, ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang dikelola berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Perbukitan karst Sangkulirang-Mangkalihat benar-benar jadi berkah untuk Merabu. Selain menyimpan jejak prasejarah lewat gua-gua purba, kawasan ini juga memiliki bentang alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu. Pengelolaan ekowisata berada di tangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Sudah tak terhitung tamu yang datang untuk berwisata di Merabu, terutama mancanegara.

Program menarik yang memanfaatkan nilai hutan Merabu adalah adopsi pohon. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri. selaku penanggung jawab program, telah menghimpun hampir 300-an pohon yang diadopsi oleh banyak pihak, mulai dari turis biasa, lembaga nirlaba, hingga instansi pemerintahan. Rata-rata jenis pohon yang diaopsi antara lain damar, meranti merah, dan merawan. Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015–2018. Dana hasil adopsi pohon tersebut kemudian dialokasikan untuk biaya sekolah anak-anak Merabu dan biaya sosial warga kampung yang kurang mampu.

5. Ekowisata Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya

Suku Moi merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong, gerbang barat Tanah Papua. Masyarakat Moi dikenal dengan tradisi egek, yang membatasi atau melarang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu di hutan maupun kawasan pesisir, agar kelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya terjaga. Meski sejumlah daerah di Sorong sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit, ada satu titik yang masih keras mempertahankan tanah ulayatnya, yaitu Malaumkarta Raya. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Di antara lima kampung, hanya Malagufuk yang menempati pedalaman rimba Hutan Klasow. Sisanya berada di pesisir. Jalan kaki sejauh 3,5 kilometer di atas jembatan kayu adalah satu-satunya cara mencapai Kampung Malagufuk. Keterisolasian ini justru jadi nilai lebih Malagufuk, yang kemudian mendunia karena daya tarik ekowisata pengamatan burung (birdwatching). Terdapat lima spesies cenderawasih yang bisa ditemukan di Malagufuk, yaitu cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih kuning-besar, cenderawasih raja, cenderawasih mati kawat, dan toowa cemerlang. Tidak hanya cenderawasih, burung-burung endemis lainnya juga ada, antara lain julang papua, mambruk, dan kasuari. Satwa unik seperti nokdiak atau landak semut dan kanguru tanah juga bisa ditemukan di sini.

Perputaran ekonomi restoratif melalui ekowisata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat gelek (marga) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Mulai dari pemandu, pengelola homestay, porter, hingga juru masak terlibat di dalamnya. Masyarakat Malagufuk mampu melihat nilai lebih dari hutan mereka tanpa harus merusak hutan. Keberagaman potensi burung dan satwa di Malagufuk mengundang turis pegiat birdwatching lintas negara. Di Papua, Malagufuk kini jadi destinasi pengamatan burung paling populer selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura.

6. BUMMA Yombe Namblong Nggua, Jayapura, Papua

Inisiatif luar biasa dalam mewujudkan ekonomi restoratif berbasis masyarakat lahir di Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang menempati tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute berkolaborasi dengan masyarakat adat Namblong membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Per Oktober 2024 lalu, BUMMA resmi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dengan 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemegang saham. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

BUMMA Yombe Namblong Nggua merecik harapan ekonomi kerakyatan di tengah tekanan deforestasi akibat alih fungsi lahan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), yang hak konsesinya sudah dibatalkan pemerintah sejak 2022 lalu. Langkah progresif tersebut pertama di Papua, seiring penetapan pengakuan ribuan hektare hutan adat Namblong oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain Jayapura, BUMMA juga dibentuk di Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Pendirian BUMMA muncul atas keinginan mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga sektor unggulan yang dikerjakan, yaitu budi daya vanili, ekowisata, dan perdagangan karbon melalui restorasi hutan—termasuk memulai penanaman sagu di lahan-lahan terdampak konsesi sawit.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong, yang dijaga dan disakralkan berdasarkan ketentuan adat. Sebatang pohon pun akan sulit dipulihkan dan butuh waktu lama untuk tumbuh seperti semula, apalagi jika sampai 20 juta hektare hutan hilang/Deta Widyananda

Tunggu apa lagi, Pak Presiden dan Pak Menteri?

Contoh riil di akar rumput tersebut mestinya sudah lebih dari cukup sebagai bukti agar pemerintah membuka mata lebar-lebar. Pemahaman sederhana soal keseimbangan ekosistem mestinya juga sudah didapat jika memang pernah melewati masa pendidikan sekolah dasar. Bahwa jika memutus satu rantai dalam ekosistem, maka akan menghapus entitas kehidupan yang bergantung padanya. Sebagaimana menghilangkan pohon-pohon pembentuk ekosistem pemberian Tuhan. Tidak hanya akan memusnahkan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga identitas kebudayaan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Dampak keserakahan dan ambisi akibat menjadikan lahan hutan sebagai ladang bisnis telah nyata merusak segala lini kehidupan yang menjadi hak rakyat. Suku-suku adat terusir dari tanahnya sendiri, satwa-satwa endemis mengais-ngais makanan di tempat yang tidak semestinya—karena hutannya sudah hilang. Belum lagi konflik antara manusia dan satwa, yang sudah amat sering terjadi hingga soal bencana ekologis yang akan timbul. Banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor merenggut banyak hal, yang seringkali hujan lebat maupun cuaca ekstrem menjadi sasaran tuduhan pemerintah, yang tutup mata pada masalah sebenarnya: hilangnya pohon-pohon di hutan sebagai penyerap dan penahan air.

Ayolah, Pak Presiden dan Pak Menteri. Masyarakat adat dan komunitas lokal lebih memahami hutan mereka. Mereka hanya perlu pengakuan legal dan pendampingan, agar hutan alami yang menghidupi mereka terjaga sampai anak cucu. Sebab, jika masih tutup mata, slogan Indonesia sebagai paru-paru dunia sejatinya sudah menjadi sekadar romantisme belaka. Setop mengoceh soal Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika kebijakan-kebijakan di tingkat elite tidak berpihak pada alam itu sendiri.


Foto sampul oleh Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/feed/ 0 45564
Papua: Taman Bermain Burung-Burung https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/ https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/#respond Wed, 15 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45341 Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Kami...

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Hutan kecil di tengah Pulau Um, Malaumkarta, Sorong. Ruang hidup bagi kelelawar, camar, dan beberapa burung yang bermigrasi dari Australia/Deta Widyananda

Kami berangkat ke Papua berbekal fakta: tutupan hutan di pulau ini paling luas di Nusantara. Lebih dari 30 juta hektare, mencakup 30 persen dari total luas hutan Indonesia. Hutan dan seisinya menjadi tempat menggantungkan hidup bagi masyarakat adat. Sejumlah aturan adat diberlakukan untuk menjaga sumber kehidupan pemberian Tuhan tersebut.

Bicara Papua tak bisa lepas dari cenderawasih, burung endemis Papua yang sering disebut burung surga. Laiknya manusia, cenderawasih juga menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan yang asri. Kemolekan burung ini mengundang banyak turis lintas negara berkunjung dan rela blusukan ke pelosok rimba tropis untuk melihatnya bernyanyi dan menari. Tak mengherankan ketika pada 1970-an kakak-beradik Lawrence dan Lorne Blair dari Inggris melakukan ekspedisi gila keliling Nusantara dalam program Ring of Fire, yang salah satunya demi mencari dan merekam cenderawasih bersama suku lokal.

Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Sefnat Magablo, salah satu tokoh adat Moi Kelim di Kampung Malagufuk, menunjukkan pohon merbau berusia tua yang biasa dijadikan tempat singgah dan bernaung banyak burung. Peran masyarakat adat sangat penting dalam memastikan kelestarian hutan di Papua/Deta Widyananda

Tempat-tempat yang kami datangi, dari Sorong sampai Jayapura, ternyata bukan hanya jadi rumah aman bagi cenderawasih, melainkan juga burung-burung lain yang tidak kalah menarik. Sisi lain yang paling penting dalam perjalanan Arah Singgah, di antaranya mengajarkan kami tentang penghormatan manusia—masyarakat adat—pada alam dan makhluk hidup yang berdampingan secara harmonis dalam mengisi hari-harinya.

Dan inilah hasil pengamatan kami—di tengah keterbatasan alat, tenaga, dan waktu—selama keluar masuk hutan Papua. Kami merasakan nuansa alam yang menjadi ruang hidup sekaligus taman bermain burung-burung cantik itu.

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/feed/ 0 45341
Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/ https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/#respond Tue, 14 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45325 Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru. Teks:...

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Tidak hanya vanili, pengembangan ekowisata juga menjadi prioritas BUMMA Yombe Namblong Nggua. Lokasi utamanya di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, yang sudah lama dikenal dengan destinasi wisata Kali Biru. Sungai berair jernih ini mengalir dari hulu melewati wilayah lima marga di Kampung Berap, yaitu Tarkuo, Kasse, Buwe, Yosua, dan Manggo. 

Kali Biru terbilang cukup populer, khususnya bagi wisatawan domestik dari Kota Jayapura dan sekitarnya. Kebanyakan pengunjung datang saat akhir pekan untuk susur sungai dengan ban (tubing), atau sekadar mandi dan berenang di sungai yang panjangnya mencapai 10–12 kilometer tersebut. 

Di samping itu, ternyata Kampung Berap punya permata lain, yaitu burung cenderawasih. Wisata minat khusus ini benar-benar belum dipoles sama sekali. 

Aliran Kali Biru di permukiman marga Manggo, wilayah paling hilir di Kampung Berap. Tampak di sisi kanan jalan cor penghubung Distrik Nimbokrang menuju Distrik Demta, pesisir utara Kabupaten Jayapura/Deta Widyananda

Menembus hutan dan menyusuri sungai demi cenderawasih

Sebenarnya hutan Nimbokrang telah lama masuk radar para pegiat pengamatan cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya di Papua. Seperti halnya di Raja Ampat, Sorong, dan Pegunungan Arfak. Di Nimbokrang, kegiatan birding dirintis oleh Alex Waisimon, pendiri dan pengelola Isyo Hills, Kampung Rhepang Muaif. Ia telah memandu banyak tamu dan memetakan spesies-spesies cenderawasih yang terlihat di hutan yang terletak di belakang penginapan Isyo Lode miliknya. 

Seperti di Hutan Klasow Malagufuk, Sorong, setidaknya ada lima spesies cenderawasih yang sudah terpantau: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Dalam katalog eBird, platform basis data temuan spesies burung endemis buatan Cornell Lab of Ornithology, ada beberapa spesies cenderawasih lainnya, di antaranya cenderawasih belah rotan (Diphyllodes magnificus), cenderawasih panji (Pteridophora alberti), dan burung paruh sabit atau kuakalame paruh-putih (Drepanornis bruijnii). Semuanya dilindungi undang-undang negara.

Sementara di Kampung Berap, sudah lama orang-orang kampung tahu kalau banyak cenderawasih yang hilir mudik di hutan-hutan lebat belakang rumah mereka. “Setiap pagi dan sore, terdengar itu suara-suara burung cenderawasih di hutan,” Humas BUMMA, Zet Manggo (51) bercerita.

Wacana pengembangan ekowisata khusus pengamatan burung di Berap memang tengah mengemuka belum lama ini. Dalam satu tahun belakangan, tercatat baru ada dua kali survei kecil-kecilan sebagai tindak lanjut pendirian BUMMA, yang juga diikuti oleh Mitra BUMMA dan Samdhana Institute—lembaga nonprofit yang mendampingi BUMMA. Pemetaan potensi ekonomi tersebut bertujuan memberi destinasi birdwatching alternatif selain Isyo Hills yang sudah masyhur. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo, pemandu kami/Rifqy Faiza Rahman

Namun, baru ada satu orang yang tahu persis lokasi pertama pemantauan burung itu, yaitu Mesak Manggo. Pria berusia 54 tahun tersebut juga merupakan pemandu lokal yang ikut mengawal kegiatan survei BUMMA beberapa waktu lalu. Dialah perintis jalur trekking yang menembus lebatnya belantara Ktu Ku, yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintahan Kampung Berap ke arah Distrik Demta. Ruas jalan ini juga menjadi lintasan utama truk-truk pengangkut kelapa sawit dari Demta ke Jayapura.

Namun, jarak sejauh itu tidak sepenuhnya ditempuh dengan jalan kaki. Rinciannya, delapan kilometer ditempuh dengan kendaraan bak terbuka milik Ishak Yosua ke pintu hutan, sisanya benar-benar bergantung pada kekuatan langkah kaki.

Tidak ada patokan yang jelas sebagai penanda gerbang masuk hutan. Hanya Mesak yang tahu. Zet cukup sering masuk belantara ini untuk mencari bahan makanan hutan, tetapi ia belum pernah sampai ke titik pengamatan burung yang ditemukan Mesak. Yang jelas, rumus perjalanan untuk melihat cenderawasih selalu sama, yaitu harus bergerak sedari pagi—bahkan sebelum hari benar-benar terang. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo (paling depan) dan Zet Manggo memandu tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 menyusuri aliran kali kecil menuju lokasi baru pengamatan cenderawasih/Mauren Fitri

Treknya bisa dibilang tidak terlalu mudah. Tutupan vegetasinya cukup rapat dan lembap khas hutan tropis. Jalan setapak yang tertutup belukar penuh lumpur sehabis hujan deras semalam. Kami harus memakai sepatu bot agar lebih mudah melangkah. Sesekali dengan parang Mesak menebas ranting dan daun yang rebah menutup jalur. Kondisinya jelas sudah lama belum dilewati manusia. Kami, tim TelusuRI bersama seorang jurnalis Tempo, adalah rombongan ketiga yang masuk hutan ini untuk melihat cenderawasih, setelah survei terakhir BUMMA di awal tahun ini.

Medan yang kami lalui bervariasi. Mulai dari melawan arus kali kecil yang penuh batuan berlumut, hingga meniti tanjakan curam dengan tanah gembur dan licin. Perjalanan turun lebih sulit karena bergantung pada akar atau dahan pohon untuk menjaga keseimbangan tubuh. Tidak ada petunjuk jalur yang jelas, entah itu berupa papan informasi atau string line, karena memang masih benar-benar murni.

Setelah berjalan hampir dua jam atau kurang lebih dua kilometer dari pinggiran jalan Berap–Demta, kami tiba di lokasi pengamatan. Ada satu tempat datar agak terbuka luasnya kira-kira seukuran lapangan futsal, yang dikelilingi pohon-pohon menjulang. Termasuk di antaranya adalah pohon laban setinggi belasan atau mungkin puluhan meter dengan diameter batang yang tidak cukup dipeluk satu orang. Kepala kami mendongak nyaris 90 derajat karena saking tingginya. Di pucuk pohon tahan api dan biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur itulah cenderawasih kuning-kecil terlihat silih berganti datang dan pergi. Mereka menari-nari dan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura

Mesak menginstruksikan bersembunyi di antara semak-semak agar kami tidak terlihat burung-burung. Sebab, indra cenderawasih sangat sensitif pada aroma dan gerak-gerik manusia. Deta, fotografer dan videografer tim ekspedisi, tiada henti merekam burung dengan ciri khas warna dasar bulu kuning dan putih itu dengan lensa tele 50–400mm. Burung jantan memiliki warna hijau zamrud pada bulu lehernya, dengan ekor berwarna kuning lebih pekat dan panjang daripada betina. Adapun burung bertina yang berukuran lebih kecil memiliki dada berwarna putih tanpa bulu-bulu hiasan. 

