ekspedisi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ekspedisi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 27 May 2024 08:20:09 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 ekspedisi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ekspedisi/ 32 32 135956295 Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru https://telusuri.id/ekspedisi-maluku-barat-daya-2024-mencari-yang-hilang-menemukan-yang-baru/ https://telusuri.id/ekspedisi-maluku-barat-daya-2024-mencari-yang-hilang-menemukan-yang-baru/#respond Mon, 27 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42028 Nico de Jonge dan Toos van Dijk, dua orang antropolog berkebangsaan Belanda, sekaligus duet penulis Forgotten Islands of Indonesia: The Art & Culture of the Southeast Moluccas (1995), telah lama menyatakan kepulauan di Maluku Barat...

The post Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru
Koloni Porites sp. yang diperkirakan mencapai usia hingga 258 tahun via WWF-Indonesia/Taufik Abdillah

Nico de Jonge dan Toos van Dijk, dua orang antropolog berkebangsaan Belanda, sekaligus duet penulis Forgotten Islands of Indonesia: The Art & Culture of the Southeast Moluccas (1995), telah lama menyatakan kepulauan di Maluku Barat Daya (MBD) sebagai “The Forgotten Islands” karena letaknya yang terisolasi, akses terbatas, serta minim sumber literatur yang membahasnya. Maluku Barat Daya, yang 88 persen wilayahnya berupa laut, menyimpan harta karun yang luar biasa: baik keanekaragaman hayati maupun budaya maritim. Akan tetapi, masih banyak wilayah di kawasan tersebut yang belum dipetakan secara utuh, sehingga memerlukan kajian saintifik yang intensif dan spesifik.

Tahun ini WWF-Indonesia melaksanakan ekspedisi keanekaragaman hayati laut di Kawasan Konservasi Mdona Hiera, Lakor, Moa dan Letti di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku untuk mendata berbagai macam hal, seperti usia koloni karang, kipas laut, dan spons; E-DNA metabarcoding; potensi pemijahan ikan; pengamatan mangrove. Juga, pengamatan spesies laut dengan BRUV (Baited Remote Underwater Video), pengamatan melalui citra drone, dan melihat indikasi habitat penyu serta hasil tangkapan utama dan sampingan.

Ekspedisi yang berlangsung pada 8–12 Mei 2024 tersebut juga didukung oleh lintas instansi daerah hingga pusat. Di antaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Barat Daya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bionesia Indonesia, dan TNI Angkatan Laut. Pengamatan dilakukan di sekitar Pulau Metimarang dan Pulau Luang.

Proses penurunan BRUV untuk memantau spesies yang ada di sekitaran Kawasan Konservasi Mdona Hiera via WWF-Indonesia/Rizky Erdana

Menemukan Beragam Kehidupan dan Penyadaran Tradisi Lokal

“Dari hasil laporan sementara, koloni karang tertua yang ditemukan diperkirakan berumur hampir 400 tahun, sedangkan gorgonian atau kipas laut ditemukan hingga 32 tahun dan sponge dari jenis Xestospongia Sp. ditemukan berusia hingga 69 tahun. Ini membuktikan kekayaan alam sekitar Pulau Metimarang dan Luang yang diduga merupakan gunung berapi pada masa lalu dan telah membentuk terumbu karang atol dengan koloni-koloni karang yang cukup tua dan masih hidup hingga saat ini,” ujar Erdi Lazuardi, Koordinator Nasional untuk Marine Science and Knowledge Management WWF-Indonesia.

Tidak hanya itu. Tim WWF-Indonesia juga melakukan identifikasi lokasi pemijahan ikan (Spawning Aggregation Sites/SPAGs) untuk melihat titik-titik yang berpotensi menjadi tempat pemijahan ikan kerapu dan kakap. Ikan kerapu dan kakap adalah harapan hidup orang-orang di Metimarang. Sejak dahulu, ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi; baik dijual dengan diasinkan ataupun dijual hidup. Kehilangan ikan tersebut dalam jumlah banyak tentu mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat Metimarang.

Pemantauan tidak sekadar dilaksanakan secara langsung dengan menyelam, tetapi juga mewawancarai beberapa pengepul ikan kerapu hidup dan nelayan Pulau Metimarang untuk memastikan keakuratan data. Sembari menyelam, tim juga mengumpulkan sampel, baik dari air laut maupun menggunakan metaprobe untuk mengidentifikasi berbagai organisme bawah laut melalui uji environmental DNA atau E-DNA. 

