grobogan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/grobogan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:22:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 grobogan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/grobogan/ 32 32 135956295 Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/ https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/#respond Thu, 23 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45436 Salah satu sumber kekayaan kuliner Indonesia berasal dari warisan keraton dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa lalu. Maka, dalam lingkup Jawa Tengah misalnya, kita mengenal sejumlah kuliner yang dipercaya merupakan warisan atau kegemaran para tokoh...

The post Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo appeared first on TelusuRI.

]]>
Salah satu sumber kekayaan kuliner Indonesia berasal dari warisan keraton dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa lalu. Maka, dalam lingkup Jawa Tengah misalnya, kita mengenal sejumlah kuliner yang dipercaya merupakan warisan atau kegemaran para tokoh dan bangsawan keraton di masa lampau. 

Kita mengenal wedang coro dan nasi kropokhan, dua kuliner yang disebut-sebut sebagai kegemaran bangsawan Kesultanan Demak ketika itu. Masih di Demak, di Kadilangu sampai sekarang masih dilestarikan hidangan warisan Sunan Kalijaga yang bernama caos dhahar lara gendhing. Kuliner ini masih bisa dijumpai hingga saat ini saat warga Kadilangu menghelat hajatan. Sementara di Kudus, kita mengenal nasi jangkrik dan opor sunggingan, dua kuliner yang disebut-sebut sebagai kuliner kegemaran Sunan Kudus dan Kiai Telingsing—dua pemuka agama Islam pada masa Walisongo.

Dan ternyata, Kabupaten Grobogan juga punya kuliner warisan dari salah satu tokoh besarnya, yaitu Ki Ageng Selo—salah seorang murid Sunan Kalijaga yang hidup di era Kesultanan Demak, yang sosoknya lekat dengan folklore sebagai tokoh sakti yang bisa menangkap petir dengan tangan kosong. Kuliner warisan Ki Ageng Selo itu, saya menyebutnya dengan nama sega golong pecel ayam.

Menurut cerita yang dituturkan turun-temurun, jenis masakan yang menjadi klangenan (kegemaran) Ki Ageng Selo adalah sega golong atau yang juga disebut dengan sega kepelan. Adapun pelengkapnya adalah sayur menir bayam, pecel ayam dengan bumbu gudangan, serta lalapan berupa trancam terong. 

T. Wedy Utomo dalam buku Ki Ageng Selo Menangkap Petir (1983) mengutip keterangan dari juru kunci makam Ki Ageng Selo (ketika itu), Djahri, bahwa menurut cerita yang dituturkan nenek moyangnya, jenis masakan yang menjadi kesenangan Ki Ageng Selo adalah “sekul golong” atau yang disebut juga dengan “sekul kepelan”, yaitu nasi yang diremas-remas dibuat semacam bola yang berukuran besar sebesar “kepal” tangan.

Menurut cerita, sega golong dengan kelengkapannya itu sering dihidangkan setiap kali Ki Ageng Selo mengadakan upacara selamatan atau sedekahan dengan mengundang masyarakat sekitar Selo. Dari situlah, dipercaya awal mula hidangan itu mentradisi dalam masyarakat Jawa sampai sekarang. Termasuk saat peziarah menyelenggarakan selamatan di kompleks makam Ki Ageng Selo juga selalu menyuguhkan hidangan ini.

Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
Sega golong dengan kelengkapan pecel ayam, sayur menir bayam, dan trancam. Hidangan kegemaran Ki Ageng Selo (Badiatul Muchlisin Asti)

Sega Golong dalam Budaya Jawa

Dalam khazanah budaya Jawa, sega golong kemudian menjadi hidangan yang biasa disajikan, bahkan menjadi menu utama dalam pelbagai upacara adat dan tradisi masyarakat Jawa di banyak daerah. 

Wahyana Giri MC dalam buku Sajen & Ritual Orang Jawa (2010) menyatakan, sega golong berupa nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola tenis. Oleh nenek moyang orang Jawa, ubarampe ini dimaksudkan untuk melangsungkan kebulatan tekad yang manunggal atau golong gilig. Soal kebulatan tekad ini, pada saat menggelar selamatan, orang Jawa biasanya menyebutnya dengan istilah “tekad kang gumolong dadi sawiji”. Dengan ubarampe tersebut, diharapkan agar orang yang membuat selamatan, dalam menapaki setiap perjalanan waktu untuk mengarungi kehidupan, selalu selamat dan berhasil meraih apa yang dicita-citakan.

Dalam nuansa dan pemaknaan yang berbeda, sega golong juga hadir dalam sajen perkawinan dalam masyarakat Jawa. Tim Rumah Budaya Tembi dalam buku 27 Resep Sajian Perkawinan Pasang Tarub Jawa (2008) menyebutkan, sajen sega golong menggambarkan dua insan yang mempunyai niat saling membantu dalam membangun mahligai rumah tangga. Begitu pula dalam kebutuhan lahir batin, mereka saling mengisi, saling memberi dan menerima. Istilah golong lutut di dalam bahasa Jawa kuno mengacu kepada hubungan suami istri atau intercourse.

Oleh karena itu, sajen sega golong diwujudkan dalam bentuk sesajen berupa dua buah nasi golong yang masing-masing dibalut telur dadar, pecel panggang ayam, daun kemangi, dan dilengkapi dengan jangan menir (sayur menir) dan jangan padhamara (sayur padamara). Khusus jangan menir dan jangan padhamara, masing-masing ditempatkan terlebih dahulu pada cowek (cobek) yang terbuat dari gerabah. Baru kemudian semua sajen ditempatkan dalam sebuah tampah.

Sebagai sebuah kuliner yang lekat dengan budaya Jawa, sega golong juga disebut dalam Serat Centhini. Manuskrip Jawa itu ditulis oleh tim yang dipimpin Adipati Anom Amangkunegara III (Sunan Pakubuwana V), yang ditulis dalam rentang tahun 1814–1823 M.

Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
Penampakan pecel ayam, masakan khas Jawa yang juga disukai Ki Ageng Selo/Badiatul Muchlisin Asti

Potret Sega Golong Warisan Ki Ageng Selo

Sega golong warisan Ki Ageng Selo disebut juga dengan sega kepelan, karena sega atau nasinya di-kepel-kepel atau dibentuk bulat-bulat berukuran sebesar kepalan tangan. Sayur menir bayam, atau orang Jawa sering menyebutnya jangan menir, adalah masakan sayur bening berbahan bayam yang diberi butiran pecahan beras. Saat ini, butiran pecahan beras biasa diganti dengan serutan jagung muda. Sayur menir bayam tersebut termasuk menu rumahan (comfort food) masyarakat Jawa sehari-hari, yang juga mudah dijumpai di pelbagai rumah makan masakan Jawa.

Adapun pecel ayam bukan masakan berbahan ayam yang diolah dengan bumbu sambal kacang atau yang populer juga dengan sambal pecel. Namun, pecel ayam versi Jawa ini adalah olahan berbahan ayam yang dimasak dengan santan dan racikan bumbu khusus.

Kemudian trancam terong adalah terong mentah yang diurap dengan bumbu kelapa. Dalam perkembangannya, bahan pembuatan trancam mengalami modifikasi dengan menggunakan berbagai macam sayuran mentah, seperti mentimun, kecambah kedelai, daun kemangi, dan petai cina.

Sega golong dengan sajian lengkap seperti itu hingga saat ini masih ditradisikan oleh Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta, mengingat bila ditelusuri secara silsilah, Ki Ageng Selo merupakan leluhur mereka.

  • Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
  • Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo

Hidangan Sarat Filosofi

Chef Vindex Tengker dalam buku Ngelencer ke Yogyakarta (2017) menyatakan, disebut sega golong karena sajian ini sarat dengan nilai filosofi Jawa yang tinggi. Terdiri dari nasi bulat (sega golong), jangan menir, pecel ayam, telur, dan sayur mentah (trancam).

Leluhur Jawa memang senang dengan simbolisme atau perlambang sebagai pesan moral yang diwujudkan secara tersirat dalam sebuah hidangan. Nasi yang dibentuk bulat melambangkan kebulatan tekad bila menginginkan sesuatu agar rezeki yang datang bergolong-golong atau bergulung-gulung (melimpah ruah). Sayur bening bayam melambangkan kebersihan hati dan pikiran dalam menjalani hidup, sedangkan pecel ayam dan trancam melambangkan bersatunya jiwa manusia dengan alam.

Minggu (1/12/2024), saya bekerja sama dengan Erni Iswati dari Dapoer Erni mengadakan uji resep hidangan kegemaran Ki Ageng Selo ini. Hasilnya, sebuah hidangan yang sangat istimewa. Menurut saya, sangat potensial bila sega golong pecel ayam ini diangkat menjadi menu kuliner di resto atau rumah makan. Tujuannya, agar hidangan penuh filosofi ini bisa dikonsumsi kapan saja seseorang ingin. 


Referensi:

Giri, Wahyana. (2010). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Latief, Tuty. (1975). Resep Masakan Daerah. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Oetomo, T. Wedy. (1983). Ki Ageng Selo Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.
Sunjata, Wahjudi Pantja. (2014). Kuliner Jawa dalam Serat Centhini. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tengker, Chef Vindex. (2017). Ngelencer ke Yogyakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim Rumah Budaya Tembi. (2008). 27 Resep Sajen Perkawinan Pasang Tarub Jawa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Anggrek.
Wawancara dengan KRT. Abdul Rakhim, juru kunci makam Ki Ageng Selo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/feed/ 0 45436
Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi https://telusuri.id/kisah-raden-bondan-kejawan-dalam-babad-tanah-jawi/ https://telusuri.id/kisah-raden-bondan-kejawan-dalam-babad-tanah-jawi/#respond Mon, 20 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41954 Bagi masyarakat Grobogan, nama Raden Bondan Kejawan atau yang juga dikenal Ki Ageng Lembu Peteng, tidak sepopuler tokoh-tokoh besar masa lalu lainnya seperti Ki Ageng Tarub atau Ki Ageng Selo. Namun, meski kalah populer, sosok...

The post Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi masyarakat Grobogan, nama Raden Bondan Kejawan atau yang juga dikenal Ki Ageng Lembu Peteng, tidak sepopuler tokoh-tokoh besar masa lalu lainnya seperti Ki Ageng Tarub atau Ki Ageng Selo. Namun, meski kalah populer, sosok Raden Bondan Kejawan boleh dibilang merupakan tokoh utama dalam rangkaian silsilah penurun raja-raja di tanah Jawa.

Makam Raden Bondan Kejawan berada satu kompleks dengan makam guru sekaligus ayah mertuanya, Ki Ageng Tarub, yang berada di Dusun Tarub, Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Para pengunjung yang berziarah ke makam Ki Ageng Tarub umumnya juga sekaligus berziarah di makam Raden Bondan Kejawan.

Makam Raden Bondan Kejawan sendiri—sebagaimana makam Ki Ageng Tarub—terdapat  sejumlah versi. Selain di Desa Tarub, makam Raden Bondan Kejawan diklaim juga berada di Desa Gejawan, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta.

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Di makam Raden Bondan Kejawan yang versi Dusun Barahan dilengkapi sejumlah patung yang menggambarkan makna sebuah laku/Badiatul Muchlisin Asti

Bahkan di Desa Tarub saja, tak terlalu jauh dari makam Raden Bondan Kejawan, juga terdapat petilasan yang oleh sebagian orang diyakini sebagai makam Raden Bondan Kejawan. Makam tersebut berada di Dusun Barahan.

Abdul Karim Abraham, warga Bali, dalam sebuah tulisan yang diberi tajuk “Pengalaman Berkunjung ke Makam Ki Bondan Kejawan” (Kompasiana, 25/12/2013), menceritakan pengalamannya berziarah ke kedua makam Raden Bondan Kejawan di Desa Tarub. Ia sempat bingung karena masing-masing dari kedua juru kunci makam yang ditemuinya mengklaim keaslian makam Raden Bondan Kejawan.

Seusai ziarah, ia pun bertanya kepada Damar Shashangka, penulis best seller asal Malang lewat serial novel sejarah Sabda Palon, melalui pesan Facebook. Damar Shashangka membalas bahwa ia lebih condong jika makam Ki Bondan Kejawan yang sebenarnya adalah pada lokasi kedua yang dikunjungi, yaitu yang berada satu kompleks dengan makam Ki Ageng Tarub. Makam ini secara umum memang lebih bersih dan terawat serta lebih banyak pengunjungnya. Namun, mana yang sebenarnya lebih valid? Wallahu a’lam.

  • Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
  • Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi

Raden Bondan Kejawan, Putra Prabu Brawijaya V

Lalu siapa Raden Bondan Kejawan? Berikut ini kisah Raden Bondan Kejawan yang saya rangkai dan kisahkan kembali dari Babad Tanah Jawi.

Raden Bondan Kejawan adalah putra Bhre Kertabumi atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir dari istri selirnya yang berjuluk Putri Wandan Kuning. Dikisahkan, suatu ketika Prabu Brawijaya terserang penyakit raja singa yang tak kunjung sembuh. Padahal sudah diupayakan penyembuhannya dengan segala macam obat.

Lalu dalam mimpinya, Prabu Brawijaya mendapatkan isyarat bahwa jika ia ingin sembuh, maka ia harus meniduri seorang perempuan dari Wandan yang kuning rupanya. Berdasarkan isyarat dalam mimpinya itu, Prabu Brawijaya kemudian mengambil abdi perempuannya yang berasal dari Wandan—bawaan istrinya dari negeri Champa. Setelah menidurinya sekali, Prabu Brawijaya kemudian sembuh dari sakitnya.

Versi lain menyebutkan, Prabu Brawijaya menyetubuhi Putri Wandan Kuning karena menuruti petuah para pujangga agar sembuh dari sakit yang ada di kakinya. Setelah menyetubuhi Putri Wandan Kuning selama tiga malam berturut-turut, sakit di kakinya berkurang. Prabu Brawijaya pun terus menyetubuhi Putri Wandan Kuning hingga sembuh dari sakitnya.

