film Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/film/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 10 Apr 2023 12:09:41 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 film Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/film/ 32 32 135956295 The Elephant Whisperers: Kisah Mereka yang Cinta pada Gajah https://telusuri.id/the-elephant-whisperers-kisah-mereka-yang-cinta-pada-gajah/ https://telusuri.id/the-elephant-whisperers-kisah-mereka-yang-cinta-pada-gajah/#respond Mon, 10 Apr 2023 09:00:57 +0000 https://telusuri.id/?p=38247 Ada kesamaan antara Bomman dan Bellie yang tak dimiliki orang lain. Mereka saling mencintai. Keduanya pun memutuskan buat menikah meski umur tak lagi muda. Bomman dan Bellie juga sama-sama menyukai gajah. Pekerjaan mereka bahkan tak...

The post The Elephant Whisperers: Kisah Mereka yang Cinta pada Gajah appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada kesamaan antara Bomman dan Bellie yang tak dimiliki orang lain. Mereka saling mencintai. Keduanya pun memutuskan buat menikah meski umur tak lagi muda. Bomman dan Bellie juga sama-sama menyukai gajah. Pekerjaan mereka bahkan tak jauh dari hal yang berkaitan dengan gajah. Bomman adalah seorang mahout sedangkan Bellie bekerja sebagai pengasuh anak gajah. 

Gajah, bagi Bomman dan Bellie, bagaikan anak kecil yang punya perasaan serta cerdas. Mereka menganggap hewan tersebut tak hanya sekadar binatang. Gara-gara hal ini, keduanya tak keberatan ketika Departemen Kehutanan Tamil Nadu meminta mereka merawat dua ekor anak gajah yatim piatu. Bomman dan Bellie membesarkan Raghu juga Ammu di Theppakadu Elephant Camp, salah satu kamp gajah tertua di Asia yang dibangun 140 tahun yang lalu di India.

The Elephant Whisperers
Bomman, Bellie, Raghu, dan Ammu via IMDb

Keseharian Bomman dan Bellie mengasuh Raghu serta Ammu jadi cerita utama film berjudul The Elephant Whisperers. Film yang dirilis tahun 2022 tersebut disutradarai oleh Kartiki Gonsalves, pembuat film dokumenter sekaligus fotografer alam dan satwa liar asal India. Di tahun 2023, The Elephant Whisperers memperoleh nominasi di ajang penghargaan Academy Awards. Ia pun berhasil memenangkan piala Oscar untuk kategori film dokumenter pendek terbaik.

Sebagai fotografer alam dan satwa liar sekaligus sutradara dokumenter, kemahiran Kartiki dalam menyajikan gambar keseharian Bomman serta Bellie dalam medium film pantas diapresiasi. Ia bisa memotret bagaimana keduanya hidup berdampingan dengan alam dan para satwa. Salah satu adegan yang menunjukkan hal ini adalah scene ketika Bomman mengambil madu di dalam hutan. Suara Bellie yang muncul sebagai narasi menjelaskan bahwa hutan memang menjadi sumber kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka tetap ikut menjaganya dengan tidak mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan.

Dalam film ini, berbagai macam satwa liar yang hidup di sekitar Theppakadu Elephant Camp ditunjukkan oleh Kartiki. Ekspresi mereka secara detail tertangkap kamera lewat pengambilan shot ukuran close up. Selain itu, Kartiki juga menampilkan lanskap hutan lengkap dengan pemandangannya yang berubah seiring bergantinya waktu. Elemen penting yang mesti ditonjolkan di film ini, yakni hutan, satwa, serta manusia ditampilkan Kartiki lewat visual yang menawan. Tiga unsur tersebut harus diperlihatkan sebab Bomman dan istrinya adalah bagian dari komunitas Kattunayakan. 

The Elephant Whisperers
Bomman adalah bagian dari masyarakat adat Kattunayakan yang bekerja sebagai mahout via IMDb

Kattunayakan merupakan masyarakat adat yang hidup salah satunya di negara bagian Tamil Nadu di India. Hutan adalah rumah mereka dan keberadaan satwa baik liar bukanlah hal asing bagi Bomman juga Bellie. Masyarakat adat ini menggantungkan hidupnya dari apa-apa yang bisa diperoleh dari hutan. Oleh karena itu, hutan berikut satwa sangat penting bagi Bomman, sang istri, juga anggota komunitas Kattunayakan lainnya.

Di samping perkara visual, pilihan Kartiki buat mengangkat kisah Bomman dan Bellie turut menarik perhatian. Berkat ketelatenan mereka, anak gajah yatim piatu bernama Raghu serta Ammu bisa bertahan hidup walau terpisah dari kawanannya. Tak mudah mengasuh binatang berusia terlampau muda apapun spesiesnya. Mereka membutuhkan orang tuanya. Keduanya bagaikan pusat dunia si anak sebab ia merawat dan mengajarinya bagaimana cara untuk hidup.  

The Elephant Whisperers
Bomman dan Raghu via Netflix

Raghu serta Ammu yang kehilangan sosok orang tua pun bergantung pada Bomman serta Bellie. Di film ini, hal tersebut ditunjukkan oleh Kartiki dengan jelas dan dekat. Dari pagi hingga malam, pasangan suami istri itu kerap menghabiskan waktu dengan Raghu dan Ammu. Mereka memberi susu juga makan, memandikan, serta mengajak bermain. Saat malam, keduanya membuat api unggun di dekat kandang anak gajah asuh mereka. Usaha ini pun akhirnya tak sia-sia. Bomman dan Bellie jadi pasangan pertama di India bagian selatan yang berhasil membesarkan gajah yatim piatu.

Namun, keberhasilan tersebut tak membuat film ini menganggap kehidupan paling baik untuk gajah adalah bersama manusia. Sebaliknya, lewat pernyataannya di The Elephant Whisperers, Bellie menilai kehidupan gajah yang terbaik justru bersama kawanannya di alam liar. Keadaan tak ideal, entah gara-gara konflik dengan manusia atau perubahan iklim, membuat orang seperti Bomman serta Bellie mesti turun tangan. Hal ini mereka lakukan agar nyawa binatang yang terlantar itu dapat diselamatkan.

Di samping urusan di atas, cerita tentang Bomman yang menganggap Tuhan dan gajah adalah satu jadi hal lain yang menarik dari The Elephant Whisperers. Ia melihat gajah setara dengan Tuhan. Karena itu, Bomman memperlakukan binatang tersebut sama seperti ketika ia melayani Tuhan. Keyakinan ini kemungkinan besar tak terlepas dari agama Hindu yang dianutnya. Dalam agama tersebut, ada dewa berkepala gajah bernama Ganesha yang dipuja oleh hampir seluruh kasta di India. Ia adalah dewa yang dihormati sebelum ritual sakral dimulai.

Apa yang jadi keyakinan Bomman tersebut menunjukkan bagaimana kepercayaan jadi alasan masyarakat adat bisa hidup berdampingan dengan satwa liar. Praktik itu tak hanya terjadi di Theppakadu Elephant Camp. BBC, misalnya, pernah melaporkan adanya peningkatan populasi harimau di Cagar Alam BRT di kawasan Ghats Barat, India antara tahun 2010 hingga 2014. Organisasi Survival International lantas menyebut faktor yang memungkinkan hal ini terjadi adalah karena adanya kepercayaan suku asli Soliga yang menganggap harimau sebagai dewa.

Terlepas dari kurangnya pembahasan tentang problem yang membuat anak gajah terpisah dari kawanannya, The Elephant Whisperers perlu buat ditonton. Hal ini karena ia dapat menunjukkan perjalanan panjang masyarakat adat dalam merawat salah satu penghuni hutan yang kian tergusur dari rumahnya sendiri, yakni gajah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post The Elephant Whisperers: Kisah Mereka yang Cinta pada Gajah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-elephant-whisperers-kisah-mereka-yang-cinta-pada-gajah/feed/ 0 38247
Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/ https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/#respond Wed, 29 Mar 2023 04:00:28 +0000 https://telusuri.id/?p=37522 April, 2022, sebuah pesan singkat disertai dengan e-flyer terbaca di layar gawai saya. “Ayo ikut ajang ini. Bertiga sama Ais.” Ajang yang dimaksud kawan saya bernama Valen itu adalah lokakarya produksi konten untuk komunitas Indonesia...

The post Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
April, 2022, sebuah pesan singkat disertai dengan e-flyer terbaca di layar gawai saya. “Ayo ikut ajang ini. Bertiga sama Ais.” Ajang yang dimaksud kawan saya bernama Valen itu adalah lokakarya produksi konten untuk komunitas Indonesia Timur, namanya Bacarita Digital.

Bacarita, istilah khas yang menyesuaikan aksentuasi orang-orang di tengah dan timur Indonesia, yang populer dipahami sebagai bercerita. Ditambah embel-embel digital, sudah jelas bahwa ajang ini bakal fokus pada penggunaan teknologi, dan output-nya yang akan memanfaatkan sosial media.