Pemantauan menggunakan BRUV dilakukan di 23 titik pada kedalaman 7–70 meter. Meskipun embusan angin memperkuat gelombang dan juga arus, hal tersebut tidak menyurutkan tim WWF-Indonesia menurunkan kamera pemantau di dalam laut maupun secara aerial. Tujuannya untuk melihat pergerakan spesies di laut sekitar Pulau Metimarang dan Pulau Luang, seperti hiu, dugong, pari, lumba-lumba, dan penyu. 

Selain itu, WWF-Indonesia juga melakukan survei terkait habitat penyu dan tangkapan sampingan para nelayan. Menurut penuturan warga, mereka kerap kali melihat penyu, baik saat di pantai untuk bertelur ataupun di laut ketika mereka mencari ikan. Di MBD, penyu masih sering mereka konsumsi pada waktu tertentu, seperti pesta adat atau perayaan personal. Bagaimana dengan spesies ETP (Endangered, Threatened and Protected) yang tidak sengaja tertangkap?

“Semua yang tertangkap, kami bawa untuk dimakan,” ucap salah seorang warga saat diwawancarai tim WWF-Indonesia.

“Bahwa untuk mengurangi tradisi konsumsi penyu yang sudah mendarah daging, perlu edukasi dan ‘penyadartahuan’ agar masyarakat yang awalnya memburu penyu menjadi pelindung penyu. Tentu butuh waktu yang tidak sebentar,” ucap Yuliana Syamsuni, tim species WWF-Indonesia. Tim juga berhasil menyelenggarakan Pelatihan BMP (Best Management Practices) Penanganan Spesies Laut Dilindungi dan Terancam Punah Pada Hasil Tangkapan Sampingan kepada 12 masyarakat nelayan di Dusun Metimarang.

Pemantauan juga dilaksanakan pada area lamun di timur atol Metimarang yang disinyalir menjadi tempat terlihatnya dugong. Tempat menjadi lahan hidup beberapa jenis lamun, seperti Thalassodendron ciliatum dan Halophila ovalis yang merupakan pakan alami para dugong. Sayang sekali, dalam pemantauan tersebut tim WWF-Indonesia belum dapat menemukan dugong secara langsung, meskipun dugong sempat terpantau pada ekspedisi tahun 2022.

Di bagian selatan dari Pulau Metimarang, luasan mangrove tercatat berkisar 11,69 hektare dan ditumbuhi oleh 13 jenis mangrove. Mulai dari Avicennia alba hingga Sesuvium portulacastrum. Adapun di bagian utara juga tercatat 13 jenis yang sama, dengan luasan 11,04 hektare

Bluewater Mangrove di sini merupakan mangrove yang unik. Tidak seperti mangrove pada umumnya yang tumbuh pada lahan lumpur, ini langsung tumbuh di substrat pecahan karang dan air jernih, serta dari 13 spesies mangrove, di antaranya tiga spesies rentan dan terbatas distribusinya, yaitu Rhizophora stylosa, Sonneratia ovata dan Pemphis acidula,” ujar Muhammad Faisal Rachmansyah, peneliti mangrove yang ikut ambil bagian dalam tim. Selain berfungsi sebagai ecosystem services, bluewater mangrove di Pulau Metimarang bisa menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat Pulau Metimarang dari pemanfaatan buahnya dan kemungkinan pengembangan wisata snorkeling.

Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru
Selama ekspedisi berlangsung, tim juga mengumpulkan sampel air laut untuk memperoleh E-DNA via WWF-Indonesia/Syauqi Tuasikal

Pelaporan dan Rencana Diseminasi Hasil Ekspedisi

Hasil laporan sementara ekspedisi ini telah dipresentasikan di hadapan 30 orang yang terdiri dari perwakilan dinas perikanan, asisten sekretaris daerah, dinas pariwisata, dinas lingkungan hidup, Kantor Cabang Dinas Gugus Pulau 11, dan Bappedalitbang pada tanggal 13 Mei 2024 di Aula Hotel Golden Nusantara, Tiakur, Wakarleli, Maluku Barat Daya.

Dalam acara tersebut, Yafet Lelatobun, Asisten III Bidang Administrasi Pemerintahan Setda Kabupaten MBD, menyatakan ucapan terima kasih serta dukungan untuk ekspedisi ini. Dia mengharapkan semua pihak bahu-membahu untuk menyelenggarakan kawasan konservasi di daerah Maluku Barat Daya.

