flores Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/flores/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 02 Jan 2023 23:46:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 flores Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/flores/ 32 32 135956295 Menembus Nostalgia di Adonara Timur https://telusuri.id/menembus-nostalgia-di-adonara-timur/ https://telusuri.id/menembus-nostalgia-di-adonara-timur/#respond Sat, 07 Jan 2023 04:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=36833 Pada Desember 2021 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi kampung halaman ayah saya di Adonara Timur tepatnya di Desa Lamawolo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Pemandangan sejak lima tahun silam kini terlihat sedikit...

The post Menembus Nostalgia di Adonara Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada Desember 2021 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi kampung halaman ayah saya di Adonara Timur tepatnya di Desa Lamawolo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pemandangan sejak lima tahun silam kini terlihat sedikit berbeda, namun hangatnya sapaan kereu ina/ama—ungkapan salam yang dilontarkan ketika berpapasan untuk wanita/pria—serta tradisi jumat bersih oleh perempuan di kampung ini masih melekat dengan erat di ingatan dan nyata hingga hari di mana saya menginjakan kaki kembali di bawah kaki Gunung Ile Boleng ini.

Perjalanan menuju Adonara kali ini, saya sebut “pelarian” karena modal nekat dan dana minim. Merasa sangat suntuk dengan rutinitas di depan si merah—panggilan spesial untuk laptop kesayangan—saya memutuskan mengajak Inry—sahabat saya—dalam misi pelarian ini.

Perjalanan kami mulai dari Kota Pancasila, Ende, sekitar pukul 07.00 pagi. Saya dan Inry beranjak menuju Kota Larantuka menggunakan bus antar kota. Perjalanan ini memakan biaya sekitar 130 ribu rupiah per orang dengan jarak tempuh sekitar 286 km. Waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan sekali perhentian di Kampung Boru untuk beristirahat dan makan siang. 

Sekitar setengah jam melepas penat sekaligus mengisi perut dengan semangkuk bakso dan juga teh hangat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami tiba di sana sekitar pukul 4 sore, untuk kemudian menuju rumah paman saya yang berada di Desa Lebao. 

Malam itu menjadi malam panjang nan lelap. Setelah bergegas membersihkan diri dengan air hangat dan membaluri badan dengan minyak kayu putih, rasa penat setelah seharian suntuk berada di dalam bus sirna. Kami beristirahat di rumah paman selama dua hari, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju Adonara. Kali ini paman saya ikut serta.

Pukul 09.00 pagi, kami bertolak dari Pelabuhan Larantuka menuju Adonara menggunakan kapal motor. Perjalanan laut dari Pelabuhan Larantuka menuju Pelabuhan Waiwerang Adonara memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan tarif 20 ribu rupiah per orang. 

Kapal motor merupakan salah satu transportasi utama masyarakat Flores Timur dan Lembata, oleh karena itu kepadatan di kapal motor nampak dari kerumunan penumpang hingga barang yang diangkut. Salah satu yang masih khas dan masih saya temui hingga sekarang yakni kapal motor Arkona yang merupakan kapal motor jurusan Larantuka–Waiwerang yang masih beroperasi dengan baik, dari usia saya seumuran anak SD hingga sekarang saya berusia 23 tahun. Tiba di Pelabuhan Waiwerang kami langsung menuju rumah kakek dan nenek yang terletak di Desa Lamawolo. 

Cerita dari Pantai Watotena

Singkatnya, waktu liburan ini tentunya tidak cukup jika hanya berdiam diri di dalam rumah saja. Saya bersama keluarga memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata andalan kebanggaan orang Lamaholot yaitu Pantai Watotena yang terletak di Desa Bedalewun, Adonara Timur. Perjalanan dari Desa Lamawolo menuju Pantai Watotena memakan waktu sekitar 15 menit menggunakan mobil. Biaya masuknya hanya Rp5.000 saja.

Menurut cerita warga setempat, pantai ini merupakan salah satu saksi atau simbol suatu kejadian di masa lampau yang masih hidup sampai sekarang. Sesuai dengan arti namanya, watotena yang berarti perahu dari batu atau batu yang berbentuk perahu. Arti dari Watotena bisa kita lihat dari salah satu bebatuan hitam (batu magma) yang bentuknya menyerupai sebuah kapal. Batu ini merupakan hasil semburan magma dari Gunung Ile Ape, Lembata. 

  • Pantai Watotena
  • Pantai Watotena

Terhampar pasir putih dengan bulir pasir yang halus dan bersih, deburan ombak, bebatuan hitam di sekelilingnya yang mengapit pantai, dengan Gunung Ile Boleng di belakangnya. Warna air lautnya hijau biru, membuat saya betah berlama-lama duduk menatapnya di atas lopo—gubuk kecil yang tersedia sebagai tempat untuk beristirahat. Dari jauh tampak beberapa rombongan keluarga yang mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan komuni suci.

Di sini, pengunjung tidak boleh membuang sampah, membawa rokok dan minuman keras di pesisir pantai. Bagi yang ingin menikmati minuman atau merokok sudah disediakan lopo, dan sampah harus berada pada tempatnya.

Kampung Lamawolo 

Kali ini saya juga akan menceritakan tentang kampung halaman ayah saya. Kampung Lamawolo, berada tepat di bawah kaki Gunung Ile Boleng. Adat dan budaya masih sangat kental di daerah ini. Orang-orangnya juga tidak kalah ramah walaupun kadang “tampangnya garang”.

Ke mana pun pergi dan berpapasan dengan masyarakat sekitar, entah itu bocah SD maupun orang dewasa yang tidak kalian kenal, janganlah heran ataupun merasa aneh jika mereka menyapa hangat. “Kereu,” begitu kalimat sapaan di sini.

Sebagai putri Adonara yang hidup berdampingan dengan adat, tentunya saya tidak lupa untuk mengunjungi tanah leluhur yang letaknya di Kampung Lamawolo Atas. Di sini, terdapat sebuah Bale Adat Suku Lamawolo yang berisi rumah adat dari tiap suku yang berbeda di Desa Lamawolo dan sebuah tanah lapang untuk upacara adat. 

Sebagai bentuk penghormatan untuk tanah leluhur, saya bersama Indry mengunjungi tempat ini dan menyempatkan waktu untuk sedikit berbincang dengan kepala suku dan yang juga menjaga rumah adat suku saya. Ada berbagai tempat di area bale adat ini yang tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang, namun dengan tetap menjaga sikap dan tutur kata maka kita pun bisa keluar dari tempat ini dengan berkat baik pula. 

“Setiap doa leluhur selalu mengiringi ke mana pun anak cucunya berpijak, dengan tidak melupakan mereka merupakan salah satu penghormatan besar bagi para leluhur kita.” 

Pagi itu, saya dan Indry yang memakai kwatek Adonara—kain tenun tradisional Adonara yang ditenun langsung oleh perempuan Adonara. Kami menyusuri Bale Adat Suku Lamawolo yang terletak di bawah lembah Gunung Ile Boleng. Ragam bentuk rumah adat tiap suku di Lamawolo yang terdapat di Bale Adat pada umumnya semi modern, dilihat dari perpaduan material yang dipakai untuk membangun rumah adat yakni beton dan sebagian dinding berupa bambu.

Pelarian saya kali ini sangatlah singkat, tapi sangat berkesan. Mudah-mudahan di lain kesempatan saya bisa lebih sering menyempatkan waktu untuk mengunjungi ujung timur Pulau Flores ini.                           

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.                                                                         

The post Menembus Nostalgia di Adonara Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menembus-nostalgia-di-adonara-timur/feed/ 0 36833
Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/ https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/#respond Fri, 16 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36658 Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di...

The post Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan appeared first on TelusuRI.

]]>
Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di sini. Menariknya, semua itu tidak saja tersaji lewat alam yang Tuhan ciptakan dengan begitu sempurna, tetapi juga lewat warisan budaya dan hasil cipta masyarakat di dalamnya. Salah satunya, bisa saya temukan di Rumah Tenun Ikat Flamboyan—sebuah ruang bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok penenun.

Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
Sekolah Tenun Ikat Flamboyan/Oswald Kosfraedi

Sebelumnya, di saya sudah mengunjungi Rumah Tenun Kampung Alor pada 2021 lalu untuk menyaksikan proses menenun serta ragam koleksi yang ada di dalamnya. Setelahnya, saya mengunjungi Rumah Tenun Kampung Sabu dan menyaksikan hal yang sama di sana.

Tenunan dengan segala keindahan motif dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya lahir dari jari-jari terampil dan ketekunan para penenun. Dengan itu, apresiasi atas tenun pertama-tama harus dialamatkan kepada para penenun. Mereka hadir sebagai tokoh penting di balik lahirnya tenunan nan indah, sekaligus berdiri di garda depan dalam upaya pelestarian warisan budaya nan luhur.  

Melabuhkan kaki di Kabupaten Belu memberi saya berkesempatan untuk bertemu para penenun nan terampil.

Memang, selama kurang lebih empat tahun lebih saya berada di Pulau Timor, kekayaan tenunan Kabupaten Belu belum sepenuhnya melekat sebagai identitas daerah ini. Perbatasan, Fulan Fehan, dan beberapa destinasi wisata lainnya masih dominan disebut sebagai ikon Kabupaten Belu. Sementara tenunan masih jarang saya dengar—dalam konteks pergaulan sehari-hari—apalagi keberadaan kelompok penenun dan sekolah tenun yang ada di sana.  

