garam Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/garam/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 04:18:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 garam Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/garam/ 32 32 135956295 Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/ https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/#respond Thu, 20 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45702 Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh,...

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.

Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah. 

Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Sampul buku Sejarah Garam Madura karya Imam Syafi’i terbitan LIPI/Meita Safitri via LIPI

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai

Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.

Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14). 

Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.

Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV

Garam dan Kekuasaan

Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.

Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).

Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam. 

Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Perahu janggolan di muara Sungai Rajeh Sreseh, Kabupaten Sampang, yang sudah digunakan sejak abad ke-19/Dokumentasi Imam Syafi’i tahun 2012

Perjalanan dan Pengangkutan Garam

Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial. 

Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).

Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Foto seorang nakhoda dan anak buah kapal perahu janggolan. Keduanya berada di salah satu studio foto di Palembang setelah mengangkut ga-ram dari Madura ketika menunggu muatan kayu menuju Jakarta/Dokumentasi Maksum tahun 1983

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.

Garam Madura Sepeninggal Belanda

Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.

Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.

Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).

Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8

Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/feed/ 0 45702
Bernostalgia di Bledug Kuwu https://telusuri.id/bernostalgia-di-bledug-kuwu/ https://telusuri.id/bernostalgia-di-bledug-kuwu/#respond Thu, 15 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36646 Kabupaten Grobogan memiliki sejumlah daya tarik wisata yang tersebar di beberapa kecamatan. Setiap objek memiliki karakteristik dan pesonanya masing-masing. Potensi kepariwisataan di Kabupaten Grobogan meliputi objek wisata religi, objek wisata alam, serta wisata sejarah. Salah...

The post Bernostalgia di Bledug Kuwu appeared first on TelusuRI.

]]>
Kabupaten Grobogan memiliki sejumlah daya tarik wisata yang tersebar di beberapa kecamatan. Setiap objek memiliki karakteristik dan pesonanya masing-masing. Potensi kepariwisataan di Kabupaten Grobogan meliputi objek wisata religi, objek wisata alam, serta wisata sejarah. Salah satu objek wisata yang unik berbasis alam di Kabupaten Grobogan adalah Bledug Kuwu.

Objek wisata Bledug Kuwu terletak di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Berjarak kurang lebih 28 km ke arah timur dari pusat kota Kabupaten Grobogan di Purwodadi. Letak objek wisata ini cukup strategis, persis di pinggir jalan raya Wirosari–Gabus. 

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, objek wisata ini pernah mengalami kejayaan—menjadi primadona wisata yang banyak menyedot kunjungan wisatawan. Setidaknya, secara kasat mata dapat dilihat dari ramainya pengunjung yang datang ke Bledug Kuwu, terutama pada saat liburan. Namun, saat ini, objek wisata Bledug Kuwu boleh dibilang “meredup” popularitasnya. 

fenomena kawah lumpur
Letupan lumpur bledug yang merupakan fenomena kawah lumpur atau mud vulcano/Badiatul Muchlisin Asti

Selain dunia pariwisata yang sudah berkembang sangat pesat—sehingga banyak pilihan destinasi wisata yang lebih punya daya tarik, objek wisata Bledug Kuwu selama ini mengalami banyak kendala dalam pengembangannya. 

Antara lain tekstur tanah yang “bergerak” dan “berlumpur di dalam”, sehingga menyulitkan pengelola membuat spot-spot pengembangan pada objek wisata berbasis keajaiban geologi itu. Objek wisata Bledug Kuwu saat ini terlihat gersang dan bila siang hari terasa panas oleh terik matahari yang menyengat.

Popularitas yang meredup dan minimnya pengembangan, menjadikan objek wisata ini tak lagi menjadi destinasi wisata favorit. Kendati demikian, Bledug Kuwu tetap memiliki daya tarik. Setiap hari, ada saja wisatawan yang berkunjung, baik sengaja berkunjung maupun sekadar singgah karena melewatinya.    

Nostalgia Masa kecil

Hari Sabtu, tanggal 1 Oktober 2022, saya berkesempatan singgah di objek wisata Bledug Kuwu. Bagi saya, singgah di sini adalah momentum untuk bernostalgia. Masa kecil saya sangat lekat dengan objek wisata ini. Bledug Kuwu adalah objek wisata pertama yang saya kenal dan kunjungi. Sekitar tahun 1986, saat saya duduk di kelas 3 SD, saya berwisata bersama guru dan teman-teman satu kelas ke Bledug Kuwu dengan naik delman—atau kami menyebutnya dokar.

Lokasinya memang tidak jauh dari sekolah dan kampung halaman tempat saya tinggal. Hanya berjarak sekitar 2–3 kilometer saja. Karena itu, setelah beranjak besar, saya biasa datang ke Bledug Kuwu dengan naik sepeda bersama teman-teman.