Penyelenggaranya Rumata’ Artspace—sebuah rumah budaya yang lahir dari proyek bersama mantan jurnalis Kompas, Lily Yulianti Farid, dengan sutradara film lokal Indonesia favorit saya, 3 Hari untuk Selamanya (2007), Riri Riza. Lokasinya di Jalan Bontonompo, No.12A, Gn. Sari, Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kalau kamu pernah mendengar Makassar International Writer Festival (MIWF), yakni festival yang menghubungkan penulis lokal, nasional, dan internasional di Benteng Rotterdam Makassar, nah manusia-manusia di Rumata’ ini jugalah para biang keroknya. 

Workshop Bacarita Digital Sesi 1/Arsip Rumata’

Dengan pertimbangan, saya telah lebih dulu mengenal Rumata’ dan beberapa kali menjadi penonton film-film pendek yang mereka tayangkan secara eksklusif, juga sebagai pengunjung MIWF yang sayangnya alfa setelah pandemi, saya pikir mencoba terlibat sebagai calon peserta yang lebih intim akan sangat menyenangkan. 

Apalagi ide yang mereka bawa pada lokakarya Bacarita Digital sebagai upaya menggagas cerita, narasi, dan nilai budaya dari keragaman konteks lokalitas masing-masing daerah peserta adalah peluang besar. Maksud saya, ini kesempatan bagi Indonesia Timur menyuarakan isu-isu terabaikan di tempatnya yang selama ini tertutupi info-info kehidupan selebriti dari Jawa. Atau sekadar berbagi cerita personal menghangatkan hati bahkan mengejek. Hingga resep kuliner khas tradisional yang jarang muncul di layar televisi, dan mengambil tempat dalam pariwisata.

Kami pun mendaftar. Dan tiga individu melebur jadi satu dalam komunitas bernama Dari Halaman Rumah—sebuah komunitas kecil yang baru terbentuk di 2022 demi ajang Bacarita. Komunitas ini memutuskan fokus untuk menghidupkan narasi-narasi ekologis, nilai budaya dan sosial, serta ekonomi bagi manusia-manusia Bugis.

Ide cerita dan data diri kami kirimkan. Hingga tiba hari pengumuman di bulan Juni. Tujuh komunitas dari 29 komunitas di sembilan provinsi yang mendaftar, berhasil lolos ke tahap wawancara. Tujuh komunitas itu berasal dari Sulawesi, Kalimantan, Jayapura, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka melangkah maju ke tahap wawancara oleh pihak Rumata’ dan sutradara film dokumenter pendek Ibu Bumi (2020), yang menyoroti partisipasi generasi muda petani Kendeng melawan pabrik semen, Chairun Nissa.

Empat komunitas sayangnya harus gugur. Dan hanya tiga komunitas terpilih yang melanjutkan perjalanan.  Ketiga komunitas itu adalah Hakola Huba (Sumba Barat, Nusa Tenggara Barat), Indonesia Art Movement (Jayapura, Papua), dan Dari Halaman Rumah (Pangkep, Sulawesi Selatan).

Petualangan baru kami pun dimulai pada akhir Juni. Ketiga komunitas bertemu untuk pertama kalinya di Rumata’. Dan mengikuti workshop pra produksi Bacarita Digital sesi pertama selama empat hari pada 30 Juni–3 Juli 2022. Bersama para mentor, yakni Yusuf Radjamuda (Sutradara Film-Palu), Chairun Nisa (Sutradara Film-Jakarta), dan Ratrikala Bhre Aditya (Penulis & Sutradara Film-Jakarta). 

Dan co-mentor Ishak Iskandar (Sinematografer-Makassar), Rahmadiyah Tria Gayathri (Penulis & Sutradara-Palu) dan Rahman Saade (Sinematografer-Makassar). Serta para pemateri, yakni Yandy Laurens (Sutradara), Evi Mariani (Direktur Eksekutif Project Multatuli), M. Nawir (Penulis, Peneliti, dan Pengajar), serta Riri Riza (Sutradara).

Launching perdana konten Bacarita Digital di CGV Panakkukkang, Makassar/Arsip Rumata’

Sesi dua berlanjut di bulan Agustus. Berlokasi di daerah masing-masing komunitas. Didampingi para mentor, co-mentor yang telah dibagi pada sesi pertama. Proses  produksi yang berlangsung singkat selama empat hari. Namun, menyita beberapa bulan untuk proses editing. Hingga akhirnya, karya ketiga komunitas resmi launching perdana pada sesi ketiga Bacarita di 24 Februari 2023 kemarin. 

Ditayangkan di bioskop CGV Panakkukang, Makassar. Suara, wajah, dan cerita para komunitas menggema di sudut-sudut bioskop. Disaksikan puluhan pasang mata. Meski ada sedikit kendala teknis yang agak menyebalkan. Tapi, malam itu berakhir dengan wrap up party yang menyenangkan ditemani steak dan minuman fermentasi nanas. Juga celetukan dan tawa lepas yang besoknya hanya bisa dikenang.

Merawat Ingatan-ingatan Nenek

Kisah yang dibawa Dari Halaman Rumah ke bioskop mungkin yang paling personal. Bercerita tentang perempuan kota yang sakit, dan penat dengan keriuhan Jakarta. Lalu memutuskan pulang ke desa. Tapi, bukan ke rumah orangtuanya. Melainkan ke rumah neneknya yang hidup sendirian di Desa Tabo-tabo, Pangkep. 

Proses Produksi Dari Halaman Rumah/Arsip DHR

Ais, nama perempuan itu, lalu belajar banyak hal. Tentang tanaman yang bisa menyembuhkan lebih baik dari obat-obatan kimia. Tentang tangguhnya seorang wanita paruh baya yang menghidupi ternak dan kebunnya. Saling menghidupi. Ritual-ritual untuk berterima kasih kepada alam dengan sumber dayanya yang melimpah. Hingga betapa memuakkannya pabrik-pabrik semen, dan marmer yang telah merangsek masuk ke desa neneknya. Tentu saja, ada cerita tentang truk-truk pencuri batu dari sungai yang asap hitamnya mencemari udara yang seharusnya menyegarkan. 

Desa dan kota hampir tidak ada lagi bedanya. Tapi, Ais, tidak ingin kehilangan memori-memori magis, dan manis di desa neneknya. Jadilah ia memulai mendokumentasikan si nenek dalam projek bernama merawat ingatan-ingatan nenek. Ingatan yang menjadi konten digital tiga episode berjudul Rumah Diri. Dan bisa disaksikan di laman YouTube Dari Halaman Rumah akhir Maret ini.

Pinang Tumpuk dan Cerita Mama Nela

Sementara, Indonesia Art Movement (IAM) tidak melupakan pinang tumpuk yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Papua. Tradisi mengunyah atau makan buah pinang yang diwariskan turun temurun mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Yang konon katanya, buah pinang ini diperkenalkan oleh manusia berbahasa Astronesia yang datang ke pesisir dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Papua. Hingga kini menggapai pegunungan. Seperti yang dituliskan Hari Suroto (2010) dalam bukunya “Prasejarah Papua”.

Proses Produksi IAM/Arsip IAM

Dari pinang yang dikunyah, dan lepehan cairan kental berwarna merah yang biasanya diludahkan ke tanah oleh para pengunyah pinang, siapa sangka cerita-cerita justru berdatangan. Kisah asmara yang menggelitik, persoalan ekonomi dan mahalnya harga pinang, sampai larangan memasuki hutan bakau perempuan bagi laki-laki, dan sanksi adat yang menunggu. 

Semuanya dikemas dalam balutan komedi sedikit satir melalui obrolan-obrolan ringan Mama Nela, si penjual pinang tumpuk Kampung Enggros bersama para pelanggannya. Dan bisa kamu jumpai di laman YouTube Indonesia Art Movement, yang tahun ini akan memproduksi Season 1 dengan lima episode. 

Obed Kampung Sodan

Dan, Hakola Huba, atau Sokola Sumba yang berada di bawah payung Sokola Institute ini menjadi komunitas yang pemeran di filmnya cukup banyak. Dengan satu pemeran utama bernama Obed yang menghadapi kecemasan gagal panen. 

Proses Produksi Hakola Huba/Arsip Hakola

Masalahnya kian pelik, tatkala pupuk tidak berhasil ia pinjam dari kerabatnya. Padahal sang kekasih sudah mendesak untuk segera dilamar. Tak habis akalnya, Obed bahkan berniat meminjam uang dan menggadai parang hulu tanduk yang sebenarnya ia siapkan sebagai mahar.

Kisahnya terekam apik dan orisinil karena menggunakan bahasa Laboya sepanjang film. Ditambah pemandangan Kampung Sodan, Sumba Barat, dengan uma mantoko atau rumah menaranya. Dan kebiasaan menyambut tamu dengan tikar, dan suguhan pinang. 

Film fiksi berjudul Obed secepatnya juga akan ditayangkan di laman YouTube agar menemui para penontonnya. 

Bacarita Digital Volume 2

Akhirnya, dunia yang luas ini bisa kita telanjangi dan bawa kemana-mana. Ide dan cerita yang tadinya hanya ada di kepala bisa dibaca dan ditonton banyak orang, melalui benda kecil yang selalu ada di dalam tas. 

Mungkin saja kamu juga tertarik untuk mendokumentasikan kisahmu agar tidak dilupakan, Bacarita Digital Volume 2 akan kembali diadakan. Mengenai akomodasi dan transportasi, kamu tidak perlu khawatir. Karena Rumata’ yang didukung oleh Kemendikbud Ristek akan membiayai full komunitas dari luar Sulawesi Selatan.