Setelah ditiduri atau disetubuhi Prabu Brawijaya, Putri Wandan Kuning kemudian hamil dan melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki yang tampan. Namun, ramalan ahli nujum istana menyatakan bahwa bayi itu kelak akan menjadi raja dan merusak diri sang raja—meski kelak ramalan ini salah dan tidak terbukti. 

Atas dasar ramalan itu, jabang bayi itu pun diserahkan kepada abdi jurutani bernama Ki Buyut Masahar untuk diasuh. Setelah berumur sewindu, Ki Buyut Masahar diperintahkan untuk membunuh anak itu.

Oleh Ki Buyut Masahar, jabang bayi itu dibawa pulang dan diserahkan kepada istrinya untuk diasuh. Setelah puput pusarnya, anak itu dinamakan Raden Bondan Kejawan. Dan setelah bayi itu tumbuh dengan baik dan berumur delapan tahun, Ki Buyut Masahar pun hendak memenuhi tugas untuk membunuh Raden Bondan Kejawan.

Saat Ki Buyut Masahar menghunus kerisnya hendak membunuh Raden Bondan Kejawan, Nyi Buyut—istrinya—jatuh pingsan. Nyi Buyut tak tega melihat Raden Bondan Kejawan yang telah sekian lama diasuhnya dengan penuh kasih sayang itu dibunuh. Ki Buyut Masahar pun mengurungkan niat membunuh Raden Bondan Kejawan.

Saat Ki Buyut Masahar menghadap Prabu Brawijaya, ia membuat laporan bohong bahwa ia telah melaksanakan perintah membunuh sang putra. Prabu Brawijaya senang mendengarnya. 

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Sebuah keluarga dari Semarang sedang berziarah dan berdoa di makam Raden Bondan Kejawan versi Dusun Barahan/Badiatul Muchlisin Asti

Raden Bondan Kejawan Diserahkan ke Ki Ageng Tarub

Suatu hari, Ki Buyut Masahar bertolak menuju ke Kerajaan Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya guna menyerahkan hasil bumi berupa padi yang sangat banyak. Tanpa diketahuinya, Raden Bondan Kejawan diam-diam mengikutinya.

Saat Ki Buyut Masahar menghadap Prabu Brawijaya dan menyerahkan padi, Raden Bondan Kejawan menyelinap masuk ke sitinggil—tempat yang ditinggikan untuk balai penghadapan. Ia lalu memukul gamelan Kiai Sekar Delima hingga membuat Prabu Brawijaya terkejut.   

Raden Bondan Kejawan segera ditangkap oleh prajurit penjaga dan diserahkan kepada Prabu Brawijaya. Setelah tahu bahwa anak kecil itu adalah anak Ki Buyut Masahar, Prabu Brawijaya kemudian memberikan dua keris, yaitu keris Kiai Mahesa Nular dan keris Mahela, serta sebuah tombak bernama Kiai Plered. 

Prabu Brawijaya kemudian memerintahkan kepada Ki Buyut Masahar agar Raden Bondan Kejawan dan benda-benda pusaka itu diserahkan kepada Ki Ageng Tarub. Ki Buyut Masahar menyanggupi perintah Prabu Brawijaya.

Sementara itu, di tempat yang sangat jauh, Ki Ageng Tarub sudah mendapat firasat bahwa tak lama lagi akan ada tamu dari Majapahit. Putrinya, Dewi Nawangsih, diperintahnya untuk menggelar tikar. Beberapa saat kemudian, Ki Buyut Masahar dan Raden Bondan Kejawan datang. Ki Buyut Masahar menyampaikan maksud kedatangannya yang tak lain dalam rangka memenuhi perintah Prabu Brawijaya untuk menyerahkan Raden Bondan Kejawan kepada Ki Ageng Tarub. Dan Ki Ageng Tarub pun bersedia menerima Raden Bondan Kejawan.

Sepulang Ki Buyut Masahar, oleh Ki Ageng Tarub, Raden Bondan Kejawan disatukan dalam persaudaraan dengan Dewi Nawangsih—putri semata wayangnya. Ketika itu, Dewi Nawangsih berusia empat belas tahun. Oleh Ki Ageng Tarub, nama Raden Bondan Kejawan pun diganti menjadi Lembu Peteng. Sehingga kelak, Raden Bondan Kejawan lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Lembu Peteng.

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Berfoto dengan juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro, di depan Makam Raden Bondan Kejawan/Badiatul Muchlisin Asti

Raden Bondan Kejawan Dinikahkan dengan Dewi Nawangsih

Dalam asuhan Ki Ageng Tarub, Raden Bondan Kejawan benar-benar mendapatkan curahan kasih sayang yang tulus seperti halnya anak kandung sendiri. Ki Ageng Tarub seperti sudah mendapatkan firasat bahwa Raden Bondan Kejawan kelak akan menjadi tokoh besar dalam sejarah Jawa. Bondan Kejawan akan menjadi tonggak bumi Jawa sesudah kehancuran Majapahit. Karena itulah, Ki Ageng Selo benar-benar serius mendidik dan menempa Raden Bondan Kejawan dengan memperbanyak bertapa serta bertani. 

Raden Bondan Kejawan pun melaksanakan perintah sang guru sekaligus ayah angkatnya itu. Tiap hari, ia pergi ke ladang untuk menanam berbagai macam tanaman. Jika siang, ia dikirimi makanan.

Dikisahkan, ketika itu Dewi Nawangsih sudah beranjak dewasa, gemar bersolek, sehingga makin jelita saja parasnya. Setiap siang, Dewi Nawangsih-lah yang disuruh mengirimkan makanan kepada Raden Bondan Kejawan yang bekerja di ladang.

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi yang disusun oleh W. L. Olthof. Alih bahasa dan penerbitan oleh Narasi (Yogyakarta)/Badiatul Muchlisin Asti

Pada suatu hari, seperti biasa, Dewi Nawangsih mengantar makanan ke ladang. Setiba di ladang, Dewi Nawangsih pun segera menyerahkan makanan yang dibawanya itu kepada Raden Bondan Kejawan. Hari itu, Dewi Nawangsih terkejut karena Raden Bondan Kejawan memegang tangannya lama sekali. Desir-desir aneh menghinggapi hatinya.

Saat Dewi Nawangsih pulang, ia melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub pun menanggapi apa yang disampaikan putrinya itu. Ki Ageng Tarub menyampaikan kepada putrinya bahwa antara ia (Dewi Nawangsih) dan Raden Bondan Kejawan bukanlah saudara kandung, tetapi saudara angkat sehingga tidak terlarang bila menjalin hubungan asmara.

Setelah kejadian itu, Ki Ageng Tarub menikahkan keduanya. Dewi Nawangsih dan Raden Bondan Kejawan sah menjadi sepasang suami-istri. Sayang, sebelum melihat sejoli ini memiliki buah kasih, Ki Ageng Tarub keburu meninggal dunia. Sepeninggal Ki Ageng Tarub, Raden Bondan Kejawan yang ketika itu sudah berganti nama menjadi Lembu Peteng berganti nama menjadi Ki Ageng Tarub II. 

Setelah sekian waktu berlalu, akhirnya Dewi Nawangsih hamil. Saat tiba waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang rupawan. Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih sangat gembira menyambut kelahiran buah hatinya itu. Keduanya sangat menyayanginya. Setelah disapih, Dewi Nawangsih hamil lagi dan melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan. 

Bertahun kemudian, Raden Bondan Kejawan jatuh sakit dan meninggal dunia. Babad Tanah Jawi mencatat: anak yang pertama bernama Ki Ageng Getas Pandawa dan telah memiliki istri; sedang yang kedua, seorang perempuan, diperistri oleh Ki Ageng Ngerang.

Disebutkan, Ki Ageng Getas Pendawa memiliki tujuh anak. Putra pertama seorang laki-laki bernama Ki Ageng Selo—yang kelak dikenal karena dikaitkan dengan legenda penangkapan petir dengan tangan kosong—dan adiknya enam orang, perempuan semua, yaitu Nyi Ageng Pakis, Nyi Ageng Purna, Nyi Ageng Kare, Nyi Ageng Wangku, Nyi Ageng Bokong, dan Nyi Ageng Adibaya. Semua hidup rukun dalam persaudaraan. 

Kisah Raden Bondan Kejawan atau Ki Ageng Lembu Peteng secara spesifik berhenti sampai di sini. Namun, kita bisa menjelajah kisah dan silsilah keturunannya selanjutnya di dalam Babad Tanah Jawi.


Referensi:

Babad Tanah Jawa Pasisiran. (Manuskrip).
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi, Mulai Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.
Purwadi dan Kazunori Toyoda. (2005). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-raden-bondan-kejawan-dalam-babad-tanah-jawi/feed/ 0 41954
Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan https://telusuri.id/menziarahi-makam-raden-danoewikromo-dan-jejak-leluhur-bung-karno-di-grobogan/ https://telusuri.id/menziarahi-makam-raden-danoewikromo-dan-jejak-leluhur-bung-karno-di-grobogan/#comments Thu, 16 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41935 Suatu siang, saya menziarahi sebuah makam yang terletak di areal pekarangan milik seorang warga. Makam itu satu-satunya yang ada di pekarangan tersebut. Tidak ada makam lainnya. Dibiarkan apa adanya. Sejauh ini tampak tidak terurus. Sampah...

The post Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu siang, saya menziarahi sebuah makam yang terletak di areal pekarangan milik seorang warga. Makam itu satu-satunya yang ada di pekarangan tersebut. Tidak ada makam lainnya. Dibiarkan apa adanya. Sejauh ini tampak tidak terurus. Sampah berupa dedaunan kering terlihat berserakan di sekeliling makam. 

Menurut informasi yang saya peroleh, makam itu masih sering diziarahi oleh kerabat dan keturunannya pada momentum tertentu. Pada nisan tertera nama “R. Danoewikrama” (selanjutnya ditulis Raden Danoewikromo). 

Makam itu berada di pekarangan belakang rumah milik seorang warga Kelurahan Kunden, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Makam Raden Danoewikromo diapit kebun (pohon) jati di sebelah utara dan kandang kambing di sebelah selatan. Meski di kawasan kebun, tetapi akses ke makam tidak mengganggu pemilik rumah. 

Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Kondisi Makam Raden Danoewikromo yang berada di pekarangan belakang rumah warga/Badiatul Muchlisin Asti

Mengungkap Sosok R. Danoewikromo

Pertanyaannya, siapakah Raden Danoewikromo? Menurut sejumlah sumber, Raden Danoewikromo adalah kakek buyut Ir. Soekarno alias Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Bagaimana bisa leluhur Bung Karno dimakamkan di tempat ini?

Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, dalam buku Ayah Bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodiharjo dan Nyoman Rai Srimben (2002), menyatakan Raden Danoewikromo yang makamnya terdapat di Kunden, dianggap oleh masyarakat setempat sebagai seorang pendatang. Beliau adalah putra Pangeran Harya Mangkudiningrat dan masih cucu Sultan Hamengku Buwono II. Saat meletus Perang Diponegoro (1825–1830), Raden Danoewikromo ikut berjuang melawan Belanda bersama Pangeran Adipati Natapraja, Pangeran Serang dan istrinya, hanya berbeda wilayah.

Ketika terjadi penyerangan di daerah selatan, Raden Danoewikromo tidak sampai ikut ke Gunung Lawu. Ia berhenti dan mengikuti aliran Sungai Lusi. Akhirnya ia sampai di sekitar Wirosari dan membuat benteng pertahanan sementara. Ia berharap dapat menahan laju penyerangan kompeni yang akan menuju ke Rajekwesi. Lama kelamaan ia membangun permukiman di daerah tersebut bersama anak keturunannya, sampai meninggal dan dimakamkan di Kunden. 

Versi berbeda disampaikan Sugeng Haryadi dalam buku Menyingkap Asal-usul Bung Karno (1998). Menurutnya, Raden Danoewikromo adalah putra Raden Mangoendiwirjo. Kisah bermula saat terjadi Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Melalui perjanjian itu, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua: Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Dalam pembagian tersebut, Ngayogyakarta mendapatkan sembilan daerah kabupaten, masing-masing Wonosari (Madiun sekarang), Magetan, Caruban, Ngrowo (Tulungagung sekarang), Japan (Mojokerto sekarang), Rajekwesi (Bojonegoro sekarang), Ngawen, dan Grobogan. Seperti umumnya jika ada pergantian kekuasaan, pemimpin-pemimpin daerah kekuasaan raja merupakan orang yang punya loyalitas kuat pada penguasa.

Sultan Hamengku Buwono I, Raja Kesultanan Ngayogyakarta menunjuk Pangeran Martapoera, yang sebelumnya menjabat bupati Ngawen, untuk menjadi bupati Caruban. Jabatan ini menurun pada putranya, P. Mangkoedipuro, setelah beliau wafat. Kemudian menurun lagi ke Tumenggung Prawirodipuro—lahir sekitar tahun 1778—yang setelah menjabat bupati mengubah namanya menjadi P. Mangkoedipuro II.

Dengan posisi itu, Prawirodipuro bisa memintakan kedudukan bagi adik kandungnya, Raden Mangoendiwirjo, untuk menjadi Wedana Pamajekan di Wirosari. Wirosari adalah daerah dengan hak norowito (hak atas tanah turun-temurun) bagi keluarga Pangeran Martapoera yang diminta dari raja pada saat menjabat bupati di Ngawen.

Di Wirosari itu, R. Mangoendiwirjo menikah dengan putri setempat dan menurunkan delapan putra dan seorang putri, di antaranya adalah Raden Danoewikromo yang diperkirakan lahir tahun 1804. Jadi, saat Perang Diponegoro meletus, Raden Danoewikromo merupakan pemuda berumur 20 tahun yang turut berperang melawan kolonial Belanda.

Mencermati dua versi kisah di atas, menurut hemat saya, keduanya saling beririsan, memiliki banyak kesamaan, bahkan saling melengkapi. Perbedaan terletak pada data terkait garis nasab (genealogi) Raden Danoewikromo. Menurut versi Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, nama ayah Raden Danoewikromo bernama Pangeran Harya Mangkudiningrat. Adapun versi Sugeng Haryadi, ayah Raden Danoewikromo bernama R. Mangoendiwirjo I. 

