gastronomi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gastronomi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:40:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gastronomi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gastronomi/ 32 32 135956295 Seni Gastronomi Warisan RA Kartini https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/ https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/#respond Wed, 19 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45692 Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah? Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa,...

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah?

Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa, pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ayahnya adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sedangkan ibunya Mas Ajeng Ngasirah, putri KH. Madirono, seorang ulama dari Telukawur, Jepara.

Semasa hidup, ia menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Ia meninggal dunia di usia muda pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak satu-satunya—Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Pada 1964, Presiden Sukarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan tanggal lahirnya sebagai hari besar nasional, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

RA Kartini dikenal karena memiliki pemikiran yang sangat maju melampaui zamannya. Kecemerlangan gagasannya tertuang dalam surat-suratnya yang menyejarah. Surat-surat itu ditujukan kepada sejumlah sahabatnya di Belanda. Setelah RA Kartini wafat, atas inisiatif Jacques Abendanon, surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan. Kumpulan surat itu diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang

Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
Sampul depan buku Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini/Badiatul Muchlisin Asti

Mewariskan Resep-resep Masakan

Selain pemikirannya, sisi menarik RA Kartini lainnya—yang jarang diungkap—adalah kegemarannya dalam hal masak-memasak, di luar membatik dan membuat ukiran. Sebuah keterampilan khas perempuan Jawa, utamanya pada masa itu.

Ternyata, pahlawan emansipasi wanita itu mewariskan resep-resep masakan yang menarik untuk diteroka. Setelah RA Kartini wafat, adiknya yang bernama RA Kardinah mengumpulkan resep-resep masakan kegemaran RA Kartini maupun keluarga Sosroningrat.

RA Kardinah yang menikah dengan bupati Tegal kemudian mendirikan sekolah khusus untuk keterampilan perempuan di Tegal bernama Wismâ Prânâwâ. Pendirian sekolah khusus itu sesuai dengan cita-cita kedua kakaknya: RA Kartini dan RA Roekmini. Untuk keperluan pengajaran, resep-resep keluarga yang sebagian besar masih beraksara Jawa disusun menjadi beberapa buku dan diberi judul Lajang Panoentoen Bab Olah-olah.

Berpuluh tahun kemudian, Suryatini N. Ganie, cucu RA Soelastri—kakak kandung RA Kartini dari ibu yang berbeda—menulis ulang resep-resep tersebut dan membukukannya dalam sebuah buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini. Cetakan pertamanya diterbitkan Gaya Favorit Press (Femina Group) tahun 2005.

Suryatini N. Ganie menulis ulang resep-resep beraksara dan berbahasa Jawa, lalu menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dengan seharfiah mungkin. Resep-resep ditulis ulang dengan menyesuaikan kondisi sekarang, tetapi dengan judul-judul resep yang tetap dipertahankan sesuai aslinya. Misalnya, kelan asem (sayur asem), kelan lodeh bung (sayur lodeh rebung), janganan sala (sayuran sala alias pecel), dan semur iwak (semur ikan).

Menariknya lagi, semua resep telah diuji coba di Dapur Uji Femina. Hasilnya, resep-resep dalam buku terbukti dapat diandalkan alias tidak terlalu banyak yang harus diubah. Artinya, kita dapat mencoba sendiri (recook) resep-resep masakan yang telah diciptakan lebih dari seabad lalu itu dan tetap dapat memanjakan selera kita yang hidup di masa sekarang.

  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini

Keistimewan Buku dan Kisah Kuliner Favorit

Buku ini dicetak lux dengan hardcover dan kertas isi berbahan art paper gilap. Setidaknya ada tiga keistimewaan lain yang lebih esensial dan fundamental dari buku ini, sehingga layak dikoleksi oleh para pencinta kuliner Nusantara. 

Pertama, buku ini tidak hanya berisi resep-resep hidangan yang lezat dari meja makan para putri bangsawan Jepara pada abad ke-19, tetapi juga sekaligus mendokumentasikan dan mempertahankan resep-resep autentik beraksara Jawa.

Kedua, resep-resep berusia lebih dari seabad yang termaktub dalam buku ini, masih relevan dan bisa menghasilkan masakan-masakan yang bercita rasa lezat. Bahan penyedapnya alami berupa rempah-rempah dan daun-daun bumbu.

Ketiga, resep-resep di buku ini ditulis ulang dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Suryatini N. Ganie, seorang praktisi dan pemerhati dunia gastronomi yang sudah lama malang melintang di dunia kuliner. Di antara kiprahnya adalah mendirikan majalah boga Selera dan menjadi pemimpin redaksinya sejak 1981 sampai 1995.

Sebagai keturunan Sosroningrat, masa kecilnya pernah bertemu dengan para eyangnya: RA Soelastri, RA Kardinah, dan RA Roekmini. Boleh dibilang, Suryatini turut mendapat pendidikan dan bimbingan dari eyang-eyangnya itu. Suryatini tidak pernah bertemu RA Kartini, karena saat ia lahir pada 17 Oktober 1930, RA Kartini telah lama tiada.

Menurut Suryatini, semasa hidupnya, Eyang Roekmini—panggilan Suryatini untuk RA Roekmini—sering membuat kue-kue dari resep lama keluarga Bupati Jepara Sosroningrat. Kudapan kesukaan Eyang Roekmini dan Eyang Kartini adalah kue yang legit, tetapi tidak terlalu manis, seperti ‘soesjes’ atau sus.