Hanya saja, untuk biaya produksi tetap akan diserahkan pada sumber daya mandiri komunitas masing-masing. Jadi, saran saya sih persiapkan alat-alat produksi yang mumpuni seperti kamera DSLR, handy recorder, hardisk, dan laptop.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/feed/ 0 37522
Wild: Upaya Memulihkan Diri di Alam Liar Amerika https://telusuri.id/wild-upaya-memulihkan-diri-di-alam-liar-amerika/ https://telusuri.id/wild-upaya-memulihkan-diri-di-alam-liar-amerika/#respond Sat, 25 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37565 Cheryl Strayed merasa kehilangan semuanya. Ibu yang menjadi pusat semestanya meninggal karena kanker. Setelah itu, pernikahan dengan sang suami kacau sebab ia selingkuh berkali-kali. Suaminya tak dapat menoleransi tingkah Cheryl sehingga mereka bercerai. Dia juga...

The post Wild: Upaya Memulihkan Diri di Alam Liar Amerika appeared first on TelusuRI.

]]>
Cheryl Strayed merasa kehilangan semuanya. Ibu yang menjadi pusat semestanya meninggal karena kanker. Setelah itu, pernikahan dengan sang suami kacau sebab ia selingkuh berkali-kali. Suaminya tak dapat menoleransi tingkah Cheryl sehingga mereka bercerai. Dia juga sempat mengonsumsi obat-obatan serta hamil tanpa tahu siapa laki-laki yang menjadi ayah dari anaknya. 

Semua kejadian itu lantas mendorongnya untuk melakukan perjalanan sendirian melintasi Pacific Crest Trail (PCT) selama tiga bulan di tahun 1995. PCT adalah jalur pendakian yang membentang dari wilayah California, Oregon, hingga Washington di Amerika Serikat. Lewat trip tersebut, Cheryl berharap menemukan dirinya yang diharapkan sang ibu: seorang perempuan yang kuat, bertanggung jawab, dan baik hati.

Wild
Cheryl Strayed melakukan perjalanan sejauh kurang lebih 1.800 km di Pacific Crest Trail via Fox Searchlight

Di film Wild (2014) buatan sutradara Jean-Marc Vallée, kisah Cheryl yang berusaha menaklukkan jalur PCT sejauh kurang lebih 1.800 km itu ditampilkan. Film ini merupakan film biografi yang naskahnya ditulis berdasarkan buku memoar karya Cheryl berjudul Wild: From Lost to Found on the Pacific Crest Trail. Selain Wild, Jean-Marc Vallée juga pernah membuat film biografi Dallas Buyers Club (2013) yang berhasil mendapat nominasi dan menyabet piala Oscar di beberapa kategori tahun 2014.

Di ajang penghargaan Academy Award tahun 2015, Reese Witherspoon yang memerankan tokoh Cheryl di Wild memperoleh nominasi untuk kategori aktris pemeran utama terbaik. Meski tak menang, akting perempuan berusia 46 tahun tersebut memang patut diacungi jempol sebab ia mampu memperlihatkan berbagai macam emosi yang dialami Cheryl. Dari awal hingga akhir film, fase kehidupan Cheryl yang ditampilkan terbagi menjadi dua: sebelum dan sesudah sang ibu meninggal. Ada banyak perubahan luapan perasaan di sana dan Reese bisa menyampaikannya dengan apik.

Wild
Reese Witherspoon memerankan Cheryl Strayed via Fox Searchlight

Sejumlah adegan yang dapat menjadi contoh adalah scenescene ketika Cheryl tengah mengurus perceraiannya. Ia merasa bersalah menyakiti sang suami: hal ini ia katakan dengan mata hampir menangis serta mimik sedih. Dia pun mengganti nama belakangnya menjadi Strayed yang diambil dari kata stray pada stray dog sewaktu mengurus dokumen perceraian. Raut wajah Cheryl tampak biasa ketika menjelaskan alasannya memilih nama itu. Akan tetapi, ia tak bisa membendung tangisnya saat dipeluk sang suami usai mereka mengirim berkas perceraian sebelum akhirnya keduanya berpisah.

Wild
Cheryl Strayed dan sang suami Paul dalam film Wild (2014) via Fox Searchlight

Di samping akting Reese, sutradara Jean-Marc Vallée lihai menyampaikan problem-problem yang muncul sekaligus emosi Cheryl yang timbul karenanya. Ia menggunakan berbagai macam cara, dari tulisan di buku harian, percakapan Cheryl dengan sang ibu serta temannya, kutipan novel juga lagu dan puisi, hingga ingatan berikut mimpi Cheryl untuk menampilkan hal tersebut. 

Pikiran Cheryl yang tak tenang itu disuguhkan sang sutradara sejak film mulai. Terdapat adegan ketika Cheryl marah sebab sepatu gunung yang ia kenakan jatuh ke jurang. Cheryl berteriak. Akan tetapi, teriakan itu terus menggema ke cuplikan scenescene berikutnya yang menampilkan kejadian di waktu lampau. Setelah itu, liarnya pikiran Cheryl semakin diperlihatkan dengan jelas. Salah satu adegan yang menggambarkan hal ini adalah ketika ia tersentak pertama kali dari tidur sebab teringat peristiwa mantan suaminya yang pernah memergoki dirinya menggunakan obat-obatan.

Wild
Film Wild (2014) karya Jean-Marc Vallée via Fox Searchlight

Hingga akhir film, semua cara yang dipakai sang sutradara berhasil memberikan gambaran utuh tentang betapa tak tenangnya pikiran Cheryl pada penonton. Ia pun bisa mewujudkan arti kata Wild di judul film menjadi tak sekadar berkaitan dengan perjalanan si tokoh utama di alam liar tetapi juga pengalaman hidup Cheryl yang traumatis serta liarnya pikiran perempuan tersebut gara-gara peristiwa di masa lalu.

Jean-Marc Vallée lebih lanjut turut bisa menyuguhkan proses tak mudah dari seseorang yang ingin lepas dari trauma dan depresi. Cheryl jadi korban kekerasan sang ayah saat dirinya kecil. Gara-gara hal ini, ia lebih dekat dengan ibunya. Kematian sang ibu yang diperankan oleh Laura Dern di film Wild pun mengguncang dunia Cheryl. Ia kemudian melampiaskan kedukaannya pada seks serta obat-obatan.

Selama melakukan perjalanan di PCT, kilasan ingatan Cheryl akan masa lalu suka muncul gara-gara adanya trigger. Dalam dunia psikologi, istilah ini merujuk pada stimulus yang menyebabkan memori menyakitkan datang kembali. Trigger tersebut bisa berupa suara, bau, atau benda juga hal tertentu yang seseorang lihat. Dalam hal ini, adegan kuping Cheryl yang berdenging usai meniup peluit kencang-kencang dapat dijadikan contoh. Gara-gara peristiwa itu, ia langsung teringat pada kejadian ketika mantan suaminya memarahi dirinya di mobil gara-gara memakai heroin.

Meski alurnya mudah ditebak dan tidak ada twist mengejutkan, Wild menarik perhatian sebab ia berhasil menceritakan kisah tak biasa seorang yang biasa. Biasa karena tokoh utama di film ini tak jauh beda dari kebanyakan orang yang punya masalah dengan masa lalu. Akan tetapi, kisah Cheryl tidak bisa dibilang biasa sebab ia berusaha keras menemukan jalan keluar atas masalahnya yang pelik. Setelah trip usai, masalah Cheryl tentu tidak langsung selesai. Meski begitu, perjalanan tersebut membuatnya dapat mengenal serta berbincang dengan diri sendiri. Perlahan ia pun paham bahwa tubuhnya yang menjadi sumber segala kesakitan juga bisa jadi tempat asal dari seluruh kekuatan yang ia punya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wild: Upaya Memulihkan Diri di Alam Liar Amerika appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wild-upaya-memulihkan-diri-di-alam-liar-amerika/feed/ 0 37565
The Summit of the Gods: Kisah Mereka yang Tak Bisa Hidup Tanpa Mendaki Gunung https://telusuri.id/the-summit-of-the-gods/ https://telusuri.id/the-summit-of-the-gods/#respond Fri, 10 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37563 Semua berawal dari kamera Vest Pocket Autographic milik George Mallory yang ditawarkan seseorang pada Makato Fukamachi. Kala itu, ia menolaknya gara-gara tengah pusing tak memperoleh bahan tulisan. Mallory merupakan pendaki gunung yang terkenal karena berpartisipasi...

The post The Summit of the Gods: Kisah Mereka yang Tak Bisa Hidup Tanpa Mendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Semua berawal dari kamera Vest Pocket Autographic milik George Mallory yang ditawarkan seseorang pada Makato Fukamachi. Kala itu, ia menolaknya gara-gara tengah pusing tak memperoleh bahan tulisan.

Mallory merupakan pendaki gunung yang terkenal karena berpartisipasi dalam tiga ekspedisi awal Inggris ke Gunung Everest. Makato lantas berubah pikiran setelah ia melihat seorang pendaki bernama Habu Joji membawa pergi kamera tersebut. Ia lalu mencari cara agar bisa menuntaskan misinya: bertemu Habu dan mendapatkan kamera Mallory. Makato ingin membuktikan apakah Mallory jadi orang pertama yang mencapai puncak Everest. Di perjalanan, ia pun berkesempatan mengenal sosok Habu yang serius sekaligus memahami kegemarannya mendaki gunung.