Alhasil, lagi-lagi melalui kesempatan Modul Nusantara, saya tiba di salah satu sekolah tenun lokal yang terletak di Kuneru, Kelurahan Manunutin, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu. Namanya, Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Sekolah tenun ini terbentuk secara resmi dua tahun lalu, berada di bawah binaan Kelompok Tenun Ikat Flamboyan yang berlokasi di tempat yang sama.

Jumlah siswanya berjumlah 15 orang, dan mereka acap disebut sebagai anak-anak Flamboyan. Anak-anak ini merupakan gabungan dari anak-anak sekolah pada jenjang yang berbeda, dengan rincian  empat orang siswa SD, lima orang siswa SMP, dan enam orang siswa SMA. Ketika tiba di sana, anak-anak ini pun sedang menenun beberapa kain tenun khas Kabupaten Belu.  

Sore hari itu, kami berkesempatan bertemu secara langsung dengan Mama Maria Goreti Bisoi, yang akrab disapa Mama Eti Bisoi. Beliau merupakan Ketua Kelompok Tenun Ikat Flamboyan sekaligus pengelola Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dari beliaulah, kami mendapatkan informasi tentang keberadaan sekolah ini.

Beliau menjelaskan, di Kelurahan Manumutin sendiri ada dua sekolah tenun, termasuk salah satunya Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dalam praktiknya, sekolah ini bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar menenun—dari berbagai jenjang pendidikan—untuk kemudian diajarkan dan dilatih perihal keterampilan menenun.  

Aktivitas menenun yang diajarkan kepada anak-anak Flamboyan mempunyai beberapa tahapan. Kelas pertama yakni pengenalan alat dan bahan, serta fungsi alat yang digunakan dalam menenun. Setelahnya, para siswa mendapatkan pelajaran mengenai jenis tenunan maupun nilai filosofis di dalamnya, dan tahapan spesifik lain sehingga para siswa dapat  memahami secara baik serangkaian tahapan menenun.  

Di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, para siswa juga intens dilatih untuk menenun tais futus (tenun ikat) dan tais fafoit (tenun sulam) dalam masyarakat Belu. Terkait alat dan bahan menenun, Mama Eti Bisoi menyebut beberapa alat dan bahan, yang mencakup ailulu, ru’i, knur, kai ana, ulo, kaka balun, beba, benang, dan beberapa lainnya. Sementara terkait motif, beberapa motif yang sempat diperkenalkan beliau, antara lain nugu (dikur-tanduk), bebak taran (dahan pohon tuak bergerigi), romiki (gadis kemak bersolek), aikleu (dahan pohon), dan bia ubu (binatang air).  

Beres pengenalan sekolah tenun kepada rombongan kami, saya menemui Mama Eti untuk sedikit menggali informasi tentang keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Menariknya, menurut Mama Eti, anak-anak yang saat ini tergabung di sini rupanya bergabung atas niat dan kemauannya sendiri untuk belajar menenun. Hal ini pun disampaikan oleh salah seorang anak yang saya tanya hari itu. 

Mama Eti Bisoi
Mama Eti Bisoi/Oswald Kosfraedi

“Karena mau belajar tenun,”katanya sambil tersenyum malu.  

Model pembelajaran terkait jenis tenunan, motif, dan nilai filosofis tenunan pun boleh dibilang sangat unik. Anak-anak sekolah diberi ruang belajar secara mandiri untuk memahami hal-hal demikian. Mama Eti dan beberapa penenun Flamboyan hanya mengirimkan materi melalui grup WhatsApp dan kemudian anak-anak secara aktif mempelajarinya secara mandiri.

Hebatnya, anak-anak ini kemudian datang ke tempat tenun dengan pemahaman yang baik dan benar perihal materi yang dibagikan tersebut. Mama Eti dan pendamping lainnya hanya memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan anak-anak tersebut. Dalam perjalanannya, sekolah tenun ini tidak memungut biaya untuk belajar. Dalam seminggu, anak-anak hanya akan didampingi selama 4 jam oleh dua instruktur yakni Mama Eti dan Mama Marta.  

Obrolan saya dan Mama Eti diakhiri dengan pertanyaan saya perihal ide awal menggagas Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, Kuneru. Dengan nada bicaranya yang tenang Mama Eti kemudian menjelaskan ide awal pendirian sekolah tenun tersebut. 

“Awalnya kita sering ikut kegiatan di luar, dan kita tahu bahwa tenun ini warisan budaya. Kita sadar bahwa ini perlu diwariskan kepada anak cucu, lalu bagaimana cara mewariskannya sedangkan guru-guru di sekolah hanya [fokus] pada bidangnya masing-masing, menenun tidak ada pada program atau kurikulum sekolah.”

“Jadi ya, muncul ide bagaimana kalau kita yang bisa dan mampu [yang mengajarkannya]. Apa salahnya meluangkan waktu untuk ajarkan kepada  anak-anak sendiri?” lanjutnya.

Keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan juga mendapat dukungan positif dari masyarakat sekitar dan pemerintah. Beberapa waktu sebelumnya, Mama Eti Bisoi menerima penghargaan sebagai perempuan yang berjasa dan berprestasi di Kabupaten Belu yang diberikan pada 21 April lalu. Menurutnya, penghargaan ini tidak terlepas dari keberadaan kelompok tenun dan sekolah tenun yang mereka bentuk. 

Mama Eti Bisoi juga menambahkan bahwa secara umum pelestarian tenunan di Kabupaten Belu sudah dilakukan dengan baik. Menurutnya, masyarakat sudah punya kesadaran untuk menaruh perhatian besar pada pelestarian tenun, dan semua itu perlu didukung oleh semua pihak sebagai upaya pelestarian budaya daerah maupun nasional.  

  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan

Beberapa dari rombongan kami pun berkesempatan mencoba menenun dengan peralatan yang ada di sana. Annis, Prasetya, Intan, dan beberapa yang lainnya pun tampak serius mengikuti arahan Mama Eti dan Mama Marta. 

Annis, salah satu rekan mahasiswa Modul Nusantara dari Jawa Barat menyampaikan kesan pribadinya setelah berkesempatan mencoba menenun. 

“Senang bisa ngedengerin ilmu dari pihak pengelola tenun, sama bisa praktek juga secara langsung. Biasanya kan cuma bisa lihat lewat media aja cara menenun. Apalagi kalau ada kelas rutin buat menenun ikutan deh annis. Ya walaupun nggak ulet,” ungkap Annis.  

Seiring malam yang kian menjelang, kami akhirnya pamit pulang dari Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Mobil melaju, dan saya mulai membayangkan betapa jauh jarak yang harus kami tempuh dari sini menuju Soe.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!

The post Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/feed/ 0 36658
Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (2) https://telusuri.id/kampung-todo-hujan-dan-cerita-perjalanannya-2/ https://telusuri.id/kampung-todo-hujan-dan-cerita-perjalanannya-2/#respond Fri, 01 Jul 2022 02:34:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34233 Hujan mulai reda setelah setengah jam menunggu di Compang Todo. Sebelum memasuki daerah wisata, kami menerima sedikit arahan dari Pak Daniel terkait rangkaian tur singkat nanti. Sebelum masuk, kami juga terlebih dahulu memakai sarung tenun...

The post Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Hujan mulai reda setelah setengah jam menunggu di Compang Todo. Sebelum memasuki daerah wisata, kami menerima sedikit arahan dari Pak Daniel terkait rangkaian tur singkat nanti. Sebelum masuk, kami juga terlebih dahulu memakai sarung tenun Kampung Todo’, syal, dan ikat kepala.

Selain mengenakan kain khas manggarai, kami juga membayar biaya retribusi sebesar Rp45.000 per orang, sudah termasuk tiket masuk ke lokasi wisata, penyewaan kain adat, serta pemandu selama tur wisata nanti. 

Tradisi-Tradisi Unik Kampung Todo’ 

Rumah adat Todo
Rumah adat Todo/Nawa Jamil

Kami ditemani Pak Daniel selama tur mengelilingi Kampung Adat Todo’. Kampung ini dibangun membentuk lingkaran, dengan rumah utama di tengah-tengah. Semua rumah mengarah ke dalam, di area dalam, dapat ditemukan batu-batu menhir. Kata Pak Daniel, batu-batu tersebut merupakan tanda pemakaman nenek moyang di kampung ini. Walaupun bentuknya sama dengan beberapa Niang Mbaru yang ada di Manggarai, Niang Todo’ dengan bentuk atap kerucut dari jerami, dan bangunan yang berbentuk bundar. 

Jalan-jalan sekitar kampung dibangun dari batu-batu kali pipih yang besar yang tampak sudah sangat tua, dengan lima meriam peninggalan Belanda yang kami temui saat sebelum menaiki jalan-jalan batu di sekitar kampung ini. 

Faktanya, Kampung Todo’ yang kami kunjungi ini merupakan berawal peradaban Minangkabau. Selain itu, sebelum kerajaan Manggarai berpindah ke Ruteng, Kampung Todo’ ini merupakan pusat kerajaan Manggarai pertama, yang berpusat di Niang Mbowang, atau rumah induk. Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil di Todo, sebagaimana lokasi kerajaan tersebut. Namun, karena topografinya yang kurang baik mengingat Kampung Todo’ terletak di daerah pegunungan dengan kemiringan tanah yang beragam, pusat kekuasaan sipil pun pindah ke Puni, Ruteng. 