Pemandangan menakjubkan itu sesekali diiringi kicau burung lainnya. Berdasarkan pengalaman di Malagufuk, di Ktu Ku kami mendengar setidaknya ada dua jenis suara yang familiar dan sama-sama lantang, yaitu taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), dan toowa cemerlang. Si julang sempat kami lihat terbang cukup tinggi di atas pohon laban, tapi tidak sempat terpotret. Sementara burung toowa tidak menampakkan diri.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Cenderawasih kuning-kecil jantan/Deta Widyananda

Birdwatching sebagai mitigasi perburuan liar

“Lokasi ini sebenarnya juga jadi tempatnya para pemburu [cenderawasih] ilegal,” sebut Mesak. Ia menunjukkan titik jejak kaki manusia dan bekas pemasangan jebakan. “Biasanya mereka pasang jaring yang tinggi buat menangkap cenderawasih.”

Tidak hanya burung, orang-orang itu kadang juga membalak kayu secara ilegal di luar wilayah adatnya. Pelaku bisa jadi oknum warga setempat atau masyarakat dari luar kampung. Melihat lokasi yang jauh dari kampung dan begitu terpencil, sulit sekali untuk melakukan pengawasan apalagi penindakan tegas dengan hukuman. 

Dengan kata lain, BUMMA dan pengelola pariwisata Kampung Berap berkejaran dengan waktu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Manajer Ekowisata BUMMA Yombe Namblong Nggua Octovianus Manggo mengakui ada peluang ekonomi restoratif dari kegiatan pengamatan burung atau birdwatching. Bersama pengelola pariwisata kampung, mereka masih akan memetakan potensi lokasi pengamatan lainnya, menyiapkan infrastruktur agar pemantauan burung lebih nyaman untuk tamu atau para birder.

Suasana pengamatan burung cenderawasih yang sedang bertengger di pucuk pohon laban. Tempat baru ini berada di area hutan tropis Gunung Ktu Ku, Kampung Berap, Jayapura/Rifqy Faiza Rahman-Mauren Fitri

Sejumlah ruang pengembangan yang bisa dilakukan antara lain pembuatan rumah pohon sebagai anjungan pandang. Tujuannya agar memudahkan tamu melihat cenderawasih lebih dekat. Rumah pohon itu nantinya disamarkan dengan daun-daun atau ranting sebagai kamuflase, sehingga tidak terlihat oleh cenderawasih. 

Jalur trekking juga perlu dipoles agar aman dilewati. BUMMA dan masyarakat perlu mengukur jarak perjalanan, memilih rute yang menarik dengan tetap memerhatikan keamanan pengunjung, sampai dengan rencana evakuasi jika ada keadaan darurat. 

“Bisa juga membuat rute trekking yang bervariasi, tidak seperti tadi kita berangkat dan pulang lewat jalur yang sama,” usul Zet pada Mesak dan Octo setibanya di kampung. Ia menyebut jalur berangkat bisa melewati areal air terjun yang lebih landai dan istirahat sejenak di sana, baru pulang menyusuri kali.

Sampai sekarang, belum ada kepastian kapan birdwatching di Berap akan dibuka secara resmi sebagai paket wisata. Bagaimanapun, masyarakat Kampung Berap telah memahami, selain dari segi ekonomi, kontribusi ekowisata birdwatching ternyata juga bisa mencegah aktivitas ilegal yang bisa mengancam kelestarian cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Simon Manggo (kiri), ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis) Kampung Berap didampingi Octo membahas rencana pengembangan ekowisata Kali BIru dan pengamatan burung cenderawasih/Rifqy Faiza Rahman

Integrasi program ekowisata dan konservasi hutan

Pada 3 Oktober 2024 lalu, BUMMA merilis uji coba paket wisata baru bernama river trip atau susur sungai dengan rakit. Nicodemus Wamafma atau Niko (49), General Manager BUMMA, menyebutkan tur akan berlangsung sekitar 45–60 menit, dengan harga paket sekitar Rp150.000 per orang. Dalam satu perahu rakit berisi maksimal tamu tiga orang, yang ditemani seorang pemandu dan juru mudi. Selama perjalanan tamu akan dijelaskan keanekaragaman hayati yang ditemui, baik itu flora maupun fauna. 

Kelak akan ada wacana memperpanjang jalur dari kawasan hulu, Enggam, sampai ke daerah muara yang bernama Sungai Grime, kali besar yang membelah wilayah adat suku Namblong. Tantangannya adalah menjaga kebersihan ekosistem sungai, yang akhir-akhir ini tercemar eceng gondok dan aneka sampah plastik, seperti sabun cuci dan kemasan bekas makanan-minuman. Untuk melakukan ini, BUMMA dan kelompok pengelola pariwisata setempat akan bekerja sama dengan masyarakat lima marga yang wilayahnya dilalui Kali Biru.

Octo mengatakan, pihaknya akan berusaha memadukan paket wisata Kali Biru dengan kegiatan pengamatan burung cenderawasih. Selain mempersiapkan infrastruktur jalur birdwatching secara bertahap, ia bersama jajaran pengurus BUMMA juga akan melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat lima marga di Berap agar mendapat manfaat ekonomi.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mauren (depan), ketua tim ekspedisi, mencoba perahu wisata menyusuri Kali Biru didampingi Zet Manggo dan Simon Manggo. Aneka vegetasi nipah, sagu, dan tumbuhan sekitar menjadi daya tarik tambahan untuk integrasi paket ekowisata susur sungai dan birdwatching di Kampung Berap/Deta Widyananda

Di sisi lain, Bernard Yewi selaku Manajer Kehutanan BUMMA juga punya tanggung jawab yang tak kalah penting. Riwayat perburuan liar di hutan Ktu Ku jelas mendorong pria yang ikut kami melihat cenderawasih hari itu untuk segera melakukan konservasi hutan. 

“Karena akan ada rencana perdagangan karbon, kami akan melakukan pemetaan potensi dan memperbanyak pohon-pohon dengan potensi penyerap karbon tertinggi selain sagu,” jelasnya. Langkah ini akan mendukung pengembangan ekowisata pengamatan burung, sekaligus menjaga habitat satwa di dalamnya. Kuncinya, komunikasi dan kerja sama dengan para marga pemilik hak ulayat di kawasan tersebut.

Niko mengakui, jalan pengembangan ekowisata pengamatan burung di Kampung Berap masih panjang. Tapi, setidaknya masyarakat Berap memiliki alternatif daya tarik yang segar dan baru untuk wisatawan, melengkapi Kali Biru. (*)


Foto sampul:
Cenderawasih kuning-kecil betina terbang meninggalkan cenderawasih jantan yang masih bertengger di pohon usai menari/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/feed/ 0 45325
Optimisme dari Lembah Grime https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/ https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/#respond Sun, 12 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45289 Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di...

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di Lembah Grime berupaya mandiri ekonomi secara berkelanjutan lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Optimisme dari Lembah Grime
Aliran Sungai Bob (paling atas), batas alam antara area hutan garapan (bagian bawah) milik komunitas adat Namblong marga Waisimon di Kampung Yenggu Baru, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, dengan hutan lindung yang disebut dengan Ku Defeng Yano Akrua. Satu dari empat hutan adat yang diakui negara di Lembah Grime/Deta Widyananda

Dari riwayat sejarah, sebelum adanya negara, seluruh tanah di Papua merupakan tanah ulayat atau tanah adat. Sebagaimana halnya suku Moi di Tanah Malamoi (Sorong), atau suku Tehit di Tanah Metamani (Sorong Selatan), suku Namblong juga menempati bagian Wilayah Budaya Mamta bernama Lembah Grime di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Nama Grime diambil dari salah satu sungai besar yang mengalir di kawasan tersebut dan tidak pernah kering. Selain Sungai Grime, juga terdapat Sungai Yenggu dan Sungai Muaif. Namblong merupakan suku besar yang mencakup 44 marga dengan populasi penduduk lebih dari 50.000 jiwa. Komunitas adat ini mendiami wilayah seluas 53.000 hektare (ha) di 31 kampung dan tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong.

Berdasarkan keterangan Zet Manggo, perwakilan humas Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, seluruh marga tersebut tersebar ke dalam lima subsuku atau subwilayah berdasarkan kondisi geografis. Ktu Mai Ru, sebutan untuk orang-orang yang hidup di daerah rawa dan sagu berduri. Daerah tersebut kini ditempati oleh sebagian marga dan banyak kelompok transmigran. Jalan poros utama yang menghubungkan antara Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi juga dibangun melintasi wilayah dataran rendah ini. Fou Ru, yakni orang-orang yang mendiami dataran tinggi, mulai dari Nimbokrang Sari naik ke Nimboran melalui daerah Genyem kota (sebutan pusat kelurahan Genyem).

Lalu Banu Ru adalah orang-orang yang mendiami bagian timur wilayah Distrik Namblong, mulai dari Yakotim, Kaitemung, sampai Besum. Tabo, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah selatan perbukitan Tabo, Ombrob, hingga Yenggu. Daerah ini juga disebut dengan Perbukitan Selatan. Terakhir, Iwarom, yaitu orang-orang yang menempati wilayah perbukitan karang bercampur “iwarom” atau tanah merah “iwarom” di sebelah utara atau Perbukitan Utara dekat pesisir pantai.

Selain pemerintahan sipil yang mencakup kepala distrik (camat) dan kepala kampung (setingkat lurah), sistem pemerintahan adat juga masih dihormati di Namblong. Terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu Ondoafi atau Iram (tetua adat atau pemuka marga), Tekai (simbol pemangku aturan adat), dan Dunenskingwow (semacam humas pelaksana program adat). 

Sebagai pemimpin marga, Iram berperan besar dalam menentukan batas-batas tanah ulayat untuk setiap keluarga dalam satu marga. Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat adat Namblong menghadapi tekanan pencaplokan tanah adat oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit. Modusnya sama, yaitu pemalsuan tanda tangan kehadiran warga dalam acara sosialisasi plasma nutfah kelapa sawit, yang diubah sepihak sebagai dokumen persetujuan pembukaan lahan untuk diajukan ke Bupati Jayapura dan Menteri Kehutanan selama 2011–2014.

Sejumlah oknum keluarga marga ikut terseret karena tergiur uang cepat yang nilainya tidak seberapa dibanding warisan adat. Untuk melawan itu, selain melalui gerakan aktivis, masyarakat Lembah Grime membentuk unit bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Pembentukan dan pendampingan program BUMMA dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute. Konsep kepemilikan saham perusahaan oleh 44 marga menjadi pijakan kuat untuk mengikat pengelolaan sumber daya alam berbasis adat. 

Kiri: Jalan nasional penghubung Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Beberapa distrik di sekitarnya telah berubah menjadi kawasan transmigrasi sejak zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Kanan: Kondisi jalan kampung di Yenggu Baru, Nimboran. Masyarakat kampung umumnya menggantungkan sumber ekonominya pada hasil hutan yang dikelola secara ketentuan adat/Rifqy Faiza Rahman

Amanah daerah otonomi khusus dan filosofi Gerakan Menoken

Ambrosius Ruwindrijarto atau akrab disapa Ruwi (53), salah satu pendiri dan direktur eksekutif dari Mitra BUMMA dan Samdhana Institute, mengungkap inisiasi pendirian BUMMA di wilayah Namblong sejatinya merentang jauh 16 tahun ke belakang. Persisnya ketika pemerintah mengetuk palu, melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Peraturan perundang-undangan itu kemudian diterjemahkan dan dilaksanakan lebih implementatif dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua. “Keberadaan undang-undang dan Perdasus berlandaskan pada semangat dan kenyataan [yang mengakui] bahwa seluruh tanah Papua adalah tanah adat dan seluruh masyarakat Papua adalah masyarakat adat,” jelas Ruwi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut memiliki andil dalam mengegolkan dan menindaklanjuti pengakuan legal formal tersebut. Selanjutnya dilakukan pemetaan, pengumpulan data etnografi, pengusulan dan verifikasi, sampai dengan penetapan pengakuan masyarakat dan wilayah hukum adat di tingkat provinsi maupun kabupaten. Di dalamnya, termuat salah satu ketentuan yang mengatur kewajiban masyarakat adat Papua untuk membangun badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Tujuan utama pendirian BUMMA bertujuan adalah untuk mengelola secara kolektif segala kekayaan dan segala sumber perekonomian di dalam wilayah adatnya.

Namun, setelah serangkaian perjuangan oleh masyarakat adat bertahun-tahun, langkah yang lebih progresif dan komprehensif baru dilakukan pada periode 2020–2021 ketika muncul inisiatif Gerakan Menoken. Sebuah program dari Samdhana Institute untuk penguatan kapasitas masyarakat adat Papua, khususnya suku Namblong di Jayapura. Penamaan “menoken” merupakan bentuk praktis dari noken, sebuah benda multifungsi yang diakui dunia sebagai warisan budaya. Bicara noken berarti bicara Papua, dan sebaliknya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Noken tidak hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga. Banyak masyarakat pun menggunakannya untuk membawa dan melindungi bayi. Selain itu, noken juga memiliki seperangkat nilai dan filosofi mendalam. Noken bermakna kelenturan (fleksibilitas), keterbukaan (transparansi), kebersamaan (persaudaraan), keterajutan (saling terhubung), keberdayagunaan, juga sebagai identitas dan perawat kehidupan. 

“Noken itu seperti layaknya rahim, di mana ia mengkerut atau mengecil pada saat tidak ada isinya [tidak digunakan]. Tapi kalau ada isinya, maka ia akan menyesuaikan diri [mengembang], menyimpan, dan melindungi apa yang ada di dalamnya,” tutur Ruwi.

Melalui Gerakan Menoken, masyarakat diajak berdiskusi bersama. Duduk melingkar, sama rata. Tidak ada yang menonjol sebagai narasumber seperti lazimnya sebuah acara diskusi. Program ini lebih dari sekadar lokakarya biasa. Setiap orang berbagi informasi tentang isi noken miliknya, menerima pemberian dari isi noken orang lain, sampai menceritakan pengalaman-pengalaman seputar kehidupan sebagai masyarakat adat.

Di tengah rangkaian kegiatan, berikutnya muncul topik pembahasan mengenai tantangan-tantangan pengelolaan kekayaan alam dan budaya yang ada di masyarakat. Sebab, timbul kesadaran dalam menjaganya sebagai sumber penghidupan dan warisan untuk anak cucu. Semangat diskursus lalu berkembang sampai mengerucut dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk forum khusus dan resmi di tingkat masyarakat adat. 