Kisah Makato Fukamachi dan Habu Joji di atas jadi cerita utama film animasi berjudul The Summit of the Gods (2021). Film ini mengangkat perjalanan Makato berdasarkan serial manga karya Jiro Taniguchi dengan judul serupa yang terbit pertama kali di majalah tahun 2000 hingga 2003.

Selain The Summit of the Gods, banyak film lain yang memasukkan Gunung Everest ke dalam cerita mereka. Hal ini bisa jadi karena Everest merupakan gunung paling tinggi di dunia. Tak sedikit pula orang yang mencoba menaklukkan puncak gunung dengan ketinggian 8.848 mdpl itu lewat berbagai cara hingga kini. Di film The Summit of the Gods, sosok nyata yang diceritakan mendaki Everest adalah George Mallory.

Mallory, penjelajah dan pendaki gunung asal Inggris, menjadi anggota dari tim ekspedisi ke Gunung Everest di tahun 1921, 1922, serta 1924. Di pendakian ketiga, ia berusaha mencapai puncak Everest bersama dengan Andrew Irvine. Mallory membawa kamera model Vest Pocket Autographic selama pendakian. Akan tetapi, perjalanan tersebut tidak membuahkan berita bagus. Baik Mallory dan Irvine tak kembali dalam keadaan hidup. Jenazah Mallory baru ditemukan pada tahun 1999 sedangkan tubuh Irvine tidak berbekas.

Perdebatan tentang apakah Mallory berhasil mencapai puncak Everest lantas muncul setelah kematiannya. Satu-satunya barang bawaan Mallory yang diyakini bisa membuktikan hal tersebut adalah kamera yang ia bawa. Menurut Encyclopӕdia Britannica, benda seperti kapak es, tabung oksigen, altimeter, dan pisau lipat milik pendaki itu berhasil ditemukan. Akan tetapi, hal ini tak berlaku pada kamera Mallory. Keberadaannya hingga kini masih misteri.

The Summit of the Gods
The Summit of the Gods yang dibuat berdasarkan serial manga karya Jiro Taniguchi via Netflix

Di The Summit of the Gods, kamera Mallory jadi penggerak jalan cerita dua orang: Makato dan Habu. Dua nama yang disebutkan terakhir merupakan tokoh fiktif yang muncul hanya dalam film. Dengan kata lain, kisah nyata George Mallory serta cerita Makato dan Habu diramu menjadi satu di The Summit of the Gods. Hasilnya, kisah tiga orang tersebut dapat berbaur dengan apik menjadi sebuah cerita baru yang enak buat diikuti walau awalnya penonton mungkin akan mengira film ini bakal banyak bercerita soal George Mallory.

Sejak film dimulai, baik Makato dan Habu ditampilkan sebagai tokoh dengan karakter yang kuat. Makato yang bekerja sebagai reporter majalah tak mundur buat menemukan Habu serta kamera Mallory meski petunjuk yang ia peroleh mulanya tak banyak. Ia orang yang gigih. Sementara itu, Habu adalah sosok yang teguh juga serius. Keteguhan tersebut digambarkan di beberapa adegan dalam film. Contohnya, Habu terus mendaki gunung selama ia hidup meski kegiatan itu tak jarang membahayakan dirinya.

Karakter tokoh di The Summit of the Gods pada akhirnya cukup bisa menghibur penonton yang awalnya barangkali berekspektasi film ini bakal banyak bercerita tentang Mallory. Kenapa? Karena karakter teguh Habu yang seorang pendaki dapat dipastikan juga dimiliki mountaineer seperti Mallory. Keteguhan itu lantas turut digambarkan lewat animasi di film ini.

The Summit of the Gods
Makato dan Habu hendak mendaki Gunung Everest via IMDb

Dari awal hingga akhir, animasi The Summit of the Gods menampilkan karakter para tokoh lewat bahasa nonverbal seperti gesture dan mimik wajah dengan apik. Ia memperkokoh cerita film sehingga menjadi lebih kuat. Selain itu, animasi di film ini juga menggambarkan kegiatan pendakian gunung yang dilakukan Makato, Habu, dan lainnya secara detail serta realistis.

Di beberapa adegan, visual tersebut mampu menggambarkan kesulitan para tokoh saat mendaki gunung dengan jelas. Adegan yang menyuguhkan kesusahan sewaktu mendaki, dalam film ini, tak melulu soal si tokoh yang cedera atau peralatan personal yang jatuh. Di salah satu scene, Habu bahkan pernah bertemu dengan sosok kawannya yang telah meninggal. Cerita model seperti ini kerap kali terdengar saat seseorang mendaki gunung.

Animasi di film ini pun sanggup membuat penonton seakan ikut dalam pendakian. Hal ini jadi sesuatu yang menarik buat mereka yang sama sekali belum pernah mendaki gunung. 

Animasi The Summit of the Gods lebih lanjut juga bisa menjahit cerita dua tokoh, yakni Makato serta Habu yang disampaikan lewat alur maju sehingga tak membuat penonton kebingungan. Hal ini dikarenakan kisah keduanya diceritakan berdasarkan lini masa atau timeline yang berbeda dari awal hingga dua pertiga film.  

Transisi yang berfungsi buat membedakan kisah Makato dan Habu pun ditampilkan dengan jelas. Salah satu contohnya ada di adegan ketika Habu serta kawannya berhasil mendaki Tembok Iblis di musim dingin. Foto momen keberhasilan keduanya yang dimuat di majalah lantas jadi penghubung cerita Makato yang tengah mencari keberadaan Habu yang menghilang. Dalam hal ini, animasi film The Summit of the Gods sanggup menyajikan kisah tentang mereka yang tak bisa hidup tanpa mendaki gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post The Summit of the Gods: Kisah Mereka yang Tak Bisa Hidup Tanpa Mendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-summit-of-the-gods/feed/ 0 37563
Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan https://telusuri.id/ramen-shop-identitas-diri-dalam-semangkuk-makanan/ https://telusuri.id/ramen-shop-identitas-diri-dalam-semangkuk-makanan/#respond Fri, 03 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37421 Ramen dan ba kut teh. Bagi Masato, dua makanan tersebut tidak bisa dilepaskan dari cerita hidupnya. Sang ibu suka memasakkan ba kut teh atau sup tulang iga babi di rumah sewaktu Masato kecil. Saat dewasa,...

The post Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Ramen dan ba kut teh. Bagi Masato, dua makanan tersebut tidak bisa dilepaskan dari cerita hidupnya. Sang ibu suka memasakkan ba kut teh atau sup tulang iga babi di rumah sewaktu Masato kecil. Saat dewasa, kesibukannya tak lepas dari aktivitas memasak di dapur sebuah kedai ramen yang Masato kelola bersama ayah dan pamannya. Lebih dari sekadar masakan, ramen dan ba kut teh mampu membangkitkan kenangan Masato akan keluarga—ia, ayah, serta ibunya yang tiada karena sakit.

Hubungan Masato dengan ibunya dekat tetapi tak berlangsung lama. Ia meninggal saat Masato kecil. Relasinya dengan sang ayah, sebaliknya, dingin bagai es batu. Suatu saat, ayahnya meninggal mendadak. Alih-alih kembali bekerja di warung ramen, Masato justru pergi ke Singapura, negara asal ibunya untuk menemui sang paman, seorang pemasak yang pandai membuat ba kut teh. Masato ingin belajar cara membikin makanan itu sekaligus mengetahui lebih banyak tentang ibunya. Dari sang paman, Masato pun mengetahui kisah masa lalu ibu, nenek, dan ayahnya.

Ramen Shop
Masato bertemu dengan sang paman, seorang yang pandai memasak ba kut teh via chlotrudis.org

Perjalanan Masato dari Jepang ke Singapura tersebut menjadi cerita utama film Ramen Shop (2018) yang disutradarai Eric Khoo. Dalam film berdurasi 90 menit itu, Masato yang tak memiliki banyak informasi tentang keluarga ibunya mengandalkan bantuan seorang blogger kuliner asal Jepang yang tinggal di Singapura bernama Miki. Elemen makanan ditonjolkan sejak awal di film ini lewat footage semangkuk ramen. Unsur tersebut semakin kental ketika Masato di Singapura dan bertemu Miki. Sebagai seorang blogger, ia memiliki pengetahuan lebih tentang kuliner negara itu dibanding Masato. Miki banyak bercerita soal makanan Singapura, termasuk sejarah ba kut teh.

Adegan Masato dengan sang paman di film ini juga membahas tentang ba kut teh. Ba kut teh yang memiliki arti “daging, tulang, teh” merupakan makanan yang populer di Singapura serta Malaysia. Hidangan tulang iga babi yang direbus berjam-jam dalam kaldu berisikan rempah dan herba itu menjadi sajian yang sedap disantap apalagi saat dingin. Selain ba kut teh, masakan yang turut ditampilkan dalam film ini adalah ramen. Ramen awalnya berakar dari hidangan mi asal China dan kini populer di Jepang. Di luar Jepang, ramen banyak disukai orang sehingga kedai ramen banyak berdiri.