Tampak dalam rumah adat Todo
Tampak dalam rumah adat Todo/Nawa Jamil

Niang Todo’ ini terbilang unik dari segi sejarahnya. Dari kejauhan, kita bisa membedakan bentuk antara Niang Mbowang dengan rumah lainnya. Selain bentuknya yang lebih besar, di bagian puncak rumah juga terdapat terdapat ornamen yang disebut periuk, yang membedakan rumah ini dengan lainnya. selain itu, terdapat berbagai motif hias pada area sekitar pintu bangunan rumah adat ini serta bagian atasnya. Terdapat dua rumah adat pada sisi timur bangunan induk, yakni Niang Rato dan Niang Lodok. Selain itu ada juga dua rumah adat lainnya pada  sisi baratnya, yakni Niang Wa atau Keka dan Niang Teruk. Sedangkan di bagian depan bangunan induk terdapat Waruga. 

Begitu masuk, seorang pria tua telah duduk bersila, bersandar pada dinding kayu pembatas yang terletak di tengah-tengah rumah. Tidak seperti rumah utama di Wae Rebo yang ramai dan hidup, Niang Mbowang disini terlihat kosong dan sepi. Pak Daniel lalu mengarahkan kami berempat untuk duduk pada tikar anyaman khas Manggarai di sisi kanan pria tua tersebut, sementara Pak Daniel duduk persis di samping pria tersebut. 

Beliau memperkenalkan diri sebagai ketua adat kampung ini, Pak Agustinus namanya. Sore itu, beliau memimpin acara penyambutan kami berempat, dengan merapalkan berbagai doa-doa dalam bahasa manggarai yang diterjemahkan seperlunya oleh Pak Daniel. Setelah selesai, kami pun dipersilahkan bertanya dan menjelajahi rumah utama tersebut. Dahulu saat masih ditinggali, di dalam rumah ini dibangun bilik-bilik yang ditinggali per kepala keluarga. Kini, bilik kamar tersebut hanya tersisa satu yang ditinggali oleh anak Pak Agustinus. Meski tampak kosong, beberapa ornamen-ornamen yang terlihat penuh cerita dapat ditemui di sekitar rumah, seperti gendang, pedang, ukiran kayu, juga berbagai benda-benda yang hanya dikeluarkan saat ada acara-acara tertentu, seperti pernikahan.  

Di bagian belakang rumah terdapat satu tangga yang menghubungkan dengan kolong rumah. bagian rumah ini ternyata memiliki filosofi tersendiri. 

Tampak dalam rumah adat Todo (5)
Salah satu ruangan dalam rumah adat Todo/Nawa Jamil

“Kolong itu digunakan bagi ibu-ibu atau kaum perempuan yang hendak datang bekerja di bagian dapur saat akan diadakan acara di rumah utama ini, agar tidak melewati pintu utama dan mengganggu tamu yang hadir,” tutur Pak Agustinus. 

Tidak hanya sebagai jalur lewat saat acara tertentu, kolong, atau “lewat kolong” memiliki makna tersendiri saat pernikahan, khususnya saat menentukan mahar yang diberikan. Bagi perempuan di kampung Todo’, menikah dengan lelaki di luar Kampung Todo’ berarti memutus hubungan dengan keluarganya di kampung ini secara adat. 

Tampak ukiran unik di pintu rumah adat Todo/Nawa Jamil

Sekitar lima buah ukiran di bagian atap pintu masuk rumah mengisyaratkan bahwa anak-anak perempuan tersebut akan ditanyai hingga lima kali sebelum benar-benar mengambil keputusan pernikahannya, sebab, mereka yang menikah dengan orang luar tidak lagi berhak atas warisan yang ditinggalkan keluarganya, meskipun mereka tetap boleh berkunjung ke rumah orang tuanya di Kampung Todo’ ini. Saat sang pria datang melamar dengan jumlah mahar dan seserahan yang telah disepakati, istilah “kami masuk kesini lewat kolong” meskipun mereka secara harfiah memasuki rumah utama lewat pintu depan berarti mereka datang dengan mahar dibawah dari kesepakatan sebelumnya. 

Sayangnya, selain waktu kunjungan yang tidak begitu lama sebab kami baru mulai masuk saat sore, serta tujuan melihat gendang dari kulit manusia yang sudah pupus. Saya sempat bertanya kepada Pak Agustinus terkait gendang itu, tetapi beliau menolak bahkan untuk menceritakannya sebab katanya perlu diadakan upacara khusus sebelum mengeluarkan benda tersebut dari tempat penyimpanannya di rumah utama ini. 

Kain Tenun Manggarai 

Kampung ini merupakan sentra tenun khas Manggarai. Dapat terlihat begitu kami keluar dari rumah utama, banyak ibu-ibu dan anak-anak perempuan mereka yang telah siap menjajakan tenun hasil kerajinan mereka di sebuah rumah berbentuk persegi panjang yang terletak di samping rumah utama. Tenun-tenun berwarna warni dengan beragam corak tersebut terlihat sangat hidup dan kontras dari bangunan-bangunan di sekitarnya. 

Harganya pun cukup bersaing, mulai dari Rp200.000-Rp1.000.000 lebih per kainnya tergantung kualitas benang dan motifnya. Selain itu, mereka juga menjual produk tenun lain dengan harga yang lebih murah seperti ikat kepala dan syal, mulai dari Rp50.000 per kainnya. Harga ini tentu jauh lebih murah dibanding tenun yang kami temui di Wae Rebo tempo hari. 

Perjalanan Pulang

Setelah selesai dari Kampung Adat Todo’ dan melepas kain adat yang kami kenakan di Compang Todo, kami pun berpamitan dengan Pak Daniel dan Ibu Maria sebelum memulai perjalanan pulang. Tantangan kami temui sewaktu jalan pulang, sebab penerangan yang sangat minim, hanya berupa lampu kendaraan saja dengan medan yang cukup rusak menyebabkan ban motor kami pecah. Untung saja, ada warung terdekat yang buka malam itu. Beberapa pria baik hati menawarkan untuk membawa motor tersebut ke bengkel di desa terdekat, serta menawari kami tempat untuk beristirahat sejenak. 

Kami tiba di Lembor sekitar pukul 22.00. Kami beruntung mendapati satu warung nasi padang yang masih buka. Setelah selesai makan dan beristirahat selama sejam, perjalanan pulang ke Labuan Bajo kembali berlanjut dan segera selesai ketika lampu-lampu malam tersebut mulai terlihat, pemandangan lampu-lampu kapal pinisi yang bersandar di laut sekitar Labuan Bajo. Tepat tengah malam kami tiba di penginapan kami. Tidur lelap menjadi hadiah yang pantas untuk petualangan hari itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-todo-hujan-dan-cerita-perjalanannya-2/feed/ 0 34233
Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (1) https://telusuri.id/kampung-todo-hujan-dan-cerita-perjalanannya-1/ https://telusuri.id/kampung-todo-hujan-dan-cerita-perjalanannya-1/#respond Thu, 30 Jun 2022 02:41:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34235 Pukul 08.00, kami telah menyusuri jalan di sepanjang jalan trans Flores dari Golo Koe di Labuan Bajo menuju Kampung Todo’ di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan perkiraan waktu Google Maps, kami akan menempuh jarak sekitar...

The post Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pukul 08.00, kami telah menyusuri jalan di sepanjang jalan trans Flores dari Golo Koe di Labuan Bajo menuju Kampung Todo’ di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan perkiraan waktu Google Maps, kami akan menempuh jarak sekitar 117 km dengan waktu tempuh tiga jam lebih. Sebenarnya, dua hari yang lalu kami sempat melewati kampung ini saat hendak menuju Desa Wae Rebo via Ruteng. Gerbangnya tampak besar dan tua, berdiri kokoh pada sisi kanan jalan yang kecil dan berbelok. 

Rombongan kami sama sekali tidak berniat untuk melewati rute panjang dari Labuan Bajo ke Ruteng lagi. Selama sisa hari sebelum kepulangan kami ke daerah masing-masing, kami hanya berencana untuk menikmati pantai, perbukitan, gua, maupun pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. Namun, malam sebelumnya kami sempat berbincang dengan Kak Jojo, pemilik penginapan Golo Koe Sejahtera. 

“Iya. Di sana, di Kampung Todo’ ada gendang yang terbuat dari kulit manusia.”

Bangunan tempat warga menjajakan tenun buatannya/Nawa Jamil

Berbekal informasi menarik tentang gendang dari kulit manusia, serta info bahwa kampung tersebut merupakan salah satu sentra tenun manggarai dengan harga yang jauh miring dibanding tenun-tenun di Desa Wae Rebo kemarin. Singkat cerita, perjalanan menuju Kampung Todo kami mulai tepat pukul 08.00 pagi, belajar dari kesalahan waktu memulai perjalanan saat berkunjung ke Desa Wae Rebo dua hari yang lalu. 

Perjalanan berlangsung lancar. Medan rute Labuan Bajo–Ruteng yang penuh tanjakan curam, turunan, dan belokan tajam tidak mengagetkan kami lagi. Berhubung Aji, rekan petualangan kami sebelumnya telah kembali ke Lombok, perjalanan ke Kampung Todo’ kali ini ditemani teman baru, Kak Dini dari Jakarta. Pagi itu saya berboncengan dengan Kak Dini, sementara Kak Riyadi bersama Kak Istya. Kami sampai di jalanan Lembor yang lurus dengan sawah sepanjang mata memandang. 

