gua bloyot Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gua-bloyot/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:15:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gua bloyot Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gua-bloyot/ 32 32 135956295 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/ https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/#respond Tue, 15 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46632 Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare....

The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare. Ekosistem karst yang pernah diajukan sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016 ini mencakup dua wilayah administrasi, yaitu Berau dan Kutai Timur. 

Masyarakat Dayak Lebo yang mendiami Merabu, bagian dari Dayak Basap yang menginduk pada Dayak Punan—salah satu rumpun suku Dayak terbesar di Kalimantan—dikenal sebagai suku pemburu (hewan) dan peramu obat-obatan tradisional. Di era modern, masyarakat Merabu umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan berburu sarang burung walet di liang-liang gua yang tersebar melimpah di hutan Merabu.

Sejak 2011, Kampung Merabu mulai mengenal konsep ekowisata setelah riset etnografi dan arkeologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) beberapa dekade sebelumnya. TNC—yang beberapa tahun kemudian sempat berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—membantu masyarakat memetakan potensi sumber daya alam untuk dijadikan peluang ekonomi alternatif melalui pengembangan destinasi wisata secara berkelanjutan.

Lokasinya Kampung Merabu terletak di pedalaman, sekitar 30 kilometer dari jalan poros Berau–Samarinda, melewati area perkebunan kelapa sawit yang telah merambah kampung tetangga. Sejak 9 Januari 2014, Merabu jadi kampung pertama di Kabupaten Berau yang mendapatkan izin Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan desa seluas 8.245 hektare pada 9 Januari 2014. Sekitar 37,5 persen dari total luas kampung 22.000 hektare (220 km2). Di dalam kawasan hutan desa tersebut, terdapat tiga destinasi utama yang wajib dikunjungi jika merencanakan perjalanan wisata ke Merabu.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Foto udara permukiman Kampung Merabu di pinggiran Sungai Lesan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur via TelusuRI/Deta Widyananda

1. Gua Bloyot

Gua Bloyot telah menjadi objek cagar budaya di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur. Gua ini menjadi salah satu bagian dari sedikitnya 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

Beberapa lukisan ikonis di dinding utama Gua Bloyot antara lain gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

Aula utama Gua Bloyot dan lukisan-lukisan prasejarah di dinding gua via TelusuRI/Deta Widyananda

Untuk menuju Gua Bloyot, kamu wajib ditemani pemandu lokal lalu berjalan kaki sejauh empat kilometer dari kampung dengan kontur medan relatif datar di antara belantara Kalimantan. Sesekali terdengar teriakan owa, orang utan, maupun beruang endemik Kalimantan bersahut-sahutan dari jarak yang jauh. Mendekati Gua Bloyot, trek pendakian akan terjal di antara batuan cadas dan memasuki lorong gua yang gelap, sehingga diperlukan penerangan (headlamp) dan helm untuk keselamatan.

Kampung Merabu menyediakan paket wisata one day trip atau berkemah semalam jika ingin merasakan sensasi menginap di dalam gua. Biasanya tempat camp akan digelar di aula Gua Lima Cahaya yang terletak di atas Gua Bloyot. Dinamakan ‘Lima Cahaya’ karena terdapat lima lubang di langit-langit gua untuk akses masuk sinar matahari dan corak warna cahayanya bisa berbeda-beda.

2. Danau Nyadeng

Danau Nyadeng berwarna toska ini tampak kontras dengan lebatnya hutan hujan tropis khas Kalimantan di sekelilingnya. Memiliki luas kurang lebih seperempat hektare, titik terdalam danau ini disinyalir bisa mencapai 40 meter. Untuk itu hanya orang yang benar-benar mahir berenang yang diizinkan untuk bermain air di danau ini.

Telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut mengalir jernih ke anak-anak sungai sekaligus menjadi sumber air minum warga. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat. 

Danau Nyadeng dan fasilitas untuk pengunjung via TelusuRI/Deta Widyananda

Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, di antaranya pondok kayu termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Saat musim hujan, air danau akan meluap ke daratan sehingga direkomendasikan untuk bermalam di pondok kayu daripada menggelar tenda. Jangan lupa menyiapkan kantung tidur (sleeping bag) dan lotion antinyamuk agar bisa beristirahat dengan nyaman.