Ramen Shop
Masato dan neneknya via berlinale.de

Hadirnya kisah asal-usul kuliner dua negara lantas menjadikan Ramen Shop sebagai film yang membahas tidak hanya soal makanan dan kenangan keluarga tetapi juga identitas seseorang. Ramen serta ba kut teh membangkitkan memori sekaligus menggambarkan jati diri Masato. 

Hal ini diperlihatkan sutradara secara lebih eksplisit lewat adegan Miki dan Masato ketika mereka tengah menyantap kari kepala ikan. Di scene ini, Miki menganggap Masato layaknya mi ramen. Makanan tersebut merupakan hasil perpaduan dua budaya, yakni China dan Jepang, yang kini digemari banyak orang. Bagian dari dua budaya, menurut Miki, juga mengalir dalam darah Masato yang memiliki ayah Jepang dan ibu beretnis China asal Singapura.

Perkara identitas diri tersebut berusaha dikuatkan pula lewat adegan-adegan film yang menyinggung soal pendudukan Jepang di Singapura tahun 1942 hingga 1945. Selama di Singapura, di samping menemui pamannya dan belajar memasak ba kut teh, Masato juga mengunjungi pameran tentang Syonan di sebuah galeri. Syonan atau Syonan-to merupakan nama Singapura selama pendudukan Jepang yang berarti “Cahaya dari Pulau Selatan”. 

Di era tersebut, operasi untuk menghilangkan elemen masyarakat yang dianggap anti-Jepang dilakukan lewat sistem Sook Ching atau “pembersihan melalui pemurnian”. Sasarannya paling besar dialami komunitas warga China di Singapura. Lebih dari 25.000 orang yang didominasi laki-laki berusia 18 hingga 50 tahun, menjadi korban sistem ini.

Masato mengetahui keluarga ibunya memiliki pengalaman yang bersinggungan dengan sejarah pendudukan Jepang di Singapura berkat sang paman. Kisahnya bahkan mempengaruhi hubungan antara ibunya, nenek, dan ayahnya. Lewat makanan serta sejarah, Ramen Shop memperlihatkan sosok Masato yang berusaha memahami dan mengartikan kembali identitas dirinya. Upaya tersebut tidak sia-sia. Di akhir film, Masato berhasil menggabungkan dua masakan yang menggambarkan jati dirinya, seorang anak keturunan Jepang dan China Singapura.

Ramen Shop
Para pemain Ramen Shop via exotic-cinema.org

Di samping Ramen Shop, film Eric Khoo sebelumnya juga menampilkan elemen makanan meski porsi ceritanya berbeda-beda antara satu film dengan yang lain. Di Wanton Mee (2015), misalnya, berbagai macam kuliner Singapura dibahas dengan gaya docufiction oleh Khoo. Makanan juga muncul di Mee Pok Man (1995) dan Be With Me (2005) walau tak sedalam di dua film yang disebutkan sebelumnya. 

Makanan di Ramen Shop yang diceritakan agak detail pada akhirnya menjadi hal yang membuat film ini menarik sebab alur cerita yang disajikan cukup mudah ditebak. Interaksi antara Miki sebagai food blogger dan si pembuat ramen Masato mampu menghidupkan obrolan di antara keduanya. Bagi mereka yang tak familiar dengan kuliner Singapura, Ramen Shop dapat memberikan sedikit penjelasan lewat cerita yang dibalut dengan drama keluarga sang tokoh utama. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ramen-shop-identitas-diri-dalam-semangkuk-makanan/feed/ 0 37421
Biking Borders: Wujudkan Impian lewat Bersepeda https://telusuri.id/biking-borders-wujudkan-impian-lewat-bersepeda/ https://telusuri.id/biking-borders-wujudkan-impian-lewat-bersepeda/#respond Sat, 25 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37385 Dua orang yang bersahabat pada umumnya memiliki sesuatu yang disukai, digemari, diinginkan, atau dicita-citakan bersama. Bagi Max dan Nono, hal yang diimpikan itu adalah membangun sekolah.  Mimpi ini muncul usai mereka mengajar di beberapa sekolah...

The post Biking Borders: Wujudkan Impian lewat Bersepeda appeared first on TelusuRI.

]]>
Dua orang yang bersahabat pada umumnya memiliki sesuatu yang disukai, digemari, diinginkan, atau dicita-citakan bersama. Bagi Max dan Nono, hal yang diimpikan itu adalah membangun sekolah. 

Mimpi ini muncul usai mereka mengajar di beberapa sekolah di luar negeri saat kuliah. Max Jabs dan Nono Konopka menemui ada anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan karena infrastruktur serta pendanaan yang kurang. Mereka lalu berusaha menggalang dana dengan cara bersepeda sepanjang 15.000 km dari Jerman menuju China. Layaknya impian membangun sekolah, mengendarai sepeda menjadi aktivitas yang disukai keduanya.

Biking Borders
Biking Borders menceritakan dua sahabat yang melakukan perjalanan untuk menggalang dana via pencilsofpromise.org

Pengalaman melintasi negara-negara di benua Eropa serta Asia tersebut menjadi fokus film Biking Borders (2021). Max dan Nono mengalami banyak peristiwa selama perjalanan dari Berlin ke Beijing. Kejadian itu sering kali tak terlepas dari karakteristik geografis serta warga negara-negara yang mereka lewati. Dua hal ini membuat kisah perjalanan dua sahabat tersebut menarik untuk ditonton dan diikuti sebab mampu menghadirkan perspektif dari kacamata seorang pesepeda.

Adegan Max dan Nono saat di Austria dapat dijadikan contoh untuk menggambarkan poin di atas. Di scene ini, mereka bersusah payah melewati jalanan di negara itu sebab konturnya tak datar. Keduanya sering mendorong sepeda dengan napas terengah-engah. 

Jalan-jalan di Austria memang naik-turun sebab daratannya berbentuk pegunungan dan perbukitan. Gara-gara hal ini, Max dan Nono melontarkan guyonan dengan nada sarkas, ”Pergilah ke Austria mereka bilang…” di media sosial. Mereka kemudian menyarankan warganet untuk tidak melakukan trip sepeda di negara tersebut karena medannya yang berat. 

  • Biking Borders
  • Biking Borders

Bagi orang yang mengadakan perjalanan di negara itu menggunakan kendaraan, jalanan yang naik-turun bisa jadi tak menjadi persoalan besar. Problem kontur jalan yang tak datar hanya disadari oleh mereka yang menjelajahi jalan-jalan Austria dengan sepeda. Dalam hal ini, perspektif yang terbentuk dari pengalaman Max dan Nono mampu memberikan informasi yang berbeda tentang Austria lewat kacamata seorang pesepeda. Bagaimana keduanya bertahan lantas menjadi hal lain yang menarik buat diketahui dalam film.

Selain adegan di atas, trip di Turkmenistan juga dapat menggambarkan bagaimana karakteristik negara, termasuk geografis serta warganya memberi warna perjalanan Max serta Nono dalam Biking Borders. Turkmenistan merupakan negara bekas jajahan Uni Soviet di Asia Tengah yang dikenal tertutup pada dunia luar serta sulit untuk dikunjungi. Peraturan visa yang ketat membuat negara ini jarang dikunjungi wisatawan mancanegara. Turkmenistan diatur oleh pemerintah yang otoriter sehingga tindak tanduk warganya berada di bawah pengawasan. 

Biking Borders
Max Jabs dan Nono Konopka via IMDb

Berbeda dengan negara lain yang telah dilewati, peraturan ketat di Turkmenistan mengharuskan dua sahabat itu bersepeda hampir 600 km sehari. Hal ini membuat mereka gugup sekaligus ragu sebab keduanya tak pernah mengendarai sepeda lebih dari 100 km per hari sebelumnya. Kejadian yang dialami Max dan Nono sewaktu melakukan trip di Turkmenistan pada akhirnya mampu menyuguhkan pengalaman khas yang dialami pesepeda di negara tersebut. Hal ini turut berlaku ketika mereka melewati negara-negara lain selama perjalanan dari Berlin ke Beijing buat menggalang dana.

Dari segi penceritaan, adanya animasi yang memvisualisasikan jumlah donasi yang didapat memudahkan penonton untuk mengikuti proses penggalangan dana Max serta Nono. Selebrasi-selebrasi di media sosial buat merayakan jarak yang telah ditempuh dua sahabat itu dengan sepeda juga menggambarkan seberapa jauh usaha mereka mewujudkan impian membangunan sekolah.

Pengambilan shot gambar di Biking Borders pun tak monoton. Film ini memang menyuguhkan perjalanan pribadi Nono dan Max yang ditampilkan lewat visual yang mirip dengan video blogging atau vlog. Meski begitu, unsur sinematik tetap dimasukkan dalam pengambilan gambar. Berbagai macam shot seperti extreme wide shot, two shot, dan close up dipakai. Selain itu, angle di antaranya high angle, eye level, serta low angle ditemukan pula di film ini. 