Perjalanan kembali berbelok memasuki area pegunungan sekitar 15 menit berkendara di jalanan lurus. Setelah sejam lebih dengan waktu makan siang yang sudah lewat, kami memutuskan untuk singgah sebentar ke sebuah warung semi permanen, terlihat tua dengan beberapa cemilan termasuk kacang panggang yang menggoda selera. Begitu melewati Lembor, ternyata sangat sulit menemukan warung makan di pinggir jalan dan warung inilah satu-satunya yang bisa kami singgahi. Saya sempat berbincang dengan penjaga warungnya. Dengan ramah beliau menyajikan kopi saset yang kami nikmati bersama beberapa bungkus kacang panggang. Sekitar 30 menit, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Kampung Todo’. 

Hujan yang Menyapa di Sekitar Nancar 

Perjalanan kami kembali berlanjut sampai di daerah Lembor Selatan, Nancar, saat awan hitam perlahan menurunkan satu per satu titik hujan. Awalnya kami tidak menghiraukan titik-titik hujan yang ada sebab karakteristik awan daerah Manggarai ini terbilang cukup unik sebab hujan datang dalam beragam intensitas dalam waktu yang pendek, sekadar lewat saja. Namun nyatanya, siang itu hujan turun lebat dalam waktu yang cukup lama, sekitar satu setengah jam. 

Kami memutuskan untuk berteduh di salah satu bekas warung semi permanen yang sudah tidak difungsikan lagi, nampaknya sudah lama ditinggali melihat debu dan jaring laba-laba yang lebat pada sudut-sudutnya. Dua orang teman saya kehujanan dan cukup basah. Saya beruntung sebab Kak Dini membawa mantel berlebih. 

Hujan dan suasana pegunungan yang dingin menggigit membawa suasana baru setiap kali melintas dengan sepeda motor. Daun-daun lebat dari pepohonan tinggi yang membatasi cahaya rute pegunungan, bau hujan bercampur daun dan tanah yang khas, juga bagaimana kulit terus-terusan merasa dingin menciptakan kebahagiaan tersendiri sehingga hujan yang mengguyur bukan sesuatu untuk disesalkan, sebab sejatinya Tuhan tengah menurunkan kasihnya. 

Hujan tak kunjung berhenti setelah lebih dari sejam kami menunggu di sini. Akhirnya, Kak Riyadi berinisiatif menerjang hujan menuju warung yang menjual jas hujan plastik sekali pakai. Telepon genggam, kamera, dan beberapa gear-nya kami simpan secara aman di bagasi motor masing-masing, termasuk dompet dan kertas-kertas kecil penting. Setelah segalanya siap, kami pun kembali melaju. Waktu menunjukkan sekitar pukul tiga sore. 

Tampak bangunan tempat warga menjajakan tenun handmade/Nawa Jamil

Sampai di Kampung Todo’

Kabut beriringan dengan hujan menyapa kami begitu memasuki perkampungan Todo’. Sebuah tugu besar dengan cat memudar menjadi tanda jalan yang cukup jelas. Begitu kami sampai, tampak dua mobil sedan pengunjung terparkir di area parkir. Sebuah bangunan dengan atap niang mbaru namun dengan ukuran yang lebih kecil, serta bentuk yang secara umum lebih modern dan baru. “Compang Todo”, begitulah nama bangunan tersebut. Seorang lalu keluar dari sana dan mempersilahkan kami masuk.

Di dalam, kami menunggu hujan reda dan kabut menipis sambil bercerita ringan dengan dua warga lokal yang bertugas mengarahkan wisatawan, Ibu Maria dan Pak Daniel. Kami bercerita beberapa hal, seperti kondisi pariwisata di Kampung Todo’ ini, kebudayaannya, serta cerita lepas perihal Pak Daniel yang sempat merantau ke Sulawesi Selatan, kampung kami. Kampung Todo’ dibuka sebagai objek wisata budaya sekitar tahun 2014, terbilang cukup baru dibandingkan dengan wisata budaya dengan rumah adat yang sama, Niang Mbaru, di Desa Wae Rebo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-todo-hujan-dan-cerita-perjalanannya-1/feed/ 0 34235
Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/ https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/#respond Sun, 05 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30724 Proyek pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo menyita perhatian publik. Anggapan bahwa pembangunan itu dapat mengancam keberlangsungan hidup komodo menyeruak di masyarakat. Tersebarnya foto komodo menghadap truk proyek membuat pembangunan Taman Nasional Komodo dijuluki...

The post Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo appeared first on TelusuRI.

]]>
Proyek pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo menyita perhatian publik. Anggapan bahwa pembangunan itu dapat mengancam keberlangsungan hidup komodo menyeruak di masyarakat. Tersebarnya foto komodo menghadap truk proyek membuat pembangunan Taman Nasional Komodo dijuluki “Jurassic Park”. Nama itu muncul karena komodo sebagai satwa langka yang mengingatkan publik terhadap dinosaurus di film dengan judul yang sama.

Taman Nasional Komodo sebenarnya adalah gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Komodo merupakan bagian dari taman nasional tersebut bersama Pulau Rinca, Pulau Padar, serta sejumlah pulau kecil lainnya. Dikenal sebagai habitat asli komodo, pulau-pulau ini dinobatkan menjadi situs warisan dunia UNESCO.

Komodo merupakan spesies kadal terbesar di dunia dengan panjang 2-3 meter dan berat tubuh rata-rata 90 kilogram. Kini komodo sendiri termasuk satwa langka yang dilindungi. Berdasarkan data 2019, ada sekitar 3.022 komodo di pulau-pulau bagian dari Taman Nasional Komodo. Selain komodo, laut di sekitar taman nasional adalah rumah bagi ratusan jenis biota laut. Sehingga, keindahan bawah lautnya juga tak perlu diragukan lagi.

Keindahan alam dan bawah laut yang memukau berhasil menarik perhatian wisatawan untuk melancong ke Taman Nasional Komodo. Di pulau yang berbatasan dengan Nusa Tenggara Barat itu, para wisatawan dapat melihat kehidupan komodo di alam liar. Pesona yang dimiliki rumah bagi ribuan komodo itu telah menjadikannya salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia, bersanding dengan Bali dan Raja Ampat.

Komodo Menghadang Truk-Instagram @gregoriusafioma
Komodo menghadang truk/Instagram @gregoriusafioma

Proyek Pengembangan Pariwisata

Pulau Rinca-Unsplash-Azis Pradana
Pulau Rinca via Unsplash/Azis Pradana

Pemerintah pun berusaha melakukan pembangunan, sehingga taman nasional ini tampak semakin apik. Salah satunya proyek pembangunan yang menghebohkan publik akhir-akhir ini. Pemerintah berujar bahwa kali ini merupakan pembangunan tempat wisata premium di kawasan Taman Nasional Komodo, NTT. Khususnya di Pulau Rinca yang difokuskan sebagai tujuan pariwisata massal.

Proyek pembangunan Taman Nasional Komodo sejak tahun lalu memang sangat gencar dilakukan. Bertujuan untuk pengembangan pariwisata, salah satu daerah yang dibangun secara signifikan adalah Loh Buaya, Pulau Rinca. Bahkan, wilayah ini sempat ditutup guna percepatan pembangunan dan penataan sarana serta prasarana di Resor Loh Buaya. Pembangunan kawasan wisata di Loh Buaya, meliputi dermaga, penginapan ranger dan pemandu alam, serta bermacam sarana pendukung pariwisata, dilakukan selama pandemi.

Pemerintah mengklaim sudah menugaskan beberapa polisi hutan guna mengawasi agar tidak ada komodo yang menjadi korban proyek tersebut. Nantinya, Pulau Rinca akan jadi tempat wisata (mass tourism) di Taman Nasional Komodo. Sehingga, turis-turis akan diarahkan ke Pulau Rinca. Lalu, Pulau Komodo dijadikan wilayah pusat konservasi para komodo yang membuat kunjungan ke sana akan dibatasi.

Peringatan UNESCO

Pembangunan yang dianggap mengganggu kesejahteraan komodo ini disoroti oleh berbagai lembaga dan organisasi nasional dan internasional. Bahkan, proyek ini pun mendapat peringatan agar dihentikan oleh UNESCO. Permintaan penghentian seluruh proyek di kawasan Taman Nasional Komodo tertuang data dokumen yang terbit usai konvensi tanggal 16-31 Juli 2021.

Menurut UNESCO, pembangunan itu dapat mempengaruhi Outstanding Universal Value (OUV) sebelum adanya peninjauan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh Uni Internasional Konservasi Alam (IUCN). Komite Warisan Dunia UNESCO juga dibuat cemas dengan adanya undang-undang yang mengizinkan pembangunan infrastruktur tanpa AMDAL (UU Cipta Kerja).

Meskipun sudah diminta untuk dihentikan, ternyata pemerintah masih keukeuh melanjutkan pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo. Pemerintah berdalih bahwa proyek ini tidak akan memberi dampak lingkungan. Selain itu, pembangunan ini sudah sesuai konsep berkelanjutan yang sejak awal diusung.

Pemerintah juga mengatakan bahwa pembangunan di Taman Nasional Komodo bertujuan renovasi sarana dan prasarana yang sudah ada, tetapi tidak layak. Sarana dan prasarana tersebut akan diganti dengan yang berstandar internasional. Oleh karena itu, pembangunan daerah pariwisata tersebut dianggap tidak akan membahayakan satwa, terutama komodo sebagai aset berharganya.