“Semua wilayah laut di MBD ini adalah tanggung jawab kita untuk mengelolanya agar bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada,” ucapnya.

Selanjutnya, setelah analisis lengkap dan laporan selesai, akan dilakukan diseminasi hasil ekspedisi guna memperkuat regulasi dan rekomendasi untuk peraturan perikanan tangkap dan tata kelola kawasan konservasi di Maluku Barat Daya, khususnya meliputi Kawasan Konservasi Mdona Hiera, Moa, Letti, Lakor. Keberadaan kawasan konservasi diharapkan tidak hanya untuk perlindungan keanekaragaman hayati lautnya, tetapi juga bisa memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekspedisi Maluku Barat Daya 2024: Mencari yang Hilang, Menemukan yang Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekspedisi-maluku-barat-daya-2024-mencari-yang-hilang-menemukan-yang-baru/feed/ 0 42028
Bibit-bibit Tanaman untuk Kampung Rufases dan Seya https://telusuri.id/bibit-bibit-tanaman-untuk-kampung-rufases-dan-seya/ https://telusuri.id/bibit-bibit-tanaman-untuk-kampung-rufases-dan-seya/#respond Fri, 25 Dec 2020 10:19:14 +0000 https://telusuri.id/?p=25975 Pagi, 5 November 2020, saat ayam jantan dan burung-burung di hutan sedang berbincang, dari rumah dan jalan-jalan berlapis pecahan karang dan batu gunung, terdengar teriakan manusia, “Rai neroakh berut rae megasbo!” Artinya: “Mari semua kumpul!”...

The post Bibit-bibit Tanaman untuk Kampung Rufases dan Seya appeared first on TelusuRI.

]]>
Maybrat, Raja AmpatPagi, 5 November 2020, saat ayam jantan dan burung-burung di hutan sedang berbincang, dari rumah dan jalan-jalan berlapis pecahan karang dan batu gunung, terdengar teriakan manusia, “Rai neroakh berut rae megasbo!” Artinya: “Mari semua kumpul!”

Teriakan-teriakan itu berhasil mengumpulkan beberapa orang dari Kampung Rufases, yang kemudian berjalan mendekat ke Kampung Seya. Kedua kampung itu memang bersebelahan saja. Hari itu, pukul 10.00 WIT, akan ada kegiatan bersama Tim Ekspedisi di depan rumah Bapak Kepala Kampung Seya. Sudah jadi kebiasaan di kedua kampung itu untuk berteriak memanggil warga jika ada kegiatan, sebagai pengganti pelantang. 

Kedua kampung ini termasuk baru di Distrik Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Meskipun penataan lahannya sudah dilakukan sejak 2010, baru 2015 keduanya dibangun dengan Dana Desa. Perjuangan para pionir membangun kampung tak bisa dibilang mudah. Komunitas itu sudah berpindah tempat lebih dari sepuluh kali. Tempat terakhir kali mereka bermukim, sebelum di lahan sekarang, selain terlalu sempit untuk dikembangkan, juga rawan longsor.

Moses Nauw, tokoh kampung, bertutur bahwa salah satu alasan dipilihnya lokasi ini sebagai lahan permukiman adalah soal sejarah. “Dulu penyebaran injil setelah dari Ayamaru adalah di tanah ini. Untuk itu kami kembali lagi untuk membangun tanah ini,” jelasnya. Jarak yang hanya sekitar 3 km dari sumber air juga menjadi alasan. Tapi untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari, kampung ini lebih mengandalkan langit. Karena itulah hampir di setiap rumah ada bak terpal sederhana untuk menampung air hujan.Maybrat, Raja Ampat

Topografi Distrik Mare yang berbukit-bukit membuat akses menuju kampung ini cukup sulit. Orang-orang mesti siap-siap menghadapi kubangan lumpur serta tanjakan-turunan curam. Hanya mobil-mobil gardan ganda yang sanggup keluar-masuk kampung-kampung. Perlu waktu 8 jam dari Sorong untuk untuk ke Distrik Mare; sewa mobil Rp5 juta pergi-pulang. 

Acara pun dimulai. Moses Nauw memulai acara dengan sambutan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ekspedisi ini sehingga kegiatan dapat berjalan dengan lancar.