Pada 12 Oktober 2022, lahirlah BUMMA Yombe Namblong Nggua, dengan Yohana Yokbeth Tarkuo (29) didapuk sebagai direktur utama. Penetapan warga Kampung Berap, Distrik Nimbokrang itu, bersama pengurus struktural BUMMA lainnya, dilakukan secara adat. Kabar gembira ini mengiringi momen puncak penyerahan surat keputusan hutan adat oleh pemerintah saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Jayapura (24/10/2022).

Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah menetapkan tujuh hutan adat di Papua. Enam di antaranya berada di Kabupaten Jayapura, sedangkan satu hutan adat ada di Distrik Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat. Dari enam itu, empat hutan adat berada di Lembah Grime: 1) Hutan Adat Yano Wai di Kampung Singgriwai, Distrik Nimboran (2.593,74 ha); 2) Hutan Adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Baru dan Yenggu Lama, Distrik Nimboran (2.177,18 ha); 3) Hutan Adat Yano Meyu di Kampung Meyu, Distrik Nimboran (411,15 ha); dan 4) Hutan Adat Yano Takwobleng di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang (404,9 ha).

Optimisme dari Lembah Grime
Nicodemus Wamafma di pinggiran Kali Biru, destinasi wisata unggulan Kampung Berap. Niko yang telah kenyang pengalaman dalam pekerjaan lingkungan dan advokasi masyarakat adat kini pulang ke kampung halaman untuk membantu BUMMA Yombe Namblong Nggua/Deta Widyananda

Sisanya, menurut Nicodemus Wamafma alias Niko (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, akan diperjuangkan mendapatkan pengakuan yang sama. Sebab, memang sudah semestinya seluruh lahan di Lembah Grime merupakan wilayah hukum adat. Termasuk tanah-tanah transmigrasi, serta lahan-lahan yang dialihfungsikan perusahaan, seperti HPH industri kayu maupun Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

Ruwi menegaskan, BUMMA berbeda dengan badan usaha milik kampung (BUMKam) atau desa (BUMDes). Selain memang menjadi “perintah” dari undang-undang, BUMMA lebih cocok diterapkan di kalangan masyarakat adat yang lebih kompleks. “BUMMA lebih berasas adat dan suku di Papua. Cakupannya lebih luas dan lebih bisa ‘melawan’ kapitalisme perusahaan besar,” tegas pria kelahiran Semarang itu. 

Untuk itulah Mitra BUMMA bekerja sama dengan para Iram dan masyarakat untuk memperkuat struktur dan kelembagaan, serta memetakan fokus bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Salah satu keluaran BUMMA Yombe Namblong Nggua sebagai unit usaha adalah menghasilkan produk-produk ekonomi yang dikelola berbasis masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi setiap marga, tetapi juga mengusahakan proses hulu-hilirnya berkelanjutan. 

Mengutip pernyataan Yohana, sesuai arahan dan pendampingan Mitra BUMMA, serta berdasarkan hasil pemetaan potensi, fokus pengembangan ekonomi mengerucut pada komoditas vanili dan ekowisata. Meskipun sebelumnya masyarakat Namblong juga berkecimpung di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan—yang mana akan kelak juga akan menjadi fokus pengembangan di tahun-tahun berikutnya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Para srikandi Namblong yang memiliki peran penting dalam pengembangan BUMMA Yombe Namblong Nggua, yaitu (berurutan) Yohana Yokbeth Tarkuo, Dorlince Yambeyapdi (bendahara BUMMA), dan Ribka Waibro (manajer divisi vanili BUMMA)/Deta Widyananda-Rifqy Faiza Rahman

Mandat berat menjaga hutan adat

Selain vanili dan ekowisata, restorasi hutan merupakan satu sektor penting yang menjadi fokus BUMMA. Terlebih PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih menunjukkan eksistensi di dekat kawasan hutan adat Yano Akrua, berbatasan dengan wilayah Beneik, Distrik Unurum Guay. 

Sejarah upaya deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PNM di wilayah adat Namblong membentang cukup panjang, lebih dari sedekade lalu. Perusahaan yang tidak jelas alamat kantor dan struktur organisasinya itu—baik di Jayapura maupun Jakarta—mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong.

Padahal, izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Dengan kata lain, negara sudah melarang PNM melanjutkan operasionalnya. Namun, faktanya aktivitas PT PNM masih berjalan terang-terangan, seolah-olah ketetapan hukum selevel kementerian tidak bertaji.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Pembabatan hutan terus berlangsung. Pekik senso atau gergaji mesin, yang entah di mana sumber suaranya, terdengar meraung-raung dari pedalaman belantara. Jelas sekali mata gergaji berbahan baja itu mengiris pohon-pohon berusia tua sampai rebah ke tanah. Seperti gemuruh longsoran bukit dengan batu-batu besar menggelinding. Sementara di seberang hutan yang sudah gundul, polybag plastik hitam berisi tanaman sawit berusia muda ditata berjejer di kebun pembibitan. 

Jauh sebelum itu, sejumlah kebijakan semasa pemerintahan Orde Baru turut memberi dampak pada berkurangnya tutupan hutan dan tanah adat. Sebut saja program transmigrasi maupun pembukaan industri kayu lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal, masyarakat menggantungkan kehidupannya bersumber dari hutan. Banyak wawasan leluhur tentang pemanfaatan hutan untuk makan, minum, hingga obat-obatan tradisional. Tak pelak Ambrosius Waisimon (67), Iram di Kampung Yenggu Baru, menolak keras perusahaan apa pun (yang bersifat ekstraktif) masuk ke hutan adat mereka—Ku Defeng Akrua.

Jelas akan jadi pekerjaan berat bagi Bernard Yewi (42), Manajer Kehutanan BUMMA. Ia  mengemban tanggung jawab untuk menjaga dan memulihkan hutan adat Namblong. Belum lagi jika bicara soal dampak perubahan iklim dan upaya penyerapan karbon. Tak heran jika Abner Tecuari (49), pemuka marga Tecuari di Bunyom, kukuh mengusulkan kepada BUMMA agar membangun kembali dusun (hutan) sagu. Selain faktor pangan pokok dan penyerap karbon terbaik, program ini juga memperlihatkan bentuk perjuangan masyarakat Namblong mempertahankan hak ulayat mereka. 

Optimisme dari Lembah Grime
Hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat Namblong di Lembah Grime. Bukan hanya bermanfaat bagi manusia, melainkan juga satwa dan keanekaragaman hayati lainnya yang menjadikan rimba sebagai rumah mereka/Deta Widyananda

“Dengan menanam sagu di hutan, kita tunjukkan kepada perusahaan [sawit dan kayu] bahwa [hutan] itu milik kita, bukan cuma tanah kosong,” jelas Abner tegas.

Bernard pun tidak bisa untuk tidak setuju dengan permintaan Abner. Untuk itulah ia bersama pengurus telah melakukan rencana tindakan awal. Setidaknya ada empat tahapan yang harus dilakukan BUMMA di sektor kehutanan.

Pertama, pengelolaan area hutan adat yang sudah ada—baik yang diakui negara maupun bukan— agar dipertahankan, dan menegaskan kembali batas-batas antarmarga sehingga tidak terjadi saling klaim kepemilikan lahan. Kedua, pengayaan atau rehabilitasi untuk memperbanyak tegakan pohon dengan kandungan penyerapan karbon tertinggi, seperti sagu yang sekaligus menjadi sumber pangan pokok. Ketiga, penghijauan atau reboisasi hutan yang “terluka”, terutama kawasan terdampak konsesi PNM. 

“Yang terakhir, penelitian. Kami akan melakukan pemetaan lahan-lahan prioritas yang memiliki sebaran pohon dengan potensi stok karbon terbanyak di Lembah Grime,” jelas Bernard. Pada jangka panjang, BUMMA Yombe Namblong Nggua memang berencana akan terlibat dalam perdagangan karbon berbasis masyarakat adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Bernard Yewi memiliki sejumlah program untuk menjaga dan merestorasi hutan adat di Lembah Grime/Deta Widyananda

Butuh waktu untuk berdikari

Pada 30 September 2024 lalu, melalui saluran komunikasi pribadi, Niko mengabarkan bahwa BUMMA sudah memiliki akta resmi sebagai Perseroan Terbatas (PT). Transformasi legalitas ini merupakan pencapaian besar yang diraih dengan tidak mudah.

Ruwi mengatakan, pembentukan PT di wilayah masyarakat hukum adat merupakan terobosan baru. Namun, ia mengakui prosesnya menemui banyak tantangan dan kendala, terutama aspek administrasi. Sebab, konsep BUMMA benar-benar merupakan hal baru bagi legalitas bisnis. Di samping itu, platform prosedur pembuatan PT di Indonesia secara teknis belum spesifik mengakomodasi komunitas adat—dalam hal ini pemimpin marga Namblong—sebagai pemilik saham. 

“Dari 44 Iram, separuhnya belum punya KTP. Lalu namanya beda dengan catatan yang dimiliki dinas kependudukan dan catatan sipil setempat,” terang Ruwi. Akhirnya ia bersama BUMMA membantu pembuatan identitas kependudukan tersebut. Termasuk NPWP, sebab dokumen ini menjadi syarat wajib saat mendirikan perusahaan.

Abner Tecuari (kiri) dan Ambrosius Waisimon berkomitmen akan membantu pengembangan BUMMA selama program-programnya konsisten berpihak pada masyarakat adat Namblong di Lembah Grime/Deta Widyananda

Ketentuan lainnya yang harus diikuti adalah permodalan yang harus disetor oleh masing-masing Iram suku Namblong. Jumlah modal disepakati sebesar Rp 100 juta, yang akan disetor secara bertahap. Para pemimpin marga, seperti Ambrosius Waisimon dan Abner Tecuari, serta 42 Iram lainnya, akan menyetor minimal 20 juta rupiah selama lima tahun, yang akan dimulai pada 2025 nanti. Penyetoran modal ini menjadi bukti sahih kepemilikan masyarakat adat terhadap BUMMA atau PT Yombe Namblong Nggua.

Namun, sebagaimana halnya Yohana, Niko, Bernard, dan pengurus lainnya di BUMMA, Ruwi juga punya banyak alasan untuk optimis. Meski masih akan melakukan pendampingan hingga beberapa tahun mendatang sampai operasional stabil dan kapabilitas pengurus meningkat, kelak pasti ada masanya BUMMA akan mampu mandiri sepenuhnya. Sebab, memang sudah semestinya begitu sebagai sebuah badan usaha. Ini sesuai makna nama “Yombe Namblong Nggua”. Yohana mengartikannya, “Bangkit dan bersama-sama membangun (yombe) suku Namblong lebih mandiri (nggua).”

Pemilihan Yohana sendiri sebagai direktur BUMMA juga menarik. Selain masih sangat muda, latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sekolah keperawatan sangat kontras dengan dunia barunya saat ini. Di sisi lain juga unik. Sebab, hal ini seperti mendobrak kebiasaan patriarkat yang umum terjadi di Papua. Akan tetapi, para Iram bermufakat dan memercayainya memimpin perusahaan. Penetapannya pun sakral karena melalui rangkaian upacara adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Tim TelusuRI foto bersama pengurus BUMMA Yombe Nangglong Nggua di area rumah pengeringan vanili/Deta Widyananda

Menurut Niko, kesepakatan dan mandat dari para Iram sangat penting. Sebab, iram merupakan pemimpin marga yang mewakili banyak keluarga, bahkan lebih dihormati daripada jabatan kepala kampung. Pendekatan dan koordinasi yang baik akan memudahkan BUMMA melaksanakan program-programnya. Terutama keterbukaan atau transparansi soal pemanfaatan dan pengelolaan potensi kawasan hutan dan kawasan penyangga (perkebunan vanili, perikanan, dan peternakan) yang pasti bakal bermitra dengan masyarakat.

“[Jika] kemudian masyarakat mendapat keuntungan secara ekonomi, muncul kesadaran kritis [dari] masyarakat, bahwa membangun kehidupan mereka dalam wilayah adat ini tidak harus dengan melepaskan hak mereka atas tanah, hutan dan sumber alam,” jelas Niko. 

Berdasarkan pola pendekatan seperti itu, maka akan lebih menjamin kedaulatan atas hak ulayat yang dimiliki setiap marga. Sekaligus memastikan keutuhan sumber daya alam yang ada di Lembah Grime akan tetap berada dalam genggaman masyarakat adat. (*)


Foto sampul:
Salah satu sudut dataran rendah di Lembah Grime, kawasan yang dihuni masyarakat adat suku Namblong turun-temurun/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/feed/ 0 45289
Ide-Ide Liar Asrani https://telusuri.id/ide-ide-liar-asrani/ https://telusuri.id/ide-ide-liar-asrani/#respond Sun, 24 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40634 Perawakannya kecil. Namun, nyali dan mimpinya untuk kemajuan Merabu bahkan jauh melebihi jumlah huruf namanya sendiri. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Malam itu (12/10/2023) Merabu gelap total. Pembangkit Listrik Tenaga Surya...

The post Ide-Ide Liar Asrani appeared first on TelusuRI.

]]>
Perawakannya kecil. Namun, nyali dan mimpinya untuk kemajuan Merabu bahkan jauh melebihi jumlah huruf namanya sendiri.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Ide-Ide Liar Asrani
Tampak tiang listrik dan lampu penerangan jalan di depan Rumah Asrani, yang terletak di timur kampung dan menghadap aliran Sungai Lesan. Sejak baterai PLTS komunal di kampung bermasalah, masyarakat mengandalkan genset untuk kebutuhan listrik pada malam hari. Jika minyak (solar) habis, mereka akan melalui malam sampai fajar berselimut gelap/Mauren Fitri

Malam itu (12/10/2023) Merabu gelap total. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di selatan kampung sudah mati sejak bulan Mei 2023. Baterai-baterainya perlu perbaikan. Genset kampung yang biasanya menyala sejak petang sampai tengah malam, membisu karena belum ada yang sempat mengambil minyak ke kampung sebelah.

Kerlip bintang yang bertaburan di antara langit kelabu tidak sepenuhnya menolong. Satu-satunya sumber cahaya yang bisa diandalkan adalah senter. Di tengah padamnya listrik, tim TelusuRI terpaksa menahan diri untuk mengisi ulang daya baterai ponsel, kamera, dan laptop. 

Rumah Asrani dan Ester yang kami tempati selama di kampung sedang kosong sedari pagi. Hari itu Pak Kopon, Belian (dukun adat) kampung yang juga paman Asrani, dikabarkan meninggal dunia setelah cukup lama dirawat di rumah sakit di Tanjung Redeb. Ester, yang masih menjabat kepala kampung, mengajak sejumlah warga melayat ke Inaran, Kecamatan Sambaliung, Berau. Jaraknya sekitar 195 kilometer dari Merabu atau 5—6 jam perjalanan. Ia titip pada kami untuk menjaga rumah.

Jika berpegangan aturan adat, seperti yang disampaikan Ransum, mendiang yang wafat di luar kampung memang pantang dimakamkan di kampung asalnya. Sehingga ia dimakamkan di tempat keluarganya yang lain, yaitu Inaran. Bulu kuduk sempat berdiri, begitu mengetahui rumah kosong di samping kediaman Asrani adalah milik Pak Kopon.