Namun, hasil penelusuran menyebut nama Pangeran Harya Mangkudiningrat dan R. Mangonediwirjo I merupakan sosok yang sama. Wallahu a’lam.

Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Foto Bung Karno (kiri) dengan ayahnya, R. Soekeni (Soekemi) Sosrodihardjo yang lahir di Desa Kalirejo, Grobogan dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams

Kakek Bung Karno Menjadi Juru Tulis di Kalirejo

Menurut Sugeng Haryadi, setelah perang usai Raden Danoewikromo kembali ke daerahnya dan menyunting putri di Wirosari. Hasil perkawinan itu membuahkan empat putra dan seorang putri, yakni Raden Kromoatmodjo, Raden Soemadiredjo, Raden Mangoendiwirjo II, Raden Nganten Kartodiwirjo, dan si bungsu, Raden Hardjodikromo yang tak lain adalah kakek Bung Karno. 

Setelah menginjak dewasa, Raden Hardjodikromo (lahir kurang lebih tahun 1840) menjadi carik (juru tulis) di Desa Kalirejo, Wirosari. Sementara kakaknya, Raden Mangoendiwirjo II menjadi lurahnya. Mereka berdua menggantikan para pamong desa sebelumnya yang telah lanjut usia. Tentu saja, jabatan pamong desa ketika itu bukan hal yang sulit diperoleh, karena kakek mereka adalah tokoh di Kawedanan Wirosari dan ayah keduanya merupakan prajurit pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dihormati. 

Dalam perjalanannya, di masa tanam paksa pemerintah kolonial di tanah Jawa akibat kekalahan Diponegoro, Raden Hardjodikromo berniat melepas jabatannya sebagai juru tulis Kalirejo. Kira-kira setahun setelah kelahiran putranya, yakni Raden Soekeni Sosrodihardjo yang tak lain adalah ayah Bung Karno (lahir sekitar tahun 1873), Raden Hardjodikromo memantapkan hati melepas jabatannya sebagai carik dan berniat pindah ke kota lain.

Terkait keputusan Raden Hardjodikromo tersebut, menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, hal itu disebabkan perbedaan pendapat dengan sang kakak, Raden Mangoendiwirdjo. Utamanya dalam menghadapi pemerintah kolonial, yang membuatnya terpaksa meninggalkan Desa Kalirejo.

Masih menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, kepindahan Raden Hardjodikromo cukup beralasan. Di samping menghindari situasi sosial ekonomi yang diakibatkan oleh tanam paksa, juga karena di Wirosari sedang terjadi wabah penyakit kolera dan kelaparan. Masalah ini yang mengakibatkan pengurangan jumlah penduduk secara besar-besaran. Di satu sisi, kegagalan panen akibat perubahan musim semakin memperparah keadaan penduduk Grobogan.

Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Balai Desa Kalirejo, di desa inilah pernah tinggal Raden Hardjodikromo (kakek Bung Karno) dan tempat kelahiran ayah Bung Karno, R. Soekeni Sosrodiharjo/Badiatul Muchlisin Asti

Kakek Bung Karno Pindah ke Tulungagung

Tulungagung akhirnya menjadi tujuan kepindahannya. Di kota itu, tinggal adik perempuannya yang menikah dengan mantri guru bernama Raden Kartodiwirjo (versi Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk). Atau dalam versi Sugeng Hariyadi, tinggal kakaknya yang diperistri seorang mantri guru dan terkenal pandai, yakni Ibu Raden Kartodiwirjo.

Di Tulungagung, kehidupan Raden Hardjodikromo membaik. Ia menjadi pedagang batik, lalu membuka industri kerajinan batik di rumahnya. Kondisi ekonomi yang cukup baik membuka jalan bagi Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayah Bung Karno, untuk menggapai cita-cita sebagai seorang guru. Saat itu guru merupakan profesi yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah kolonial.

Oleh karena itu, selepas masa sekolah rendah tahun 1885, Raden Soekeni memasuki Kweekschool (sekolah guru) di Probolinggo. Pada 1889, Raden Soekeni lulus dari Kweekschool dengan memuaskan lalu diangkat menjadi guru di kota Kraksaan, Kabupaten Lumajang, Karesidenan Besuki, Jawa Timur.

Dua tahun kemudian, Raden Soekeni menerima tawaran untuk mengajar pada sekolah rakyat di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itulah Raden Soekeni menyemai cinta dan menemukan pendamping hidup, seorang gadis Bali bernama Idayu atau Ni Nyoman Rai Sarimben (Srimben). Kelak kita mengenalnya sebagai ibunda tercinta dari Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno.

Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Berfoto dengan R. Suparwoto (kanan), trah R. Danoewikromo, yang tinggal di Dusun Besu, Desa Kalirejo, usai wawancara/Badiatul Muchlisin Asti

Penuturan R. Suparwoto, Trah Raden Danoewikromo di Desa Kalirejo

Hasil penelusuran pustaka itu kemudian saya padukan dengan menemui R. Suparwoto, trah Raden Danoewikromo yang tinggal di Dusun Beru, Desa Kalirejo. Kepada saya, R. Suparwoto menyampaikan di silsilah keluarga yang ia miliki, Raden Danoewikromo (setidaknya) memiliki tiga putra, yaitu Raden Mangoendiwirjo II yang pernah menjabat sebagai lurah di Kalirejo, Raden Kartodiwirjo yang kemudian tinggal di Tulungagung (Jawa Timur), dan Raden Hardjodiwirjo (atau Raden Hardjodikromo) yang pernah menjabat carik atau juru tulis Kalirejo.

Karena sejumlah alasan, Raden Hardjodikromo—kakek Bung Karno—kemudian melepas jabatannya sebagai carik Kalirejo dan mengikuti jejak kakaknya, Raden Kartodiwirjo, yang tinggal di Tulungagung hingga wafatnya. Jasad Raden Hardjodikromo dimakamkan di kompleks makam Kepatihan, Tulungagung.

Ayah Bung Karno sendiri, menurut R. Suparwoto, sesuai data yang dimilikinya bernama R. Soekemi (bukan Soekeni) Sosrodiharjo. R. Soekemi lahir di Desa Kalirejo, Wirosari sekitar tahun 1872. Setahun setelah kelahiran ayah Bung Karno itu, Raden Hardjodikromo memutuskan pindah ke Tulungagung membawa serta keluarganya.  

Dalam perjalanannya, R. Soekemi menjadi seorang guru di Normaalschool Blitar. Kemudian ketika bertugas di Buleleng (Bali), R. Soekemi bertemu dengan Ida Ayu atau Nyoman Rai Srimben yang (saling) jatuh cinta dan kemudian menjadi suami istri. Dari pasangan inilah kemudian lahir Bung Karno, Sang Proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia. 


Referensi

Haryadi, Sugeng. (1998). Menyingkap Asal-usul Bung Karno. Grobogan: Mega Berlian.
Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. (2002). Ayah Bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodihardjo dan Nyoman Rai Srimben. Jakarta: Penerbit Republika dan Yayasan Pustaka Biografi Indonesia.
Wawancara dengan R. Suparwoto, trah Raden Danoewikromo di Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, pada awal Maret 2022 dan 11 April 2024. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menziarahi-makam-raden-danoewikromo-dan-jejak-leluhur-bung-karno-di-grobogan/feed/ 5 41935
Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-2/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-2/#respond Wed, 20 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41425 Pada perkembangannya, api abadi Mrapen menjelma menjadi objek wisata yang memiliki daya tarik tinggi berupa keajaiban geologis. Adanya api abadi yang keluar dari bawah tanah, sendang yang airnya bergolak seperti air mendidih—tetapi tidak panas; benar-benar...

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada perkembangannya, api abadi Mrapen menjelma menjadi objek wisata yang memiliki daya tarik tinggi berupa keajaiban geologis. Adanya api abadi yang keluar dari bawah tanah, sendang yang airnya bergolak seperti air mendidih—tetapi tidak panas; benar-benar menyedot banyak wisatawan.

Pamor api abadi Mrapen semakin bersinar dan menjulang hingga kancah nasional, setelah event olahraga tingkat nasional mengambil api dari Mrapen untuk menyalakan obornya. Juga adanya kegiatan keagamaan yang melibatkan keberadaan api di Mrapen.   

Api Abadi Mrapen dalam Pedoman Tamasja Djawa Tengah (1961)

Eksistensi api abadi Mrapen sejak dulu tidak hanya menjadi pusat perhatian masyarakat, tetapi juga menyedot banyak wisatawan karena dianggap sebagai fenomena yang ajaib. R. O. Simatupang, misalnya, mengungkap hal itu dalam buku Pedoman Tamasja Djawa Tengah (1961).

Dalam buku itu, Simatupang menyebutkan daerah Purwodadi—dulu orang menyebut Grobogan dengan Purwodadi—benar-benar banyak yang ajaib. Di samping sumber air garam alam (Bledug Kuwu), juga terdapat api abadi (eeuwig vuur) di Desa Merapen, Kawedanan Manggar di Godong, kira-kira 20 km sebelah barat Kota Purwodadi. sekarang masuk wilayah Desa Manggarmas, Kecamatan Godong.

Api ini, menurut Simatupang, semacam api karbit yang menyala terus siang malam berabad-abad lamanya sampai dunia kiamat. Api ini dapat dipakai masak.

Menurut dongeng, pada zaman dahulu kala hidup seorang tukang besi yang pandai sekali membuat keris-keris pusaka. Empu Supo, tukang besi itu sangat termasyhur dan oleh karena kesaktiannya hingga kini api yang dipakai untuk membakar besi masih terus menyala.

Tidak jauh dari api itu terdapat kolam air. Dahulu digunakan untuk mendinginkan keris yang selesai dibuat oleh Empu Supo. Terdapat juga sebuah paron atau landasan untuk memukul besi.

Prapen yang merupakan tempat membakar besi untuk dijadikan keris, kini hanya berupa sebuah tumpukan batu setinggi kurang lebih 75 cm dan luasnya 1 m2. Di bagian puncak dan sela-sela batu keluar api yang belum pernah padam. Biarpun hujan lebat, angin topan, atau sengaja disiram air. 

Nyalanya api hampir sama dengan api dapur. Akan tetapi, kalau batu-batu itu dibongkar, tidak terdapat kayu-kayu atau bahan bakar lainnya. Bahkan jika batu-batu itu digeser, segera dari dalam tanah akan keluar api.

Adapun nyalanya api tetap stabil, tidak pudar atau menjadi-jadi. Hanya kadang-kadang berpindah dari celah satu ke celah lainnya, tetapi belum sampai pindah dari lingkungan Kampung Mrapen yang luasnya lima hektare. Apabila api tersebut hendak berpindah tempat, maka akan muncul suara semacam tangan menebah pada dinding. 

Batu-batu yang dibakar terus-menerus lambat laun semakin hancur dan berubah jadi batu kapur yang berwarna keputih-putihan. Apabila digoreskan dengan benda keras akan keluar sinar api.

Beberapa meter dari api abadi terdapat kolam yang airnya kelihatan mendidih, tetapi tidak panas. Kolam ini belum pernah kering atau airnya meluap-luap. Busa-busa air dari kolam tidak boleh didekatkan api, sebab bisa segera menyala seperti bensin yang tepercik api.

Kalau kedua benda (prapen dan kolam) peninggalan Empu Supo mempunyai keajaiban sendiri-sendiri, maka lain halnya dengan paronnya. Paron tersebut berbentuk alat penempa. Bukan terbuat dari besi, melainkan dari batu yang disebut Watu Bobot dan beratnya kurang lebih 10 kg. Watu Bobot ini bisa meramalkan cita-cita Anda akan terkabul atau tidak. Sambil bersila Anda harus memeluk batu itu dan mengangkat ke atas. Jika terangkat ke atas berarti cita-cita Anda akan terkabul. 

Menurut cerita, batu ini pada zaman penjajahan pernah diangkat oleh seorang pemuda Belanda dan kemudian dibanting sehingga menjadi terbelah. Kini Watu Bobot disatukan kembali dengan cara diikat. Walaupun sudah tidak utuh lagi, Watu Bobot masih tetap dipandang keramat.

Apa yang disampaikan oleh Simatupang merupakan ekspresi ketakjuban terhadap fenomena geologi yang menjadi daya tarik objek wisata api abadi Mrapen. Daya tarik itulah yang menyedot banyak wisatawan untuk datang berkunjung dan melihatnya.

Api Abadi Mrapen dalam Agenda Olahraga dan Keagamaan

Perkembangan menarik dari objek wisata api abadi Mrapen adalah sejak apinya diambil untuk dijadikan nyala obor bagi sejumlah event olahraga. Baik itu di tingkat nasional maupun internasional, seperti Games of New Emerging Forces (GANEFO), Pekan Olahraga Nasional (PON), SEA Games, dan Para Games.

Dari sejumlah monumen yang dibangun di kompleks objek wisata, pengambilan api Mrapen untuk event olahraga sudah dimulai sejak 1963. Tercatat pada Jumat, 1 November 1963, api Mrapen diambil untuk nyala obor even GANEFO I yang rangkaian upacara pengambilannya dipimpin oleh Mochtar, gubernur Jawa Tengah ketika itu.

Lalu pada Selasa, 8 September 1981, diadakan pengambilan api Mrapen untuk PON X yang berlangsung di Jakarta. Monumen yang mengabadikan momen ini ditandatangani oleh Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Berikutnya pengambilan api Mrapen untuk PON XIV berlangsung pada Jumat, 23 Agustus 1996. Momen ini juga diabadikan dalam monumen yang ditandatangani oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga ketika itu, Hayono Isman.