Ramainya TN Komodo-Unsplash-Rizknas @rizknas
Ramainya TN Komodo-Unsplash-Rizknas @rizknas

Janji Pemerintah

Dengan adanya pengembangan itu, pemerintah secara berani menargetkan target kunjungan sebanyak 500.000 orang per tahun. Tentu hal ini menjadi perhatian khusus, sebagaimana diketahui jumlah kunjungan tahunan Taman Nasional Komodo berkisar 250.000 orang sebelum pandemi. Namun, lagi dan lagi pemerintah meyakinkan bahwa mereka tetap berfokus pada pariwisata berkualitas di kawasan Taman Nasional Komodo. Pariwisata berkualitas itu juga akan tetap menjunjung asas keberlanjutan.

Bagi masyarakat sekitar, pemerintah menambahkan bahwa mereka akan memaksimalkan potensi budaya maupun konten lokal sebagai kekuatan utama wisata di taman nasional tersebut. Masyarakat setempat akan dilibatkan hingga kesejahteraan mereka akan meningkat seiring pembangunan kawasan Taman Nasional Komodo. Pernyataan itu seolah-olah jadi jawaban atas desakan masyarakat untuk melaksanakan pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan.

Namun, berbagai respons pemerintah dianggap belum mampu meyakinkan masyarakat. Bahkan, masyarakat sempat membuat petisi ditujukan kepada Pak Jokowi dan kementerian terkait. Isi petisi itu agar pembangunan di Pulau Rinca dihentikan. Hal tersebut karena proyek pembangunan kawasan pariwisata premium di Pulau Rinca merupakan ancaman serius. Masyarakat lokal, aktivis lingkungan hidup, hingga pemerhati alam tetap berharap pembangunan ini tidak dilanjutkan. Karena dampaknya tidak hanya lingkungan, tetapi juga satwa dan masyarakat sekitar.

Banyak masyarakat berpegang teguh pada perspektif bahwa Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi, bukan ladang bisnis. Meskipun adanya perdebatan tentang proyek “Jurassic Park” di Taman Nasional Komodo, semua lapisan masyarakat tetap berharap yang terbaik dan pemerintah tak ingkar dengan janji-janji yang telah dibuat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
.

The post Proyek “Jurassic Park” Taman Nasional Komodo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/proyek-jurassic-park-taman-nasional-komodo/feed/ 0 30724
Baca Ini Dulu sebelum Melakukan Perjalanan “Overland” Flores https://telusuri.id/perjalanan-overland-flores/ https://telusuri.id/perjalanan-overland-flores/#respond Mon, 17 Dec 2018 09:00:53 +0000 https://telusuri.id/?p=11216 Kamu penasaran banget pengen melakukan perjalanan darat melintasi Pulau Flores tapi masih ragu? Nah, mungkin setelah baca tulisan ini kamu nggak bakalan ragu lagi dan bisa segera merencanakan perjalananmu. 1. Bisa mulai dari barat atau...

The post Baca Ini Dulu sebelum Melakukan Perjalanan “Overland” Flores appeared first on TelusuRI.

]]>
Kamu penasaran banget pengen melakukan perjalanan darat melintasi Pulau Flores tapi masih ragu? Nah, mungkin setelah baca tulisan ini kamu nggak bakalan ragu lagi dan bisa segera merencanakan perjalananmu.

1. Bisa mulai dari barat atau timur Pulau Flores

Sebenarnya, untuk overland Flores ada dua opsi, yakni dari barat ke timur atau dari timur ke barat. Baik di barat (Labuan Bajo) maupun timur (Larantuka) Pulau Flores, sudah ada bandara.

Kalau dari barat ke timur, kamu bisa mulai dari Labuan Bajo sampai ke Larantuka. Sebaliknya, dari timur ke barat kamu bakalan menjelajah dari Larantuka sampai ke Labuan Bajo.

Anak-anak pantai mengayuh perahu di Maumere/Fuji Adriza

2. Siapkan waktu sekurang-kurangnya seminggu

Kalau mau overland Flores, kamu mesti menyiapkan waktu sekurang-kurangnya seminggu. (Meskipun sebenarnya seminggu terlalu mepet.)

Dalam perjalanan seminggu itu, kamu bisa menjelajahi Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende dan Moni, dan Larantuka. Tapi, ya, karena cuma seminggu, kamu nggak bisa berlama-lama di sebuah destinasi.

3. Jangan ragu buat naik transportasi umum

Meskipun nggak seramai di Pulau Jawa, transportasi umum di Pulau Flores lumayan bisa diandalkan, kok.

Hanya saja, kamu nggak bisa berharap bawah angkutan bakalan tersedia 24 jam. Di Flores, biasanya angkutan terakhir dari satu kota ke kota lain cuma tersedia sampai sore sebelum hari gelap.

4. Hindari melakukan perjalanan malam karena bakal susah dapat angkutan

Karena angkutan antarkota cuma ada sampai sore menjelang gelap, disarankan agar kamu selalu melakukan perjalanan di siang hari.

Rata-rata, dari satu kota ke kota lain di Pulau Flores perlu waktu antara 2-4 jam. Jadi, kalau kamu tahu kota yang bakal dituju, kamu bisa memperkirakan kapan waktu terbaik buat memulai perjalanan.

Matahari terbit di Bajawa/Fuji Adriza

5. Di tempat-tempat tertentu banyak penginapan murah

Kamu nggak perlu khawatir soal penginapan waktu perjalanan overland Flores. Di tiap kota pasti bakalan ada penginapan yang biasanya digunakan oleh pelancong lokal. Harganya ada yang mulai dari sekitar Rp 50 ribu.

Di tempat-tempat tertentu yang turistik, misalnya Labuan Bajo dan Moni, banyak penginapan-penginapan buat backpacker. Kalau nggak dapet penginapan—mungkin karena lagi high season—kamu jangan putus asa. Pergi saja ke kedai kopi. Nanti pasti ada saja yang menawarkan penginapan murah.

Jadi, gimana? Kapan mau overland Flores?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Baca Ini Dulu sebelum Melakukan Perjalanan “Overland” Flores appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-overland-flores/feed/ 0 11216
Ngobrol bareng “Diver” Pertama Solor https://telusuri.id/ngobrol-bersama-diver-pertama-solor/ https://telusuri.id/ngobrol-bersama-diver-pertama-solor/#comments Fri, 20 Jul 2018 09:00:37 +0000 https://telusuri.id/?p=9840 Solor adalah pulau kecil yang terdiri dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Solor Barat, Solor Selatan, dan Solor Timur. Kampung Edy berada di Desa Labelen (Gorang), Solor Timur, bersebelahan dengan Kampung Lamakera. Karena kampung itu terletak...

The post Ngobrol bareng “Diver” Pertama Solor appeared first on TelusuRI.

]]>
Solor adalah pulau kecil yang terdiri dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Solor Barat, Solor Selatan, dan Solor Timur. Kampung Edy berada di Desa Labelen (Gorang), Solor Timur, bersebelahan dengan Kampung Lamakera.

Karena kampung itu terletak di pesisir, wajar saja kalau sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan. Solor sendiri bisa dikatakan sebagai pemasok terbesar hasil laut Kabupaten Flores Timur.

Namun, jadi nelayan di Solor punya tantangan tersendiri. Alih-alih dekat pantai, fishing ground mereka berada bermil-mil jauhnya sehingga perlu keberanian ekstra untuk menjalani profesi nelayan.

misool baseftin

Sebelum diving via instagram.com/edhytopan

Edy Topan, pemuda asal Solor berusia 25 tahun, sedikit berbeda. Bukannya mencari ikan, di laut ia malah menyelam. Beberapa waktu yang lalu, mewakili Misool Baseftin, ia menemani saya melihat bawah laut Dusun Mekko, Flores Timur, yang dikenal sebagai nursery hiu.

Sayang sekali karena Edy dan kawan-kawannya harus kembali hari itu juga ke Larantuka kami tak sempat mengobrol saat di Mekko. Namun kami sepakat untuk bertemu lagi di markas Misool Baseftin yang letaknya tak jauh dari pelabuhan penyeberangan Larantuka-Adonara.

Beberapa hari kemudian, diantar oleh Bang Ayom, kami menyusuri jalanan Larantuka untuk ke Misool Baseftin. Di sana Edy sudah menunggu. Jabat hangat dan akrabnya membuat saya tak canggung untuk berbincang sembari menunggu jadwal keberangkatan pesawat menuju Kupang.

misool baseftin

Menyelam di Solor via instagram.com/edhytopan

Diver pertama Solor

Dari obrolan singkat itu, saya jadi tahu bahwa laut bukan hal baru bagi Edy. Ayahnya adalah seorang nelayan yang jauh-jauh mengarungi lautan dari Buton, Sulawesi Tenggara, ke Solor untuk mengubah nasib.

Selepas SMA, sulung dari lima bersaudara itu menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Budidaya Perikanan, Program di Luar Domisili (PDD) Politeknik Pertanian Negeri Kupang di Ende.

Ketika kuliah itulah Edy mengambil sebuah keputusan yang nantinya akan menentukan jalan hidupnya: ikut program magang tiga bulan di Yayasan Misool Baseftin.

misool baseftin

Pose hiu bersama anak-anak Mekko

Yayasan Misool Baseftin merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat nelayan. Mereka berkolaborasi secara langsung dengan pemerintah setempat lewat Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Flores Timur.