Sementara Asrani belum menampakkan batang hidungnya. Meski Ester memberi informasi suami dan anak sulungnya—yang baru diwisuda—akan pulang hari ini dari Samarinda, tetapi mereka tak kunjung datang. Situasi yang amat dimaklumi, mengingat jauhnya jarak ibu kota Provinsi Kalimantan Timur itu dengan Merabu. Hampir 400 kilometer atau paling cepat 10 jam naik mobil. Kami memutuskan tidur lebih awal, karena memang tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dalam keadaan gelap.

Tiba-tiba selang setengah jam lewat tengah malam, terdengar suara pintu diketuk-ketuk. Saya dan Deta terkesiap. Sempat terdiam beberapa saat, berbekal senter kami memutuskan mengecek pintu depan. Tidak ada orang. Namun, dari samping rumah tampak sorot cahaya kekuningan dan terdengar deru mesin mobil.

“Oh, mungkin Pak Ra sudah datang,” ujar saya menyebut sapaan Asrani. Kami lekas menutup pintu depan dan berpindah ke belakang, yang terletak dekat dapur.

Di balik pintu, sosok yang ditunggu-tunggu sudah datang. Seorang lelaki berperawakan kecil, mengenakan kaus kerah dan celana kain sederhana, menjabat tangan kami erat. Genggamannya kuat. Kami juga menyapa Decky, yang tampak kusut karena menyetir tanpa diganti semenit pun dari Samarinda. Beberapa saat kemudian Ester juga datang. 

Meski baru menempuh perjalanan jauh, raut muka yang terlihat di bawah peci manik bundar khas Dayak itu sepintas tidak menyiratkan letih. Sudah biasa, katanya. Ia pun mengajak kami duduk di sofa yang menghadap meja makan.

Gimana? Apa yang mau diobrolkan ini?” tanyanya. Suaranya sedikit serak. Setiap menyelesaikan ujung satu kalimat, ia berdeham. Kondisi yang sebenarnya merupakan efek kelelahan dari perjalanan.  

Pertanyaan itu sebenarnya basa-basi saja. Kami jelas baru akan mewawancarai lebih ideal besok malam, sepulang trekking ke Gua Bloyot. Namun, tanpa dikomando, Asrani malah mengajak kami ngobrol hampir satu jam. Anehnya, kantuk hebat yang sempat menyerang jadi tertahan. Seolah paham, ia pun sedikit membawa kami ke semesta kehidupannya, yang seluruh manis getirnya dicurahkan untuk Merabu. Tanah kelahiran dan tempat ia tumbuh besar menjadi seperti sekarang.

Ide-Ide Liar Asrani
Sembari sesekali mengulas senyum, Asrani malam itu bercerita banyak tentang pengalaman getirnya, terutama di akhir periode kepemimpinannya sebagai kepala Kampung Merabu/Deta Widyananda

Memilih dipenjara

Sesuai harapan, malam berikutnya listrik kampung kembali hidup. Di bawah temaram lampu, di atas kursi ban bekas yang terpajang di sudut pagar teras rumah, Asrani (48) duduk sembari mengenang titik-titik terendah yang menimpa masyarakat Kampung Merabu.

Jelang akhir kepemimpinannya sebagai kepala kampung—Asrani memimpin Merabu dua periode, mulai 1998 sampai dengan 2011—ia mendapat kado pahit. Sebuah perusahaan sarang burung walet, yang dilindungi aparat, menyeretnya ke penjara.

Asrani dituduh mencuri hasil sarang walet di kawasan Gua Ranggasan, yang merupakan lahan konsesi perusahaan. Ia juga dianggap menyulut ide untuk menggerakkan ratusan masyarakat dari tiga kampung—Merabu, Mapulu, Panaan—melawan eksistensi perusahaan swasta dari luar kampung tersebut. Bahkan fasilitas mes perusahaan di Kampung Merabu sempat dirusak dan dihancurkan warga yang terpancing emosi.

Khawatir situasi memanas dan berpotensi menimbulkan korban berjatuhan, Asrani pasang badan. Ia memaksa polisi menahan dirinya, kepala kampung Mapulu, dan Asriansyah, sekretaris desa Panaan, lalu meminta warga lainnya dibebaskan. Ester, istri Asrani, dan Decky Aprillius, anak sulung Asrani yang waktu itu masih kelas 6 SD, sempat ketakutan dan menangis melihat sang tulang punggung keluarga ditangkap polisi.

Pada Januari 2011, Asrani dan koleganya mendekam hampir empat bulan di penjara. Sekitar 1,5 bulan di Polres Berau dan dua bulan di rumah tahanan negara (Rutan) Tanjung Redeb, Berau. Belakangan ia baru tahu, jika pemidanaan terhadap mereka hanyalah akal-akalan pemerintah supaya tensi konflik agak mereda. Menurut Asrani, sebenarnya pemerintah bisa berpihak pada warga kampung—ia kenal dekat dengan Bupati Berau saat itu, tetapi di sisi lain “terpaksa” berkompromi karena tekanan perusahaan.

Konflik antara perusahaan dan masyarakat terjadi karena ketidakadilan bagi hasil sarang burung walet di liang-liang gua karst Sangkulirang-Mangkalihat. Asrani dan warga kampung, yang ekonominya telah puluhan tahun bergantung pada sarang walet, menilai perusahaan terlalu serakah dan mencaplok ceruk-ceruk penghidupan masyarakat. 

Ide-Ide Liar Asrani
Contoh sarang burung walet yang ditemukan Pak Cay, juru pelihara Gua Bloyot, dari dalam lorong Gua Sedepan Ketep. Di era jayanya, sarang walet jadi sumber ekonomi andalan masyarakat Kampung Merabu. KIni perlahan ditinggalkan setelah adanya ekowisata/Rifqy Faiza Rahman

Perselisihan itu belum berakhir ketika Asrani dan Kepala Kampung Mapulu menghirup udara bebas. Pada sebuah rapat yang diinisiasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau, tujuan mencari jalan tengah antara perusahaan dan masyarakat kampung tidak menemui titik terang.  

“Saya ini tukang porak-poranda kalau lagi rapat sama pejabat-pejabat pemerintah,” ungkap Asrani (48) mempraktikkan menggebrak meja dengan kedua tangannya. Ketika hasil negosiasi dianggap terlalu berat sebelah ke pihak perusahaan, Asrani pun muntab. “Saya ambil bangku-bangku itu, kulempar dan kuhamburkan!”

Seorang diri, Asrani bak pendekar yang sedang mengobrak-abrik perguruan silat. Meja-meja dibanting dan dibalik. Nyaris semua pejabat yang hadir kena semprot. Mulai Bupati Berau, Kapolres Berau, sampai Kapolda Kalimantan Timur tidak luput dari kemarahan Asrani. Bahkan kapolres dan orang-orang perwakilan perusahaan hampir saja dikejar dan hendak dipukul Asrani.

“Saya kalau sudah merasa benar, ya, pasti begitu,” tegasnya. Ia mengaku, yang dilakukan semata membela masyarakat kampung agar tidak makin dibodohi kapitalisme. 

Di matanya, ia yakin kebenaran akan selalu menang walaupun menghadapi banyak tantangan. Pahitnya pengalaman di balik jeruji besi tidak membuatnya surut tekad dan nyali, yang sampai sekarang masih menyala-nyala.

“Biarpun mantan narapidana, saya bangga,” ujarnya tegas, “karena berbuat baik [dengan] memperjuangkan orang-orang yang tertindas.”

Rekam jejak Asrani yang vokal dan berani menjadikannya buah bibir di kalangan masyarakat dan pemerintahan, terutama seantero Kalimantan Timur. Beberapa orang menyebutnya sebagai pahlawan, karena menyelamatkan nasib ratusan warga kampung. Kini kondisi di Merabu relatif kondusif. Perusahaan sarang burung walet tersebut tidak lagi cawe-cawe hutan desa Merabu, dan memilih beroperasi di kampung lain. 

Asrani memang seperti mbabat alas, membuat pondasi dasar sebelum kampung dibangun lebih berkembang dan kukuh secara berkelanjutan. Memperbaiki jalan kampung, menjadi yang terdepan jika berhadapan dengan oknum-oknum pengincar hutan untuk keperluan industri.

Termasuk membuka pintu untuk jaringan besar dari luar kampung, di antaranya The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat, yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). TNC tersebut mulanya masuk Merabu melalui peneliti dan fasilitator lokal yang meriset lukisan tangan prasejarah di gua-gua karst, sampai dengan mengkaji sudut pandang etnografis suku Dayak Lebo, khususnya yang hidup di sekitar kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Dengan jalan yang sudah terbuka, lewat tangan Franly Aprilano Oley hingga Agustinus sebagai kepala kampung periode selanjutnya, Merabu kian melesat. Namanya mengundang peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga media untuk berkunjung dan mengenal lebih dekat.

Ide-Ide Liar Asrani
Panorama pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kampung Merabu, dilihat dari Puncak Ketepu. Tempat ini menjadi salah satu destinasi ekowisata unggulan sekaligus kawasan hutan desa yang dilindungi dan dikelola masyarakat/Mauren Fitri

Memetik hasil kaderisasi kepala kampung

Usia Franly 23 tahun ketika menjabat kepala kampung pada 2012. Termuda kedua setelah Asrani, yang saat menjadi kepala kampung masih berusia 21 tahun. Franly bukanlah pemuda asli Merabu. Asalnya dari Modoinding, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Atas ajakan kawannya, Franly datang merantau dari Tanjung Redeb dan bekerja sebagai tukang saat membangun gedung sekolah dasar (SD) di Merabu pada 2009—2011.

Ketika pekerjaan selesai, ia memilih tidak ikut kawan-kawannya kembali ke Tanjung Redeb. Ia menetap karena sudah dekat dengan orang-orang kampung. Sampai akhirnya ia terpikat dengan Mariana, seorang gadis Merabu, lalu menikah tak lama setelah bertunangan di tahun itu.  

Tak dinyana setahun setelah menikah, Asrani yang jabatannya habis dan bertugas sebagai panitia pemilihan, malah berinisiatif mencalonkannya sebagai kepala kampung baru. Franly sempat menolak karena merasa tidak mampu. Namun, mengingat Asrani banyak membantunya selama di kampung—termasuk mengurus pernikahan—ia pun luluh. Suara pun nyaris bulat, Franly terpilih sebagai Kepala Kampung Merabu untuk masa jabatan sampai tahun 2017. Agustinus, yang berusia tiga tahun lebih tua, didapuk sebagai sekretaris kampung. 

“Saya memang sengaja mendorong Franly maju. Anggap saja kaderisasi,” tutur Asrani. “Dia memang masih muda, tapi semangatnya tinggi dan pekerja keras.”

Di bawah kepemimpinan Franly (2012—2017), Merabu mulai melakukan tata kelola pemerintahan dan merumuskan beberapa konsep program untuk memajukan kampung. Ada beberapa capaian penting yang berhasil diraih. Melalui pendampingan TNC dan kerja sama beberapa tokoh masyarakat, Franly melegalkan sebuah lembaga warga bernama Kerima Puri, yang bertugas mengelola hutan dan sumber daya alam Merabu.

Kerima Puri adalah cikal bakal Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) dan selanjutnya di era Agustinus bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Asrani dilibatkan di dalamnya sebagai ketua pertama Kerima Puri. Dalam bahasa Lebo, rima adalah hutan dan puri bermakna cantik atau indah. Adapun partikel ke, secara harfiah berarti “menuju”, simbol tujuan besar yang ingin dicapai. Menurut catatan TNC, nama tersebut merupakan usulan dari Marjayanti, seorang perempuan asli Merabu.

Lembaga tersebut yang kemudian mampu mendorong lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.28/Menhut-II/2014 tanggal 9 Januari 2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu, dengan luas 8.245 hektare. Sekitar 37,5 persen dari total luas Kampung Merabu yang mencapai 22.000 hektare. Di dalamnya mencakup kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas di (HPT) di Kampung Merabu.

Berbekal SK itu, selanjutnya Franly bersama Kerima Puri kemudian juga memetakan potensi sumber daya alam Merabu. Memberi tanda-tanda lokasi Gua Bloyot dan beberapa gua prasejarah lainnya, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, hingga titik-titik yang diperbolehkan untuk permukiman, ladang, dan membangun fasilitas kampung. Dari segala sumber daya yang ada, Merabu mulai mengembangkan ekowisata. Turis asing yang datang pun juga tidak bisa dibilang sedikit. 

Prestasi Franly berlanjut di era Agustinus (2018—2021). Pada masa kepemimpinannya, agar tata kelola makin baik, adik kandung Asrani itu menyatukan seluruh unit usaha kampung di bawah naungan BUMKam. Satu pintu untuk seluruh kegiatan usaha, di antaranya ekowisata, pengelolaan hutan desa, dan operasional PLTS komunal sebagai energi terbarukan di Kampung Merabu.

PLTS didapatkan Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.

Ide-Ide Liar Asrani
Lahan instalasi panel surya dengan luas kurang lebih satu hektare di selatan kampung, berdekatan dengan area hutan desa Kampung Merabu. Kehadiran PLTS di kampung buah dari kegigihan Franly dan Agustinus, sosok muda setempat yang dikader langsung oleh Asrani/Deta Widyananda

Agustinus pulalah yang mencetuskan slogan “Kampung Merabu ASIK”: Aman, Sejahtera, Indah, dan Kreatif. Slogan tersebut menjadi “mantra” yang membersamai semangat maju masyarakat merabu. Ekowisata juga makin menonjol. Sejumlah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang ekowisata, seperti Indecon, turut hadir memberikan pelatihan-pelatihan dasar seputar ekowisata. Masyarakat diajak menggali lebih dalam segala potensi yang dimiliki Merabu, sebagai suku pemburu dan peramu. 

Sayang, keduanya sudah tidak lagi ada di Merabu. Franly memutuskan pergi dan bekerja ke Bali, sedangkan Agustinus sudah meninggal dunia pada 2021 karena COVID-19. Istri Agustinus, Yervina, sekarang aktif sebagai guru dan bendahara BUMKam. Dialah yang mengurus segala paket ekowisata di Kampung Merabu saat ini. 

Meskipun begitu, setidaknya Asrani telah membuktikan ke semua orang. Untuk memastikan pembangunan Kampung Merabu tetap berkelanjutan sekaligus berpihak pada masyarakat, kuncinya terletak pada sosok. Ia mempersilakan orang-orang muda visioner dan berdedikasi tinggi untuk memimpin sebuah kampung yang memiliki persoalan kompleks.

Gagasan kebudayaan yang akan diperjuangkan

Di keseharian, Asrani adalah seorang bapak biasa pada umumnya. Ia membantu menyapu dan mengepel rumah, sementara Ester menyiapkan sarapan di dapur dan membantu Cornelius alias Dudung—anak keempat—bersiap ke sekolah. Ia juga biasa mandi di sungai, menjala ikan pagi dan sore, juga berkebun sampai kulit legam. Sesekali sowan ke rumah Pak Ransum, tetua adat, menyerap ilmu-ilmu tradisi darinya. 