Selain PON, api Mrapen juga diambil untuk sejumlah event olahraga lainnya, seperti Pekan Olahraga (POR) PWI I di Semarang pada Rabu, 9 Februari 1983. Rangkaian acara tersebut dipimpin oleh Supardjo Rustam, gubernur Jawa Tengah saat itu. Sebelumnya pada Rabu, 8 September 1982, api Mrapen diambil untuk upacara peresmian Stadion Sriwedari Surakarta, salah satu stadion tertua di Indonesia yang menjadi tempat penyelenggaraan PON I tahun 1946.

Tidak hanya itu, api Mrapen juga diambil untuk pembukaan event olahraga berskala Asia Tenggara dan dunia. Antara lain SEA Games XXVI 2011 di Jakarta dan Palembang, yang mengambil api dari Mrapen untuk nyala obornya. 

Kemudian, pada gelaran ASEAN Para Games XI 2022 yang diadakan di Kota Solo, dibuka dengan torch relay atau estafet obor dengan api yang juga diambil dari Mrapen. Api pertama kali diambil oleh Direktur III Bidang Pendukung Pertandingan Indonesia National Paralympic Organization Committee (INASPOC), Hendri Oka. Kemudian, diserahkan kepada Sekretaris Daerah Jawa Tengah, Sumarno, diteruskan ke Bupati Grobogan, Sri Sumarni, dan terus berlanjut hingga bersemayam di Balai Kota Surakarta.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)
Prosesi pengambilan api suci Waisak oleh umat Buddha di wisata api abadi Mrapen/Kompas.com

Di luar event olahraga, api Mrapen juga digunakan setiap tahun dalam perayaan upacara Waisak di Candi Borobudur, Magelang. Saat mengambil api, para bhikkhu, perwakilan majelis Buddha, dan masyarakat Buddha akan hadir untuk mengikuti prosesi pengambilan api dharma di kompleks api abadi Mrapen.

Sebelum mengambil api dharma, mereka akan membakar kemenyan sebagai tanda dimulainya prosesi. Api dharma kemudian disulut menggunakan obor oleh masing-masing perwakilan majelis Buddha dan dibawa ke mobil bak terbuka. 

Prosesi dilanjutkan dengan menyalakan api ke anglo berbentuk bunga teratai di atas mobil untuk dibawa menuju Candi Mendut, Magelang. Di Candi Mendut, api akan disemayamkan dan disakralkan dengan dibacakan paritta suci oleh Bhikkhu Sangha. Selanjutnya api dari Mrapen bersama air dari Umbul Jumprit, Temanggung, akan dibawa ke Candi Agung Borobudur dan malamnya digunakan dalam kegiatan detik-detik perayaan Waisak.

Direktur Urusan dan Pendidikan Ditjen Bimas Buddha, Supriyadi, sebagaimana dikutip Kompas.com (2/6/2023), mengatakan bahwa secara filosofi api abadi mengandung makna kekuatan. Api menjadi perlambang semangat bagi umat Buddha untuk terus mengembangkan dharma.

Api Abadi Mrapen, Riwayatmu Kini

Serpihan cerita api Abadi Mrapen dengan segala pesona dan keagungannya, (seharusnya) bisa menjadi daya tarik wisata yang bisa dieksplorasi dan menyedot pengunjung. Bila mengacu kepada prinsip pengembangan wisata yang bisa dipromosikan, antara lain atraksi, amenitas, dan aksesibilitas, api abadi Mrapen sudah lebih dari siap untuk dikembangkan dan/atau direvitalisasi.

Sejak lahan dan pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah pada 2012, api abadi Mrapen tampil lebih “wah”. Pemprov telah menggelontorkan biaya miliaran rupiah untuk membangunnya. Seluruh objek yang menjadi daya tarik wisata, yaitu api abadi, Sendang Dudo, dan Watu Bobot, semuanya telah dipoles dengan baik. Dilengkapi pula fasilitas dasar, seperti toilet, musala tempat parkir, tempat istirahat, serta pusat jajanan. Bahkan dibangun gedung olahraga yang cukup megah. 

Akses menuju objek wisata api abadi Mrapen juga sangat mudah. Lokasinya lumayan strategis, berada di Jalan Raya Purwodadi—Semarang yang bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Bahkan dilewati bus Trans Jateng Koridor VI trayek Semarang—Grobogan.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)
Salah satu sesi acara dalam rangkaian Mrapen Culture Festival yang digelar oleh Komunitas I Love Gubug/Badiatul Muchlisin Asti

Sayangnya—sepertinya—segala potensi yang dimiliki itu belum dieksplorasi dan dikembangkan secara optimal, sehingga objek wisata api abadi Mrapen saat ini cenderung sepi pengunjung atau boleh dibilang mengalami “krisis pengunjung”. Objek wisata ini seperti kehilangan pamor dan daya tariknya. Ramainya hanya saat ada momen-momen tertentu, seperti pengambilan api untuk event olahraga dan api dharma dalam perayaan Waisak.

“Krisis pengunjung” itulah yang menjadikan Komunitas I Love Gubug (KILG) pada akhir tahun lalu, tepatnya selama Jumat—Minggu, 28—30 Desember 2023, menyelenggarakan kegiatan bertajuk Mrapen Culture Festival #1 di kompleks api abadi Mrapen. Inisiator kegiatan, Muh. Umar, menyatakan perhelatan Mrapen Culture Festival berawal dari keprihatinannya melihat sepinya pengunjung api abadi Mrapen, padahal bangunannya sudah mumpuni dan bagus.

Ia berharap, festival dapat menjadi titik awal bangkitnya kembali objek wisata api abadi Mrapen. Sehingga pamornya kembali bersinar, ramai dikunjungi wisatawan, dan bisa semakin berkibar di kancah kepariwisataan nasional.


Referensi

Kompas. (2023, 2 Juni). Api Abadi Mrapen, Tempat Pengambilan Api Dharma untuk Perayaan Waisak. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2023/06/02/074600578/api-abadi-mrapen-tempat-pengambilan-api-dharma-untuk-perayaan-waisak?page=all.
Simatupang, R. O. (1961). Pedoman Tamasja Djawa Tengah. Djakarta: Penerbit Keng Po.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-2/feed/ 0 41425
Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/#respond Tue, 19 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41418 Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter....

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter.

Objek wisata ini pernah menjadi primadona—setidaknya destinasi wisata kebanggaan masyarakat Grobogan—selain Bledug Kuwu. Tahun 1980-an atau 1990-an, api abadi Mrapen masih banyak dikunjungi wisatawan.

Bahkan hingga tahun 2000-an, objek wisata tersebut masih banyak dikunjungi. Namun, seiring waktu pamor api abadi Mrapen semakin lama semakin meredup. Pada 2012 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mengambil alih pengelolaannya. Pemprov membeli lahannya dari kepemilikan pribadi, kemudian dibangun menjadi lebih “wah” dan dilengkapi Gelanggang Olahraga (GOR).

Kendati demikian, hal itu ternyata tidak serta-merta bisa mendongkrak pamornya. Apalagi sejak pagebluk COVID-19 melanda dunia. Pamor dan tingkat kunjungan pun kian menurun.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Pengunjung mendokumentasikan lokasi api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Fenomena Geologi

Api abadi Mrapen sendiri adalah sebuah objek wisata yang berbasis fenomena geologi. Di dalamnya terdapat tiga daya tarik, yaitu api abadi Mrapen (objek utama), Sendang Dudo, dan Batu Bobot. 

Api abadi Mrapen merupakan api alam yang menyala di atas tanah dan timbul karena adanya gas yang keluar dari dalam tanah. Pusat semburan gas memiliki diameter sekitar 1,5 meter. Meski diberi nama api abadi, tetapi api ini sebenarnya bisa padam. Misalnya, bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang. Namun, jika api mati, api bisa dihidupkan kembali dengan cara menyulutnya menggunakan korek api. Sebuah data menunjukkan, dulu, pijaran api abadi Mrapen tergolong besar. Pada 1992 intensitas debit gasnya pernah mengecil, tetapi tidak sampai membuat padam. 

Pada September 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah, api abadi Mrapen sempat padam total akibat eksploitasi gas di sekitarnya oleh warga. Namun, akhirnya api abadi berhasil dihidupkan kembali pada April 2021.

Kemudian Sendang Dudo, sebuah telaga, airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan serta bergelembung. Seperti kondisi air yang sedang mendidih, tetapi airnya tidak panas. Gelembung-gelembung udara itu berasal dari gas yang keluar dari tanah. Letupan gas itu akan menyala bila terkena pijaran api, sehingga dimungkinkan gas tersebut adalah gas yang ada pada api abadi Mrapen.

Dalam buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen yang diterbitkan oleh Tourist Information Center (TIC) Provinsi Jawa Tengah, dari hasil penelitian di laboratorium ditemukan bahwa air Sendang Dudo banyak mengandung mineral, mulai dari kalsium, besi, hingga magnesium. Oleh karena itu air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim. 

Adapun Batu Bobot, menurut cerita dulunya adalah umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Kesultanan Demak. Namun, Sunan Kalijaga dan rombongan meninggalkannya karena berat dan menghambat perjalanan. Batu ini kemudian digunakan Empu Supo sebagai paron atau landasan untuk membuat keris. Berat batu bobot kurang lebih 20 kilogram.

  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)

Legenda Terjadinya Api Abadi Mrapen

Cerita asal-usul terjadinya api abadi Mrapen yang berkembang di masyarakat selama ini lebih bersifat legenda. Dalam perkembangannya, kisah genealogis yang seharusnya bersifat faktual (fakta historis) itu bercampur dengan pelbagai mitos. Keberadaan api abadi Mrapen sendiri dikaitkan dengan perjalanan pulang rombongan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga setelah dari Kerajaan Majapahit.

Menurut cerita, hikayat asal mula api abadi Mrapen terjadi pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagai kerajaan penakluk—banyak sejarawan yang menolak narasi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pernah melakukan serangan dalam rangka menaklukkan Kerajaan Majapahit—Kesultanan Demak di bawah Sultan Fattah, raja pertamanya, bermaksud memindahkan benda-benda berharga milik Kerajaan Majapahit. Pemindahan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.

Ketika rombongan hendak sampai Demak, mereka singgah sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat. Saat mereka hendak memasak untuk kepentingan konsumsi rombongan yang sudah mulai lapar, mereka tidak mendapati air dan api. Sebab tempat mereka singgah memang jauh dari permukiman warga.  

Menyadari hal itu, Sunan Kalijaga lalu berdoa dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api yang menyala terus-menerus. Sunan Kalijaga kemudian berjalan agak ke timur dan kembali menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, menyemburlah air yang sangat jernih.

Para pengikut Sunan Kalijaga pun sangat senang melihat hal itu. Mereka dapat memanfaatkan api dan air itu untuk memasak dan mencukupi kebutuhan minum mereka. Titik menyemburnya api itulah yang kelak dikenal sebagai api abadi Mrapen, sedangkan tempat keluarnya air kelak dikenal dengan nama Sendang Dudo.

Setelah dirasa cukup beristirahat melepas penat, makan, minum, dan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju Demak. Baru akan berangkat, salah seorang anggota rombongan yang bertugas membawa batu umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit mengeluh karena benda itu terlalu berat. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak kuat membawanya.

Mendengar keluhan itu, Sunan Kalijaga memerintahkan untuk meninggalkan saja benda tersebut. Benda itulah yang kelak dikenal dengan nama Batu Bobot. Setelah meninggalkan batu itu, rombongan kemudian meninggalkan tempat tersebut dan segera bertolak ke Demak. 

Beberapa waktu kemudian, Sunan Kalijaga meminta Empu Supo—ahli pembuat keris pusaka pada masa itu—untuk membuatkan sebilah keris di sebuah tempat yang sudah tersedia api untuk membakar, batu umpak sebagai landasan menempa, dan air yang digunakan menyepuh keris. Berdasarkan petunjuk tersebut, berangkatlah Empu Supo sembari membawa logam sebagai bahan membuat keris ke tempat yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga.

Di tempat itulah, Empu Supo kemudian membuat keris yang diberi nama keris Kyai Sengkelat. Keris ini unik, karena menurut cerita, dalam proses pembuatannya Empu Supo tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menempa logam, tetapi dengan tekanan jari-jarinya untuk membentuk keluk keris tersebut.

Keris yang dibuat kemudian disepuh atau dicelupkan ke dalam sendang. Air sendang yang semula sangat jernih seketika berubah menjadi keruh kekuning-kuningan. Airnya juga bergolak atau menimbulkan gelembung menyerupai air yang sedang mendidih. 

Dalam perkembangannya, Empu Supo lalu diberi tugas khusus oleh Sultan Demak untuk membuat senjata-senjata yang digunakan untuk kepentingan militer Kesultanan Demak. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama “Mrapen” dan menjadi pusat pembuatan senjata kerajaan. Mrapen sendiri berasal dari kata “prapen” yang berarti perapian.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Warung-warung yang sepi pengunjung di kompleks objek wisata api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Api Abadi Mrapen di Masa Sultan Trenggono

Menurut sejarah, ditemukan atau munculnya api abadi Mrapen oleh Sunan Kalijaga terjadi saat Kesultanan Demak berada di bawah kepemimpinan Sultan Fattah atau Raden Patah. Setelah Raden Patah wafat pada 1518 M, takhta Kesultanan Demak beralih ke putranya yang bernama Pati Yunus. 

Pati Yunus menjabat sebagai Sultan Demak tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Sejak 1518 hingga 1521 M. Pati Yunus wafat dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1521. Setelah Pati Yunus wafat, takhta Kesultanan Demak beralih ke Sultan Trenggono, putra Raden Fattah dan adik Pati Yunus. 

Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono itulah api abadi Mrapen mendapatkan perhatian khusus. Utamanya karena tempat itu telah ditetapkan sebagai pusat pembuatan senjata pusaka kerajaan. Maka Sultan Trenggono menugaskan Ki Demang Singodiro, seorang demang—semacam jabatan lurah yang saat itu memimpin sekitar tiga desa—untuk mengelola dan menjaga situs peninggalan Sunan Kalijaga tersebut.