Masalah baru muncul ketika konflik yang ada dalam Biking Borders melulu berbicara tentang problem yang dihadapi Max dan Nono sewaktu bersepeda dari awal hingga pertengahan film. Meski karakteristik negara, termasuk geografis serta warganya mampu memberikan warna pada perjalanan keduanya, formula konflik ini dapat menimbulkan rasa bosan apabila terus-menerus disuguhkan. Untungnya, kebosanan tersebut hilang ketika adegan Nono yang menangis karena relasinya dengan sang pacar tengah bermasalah muncul.Sejak awal film, Max dan Nono tak banyak menceritakan soal kehidupan pribadi mereka di samping kisah tentang keduanya yang telah bersahabat sejak kuliah. Konflik antara Nono dengan orang terdekatnya pun mampu menyegarkan alur cerita film sebab kejadian itu turut mempengaruhi trip belasan ribu kilometer yang ia lakukan bersama Max. Terkait ending film, akhir cerita Biking Borders tetap menyenangkan untuk ditonton walau mudah ditebak karena usaha yang mereka kerahkan membuahkan hasil.   


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Biking Borders: Wujudkan Impian lewat Bersepeda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/biking-borders-wujudkan-impian-lewat-bersepeda/feed/ 0 37385
Tracks: Perjalanan Ribuan Kilometer Si Camel Lady https://telusuri.id/tracks-perjalanan-ribuan-kilometer-si-camel-lady/ https://telusuri.id/tracks-perjalanan-ribuan-kilometer-si-camel-lady/#comments Sat, 11 Feb 2023 04:00:07 +0000 https://telusuri.id/?p=37227 Robyn Davidson dijuluki “camel lady” waktu ia muda. Pada usia 27 tahun, dia berjalan kaki sejauh 2.700 km melintasi padang pasir di Australia bagian barat bersama empat ekor unta dan seekor anjing. Unta-unta tersebut dilatih...

The post Tracks: Perjalanan Ribuan Kilometer Si Camel Lady appeared first on TelusuRI.

]]>
Robyn Davidson dijuluki “camel lady” waktu ia muda. Pada usia 27 tahun, dia berjalan kaki sejauh 2.700 km melintasi padang pasir di Australia bagian barat bersama empat ekor unta dan seekor anjing. Unta-unta tersebut dilatih Robyn agar bisa membawa barang yang ia butuhkan. 

Dia merasa lelah dengan kehidupan di kota yang terus berulang. Begitu juga muak pada sikap gender, kelas, dan generasi dirinya yang manja serta seenaknya sendiri. Robyn pun melakukan perjalanan itu, dari Kota Alice Springs ke Samudra Hindia, selama sembilan bulan di tahun 1977. Trip tersebut mendapat dana dari National Geographic berkat saran kawan temannya bernama Rick Smolan. Rick lantas ditugaskan memotret Robyn untuk majalah tersebut. Meski awalnya enggan, ia perlahan membangun hubungan dengan fotografer tersebut.

Robyn lalu menulis sebuah buku memoar tentang pengalamannya di tahun 1980. Akan tetapi, baru 33 tahun kemudian kisah perjalanan itu diangkat ke dalam film berjudul Tracks (2013). Dalam film buatan sutradara John Curran tersebut Robyn diperankan oleh aktris Mia Wasikowska.

  • Tracks Camel Lady
  • Tracks Camel Lady

Film berdurasi hampir dua jam itu menceritakan sosok Robyn yang menyukai gurun pasir dan ingin menjelajahinya bersama seekor anjing bernama Diggity. Ia memilih untuk tak ditemani siapapun kecuali terpaksa. Konsistensi Robyn melakukan perjalanan ribuan kilometer itu sendirian ditampilkan dengan jelas di adegan ketika ia tak mau Rick hadir empat hingga lima kali buat memotret. “Dua atau tiga kali saja. Dua atau tiga kali,” katanya dengan tegas. Di adegan lain, Robyn juga menolak ditemani tetua komunitas Aborigin dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan seorang diri.

Karakter Robyn yang teguh itu diperankan cukup baik oleh Mia Wasikowska. Mia berhasil menampilkan Robyn, seorang perempuan usia 20-an tahun yang pekerja keras, agak galak, dan berkemauan kuat. Di sisi lain, Mia juga mampu menunjukkan sisi rapuh Robyn yang kerap diusik masa lalu, termasuk ketika ia menangis di pelukan Rick sebab merasa sendirian usai ditinggal Diggity.

Gara-gara kemampuan akting Mia, ditambah original score serta pengambilan gambar yang mendukung, kisah perjalanan solo Robyn yang tak jarang diwarnai dengan aktivitas yang berulang menarik buat ditonton. Kesendirian sang tokoh utama yang banyak disuguhkan tak membuat film ini menjadi monoton berkat tiga hal tadi. Ia justru jadi daya tarik utama yang mampu memunculkan rasa rindu akan perasaan percaya serta nyaman dengan diri sendiri.

  • Tracks Camel Lady
  • Tracks Camel Lady

Tak hanya soal Robyn semata, film Tracks juga menceritakan bagaimana dua orang yang memiliki kepribadian berbeda bertemu, berkenalan, lantas menjalin hubungan. Robyn mengenal Rick di perjalanan ini dan keduanya tetap berteman hingga sekarang. 

Adu akting Adam Driver sebagai Rick dan Mia Wasikowska pun mampu menggambarkan pertemanan mereka yang mulanya tak akrab lalu intim sejenak dan berakhir hanya sekadar kawan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di adegan ketika Robyn mencium Rick dan berhubungan fisik dengannya. Hal ini dikarenakan, sebelum kejadian itu, Robyn justru merasa sangat kesal sebab ia menganggap Rick mengganggu perjalanannya. Eskalasi perasaan juga tindakan yang terlampau cepat ini agak membingungkan sebab tidak ada alasan yang jelas kenapa Robyn melakukannya hal tersebut.

Di samping relasi dua orang di atas, interaksi Robyn dengan komunitas asli Australia dalam film turut menarik perhatian. Orang suku Aborigin serta penduduk keturunan Melanesia di Kepulauan Selat Torres telah hidup dan tinggal lebih dulu di benua itu dibandingkan bangsa kulit putih. Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa ada diskriminasi rasial yang terjadi setelah Australia menjadi salah satu negara koloni Inggris. Pembedaan perlakuan ini masih dirasakan sampai sekarang walau usaha untuk memperjuangkan hak komunitas asli negeri Kanguru itu juga telah dilakukan.

Dalam film Tracks, beberapa adegan menampilkan bagaimana sikap orang kulit putih, termasuk Robyn, terhadap penduduk dari komunitas asli Australia. Di menit-menit awal, misalnya, Robyn mengernyitkan wajah ketika seorang laki-laki berkulit putih memukul wanita Aborigin di tempat ia bekerja. Di adegan lain, Robyn dibuat kesal oleh kelakuan rombongan wisatawan yang bertindak tak sopan pada salah satu tetua suku Aborigin bernama Eddie.

Pandangan Robyn terhadap orang asli Australia pun dapat disimpulkan dari sikapnya di film ini. Di salah satu adegan, Robyn rela berjalan lebih jauh sebab jalur awal yang rencananya ia lewati melalui situs keramat yang tak memperbolehkan kehadiran perempuan. Di adegan lain, Robyn tak jadi menguliti kanguru yang mati karena ingat petuah Eddie. Alih-alih memandang berbeda, ia justru menganggap mereka sama dan menghormati aturan yang dibuat komunitas asli selama dirinya melakukan perjalanan. Trip ribuan kilometer yang dilakukan Robyn pun akhirnya tak hanya memanusiakan dirinya sendiri tetapi juga orang-orang yang ia temui.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tracks: Perjalanan Ribuan Kilometer Si Camel Lady appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tracks-perjalanan-ribuan-kilometer-si-camel-lady/feed/ 1 37227
Sambut 2022 dengan 7 Film Perjalanan Ini https://telusuri.id/sambut-2022-dengan-7-film-perjalanan-ini/ https://telusuri.id/sambut-2022-dengan-7-film-perjalanan-ini/#respond Fri, 07 Jan 2022 12:09:14 +0000 https://telusuri.id/?p=31912 Nggak terasa, tahun 2022 sudah berjalan beberapa waktu. Awal tahun, menjadi waktu yang menegangkan karena catatan-catatan yang kita buat setahun sebelumnya, apakah resolusi yang telah kita buat untuk tahun lalu telah tercapai atau masih menunggu...

The post Sambut 2022 dengan 7 Film Perjalanan Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Nggak terasa, tahun 2022 sudah berjalan beberapa waktu. Awal tahun, menjadi waktu yang menegangkan karena catatan-catatan yang kita buat setahun sebelumnya, apakah resolusi yang telah kita buat untuk tahun lalu telah tercapai atau masih menunggu terealisasi. Sembari mulai menyusun rencana untuk mencapai resolusi-resolusi baru di tahun ini, ada beberapa rekomendasi film dari TelusuRI untuk mengisi liburan akhir pekan kamu. Siapa tahu dengan menonton film-film bertema perjalanan yang kami rekomendasikan ini, kalian akan menemukan inspirasi untuk perjalanan tahun 2022 dengan semangat positif dan inspirasi terbaru.