Terkadang, Asrani tidak sempat melakukan rutinitas tersebut. Sebabnya ia sering pergi ke luar kota bahkan lintas pulau. Pengalamannya mengembangkan Merabu, atau kerasnya keberpihakan pada kesejahteraan kampung, membuatnya sering diundang berbicara di forum-forum mana pun. Ia menempuh perjalanan bertemu orang-orang baru yang terkesan dengan kisah hidupnya. 

Ide-Ide Liar Asrani
Balai adat Dayak Lebo yang terletak di antara lapangan bola dan rumah Ransum, ketua adat Kampung Merabu. Meski berat, Asrani berkomitmen memperjuangkan pendidikan dan literasi kebudayaan agar adat Dayak Lebo tetap lestari/Deta Widyananda

Di antara segenap pengalaman hidup Asrani, ia sepenuhnya menyadari satu hal krusial yang sangat fundamental untuk memajukan Merabu: pendidikan. Pendidikan akan memperluas ruang pola pikir dan kesempatan berdaya lebih besar. Kelak anak-anak muda akan menggunakan kreativitasnya untuk menciptakan kemandirian kampung dan tidak terlalu bergantung pada siapa pun.

“Saya adalah putra asli Merabu. Saya salah satu orang yang dulu mengawali pendidikan di kampung ini,” ungkap Asrani.

Dahulu belum ada SD di Merabu, sehingga ia harus pergi ke Merapun, kampung tetangga, untuk bersekolah. Selanjutnya menyelesaikan jenjang SMP di Muara Lesan dan SMA di Tanjung Redeb. Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya SPP, Asrani menyambi bekerja apa pun di luar jam sekolah. Ia bahkan nyaris kuliah di ibu kota Kabupaten Berau itu, sebelum akhirnya orang tuanya menyusul dan memintanya pulang kampung. Disuruh maju jadi calon kepala kampung.

Tidak tuntasnya pengalaman belajar Asrani hingga jenjang perguruan tinggi, “diselesaikan” oleh Decky, yang baru lulus S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman. Anak keduanya baru masuk S-1 Hukum di kampus yang sama, sedangkan anak ketiga seusia SMP dan tinggal di Tanjung Redeb. Setidaknya, Asrani sudah cukup tenang memiliki pewaris yang memiliki latar belakang pendidikan lebih baik darinya, yang suatu saat akan muncul Franly atau Agustinus baru dan menjadi pemimpin kampung masa depan. 

Tantangan selanjutnya adalah menularkan semangat yang sama ke anak-anak lainnya. Meskipun kemauan sekolahnya tinggi, ia tidak memungkiri masih ada orang tua yang apatis pada pentingnya pendidikan. Terutama pendidikan-pendidikan kebudayaan Dayak Lebo, yang menjadi identitas adat Kampung Merabu.

“Kita akan upayakan ke depan, kita dorong anak-anak sekolah [di kampung] ini mau mempelajari dan memelihara budaya,” paparnya. Mimpi yang berat, sejujurnya, mengingat literasi kebudayaan anak-anak sedang rawan tergerus kemajuan zaman. Sebagai orang tua, Asrani ingin agar budaya jangan sampai hilang, karena itulah identitas Dayak Lebo Merabu. Ia berusaha mencari cara lain merawat adat di luar Festival Tuaq Manuk yang hanya ada satu tahun sekali. 

Asrani juga mengaku menyiapkan ide-ide besar untuk membuat Merabu menjadi lebih dikenal orang. Mulai dari yang ringan sampai ekstrem, seperti rencana membangun gazebo atau pondok kayu di puncak karst yang berada di belakang Ketepu dan lokasinya jauh lebih tinggi. Di bayangan otaknya juga sudah tergambar hal-hal teknis, misalnya mengangkut tandon air ke atas puncak batu itu. Sebuah wacana yang kalau dipikir masak-masak, terasa gagasannya out of the box—jika tidak ingin dianggap gila.  

Rencana tersebut jelas tidak termuat dalam baliho visi-misinya sebagai calon kepala kampung baru tahun ini. Satu-satunya alat peraga kampanye itu tampak mencolok di pinggir lapangan kampung.

Ide-Ide Liar Asrani
Asrani dan Ester, istrinya, dipotret saat hendak makan malam di sebuah warung pinggiran jalan poros Berau-Samarinda, Kelay, Kabupaten Berau. Setelah Ester purna tugas, Asrani siap memimpin kembali dan mewujudkan ide-ide liarnya untuk kesejahteraan Kampung Merabu/Rifqy Faiza Rahman

Ketika TelusuRI berkunjung sekitar pertengahan Oktober lalu, Merabu memang sedang bersiap menyelenggarakan pemilihan kepala kampung (pilkakam). Masa jabatan Ester akan habis. Setelah 12 tahun, Asrani kembali maju menjadi calon kepala kampung. Bersaing dengan tiga orang lainnya.

Dalam perjalanan ke Tanjung Redeb untuk menghadiri acara deklarasi damai antarcalon kepala kampung se-Kabupaten Berau—kami ikut menumpang mobilnya—Asrani tampak tenang. Seolah-olah yakin akan menang pilkakam.

Beberapa hari kemudian berita yang tidak terlalu mengejutkan datang. Asrani resmi terpilih lagi menjadi kepala kampung. Meneruskan estafet istrinya. Ransum menaruh harapan besar padanya. Saatnya kita tagih mimpi-mimpi besarnya. (*)


Foto sampul:
Asrani (depan) mempraktikkan cara orang Dayak Lebo menjala ikan dari atas perahu sembari bersenandung. Sungai Lesan yang mengalir di depan rumahnya itu penuh ikan air tawar yang biasa dikonsumsi sehari-hari/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ide-Ide Liar Asrani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ide-ide-liar-asrani/feed/ 0 40634
Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sun, 17 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40541 Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Selama ini, kegiatan...

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Berkemah di Pulau Tonga merupakan salah satu daya tarik wisata andalan Tanjung Belit. Desa ini merupakan akses utama menuju desa-desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Selama ini, kegiatan ekowisata yang sudah berjalan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau, kebanyakan terpusat di Desa Tanjung Belit. Wilayah yang jadi gerbang masuk menuju suaka margasatwa tersebut memang memungkinkan eksplorasi potensi wisata secara maksimal. Selain bukan sepenuhnya kawasan konservasi, Tanjung Belit adalah desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan bermotor, serta terhubung jaringan internet seluler dan listrik PLN.

Pengembangan ekowisata di Tanjung Belit mendapatkan bantuan pendampingan dan pelatihan dari sejumlah organisasi nirlaba, di antaranya para anggota konsorsium KERABAT—terdiri dari Yapeka, Forum Harimau Kita, dan Indecon. Salah satu hasilnya adalah keberadaan homestay warga dan penyediaan paket wisata berbasis masyarakat. 

Menurut Mansyur, bendahara kelompok sadar wisata (pokdarwis) Tanjung Belit, sebenarnya potensi wisata di Tanjung Belit banyak. ”Cuma yang di sini tampaknya agak bisa berjalan, [yaitu] potensi alami air terjun Batu Dinding dan perkemahan di Pulau Tong,” ungkapnya.

Sementara situasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling berbeda. Krusialnya fungsi ekologis hutan hujan dataran rendah dan Sungai Subayang untuk kelangsungan makhluk hidup di Riau dan Sumatra bagian tengah, menjadikan penerapan ekowisata secara terbatas harus dilakukan penuh kehati-hatian. 

Sejauh ini memang belum ada izin khusus dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau kepada pelaku atau operator khusus untuk mengelola potensi jasa lingkungan. Namun, Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), membuka pintu kesempatan itu sebagai salah satu upaya alternatif pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan melalui kerja sama dengan organisasi nirlaba dan Pemerintah Kabupaten Kampar. Tentu dengan tetap memerhatikan rambu-rambu kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Meskipun begitu, keterbatasan yang ada tidak menutup fakta yang sama pentingnya. Beberapa desa di dalam maupun luar kawasan memiliki potensi daya tarik ekowisata. Mulai dari sektor alam, budaya, kerajinan tangan, hingga kuliner. Selain inisiatif warga secara turun-temurun, program pelatihan dan pendampingan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan penting menggali dan memetakan potensi ekonomi alternatif yang ramah lingkungan.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Ekowisata alam

Wisata alam adalah daya tarik terbesar di SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Baik di dalam maupun luar kawasan. Jika memasuki kawasan, perlu terlebih dahulu mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di BBKSDA Riau. Di Muara Bio terdapat sebuah kantor resor yang biasanya melakukan pengecekan kunjungan wisatawan.

Tanjung Belit sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk menuju SM Bukit Rimbang Bukit Baling, memiliki destinasi wisata alam unggulan, yakni air terjun Batu Dinding. Hanya perlu trekking selama 10—15 menit untuk tiba di air terjun utama. Air terjun ini berada di tengah hutan adat Tanjung Belit, yang vegetasinya cukup rapat. 

Indra Rius (30), dubalang pemuda Tanjung Belit, mengatakan bahwa keragaman burung di hutan tersebut cukup bagus. Ia sempat memotret sejumlah spesies, antara lain julang emas, kangkareng hitam, elang, dan burung-burung kecil. Bagi wisatawan penggemar birdwatching, hutan adat Tanjung Belit bisa jadi sasaran menarik untuk mengamati burung bersama pemandu.

Sementara di dalam kawasan, Desa Tanjung Beringin memiliki potensi ekowisata bernuansa petualangan di puncak Bukit Sakti. Menurut Bang Zul, salah satu warga, jarak pendakian ke bukit tersebut sekitar 2,5—3 jam jalan kaki dari kampung. Rutenya melewati makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih yang menanjak. Sepulang dari berkemah di puncak bisa mampir ke Tumulun, sebuah kolam alami di Sungai Dekwak. Aliran sungai ini bertemu dengan Sungai Subayang di bawah jembatan desa. 

Jika bingung akan pergi ke desa mana, salah satu cara seru untuk menikmati alam sekaligus menguji adrenalin adalah dengan menyewa piyau. Susur Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke arah hulu sejauh tak kurang dari 36 kilometer atau 3—4 jam perjalanan.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah warga Tanjung Beringin menaiki piyau untuk mengikuti prosesi sema rantau, tradisi leluhur yang bertujuan menolak bala dan memohon kepada Allah SWT agar kampung aman dari gangguan dan diberi keberkahan/Astin Atas Asih

Ekowisata budaya 

Seluruh desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17 atau 18. Desa Batu Songgan menjadi ibu kota Kekhalifahan Batu Songgan, yang membawahkan kenagarian-kenagarian (setara desa) di sekitarnya.

Unsur historis tersebut merekatkan adat yang diwariskan turun-temurun. Masing-masing desa memiliki ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat) untuk menjaga kelestarian adat dari nenek moyang. Menurut Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin, ketentuan adat bisa menjadi pegangan masyarakat sehari-hari. Tujuannya agar tercipta harmoni antara manusia dan alam sekitar tempat mereka hidup.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke permukaan Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan di Batu Songgan/Vita Cecilia Chai

Saat ini beberapa tradisi lokal telah menjadi kalender wisata rutin yang ditunggu-tunggu masyarakat. Baik dari daerah Kampar maupun di luar Riau. Salah satu tradisi yang masih terjaga dan ramai diburu warga dan wisatawan adalah pembukaan lubuk larangan yang dilaksanakan sekali dalam setahun di desa masing-masing. Lubuk larangan adalah tempat berkumpulnya ikan-ikan Sungai Subayang dan masyarakat dilarang mengambilnya selama periode tersebut. Panen raya, penangkapan tradisional, dan pelelangan baru dilakukan ketika sudah tiba waktunya sesuai kesepakatan ninik mamak dan masyarakat. 

Selain itu wisatawan juga bisa belajar kebudayaan yang ada di setiap desa. Contohnya, di Tanjung Beringin. Di desa ini ibu-ibu masih melakukan Batimang (menimang-nimang sebelum tidur) untuk anaknya yang baru lahir, serta memiliki calempong, perangkat musik semacam gamelan.

Marianum (kanan), warga Tanjung Beringin, mempraktikkan senandung Batimang/Deta Widyananda

Seni kriya pandan di Batu Songgan

Di Batu Songgan, ibu-ibu tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto yang memproduksi kerajinan anyaman pandan. Dari 12 anggota aktif, TelusuRI menemui delapan orang yang berkumpul di rumah Rumiati. Saat itu tersedia beberapa produk jadi, antara lain topi, peci, tikar tidur, tikar sajadah, tas jinjing, dan gantungan kunci. Harganya bervariasi, tergantung jenis produk, ukuran, dan kerumitan motif. Misalnya, tikar untuk tidur Rp150.000, lalu topi berkisar Rp40.000—75.000.

Berdasarkan cerita Lenriani, salah satu anggota, pembuatan kerajinan anyaman rumbai atau pandan bermula karena keadaan susah dan serba terbatas yang dialami para orang tua zaman dahulu. Ketika berkebun atau bertani, terasa panas kena matahari karena tidak ada pelindung kepala. Lalu muncullah ide mengolah daun pandan menjadi topi. Begitu pun dengan tas kantung tempat ikan atau beras, dompet sebagai wadah uang atau barang, hingga tikar untuk alas tidur.

Produk kerajinan KWT Pulau Koto mengalami pengembangan setelah diberi pelatihan dari konsorsium KERABAT. Dari yang semula mencukupi kebutuhan sendiri, sekarang bisa dijual dan menghasilkan pendapatan untuk masyarakat. Mereka memanfaatkan bahan baku rumbai yang mudah didapat di hutan dekat rumah. Selain pandan, KWT Pulau Koto juga membuat produk dari rotan. 

Tantangan yang dihadapi beragam. Regenerasi pengrajin—tidak semua perempuan atau anak muda mau menganyam, faktor cuaca yang menghambat proses penjemuran daun pandan, dan lamanya pembuatan, karena menunggu motif sesuai keinginan pemesan. Kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga juga menyita waktu membuat kerajinan.

Jelajah pangan lokal Tanjung Beringin

TelusuRI mencicipi kuliner lokal ketika tinggal dua malam di Tanjung Beringin. Kami menginap di rumah Tahtil yang bersebelahan dengan rumah Datuk Pucuk. Ia bersama suami dan anaknya tinggal seatap dengan Roainah atau Mak Dang, kakak Tahtil, dan suaminya.

Yang menarik, bahan-bahan penyusun masakannya diambil dari tanaman di sekitar hutan dekat kampung. Sayuran yang sering digunakan berupa tanaman pakis untuk lalapan, biasa diramban dari kebun liar sekitar rumah. Lauk utama masyarakat Tanjung Beringin adalah ikan air tawar yang banyak tersedia di Sungai Subayang. Jika ingin memasak daging ayam, tahu, atau tempe, maka harus belanja terlebih dahulu ke pasar di kecamatan. Atau, menunggu kehadiran pedagang pasar keliling pakai piyau yang datang sekali dalam seminggu ke arah hulu.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Salah satu menu yang sempat kami cicipi adalah ompok (asam padeh) buntut ayam. Masakan khas Kampar, Riau dari olahan buntut ayam. Penyajiannya buntut ayam dibakar, lalu ditambahkan bumbu cabai dan bawang goreng yang sudah digoreng dan diulek. 