Selain diberi tugas menjaga dan merawat situs peninggalan Sunan Kalijaga, kesultanan juga memberikan kawasan Mrapen sebagai tanah perdikan kepada Ki Demang Singodirono. Setelah Ki Demang Singodirono wafat, tongkat estafet juru pelihara dilanjutkan oleh keturunannya.

Berdasarkan buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen, silsilah juru kunci atau juru pelihara yang bertugas mengelola Mrapen adalah sebagai berikut:

  1. Ki Demang Singodirono
  2. Ki Demang Singosemito
  3. Ki Demang Kerto Semito
  4. Ki Demang Kerto Leksono
  5. Ki Lurah Kromoharjo (wafat 1942).
  6. Nyi Parminah (1946—2000)
  7. Mulai tahun 2000—2012 sebagai juru kunci dijalankan oleh tujuh anak Nyi Parminah secara bergiliran
  8. Selanjutnya sejak 2012 pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah melalui dinas pemuda dan olahraga dengan cara membeli lahan situs api abadi Mrapen

Annas Rofiqi (31), petugas objek wisata api abadi Mrapen saat ini, menambahkan informasi bahwa sejak Nyi Parminah meninggal dunia, pengelolaan api abadi Mrapen sempat dipegang oleh suaminya yang bernama Mbah Supradi. Setelah Mbah Supradi wafat pada 2006, pengelolaan kawasan api abadi Mrapen dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Annas Rofiqi sendiri yang saat ini menjadi petugas resmi Dinpora Jawa Tengah merupakan cucu Nyi Parminah. Putra dari anak bungsu mendiang yang bernama Rubiyatno.

(Bersambung)


Referensi

Buku TIC Provinsi Jawa Tengah. Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen. Semarang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/feed/ 0 41418
Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3) https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-3/ https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-3/#respond Fri, 08 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41317 Dari uraian silsilah Ki Ageng Tarub, kita jadi mengetahui bahwa secara genealogis, Ki Ageng Tarub bukanlah keturunan orang sembarangan. Ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, adalah seorang waliyullah, cucu Syekh Jumadil Kubro—seorang mubalig yang datang ke Indonesia...

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari uraian silsilah Ki Ageng Tarub, kita jadi mengetahui bahwa secara genealogis, Ki Ageng Tarub bukanlah keturunan orang sembarangan. Ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, adalah seorang waliyullah, cucu Syekh Jumadil Kubro—seorang mubalig yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1300 M. Sedang ibunya, baik yang versi Dewi Rasa Wulan maupun Dewi Retna Dumilah, merupakan bangsawan dari Kadipaten Tuban.

Menurut sejumlah sumber, setelah menikah dengan Dewi Nawangwulan, Jaka Tarub mendapat gelar Ki Ageng Tarub dan meneruskan perjuangan ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, dalam pengembangan dakwah dan syiar Islam. Maka tidak aneh bila di kemudian hari, Ki Ageng Tarub juga populer sebagai seorang aulia, yang makamnya selalu dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah sampai sekarang. Saat ini, makam Ki Ageng Tarub yang berada di Desa Tarub, Tawangharjo, menjadi salah satu destinasi wisata religi favorit di Kabupaten Grobogan.

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)
Buku karya Damar Shashangka yang juga mengupas cerita lebih logis tentang Jaka Tarub dan “tujuh bidadari”/Penerbit Dolphin

Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari

Dari rangkaian ulasan tentang sosok Ki Ageng Tarub, tentu kisah pernikahannya dengan seorang bidadari masih menyisakan pertanyaan yang mengganjal. Sayangnya, sulit mendapatkan sumber data yang valid untuk memverifikasi kisah tersebut, mengingat transmisi kisah ini memang dituturkan dari mulut ke mulut. 

Sejauh ini belum ada data sahih, apalagi tertulis yang bisa dirujuk, kecuali kisah yang dituturkan oleh Damar Shashangka lewat novel sejarahnya yang lain. Dalam Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa (2015), Damar Shashangka mengisahkan Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang sebenarnya. Menurut sejarawan muda asal Malang ini, Dewi Nawangwulan adalah seorang perempuan berdarah Jawa-Sunda. Ia manusia biasa, bukan bidadari, tetapi memiliki paras yang cantik bak bidadari.       

Dikisahkan, suatu ketika ada tujuh gadis berparas cantik dari Parahyangan—bukan kahyangan—yang datang ke Tarub. Mereka diantar oleh beberapa laki-laki. Mereka bertujuh adalah putri dari tiga brahmana yang tinggal di Parahyangan, yaitu Danghyang Ragasuci, Danghyang Langlang Wisesa, dan Danghyang Wulungan. 

Rara Purwaci dan Rara Asri adalah putri Danghyang Ragasuci. Rara Kencana dan Rara Manik adalah putri Danghyang Langlang Wisesa. Rara Cinde, Rarasati, dan Rara Sindhang adalah putri Danghyang Wulungan.

Mereka menuju ke Tarub dengan menempuh jalur laut, bertolak dari Pelabuhan Kelapa (Jakarta sekarang) menuju ke Pelabuhan Simongan (Semarang saat ini). Dari Simongan mereka berjalan kaki menuju ke Tarub. Sesampainya di Tarub mereka tidak masuk ke Pedukuhan Tarub, melainkan memilih berdiam di hutan yang terkenal angker di sebelah selatan pedukuhan.

Kedatangan mereka diendus oleh penduduk Tarub. Orang-orang mulai kasak-kusuk membicarakan adanya para wanita di tengah hutan, yang mereka katakan sebagai bidadari karena paras cantik dan tubuh yang sempurna. Didesak oleh rasa penasaran, Jaka Tarub memberanikan diri masuk ke hutan. Ia menemukan mereka sedang mandi di sendang.

Jaka Tarub awalnya juga mengira mereka para bidadari. Namun, setelah mengamati dengan saksama, barulah ia menyadari mereka adalah manusia biasa. Setelah bertemu, Jaka Tarub memperkenalkan diri dengan nama Kidang Telangkas, putra dari janda Akuwu Tarub (Nyi Ageng Kasihan). Mendengar itu, mereka terlihat sangat gembira.    

Para wanita kemudian memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangan mereka ke Tarub. Mereka mengaku kedatangan ke Tarub atas perintah bapak-bapak mereka yang mendapatkan petunjuk, bahwa salah satu di antaranya kelak akan menjadi tanah subur bagi tumbuhnya benih penguasa Jawa. Mereka diperintah melakukan perjalanan ke Tarub, yang disebut sebagai tempat amajang wulan tinaruban (di bawah cahaya bulan dan dinaungi tarub).

Sesuai petunjuk, ketika tiba di Tarub mereka tidak diperbolehkan masuk ke pedukuhan, tetapi harus menunggu di tengah hutan. Mereka akan didatangi oleh seseorang yang akan memilih salah satu dari mereka untuk diperistri. Orang yang akan datang itu segesit kidang (kijang). Dan orang yang dimaksud itu adalah Kidang Telangkas yang kini sudah ada di hadapan mereka.

Setelah memahami maksud kedatangan para wanita tersebut, meski merasa aneh, Jaka Tarub alias Kidang Telangkas memilih salah satu di antara mereka. Jaka Tarub memilih Rara Purwaci. Setelah Jaka Tarub menjatuhkan pilihan, pada hari itu juga rombongan dari Parahyangan pamit.

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)

Nawangwulan Meninggalkan Jaka Tarub

Penduduk Tarub pun gempar setelah mengetahui Jaka Tarub membawa pulang seorang wanita cantik dari hutan belantara. Jaka Tarub menyembunyikan jati diri Rara Purwaci, dengan alasan dia merupakan putri seorang brahmana, sehingga dalam dirinya juga memiliki warna brahmana.

Dalam aturan Dharmasastra—salah satu susastra Hindu yang berkaitan dengan agama, kewajiban, dan hukum—pernikahan antara putri seorang brahmana dengan seorang kesatria yang lebih dekat dengan kehidupan sudra akan menemui banyak kerumitan.

Alasan itu yang membuat Jaka Tarub memutuskan untuk menyembunyikan jati diri Rara Purwaci. Jaka Tarub meminta Rara Purwaci untuk tidak membuka jati dirinya sebagai putri seorang brahmana. Bahkan Jaka Tarub sendiri bersumpah, bila ia sendiri yang justru melanggar hal itu, disengaja atau tidak, maka Rara Purwaci boleh meninggalkannya.

Jaka Tarub kemudian memberi nama baru untuk Rara Purwaci: Nawangwulan. Nawang berarti menatap, wulan berarti rembulan; karena kecantikan Rara Purwaci serupa rembulan yang sangat berkesan ketika dipandang.

Jati diri Rara Purwaci yang disembunyikan dan ketidakjelasan asal usulnya, menjadikan penduduk Tarub meyakini bahwa Rara Purwaci yang sudah beralih nama menjadi Nawangwulan itu benar-benar seorang bidadari. Demikianlah, akhirnya Jaka Tarub hidup dengan penuh cinta dan kasih dengan Rara Purwaci hingga melahirkan seorang putri jelita yang diberi nama Nawangsih.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat berlangsung panen raya di Pakuwon Tarub, tatkala ritual pemujaan Bhatara Shri siap dilaksanakan, pandhita satu-satunya di Pakuwon Tarub mendadak meninggal dunia. Padahal menurut kepercayaan masyarakat Tarub ketika itu, ritual tersebut tidak boleh ditunda karena bisa menimbulkan malapetaka berkepanjangan.

Di tengah kebingungan mencari pandhita pengganti, Jaka Tarub tanpa sadar mengatakan bahwa Nawangwulan bisa mengisi posisi pandhita untuk memimpin ritual pemujaan terhadap Bhatara Shri, karena ia adalah putri seorang brahmana. Setelah mengatakan itu, Jaka Tarub baru menyadari bahwa ia telah melanggar sumpahnya sendiri.

Saat itulah Nawangwulan marah. Meski akhirnya Nawangwulan bersedia memimpin ritual pemujaan kepada Bhatari Shri, tetapi setelahnya ia memilih pergi dari Tarub, sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan Jaka Tarub dahulu.. 

Jaka Tarub sangat sedih dengan kenyataan getir yang dihadapinya. Namun, ia hanya bisa pasrah. Nyatanya, Nawangwulan atau Rara Purwaci memang putri seorang brahmana dan tugasnya telah berakhir, setelah dari pernikahan dengannya melahirkan Nawangsih. Kelak, Nawangsih dinikahkan dengan Raden Bondan Kejawan—putra Prabu Brawijaya V—yang disebut-sebut sebagai lalajěr bhumi Jawa, yang akan melahirkan penguasa Jawa sesudah kehancuran Majapahit. Dan ramalan itu pada akhirnya terbukti. 

Rangkaian kisah tersebut, yang saya rangkum dari novel sejarah karya Damar Shashangka, tetapi hemat saya kesahihan ceritanya masih perlu diverifikasi. Terutama terkait sumber yang dirujuk. Agar alur kisah Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub versinya—yang memang terasa lebih rasional dan logis itu—bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Wallahu a’lam.


Referensi

Oetomo, T. Wedy. (1983). Ki Ageng Selo Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 (edisi hard cover). Yogyakarta: Narasi.
Purwadi dan Kazunori Toyoda. (2005). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Santoso, Teguh. (2016). Cerita Rakyat Grobogan. Yogyakarta: Histokultura.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon: Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin.
Shashangka, Damar. (2015). Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa. Banten: Dolphin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-3/feed/ 0 41317
Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2) https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-2/ https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-2/#respond Thu, 07 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41307 Sebagai sebuah legenda, tak ada yang aneh dalam kisah Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Karena lazimnya legenda memang acap diliputi oleh fragmen-fragmen yang irasional. Kisah ini sama seperti legenda yang berkembang di daerah lainnya, seperti...

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai sebuah legenda, tak ada yang aneh dalam kisah Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Karena lazimnya legenda memang acap diliputi oleh fragmen-fragmen yang irasional. Kisah ini sama seperti legenda yang berkembang di daerah lainnya, seperti kisah Malin Kundang yang berubah menjadi batu setelah dikutuk oleh ibunya, hingga Sangkuriang yang menendang perahu sampai berubah menjadi gunung yang kini bernama Tangkuban Perahu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Meski berkaitan dengan peristiwa sejarah, tetapi karena pola transmisinya yang umumnya tidak tertulis, diceritakan dari mulut ke mulut dan tidak diketahui sumbernya (anonim), menjadikan banyak legenda yang mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan kisah aslinya.   

Itulah yang menjadikan kisah dalam legenda umumnya berbaur antara mitos dan fakta historis. Sebagaimana dinyatakan oleh Hasanuddin WS seperti dikutip dalam sebuah artikel di Liputan6.com, legenda adalah cerita rakyat yang berisikan tentang tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dengan mitos. 

Oleh karena itu, legenda sering disebut semihistoris alias tidak merupakan rangkaian cerita yang murni berisi fakta historis. Bahkan tak sedikit legenda yang murni fiksi. Maka, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklornya.

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2)
Bangunan tempat makam Ki Ageng Tarub berada/Badiatul Muchlisin Asti

Mempertanyakan Pernikahan Jaka Tarub dengan Bidadari

Sebagai sebuah legenda, kisah Jaka Tarub—atau setelah dewasa populer dengan nama Ki Ageng Tarub—seolah tidak menyimpan problem. Problematik muncul ketika di kehidupan nyata, sosok Ki Ageng Tarub diyakini oleh sebagian umat (Islam) sebagai seorang aulia, yang makamnya didatangi oleh para peziarah dari berbagai daerah, bahkan dijadikan sebagai destinasi wisata religi atau spiritual dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Tidak sedikit peziarah yang meyakini Ki Ageng Tarub merupakan sosok waliyullah dan penyebar agama Islam sebagaimana para wali dalam majelis dakwah Wali Songo.   

Di sisi lain, publikasi diri dan kisah hidupnya sejauh ini tidak jelas karena tak lebih dari kisah legenda yang lebih banyak diliputi mitos ketimbang fakta historis. Sejumlah pertanyaan, seperti benarkah Jaka Tarub mencuri selendang atau Jaka Tarub menikah dengan bidadari, sampai sekarang tak kunjung menemukan jawabannya. 