“Saya sempat mencari tahu di Google tentang EcoNusa, dan saya lihat ini bagus sekali untuk kita semua yang ada di kampung. Mereka datang untuk memberikan motivasi dan membantu petani. Jadi, kita sebagai masyarakat yang menjadi penggerak untuk melakukan,” terangnya.Maybrat, Raja Ampat

Sekitar 30 orang warga kampung kemudian mendengarkan penjabaran Utreks Hembring soal bagaimana mengolah tanah secara tepat guna, tentang pengoptimalan bibit, serta mengenai pengendalian hama. 

Dari hasil diskusi diketahui masyarakat sering melakukan ladang berpindah. Beberapa kali pula mengalami gagal panen karena hama tanaman. Mereka sudah menanam secara multikultur, mulai dari tanaman-tanaman lokal seperti ubi, singkong, dan pisang, sampai tanaman yang bibitnya diperoleh dari luar, seperti sawi, tomat, dan cabe. Dalam berladang, mereka mempraktikkan sistem tabur, dengan hanya menebarkan bibit kemudian menunggu hasilnya.  

Warga peserta penyuluhan makin antusias ketika tim ekspedisi menyerahkan dukungan berupa bibit sayuran, pupuk organik, dan alat pertanian seperti pacul dan semprotan.

Menurut Beyum Antonela Baru, relawan yang sudah 18 bulan berbaur bersama masyarakat di Distrik Mare, kedatangan bibit-bibit itu sangat membantu. Ini sudah musim tanam dan hasil pertanian dari bibit-bibit yang diserahkan EcoNusa itu dapat dipanen ketika Natal.

Wah, sebentar lagi dong panennya?


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Bibit-bibit Tanaman untuk Kampung Rufases dan Seya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bibit-bibit-tanaman-untuk-kampung-rufases-dan-seya/feed/ 0 25975
Warisan Keringat Kopi di Ambaidiru https://telusuri.id/warisan-keringat-kopi-di-ambaidiru/ https://telusuri.id/warisan-keringat-kopi-di-ambaidiru/#respond Wed, 23 Dec 2020 06:49:26 +0000 https://telusuri.id/?p=26015 “Kalau kita tidak melanjutkan tete pu keringat sebagai petani kopi, nanti dia punya arwah bisa menangis." kata Adrianus Maniamboi, petani kopi di Ambaidiru.

The post Warisan Keringat Kopi di Ambaidiru appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari Kampung Sarawandori, dua mobil bak Mitsubishi L200 penuh alat pertanian dan alat medis selain plus sebuah mobil gardan-ganda membawa Tim Ekspedisi menuju ke empat kampung, yaitu Ambaidiru, Manainin, Ramangkurani, dan Numaman. 

Semua kampung itu, sebagaimana Sarawandori, masih berada di Distrik Kosiwo, Kepulauan Yapen. Namun, jika Sarawandori berada di pesisir, keempat kampung itu terletak di Pegunungan Muman, di daerah dengan ketinggian antara 800-1.000 mdpl. Perlu waktu 2-3 jam lewat medan terjal untuk ke sana lewat medan terjal dan jalan yang banyak belum diaspal. Sekali waktu, mobil bak Tim Ekspedisi tersangkut di tengah jalan.Ambaidiru, Raja Ampat

Beberapa warga kampung dan bapak pendeta dari Sarawandori turut menemani kami. Dengan warga kampung-kampung yang akan kami datangi itu, penduduk Sarawandori masih satu kerabat sesama suku Onate.

Andi Leo Karubaba, warga kampung Sarawandori, bercerita waktu kecil dulu mereka terbiasa berjalan dari pesisir menuju permukiman di Ambaidiru. “Jalan dari jam 7 pagi sampai di atas bisa jam 8 malam,” kisahnya.

Sebelum dipecah menjadi empat kampung, wilayah itu dikenal sebagai Kampung Ambaidiru. Sejak dekade 1950-an, kopi sudah masuk ke wilayah itu dan kemudian dikenal secara luas. Selain kopi, Ambaidiru juga pemasok sayur dan buah untuk kota Serui. Kebun-kebun yang ada menggunakan pupuk dari kulit kopi; tanah mereka dikelola secara organik.Ambaidiru, Raja Ampat

Di kampung Manainin, Tim Ekspedisi bertandang ke rumah Adrianus Maniamboi. Sudah delapan bulan terakhir Adrianus menjadi bendahara KUD Rimba Kakopi Ambaidiru. Kegiatan-kegiatannya itu ia selingi dengan berkebun sayur yang hasilnya sebagian dikonsumsi dan sebagian lain dijual ke pasar.