Untuk menuju Danau Nyadeng, moda transportasi satu-satunya hanyalah menggunakan ketinting atau perahu kayu menyusuri aliran Sungai Lesan sejauh lima kilometer atau sekitar 20 menit. Setibanya di Dermaga Nyadeng, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki santai sejauh satu kilometer dengan waktu tempuh 20 menit. Sejumlah pohon besar mudah dijumpai, antara lain meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Kunjungan wisata ke Danau Nyadeng biasanya serangkai dengan Puncak Ketepu sehingga harus menginap satu malam di tepi danau.

3. Puncak Ketepu

Puncak Ketepu berada di ketinggian 393 mdpl. Sepintas tampak pendek, tetapi nyatanya tetap memerlukan perjuangan untuk bisa menjangkau Puncak Ketepu. Sama seperti Gua Bloyot, perjalanan ke Puncak Ketepu membutuhkan fisik ekstra. Sebab, jalur pendakian sangat terjal meski jaraknya ‘hanya’ 500 meter. Kamu harus berhati-hati dengan batu-batu karst yang tajam sehingga direkomendasikan menggunakan sepatu khusus trekking.

Menurut pemandu lokal, jalur ke Puncak Ketepu searah menuju Danau Tebo, bagian dari ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur, yang masih berjarak seharian dengan berjalan kaki. Persimpangan jalur ke danau tersebut berada di liang gua mendekati Puncak Ketepu. Terdapat jalan setapak yang curam melipir tebing di sisi jurang dalam.

Pemuda pemandu lokal di Puncak Ketepu dan pemandangan yang dapat dilihat saat cuaca cerah via TelusuRI/Deta Widyananda

Umumnya pendakian ke Puncak Ketepu dimulai sejak sebelum subuh, sekitar pukul 04.00–04.30 WITA. Durasi pendakian setidaknya 1,5–2 jam, tergantung ketahanan fisik kamu. Tujuan pendakian pada jam-jam tersebut karena daya tarik Puncak Ketepu adalah pemandangan alam yang tersaji jelang matahari terbit.

Sejatinya Puncak Ketepu bukanlah yang tertinggi di ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun, puncak ini jadi yang paling mudah dijangkau untuk kegiatan wisata. Dari puncak yang tidak terlalu luas, gulungan kabut tipis bak kapas membentuk awan yang melayang rendah di kanopi hutan. Puncak-puncak karst lainnya juga akan terlihat lebih tinggi di sekitarnya. Panorama pagi itu biasanya ditemani suara lengkingan owa kalimantan yang terdengar bergema.

  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur

Aktivitas tambahan

Selain empat destinasi utama tersebut, ada aktivitas-aktivitas tambahan yang bisa kamu lakukan di Merabu. Pastikan datang pada saat yang tepat. Kamu bisa mengkonfirmasi waktunya ke pihak pengelola ekowisata Merabu.

Pertama, kamu bisa mengikuti warga Merabu melakukan tradisi bercocok tanam padi gunung atau manugal. Tradisi budi daya pangan dengan sistem ladang berpindah secara gotong royong ini hanya berlangsung dua kali dalam setahun. Lalu malamnya akan berlangsung pesta lemang, yaitu makan-makan bersama di pondok tengah kebun. Lemang adalah kuliner khas Merabu berupa beras ketan dalam bambu panjang yang dibakar.

Kedua, mengikuti rangkaian Festival Tuaq Manuk yang biasa digelar pada pertengahan tahun. Festival kebudayaan yang masuk dalam kalender wisata Kabupaten Berau ini sejatinya merupakan tradisi gotong royong bernuansa spiritual yang merangkul semua golongan, sekaligus sebagai wadah literasi tentang unsur-unsur kehidupan sehari-hari yang melekat dalam adat Dayak Lebo: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem kesakralan. 