Kreasi dapur keluarga Sosroningrat lainnya yang sering dibuat Eyang Soelastri dan Eyang Roekmini, menurut Suryatini, adalah gebakken brood met bayam (roti panggang dengan bayam). Roti sisa sehari sebelumnya yang dipanggang dan diolesi sedikit mentega, dibubuhi setup bayam yang berbumbu bawang merah, sedikit garam, gula, dan nootmuskaat atau pala bubuk.

Selain itu, salah satu kebiasaan di keluarga Sosroningrat adalah minum teh sore hari atau thee uurtje, mengikuti tata cara masyarakat Belanda di Indonesia tempo dulu. Biasanya, pukul 4–5 sore, meja sudah ditata dengan cangkir, gula, susu, dan poci teh yang diberi tutup, yang dalam bahasa Belanda dinamakan thee cozy

Sebagai teman minum teh disajikan kudapan, baik yang berasal dari kudapan lokal maupun yang diadaptasi dari kue-kue Belanda. Yang lokal seperti serabi gandum (dari tepung gandum), kolak pisang, atau pisang goreng dengan irisan keju, dan yang paling populer di kalangan keluarga adalah pilus kentang.

Acara minum teh—seperti juga acara bersantap—pada waktu itu sekaligus dijadikan ajang untuk belajar tata krama. Misalnya, cara minum dari cangkir yang berisi teh panas. Tidak boleh meniup teh panas, tidak boleh menuangkan teh di piring, dan tidak boleh minum berbunyi ‘sruput-sruput’. Yang duduk di kursi adalah para putra-putri bupati, sedangkan yang masih tergolong anak kecil duduk di lantai dijaga oleh pembantu khusus.

Contoh resep autentik botok ikan, dendeng bumbu, dan lodeh bumbu tumis di buku ini, yang masih mempertahankan versi asli beraksara Jawa/Badiatul Muchlisin Asti

Seni Gastronomi dari Abad ke-19

Sebagai keluarga bangsawan, masakan-masakan yang biasa dihidangkan dalam keluarga Sosroningrat tak luput dari pengaruh dari budaya kuliner bangsa lain, antara lain Arab, Belanda, dan Cina. Apalagi mengingat Jepara tempo dulu adalah pelabuhan yang kerap disinggahi kapal-kapal asing, terutama dari Timur Tengah, India, dan Cina. Karena itu, banyak hidangan maupun rempah-rempah dari wilayah tersebut kita jumpai di dalam resep-resep. Contohnya jangan Arab, yang terinspirasi dari gulai kari kambing, tetapi dibuat sedemikian ringan sehingga lebih berselera Jawa.  

Selera masyarakat Belanda pun sangat berpengaruh pada seni kuliner di Indonesia, khususnya Jepara. Tidak heran bila hidangan ala Prancis yang telah diadaptasi orang Belanda terdapat pula dalam koleksi resep keluarga bupati Jepara. Misalnya, hidangan bistik lengkap dengan pure kentang dan sayurannya.

Selain pengaruh gaya kuliner luar, tentu kuliner khas Jawa Tengah juga tak terelakkan dalam koleksi resep di buku ini. Seperti sayur lodeh, sayur asem, botok urang, besengek ayam, asem-asem, padamara, dan opor ayam panggang. Letak Jepara yang berada di pinggir pantai membuat hasil laut banyak pula digunakan di dalam masakan keluarga ini.

Buku ini tak sekadar berisi kumpulan resep masakan semata. Lebih dari itu, buku ini juga merefleksikan pengalaman seni gastronomi yang diwariskan oleh sebuah keluarga bangsawan Jawa di Jepara pada abad ke-19.  

Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, serta tetap mempertahankan resep autentiknya dalam aksara dan bahasa Jawa merupakan langkah genial yang perlu diapresiasi. Tujuannya agar buku kumpulan resep istimewa ini terdokumentasi dengan baik dan bisa diakses oleh khalayak luas lintas etnis. Karya penting yang menghimpun resep-resep pusaka dari keluarga bangsawan Jawa tempo dulu ini merupakan warisan kebudayaan di bidang gastronomi yang patut dilestarikan.  

Secara keseluruhan, buku ini memuat 209 resep autentik warisan RA Kartini dan saudara-saudaranya, serta keluarga Sosroningrat secara umum, yang dikategorikan dalam 11 bab (kelompok kuliner): nasi (11 resep); sup, soto, dan sayuran berkuah (14 resep); salad dan variasi masakan sayuran (12 resep); ikan dan hidangan laut (16 resep); unggas dan telur (22 resep); daging (50 resep); hidangan pelengkap, acar, dan sambal (23 resep); kudapan gurih (11 resep); kudapan manis (18); puding (12 resep); cake, roti, dan kue kering (20 resep).  


Judul: Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini
Penulis: Suryatini N. Ganie
Penerbit: Gaya Favorit Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2005
Tebal: 352 Halaman
ISBN: 978-979-5155-47-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/feed/ 0 45692
Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/#respond Thu, 30 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45489 Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan sayuran capcai—yang lebih serampangan dibandingkan kuah masak pae. Bau kentang memahkotai segala aroma di piring saya.

Sangarnya bau kentang, ternyata, setelah saya cecap tidak membunuh rasa-rasa lain yang merangkulnya. Masak pae kiranya sering kena fitnah karena wujudnya menyamai kuah capcai. Saya juga awalnya menstigma sebelum mencicipinya. Kuah masak pae, bagai langit dan bumi, berbeda dengan capcai. Kaldu sapi mencubit titik mulut di mana liur terbit. Ia tidak menendang, cenderung kalem seperti malaikat pencabut nyawa yang datang tanpa diketahui, mengagetkan, dan pasti. Padahal dari awal saya menyangka paling ini rasanya kentang doang. Dan, sebagaimana menghadapi malaikat pencabut nyawa, alih-alih protes atau banyak tanya, orang umumnya bakal kehilangan kata-kata.