Edy ditempatkan pada Tim Survei Megafauna dan Pendampingan Masyarakat Nelayan di Bagian Pengolahan Hasil Tangkapan Nelayan. Tugas itu tentu saja membuatnya mesti belajar selam.

Selepas magang, ia meneruskan kuliah sampai lulus. Begitu mengantongi ijazah, ia pun kembali ke Misool Baseftin untuk menjadi asisten peneliti. Tak lupa ia terus mengembangkan kemampuan scuba diving sampai akhirnya memperoleh lisensi selam di Labuan Bajo—dan, barangkali, menjadi putra Solor pertama yang mengantongi lisensi selam.

misool baseftin

Foto bersama Tim Misool Baseftin via instagram.com/edhytopan

Sepulang dari Labuan Bajo, Edy mulai menyadari bahwa kondisi laut di Flores berpotensi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata selam. Namun menurutnya masyarakat setempat belum menyadari potensi itu.

Sampai sekarang sudah sekitar 1,5 tahun Edy Topan menekuni scuba diving. Selama itu pula ia menjelajah lokasi-lokasi penyelaman di sekitar Nusa Bunga. Hampir seluruh titik penyelaman di Flores Timur—sampai Lembata—sudah pernah disambangi olehnya.

“Potensi di Flores Timur dari laut itu sangat tinggi”

Bagi Edy Topan, menyelam lebih dari sekadar rekreasi. Saat ngobrol-ngobrol dengannya, dengan yakin ia menceritakan alasannya untuk terus menekuni diving.

misool baseftin

Di “speedboat”, Edy Topan berdiri paling kanan/Syukron

“Saya memilih untuk belajar diving disamping karena kesukaan saya dengan dunia bawah laut juga untuk memberikan pemahaman ke masyarakat untuk kehidupan yang berkelanjutan dari kehidupan laut,” tutur Edy.

“Potensi di Flores Timur dari laut itu sangat tinggi … dapat menunjang perekonomian masyarakat sampai … anak cucu jika itu memang benar-benar dijaga dan dilestarikan terus… jika kita tetap dengan cara seperti ini tidak akan mustahil besok atau lusa sudah habis dan itu hilang,” lanjutnya bersemangat.

misool baseftin

Bersama manta via instagram.com/edhytopan

Namun, upaya untuk menanamkan pemahaman itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak jarang Edy dan Misool Baseftin mesti menghadapi resistensi penduduk setempat.

Mengubah pola hidup yang selama ini dijalani memang tidak mudah, misalnya mengubah kebiasaan menggunakan bom atau menangkap megafauna demi kebutuhan ekonomi.

Tapi ternyata tak cuma itu. Edy bercerita ia pernah kesulitan ketika membawa tamu dari luar negeri ke kampungnya. Kedatangan orang asing masih dianggap warga setempat sebagai hal yang bisa mengubah budaya lokal.

misool baseftin

Ngobrol bareng Edy Topan (kiri)/Ayom @wwf_id

Diving sendiri sebenarnya memang belum begitu populer di kalangan penduduk lokal Flores Timur. Edy bercerita bahwa banyak teman sekolahnya dahulu yang kaget mengetahui sekarang ia menjadi seorang diver. Bagi mereka diving itu sangat mahal, tak terjangkau.

Tapi Edy berharap bukan hanya dia yang bisa menikmati keindahan bahwa laut Flores Timur. “Harapan saya untuk anak muda asal Gorang [adalah agar] jangan pernah sia-siakan kesempatan hidup … untuk traveling di alam laut milik kita [sendiri].”


Perjalanan ke Dusun Mekko, Flores Timur, ini dilakukan bersama @wwf_id dalam rangka Peresmian Pusat Informasi Wisata Mekko oleh Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ngobrol bareng “Diver” Pertama Solor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngobrol-bersama-diver-pertama-solor/feed/ 1 9840
Menyebar Pukat di Mekko https://telusuri.id/menyebar-pukat-di-mekko/ https://telusuri.id/menyebar-pukat-di-mekko/#respond Tue, 17 Jul 2018 09:34:02 +0000 https://telusuri.id/?p=9744 Ayam sebagai penanda pagi sudah membunyikan alarmnya. Pagi ini cukup sepi. Saya bahkan bisa mendengar denting piring dari rumah sebelah—sepertinya mereka sedang menyiapkan sarapan. Ini hari ketiga saya di Mekko, sebuah dusun kecil di Desa...

The post Menyebar Pukat di Mekko appeared first on TelusuRI.

]]>
Ayam sebagai penanda pagi sudah membunyikan alarmnya. Pagi ini cukup sepi. Saya bahkan bisa mendengar denting piring dari rumah sebelah—sepertinya mereka sedang menyiapkan sarapan.

Ini hari ketiga saya di Mekko, sebuah dusun kecil di Desa Pledo, Flores Timur. Beberapa hari di sini, saya cukup semangat untuk menikmati matahari terbit di Jembatan Tambat Perahu tak jauh dari rumah tempat saya menginap. Memandang matahari terbit (bulang kalau kata orang Bajo) di balik Ile Ape (ile artinya gunung) barangkali memang takkan pernah membosankan. Tapi pagi ini saya ingin bermalas-malasan di kasur.

mekko

Matahari terbit di jembatan Tambat Perahu Mekko/Baktiar Sontani

Tangan ini mulai meraba-raba di kasur mencari ponsel. Bukan untuk membuka media sosial atau mengecek email karena saya sudah mulai terbiasa dengan ketiadaan sinyal di dusun ini. Dunia luar yang penuh informasi, rasa-rasanya sudah cukup. Gawai itu saya gunakan untuk mencatat atau membaca eBook yang sudah lama tersimpan.

Nasi kuah kopi

Sunarto, anak laki-laki Bang Jabbar yang berumur 10 tahun, memanggil saya untuk ke dapur. Selama di Mekko, saya menginap di rumah keluarga Bang Jabbar. Di dapur ternyata semuanya sudah kumpul. Mereka bangun lebih pagi dari saya.

Dekat jendela dapur pukat sedang digantung. “Ini pukat mau kita perbaiki biar bisa digunakan lagi,” Bang Jabbar menjelaskan.

Pukat berbahan nilon itu memang rentan rusak akibat hiu. Karena pukat ini memang hanya untuk ikan-ikan konsumsi yang tidak terlalu besar mudah saja bagi hiu untuk merusaknya. Namun memperbaiki pukat tampaknya memang perlu kesabaran.

Saya melihat pukat itu dengan saksama sembari menunggu kopi. Merajut pukat ibarat menenun. Polanya tidak boleh salah, sebab itulah perajutnya harus sabar. Bahkan ada ungkapan lokal yang berbunyi begini: “Orang yang memperbaiki pukat itu ibarat orang yang sedang cemburu dan tak mau keluar rumah.” Untungnya Bang Jabbar masih punya pukat lain untuk dipakai melaut nanti.

mekko

Dusun Mekko tampak atas/Mohamad Chafiz

Sekarang saya mengerti kenapa orang Bajo sering dianggap lebih suka menyendiri daripada berkelompok. Waktu mereka memang habis untuk bertahan hidup, entah melaut, menjual hasil tangkapan, belum lagi jika pukat jaring rusak, sementara untuk memperbaikinya perlu waktu yang tak sebentar dan kesabaran yang tidak sedikit.

Kopi sudah di meja. Selain itu ada juga nasi putih sisa semalam. Saya dan Bang Jabbar mengobrolkan rencana siang ini untuk menyebar pukat di laut. Namun obrolan kami terhenti saat saya melihat Bang Jabbar menuangkan kopi ke nasi putih.

“Bang, itu nasi dikasih kuah kopi?”

“Iya. Memang di sini sudah biasa. Jika tak ada lauk yang dimakan, kopilah yang kami tuang. Biar ada rasa sedikit nasinya,” Bang Jabbar menjawab, seperti heran melihat reaksi saya.

Saya coba menelaahnya: nasi kuah kopi. “Kuliner khas nih bang!” ucap saya. Seisi dapur tertawa.

Memperbaiki pukat yang rusak/Syukron

Menyebar pukat di perairan Mekko

Barangkali gambaran betapa teriknya siang ini adalah begini: taruh telur di atas batu, ketika diambil kembali akan jadi telur setengah matang. Panas itu bersama-sama dengan angin yang meniupkan debu membuat saya memilih bermalas-malasan saja di teras rumah.

Konon dahulunya Mekko adalah sebuah pasar, lokasi bertemunya orang Bajo dengan orang gunung atau daratan. Bisa ditebak, orang Bajo dan orang gunung kawin-mawin sehingga kedua budaya bercampur. Namun meskipun begitu masyarakat Mekko kontemporer tetap bergantung pada laut.

Tak hanya memancing, mereka juga menjaring ikan dengan pukat bahkan bom ikan. Apa pun akan mereka tangkap asal punya nilai jual.

Dahulu, sebelum dilarang, mereka bisa menjual berpuluh-puluh hiu tiap harinya. (Pesisir timur Pulau Adonara ini memang terkenal sebagai nursery hiu.) Namun saat ini sudah tidak. Mereka beralih menjadi nelayan ikan dan bergabung membentuk Kelompok Pariwisata Berbasis Masyarakat “Bangkit Muda-Mudi Mekko.” Sehingga jika ada wisatawan yang datang mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sebagai pemandu atau juru mudi kapal.

mekko

Berangkat menyebar pukat/Syukron

Selepas zuhur barulah kami melaut. Saat air sedang surut beginilah waktu yang tepat untuk menyebar pukat. Kami tidak sendiri, ada beberapa nelayan lain juga yang berangkat ke laut mendayung sampannya.