Sayangnya, setelah 30-an tahun berlalu—sejak saya pertama kali datang ke objek wisata ini pada tahun 1986—kondisi Bledug Kuwu tak banyak berubah. Menara pandang yang dulu menjadi tempat kami berkumpul dan makan bersama teman-teman—sekaligus tempat melihat dari atas menara letupan lumpur bledug—kayu-kayunya sudah rapuh. Sehingga tidak bisa digunakan lagi.

Bila ada pengembangan, itu adalah adanya sejumlah saung tempat rehat sembari ngobrol melepas penat setelah melihat dari dekat letupan lumpur bledug. Juga adanya musala yang cukup representatif untuk salat. Lalu ada beberapa taman dan patung Aji Saka—sosok tokoh besar yang lekat dengan legenda terjadinya Bledug Kuwu.     

Selain itu, adanya tulisan “Bledug Kuwu–Grobogan Jawa Tengah” yang cukup besar di sebelah barat pintu masuk objek, yang biasa menjadi spot foto bagi para pengunjung. Selebihnya, hamparan objek wisata Bledug Kuwu seluas 45 hektar masih terlihat gersang. Di hamparan itu terdapat letupan lumpur secara periodik. Letupan lumpur itulah daya tarik utama objek wisata ini.

Fenomena Kawah Lumpur

Obyek wisata berbasis fenomena alam ini memang menakjubkan dan memantik penasaran, terutama bagi yang belum pernah melihatnya karena menyuguhkan fenomena kawah  lumpur (mud volcano) yang meletup dengan menimbulkan bunyi menyerupai suara meriam yang terdengar dari kejauhan.

Secara reputasi, objek wisata ini sebenarnya sudah sangat populer. Citranya sudah sampai taraf nasional bahkan internasional. Banyak ilmuwan dari berbagai negara yang datang ke sini, terutama untuk misi penelitian. 

“Bledug… bledug… bledug…” demikian bunyi suara ledakan lumpur itu secara periodik. Suara itu yang membuat objek wisata ini diberi nama Bledug. Sedang Kuwu adalah nama desa tempatnya berada.

Ada dua letupan lumpur di Bledug Kuwu, yakni di sebelah timur dan di sebelah barat. Masyarakat setempat menyebut bledug besar yang terletak di sebelah timur dengan nama Jaka Tuwa dan yang terkecil di sebelah barat dengan nama Rara Denok.

Dalam buku berjudul Legenda Terjadinya Bledug Kuwu yang ditulis oleh Sugeng Haryadi (1986) menyebutkan, tinggi letupan lumpur Bledug Kuwu yang besar pernah mencapai ± 530 cm dan yang terkecil hanya berkisar 90 cm. Namun kini letupan lumpurnya tak lagi setinggi dulu.

  • bledug kuwu
  • Klakah

Sentra Produksi Garam

Lumpur dari kawah ini airnya mengandung garam. Sehingga oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan garam. Karenanya, di Bledug Kuwu juga dijumpai area produksi garam. Caranya adalah dengan menampung air bledug ke dalam klakah—yang dibuat dari batang bambu yang dibelah menjadi dua. Air itu lalu dikeringkan, dan endapannya menjadi butir-butir garam. 

Terkait produksi garam bledug, saat saya singgah, saya mendapati kondisi berbeda. Bila sebelumnya, garam bledug diproduksi menggunakan klakah, namun sekarang sudah tidak lagi. Saat ini, produksi garam menggunakan potongan-potongan bambu yang diletakkan di atas tanah di area tak jauh dari letupan bledug. 

Potongan-potongan bambu membentuk kotak persegi panjang. Di dalam kotak itulah air bledug ditampung, lalu diendapkan hingga membentuk kristal-kristal garam. Cara ini lebih efektif, simpel, dan praktis, karena bisa dilakukan perseorangan dan tidak membutuhkan banyak tenaga. 

petani garam
Cara baru petani garam bledug dalam memproduksi garam yang lebih sederhana dan praktis/Badiatul Muchlisin Asti

Informasi yang saya peroleh, cara itu merupakan metode baru para petani garam bledug dalam memproduksi garam. Sebelum cara baru itu ditemukan, para petani garam bledug menggunakan klakah untuk membuat garam yang dirasa tidak efektif. Sehingga secara berangsur, para petani garam bledug sempat banyak yang memutuskan berhenti produksi. Alasannya, jerih payahnya tidak sebanding dengan hasil yang didapat.

Sebuah sumber menyebutkan, tahun 1990-an, jumlah petani garam bledug masih ada sekitar 50-an. Tahun 2010, tinggal 6 orang. Tahun 2015, berkurang lagi menjadi tinggal 3 orang. Kemudian tahun 2017, tinggal tersisa 1 orang petani saja yang bertahan. 