Kemudian ada sigham, olahan dari bakaran ikan salai yang sudah kering. Bumbunya sederhana. Hanya dengan mengulek sedikit cabai, bawang putih, dan dicampurkan ke ikan salai, lalu digoreng dengan sedikit minyak. Sebagai pelengkap, disediakan pula sayur ubi rebus.

Dan masih banyak lagi. Menikmati pangan lokal di satu tempat saja rasanya memanjakan perut. Apalagi di desa-desa lain dengan ciri khas masing-masing. Kekayaan kuliner setempat bisa menjadi nilai tambah yang membantu perekonomian masyarakat.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Peluang optimasi energi terbarukan

Sampai sekarang desa-desa di dalam SM Bukit Rimbang Bukit Baling mengandalkan sumber energi terbarukan, karena tidak ada jaringan listrik PLN. Salah satu yang masih berjalan baik adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) di Batu Songgan. 

Iwandra, pengurus PLTMh Batu Songgan, pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten memberikan bantuan PLTMh pada 2008. Akan tetapi, belum satu bulan sudah macet dan mati total selama tujuh tahun. Sampai kemudian 2015 diperbaiki dan berfungsi kembali.

Listrik menyala optimal tatkala air sungai sedang pasang, biasanya saat musim hujan besar. Dayanya lebih besar ketimbang PLTS, sehingga masyarakat bisa memiliki kulkas dan mesin cuci. Jika air sedang surut, maka penggunaan listrik dibatasi selama setengah hari dari petang sampai tengah malam. 

Biaya operasional PLTMh berasal dari iuran warga atau per kepala keluarga pemilik rumah yang dialiri listrik. Tarifnya Rp30.000 setiap bulan. Uang itu masuk kas PLTMh sebagai unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hasilnya bisa diputar kembali untuk masyarakat dalam bentuk bantuan sosial maupun pembangunan sarana-prasarana kampung.

Salah satu kendalanya adalah letak PLTMh cukup jauh dari kampung. Jika terjadi masalah teknis pada turbin, masyarakat harus naik piyau ke lokasi. Pengurus berharap bisa dibangun jembatan gantung agar aksesnya lebih mudah dan penanganannya cepat. Selain itu Iwandra menitip pesan kepada masyarakat agar menjaga kedalaman Sungai Subayang, dengan cara merawat hutan agar tidak ada kayu terbuang dan bisa membuat sungai mengalami pendangkalan.

Tantangan pengembangan

Pengembangan potensi ekonomi alternatif ramah lingkungan di wilayah konservasi memang tidak segampang menyusun program di wilayah nonkonservasi. Apalagi kawasan dengan fungsi ekologis sepenting SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Jika mengikuti peraturan yang berlaku, maka akan menyadari rambu-rambunya cukup ketat.

Aksesibilitas yang hanya melalui jalur sungai bisa menjadi kendala mobilitas. Jauh dari mana pun. Sepenuhnya bergantung pada cuaca dan pasang-surut sungai. Namun, sisi baik dari kondisi ini bisa menyaring pengunjung—di luar warga setempat—agar tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan. Penduduk di dalam kawasan suaka margasatwa perlu menjalin koordinasi dengan masyarakat desa penyangga, Tanjung Belit dan Gema, agar sama-sama menjaga kawasan.

Ritme kolaborasi BBKSDA Riau selaku pemangku kawasan, pemerintah kabupaten, para organisasi nirlaba atau LSM lain seolah berkejaran dengan waktu. Sebab di saat yang sama aktivitas ilegal di dalam kawasan terus berlangsung, terutama pembalakan liar dan perambahan hutan.

Para pemangku kepentingan tidak bisa berjalan sendirian. Dalam perannya masing-masing, sesuai kewenangan yang dimiliki, perlu ada keselarasan visi di program atau kebijakan yang dikerjakan. Masyarakat lokal perlu pendampingan dan dukungan berkelanjutan. Terlalu sayang rasanya jika suara orang yang peduli hutan kalah dengan tetangga sekitarnya yang berkarakter sebaliknya. Walau untuk alasan ekonomi sekalipun.

Pendekatan ekowisata, kriya, dan pangan lokal sebagai sumber ekonomi alternatif ramah lingkungan hanyalah satu upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Tujuan besar dari sebuah program pemberdayaan adalah kesadaran penuh masyarakat terhadap fungsi kawasan, serta kemauan untuk kreatif dan berdaya saing.

Kuncinya bukan tergantung di salah satu pihak semata. Kuncinya ada di semua pihak. Duduk bersama. Berpikir dan beraksi bersama untuk keseimbangan konservasi dan ekonomi SM Bukit Rimbang Bukit Baling. (*)


Foto sampul:
Astin Atas Asih (kiri), fasilitator lokal dari Indecon—anggota konsorsium KERABAT—mendampingi ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto Batu Songgan dalam pembuatan produk lokal unggulan di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40541
Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan? https://telusuri.id/tren-latah-wisata-tiruan-di-indonesia-sampai-kapan-bertahan/ https://telusuri.id/tren-latah-wisata-tiruan-di-indonesia-sampai-kapan-bertahan/#comments Wed, 05 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39222 “1001 spot instagramable”, mungkin kebanyakan dari kita familiar dengan kata-kata ini. Istilah tersebut muncul dari rangkuman siaran pers mantan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 12 Maret 2018. Dalam Rapat Kerja Teknis Pra Rapat Koordinasi Nasional...

The post Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan? appeared first on TelusuRI.

]]>
“1001 spot instagramable, mungkin kebanyakan dari kita familiar dengan kata-kata ini. Istilah tersebut muncul dari rangkuman siaran pers mantan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 12 Maret 2018. Dalam Rapat Kerja Teknis Pra Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Pariwisata 2018 di Bali, eks CEO PT Telekomunikasi Indonesia itu mendorong daerah untuk berlomba-lomba membangun ribuan spot foto. Membingkainya tiga ratus enam puluh derajat dalam kamera dan mengunggahnya di media sosial. Maka terciptalah “destinasi digital” dan segala apa pun yang berpotensi viral.

Instruksi itu kemudian diterjemahkan ke pelbagai bentuk. Mulai pasar wisata digital yang hanya muncul di saat-saat tertentu, tempat wisata tematik yang menjual spot foto berbayar, sampai dengan miniatur-miniatur landmark ala luar negeri. Kampung Eropa Lembah Harau di Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Stonehenge di Sleman, Yogyakarta. Terbaru, miniatur Kakbah, Patung Merlion, dan Menara Eiffel yang pembangunannya merupakan program Pemerintah Kota Madiun, Jawa Timur. Bahkan Kediri lebih visioner. Kabupaten yang terkenal dengan nanas madunya itu sudah punya Arc de Triomphe versi lokal sejak 2008, alias Monumen Simpang Lima Gumul. Dan masih banyak lagi. 

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
Monumen Simpang Lima Gumul di Kabupaten Kediri yang mirip Arc de Triomphe Paris via Flickr/Bhumyamka Saputra

Untuk alasan ekonomi dan kuantitas wisatawan sebagai tolok ukur kepariwisataan, keberadaan landmark mirip luar negeri di Indonesia menjadi semacam virus. Gampang dibuat. Cepat menular. Mengekor pembangunan tengara-tengara berbasis selfie spot lainnya yang telah lama eksis dan viral: foto simbol love, kapal ala-ala di pinggir tebing, dan lain sebagainya.

Tengok lagi ke beberapa destinasi wisata alam populer di Indonesia. Lihat panorama alam khas tropis yang sudah memukau dan natural, seperti pegunungan, pantai, hutan, perkebunan; harus “berbagi tempat” dengan benda-benda artifisial demi alasan estetika dan pengakuan media sosial. Yang paling kerap terdengar selanjutnya adalah narasi seperti ini, “Ngapain jauh-jauh pergi ke luar negeri? Di sini aja lebih murah, yang penting dapat foto bagus serasa di Eropa.”

  • Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
  • Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?

Nilai lokal yang mengabur

Sejujurnya, tidak ada yang salah dengan preferensi setiap orang. Pembuat dan pengelola destinasi wisata tiruan ala luar negeri itu memiliki pasar yang sangat jelas. Tak peduli latar belakang sosial maupun usia. Asal punya smartphone dan akun media sosial, serta aplikasi filter pemercantik foto. Namun, dalam pandangan saya, itu justru seperti bentuk ketidakpercayaan diri dengan nilai dan potensi lokal yang kita miliki. 

M. Nurdin Razak, praktisi ecotourism sekaligus pendiri Indonesia Ecotourism Institute, menyoroti tajam fenomena ini. Menurut Nurdin, tren miniatur mirip luar negeri sebenarnya sama dengan wisata selfie dan sejenisnya. Terulang kembali konsep-konsep mass tourism yang berorientasi mendapatkan uang (keuntungan ekonomi) secara cepat.

“Hal ini menunjukkan begitu lemah dan rendahnya kebanggaan dan kreativitas orang Indonesia dalam membuat spot-spot wisata. Hanya meniru dan tidak bangga terhadap desa atau daerah mereka untuk menunjukkan [identitas] lokalnya,” kata Nurdin, “padahal kelokalan ini penting sebagai primordialisme yang harus kita jaga sebagai bangsa besar.”

Bukan cuma itu. Mantan dosen pariwisata yang juga hobi wildlife photography itu menyebut tren wisata-wisata dadakan adalah sebab sifat latah dari bangsa kita yang masih melekat. Mulai dari pendidikan PAUD-TK sampai kuliah, tidak banyak tenaga pendidik yang memiliki kreativitas dalam mengajar. Kita tercipta selalu meniru tanpa melakukan evaluasi maupun tindakan kreatif, termasuk pariwisata.

Tatak Sariawan, ketua pengurus Koperasi Desa Wisata Candirejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, menyampaikan pernyataan senada. Meskipun tidak mempermasalahkan sebuah daerah membangun destinasi wisata baru, tetapi Tatak kurang sepakat dengan konsep yang mirip bahkan menyerupai wisata luar negeri. 

“Bahkan pembangunan semacam itu tidak bisa dilakukan di desa wisata. Di desa, kita tidak membangun fisiknya, tetapi yang kita bangun adalah sumber daya manusia dan berkaitan dengan [potensi] apa pun yang ada di sebuah desa wisata,” tegasnya.

Nurdin dan Tatak benar. Pembangunan wisata yang tidak berkelanjutan dan asal jadi justru menimbulkan bumerang. Dampaknya tidak main-main. Nilai lokal bisa makin mengabur. Terhalang dengan kabut ambisi mengedepankan viral dan estetika, tetapi kosong. 

Dilema: kebutuhan ekonomi atau ketahanan jangka panjang

Kalau menilik komentar para warganet yang menanggapi tren wisata seperti ini, akan terlihat dua pihak berseberangan. Pro dan kontra. Setiap orang membawa argumentasinya sendiri. Bagi yang membela, biasanya meminta kita memahami latar belakang pendirian wisata miniatur luar negeri itu. Tidak semua orang mampu bepergian jauh ke Eropa, Amerika, atau bahkan ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Maka keberadaan kincir angin, Menara Eiffel, Santorini, atau kastil-kastil kuno ala Eropa, menjadi sesuatu yang segar, baru, dan berbeda bagi orang-orang yang di tempat tinggalnya mungkin sudah biasa berdampingan dengan sawah, pegunungan, pesisir, sungai, atau ngarai yang dalam. 

Di sisi berlawanan, menghadirkan ornamen-ornamen atau bangunan buatan—biasanya di tempat yang sudah menjadi destinasi wisata populer—justru menimbulkan polusi visual. Tak hanya miniatur landmark luar negeri, tetapi juga spot-spot tambahan demi memenuhi hasrat berfoto yang cantik.

Saya menemukan sebuah forum diskusi menggelitik di Quora, tentang tren-tren wisata yang paling menyebalkan di Indonesia. Puluhan akun berbagi pengalaman masing-masing. Terlepas cara dan bentuk penyampaian yang bermacam-macam, mereka menyuarakan satu keresahan yang sama. Mengapa keindahan sebuah destinasi yang sudah terbentuk secara alami, harus “mengalah” pada orientasi kuantitas dan kebutuhan eksistensi?

Saya juga jadi ikut bertanya-tanya. Kalau memang alasannya untuk kebutuhan ekonomi, bukankah yang seperti itu justru menghambur-hamburkan modal uang ketimbang membiarkan tetap natural dan memoles sewajarnya?

Nurdin punya jawaban menohok soal itu. Sebuah sudut pandang yang ia hasilkan dari perjalanannya keliling Indonesia, kawasan konservasi, hingga desa-desa wisata selama puluhan tahun. “Menurut saya, bangsa atau masyarakat kita ini cenderung memiliki kemalasan yang menurut saya cukup parah. Hampir semua desa bahkan kelompok sadar wisata (pokdarwis) tidak memiliki kemampuan kreativitas. Ketahanan wisata atau pengelolaan mereka masih patut dipertanyakan. Pada akhirnya, uang-uang cepat itu tadi yang dikejar.”

Pemilik Baloeran Ecolodge di Situbondo, Jawa Timur, itu memberi catatan pengecualian pada daerah yang sudah menjadi destinasi internasional. Misalnya, Yogyakarta dan Bali. Itu pun karena ekosistemnya sudah terbentuk. “Tapi kalau [daerah] yang harus mulai dari nol atau setengah itu, saya kira belum banyak memiliki resiliensi yang bisa dibuktikan,” tukasnya.

Dari pengamatan Tatak, secara ekonomi pengelola wisata tiruan atau berbasis photo spot tersebut memang membutuhkan modal. Lebih mudah membangun tempat wisata baru secara fisik ketimbang desa wisata. Uang yang sudah terpakai untuk investasi memang cepat kembali. “Tapi model wisata seperti itu, yang sudah terjadi saat ini, sepertinya memerlukan inovasi dan pengembangan terus-menerus. Jadi, sisi keberlanjutannya masih perlu dipertanyakan lagi.”

Sepertinya jalan kita masih panjang nan terjal untuk menggapai cita-cita besar kepariwisataan di masa depan, yaitu menciptakan ekosistem quality tourism. Nurdin sendiri meragukannya, selama pemangku kebijakan dari pusat ke daerah tidak memerhatikan logika berpikir, data empiris di lapangan, dan sinkronisasi program.

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
Seorang tamu praktik membuat gerabah di Desa Wisata Candirejo. Di desa wisata, segala elemen terlibat mulai dari tingkat pemerintah desa sampai penduduk lokal dalam mempertahankan lokalitas di perdesaan/Rifqy Faiza Rahman

Bukan destinasi, melainkan pola pikir dan strategi manajemen

Dampak pandemi COVID-19 lalu telah memberikan bukti nyata. Wabah global tersebut menghajar salah satu sektor andalan Indonesia, yakni pariwisata. Terutama pariwisata massal (mass tourism). Bahkan destinasi kelas dunia sekaliber Bali, saya lihat sendiri ketika mengunjungi kawasan Kuta di akhir 2020, denyutnya lumpuh tak berdaya. Kios-kios suvenir tutup, beberapa hotel melati dan berbintang sempat tiarap, dan tidak sedikit yang kehilangan profesi di bidang jasa ini. Salah satu yang mampu bertahan di antaranya Desa Adat Penglipuran, Bangli. Meskipun tak sepenuhnya membatasi kuantitas kunjungan turis, tetapi lestarinya adat dan tradisi membuat Penglipuran masih bertahan.