Kaldu sapi, saat itu saya langsung memijat kepala yang tidak pusing, membuat saya keblinger dengan matematika perbumbuan Sumenep karena kaldu itu berdansa dengan wortel dan kubis. Kubis mungkin tidak akan seaneh itu dengan kaldu sapi, mengingat biasanya kubis juga mengambang di kuah rawon, tapi wortel, tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya. Bukan berarti antara kaldu sapi, wortel, dan kubis saling adu belati di lidah, ketiganya menyatu di lidah saya. 

Detail irisan masak pae dengan rasa yang seimbang/Putriyana Asmarani

Rasa yang Presisi

A mengamati saya bukan seperti ilmuwan pada mencit, atau anak haram tertua Usher (The Fall of The House of Usher) pada kera percobaan. Seperti Prometheus saat menghidangkan sapi panggang pada Zeus, Prometheus mengamati perubahan wajah Zeus dengan saksama, sebab ia mengibuli Sang Ilah. Tatapan A juga jeli laiknya perempuan psikopat Julia Jayne yang menyeduh teh buat bahan ritual pagan (The Midnight Club).

A menyantap hidangannya, matanya awas, akhirnya keluarlah kalimat sakti itu: “Gimana rasanya?”

“Diam dulu kau,” tanggapku. Kalaupun Franz Kafka nongol saat itu buat mengajak saya kencan, saya akan mencampakkannya. A tak terkecuali.

Rasanya seperti Siddhartha saat meditasinya beres, ia kembali segar dan dengan itu merumuskan penciptaan dan kemanusiaan. Saya menemukan presisi rasa yang matematis dan imbang.

Kuah kaldu sapi yang meriah netral dicerna dengan kue kentang. Irisan daging tidak terlalu menonjol, tidak arogan di atas piring meskipun itu yang bikin masak pae mahal. Daging tidak dipotong gendut kotak seperti dadu, apalagi tipis ceper tak berbentuk seperti kuah-kuah daging pada umumnya. Daging dipotong persegi panjang sebagaimana wortel.

Kalau dilihat-lihat, piring ini seperti orbit tata surya, meskipun Saturnus bercincin, semua planet pada dasarnya bundar. Tidak ada pola yang ingkar, tidak ada rasa yang dominan sehingga membunuh rasa lainnya. Cake tidak asal cemplung, penciptaan semesta juga tidak asal taruh. Saya tidak bisa mengampuni diri sendiri setelah berkata, “Paling ini kayak capcai rasanya.”

“Jadi, gimana rasanya?” A mengulangi. Kalau saya menyuruhnya diam di saat ia menggenggam garpu, itu artinya saya cari mati. Jadi, saya harus menjawabnya.

“Rasanya kayak … reinkarnasi, binasa lalu diciptakan kembali.” 

Eksperimen perpaduan rasa cake yang tampilannya mirip capcai/Putriyana Asmarani

Cake yang Cendekia

Masak pae menjadi dosa akhir tahun yang tak terampuni, terutama setelah saya membandingkannya dengan capcai. Meskipun begitu, saya masih belum insaf. Saya keras kepala, mungkin ini menjadi alasan mengapa dongeng lisan kebanyakan menghukum orang keras kepala. Dilihat dari bentuknya, cake terlihat lebih capcai dari masak pae. Alasan saya menyantap masak pae dulu setelah itu melirik cake, adalah saya yakin cake rasanya sangat capcai, kesimpulannya, cake bisa menyulut emosi. 

Masalahnya, dengan menjadikan masak pae santapan pertama, itu berarti saya mengubur kesan masak pae dengan cake yang rasanya sesuai prediksi BMKG. Masak pae yang mengesankan hanya akan menjadi Minggu malam yang tak lagi menarik bagi Senin pagi. Saya menyingkirkan piring masak pae yang tandas dengan melankolis seperti cara Richard II melepaskan takhta untuk diduduki Henry Bolingbroke: singkat, padat, ngenes.

Lesu saya melihat ada potongan kembang kol, wortel, sawi, dan komposisi mirip capcai lainnya. Sangat mirip, hanya saja tidak ada irisan pentol dan sosis. Yang membuat cake tidak bisa disebut capcai adalah ada irisan tipis bacon halal dari daging entah apa, tahu goreng, dan taburan keripik kentang. Kuah cake, setelah saya obok-obok, tidak sekental masak pae. Betul, secepat ini orang bikin dosa besar setelah insaf beberapa detik yang lalu, “Ini, mah, capcai banget.”

A banting setir, ia mengganti strategi perangnya yang tadinya Lao Tzu banget, sekarang ala Seneca. Itu berarti, demi mensyukuri realita yang akan datang, orang harus merespons dengan kemungkinan terburuk, “Kan, bentuknya memang capcai banget,” katanya dengan senyum jahil. 

Untuk menghadapi hidangan tertentu, saya sama psikopatnya dengan Fernandez, kucing kompleks selingkuhan Siti, yang meneliti bahkan mempermainkan buruan, membunuh mencit perlahan sampai binatang itu tandas. Pertama, saya mencicipi kuah. Kedua, saya sandingkan irisan bacon dengan wortel, selanjutnya wortel, tahu, dan keripik kentang, begitu seterusnya sampai semua bahan berdesakan dalam satu sendok makan. Saya penasaran struktur komposisi apa yang timpang atau imbang saat bersanding, bahan apa yang tidak terasa signifikan tapi justru itu menjadi penyempurna, dan seterusnya.