Ketika saya berkesempatan wawancara dengan juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro via YouTube pribadi saya pada 2021 lalu, saya mendapatkan keterangan bahwa Jaka Tarub tidak mencuri selendang salah satu bidadari. Alasannya, karena kata “mencuri” memiliki konotasi negatif. Sayangnya, saya tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari juru kunci, seperti bagaimana alur cerita Jaka Tarub bisa menikah dengan bidadari bila ia tidak mengambil selendangnya—sebagaimana terdapat dalam cerita legenda.

Ketika fragmen “mencuri selendang” dihilangkan dari kontruksi cerita sebagaimana dalam legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang sudah sangat masyhur, maka alur baru harus direkonstruksi agar ceritanya menjadi runtut dan tidak melompat. Karena saat saya tanyakan terkait kebenaran Jaka Tarub menikah dengan bidadari, juru kunci menjawab dengan tegas: “benar”—sembari menyebutkan hal itu sebagai karomah yang dikaruniakan kepada Ki Ageng Tarub oleh sebab kemuliaannya.   

Padahal menurut saya, apabila kita kritis, dalam tinjauan syariat Islam manusia menikah dengan bidadari di kehidupan dunia merupakan sesuatu yang tidak akan pernah ada. Menurut Islam, bidadari hanya ada di surga kelak di kehidupan akhirat. Di dalam Alquran, kata “bidadari” sering digunakan untuk menunjukkan seorang wanita berparas jelita yang dipersiapkan oleh Allah untuk penghuni surga.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan jika bidadari turun ke bumi, ia akan menyinari seluruh langit dan bumi serta memenuhinya dengan aroma yang harum semerbak. “Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis sahih ini menyiratkan kemustahilan penduduk bumi menikah dengan bidadari. Sepanjang sejarah para nabi dan rasul serta para sahabat—yang mereka semua berkedudukan lebih mulia—tak pernah ada yang mendapatkan anugerah menikah dengan bidadari, kecuali jaminan masuk surga kelak di akhirat.

Kenapa makna bidadari harus diletakkan dalam konteks syariat Islam? Karena pada kehidupan nyata, sosok Jaka Tarub disebut-sebut sebagai seorang aulia dan penyebar agama Islam, sehingga makna “bidadari” dalam kisah kehidupannya juga haruslah diletakkan dalam tinjauan syariat Islam.

Tanpa tinjauan syariat Islam pun, dalam sejarah peradaban modern manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan merupakan sesuatu yang absurd dan sulit diterima nalar. Kisah Jaka Tarub terjadi di era Kerajaan Majapahit, yang ketika itu peradaban sudah sangat maju. Sehingga peristiwa manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan seperti itu tidak bisa diterima nalar, dan menurut saya ahistoris—kecuali diterima sekadar cerita mitologis atau sebuah cerita yang bersifat simbolis. 

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2)
Sampul depan buku karya Damar Shashangka yang di antaranya mengungkap silsilah Ki Ageng Tarub/Badiatul Muchlisin Asti

Menggali Silsilah Ki Ageng Tarub

Selain soal “menikah dengan bidadari”, ada satu persoalan yang menurut saya mendasar dan masih krusial, yaitu terkait silsilah Ki Ageng Tarub. Siapa ayah dan ibunya?

Bila merujuk pada cerita legenda, di antaranya yang ditulis di Babad Tanah Jawi, bayi Jaka Tarub dipungut oleh seorang janda dan dipelihara. Setelah berumur tujuh tahun, kelihatan tampan. Teman sepermainannya sangat sayang kepadanya. Kegemarannya nulup—istilah untuk menyebut berburu burung dengan tulup atau sumpit—ke hutan.  

Dalam buku-buku babad tidak disebutkan siapa nama orang tua Jaka Tarub. Namun, dalam kajian historis saya mencatat setidaknya dua versi silsilah Jaka Tarub. 

Pertama adalah silsilah Ki Ageng Tarub menurut versi yang paling umum, sekaligus versi yang dipegang oleh KRAT Hastono Adinagoro. Menurut versi ini, Ki Ageng Tarub adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dengan Dewi Rasa Wulan, putri Tumenggung Wilwatikta dan adik kandung Raden Mas Syahid alias Sunan Kalijaga.

Lalu versi kedua adalah silsilah Ki Ageng Tarub yang dikemukakan oleh Damar Shashangka dalam novel sejarah karyanya yang berjudul Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan (2011).  Di dalam buku tersebut, Damar Shashangka menyebutkan Ki Ageng Tarub yang bernama kecil Kidang Telangkas adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah.

Kedua versi itu saling beririsan karena keduanya menyebutkan ayah kandung Ki Ageng Tarub adalah Syekh Maulana Maghribi. Bedanya terletak pada nama ibu kandungnya. Baik itu versi KRAT Hastono Adinagoro maupun Damar Shashangka, keduanya menyebutkan bahwa pertemuan dengan Syekh Maulana Maghribi terjadi saat Dewi Rasa Wulan atau Dewi Retna Dumilah sedang melakukan tapa ngidang. Namun, dari sisi konstruksi cerita, Damar Shashangka lebih detail dalam mengulas cerita silsilah Ki Ageng Tarub sehingga alur historisnya lebih jelas. 

Menurut Damar Shashangka, Dewi Retna Dumilah adalah putri bungsu Adipati Tuban, Arya Adikara. Dia adalah adik dari Raden Ayu Teja. Dewi Retna Dumilah sendiri bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi di sebuah hutan saat dirinya sedang menuruti perintah ayahnya melakukan tapa ngidang, yaitu bertapa mengikuti cara hidup seekor kijang (dalam bahasa Jawa disebut kidang); makan hanya dedaunan muda, minum langsung dari sumber air, selama tujuh bulan.

Di hutan itulah Dewi Retna Dumilah bertemu Syekh Maulana Maghribi. Keduanya berkomunikasi dan berinteraksi, hingga saling jatuh cinta. Apalagi setelah tahu bahwa mereka satu agama, karena ayah Dewi Retna Dumilah juga sudah lama memeluk Islam.

Damar Shashangka menyebutkan, keislaman Dewi Retna Dumilah bermula dari kakaknya, Raden Ayu Teja, yang dinikahi oleh seorang Cina muslim, bangsawan dari Dinasti Ming bernama Haji Gan Eng Chu. Nama Islamnya adalah Haji Abdulrahman.

Haji Gan Eng Chu ditempatkan di Tuban oleh Raja Kauthara, Bong Tak Keng, untuk memimpin para Cina muslim di sana. Sebelumnya, Haji Gan Eng Chu bertugas di Manila. Semenjak perkawinan antara Haji Gan Eng Chu dengan Raden Ayu Teja inilah, mertuanya, Adipati Arya Adikara, tertarik untuk memeluk Islam.

Tak jauh dari lokasi pertemuan antara Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah, hidup seorang bekas murid Syekh Jumadil Kubro yang kemudian membantu menikahkan keduanya. Resmilah Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah menjadi pasangan suami istri.

Keduanya tinggal di gubug sederhana, hingga Dewi Retna Dumilah hamil. Akan tetapi, karena ketakutan sebab secara tidak langsung telah melanggar perintah ayahnya untuk bertapa ngidang, beberapa waktu kemudian ia pun memutuskan pulang ke Tuban. Hingga kemudian Dewi Retna Dumilah kembali datang menyerahkan bayinya kepada Syekh Maulana Maghribi, lalu Dewi Retna Dumilah balik ke Tuban. 

Karena merasa tidak bisa mengurus bayi itu, maka Syekh Maulana Maghribi menaruh bayi mungil yang diberinya nama Kidang Telangkas ke dalam peti emas berukir indah pemberian Dewi Retna Dumilah. Ditaruhlah peti berisi bayi itu di tempat seorang janda pemimpin dukuh itu biasa datang di pusara suaminya yang telah lama meninggal. 

Bayi itu pun kemudian ditemukan oleh sang janda, Nyi Ageng Kasihan, dan kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang layaknya anak kandungnya sendiri. Di dalam peti itu, Syekh Maulana Maghribi menulis pesan di selembar daun lontar agar bayi tersebut diberi nama “Kidang Telangkas”.

Yang menarik dari silsilah Ki Ageng Tarub, sebagaimana diungkap Damar Shashangka, ternyata Ki Ageng Kasihan, suami dari Nyi Ageng Kasihan yang menemukan dan merawat bayi Kidang Telangkas, merupakan kakek buyut Jaka Tarub.    

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2)
Silsilah trah Ki Ageng Tarub yang tertera di dinding kompleks makam Ki Ageng Tarub/Badiatul Muchlisin Asti

Menurut Damar Shashangka, nama asli Ki Ageng Kasihan adalah Ki Arya Penanggungan, seorang bangsawan dari Kerajaan Pajajaran. Saat terjadi konflik antarsaudara, Ki Arya Penanggungan memilih hijrah dari Pajajaran ke Majapahit melalui jalur laut dan mendarat di Tuban. Saat itu, Ki Arya Penanggungan membawa seorang anak yang dititipkan kepada pembesar Tuban. 

Ki Arya Penanggungan sendiri memilih menyembunyikan jati dirinya. Ia masuk ke pedalaman Jawa dan menetap di wilayah ini. Ia menikahi Nyi Ageng Kasihan yang kemudian menjadi ibu angkat Ki Ageng Tarub. Dari pernikahan ini, Ki Arya Penanggungan atau Ki Ageng Kasihan tidak memiliki anak hingga wafat.

Adapun anaknya yang ditinggalkan di Tuban mengabdi sebagai pejabat di sana dan berhasil menikahi keturunan Adipati Ranggalawe, bahkan kemudian berhasil menduduki takhta Kadipaten Tuban. Putra Ki Ageng Kasihan terkenal dengan gelar Adipati Arya Adikara, yang tak lain adalah ayah kandung Dewi Retna Dumilah, dan tentu juga kakek Kidang Telangkas alias Jaka Tarub alias Ki Ageng Tarub. Bila merujuk pada silsilah ini, Ki Ageng Tarub yang kelak dikenal sebagai penurun raja-raja Mataram Islam, memiliki darah Sunda dari kakek buyutnya itu.

Yang menarik lagi adalah hubungan antara Dewi Rasa Wulan dengan Dewi Retna Dumilah yang ternyata memiki hubungan ibu-anak. Sejumlah literatur menyebutkan, Sunan Kalijaga adalah putra seorang adipati Tuban dan ibu bernama Dewi Retna Dumilah. 

Yudi Hadinata, misalnya, dalam buku Sunan Kalijaga: Biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan, dan Pengaruh-pengaruhnya (2015) menyatakan bahwa Sunan Kalijaga diperkirakan lahir sekitar tahun 1430-an karena menikah dengan putri Sunan Ampel pada usia 20-an tahun, sementara Sunan Ampel saat itu berusia 50-an tahun. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada 1450 atau 1455. Ia mempunyai ayah bernama Tumenggung Wilwatikta dan ibu bernama Dewi Retna Dumilah.

Menurut Damar Shashangka, setelah menyerahkan bayi Kidang Telangkas kepada Syekh Maulana Maghribi, Dewi Retna Dumilah menikah lagi dengan Adipati Tuban yang terkenal dengan gelar Adipati Wilwatikta. Sehingga dari silsilah versi Damar Shashangka ini, antara Ki Ageng Tarub dengan Sunan Kalijaga dan Dewi Rasa Wulan masih ada hubungan saudara tiri. Seibu lain ayah.

Dari ulasan ini, manakah yang lebih valid (sahih) dari dua versi silsilah Ki Ageng Tarub tersebut? Wallahu a’lam. Perlu kajian dan riset lebih mendalam lagi.

(Bersambung)


Referensi

Abdi, Husnul. (2022, April 25). Legenda adalah Cerita Rakyat yang Berhubungan dengan Sejarah, Kenali Jenis-jenisnya. Liputan6. https://www.liputan6.com/hot/read/4947886/legenda-adalah-cerita-rakyat-yang-berhubungan-dengan-sejarah-kenali-jenis-jenisnya?page=3.
Hadinata, Yudi. (2015). Sunan Kalijaga: Biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan, dan Pengaruh-pengaruhnya. Yogyakarta: Dipta.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-2/feed/ 0 41307
Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1) https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-1/ https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-1/#respond Wed, 06 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41298 Di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, terdapat sebuah makam yang diyakini tempat bersemayam seorang tokoh besar pada zamannya, yang populer dengan nama Ki Ageng Tarub. Menurut sejumlah literatur, pada masa kecilnya Ki...

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, terdapat sebuah makam yang diyakini tempat bersemayam seorang tokoh besar pada zamannya, yang populer dengan nama Ki Ageng Tarub. Menurut sejumlah literatur, pada masa kecilnya Ki Ageng Tarub bernama Kidang Telangkas dan setelah menginjak remaja dikenal dengan nama Jaka Tarub. Keberadaan tokoh ini dinisbatkan dengan cerita rakyat (legenda) tentang Jaka Tarub yang menikah dengan seorang bidadari dari kahyangan.

Versi makam Jaka Tarub sendiri diketahui tidak hanya di Desa Tarub yang berada di wilayah Grobogan. Makam Ki Ageng Tarub juga diklaim berada di Dusun Pacanan, Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Ada juga yang mengaku berada di Desa Widodaren, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. 

Bahkan di Jawa Tengah sendiri, selain di Grobogan, makam Ki Ageng Tarub juga diklaim ada di Desa Sani (Pati), Desa Tarub (Karanganyar), Desa Tarub (Adiwerna, Tegal), dan di Desa Bulupitu (Kutowinangun, Kebumen). Namun, menurut penelitian Ambar Widyawati pada 2003, sebagaimana dikutip KRT Priyohadinagoro (2010) dalam blog kiagengtarub.blogspot.com, disebutkan bahwa makam Ki Ageng Tarub yang asli adalah makam yang berada di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan.