Pandemi sejatinya bisa jadi momen terbaik para pegiat mass tourism untuk mengambil napas sejenak. Kita sadar betul alam benar-benar terbukti mampu memulihkan diri ketika kunjungan wisata terhenti. Kawasan-kawasan konservasi, seperti taman nasional dan suaka margasatwa, lebih hijau daripada sebelumnya. Kualitas udara membaik. Barangkali ini menjadi catatan penting bahwa obsesi membangun kepariwisataan mestinya tidak perlu sevulgar atau sebombastis itu.

Pengembangan pariwisata yang memerhatikan daya dukung dan ramah lingkungan, sesuai konsep ekowisata, belakangan kian jadi incaran banyak orang. Sensasi kembali ke alam, beraktivitas sederhana ala masyarakat perdesaan, dan tinggal lebih lama untuk wisata yang berkualitas tampaknya telah menjadi pertimbangan penting dalam berwisata. Hal ini seperti melegitimasi kiprah seorang Nurdin Razak dan Tatak selama puluhan tahun terhadap pariwisata berkelanjutan. Jangan-jangan ecotourism, setidaknya prinsip-prinsip maupun kaidahnya, menjadi satu-satunya solusi terbaik untuk mengatasi carut-marut kepariwisataan dari hulu ke hilir.

“Menurut saya, kita masih perlu banyak belajar karena kita tertinggal jauh dari banyak sisi. Yang potensial less capital  justru tidak digarap, yang membutuhkan dana besar malah digarap. Ini lucu, karena ecotourism atau sustainable tourism tidak membutuhkan dana besar. Hanya membutuhkan pembentukan atau pembangunan pola pikir yang positif,” Nurdin menerangkan, “permasalahannya bukan di destinasinya atau apa pun di depan kita yang mau digarap, melainkan manajemen di dalam yang harus dibenahi.”

Tatak pun satu suara. Dari sudut pandang desa wisata, mereka harus membatasi bahkan menghindari pembangunan yang tidak berkelanjutan di kawasan desa wisata. “Bicara desa wisata adalah tentang integrasi segala potensi yang ada di dalamnya, membangun sinergi antara pemerintah desa, lembaga desa, pelaku wisata, dan masyarakat,” tegas pria yang juga perangkat desa itu.

Pada saatnya kita harus memiliki batasan-batasan. Di negara hukum seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan mesti menjadi payung besar untuk mengurangi ruang gerak aktivitas wisata yang tidak kreatif, latah, dan cenderung meniru. Dalam pandangan saya, ketika sebuah daerah tidak memiliki potensi lokal yang menonjol, maka tidak perlu memaksakan diri menjadi sebuah destinasi wisata baru.

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
Penulis bersama Nurdin Razak (kanan) saat praktik belajar asesmen ekowisata dan latihan wildlife photography di Taman Nasional Baluran pada Februari 2022/Jumria

Sebelum terlalu jauh, saatnya meningkatkan literasi

Saya teringat narasi berbunyi senada pada beberapa konten wisata di media sosial. Baik yang masih agak alami atau sudah terpoles gimik-gimik pemanis. Isinya terdengar seperti memuji lanskap destinasi wisata tersebut, walau sesungguhnya memiliki makna sebaliknya. Tidak kalah indah, tidak kalah keren—dan sebagainya—dengan Swiss, Belanda, Jepang, Singapura, atau negara-negara rujukan lainnya. Pertanyaannya, kalau memang tidak kalah cantik, mengapa harus membandingkan bahkan menyamai dengan wisata luar negeri?

Dalam kacamata Myra Puspasari Gunawan, pengajar dan peneliti studi kepariwisataan Institut Teknologi Bandung, seperti dilansir YouTube Neraca Ruang (23/05/2023), wisata itu tidak hanya soal kegiatan bersenang-senang. Wisata juga berfungsi sebagai sarana untuk belajar dan mengembangkan diri di destinasi yang dituju, sehingga tidak hanya foto-foto selfie. Ia mengajak kita untuk melek bahwa berwisata itu bukan sekadar pergi, memotret, dan pulang. Ada nilai-nilai baik di segala potensi atau narasi yang unik di masing-masing daerah, yang bisa memberi kesan membekas jika mau mengobservasinya lebih dalam.

Lagi-lagi ini persoalan literasi. Bukan semata membaca, tetapi berpikir kritis dan memiliki pemahaman penuh. Memperluas cara pandang terhadap dunia pariwisata. Tren wisata kekinian, termasuk bangunan buatan meniru landmark khas luar negeri, sejatinya memperkuat analisis Nurdin, Tatak, dan Myra soal rapuhnya literasi kepariwisataan kita.

Kiriman pernyataan Yayoi Shionoiri, Direktur Eksekutif Chris Burden Estate, New York di Instagram tentang pentingnya hak cipta untuk melindungi karya seniman, serta mengumumkan keputusan tindakan langkah hukum untuk menggugat tindakan plagiasi Rabbit Town, Bandung (foto kedua)

Belum lagi jika, amit-amit, konsep tiruan tersebut malah tersangkut kasus plagiarisme, seperti nasib taman hiburan dan wisata swafoto Rabbit Town, Bandung, Jawa Barat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut mereka harus membayar ganti rugi 1 miliar rupiah, mengumumkan permintaan maaf secara terbuka, dan menghapus instalasi seni Love Light karena melanggar hak cipta instalasi Urban Light karya seniman Chris Burden, yang terpajang di Los Angeles County Museum of Art, Amerika Serikat.

Jika ke-Indonesia-an itu kurang melekat dalam kepariwisataan kita, dengan segala kekayaan ragam adat istiadat dan kebudayaan melebihi keindahan alamnya, lalu harus “kalah saing” dengan simbol-simbol artifisial ala negara lain atau yang kurang bermakna, sepertinya kalimat “Indonesia is a country blessed with countless wonders. What makes this country unique is its diverse culture and magnificent nature, which should be celebrated and preserved by everyone” pada paragraf pertama tentang informasi slogan “Wonderful Indonesia”, yang termuat di situs resmi indonesia.travel milik Kemenparekraf, perlu ditelaah kembali.

Sampai kapan kita percaya diri dengan kelatahan wisata tiruan ini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan? appeared first on TelusuRI.

]]> https://telusuri.id/tren-latah-wisata-tiruan-di-indonesia-sampai-kapan-bertahan/feed/ 4 39222 Geliat Ekowisata Desa Santuun https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/ https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/#respond Tue, 31 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36980 Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri,...

The post Geliat Ekowisata Desa Santuun appeared first on TelusuRI.

]]>
Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri, dikelilingi hutan dan alam yang masih hijau dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di tengah maraknya perkembangan desa menjadi desa wisata, para pemuda Desa Santuun pun ingin membangun desanya menjadi tempat wisata yang terkenal di Kalimantan Selatan. TelusuRI berkesempatan mewawancarai salah seorang pemuda penggagas desa wisata yakni Hairul Rizky, ketua kelompok sadar wisata Desa Santuun.

Desa Santuun semula seperti desa-desa lainnya, orang-orang hidup dari bertani dan berladang. Semenjak potensi wisata desa ini mulai wara-wiri di media sosial, orang-orang mulai ramai mengunjungi desa ini, mengisi rasa penasaran akan wisata air terjun yang viral. Rizky dan kawan-kawan yang melihat fenomena ini kemudian mencoba mengelola dan mempromosikan spot-spot wisata di desa. Kemudian, seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang tertarik mengunjunginya.

Kami mempromosikan itu (Desa Santuun) tahun 2019. Melihat potensi yang ada di sini, yang kaya akan potensi wisatanya, habis itu diposting di media sosial dan banyak orang tertarik ke sini,” ungkap Hairul.

desa santuun
Santuun yang masih asri membawa pada petualangan yang seru/Hairul Rizky

Ada sekitar 13 spot wisata yang ada di desa ini: Batu Tungku, Sungai Bura, Air Terjun HTI, Goa Batu Kumpai, Kebun Kopi, Gunung Batu Kumpai, Lok Lua, Tampirak Lokagung, Situs Peninggalan Jepang, Rukit Batu Tinggi, Riam Batu Tinggi, Bukit Pa’asahan, dan Tebing Pa’asahan.

Air Terjun HTI adalah salah satu spot yang paling sering dibicarakan orang-orang. Dengan air jernih dan ketinggian sekitar 7 meter, orang-orang dari Tanjung atau bahkan Banjarmasin rela mengunjunginya meski berjarak hampir 250 kilometer dari Ibukota Kalimantan Selatan tersebut. Air terjun ini juga menjadi pemberitaan media-media lokal dan dikatakan bahwa air terjun ini “terasa sangat nyaman sebagai tempat berenang”.

Meskipun sudah lumayan terkenal pada waktu itu, kondisi jalan menuju desa atau lokasi wisata masih tidak nyaman. Apalagi akses ke air terjun yang harus melewati jalan tanah yang berlumpur. “Sebenarnya, jalan [ke desa] tidak semua bagus, ada sekitar 80% lah, ada yang belum disemen. Kalau jarak dari Tanjung itu ke Santuun sekitar 1,5 jam, 20 menit terakhir paling yang jalannya agak rusak, banyak batu-batu,” ucap Hairul.

Inisiasi wisata di desa ini tidak lepas dari usaha anak-anak muda yang tergabung di komunitas pecinta alam setempat, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), dan kelompok dari KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial). Untuk kelompok yang terakhir disebut, merupakan amanat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk desa-desa yang memiliki hutan agar mampu mengelola hutan mereka. Soal wisata di Santuun, semua pihak terlibat aktif mendukung berjalannya ekowisata. Ada sekitar 15 orang pemuda yang berkecimpung mengurus wisata di desa, dengan rentang usia 17 hingga 20-an ke atas.

Konsep ekowisata yang mereka usung adalah tidak mengizinkan adanya sampah wisata yang masuk ke dalam desa. Hal ini untuk meminimalisir desa ini dari timbunan sampah hasil wisatawan seperti di tempat-tempat wisata pada umumnya.. 

Ada cerita menarik yang disampaikan Hairul saat merintis desa ini menjadi desa wisata. “Pada saat merintis ke puncak Batu Kumpai itu, kami tidak berharap untuk orang masuk ke sini (berwisata). Kami tidak mengharapkan imbalan, tapi ada yang tidak membayar, ada juga yang membayar lebih, semisal 15 ribu, ini diberi 50 ribu. Jadi ketika kami tidak minta imbalan, orang justru memberi lebih.” 

Setelah sudah dikelola, para pengurus menetapkan karcis masuk sebesar 15 ribu rupiah, sudah termasuk tarif parkir hingga pemandu sampai ke puncak.

  • Desa Santuun
  • Tempat kemping di Santuun
  • gua

Dalam upaya membekali Hairul dan kawan-kawan pengetahuan mengelola desa wisata, mereka mendapatkan kesempatan studi banding ke Sukabumi, tepatnya Tanakita bersama Dinas Kehutanan. Selama di sana mereka mempelajari bagaimana dan apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan desa berbasis ekowisata. Setelahnya, mereka jadi banyak tahu cara mengelola desanya.

“Pambakal (kepala desa) sampai camat sudah mendukung [wisata di Santuun].”

Rupanya baru setahun setelah dikelola, pandemi yang kala itu sedang ganas-ganasnya di Wuhan turut mendatangi negeri ini. Otomatis, sebagai tempat wisata, Desa Santuun menghentikan segala kegiatan wisata. Penutupan ini berlangsung cukup laman hingga dibuka kembali Idulfitri tahun 2022. Selama vakum dan kembali buka.

“Biasanya pencatatan kunjungan per tiga bulan. Catatan kunjungan tertinggi pada Hari Raya Idulfitri kemarin (2022), sekitar 213 orang yang ke sini,” ungkap Hairul

Pembangunan secara bertahap kemudian berlangsung demi memudahkan para wisatawan yang ingin menghabiskan waktu lebih lama di Desa Santuun. Mereka memanfaatkan rumah para warganya menjadi penginapan sederhana. Konsep seperti ini umum di desa-desa wisata, selain menguntungkan warga, juga bisa menjalin relasi yang lebih dalam dari sekedar pemilik bisnis-konsumen. 

“Kami menyediakan camping ground, atau bisa menginap di rumah-rumah warga atau di sekre, tapi yang paling utama itu disarankan camping ground. Soalnya, tempatnya dekat dan strategi untuk menuju ke wisata-wisata lain,” terang Hairul.

Kesulitan desa-desa terpencil yang ingin menjadi desa wisata sudah pasti ada di dana. Sama halnya dengan Desa Santuun yang agak kesulitan dalam dana pembangunan pariwisata, yang tentunya harus dibagi lagi dari dana penerimaan desa. 

“Kalau untuk pembangunan [desa] ini pastinya dana. Keterlambatan dana itu jadi juga terlambat pembangunan di wisatanya. Infrastruktur jalannya juga belum 100% baik untuk menuju ke tempat wisata. Kalau ada acara-acara, kita minta sponsornya ke CSR perusahaan, semisal baru-baru ini ada event kreasi bivak.” tutupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Geliat Ekowisata Desa Santuun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/feed/ 0 36980
Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/ https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/#respond Thu, 12 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36854 Namanya Rifqy Faiza Rahman, seorang penulis dan pegiat pariwisata. 13 tahun yang lalu, dirinya mungkin tidak akan menyangka memilih jalan ini sebagai titian hidup. Pariwisata dan perjalanan adalah ruh yang menghidupkannya untuk terus belajar dan...

The post Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Rifqy Faiza Rahman, seorang penulis dan pegiat pariwisata. 13 tahun yang lalu, dirinya mungkin tidak akan menyangka memilih jalan ini sebagai titian hidup. Pariwisata dan perjalanan adalah ruh yang menghidupkannya untuk terus belajar dan berkelana. Dengan label “Papan Pelangi”, ia terus menulis di berbagai media, dan mendalami ekowisata sebagai jati dirinya di dunia pariwisata.

Saat usia tiga tahun, ia harus ikut bapaknya ke Sidoarjo—karena suatu alasan—hingga lulus SMA. Bakat jalan-jalannya sudah terendus semenjak kecil, kala ia harus ikut mudik ke Pacitan setiap lebaran maupun libur panjang. Jarak tempuh yang berkisar 275 kilometer inilah yang jadi cikal bakal dirinya menggemari perjalanan. 