Tahun 2017, ia lulus dari Jurusan Pertanian Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat. Alih-alih bertahan di kota, ia pulang kampung untuk menjalankan usaha pertanian kopi keluarganya. Keinginannya adalah terus menjaga kualitas kopi, bersama para petani lain di kampung.

“Kalau kita tidak melanjutkan tete pu keringat sebagai petani kopi, nanti dia punya arwah bisa menangis karena kami sebagai cucu-cucunya tra bisa jaga jati diri,” tutur Bapak dua anak itu.

Terkait dampak pandemi terhadap pertanian kopi, Adrianus mengatakan bahwa ada satu perbedaan yang terasa, yakni berkurangnya pemesanan kopi. Sebelum pandemi COVID-19, permintaan kopi bisa datang mulai dari luar Serui sampai ke Jakarta. Namun, semenjak pandemi kopi-kopi hanya dijual ke kampung-kampung di Serui.Ambaidiru, Raja Ampat

Di rumah Yafet Rawai, Kepala Kampung Manainin, Tim Ekspedisi memberikan dukungan peralatan pertanian dan bibit kepada perwakilan dari keempat kampung.

Di sana tim juga bertemu dengan Dorteis Artemes Mora, pemuda lulusan Program Studi D3 Keperawatan Kepulauan Yapen-Serui yang sekarang jadi petugas pustu di Ambaidiru. Ia bertutur, meskipun kampung masih zona hijau COVID-19, kewaspadaan terus diterapkan. Sosialisasi soal COVID-19 masih terus dilakukan sembari melakukan pelayanan dan pengobatan di tengah-tengah masyarakat.Ambaidiru, Raja Ampat

“Di sini masyarakat tidak memakai masker, tapi kami selalu ingatkan jika ke pasar atau ke kota wajib menggunakan masker.” ucapnya. 

Dengan adanya bantuan alat medis seperti APD, masker, face shield, sarung tangan, dan alat rapid test, Dorteis merasa kebutuhan pustu cukup terpenuhi. Selama ini, jumlah alat pelindung diri sangat terbatas dan utamanya tersedia hanya di puskesmas.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Warisan Keringat Kopi di Ambaidiru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/warisan-keringat-kopi-di-ambaidiru/feed/ 0 26015
Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/ https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/#respond Mon, 07 Dec 2020 08:56:51 +0000 https://telusuri.id/?p=25753 Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu. Kurabesi dijangkarkan di perairan...

The post Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu.

Kurabesi dijangkarkan di perairan utara Pulau Meos Mansar. Arus selatan yang sedang kencang tidak memungkinkan untuk membawanya berlabuh di dermaga Kampung Yenbuba. Untuk ke kampung itu, tim ekspedisi memakai perahu-motor cepat.

Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Di gerbang kampung terdapat papan bertuliskan “Untuk sementara aktivitas wisata dihentikan.” Di kirinya berdiri bangunan berdinding papan yang ternyata adalah BUMDes MART Meos Mansar. Nyaris tidak ada isinya, seolah-olah sudah sangat lama tidak digunakan. Ada dua toples permen dan beberapa gulung tisu.

Beberapa langkah kemudian ada sebuah bangunan lain yang tampaknya dijadikan sebagai pos COVID-19. Pada dinding-dindingnya tertempel informasi tentang COVID-19 serta jadwal keberangkatan kapal dari dan menuju Waisai sekaligus pemberitahuan soal standar protokol kesehatan.

Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Menggantungkan hidup pada pariwisata

Hampir 70 persen masyarakat Yenbuba menggantungkan hidup pada pariwisata. Di Kampung Yenbuba, menurut Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa, terdapat 20 homestay yang menjadi anggota PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat). Di antara seluruh pulau di Raja Ampat, Kampung Yenbuba adalah pulau dengan jumlah keanggotaan PERJAMPAT terbanyak. 

“Sebenarnya masih banyak lagi [homestay di Kampung Yenbuba]. Hanya saja [homestay-homestay itu] belum mampu memenuhi kriteria dari PERJAMPAT,” jelas Samuel.

Yacob Sauyai, Kepala Kampung Yenbuba yang juga merupakan Ketua PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat), meluangkan waktu untuk berbincang dengan Tim Ekspedisi. 

“[Pandemi ini membuat kami] harus kembali dan masuk hutan, membuat kebun. Kami harus tetap bersyukur agar ini menjadi pembelajaran. Terus bergerak untuk beradaptasi,” ujarnya. 