Setiap tahun, tiap tanggal 15 Safar dalam penanggalan Jawa, haul Ki Ageng Tarub diperingati secara meriah dengan adanya kirab gunungan hasil bumi oleh warga Desa Tarub. Haul dihadiri pejabat pemerintah kabupaten (pemkab) dan sejumlah petinggi trah Keraton Surakarta Hadiningrat. Di antaranya yang pernah hadir adalah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari, GKR Ayu Koes Indriyah, dan GKR Galuh.

Setiap peringatan Hari Jadi Kabupaten Grobogan, pusara Ki Ageng Tarub juga masuk dalam agenda ziarah ke makam para leluhur oleh Pemkab Grobogan. Selain makam Ki Ageng Tarub, saat perayaan hari jadi tersebut, bupati Grobogan bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan pejabat di lingkungan pemkab juga berziarah ke makam Ki Ageng Getas Pendowo, Ki Ageng Selo, dan Pangeran Puger—bupati Grobogan pertama.

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)

Legenda Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari

Masyarakat Grobogan sendiri sejak dulu telah mengenal legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang mandi di sebuah telaga. Salah satu dari bidadari tersebut, selendang atau pakaiannya diambil dan disembunyikan oleh Jaka Tarub. Sehingga sang bidadari tidak bisa kembali ke kahyangan. Bidadari yang diketahui bernama Dewi Nawangwulan itu kemudian dinikahi oleh Jaka Tarub. 

Di Desa Tarub, Tawangharjo, makam Jaka Tarub dan sendang telaga itu bisa dinapaktilasi terlepas dari validitasnya. Dalam laman Pencatatan pada situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, tercatat cerita Jaka Tarub versi Yogyakarta dan Grobogan—yang sebenarnya secara alur cerita mirip bahkan boleh jadi memang sama. 

Secara garis besar, cerita legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari versi masyarakat Grobogan dapat diceritakan sebagai berikut:

Syahdan, di Pedukuhan Tarub, pernah hidup seorang anak muda bernama Jaka Tarub. Ia memiliki kegemaran berburu burung perkutut di hutan.

Suatu hari, seperti biasa, Jaka Tarub pergi berburu burung perkutut di hutan. Saat Jaka Tarub berada di tengah hutan, langkahnya seketika terhenti karena sekonyong-konyong ia melihat tujuh perempuan jelita yang sedang mandi di telaga. Kiranya perempuan-perempuan itu adalah para bidadari yang turun dari kahyangan.

Pada saat itulah, Jaka Tarub tertarik melihat kecantikan mereka, sehingga diam-diam mengambil pakaian salah satu bidadari yang tengah mandi itu. Dan pakaian itu adalah milik seorang bidadari yang bernama Dewi Nawangwulan. 

Dewi Nawangwulan tak bisa kembali ke kahyangan karena pakaiannya diambil oleh Jaka Tarub. Ia pun ditinggal teman-temannya kembali ke kahyangan. Jaka Tarub keluar dari persembunyianya dan menghampiri Dewi Nawangwulan yang sedih karena tak bisa kembali ke kahyangan. 

Dari sinilah kemudian terjalin kisah cinta antara Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan. Karena tak bisa kembali ke kahyangan, Dewi Nawangwulan akhirnya bersedia diperistri oleh Jaka Tarub. Jaka Tarub sangat bahagia memiliki istri seorang bidadari.

Di masyarakat Pedukuhan Tarub, Jaka Tarub dikenal sebagai seorang petani yang tekun. Sejak kehadiran istrinya yang seorang bidadari, hasil panen padi Jaka Tarub semakin melimpah, seperti tak pernah berkurang. Rahasianya ternyata berasal dari kemampuan Dewi Nawangwulan yang bisa menanak nasi, hanya dari secangkir padi tapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dalam sehari. Hanya saja, Dewi Nawangwulan berpesan agar Jaka Tarub jangan sampai masuk ke dapur saat dirinya memasak. 

Pesan istrinya itu selalu dipegang teguh oleh Jaka Tarub, hingga hidup mereka pun dikaruniai kebahagiaan. Apalagi setelah Dewi Nawangwulan melahirkan seorang anak perempuan jelita seperti paras ibunya.  Oleh Jaka Tarub, anak itu diberi nama Dewi Nawangsih. 

“Nawang” diambil dari nama istrinya, Sedang “sih” berarti kasih atau cinta. Nama putrinya itu menyiratkan kebesaran cinta Jaka Tarub kepada istrinya. Sayang, kebahagiaan keluarga itu kemudian dirusak oleh aksi Jaka Tarub yang melanggar janjinya. 

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1)

Dikisahkan, setiap kali Dewi Nawangwulan memasak di dapur, ia selalu dibantu teman-temannya dari kalangan bidadari. Itulah rahasia Dewi Nawangwulan bisa menanak nasi dari secangkir beras sehingga bisa menjadi nasi satu bakul penuh, komplet dengan lauk pauknya. 

Namun, hari itu menjadi hari yang nahas, karena saat Dewi Nawangwulan sedang memasak di dapur dengan dibantu oleh teman-teman bidadarinya, tiba-tiba Jaka Tarub masuk. Para bidadari itu pun kaget dan kemudian beterbangan kembali ke kahyangan dan tidak akan pernah kembali lagi untuk membantu Dewi Nawangwulan. 

Dewi Nawangwulan pun sedih bukan kepalang. Ia menangis tersedu-sedu. Sejak kejadian itu, kehidupan keluarga Jaka Tarub berubah drastis. Dewi Nawangwulan tak lagi menikmati hidup seperti sebelumnya. Hari-harinya dipenuhi kemurungan dan kelesuan. Dalam waktu tak lama, persediaan padi di lumbung mulai menipis. 

Ketika persediaan padi makin menipis, terkejutlah Dewi Nawangwulan karena mendapati pakaiannya yang hilang dulu. Tahulah ia sekarang, jika pakaiannya itu ternyata dicuri oleh suaminya dan disembunyikan di bawah timbunan padi. Akhirnya, dengan mengenakan pakaiannya itu, Dewi Nawangwulan memutuskan kembali pulang ke kahyangan. 

Dewi Nawangwulan segera terbang menuju ke kahyangan. Meninggalkan Pedukuhan Tarub, juga meninggalkan Jaka Tarub dan seorang putri jelita yang masih bayi. Sesaat sebelum terbang, Dewi Nawangwulan berpesan kepada Jaka Tarub: bila sewaktu-waktu Nawangsih menangis karena merindukan ibunya, Jaka Tarub diminta menggendong Nawangsih ke luar rumah dan membawanya ke dekat pohon pisang, karena ia akan datang untuk menemui putrinya yang sangat dicintainya.

Legenda Jaka Tarub dalam Karya Seni

Begitulah kisah legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan yang sangat masyhur dan merupakan cerita rakyat yang dituturkan leluhur masyarakat Grobogan dari generasi ke generasi.

Cerita legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari itu juga dapat dibaca di buku yang berjudul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada 1941. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam edisi hard cover oleh penerbit Narasi, Yogyakarta (cetakan pertama, 2014) dengan judul Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.

Kemasyhuran legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari itu menginspirasi banyak seniman lukis yang secara imajinatif memvisualkannya ke dalam lukisan-lukisan yang indah. Di antaranya maestro pelukis Indonesia, Basuki Abdullah, yang membuat lukisan bertajuk Jaka Tarub.

Lukisan Basuki Abdullah itu kemudian menginspirasi pelukis asal Grobogan, Eko Supa, untuk membuat lukisan berjudul Spirit Selendang. Lukisan karya Eko Supa ini termasuk lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Temporer Museum Basoeki Abdullah bertema “Spirit Potret” pada 2018. 

Pada pameran tersebut, Eko Supa bersama sekitar 30 seniman lukis se-Indonesia. Bagi yang lukisannya terpilih, diminta untuk melukis karya maupun karakter Basoeki Abdullah dengan eksplorasi sesuai aliran dan imajinasi masing-masing.

Saat itu Eko Supa membuat lukisan karikatur yang menggambarkan Basoeki Abdullah masuk ke dalam lukisan Jaka Tarub—sebuah lukisan yang pernah dibuat Basoeki Abdullah berdasarkan legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Dalam lukisannya, Eko Supa menggambarkan karakter Basoeki Abdullah yang mengambil selendang bidadari, sehingga karya lukisannya itu diberi judul Spirit Selendang dan terpajang di katalog galeri pameran tersebut. 

Tak hanya dalam lukisan, cerita legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari juga diadaptasi ke dalam berbagai karya seni lainnya, mulai dari cerita komik, drama, hingga film. Hal ini membuktikan kemasyhuran cerita rakyat yang sangat populer dan melegenda.

(Bersambung)


Referensi

Priyohadinagoro, KRT. (2010, April 17). Situs Makam KI Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub Blogs. https://kiagengtarub.blogspot.com/2010/04/situs-makam-ki-ageng-tarub.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekonstruksi-kisah-dan-menggali-fakta-sejarah-ki-ageng-tarub-1/feed/ 0 41298
Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-pangeran-ario-soenarto-bupati-grobogan-pencetus-trilogi-pembangunan-desa/ https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-pangeran-ario-soenarto-bupati-grobogan-pencetus-trilogi-pembangunan-desa/#comments Fri, 02 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41080 Kabupaten Grobogan telah melintasi masa yang sangat panjang. Di usianya yang hampir tiga abad, kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap ini telah melahirkan sejumlah tokoh dengan gagasan-gagasan cemerlang dan pengabdian terbaik....

The post Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa appeared first on TelusuRI.

]]>
Kabupaten Grobogan telah melintasi masa yang sangat panjang. Di usianya yang hampir tiga abad, kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap ini telah melahirkan sejumlah tokoh dengan gagasan-gagasan cemerlang dan pengabdian terbaik. Salah satunya adalah Soenarto yang pernah menjabat sebagai Bupati Grobogan.

Pada Selasa (5/12/2023), saya berkesempatan ziarah ke makam tokoh yang bernama lengkap Kanjeng Pangeran Adipati Ario Soenarto itu di Makam Sido Mukti, Desa Ngembak, Kecamatan Purwodadi, Grobogan. Saya berkunjung bersama Muhadi alias Mpu Gandrung—budayawan muda Grobogan yang juga pendiri objek wisata akulturasi Jawa-Bali, Candi Joglosemar. 

Di makam yang kurang terawat itu, kami membincangkan tentang sosok bupati yang pada masa kepemimpinannya mencetuskan gagasan Trilogi Pedesaan. Nama Soenarto barangkali banyak masyarakat Grobogan saat ini yang tidak (lagi) mengenalnya. Padahal Soenarto merupakan Bupati Grobogan yang menjabat cukup lama. Ia memiliki kiprah serta jasa besar dalam meletakkan pondasi pembangunan di Kabupaten Grobogan pada awal abad ke-20.

Bupati ke-14 Grobogan

Dalam kesempatan itu, Muhadi menyatakan bahwa Raden Ario Soenarto merupakan salah satu Bupati Grobogan. Jika dihitung sejak Adipati Martopuro atau Adipati Puger diangkat oleh Susuhunan Amangkurat IV sebagai Bupati Grobogan yang pertama pada tahun 1726, maka Raden Ario Soenarto merupakan bupati ke-14. Namun, jika dihitung sejak masa perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan Grobogan ke Purwodadi pada 1864, ia adalah bupati keempat.   

Sebelum diangkat menjadi Bupati Grobogan, pria kelahiran 1887 itu merintis karir dengan beragam tingkatan jabatan. Sejak dari menjadi juru tulis, mantri polisi, asisten-wedana, hingga menjadi wedana.

Koran De Locomotief edisi 5 Januari 1933 mencatat, Soenarto pernah menjadi juru tulis di Purwodadi pada 1892 sebelum akhirnya dipindah ke Kabupaten Semarang enam tahun kemudian. Setelah tak lagi menjadi juru tulis, pada 1902 Sunarto sempat diangkat menjadi mantri polisi dan di tahun yang sama diangkat menjadi asisten-wedana Kecamatan Srondol.

Pada 1903, Soenarto menjadi asisten-wedana di Weleri, Kendal. Lalu tahun berikutnya bertugas di Kebonbatur, dan baru diangkat menjadi wedana di Singen Lor, Semarang pada 1906. 

Hingga kemudian Soenarto diangkat menjadi Bupati Grobogan pada 1909 berdasarkan versi De Locomotief. Atau tahun 1908 jika mengacu pada versi Pemerintah Kabupaten Grobogan melalui situs resminya, www.grobogan.go.id. Soenarto menjadi bupati Grobogan menggantikan pamannya, Adipati Ario Haryokusumo.

Soenarto purna tugas sebagai bupati tahun 1933. Dengan demikian, bila merujuk pada data De Locomotief, maka Soenarto menjabat selama 24 tahun. Adapun bila berpedoman pada data Pemerintah Kabupaten Grobogan, maka Soenarto menjabat selama 25 tahun.  

Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa
Pangeran Ario Soenarto, Bupati ke-14 Grobogan (1908-1933) bersama istri, Raden Ayoe/Rijksmuseum

Menggagas Trilogi Pembangunan Desa

Saat menjadi Bupati Grobogan, Soenarto menunjukkan kinerja yang baik bahkan mewariskan gagasan yang monumental. Salah satu warisan intelektualnya yang populer adalah “Trilogi Pedesaan” atau “Trilogi Pembangunan Desa”. Kunci gagasan ini di setiap desa harus ada sekolah desa, balai desa, dan lumbung desa. Gagasan ini boleh dibilang merupakan ide brilian pada zamannya.

Menurut Muhadi, Bupati Ario Soenarto memiliki peran yang sangat besar, khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah Jawa—terkhusus lagi Grobogan. Ia merupakan penggagas pentingnya kekuatan ketahanan pangan sebagai salah satu penopang kesejahteraan masyarakat. Ia mencetuskan trilogi pembangunan saat melihat Grobogan pernah dilanda kekeringan yang sangat panjang hingga menjadi pagebluk dan menewaskan warga Grobogan dari sekitar 90 ribu jiwa menjadi hanya 8 ribu jiwa.