Tekstur capcai agak berlendir, barangkali ulah maizena. Yang berlendir itu memandikan potongan kembang kol dan brokoli yang kerap dipotong asal. Kuah yang sedap dari capcay biasanya tidak terbit dari saripati bahan yang berkelindan bersama, karena itu, rasa sedap kuah, musnah ketika sayur irisan tebal dikunyah. Ketika makan capcai mulut saya seolah berada di medan laga, rasa apa yang menang, rasa apa yang kalah. Cake, lagi-lagi saya khilaf, bukan saudara kembar capcai. Maka dari itu, saya tak layak mendapatkan pengampunan warga Sumenep.

Alasan legit kenapa tahu goreng (bukan tahu godok) meringkuk di antara tumpukan bahan lainnya, menurut saya tahu goreng lebih berpori dibandingkan tahu godok, sehingga dalam komposisi ini, tahu goreng punya kontribusi untuk menadah rasa, bukan menyimpang rasa. Orang Sumenep kiranya cukup brilian untuk memilih tahu goreng, karena menonjolkan bahwa yang dimakan saat ini adalah tahu cake, bukan tahu biasa. Tentunya, tahu godok cenderung menetralkan rasa dan membawa kesan akhir yang akan terbatas pada ‘sekadar tahu’. Sebab, ia tak terlalu berpori untuk menyerap gugus rasa atau merembeskan saripatinya pada makanan.

Kembang kol, bagi saya, adalah bahan paling keras kepala. Bahan ini cenderung mencolok, mau digeprek berlumur sambal tomat, atau bahkan dihantam sambal bawang yang menjenuhi hidung, kembang kol tidak akan mati rasa. Jadi, memasukkan kembang kol dalam rangkaian komposisi cake, sama seperti merekrut anggota radikal ketika regu ini didominasi fundamentalis. Meskipun hanya terdapat lima iris kembang kol, anggota radikal ini bisa saja merevolusi hidangan satu piring.

Anehnya, kembang kol takluk di bawah kekuasaan cake. Khusus soal hidangan, saya selalu terkesan dengan santapan otoriter. Semakin otoriter, semakin cendekia wajah kuliner. Kalau tidak otoriter begini, saya bisa beli kembang kol sendiri, merebusnya sendiri, dan seterusnya. Kembang kol di cake, menjadi siluman yang hampir tak dikenali di lidah saya.

Saya mesem. A mengangguk-angguk. Siapa sangka strategi distopia Seneca bisa bekerja di industri makanan semacam ini. Saya menandaskan cake seperti anak SMA yang lagi kasmaran. Saya suka cake yang tidak terlalu berlendir, ia pekat karena rempah dan lagi-lagi menggunakan kaldu ayam, bukan sayuran yang diguyur air tawar seperti capcai.

Kalau dibandingkan antara masak pae dan cake, masak pae juaranya. Mungkin karena tekstur lembut kentang memulihkan tendangan kuah yang pekat akan kaldu dan rempah, kelembutan ini hadir sebagai penyeimbang yang jitu. Kentang di cake hadir sebagai taburan gorengan, memberi kesan gurih yang melatari semangkuk komposisi basah, sehingga taburan kentang goreng ini cenderung kalah. 

Tidak banyak pertentangan sensasi rasa ketika dan pascamakan masak pae dan cake. Karena saya pemuja hidangan otoriter, tentunya masak pae sangat Napoleonik. Permisi, bisa jadi Joseph Stalin minder melihat otoritarianisme bekerja dalam semangkuk masak pae. Intinya, saya cengar-cengir meninggalkan Resto Amanis, saya yang tadinya sudah sekacau usai gempa tektonik berubah menjadi kuntilanak di musim semi yang memetik sekuntum mawar merah buat genderuwo yang ia cintai.

Gimana dengan pakta gak-akan-balikMadura yang kau bikin kemarin sore itu?” A bertanya. Sebab, sesungguhnya ia tahu jawabannya, A berhasil. 

“Gawat, aku harus hidup. Aku tak bisa pastikan, nanti kalau sudah tewas, koki di surga bisa bikinin aku masak pae dan cake, atau enggak.”

“Hiduplah, lagian … belum tentu kamu masuk surga!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/feed/ 0 45489
Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/#respond Wed, 29 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45476 Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama. ‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama.

‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John Steinbeck Tikus dan Manusia menjabarkan) tak bakal kebagian Henry IV Dudognon Heritage Cognac Grande Champagne barang seciprat. Jangankan percikannya, nonton konyak ini dilelang, kalau dituang warnanya kayak apa, tak bakal tahu. Bukan konon katanya, diproduksi sejak 1776, disegel selama lebih dari seratus tahun, botol berlapis emas 18 karat, bercokol 4.100 mata berlian, dilelang seharga empat belas juta euro. Jangankan momen kelahiran, ternyata sampai kiamat nanti, orang kere hanya akan bisa memandangi orang bakir ongkang-ongkang minum konyak dengan pemandangan gunung meledak.

Esai ini tidak akan bahas konyak. Sebagai gantinya masak pae dan cake, semacam kudapan pengganjal perut yang kalau dipikir-pikir, okelah kiranya saya rekomendasikan pada raja-ratu seantero Madura yang dikebumikan di Asta Tinggi untuk bangkit dari kubur demi mencicipinya.

Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1)
Kompleks Keraton Sumenep/Putriyana Asmarani

Ajakan Mencoba Masak Pae dan Cake

Satu peleton satan yang mengisi sudut-sudut remang di bantaran kebun siwalan kota Sumenep saat itu tak bakal kaget kalau ada orang macam saya bermuram durja di tanggal tragis 13 Desember 2024. Angka tiga belas di akhir tahun, waktu yang tepat untuk menyudahi segala, tak yakin ada rebirth apalagi transformasi seperti yang diharapkan Nietzsche (bagian death of the self dalam karya Thus Spoke Zarathustra). Namun, sahabat saya A (inisial sebab saya menyayanginya dan di esai ini ada kemungkinan saya akan menodainya, he-he) sejak subuh yang basah sebab hujan memilih geram dan garang, yakin kalau saya secara simbolik (pinjam istilah ‘symbolic death’ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness) sudah binasa. 

Dalam keadaan lantak, A menceletuk, “Kamu harus nyobain campor!“

Mungkin baginya saya terlihat darurat. Butuh pertolongan pertama. Saya tak lupa pernah dengar ini dari mana, tapi senjata satu-satunya yang paling ampuh untuk melelehkan orang keras kepala adalah dengan menyenangkan perutnya. Saat itu saya sedang membalik-balik halaman disertasi Seno Gumira Ajidarma Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan dengan tatapan kosong melompong. Seolah Dajjal sudah lolos dari jeruji, lalu nangkring di pundak saya, badan saya gampang oleng sebab bumi yang saya pijak tengah gonjang-ganjing, mungkin itu yang dilihat A. 

“Madura begitu kejam padamu, baik delapan tahun yang lalu saat kau bertandang ke Pulau Bawean, berak di atas lubang jamban, sangat purba dan setelah itu kau tak berak selama tujuh hari, sekarang…,” A berhenti sejenak tanpa bernapas laiknya saktah dan dunia tak seribet ilmu tajwid, menyadari mungkin saya tak tertolong saat ini. Ia menutup kalimatnya dengan, “Madura masih kejam padamu.” 

“Kalau warungnya tutup gimana? Mengingat ini hari Jumat dan warga Sumenep adalah kaum beriman?”

“Kita dobrak sama-sama, kita pakai kekerasan,” tanggap A, lalu ia merevisi, “ada juga pilihan lain, namanya masak pae dan cake, kalau ditimbang-timbang daripada campor karena mukamu itu sudah sekacau tsunami, masak pae dan cake kayaknya pas untuk situasi gawat. Dengan begitu, kau bisa menghadapi bencana dengan elegan.”

Mengingat sebelum berangkat perang seorang kesatria harus memilih tunggangan terbaiknya, saya nyengir membayangkan masak pae dan cake. Lagi pula, keadaan saya jauh lebih buruk dari Perang Anglo-Zulu, dengan kekuatan militer seadanya Zulu tetap melawan, mereka tahu bakal kalah menghadapi pertempuran ini. Saya tak punya optimisme. Zulu masih ada harapan kemenangan, saya berangkat untuk kalah.

Namun, A cukup berhasil. Pikiran saya yang suntuk kemelut tiba-tiba terbentang layar baru, imaji bentuk makanan semarak muncul, warna-warni santapan meriah berletupan laiknya kembang api, wanginya pun juga ikut terbayang. Bodo amat kalau tak minum konyak empat belas juta euro atau mengemut kue daulat yang hanya disajikan saat upacara pemberkahan Yang Dipertuan Agong.

Selama perjalanan, sekitar setengah jam dari Guluk-Guluk ke area Alun-alun Sumenep, A mendaras berjibun jenis makanan. Awalnya ia gigih spoiler soal campor, saya bersikukuh campor mirip soto hanya saja kecambahnya digoreng. Di titik tertentu saya memang kerap menguras kesabaran A, saya selalu berpikir kuliner Madura tak bakal menyingkur dari kuliner Jawa Timur. Malah, saya sok berpendapat kalau kuliner Madura ngikut-ngikut pola kuliner Jawa Timur.

Dari kiri ke kanan: tampilan campor yang mirip soto, sepiring bulud, dan isian sambal bulud/Dokumentasi A

Hal ini berlanjut ketika A membahas kudapan bulud. Saya bilang itu seperti lemper, kalau lemper isi daging ayam pakai beras ketan, bulud pakai beras punel biasa, luarnya digoreng, isiannya sambal. Pada akhirnya saya masih mengajak A baku hantam, bulud adalah lemper versi anarkis. 

A masih berperikemanusiaan yang meskipun kadang-kadang adil, ia cukup beradab, kalau tidak saya pasti sudah menelantarkan saya di tambak udang. Mau se-anarkis apa pun bulud, ia tidak bisa disebut lemper. Bulud memang kudapan orang kere, bukan berarti saya berhak mengatainya. A mengaduk isi galeri, lalu memberi saya gambaran nyata versi ia bikin sendiri dan versi yang biasa dijual di pinggir jalan. Kehidupan ini memang sebuah arus, ada hulu, ada hilir. Bukan berarti bulud hanyut begitu saja mengikuti pamor lemper, tapi bulud adalah bulud, lemper adalah lemper, titik. Begitulah, kesimpulan ini digertak dengan semburan platonik. 

Dari omelan itu, A cukup patriotik untuk mengatakan, “Dan meskipun kau pulang nanti membawa cendera mata nestapa, kujamin kamu bakal kangen Sumenep.”