Banyaknya petani yang memutuskan berhenti, selain karena hasil yang diperoleh minim, juga produksi garam menggunakan klakah tidak efektif karena tidak bisa dilakukan seorang saja. Minimal harus dua orang. Itulah faktor yang menjadikan penghasilan dari produksi garam makin minim karena harus dibagi. Faktor itu juga yang menjadikan para petani garam bledug banyak yang memutuskan berhenti berproduksi. Padahal, garam bledug sudah dimanfaatkan sejak zaman kolonial Belanda. 

Beberapa foto bersejarah mengabadikan produksi garam itu. Namun, sejak ditemukan metode baru produksi garam, para petani banyak yang kembali berproduksi. Jumlahnya mencapai puluhan petani.  Tentu ini cukup menggembirakan.

Selain garam, lumpur bledug juga menjadi “komoditas” yang dijual di area objek wisata Bledug Kuwu. Konon, lumpur bledug berkhasiat membasmi jerawat di wajah. Lumpur itu dikemas dalam botol bekas air mineral dan dijajakan di area objek wisata. Selain itu juga ada produk bleng—yang  biasa dimanfaatkan sebagai bahan campuran membuat kerupuk—yang lazim disebut kerupuk gendar.

Antara Legenda dan Sains

Bledug Kuwu boleh dikata merupakan sebuah objek wisata yang berbasis legenda dan sains. Dari sudut pandang legenda yang diceritakan secara turun-temurun, disebutkan bahwa Bledug Kuwu terjadi karena adanya lubang yang menghubungkan tempat itu dengan Laut Selatan (Samudera Hindia).

Konon, lubang itu adalah jalan pulang Jaka Linglung—putra dari Prabu Aji Saka yang berwujud ular raksasa—dari Laut Selatan menuju Kerajaan Medang Kamulan, setelah berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah wujud menjadi buaya putih (bajul puteh) di Laut Selatan. Jaka Linglung yang berwujud ular raksasa itu melakukan perjalanan bawah tanah. Sehingga diyakini, ada “hubungan bawah tanah” antara Laut Selatan dengan Bledug Kuwu.

Sementara dari kacamata sains, kawah lumpur di sini—sebagaimana kawah lumpur lainnya—adalah aktivitas pelepasan gas dari dalam teras bumi. Gas ini biasanya adalah metana. Bledug Kuwu adalah satu-satunya letupan kawah lumpur yang berlokasi di Jawa Tengah. Letupan-letupan lumpur yang terjadi biasanya membawa pula larutan kaya mineral dari bagian bawah lumpur ke atas. Banjir lumpur panas Sidoarjo juga diakibatkan oleh kawah lumpur, meskipun untuk yang ini tingkat aktivitasnya lebih tinggi.

Menurut Rovicky Dwi Putrohari, pakar geologi dan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)—sebagaimana dikutip dalam sebuah artikel di situs mongabay.co.id, gunung lumpur Bledug Kuwu terbentuk karena ada rekahan dan tekanan dari dalam bumi yang membawa lumpur, mineral, dan gas ke atas.

Garam dari tempat ini berasal dari air laut yang terjebak di batuan. Zaman dulu, Grobogan, bahkan Pulau Jawa, masih berupa lautan. Kandungan mineral utama garam Bledug Kuwu antara lain kalium, kalsium, natrium, dan klor.

Sumber lain, sebagaimana dilansir dari undip.ac.id menyebutkan, sebelum abad ke-17, Pulau Jawa dengan kawasan lereng Gunung Muria terpisah oleh sebuah selat yang luas dan dalam. Setelah abad itu, selat yang bernama Selat Muria itu semakin dangkal sehingga tidak bisa dilalui kapal. Pada saat itulah Bledug Kuwu diinterpretasikan sebagai garis pantai dari Selat Muria.

Selain itu, dari pengamatan yang dilakukan seorang peneliti bernama Orsoy de Flines pada 1940 mengasumsikan ada air laut dari Selat Muria yang terperangkap, yang kemudian menyebar di kawasan Bledug Kuwu.

Meski masih minim pengembangan, objek wisata Bledug Kuwu tetap menyimpan daya tarik yang membuat banyak orangterutama  yang sama sekali belum pernah berkunjung, untuk datang melihatnya. Setidaknya, terbukti,  setiap kali saya berkunjung ke Bledug Kuwu, ada saja orang luar daerah yang datang ke objek wisata ini. 

Jadi, bila ke sedang berada di Grobogan atau melewatinya, bolehlah berkunjung dan menyaksikan ‘keajaiban alam’  Bledug Kuwu yang menakjubkan!

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!

The post Bernostalgia di Bledug Kuwu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bernostalgia-di-bledug-kuwu/feed/ 0 36646