Saat berkuliah, ia memilih jurusan Agribisnis di Universitas Brawijaya. Selama berkuliah, kegemarannya jalan-jalan semakin tersalurkan kala ia menyukai aktivitas naik gunung dan bertemu teman-teman yang hobi touring, budaya, hingga masalah sosial. Meskipun ia bukan seorang anak mapala, kecakapannya soal mountaineering ia dapat dari teman-teman perjalanannya, yang secara rutin menjelajah gunung-gunung yang ada di Jawa. Naik gunung adalah obat dari suntuknya rutinitas kaum urban, begitu pula Rifqy semasa kuliah. Secara khusus, Rifqy tipikal orang yang kurang menyukai destinasi populer. Sesekali, iya. Tapi dia lebih menyukai untuk tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu dan menggali cerita.

semeru
Kala mendaki Semeru di tahun 2012/Rifqy Faiza Rahman

Kota Malang, tempat ia menuntut ilmu selama beberapa tahun, menjadi tempat yang tepat baginya untuk berkembang. Dari kota yang selama ini terkenal dengan destinasi wisata populer—orang menyambanginya untuk sekedar berlibur atau menghabiskan akhir pekan—kemudian tercetuslah ide bisnis pariwisata.

“Anak-anak mahasiswa bisa nih nyari duit sambilan dari pariwisata,” pikirnya saat itu. Dengan pengalaman naik gunung dan tekad untuk mendapatkan uang tambahan, ia berhasil menjalankan usaha pertamanya. Di tahun itu, 2015, segala sesuatu sudah tampak lebih terang baginya, meskipun pariwisata yang ia kenal masih sebatas pariwisata umum. 

Kemampuan berkelananya kemudian juga disokong dengan kemampuan menulis, yang ia tekuni semenjak SMA melalui blogging. Menulis, tidak hanya bisa menyampaikan gagasan mengenai alam pikirannya yang sudah berkelindan dengan budaya yang plural, tetapi juga menjadi penyokongnya untuk mendapatkan pengalaman menulis yang lebih paripurna, plus apresiasi berupa uang. 

Ia mengasah kemampuan menulisnya dengan banyak mengirimkan tulisan di berbagai media seperti majalah penerbangan, koran-koran, dan media daring. Kalau soal tulisan perjalanan, Rifqy memfavoritkan tulisan-tulisan di National Geographic, terutama tulisan dari Pico Iyer dan Mark Jenkins; yang menurutnya tidak hanya sekedar membagikan tips-tips perjalanan, tetapi lebih personal; menyajikan cerita dari sudut pandang yang semestinya.

Kenapa “Papan Pelangi”? Pemilihan nama pena ini sebenarnya dari kebingungan dia. Mau menggunakan nama sendiri rasanya kurang menjual. Terbesitlah pemikiran filosofis di kepalanya. Dia mengandaikan Indonesia sebagai rumah—dengan kata lain papan—tempat beraktivitas, tempat hidup, dan tempat hingga akhir hayat. Sedangkan pelangi adalah perlambangan kemajemukan negara Indonesia—di luar konteks LGBT pada masa sekarang.

Perubahan Memandang Pariwisata

Apa yang menjadi perubahan terbesar dalam memandang pariwisata? Rifqy bercerita saat di NTT, tepat sebelum wisuda, dia mendapatkan “pencerahan” dalam pengetahuan pariwisata. Menurutnya, pariwisata di Indonesia, kebijakan-kebijakannya masih mengarah ke mass tourism. Perkembangan media sosial yang drastis, cukup untuk melabeli kawasan wisata sebagai “viral”, “populer”, atau “trending”. Spot foto berbentuk hati dan atraksi wisata yang diada-ada adalah hal yang konyol. “Ini adalah sisi buruk dari pariwisata,” jelas Rifqy.

Rifqy sempat berkarir di salah satu instansi sebelum akhirnya pandemi menyergap, dan memberi dia waktu untuk belajar ekowisata. “Sejak lama sebenarnya aku sudah kenal dengan salah satu pakar ecotourism, namanya Pak Nurdin Razak. Beliau itu mantan dosen pariwisata Universitas Airlangga, Surabaya, yang sekarang mengelola penginapan berbasis lingkungan, Baluran Eco Lodge,” paparnya. Pak Nurdin Razak adalah salah satu pemain utama ecotourism di Jawa Timur dan sedikit di antara pelaku ecotourism di Indonesia. 

Rifqy kemudian menimba ilmu langsung dengan Pak Nurdin di Situbondo. Setelah beberapa kesempatan, Rifqy mulai yakin memilih ekowisata sebagai way of life in tourism. Akhirnya, mereka berkolaborasi dalam mengadakan paket ekowisata.

“Saya diizinkan untuk menjual paket beliau, tapi juga saya ingin punya signature sendiri, makanya pertengahan tahun ini (2022) saya pindah ke Magelang dan membangun paket ekowisata di sekitar Borobudur.”

“Sampai saat ini, hampir belum ada sih yang khusus main di ecotourism (di sekitar Borobudur),” tambahnya.

Dalam menjalankan usaha ekowisata, Rifqy berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat di sekitar destinasi pariwisata bukan hanya, objek tapi juga aktor yang perlu pendampingan dan pemberdayaan. Perannya sebagai penulis lantas memudahkannya untuk menyuarakan tentang pariwisata berkelanjutan. Ia sebisa mungkin ingin ikut aktif dalam menyuarakan pariwisata dengan model yang lebih ramah lingkungan. 

“Pariwisata ini udah hampir jenuh. Beberapa tempat kayak Bali, ada jurnal penelitian yang menulis bahwa Bali terancam menjadi the destination of yesterday,” tuturnya. Benar saja, Andrew Marshell dalam salah satu artikel di majalah Time terbitan April 2011, menyebut Bali adalah tempat berlibur yang serasa “neraka”, sebabnya: sampah yang sudah tidak dapat ditolerir, kemacetan yang semakin membludak, dan limbah industri yang mempengaruhi kualitas air dan tanah. Belum lagi video seorang warga asing yang sedang berselancar di laut yang dipenuhi sampah yang sempat viral. Akankah keindahan Bali hanya menjadi cerita bagi generasi mendatang?

Dalam manajemen trip, ia mengakui bahwa banyak belajar dari naik gunung. Naik gunung, menurutnya bukan hanya sekedar olahraga alam bebas. Medan yang relatif ekstrim membuat para peminatnya harus mematangkan segala sesuatu sebelum eksekusi. Untuk itu, manajemen yang baik diperlukan agar keberangkatan dan kepulangan berbuah keselamatan. Selain praktik manajemen, ia merasa naik gunung bisa lebih membuka pikiran dan menurunkan ego.

“Orang bilang kalau naik gunung itu kelihatan teman-teman kita sifat aslinya, itu dibutuhkan jiwa kepemimpinan dan keterbukaan hati, supaya dalam perjalanan berangkat dan pulangnya dengan selamat. Soal foto dan konten, itu bonus.”

Ketika saya bertanya kemungkinan jalan lain yang ia pilih selain berkecimpung menjadi seorang praktisi ekowisata, Rifqy tertawa renyah.

“Tertarik buat jadi dosen nggak?”

“Kalau saya menjadi dosen, entahlah. Saya aja sekolah S1 molor,” diiringi gelak tawa yang membahana, “tapi mungkin tetap akan mengambil S2, tapi dengan tujuan memperkuat praktik. Nggak harus jadi dosen, biar luwes.”

Rifqy mulai memanggil kembali ingatannya kala berkuliah. Di mata dosen-dosennya, Rifqy termasuk “bandel”. Waktu pengerjaan skripsi yang lama membuat para dosen bertanya-tanya, “mau lulus atau nggak sih?” Tapi ada beberapa dosen yang kemudian mengerti alasan keterlambatannya mengerjakan skripsi.

“Oh, mungkin si Rifqy ini passion-nya menulis, di pariwisata. Ada minat yang sangat besar di situ,” kenangnya menirukan ucapan dosen. Kemudian dosennya menyarankannya untuk segera lulus agar bisa lebih fokus mengerjakan apa yang ia gemari. Terbaru, Rifqy diundang para dosennya untuk menjadi konseptor pengabdian masyarakat yang mengarah ke ekowisata. 

bersama mentor
Bersama sang mentor, Nurdin Razak/Rifqy Faiz Rahman

“Yang bikin saya senang adalah dosen saya mengapresiasi saya, memberikan tempat pada saya bahwa ‘ini loh ada lulusan UB yang konsisten di jalurnya’. Mungkin dunia saya di sini.”

Tantangan yang dihadapi Rifqy dalam menjalani hidup di “jalan” ekowisata dan menulis adalah konsistensi. Seberapa kuat bisa memegang komitmen di awal, dan seberapa konsisten dalam pembuatan program. Tiap hari, ia harus terus mengasah kreativitas untuk selalu menemukan hal-hal baru untuk dieksplorasi. “Konsisten adalah yang benar-benar berat, aku rasa.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/feed/ 0 36854
Meneropong Tren Pariwisata 2023 https://telusuri.id/meneropong-tren-pariwisata-2023/ https://telusuri.id/meneropong-tren-pariwisata-2023/#respond Sat, 03 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36442 Semarak kegiatan pariwisata sudah mulai kembali bergelora di Indonesia. Setelah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai dilonggarkan, tempat-tempat wisata yang sempat tutup sekian lama, kembali menerima pengunjung dan semakin ramai di kala hari libur. Di...

The post Meneropong Tren Pariwisata 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Semarak kegiatan pariwisata sudah mulai kembali bergelora di Indonesia. Setelah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai dilonggarkan, tempat-tempat wisata yang sempat tutup sekian lama, kembali menerima pengunjung dan semakin ramai di kala hari libur. Di 2022, pariwisata Indonesia mulai bergerak cepat dari tahun sebelumnya, BPS mencatat kenaikan yang fantastis pada periode Januari-April 2022 sebesar 1.730.043 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, naik sebesar 2028,65 persen dibanding tahun lalu dalam periode yang sama. Demikian juga dengan Tingkat Penghunian Kamar Hotel (TPK), baik berbintang maupun non bintang mengalami kenaikan masing-masing sebesar 47,38 persen dan 23,69 (year on year).

Gunung Api Purba Nglanggeran
Pemandangan dari salah satu kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (TEMPO/Suryo Wibowo)

Dalam keterangan pers yang dilansir dari Antara dalam The Weekly Brief with Sandi Uno, Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2023 sebesar 3,5 juta-7,4 juta kunjungan, dua kali lipat dibanding target pada 2022. Meskipun resesi di depan matanya, dirinya akan menyiapkan rantai pasok dari sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dan memperkuat UMKM. 

Banyak laporan yang menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi di beberapa negara akan menyeret negara-negara lainnya jatuh dalam jurang resesi, termasuk Indonesia. Sektor pariwisata menjadi salah satu yang terancam, namun Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif masih meyakini Indonesia tidak akan masuk ke jurang resesi. Caranya adalah dengan menargetkan membuka lapangan pekerjaan hingga 4,4 juta di 2024, termasuk di dalamnya adalah UMKM dan ekonomi kreatif.

“Konon pada 2023 ekonomi gelap, namun kita sudah beberapa kali melewati krisis, kita harus kembali kepada ekonomi dalam negeri, ekonomi kita dan yang harus didorong adalah ekonomi kreatif yang sudah terbukti pertumbuhannya meski pada masa pandemi, lebih tinggi dari ekonomi nasional,” ungkap Sandi, yang dilansir dari CNBC. Dukungan langsung dari pemerintah ini penting, sebab optimistis menyongsong tahun penuh ketakutan ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.

Lalu, apa saja yang akan menjadi tren pariwisata pada tahun 2023?

Dilansir dari Booking.com, berdasarkan hasil survei mereka yang dilakukan di 32 negara bersama 24.179 orang, yang dilakukan secara daring untuk melihat apa saja creative reimagination of travel 2023. Ada beberapa hal yang bakal terjadi pada tren pariwisata 2023 seperti: preppers in paradise (liburan kembali ke keheningan), virtual voyagers (penjelajah wisata di metaverse), delight in discomfort zone (bepergian ke tempat yang benar-benar asing), glamorizing good the old days (perjalanan nostalgia), peace and pleasure pilgrimages (para penjelajah kedamaian), from daily grind to great company escape (berlibur sambil bekerja), saving to splurge (investasi untuk liburan). Dari daftar di atas, ada kecenderungan para wisatawan untuk memilih tempat yang anti mainstream yang mengusung konsep serenity, sustainability, spirituality.

ekowisata mangrove Bedul
Tempat yang sepi dan jauh dari gemerlap dunia turistik adalah kegemaran wisatawan zaman sekarang (TEMPO/Ika Ningtyas)

Senada dengan survei di atas, Hanif Andy, selaku co-founder Desa Wisata Institute, berpendapat bahwa pilihan destinasi pada 2023 akan mengerucut menjadi ekowisata; yang mengusung konsep keberlanjutan dan keseimbangan ekologi, juga destinasi dengan konsep integrasi alam, budaya, dan buatan seperti di desa-desa wisata. Adapun gaya berwisata di 2023 semakin menunjukkan ketertarikan orang-orang akan isu lingkungan.

“Berusaha untuk menjadi wisatawan yang bertanggung jawab, dengan membawa perlengkapan/alat yang ramah lingkungan dan menggunakan akomodasi yang mengusung konsep green architecture,” lanjutnya. 

Ditambah lagi dengan maraknya penggunaan dompet digital, yang akan meminimalisir interaksi dengan benda fisik atau less touch, juga banyak kelompok yang akan menghindari lokasi-lokasi yang bersifat mass tourism dan akan memilih menjadi kelompok-kelompok kecil guna mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Meskipun lokasi-lokasi mass tourism bakal tetap banyak menarik minat pengunjung, tetapi kawasan-kawasan kecil yang lebih sepi akan mempunyai pangsa pasarnya tersendiri.

Digital nomad, sebagai bagian dari kelompok kecil para pejalan mandiri yang mulai merebak saat pandemi berlangsung, juga mulai dilirik oleh pemerintah untuk menarik magnet turis asing mengunjungi Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berencana menerbitkan visa khusus para digital nomad untuk memudahkan mereka bekerja dari Indonesia demi merealisasi target kunjungan wisatawan mancanegara.

  • Terumbu karang
  • Desa Ambulu
  • Ekowisata Bekantan

Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak pemanasan global yang dirasakan semua orang, juga berdampak pada pola pikir para pejalan yang mulai semakin beralih kepada green travel; mulai dari hal-hal kecil seperti membawa peralatan makan dan minum sendiri, menghabiskan makanan, dan tebus emisi setelah berlibur. Tren pariwisata yang berkembang pada 2022 seperti wisata minat khusus maupun kunjungan ke desa-desa wisata, kemungkinan besar akan terus berlanjut dalam skala yang lebih besar pada tahun 2023.Hal ini kemudian diolah oleh banyak desa wisata untuk menawarkan paket wisata dengan kegiatan yang eco-friendly, yang menyajikan kegiatan yang menjurus kepada pemeliharaan lingkungan seperti penanaman mangrove, penanaman terumbu karang, pengolahan limbah rumah tangga, dan pengelolaan lingkungan tanpa sampah plastik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meneropong Tren Pariwisata 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meneropong-tren-pariwisata-2023/feed/ 0 36442