Rasa syukur ini oleh Pak Yacob juga ditekankan kepada 108 kepala keluarga di Kampung Yenbuba. Menurutnya orang di pulau lebih beruntung daripada mereka yang bekerja di kota. Sekarang ini orang-orang kota tidak bisa keluar rumah; punya uang tapi stress. Sementara itu masyarakat yang tinggal di pulau masih bisa ke laut untuk cari ikan dan ke kebun untuk menanam bahan makanan.

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Kampung Yenbuba terus waspada

Sebagai kepala kampung, ia merasa bahwa kebijakan-kebijakan perlu segera diambil. Masyarakat tentu banyak yang takut akibat informasi yang beredar. Itulah yang menjadi alasan kenapa posko COVID-19 didirikan dan sosialisasi terus diberikan. Kewaspadaan terhadap akses keluar-masuk menjadi pokok utama yang menjadi perhatian pemerintah kampung.

Menurut data Gugus Tugas COVID-19 Papua Barat Per tanggal 13 September 2020, di Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, sudah ada 52 kasus positif. Hal ini yang membuat kepala kampung makin khawatir dengan masyarakatnya yang sering keluar-masuk dari dan ke Waisai. Karena itu pemerintah kampung sudah siap menerapkan kuncitara dan menutup Yenbuba dari orang luar. 

Pak Yacob berkata dengan serius, “Kami tidak peduli siapa yang mau datang. Jika kita tidak ketat maka akan membahayakan masyarakat sendiri.”

“Pariwisata sekarang ini masih menjadi pertanyaan besar. Ujungnya masih belum kelihatan. Tapi kebutuhan kita ada di depan mata. Kita harus cari solusi sendiri dan tetap waspada,” ujar Pak Yacob menutup ceritanya.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/feed/ 0 25753
Bicara Corona di Arefi Timur https://telusuri.id/bicara-corona-di-arefi-timur/ https://telusuri.id/bicara-corona-di-arefi-timur/#respond Thu, 03 Dec 2020 03:30:33 +0000 https://telusuri.id/?p=25664 Setelah perjalanan 6 jam dari Sorong dengan Kurabesi, tim ekspedisi EcoNusa COVID-19 Response Raja Ampat tiba di perhentian pertama yakni Kampung Arefi Timur yang berada di Distrik Batanta Utara, Kabupaten Raja Ampat. Pagi itu, kami...

The post Bicara Corona di Arefi Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan 6 jam dari Sorong dengan Kurabesi, tim ekspedisi EcoNusa COVID-19 Response Raja Ampat tiba di perhentian pertama yakni Kampung Arefi Timur yang berada di Distrik Batanta Utara, Kabupaten Raja Ampat. Pagi itu, kami disambut oleh Fraim Dimara, Wakil Ketua Badan Musyawarah Kampung.

Sambil menunggu Samuel Wospakrik dan Matheos Yacobus Rayar, tim pendahulu yang menemui pemerintah kampung dan mempersiapkan kebutuhan kegiatan di lapangan, tim penyuluh pertanian mulai menyisihkan bantuan yang akan diberikan. Ada pupuk organik—pupuk Petro Bio, pupuk karung, pupuk cair, beragam benih sayuran, alat pertanian—cangkul, sprayer, gunting tanaman, sepatu bot, caping/topi petani, polybag, gerobak sorong, serta masker kain. Sementara itu, tim kesehatan menyerahkan bantuan berupa baju hazmat, masker medis, face shield, dan sarung tangan.

Tiba di Kampung Arefi Timur/Istimewa

Selama pandemi, aktivitas wisata di Raja Ampat lumpuh. Banyak homestay rusak karena tidak pernah ditempati. Oleh karenanya, EcoNusa pun berinisiatif memberdayakan masyarakat Arefi Timur dengan membuat 1.000 unit atap dan dinding dari daun bobo (daun nipah). 200 unit di antaranya dimanfaatkan oleh penginapan-penginapan di Arefi Timur, sedangkan sisanya dibagikan ke beberapa wilayah di Raja Ampat melalui Asosiasi Homestay Raja Ampat.

Penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan

Waktu menunjukkan pukul 8.30 WIT ketika masyarakat di Arefi Selatan dan Arefi Timur berkumpul di sebelah kantor kampung untuk mengikuti penyuluhan kesehatan. Dokter Lalu Rahmat Yuanda Aji (Dokter Nanda) dibantu oleh Destyana (perawat) menjelaskan tentang COVID-19 serta pentingnya menjaga kebersihan diri dalam situasi pandemi. Cara mencuci tangan dan alasan menggunakan masker pun dijelaskan secara sederhana agar dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat Arefi Timur.