Sampan kami berisi tiga orang, yakni Bang Jabbar, Sunarto, dan saya. Tak sampai 10 menit kami tiba di perairan Pulau Keroko. Pulau tak berpenghuni ini adalah salah satu lokasi tempat masyarakat Mekko mencari ikan. Jernihnya air laut ditambah teriknya matahari membuat karang dan ikan di laut kelihatan jelas dari permukaan.

Pukat sepanjang hampir 30 meter dengan lebar satu meter mulai diturunkan pelan-pelan. Tak boleh kusut, agar nanti banyak ikan yang tersangkut. Saya pikir kami akan menunggu pukat itu di laut. Ternyata, kata Bang Jabbar, nanti malam pukat itu baru diambil. “Bisa gosong kita di laut (kalau pukatnya ditunggu),” selorohnya.

Perlu waktu 40 menit untuk mengambil pukat

Sehabis magrib, dengan senter di kepala, kami kembali lagi menuju laut. Flores adalah tempat paling menggiurkan untuk melihat bintang di malam hari. Taburan bintang yang acak tak ubahnya seperti lampu kota dari kejauhan.

mekko

Menyebar pukat di laut/Syukron

Tapi ada sesuatu yang lain, yang jarang saya lihat di tempat-tempat lain, yakni bulan terbit. Saya berada di Mekko pada saat yang tepat. Purnama. Sensasi melihat bulan terbit tak ubahnya seperti sensasi menyaksikan matahari terbit. Tapi, tak seperti mentari yang membawa siang, bulan mengantarkan malam pada dunia.

Akhirnya sampan kami tiba di ujung pukat yang ditandai dengan gabus putih yang mengapung. Gerakan mengangkat pukat adalah kebalikan dari menyebarnya. Kami mengangkatnya pelan-pelan sambil memperhatikan apakah ada ikan yang tersangkut di jaring.

Hari ini perlu waktu sekitar 40 menit untuk mengambil pukat. Tangkapan kami beragam, dari mulai ikan tuda, kakatua, ekor kuning, sampai sotong. Esok subuh ikan-ikan itu akan dibawa ke pasar. Menurut Bang Jabbar tangkapan kali ini tidak terlalu banyak, namun cukup untuk membeli beras.

Begitulah. Hidup sebagai nelayan adalah tentang ketidakpastian. Tapi, apa mau dikata, itulah cara mereka untuk terus menggelayut dalam roda kehidupan.


Perjalanan ke Dusun Mekko, Flores Timur, ini dilakukan bersama @wwf_id dalam rangka Peresmian Pusat Informasi Wisata Mekko oleh Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyebar Pukat di Mekko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyebar-pukat-di-mekko/feed/ 0 9744
Melihat Warna-warni Dunia Bawah Laut Dusun Mekko Flores Timur https://telusuri.id/bawah-laut-dusun-mekko-flores-timur/ https://telusuri.id/bawah-laut-dusun-mekko-flores-timur/#comments Thu, 12 Jul 2018 09:30:34 +0000 https://telusuri.id/?p=9607 Untuk sebuah kawasan perairan yang dahulunya sering dihujani bom ikan, tentu kita tak bisa berekspektasi tinggi tentang dunia bawah lautnya. Meskipun demikian, entah kenapa saya tetap antusias untuk menyelam di kawasan perairan Dusun Mekko, Desa...

The post Melihat Warna-warni Dunia Bawah Laut Dusun Mekko Flores Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Untuk sebuah kawasan perairan yang dahulunya sering dihujani bom ikan, tentu kita tak bisa berekspektasi tinggi tentang dunia bawah lautnya.

Meskipun demikian, entah kenapa saya tetap antusias untuk menyelam di kawasan perairan Dusun Mekko, Desa Pledo, Pulau Adonara, Flores Timur ini. Berdasarkan cerita Bli Darma dari WWF Indonesia dan Edy dari Misool Baseftin, saya menarik hipotesis begini: arus cukup kuat dan jika beruntung saya dapat melihat hiu.

dusun mekko

Mekko dari atas/Mohamad Chafiz

Benar: hiu.

Kenyataannya bukan hanya saya saja yang penasaran ingin melihat hiu di perairan Mekko. Pada waktu-waktu tertentu, wisatawan-wisatawan di kapal LOB (live on board) sengaja datang jauh-jauh ke Mekko hanya untuk melihat hewan bersirip-punggung runcing itu.

Daya tarik Mekko

Soal makhluk laut yang jadi daya tarik utama Mekko itu saya dapat banyak pencerahan saat berbincang dengan Tardi (Responsible Marine Business and Ecotourism Coordinator for Lesser Sunda Seascape, Coral Triangle WWF Indonesia) dan Ayom (Flores Timur Officer, WWF Indonesia).

dusun mekko

Mengambil air/Syukron

Mereka menjelaskan tentang Survei Perikanan Hiu di Kabupaten Flores Timur (FGD dan observasi) yang dilakukan WWF tahun 2015 silam. Survei itu mengungkap ada beberapa jenis hiu yang hidup di areal karang perairan Mekko, yakni  jenis blacktip reef shark, whitetip reef shark, dan grey reef shark. (Di tahun yang sama, WWF Indonesia juga melakukan identifikasi tokoh kunci di Mekko untuk pengelolaan dan pemanfaatan hiu berbasis kawasan konservasi.)

Untuk memperkuat temuan itu, WWF Indonesia melakukan Survei Ekologi Hiu di perairan Mekko. Dari sana diketahui bahwa hiu yang cukup sering muncul adalah blacktip reef shark dan whitetip reef shark.

dusun mekko

Menuju laut/Syukron

Dahulu, penduduk Dusun Mekko memandang hiu dari perspektif berbeda, kurang sejalan dengan sudut pandang konservasi. Namun paradigma masyarakat Mekko tentang hiu berubah setelah WWF dan pemerintah masuk dan memberikan sosialiasi. Masyarakat pun tersadarkan mengenai betapa pentingnya fungsi hiu dalam ekosistem laut. Alhasil, sekarang, alih-alih menyasar hiu, pukat nelayan Mekko hanya menarget ikan biasa.

Muaranya, saat ini perairan Mekko sudah menjadi salah satu Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Flores Timur dengan target konservasi untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan habitat penting hiu. Dusun Mekko telah bangkit menjadi daerah wisata berbasis masyarakat. Masyarakat setempat juga sudah mulai memetakan perairan sekitar; di mana saja tempat yang bagus untuk snorkeling maupun diving.

dusun mekko

Meloncat di dermaga/Syukron

Aktivitas diving ternyata sudah ada di salah satu dusun di Flores Timur ini. (Kawasan Flores Timur dan sekitarnya lebih cocok untuk penyelam advanced ketimbang pemula.) Sayangnya belum ada dive operator di Mekko. Dive operator terdekat dari dusun itu berada di Larantuka, 2,5 jam perjalanan dengan speedboat.

Bekas pengeboman yang sudah kembali warna-warni

Upaya untuk menjadikan Mekko sebagai destinasi wisata memang baru dimulai. Untuk mengakselerasi usaha itu, dibangunlah kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko yang fokus dalam pemberdayaan pariwisata berbasis masyarakat. Salah satu hal konkret yang mereka lakukan adalah menyediakan alat snorkeling untuk disewakan.

dusun mekko

Bang Said mendayung perahu/Syukron

Hari itu, speedboat fiber milik Misool Baseftin mengekor di belakang perahu kayu kecil Bang Said, warga lokal yang cukup paham di mana tempat yang tepat untuk menyelam. Kami berhenti di depan sebuah pulau yang konon dihuni banyak kelelawar. Bang Said lalu bilang bahwa kami bisa mulai menyelam di titik itu. Setelah briefing, kami mulai bersiap turun.

“OK! Karang sebelah kiri,” ucap Edy. Berarti pada penyelaman kali ini kami akan mengikuti arus dengan karang berada di sebelah kiri.

dusun mekko

Menyelami Mekko/Syukron

Salah satu kelebihan menyelam mengikuti arus adalah kita tak perlu banyak kicking. Diam saja badan kita sudah bergerak mengikuti arus. Yang penting kita memperhatikan kedalaman agar tetap stabil. Sayangnya, arus seperti ini membuat kita agak kesulitan mengambil gambar, terutama foto hewan atau biota laut. Akan susah sekali berada dalam posisi diam.

Saat turun, tampak kemiringan karang cukup bervariasi. Air laut yang jernih membuat jarak pandang jauh. Dasar pasir mulai kelihatan dan divecomp menunjukkan kedalaman 22 meter. Setelah memberikan sinyal tangan OK pada kedua buddy saya itu, kami mulai menyelam mengikuti arus.

dusun mekko

Terumbu karang sehat/Syukron

Sepertinya saya salah menduga dari awal. Alih-alih senyap, bawah laut Dusun Mekko ibarat pasar yang sedang ramai. Terumbu karang dan ikan-ikan di dalamnya ternyata masih banyak, ibarat toko warna-warni, baik besar maupun kecil, beserta penjual dan pembeli yang berinteraksi di sana.