“Kangen tragedinya?” Saya memotongnya dengan nyeri. 

“Kangen masak pae dan cake. Cintailah makanan, meskipun nantinya cuma jadi tinja. Allah lebih senang berfirman dengan menyebut sungai madu dan susu berkali-kali di kitab suci daripada mengumbar janji ketemu cowok ganteng di surga nanti.”

Seporsi cake (kiri) dan masak pae khas Sumenep/Putriyana Asmarani

Kesan Pertama

A benar. A harus menjadi orang bener sebab kawannya enggak bener. Ini bukannya terdengar seperti beban, tetapi memang beban betulan. Kami tiba di jam paling terik hari itu. Musim di Madura tampaknya gampang move on, tiba-tiba gerah seolah hujan yang beringas subuh tadi tidak terjadi sama sekali.

Resto Amanis megah rebah di Jl. KH. Wahid Hasyim No. 51, Sumenep. Sebetulnya saya mengira A akan cari warung pinggir jalan, mengingat kami berdua adalah sejenis manusia yang hemat pangkal selalu miskin. Namun, saya yakin A punya alasannya sendiri, salah satunya karena penampakan saya yang sudah tak bisa dibedakan dengan banjir bandang. Ia tak bakal tega membuat saya makan diasapi rokok dari pengunjung warung pinggiran. Mungkin dalam hatinya sudah terpahat wacana, “Mampuslah dengan cara paling megah.”

Setelah itu saya meletakkan takdir di telapak tangan A. Ia dengan gesit mempelajari buku menu, gayanya seperti ibu negara. Kelakuan ini sangat A, mengingat kawannya sudah lebih remuk dari rengginang lorjuk kena bogem Hulk, hanya dengan satu tarikan napas ia siap pesan ini-itu, lengkap dengan minuman dan porsi tambahan untuk dibawa pulang. Ini pekerjaan magis, tak semua orang bisa sakti begini. Kalau ditanya mau ngapain A sepuluh tahun mendatang, ia sudah menemukan jawabannya setelah berkedip sekali. 

“Waduh, ini di luar prediksi BMKG,” ungkap A setelah pesanan terhidang. “Biasanya masak pae dan cake itu jadi sepiring. Tapi kok ini dipisah?” A melirik saya, tampak khawatir jangan-jangan bakal tak sesuai dengan harapannya. 

Di muka bumi ini, saya tak tahu insan penyabar selain A, tetapi itu bukan berarti orang bisa dengan enteng cari gara-gara dengannya. A bisa saja menendang Mars keluar dari orbitnya kalau ada orang menjahilinya. Untungnya, saat itu kami kelaparan sebab sebelumnya jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat, kami hanya saling pandang sebentar merespons dua piring, saking laparnya kami bisa saja menggerogoti meja dan kursi, jadi makanan yang kami hadapi segera menghadapi eksekusi. 

Nafsu hewani sebab lapar teramat, baru kali ini, tidak menjadikan saya seperti kucing kompleks bernama Siti yang menggasak curut got dengan membabi-buta. Tiba-tiba ada semacam rem cakram, dengan perlentenya saya menciduk kuah lalu menyesapnya seperti adegan romansa berkelas. Sebentar kemudian saya tertegun.

Piring pertama, masak pae, bermuatan sepotong kue kentang yang sudah dihaluskan dan dipanggang dengan suhu entahlah, karena terlihat garing di atas tapi tidak gosong di bagian bawah. Dua cabe rawit tergeletak di permukaan kue kentang. Kalau dilihat-lihat keduanya terlalu mencolok untuk rebah begitu saja di atasnya. Namun, dengan begitu kue kentang terlihat lebih berwarna seperti sepetak pasar malam di hamparan padang pasir.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/feed/ 0 45476
Gastrosufi Rujak Prenduan Madura https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/ https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/#respond Tue, 12 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40329 Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang...

The post Gastrosufi Rujak Prenduan Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang yang menyalakan alarm hanya untuk dimatikan, lalu tidur kembali. Hanya saja, aku terbangun tengah malam dan terlelap lagi menjelang dini hari. Aku tidak sadar telah mematikan alarm dan kembali rebah di atas kasur.

Itulah mengapa aku baru sampai di rumah Bara pukul setengah delapan dan bilang, “Sori, Guys. Tapi, sinar matahari jam segini emang paling optimum mengaktifkan vitamin D.” Aku tahu teman-temanku tertawa karena itu pembenaranku saja. Namun, tentang vitamin D itu, aku tidak keliru, kan? 

Lagi pula, ayolah, untuk apa buru-buru berangkat ke Saronggi pukul enam pagi? Dari Kota Pamekasan, kita cuma butuh satu jam seperempat menit dengan motor berkecepatan sedang untuk sampai ke salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep tersebut. Itu pun sudah terhitung beserta hambatan-hambatannya. Di jalanan Madura—atau di mana pun—aral nyaris selalu ada. Katakanlah, orang-orang yang meminta amal masjid kepada para pengendara di jalan raya. Atau pasar tumpah yang begitu efisien membuat jalan jadi macet. 

Atau yang kami temui di perjalanan ini: Sebuah lapangan yang terhampar di kanan jalan baru selesai menghelat acara agustusan. Di kedua sisi jalan, berjajar mobil pikap bermuatan ibu-ibu—yang oleh feminis Julia Surya Kusuma dianggap bentuk penyetaraan kaum perempuan dengan ternak, padahal di Madura, bapak-bapak pun lazim tepekur bersama sapi-sapinya di gerobak pikap. Ibu-ibu lainnya meluber ke tengah jalan. Kendaraan kami cuma bisa merayap. Di tengah kerumunan ibu-ibu, rasanya seperti berkubang dalam sekolam hormon estrogen.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Beningnya Sendang Saronggi/Ikrar Izzul Haq

Di Sendang Saronggi

Kami memutuskan berpakansi ke Saronggi ketika Abyan mengunggah foto-fotonya yang asyik berenang di sebuah perigi.