Antusiasme warga tercermin dari banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan seputar COVID-19. Di antara banyak pertanyaan itu, ada dua yang paling menarik. Pertama, ada yang bertanya soal kebenaran informasi bahwa berjemur di bawah matahari adalah anti-corona alami. Kedua, ada yang menanyakan apakah COVID-19 adalah penyakit dari Rusia. Semuanya dijawab secara jelas oleh Dokter Nanda.

Pengecekan bantuan kesehatan/Istimewa

Menurut Verson Rumbewas, salah seorang warga yang ikut serta dalam penyuluhan kesehatan, kegiatan ini belum pernah ada di Kampung Arefi Timur. Masyarakat mendapat informasi tentang bahaya corona hanya dari berita-berita dan pemberitahuan yang mereka terima ketika sedang berkunjung ke Sorong. Namun, penjelasan rinci terkait corona masih minim sekali.

Usai penyuluhan kesehatan, EcoNusa COVID-19 Response Expedition menggelar pemeriksaan kesehatan secara gratis. Kantor pemerintah kampung disulap menjadi klinik kesehatan dan apotek.

Menurut Dokter Nanda, masyarakat Arefi dominan terkena low back pain (LBP) atau sakit punggung akibat sering membawa beban terlalu berat. Selain itu banyak juga yang terkena ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) akibat sering menghirup asap kayu bakar. 

Maikel Rumaseb, mantri Puskesmas Yensawai, bercerita bahwa ISPA dan COVID-19 sempat membingungkan masyarakat sebab gejala keduanya serupa. Namun, sosialisasi terus-menerus yang diupayakan oleh pihak puskesmas membuat masyarakat mulai memahami dan waspada.

Arefi Timur Raja Ampat
Pemandangan udara Arefi Timur/Istimewa

Bertukar informasi soal pertanian organik

Sementara itu, Jemima Desi Wamna dan Utreks Hembring bertukar informasi tentang macam-macam teknik bertani dengan masyarakat Arefi Timur.

Pada dasarnya, Masyarakat Arefi Timur sudah menerapkan pertanian organik. Selama ini mereka menanam tanpa menggunakan pupuk dan bahan kimia buatan lainnya. Hanya saja, metode yang diterapkan, dari mulai pembibitan sampai pemanenan belum terstruktur. Di Arefi Timur sendiri hampir semua dari 249 jiwa (88 kepala keluarga) penduduk berkebun. Semenjak COVID-19 menyapa dan menghentikan aktivitas pariwisata, mereka makin giat berkebun.

“Semoga peralatan pertanian ini bisa dipakai dengan rasa sayang sehingga apa yang ditanam bisa membahagiakan bapak-ibu semua,” ungkap Matheos Yacobus Rayar.

Matahari hampir tenggelam ketika kami kembali menaiki Kurabesi untuk melanjutkan perjalanan menuju Pulau Urbinasopen. Kira-kira, apakah perjalanan selanjutnya akan semulus hari ini?


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Bicara Corona di Arefi Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bicara-corona-di-arefi-timur/feed/ 0 25664
Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat https://telusuri.id/menilik-dampak-pagebluk-di-raja-ampat/ https://telusuri.id/menilik-dampak-pagebluk-di-raja-ampat/#comments Tue, 01 Dec 2020 05:30:45 +0000 https://telusuri.id/?p=25650 Perjalanan kali ini memang terasa berbeda. Bukan untuk sekadar menelusuri wilayah Raja Ampat, keberangkatan kami ada di bawah “payung” ekspedisi.

The post Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>

Sorong, Papua Barat, adalah tujuan pertama untuk menuju Raja Ampat. Di kota ini, September lalu, tampak sekilas bagaimana warga setempat merespons pagebluk alias pandemi COVID-19 yang sedang terjadi. 

Su dikasih denda 500 ribu kalau tra pake masker, tetap saja tra ngaruh,” ujar Rezky, sopir usaha rental mobil yang mengantar ke hotel dari bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. 

Rezky mengeluhkan respons warga terhadap COVID-19. Menurutnya, masyarakat Kota Sorong masih cenderung abai terhadap pandemi. Protokol kesehatan yang digaungkan pemerintah daerah seperti belum masuk ke dalam perhatian mereka. Masyarakat beraktivitas seolah-oleh wabah corona tidak ada. 