Pagebluk itu, menurut Muhadi, menjadikan Bupati Ario Soenarto berpikir untuk  menciptakan sebuah kekuatan masyarakat dalam hal ketahanan pangan. Dan tidak hanya itu, tetapi juga ditopang dengan pengembangan sumber daya alam dan manusia dengan membuat konsep lumbung pangan, sekolah, juga tata pemerintahan yang terintegrasi di wilayah masing-masing.

Sementara itu jurnalis Republika, Priyantono Oemar, dalam sebuah artikel menyatakan saat menjadi camat atau asisten wedana di Weleri, Soenarto telah mengenalkan gagasannya tentang lumbung desa dalam rangka mengantisipasi datangnya paceklik. Dengan adanya lumbung desa itu, para petani memiliki tabungan padi ketika mereka gagal panen. Padi di lumbung itulah yang kemudian dipakai untuk menghadapi masa paceklik.

Gagasan tentang lumbung desa itu kemudian ia bawa dan terapkan ketika menjadi bupati Grobogan. Program lumbung desa yang ia cetuskan tidak hanya memperbaiki ketahanan pangan masyarakat desa, tetapi juga memperbaiki perekonomian desa.

Pada perkembangannya, lumbung desa yang digagas oleh Soenarto berfungsi untuk menyimpan padi dan uang. Saat Soenarto purna tugas sebagai bupati, setidaknya di setiap desa ada uang tunai dua juta gulden.

Selain lumbung desa, Soenarto juga menggulirkan gagasan dan program sekolah desa sejak awal ia diangkat menjadi bupati. Bukan pekerjaan gampang mengembangkan sekolah desa pada masa itu, karena anak-anak desa terbiasa membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah. Sehingga saat masa tanam dan panen tiba, mereka memilih tidak masuk sekolah.

Namun, berkat tangan dinginnya sekolah desa cukup berkembang dengan menggembirakan. Data menunjukkan di akhir jabatannya pada 1933, dari 142 desa yang ada di Kabupaten Grobogan, sudah ada 136 desa yang memiliki sekolah desa. 

Selain program lumbung desa dan sekolah desa, Soenarto juga sangat memerhatikan nasib rakyatnya yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Untuk mendukung pertanian warganya, Soenarto memberikan bantuan bibit dan pupuk. Warga baru membayarnya nanti jika sudah panen.

  • Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa
  • Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa

Meraih Penghargaan Tertinggi

Gagasan dan terobosan Bupati Soenarto dalam upaya memajukan Grobogan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, diapresiasi oleh pemerintah kolonial. Priyantono Oemar dalam artikelnya menyebut sederet penghargaan yang diberikan kepada Soenarto.

Pada 1913, Bupati Soenarto diganjar kenaikan pangkat dengan menyandang gelar “ario”. Lalu pada tahun 1920 mendapat kenaikan pangkat sebagai “adipati”. Bahkan, ia diangkat menjadi perwira Orde Oranye Nassau tahun 1923. Orde Oranye Nassau adalah orde kekesatriaan Kerajaan Belanda yang didirikan oleh Ratu Emma pada 1892.

Pada 1928, Bupati Soenarto mendapat bintang emas. Lima tahun kemudian, di pengujung masa jabatannya sebagai bupati Grobogan, ia diberi kenaikan pangkat sebagai “pangeran”. Nama dan gelar lengkapnya menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Ario Soenarto. Pangkat tertinggi untuk seorang bupati. Bupati Soenarto juga berhak membawa songsong emas, yaitu payung kebesaran berlapis emas.

Menurut De Locomotif, songsong emas merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan diberikan hanya pada kasus luar biasa. Soenarto adalah satu-satunya bupati yang mendapat penghargaan tertinggi itu.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai bupati, Kanjeng Pangeran Adipati Aryo Soenarto sempat menikmati masa tuanya di Salatiga, kota nan sejuk di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Ia meninggal dunia pada Selasa, 21 Januari 1936 karena sakit. Jasadnya dimakamkan di pemakaman Sido Mukti, Desa Ngembak, Kecamatan Purwodadi. 

Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa
Sejumlah makam terlihat tidak terawat dan banyak sampah berserakan, termasuk di kompleks makam Pangeran Ario Soenarto/Badiatul Muchlisin Asti

Kiprah dan jasa yang besar tidak lantas menjadikan Bupati Soenarto menjadi tokoh yang dikenang. Muhadi menyayangkan bahwa saat ini masyarakat Grobogan secara umum tidak lagi mengenal sosoknya, bahkan tidak memiliki kepedulian. Bahkan meski makamnya terletak di tengah-tengah kota—hanya sekitar 3,5 km dari pusat pemerintahan—tetapi makamnya tidak begitu terawat walaupun pemerintah desa setempat telah berusaha memfasilitasi dan menatanya.  

Muhadi juga menyayangkan selama ini pemerintah daerah tidak punya kepedulian untuk mengangkat sosok Pangeran Ario Soenarto sebagai salah satu tokoh yang memiliki kiprah besar, baik di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan sebagai budayawan, Muhadi mengaku sangat prihatin dalam rangkaian agenda kegiatan di setiap Hari Jadi Kabupaten Grobogan pada dekade terakhir, tidak memasukkan makam Bupati Ario Soenarto dalam agenda ziarah.

Keprihatinan Muhadi memang beralasan bila melihat kiprah Ario Soenarto selama memimpin Grobogan. Kendati sosoknya tidak banyak dikenang dan makamnya tidak begitu mendapatkan perhatikan, tetapi sejarah telah mencatat jasa besar Pangeran Ario Soenarto dengan tinta emas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berziarah ke Makam Pangeran Ario Soenarto, Bupati Grobogan Pencetus Trilogi Pembangunan Desa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-pangeran-ario-soenarto-bupati-grobogan-pencetus-trilogi-pembangunan-desa/feed/ 2 41080
Potret Tradisi Barikan di Desa Godan Grobogan https://telusuri.id/potret-tradisi-barikan-di-desa-godan-grobogan/ https://telusuri.id/potret-tradisi-barikan-di-desa-godan-grobogan/#comments Fri, 19 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40961 Grobogan termasuk kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang kaya akan tradisi. Saat ini pun masih dilestarikan oleh warganya. Tradisi itu merupakan warisan kebudayaan yang diturunkan sejak ratusan tahun lalu, dari generasi ke generasi, oleh leluhur...

The post Potret Tradisi Barikan di Desa Godan Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
Grobogan termasuk kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang kaya akan tradisi. Saat ini pun masih dilestarikan oleh warganya. Tradisi itu merupakan warisan kebudayaan yang diturunkan sejak ratusan tahun lalu, dari generasi ke generasi, oleh leluhur masyarakat Grobogan. 

Sejumlah tradisi tersebut di antaranya sangat unik dan spesifik, seperti Asrah Batin yang melibatkan dua desa di Kecamatan Kedungjati, yaitu Desa Ngombak dan Desa Karanglangu; Jamasan Bendhe Becek di Dusun Pasiraman, Desa Katekan, Kecamatan Brati; kuras Sumur Dieng dan mandi lumpur di Desa Lemah Putih, Kecamatan Brati; bersih Telaga Sendangsari di Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo; dan Adang-adangan dalam prosesi pernikahan adat Jawa di Kecamatan Karangrayung.

Tradisi lainnya yang mesti disebut adalah Barikan. Sebuah tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Grobogan, salah satunya Godan, Kecamatan Tawangharjo. Barikan merupakan tradisi leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lampau.

Potret Tradisi Barikan di Desa Godan Grobogan
Dalam tradisi Barikan, warga berebut berbagai jenis makanan dan jajan pasar yang biasanya disediakan selepas doa bersama/Badiatul Muchlisin Asti

Ritual Menolak Bala

Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (2018) memuat entri “barikan”. Menurut ensiklopedi ini, Barikan atau bari’an berasal dari kata bahasa Arab bara’a, yubarri’u, bara’atan, atau bari’an yang berarti bebas. Secara terminologi, Barikan adalah sebuah ritual tradisi Jawa yang dilakukan suatu penduduk desa sebagai bentuk upaya melakukan tolak bala (menghindarkan dari berbagai mara bahaya), agar mereka bebas dari berbagai bencana yang merugikan, seperti datangnya kekeringan, bencana alam (banjir atau longsor), kelaparan, dan wabah penyakit, baik yang menyangkut manusia, tanaman, ataupun ternak mereka.

Selain sebagai ritual tolak bala, Barikan juga dimaksudkan untuk mendoakan semua arwah leluhur desa yang telah meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa para leluhur dalam melaksanakan babat (perjuangan membangun) desa di masa lalu. Wujud Barikan sejatinya merupakan ritual yang berbentuk pemberian sedekah berupa olahan makanan dari hasil pertanian masyarakat sekitar.   

Barikan merupakan bentuk akulturasi tradisi Jawa dengan ajaran Islam. Pada dasarnya Barikan berasal dari tradisi nenek moyang suku Jawa yang beragama Hindu-Buddha. Sebuah metamorfosa dari sedekah dengan berbagai persembahan yang dikenal dengan istilah sesajen (lazimnya kepala hewan berkaki empat yang disembelih). Dari yang tadinya bersifat memuja, kemudian berubah menjadi meminta perlindungan dari mara bahaya.

Secara substansial, tradisi Barikan di berbagai daerah di Jawa mempunyai makna atau nilai-nilai yang sama, yaitu keimanan kepada Allah dan makhluk gaib, nilai keberkahan dan bersedekah sebagai aksi sosial, serta asas kekeluargaan dan kebersamaan. Dalam implementasinya, Barikan mempunyai perbedaan model, syarat, serta tata cara pelaksanaannya.

Potret Tradisi Barikan di Desa Godan Grobogan
Suyadi alias Mbah Raden (memegang mikrofon), tokoh masyarakat Desa Godan, memberikan sambutan pembuka saat pelaksanaan tradisi Barikan di Desa Godan/Badiatul Muchlisin Asti

Setiap daerah umumnya menyelenggarakan Barikan dalam bentuk dan waktu yang berbeda. Misalnya di Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Barikan diadakan dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriah dan diadakan pada malam hari di awal Tahun Baru Hijriyah atau pada tanggal 1 Suro dalam istilah kalender Jawa. Pada malam itu, masyarakat Desa Wonosari berkumpul di perempatan jalan desa dengan membawa nasi urap dan lauk untuk disantap bersama-sama serta berdoa menyambut Tahun Baru Islam.

Di Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Jepara, tradisi Barikan diselenggarakan dalam gelaran acara yang lebih meriah. Di desa ini Barikan dikemas dalam sebuah istilah yang populer disebut Festival Barikan Kubro, yang dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat berupa hasil bumi dan laut. Barikan diadakan bakda Asar menjelang malam Jumat Wage dalam perhitungan Jawa.

Saat gelaran Barikan, masyarakat berkumpul dan masing-masing membawa makanan berupa tumpeng yang berisi hasil bumi dan hasil laut. Tumpeng-tumpeng itu kemudian diarak keliling desa dan dibagikan kepada masyarakat di akhir acara. Selain iringan tumpeng, Barikan juga dimeriahkan dengan beragam pentas seni, salah satunya tari-tarian. 

Tradisi Barikan di Desa Godan

Warna-warni bentuk pelaksanaan Barikan tersebut sesuai dengan adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun. Seperti halnya tradisi Barikan yang diselenggarakan oleh warga Desa Godan, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. 

Di Desa Godan, Barikan diadakan setiap tahun. Tepatnya setiap bulan Muharam dalam kalender Hijriah atau Suro dalam penanggalan Jawa. Pelaksanaannya berlangsung setiap Kamis sore (menjelang malam Jumat) di bulan Suro, di mana masyarakat berkumpul melingkar di dekat perempatan jalan desa dengan menggelar doa bersama. Tak lupa dilengkapi dengan berbagai makanan, termasuk jajan pasar.

Potret Tradisi Barikan di Desa Godan Grobogan
Bapak-bapak sedang memasak olahan daging kambing dalam tradisi Barikan di Desa Godan/Badiatul Muchlisin Asti

Puncaknya melakukan penyembelihan hewan berkaki empat, yaitu kambing. Uniknya, syarat pengolahan kambing mulai dari menyembelih hingga memasak, semua harus dikerjakan oleh kaum pria alias bapak-bapak. Uniknya lagi, selama memasak juga tidak diperbolehkan mencicipi masakannya.

Tidak ada yang dapat menjelaskan pasti pesan di balik ketentuan tersebut. Semuanya bersifat warisan dan dilakukan secara turun-temurun sejak dahulu. Saat ini, mereka hanya ingin tetap nguri-nguri tradisi warisan leluhur tersebut, seiring keyakinan bahwa tradisi itu akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi mereka, termasuk tentang kebersamaan dan guyubnya warga. Juga memanjatkan doa agar kampung mereka terhindar dari bala dan bencana, yang semoga menjadi lebih mustajab ketika dilakukan bersama-sama.   

Setelah matang, lalu masakan dihidangkan untuk dimakan bersama. Dalam tradisi Barikan di Desa Godan, daging kambing dimasak dengan menu becek—salah satu masakan daging berkuah khas Grobogan. Becek merupakan sup daging yang kuahnya bercita rasa segar, gurih, dan sedikit asam karena dibubuhi daun kedondong muda. Terdapat tambahan daun dayakan agar rasanya makin sedap.  

Menurut penuturan Suyadi, tokoh masyarakat Desa Godan yang juga pengasuh Padepokan Adhem Ayom Ayem, pada zaman dahulu kepala kambing yang disembelih dalam puncak tradisi Barikan ditanam di tengah perempatan desa sebagai sesaji. Namun, menurut pria yang akrab disapa Mbah Raden itu, saat ini ritual penanaman sesaji ditiadakan seiring pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Sebagai gantinya, kepala kambing diolah menjadi masakan dan disantap bersama-sama. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Potret Tradisi Barikan di Desa Godan Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/potret-tradisi-barikan-di-desa-godan-grobogan/feed/ 1 40961