Nomadland
Nomadland via vertigoposter.com

1. Nomadland

Film yang menjadi sorotan dalam Oscar 2021 ini telah memenangkan 3 dari 6 nominasi yaitu Best Motion Picture of the Year, Best Performance by Actress in Leading Role, dan Best Directing. Bercerita tentang wanita paruh baya yang bernama Fern, yang memutuskan untuk memasuki kehidupan nomaden setelah kepergian suaminya. Film ini membawa kita menikmati belantara Amerika dan bagaimana kehidupan para nomad berlangsung yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ulasan Nomadland dari kami juga dapat dibaca di sini.

Space Sweepers
Space Sweepers via Netflix

2. Space Sweepers

Bagaimana jika bumi yang kita tempati sudah rusak total dan tidak bisa diperbaiki? Bagaimana jika kita harus bisa beradaptasi dengan kehidupan luar angkasa? Premis tersebut rupanya diangkat dalam film Space Sweepers yang dibintangi oleh Song Joong-ki. Latar waktu yang terjadi pada 2092 ketika oksigen sudah menipis dan manusia sudah kesulitan bernapas hingga akhirnya harus meninggalkan bumi. Di luar angkasa ternyata banyak puing-puing yang bisa dijual dan banyak diantara kapal luar angkasa yang mencoba mengumpulkannya. Meskipun terbilang fiksi ilmiah, ada pesan-pesan yang ingin disampaikan sineas Jo Sung Hee terkait dengan lingkungan kita yang semakin rusak.

Seaspiracy
Seaspiracy via Netflix

3. Seaspiracy

Bagi penggemar film konspirasi dan dokumenter, ada Seaspiracy yang akan menemani kalian menyelami kehidupan di lautan dan hubungan buruknya dengan manusia. Ali Tabrizi mengungkapkan kepada kita bahwa penyajian ikan-ikan yang ada dihadapan kita melewati proses yang merusak dan berbahaya bagi kehidupan biota laut. Meski terbilang kontroversi, film ini mampu menjadi bahan diskusi yang menarik di forum internet dan sosial media.

4. Welcome to Earth

Seri dari National Geographic yang dibintangi oleh Will Smith, salah satu aktor Hollywood kenamaan dunia—yang berpetualang menyusuri bumi dari sisi yang jarang diekspos seperti gunung berapi, samudera, hingga gurun bersama para ilmuwan dan petualang dari National Geographic. Will Smith yang sebelumnya tidak pernah melakukan pendakian gunung ataupun berenang di danau harus menghadapi bahaya yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. 

5. 14 Peaks

Selalu ada puncak dunia yang ingin ditaklukkan oleh manusia, begitu pula dengan Nirmal Purja, seorang pendaki profesional berkebangsaan Nepal yang ingin memecahkan rekor pendakian puncak gunung tercepat dan terbanyak. Pendakian gunung tidak hanya melibatkan fisik dan kondisi diri, tetapi ada teman-temannya dan keluarganya yang selalu mendukung keinginan Nirmal untuk menjadi sesuatu yang “lebih dan berguna” bagi semua orang. Film ini akan membawa kita menikmati puncak-puncak dunia bersama kru Project Possible yang dinamakan oleh Nirmal karena setiap hal di dunia menurutnya nothing is impossible. Ulasan film 14 Peaks dari TelusuRI bisa dibaca di sini.

Expedition Happiness
Expedition Happiness via Netflix

6. Expedition Happiness

Meskipun ini bukan film terbaru, Expedition Happiness wajib masuk daftar film yang wajib tonton. Mencari kebahagiaan adalah tujuan setiap orang, termasuk dua orang pasangan dari Jerman yang berpetualang dengan seekor anjing demi mencari makna kebahagiaan. Mereka melakukan perjalanan ke Amerika Utara menggunakan sebuah bis sekolah rongsok dan menikmati setiap momen perjalanan mereka.

Dark Tourist
Dark Tourist via Netflix

7. Dark Tourist

Apa jadinya ketika kita berlibur bukan malah mencari kesenangan tetapi menguji adrenalin serta keberanian? Dark Tourist, sebuah series dari Netflix yang mengundang para pemirsa untuk mengikuti David Farrier menjelajahi spot spot wisata dari danau yang terkena radiasi nuklir sampai hutan yang terkenal angker, David Farrier ingin melihat hal-hal yang berhubungan dengan kematian dan kehancuran, yang menguji adrenalin dan melihat ada apa dibalik itu semua dan mendapatkan kesenangan yang mungkin bagi banyak orang terkesan aneh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Sambut 2022 dengan 7 Film Perjalanan Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sambut-2022-dengan-7-film-perjalanan-ini/feed/ 0 31912
Nomadland: Kehilangan yang Menjadi Perjalanan https://telusuri.id/nomadland-kehilangan-yang-menjadi-perjalanan/ https://telusuri.id/nomadland-kehilangan-yang-menjadi-perjalanan/#respond Thu, 26 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30191 Orang-orang sering membayangkan kehidupan tanpa rumah adalah kehidupan yang membebaskan, kemana saja tanpa harus terikat “rumah”. Bayangan itu semakin menjadi-jadi apabila kita membaca cerita petualangan orang-orang nomaden yang menjadikan berkelana sebagai jalan hidupnya. Lalu, bagaimana...

The post Nomadland: Kehilangan yang Menjadi Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang-orang sering membayangkan kehidupan tanpa rumah adalah kehidupan yang membebaskan, kemana saja tanpa harus terikat “rumah”. Bayangan itu semakin menjadi-jadi apabila kita membaca cerita petualangan orang-orang nomaden yang menjadikan berkelana sebagai jalan hidupnya. Lalu, bagaimana jika jalan hidup nomaden bukan seperti yang orang-orang kira? Bagaimana jika kehidupan seperti itu datang pada seseorang yang tidak menginginkannya? Film berjudul Nomadland inilah yang jadi jawaban dari pertanyaan tersebut.

Chloe Zhao sebagai sutradara rupanya ingin menyajikan realitas kehidupan orang-orang nomaden Amerika kepada penonton. Hampir 100% adegan yang digambarkan hampir sama dengan realitas kehidupan yang ada. Menurut IMDB, film ini mendapatkan 233 penghargaan dan 136 nominasi. Tentu saja yang paling bergengsi adalah Oscar. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 3 dari 6 nominasi berhasil didapatkan melalui best motion picture of the year, best performance by actress in leading role, best directing. Belum lagi ditambah BAFTA film award, AACTA international award, dan lainnya. Tentu saja Chloe Zhao patut berbangga diri atas pengukuhannya sebagai sutradara perempuan Asia pertama yang sukses di ajang Oscar. 

Sebelum kamu menonton film ini, pastikan kamu tidak berekspektasi adanya drama-drama serta turning point yang berbeda dari film ini. Simpan semua ekspektasi kamu terhadap cerita bombastis yang menggugah.

Pace film ini terbilang lambat. Penonton akan disuguhkan cerita tentang Fern, seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya dan hidup sebatang kara. Hidup terasa begitu keras padanya, berpindah-pindah pekerjaan supaya tetap hidup, berjuang mandiri dengan mobil van dan hidup di jalanan, menempa Fern menjadi pribadi yang tangguh. 

Tiap scene menyoroti Fern yang sudah mengalami kehilangan akan kotanya dan suaminya dengan emosi yang datar. Perpindahan tiap scene begitu halus, menggambarkan Fern yang sebenarnya sudah putus asa tetapi harus tetap bekerja keras demi menghidupi dirinya. Salah satu scene yang paling memorable di awal film adalah ketika anak salah satu temannya mengatakan dirinya adalah homeless people, tetapi Fern urung menggunakan kata itu dan memilih kata houseless, keteguhan hati Fern digambarkan begitu kuat meskipun rasanya dia juga pantas disebut sebagai homeless. Saya akui kualitas akting Frances Mcdormand memang bisa menggambarkan ketabahannya di tengah keputusasaan.

Cerita berlanjut mengenai keterlibatan Fern dalam komunitas nomaden yang sangat menentang kapitalisme. Berawal dari ajakan rekan kerjanya, akhirnya Fern bergabung dengan para nomaden yang berkumpul. Kehidupan para nomad, walaupun terasa menyenangkan, ternyata menyimpan cerita-cerita yang berbeda bagi setiap orang yang menjalaninya. Ada yang memang ingin menjalani kehidupan nomaden karena menyukai kebebasan dan ada pula karena alasan kehilangan, ataupun sebagai momen menenangkan diri.  

Nomadland
Nomadland via Imdb

Adegan-demi adegan terus berlanjut, kita disuguhi momen momen kesendirian Fern tanpa banyak dialog ataupun tindakan. Mungkin bagi sebagian orang momen close-up ini seakan membosankan, tapi jelas Chole Zhao ingin membuat kita merasakan dampak kehilangan seorang Fern. Tidak ada scoring yang mengganggu, musik latar pun terdengar begitu pesimis. Suasana film dibangun bukan untuk bersimpati kepada Fern, tapi untuk membuat kita menjadi Fern itu sendiri. 

Dialog yang disajikan sepanjang film sangat kuat. Semisal ketika adegan Bob Weels memberi wejangan kepada para nomad tentang buruknya kapitalis dengan menyebut analogi kuda beban. Ada lagi adegan Fern yang berbicara tentang masa lalunya kepada Bob dan menyebutkan “I may be spent too much of my life just remembering,” seakan memberitahu penonton keadaan Fern dalam film seutuhnya. Karakter pendukung yang dihadirkan memang membantu atmosfer film lebih nyata, terlebih beberapa orang adalah nomad sungguhan.