Padahal, kasus COVID-19 di Sorong tidak bisa dikatakan rendah. Menurut laman Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, per 9 September 2020 terdata sebanyak 120 suspek di Sorong, dengan 4 orang diisolasi dan 116 suspek discarded

Sejak kemunculannya di Indonesia awal Maret 2020, belum ada tanda-tanda jika pagebluk COVID-19 akan segera mereda. Sebaliknya, semakin ke sini statistik kian menunjukkan peningkatan.

Di laman kawalcovid19.id, per 10 September 2020 (saat tulisan ini dibuat) sudah 203.342 orang yang terpapar COVID-19 dan 8.336 di antaranya telah meninggal. Kasusnya pun sudah tersebar merata ke 34 Provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Papua Barat. Menurut catatan Satuan Gugus Tugas Covid-19 Papua Barat, per 9 September 2020 telah ada sekitar 1720 kasus suspek dan 1.149 kasus positif dengan 41 orang meninggal dunia.

Wabah ini tentu saja takkan bisa diatasi jika yang bertindak hanya satu pihak saja. Pemerintah tentunya tidak bisa menekan penyebarannya jika kita sebagai masyarakat tidak disiplin dalam mentaati protokol kesehatan. Idealnya memang semua stakeholder harus terlibat, termasuk masyarakat sendiri. Namun, entah apa sebabnya, penanganan COVID-19 ini masih jauh panggang dari api.

Sama seperti  yang terjadi di kota-kota lain di Indonesia, efek dari COVID-19 ini pun mulai benar-benar terasa. Pekerja dirumahkan, usaha wisata mulai banyak yang tutup, transportasi logistik antardaerah menjadi sulit. 

Menurut informasi dari seorang narasumber di bandar udara, Susi Air bahkan menutup penerbangan dari dan menuju Bintuni karena kuncitara (pembatasan) diberlakukan di sana.

Ekspedisi ke Raja Ampat

Perjalanan kali ini memang terasa berbeda. Bukan untuk sekadar menelusuri wilayah Raja Ampat, keberangkatan kami ada di bawah “payung” ekspedisi bersama EcoNusa, sebuah organisasi pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat adat Indonesia timur, Tujuannya, menjadi bagian dari upaya memberikan dukungan kesehatan, ketahanan pangan, dan penguatan pelaku wisata yang terdampak pandemi. 

Tim ekspedisi berencana mengitari perairan Kepulauan Raja Ampat selama 15 hari, mulai tanggal 10 September sampai 25 September 2020 dengan sebuah kapal live on board sepanjang 23 meter keluaran tahun 2015, Kurabesi. 

Kegiatan ini menyasar 13 wilayah yakni Arefi, Saukabu, Selpele, Arborek, Sawingrai, Kri, Sapokren, Waisai, Urbinasopen, Mayaifun, Kalyami/Kaliam, Solol, dan Amdui. 

Cory Adriani Kapa bertugas jadi pemimpin proyek (project leader) ekspedisi ini. Dalam technical briefing ia menjelaskan tiga poin agenda ekspedisi ini. Mulai dari penyuluhan kesehatan, penyuluhan pertanian organik dan sosialisasi ekowisata. 

Rencananya, dari aspek kesehatan akan termasuk pemberian bantuan puluhan baju alat pelindung diri (APD), ribuan masker kain, ratusan masker medis, ratusan pelindung wajah (face shield), dan puluhan alat tes cepat (rapid test), t-shirt, dan buku saku tentang COVID-19.

Sedangkan untuk pertanian organik, Cory berharap ini bisa mendukung ketahanan pangan.  Tim menyiapkan 3.500 benih tanaman, 645 kemasan pupuk, dan 100 alat pertanian (cangkul, gerobak, spray, dll.).

Dan untuk ekowisata, bersama dengan asosiasi homestay Raja Ampat, tim menyiapkan atap daun sagu (300 unit) dan dinding (250 unit) untuk keperluan renovasi penginapan yang rusak di enam wilayah.

Seusai technical meeting, awak ekspedisi bergerak ke Pelabuhan Usahamina untuk memulai perjalanan. Tak bisa dihindari, muncul pertanyaan ini: Apakah ekspedisi ini akan “semanis” dugaan kami di awal atau justru malah lebih “pahit” dari perkiraan? 

Catatan Redaksi: Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menilik-dampak-pagebluk-di-raja-ampat/feed/ 11 25650