Memang kalau diperhatikan dengan saksama saya melihat seafan yang rusak atau karang bekas hancur. Tapi tidak semasif yang pernah saya lihat di spot diving daerah lain yang pernah menjadi tempat pengeboman ikan.

dusun mekko

Kawanan ikan kecil/Syukron

Bertemu “green humphead parrotfish” sebesar dua pintu lemari baju

Jelas keliatan sekali bahwa perusakan karang oleh manusia sudah tidak lagi dilakukan. Bom ikan sendiri terakhir kali meledak tahun 2016. Masyarakat Mekko memang mulai sadar bahwa kelangsungan bawah laut, jika tak dijaga, akan membuat generasi selanjutnya kesusahan.

Beberapa kali saya menjumpai pari yang bersembunyi di bawah karang. Tapi yang membuat saya terkesima adalah green humphead parrotfish sebesar dua pintu lemari baju. Jumlahnya tak tanggung-tanggungenam ekor!

dusun mekko

“Freediver” alami/Syukron

Beberapa kali saya melihat hiu melintas. Kalau diamati, yang berkeliaran adalah white tip dan black tip. Lucunya, meskipun bertampang gahar dan buas mereka lebih memilih menghindar dan menjauh begitu menyadari kehadiran kami.

Satu hal yang saya sadari dari diving adalah bagaimana pun juga akhirnya kita harus kembali ke atas. Melihat kondisi oksigen dalam tabung yang sudah mulai menipis kami pelan-pelan naik untuk safety stop sebelum ke permukaan.

dusun mekko

Senja di Mekko/Syukron

Waktu hovering, saya mendapati bahwa karang dan ikan di kedalaman 3-5 meter juga tak kalah bagusnya. Kalau penyelaman ini diibaratkan dengan makan malam, karang dan ikan yang warna-warni itu ibarat hidangan penutup berupa buah segar.

Setiba di permukaan, kami sudah ditunggu speedboat. Setelah melepaskan peralatan, Erma mengatakan kalau kami akan bersantai dulu di Pulau Pasir Putih sebelum pulang.

Menyelami dunia bawah air Dusun Mekko yang panas ibarat minum es kelapa muda di padang gurun: sederhana namun nikmat luar biasa.


Perjalanan ke Dusun Mekko, Flores Timur, ini dilakukan bersama @wwf_id dalam rangka Peresmian Pusat Informasi Wisata Mekko oleh Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


Ralat (12/072018): Terjadi kesalahan dalam penulisan nama kelompok yang diresmikan. Sebelumnya ditulis Bangun Muda Mudi Mekko, padahal seharusnya Bangkit Muda Mudi Mekko.

Pemutakhiran terakhir: 20/07/2018 00:11 WIB

The post Melihat Warna-warni Dunia Bawah Laut Dusun Mekko Flores Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bawah-laut-dusun-mekko-flores-timur/feed/ 5 9607
Mending Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Danau Kelimutu https://telusuri.id/mending-baca-ini-dulu-sebelum-traveling-ke-danau-kelimutu/ https://telusuri.id/mending-baca-ini-dulu-sebelum-traveling-ke-danau-kelimutu/#comments Sun, 25 Feb 2018 02:30:34 +0000 https://telusuri.id/?p=6830 Siapa sih yang nggak pengen traveling ke Danau Tiga Warna alias Danau Kelimutu di Flores, Nusa Tenggara Timur? Barangkali kamu salah satunya? Nah, sebelum traveling ke Danau Kelimutu, mending baca ini dulu: 1. Kapan sih...

The post Mending Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Danau Kelimutu appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa sih yang nggak pengen traveling ke Danau Tiga Warna alias Danau Kelimutu di Flores, Nusa Tenggara Timur? Barangkali kamu salah satunya? Nah, sebelum traveling ke Danau Kelimutu, mending baca ini dulu:

1. Kapan sih waktu yang paling pas buat ke Danau Kelimutu?

danau kelimutu

Jalan setapak menuju puncak/Fuji Adriza

Tentunya pas kamu punya jatah libur—kidding. Serius, nih, serius. Karena yang paling diincar dari traveling ke Danau Kelimutu adalah sunrise-nya, sebaiknya kamu ke sana pas musim kemarau. Agustus, September, Oktober, atau November adalah bulan-bulan paling ideal.

Jangan nekat datang pas musim hujan. Kecuali profesi kamu pawang hujan. Kamu pasti bakal bete ‘kan kalau sudah jauh-jauh ke Kelimutu buat nonton sunrise tapi mataharinya ternyata ketutupan sama hujan?

2. Pilihan transportasi—darat, laut, atau udara?

kawah danau

Pagi di Kelimutu/Fuji Adriza

Danau Kelimutu ini letaknya—relatif—di tengah Pulau Flores. Persisnya di sebuah desa bernama Moni di Kabupaten Ende. Gimana caranya menuju Moni? Banyak, Sob. Nggak usah khawatir.

Pertama, kamu bisa ke Ende lewat jalur darat dari Labuan Bajo. Kalau naik transportasi umum, kamu mesti transit sekali, entah di Ruteng atau di Bajawa. Setiba di Ende, kamu mesti lanjut sekitar setengah sampai satu jam naik oto tujuan Maumere. Minta berhenti di Moni. Dari Moni tinggal naik ojek ke parkiran Danau Kelimutu.

Kedua, kamu bisa naik Wings Air dari Bandara Komodo di Labuan Bajo ke Bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende. Kemudian rutenya sama seperti jalur darat.

Pilihan ketiga adalah kapal laut. Kamu bisa naik kapal Pelni, KM Wilis, dari Labuan Bajo ke Ende. Tapi, kalau naik kapal, kamu mesti fleksibel sama jadwal. Kadang-kadang saat gelombang tinggi kapal bisa telat datang atau telat berangkat.

3. Soal tempat menginap—Ende atau Moni?

danau kelimutu

Dua orang pelancong sedang turun gunung/Fuji Adriza

Mengenai tempat menginap, ada dua pilihan: Ende atau Moni. Masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangan. Stay di Ende, kalau pengen lihat matahari terbit di Moni kamu mesti berangkat dinihari naik mobil sewaan. Kalau kamu milih menginap di Moni, kamu tinggal naik ojek saja ke parkiran Danau Kelimutu pas subuh.

Di Ende, penginapan favorit para pejalan domestik dan mancanegara adalah Hotel Ikhlas di Jalan Ahmad Yani. Sementara di Moni kamu tinggal pilih salah satu dari banyak penginapan yang ada di sana.

4. Trekkingnya lama nggak, sih?

danau kelimutu

Papan penanda di Kelimutu/Fuji Adriza

Kalau dibandingin, trekking menuju Danau Kelimutu itu mirip-mirip nanjak ke Puncak Sikunir di Dieng. Cuma sekitar 15 menit. Kenapa? Soalnya kamu nggak nanjak dari bawah, tapi dari parkiran.

Jadi kamu bakal melewati jalur berupa tangga yang diapit pepohonan rindang. Ntar kamu juga bakal ketemu pucuk-pucuk cantigi wungu. Jangan lupa buat menghirup napas dalam-dalam, soalnya udaranya segar banget. Nah, pas trekking ini kamu bakal mendengar suara-suara “aneh” yang mungkin belum pernah kamu dengar sebelumnya.

5. Itu suara burung atau “ringtone” HP?

danau kelimutu

Memotret keindahan danau/Fuji Adriza

Jangan mikir macam-macam dulu. Itu suara burung. “Tapi kok bunyinya aneh? Mirip-mirip suara ringtone di HP Nokia 3310?” Ya, memang begitu suaranya. Jadi, suara yang kamu dengar itu berasal dari burung garugiwa yang habitatnya di sekitar Danau Kelimutu.

Oleh masyarakat setempat, burung garugiwa ini dipercaya sebagai burung “arwah” penjaga Danau Triwarna. Nah, burung ini dikenal sebagai makhluk peniru suara ulung. Mungkin saja suara mirip nada dering HP yang kamu dengar itu ditiru garugiwa dari suara ponsel seseorang.

6. Danaunya kok cuma dua?

danau kelimutu

Selalu tertutup kabut di pagi hari/Fuji Adriza

Akhirnya kamu tiba di danau. Tapi, melihat ke kanan (timur), “Lho! Kok danaunya cuma dua? Katanya triwarna?” Kalem. Perjalanan kamu belum berakhir. Teruskan perjalananmu dan ikuti jalur setapak dari batu itu.

Danau satu lagi bakal kamu jumpai di sebelah kiri (barat) sewaktu kamu sudah dekat puncak. Namanya Tiwu Ata Mbupu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah orang tua yang telah meninggal. Danau yang satu ini keren banget karena setiap pagi bakal diselimuti kabut.

7. Bener nggak sih ada monyet yang suka minta “kopmi” di Kelimutu?

moni flores

Seekor monyet nongkrong di pembatas/Fuji Adriza

Iya, benar. Kadang-kadang monyet yang tinggal di kawasan Danau Kelimutu suka nongkrong di kawasan tugu triangulasi. Kalau lagi lapar, mereka suka menyantap sisa-sisa makanan yang ditinggalkan para turis. Semuanya disikat, dari kopi sampai Pop Mie.

Jadi, supaya Danau Kelimutu tetap terjaga kebersihannya, jangan lupa buat mengurus sampah kamu, ya. Jangan ditinggalkan begitu saja.

Terus kapan nih mau ke Danau Kelimutu?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mending Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Danau Kelimutu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mending-baca-ini-dulu-sebelum-traveling-ke-danau-kelimutu/feed/ 5 6830