Keindahan alam Amerika dari hutan hijau, padang pasir tandus yang dipotong oleh jalan, bukit batuan, suasana perkotaan kecil memberi kita penglihatan yang dalam dari bagaimana para nomad memandang dunia tanpa sekat plafon atau dinding. 

Nomadland mungkin menyajikan kisah seorang perempuan pengembara yang kehilangan segalanya tetapi tetap harus melayani realita yang dia dapat untuk menyambung hidup. Dalam makna yang lebih dalam, pembuat film ingin menceritakan kesendirian, apapun keramaian yang kita lalui selalu saja ada momen kesendirian. Kesendirian inilah yang tampaknya dibawakan oleh Fern sebagai suatu keniscayaan bahwa semua dari kita akan mengalami “perjalanan” sepertinya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nomadland: Kehilangan yang Menjadi Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nomadland-kehilangan-yang-menjadi-perjalanan/feed/ 0 30191
Film Balada Si Roy: Bukan Sekadar Bahan Nostalgia https://telusuri.id/film-balada-si-roy-bukan-sekadar-bahan-nostalgia/ https://telusuri.id/film-balada-si-roy-bukan-sekadar-bahan-nostalgia/#respond Wed, 14 Apr 2021 08:50:02 +0000 https://telusuri.id/?p=27591 Siapa tak kenal Balada Si Roy, novel klasik yang hadir menemani para remaja dan muda-mudi Indonesia di tahun 80-an. Awalnya cerita Roy merupakan cerita bersambung yang muncul di Majalah Hai, cerita ini lalu dibundel menjadi...

The post Film Balada Si Roy: Bukan Sekadar Bahan Nostalgia appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa tak kenal Balada Si Roy, novel klasik yang hadir menemani para remaja dan muda-mudi Indonesia di tahun 80-an. Awalnya cerita Roy merupakan cerita bersambung yang muncul di Majalah Hai, cerita ini lalu dibundel menjadi sebuah serial. Diceritakan, si Roy seorang anak muda yang berani melawan status quo dan represi yang jelas tergambarkan pada masanya. 

Di akhir tahun 2020, kabar mengenai film Balada Si Roy menjadi sorotan. Pasalnya, selain jelas akan menjadi film nostalgia di beberapa kalangan, juga menjadi film yang bisa merefleksikan kehidupan anak muda era itu melalui sesosok Roy. Film ini disutradarai oleh Fajar Nugros dan diproduksi oleh IDN Pictures. TelusuRI berkesempatan untuk mewawancarai Salman Aristo, penulis naskah film Balada Si Roy.

Kiprah Mas Aris dalam menyulap novel menjadi naskah film sudah tidak asing lagi. Selain Balada Si Roy, Mas Aris juga telah sukses menyulap Ayat – Ayat Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy, Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata, dan Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari menjadi film yang berjudul Sang Penari

Balada Si Roy dan Salman Aristo

salman aristo balada si roy
Salman Artisto/Istimewa

Bagi Mas Aris, novel Balada Si Roy adalah sebuah karya yang ikonik pada masanya. “Gue punya karir yang lebih panjang lagi yaitu sebagai pembaca Balada Si Roy,” ujarnya. Namun lebih dari itu, cerita Balada Si Roy ternyata memiliki kedekatan karakter dengan Mas Aris.

“… bahwa Balada Si Roy adalah salah satu hal yang membentuk gue di usia remaja, selain Slank dan Iwan Fals. Balada Si Roy yang membentuk bagaimana gue bersikap, ada kedekatan dalam representasi dengan karakternya. Mindset yang tidak mempertanyakan segala hal tapi dengan sikap yang jelas, tidak mudah tunduk, itu dari Balada Si Roy,” tegasnya.

Karena kedekatan itulah, di awal karir perfilmannya Mas Aris memang bermimpi untuk bisa terlibat dalam pembuatan film Balada Si Roy. Rencana pembuatan film Balada Si Roy beberapa kali sempat sayup-sayup dikabarkan jauh sebelumnya, namun baru ramai terdengar pasti di tahun 2020. Ketika mengetahui bahwa Fajar Nugros yang akan menyutradarai Balada Si Roy Mas Aris sempat bertanya-tanya “Kok makin deket ya aksesnya,” ucap Mas Aris.

Mas Aris dan Fajar Nugros sebelumnya sudah pernah dipersatukan dalam sebuah film berjudul Queen Bee. Keterlibatan Mas Aris dalam film pertama yang digarap oleh Fajar Nugros menjadikan hubungan mereka cukup erat. “Jadi gue berpikir kaya memang sudah jalannya untuk bisa bertemu dengan salah satu mimpi gue,” jelasnya.

Karakter Roy di layar lebar

poster film balada si roy
Poster Film Balada Si Roy/Istimewa

Karakter Roy diakui sebagai sebuah karakter yang ikonik pada masanya, sehingga proses adaptasi dari novel ke layar lebar pun diakui Mas Aris melalui proses pengembangan yang cukup panjang. Ketika ditanya bagaimana Mas Aris menghidupkan karakter si Roy ke layar lebar, Ia menjelaskan “… kita memutuskan untuk memakai tahun yang sama persis dengan tahun cerita di novel karena berbagai macam pertimbangan salah satunya adalah Roy menjadi hidup di zamannya. Bisa jadi sikap Roy jika dibawa ke jaman sekarang terlalu banyak modifikasi sehingga karakternya bukan Roy lagi,” ia bertutur dengan antusias. 

Dalam konferensi pers virtual film Balada Si Roy di kanal YouTube IDN Times, Mas Aris menyebutkan bahwa Roy adalah karakter yang anti-stagnan. “Buat si Roy stagnan itu artinya mati, dia mau terus berada di dinamika perubahan.”

Karakter ‘memberontak’ khas anak muda inilah yang paling kuat terlihat dari si Roy, khususnya karena latar cerita ini ditulis pada masa yang ‘stag’ atau tepatnya adalah sebuah rezim. Prinsip karakter Roy yang menolak stagnasi dan represi inilah yang digambarkan Mas Aris dalam film ini.

Jika kalian adalah pembaca setia Balada Si Roy, kalian pasti sadar bahwa jiwa petualang dan karakteristik si Roy sebagai seorang pejalan, tergambar di hampir seluruh novelnya. Menariknya, esensi perjalanan Roy menurut Mas Aris berbeda daripada pandangan orang kebanyakan yang melihat perjalanan hanya sekedar ketertarikan terhadap alam dan kegiatan berfoto ria saja.

“Kalau mau lebih dari sekedar turis, coba baca Joe Balada si Roy, bahwa berpetualang, berkunjung ke tempat lain, bertamu, akan jauh lebih punya makna kalau semangatnya lebih dari sekedar turistik.” 

Ia menyayangkan pandangan turistik yang terlalu mendambakan keindahan alam Indonesia saja. “Gua punya agenda untuk bilang bahwa barang siapa yang masih berpikir kalau sumber kekayaan Indonesia berasal dari kekayaan alam adalah pola pikir yang sangat kolonial.” 

balada si roy
Buku Balada Si Roy: Joe/TelusuRI

Menurut Mas Aris keindahan Indonesia itu terletak di masyarakatnya yang beragam. “Jadi it’s in the people dan itu yang dicari sama Roy di sepanjang perjalanan. Kalau kita baca di buku-buku berikutnya, yang dicari Roy kan orang, masalah, masyarakat, karakter yang dia temui karena memang itu Indonesia,” lanjutnya.

Mas Aris juga menuturkan bahwa kegelisahan karakter Roy membuat Ia berani jadi seorang yang belajar dari perjalanan. “Karena Roy jalan-jalan bukan untuk melihat pemandangan, dia mau keluar dari status quo yang mengekang, keberanian itu yang membuat dia memilih untuk berjalan, sehingga ia mendapat pelajaran tentang hidup dan tentang Indonesia.”

Namun sayangnya, karena novel yang diadaptasi adalah novel pertama; Joe maka perjalanan Roy sendiri sebenarnya belum dimulai. Walaupun begitu, Mas Aris menekankan bahwa pesan moral yang ingin disampaikan melalui film Balada Si Roy ini disasarkan kepada anak muda Indonesia.

“Artinya dalam keseharian, dalam proses berfikir, dalam proses melihat, dalam proses berinteraksi, tidak boleh terjebak di zona nyaman dan stagnasi, harus lapar dengan yang namanya dinamika dan kemungkinan-kemungkinan.”

Film Balada Si Roy ini nampaknya tidak cukup hanya sebagai bahan bernostalgia, cerita si Roy perlu kita pahami bahwa itu adalah sejarah peran dan sikap anak muda pada masa itu. Mas Aris pun berpesan bahwa “Balada Si Roy adalah catatan sejarah yang bisa dipelajari, tidak hanya sekedar bahan bernostalgia,” tutup Mas Aris mengakhiri perbincangan kami.Nah, kamu termasuk orang yang menunggu penayangan film ini Balada Si Roy, kah?

The post Film Balada Si Roy: Bukan Sekadar Bahan Nostalgia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/film-balada-si-roy-bukan-sekadar-bahan-nostalgia/feed/ 0 27591