“Telaga itu kelihatan liar,” ujarku menyakinkan teman-teman yang bertanya-tanya, apa istimewanya sumber air tersebut.

“Wow, aku suka yang liar-liar,” tanggap Bara dan Nabil nyaris bersamaan. 

Aku sudah membayangkan, untuk sampai ke sana, kami akan melewati semacam rimba gelap karena pohon-pohon gergasi menutupi cahaya matahari. Menebas cabang-cabang bercakar setan yang menghalangi jalan. Atau terbirit-birit dikejar seekor bagong yang siap menyeruduk kami dengan siung runcing. Tenyata agak mengecewakan. Sebab, tak lama berselang setelah belok ke gang di sebelah barak militer, kami sampai. Sendang itu bersisian dengan permukiman. Padahal, dalam hidup ini, kita butuh sedikit ketegangan, kan?

Maka, kami menanggalkan apa yang perlu ditanggalkan dan menyebur ke dalam kolam. Selanjutnya, kurasa tak ada yang perlu diceritakan. Lagian, apa pentingnya menceritakan tujuh jejaka tengah menikmati waktu duha di telaga berwarna toska yang riuh kicau burung madu sriganti? Apa urgensinya menarasikan sebuah sendang bermandikan percikan cahaya surya yang dikitari pohon gayam, nyamplung, dan sulur janda bolong melilit batang siwalan? Kecuali, misalnya, di sana kamu mengalami momen Jumanji atau, paling tidak, sedang mati-matian melepaskan diri dari lilitan anakonda.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Berkumpul di tengah dingin sendang/Ikrar Izzul Haq

Kezuhudan Rujak Prenduan

“Gimana kalau kita makan rujak Prenduan?” celetuk Abyan saat kami mengeringkan badan setelah tiga jam bermain-main di air.   

“Bukan ide buruk,” sahut Iko dan kami memang sepakat tak ada gagasan yang lebih baik ketimbang mencoba makanan yang sebelumnya hanya pernah kudengar dari seorang teman yang menceritakannya dengan berlebihan.

Rujak itu sedang diracik Bibi Mamtuhah yang warungnya kami sesaki. Untuk sampai ke sana, dari Saronggi kami melesat ke timur selama empat puluh menit. Di kampung nelayan inilah enam di antara kami akan mencicipi rujak Prenduan untuk pertama kali.  

Sibuk menyiapkan tujuh cobek rujak, Bibi Mamtuhah yang gendut berdaster hijau motif bunga dibantu tiga perempuan lainnya. Aku penasaran, gimana cara gincu jambon itu tidak meleleh dari bibirnya di udara nyaris empat puluh derajat celcius ini. Bisa saja perempuan bergelung itu cemas riasannya bakal luntur. Seperti kami yang gugup menunggu hidangan tiba, yang benar-benar tiba tiga puluh menit kemudian. Semuanya mengalah untuk tidak makan duluan hingga menimbulkan debat kecil. Mereka setuju, yang paling tua di antara kami yang akan makan terlebih dahulu. 

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Bibi Mamtuhan meracik rujak prenduan/Royyan Julian

Kini, rujak itu teronggok di depanku. Sumpah, setelah cicipan pertama, aku berharap sebuah meteor sekonyong-konyong jatuh di atap warung ini sehingga mereka—yang merasa muda belia—tidak akan pernah tahu rasa rujak yang sudah sekian juta tahun ditunggu dengan segunung penasaran. 

Ya, kurasa temanku memang tidak berlebihan ketika menceritakan gimana rasa rujak Prenduan. Aku kehilangan kata-kata dan heran, kenapa Iko, Bara, Ihya, serta Abyan begitu tenang melahap sesendok demi sesendok rujak itu. Padahal, selama menikmatinya, aku, Asief, dan Nabil tidak berhenti menghujaninya dengan beragam ungkapan superlatif yang hanya bisa kami ekspresikan dengan kata-kata paling esoteris. Akan tetapi, mungkin begitulah cara bocah-bocah itu berasyik-masyuk dengan kenikmatan. Kalaupun dimintai pendapat, mereka cuma akan menjelaskannya secara demokratis, tanpa pujian. 

“Rujak ini sudah melangkah ke derajat gastrosofi,” puja Asief sambil memejamkan mata mengunyah seiris pepaya mentah berlumur sambal petis. 

“Tidak benar,” sahut Nabil menyeruput kuah kecokelatan itu. “Rasa kecut sambal petisnya tidak hanya menuntun lidahku memahami sebuah kearifan.”

“Nyaris transendental. Bukan, bukan itu,” buru-buru kuralat kalimatku. “Ini sudah melampaui yang transendental. Rujak ini begitu—astaga, apa istilah paling representatif? Mistik.” 

Kata ‘gastrosofi’ terdengar terlalu sekuler untuk mewakili rasanya yang mulia. Kupikir tidak hiperbolik kalau kita menyematkan ‘gastrosufi’ kepadanya. Alih-alih filosofis, rujak Prenduan memendam cita rasa sufistik. Ia tidak lagi berdiri di tataran filsafat, tetapi tasawuf. Tak lagi menggiring kita ke kenikmatan kognitif, apalagi jasmaniah, tapi lebih dari itu: ekstatik. 

Mungkin kau akan menyebutku lajak ketika tahu cobek itu cuma berisi irisan krai, pepaya mentah, tahu goreng, tauge rebus, dan keripik tette bermandikan kuah petis encer. Tak lebih dari itu. Namun, bukankah yang hakiki memang kerap bersembunyi di balik wujud zahir? 

Tanpa melihat Bibi Mamtuhah mengulek sambal rujak, aku sudah tahu kuah itu hasil racikan dari petis, air, gula, garam, cabai, dan monosodium glutamat dengan kadar presisi. Tak ada yang eksentrik. Memang begitulah rujak petis pada umumnya. Yang membuat rujak Prenduan terasa sensasional, yaitu tetesan cuka. Cuka adalah kunci—habis ini aku mau nyetok sebotol cuka di lemari es, siapa tahu juga bisa bikin kuah opor jadi menakjubkan. Di Bangkalan, aku pernah makan rujak petis dengan perasan jeruk—entah apa, tetapi ini berbeda. Dan perbedaan tersebut bisa kupahami ketika aku sadar—setelah sekian menit kurenungkan dengan khusyuk—bahwa kuah petis rujak Prenduan juga menyertakan tomat mawar. 

Tomat mawar. Saat ini, orang-orang lebih memilih tomat buah ketimbang tomat mawar. Selain karena faktor kelangkaan, ukuran juga menjadi musabab. Kita lebih mudah mendapatkan tomat buah yang besar, gemoy, nan tampak segar ketimbang tomat mawar yang berukuran kecil dan secara visual nyaris tak atraktif. Namun, aku yakin, selain menambah kadar kemasaman, tomat mawar juga melahirkan rasa vegetasi lebih klasik ketimbang tomat buah. Di sinilah aspek ekstrinsik rasa terlibat. Sebagaimana makanan yang menyimpan sisi romantik macam ‘masakan ibu’ atau ‘jajanan kampung’, kenangan kita akan tomat mawar secara subjektif memengaruhi rasa rujak.  

Rujak Prenduan bakal menjadi salah satu (untuk tidak berkata ‘satu-satunya’) rujak favoritku. Orang Madura gemar makan rujak layaknya obsesi masyarakat Sumatera Selatan pada pempek. Itulah mengapa, sebagaimana genre soto yang beragam, rujak di Madura beraneka macam. Rujak kacang, rujak petis, rujak petis-terasi, rujak lontong, rujak cingur, rujak kepiting, rujak siwil, rujak asam, rujak kesambi, rujak kawista (sensasi sepet buah batok menghasilkan rasa yang bernas), rujak kelang (dengan kuah kaldu ikan beserta ikan-ikannya), rujak corek (dengan metode pembuatan dan cara makan yang erotis), rujak soto, rujak bubur, rujak selingkuh (tanpa dosa), dan sederet rujak lainnya yang tak sanggup kusebut satu per satu.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Rujak prenduan khas Madura/Royyan Julian

Petis Madura, Sumber Kenikmatan

Percaya atau tidak, rujak Madura menjadi istimewa karena petisnya. Petis Madura berbeda dengan petis Jawa. Petis Madura terasa gurih dan bertekstur elastis. Petis Madura bukan hanya produk dari sebuah proses endapan kaldu ikan. Petis Madura adalah saripati sukma ikan-ikan. Menerbitkan rasa pekat dan berpijak kuat di lidah. 

“Dosenku bilang, pisang biji akan menetralkan zat-zat buruk petis,” kisah Asief suatu kali ketika kami mengobrol mengapa sambal rujak kacang di Madura dicampur pisang biji mentah. 

Kata ‘buruk’ yang ia ucapkan dengan jelas membuatku membayangkan bahwa yang sedang ia bicarakan bukan petis, tetapi makanan sintetis Sari Roti campur Baygon. Mestinya, dosen itu menerangkan kepada mahasiswanya, zat ‘buruk’ apa yang terkandung dalam petis, bukan penjelasan umum yang semua orang bisa mengarangnya. Kuliah obskur tentang bahaya petis dari seorang akademisi semacam itu hanya akan mengafirmasi tuduhan Sutan Takdir Alisjahbana atas puisi-puisi Chairil Anwar yang dianggap tidak bervitamin sebagaimana rujak. 

“Aku enggak bisa bayangin gimana rasanya kalau enggak pedas sama sekali,” kata Abyan melihat Bara bisa menikmati rujak tanpa cabai sama sekali. “Pasti enek.”

Di sampingku, Asief terengah-engah menahan pedas. Minum, makan, minum, makan lagi, sekuatnya.

“Kamu berhenti?” tanyaku saat melihat beberapa iris buah masih tersisa di cobeknya.

“Enggak,” jawab Asief terbata-bata. “Aku masih ingin, tapi butuh jeda.”

“Masokis,” tanggap Nabil dengan keringat mengucur dari kening dan leher.

Andai bersama kami, Jacques Lacan bakal memberi contoh masokisme semacam itu pada konsep jouissance untuk subjek yang memperoleh kenikmatan dalam penderitaan.

“Aku enggak percaya eksistensi surga. Tapi setelah makan rujak ini, aku yakin surga memang ada,” seloroh salah satu di antara kami. Sebelum kami meninggalkan warung kecil ini. Sebelum kami pergi untuk kembali. Suatu saat nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosufi Rujak Prenduan Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/feed/ 0 40329