Tuaq Manuk memiliki tujuan besar agar masyarakat dan hutan Kampung Merabu diberikan keberkahan dan senantiasa bersyukur pada hasil yang diterima. Baik untuk kebutuhan tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Panen padi sukses, buah-buahan dan madu berlimpah, juga termasuk memberi obat dan doa pada warga yang mengalami beragam kesulitan.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Akses jalan tanah di antara perkebunan kelapa sawit Kampung Merapun menuju Kampung Merabu via TelusuRI/Mauren Fitri

Transportasi dan akomodasi

Akses termudah untuk menjangkau Kampung Merabu adalah melalui Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Tersedia penerbangan reguler dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, dan Samarinda ke Bandara Kalimarau Berau. Adapun jika ingin mencoba petualangan seru, kamu bisa mencoba jalur darat dari Balikpapan ke Tanjung Redeb sejauh hampir 500 km melalui jalan poros Bontang–Sangatta atau Tenggarong–Kutai Timur.

Tidak ada transportasi umum memadai yang tersedia dari Tanjung Redeb menuju Merabu. Satu-satunya jalan adalah membawa kendaraan pribadi atau menyewa mobil berikut sopirnya. Rata-rata harga sewa mobil (termasuk sopir) dari Tanjung Redeb ke Kampung Merabu sekitar Rp1,5 juta sekali jalan, menempuh jarak 173 kilometer dengan waktu tempuh antara 4,5–5 jam perjalanan. Untuk transportasi kembali ke Tanjung Redeb, biasanya menggunakan armada mobil milik warga Merabu dengan tarif serupa.

Untuk saat ini tersedia penginapan di rumah warga yang sederhana (homestay) dengan tarif terjangkau. Sebagaimana konsep ekowisata berbasis masyarakat, Kampung Merabu juga memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam pengembangan ekowisata di luar pekerjaan utama.

Untuk kebutuhan listrik, terdapat instalasi panel surya di lahan seluas satu hektare yang terletak di selatan kampung. Jangkauan sinyal seluler dan internet terbatas. Namun, pemerintah kampung menyediakan akses Wi-Fi di kantor kepala kampung yang biasanya dinyalakan pada saat-saat tertentu.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Kantor sekretariat Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Kerima Puri di Merabu, yang mengelola ekowisata kampung via TelusuRI/Rifqy Faiza Rahman

Pilihan paket wisata Kampung Merabu

Berdasarkan informasi di Instagram resmi Kampung Merabu, tersedia sejumlah paket wisata dengan varian harga dan durasi perjalanan yang bisa kamu pilih.

Paket WisataFasilitasHarga
1 Day Trip
(Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
Perahu, life jacket, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip
(Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
Perahu, tenda, life jacket, pemandu lokalRp640.000 (untuk 1–3 pax)
1 Day Trip
(Gua Bloyot)
Headlamp, helm, pemandu lokalRp240.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip
(Gua Bloyot)
Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip(Gua Sedepan Bu)Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp345.000 (untuk 1–3 pax)

Harga paket wisata tersebut bisa berubah tergantung kuota kelompok wisata, serta belum termasuk transportasi dari tempat asal ke Merabu (PP), lalu donasi konservasi Rp10.000 per orang (wisatawan domestik) dan Rp250.000 per orang (wisatawan mancanegara). Kampung Merabu juga membuka donasi untuk adopsi pohon sebagai upaya melestarikan hutan desa mereka. 

Untuk permintaan tur khusus atau informasi paket wisata lebih lanjut kamu bisa menghubungi Bu Yervina melalui WhatsApp (+62-813-4593-9332). 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/feed/ 0 46632
Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot https://telusuri.id/menelusuri-lorong-waktu-di-gua-bloyot/ https://telusuri.id/menelusuri-lorong-waktu-di-gua-bloyot/#respond Wed, 27 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40683 Jejak prasejarah yang mengendap ribuan tahun di dinding-dinding gua karst rimba Merabu, telah hidup kembali dengan pendekatan ekowisata. Keasrian hutan jadi nilai lebih yang harus dipertahankan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri...

The post Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot appeared first on TelusuRI.

]]>
Jejak prasejarah yang mengendap ribuan tahun di dinding-dinding gua karst rimba Merabu, telah hidup kembali dengan pendekatan ekowisata. Keasrian hutan jadi nilai lebih yang harus dipertahankan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Pak Cay memimpin perjalanan tim TelusuRI menuju Gua Bloyot, sebuah destinasi ekowisata unggulan Kampung Merabu. Kontur rute cenderung datar membelah hutan desa yang cukup rapat dan menyejukkan/Mauren Fitri

Cuaca cerah berawan ketika TelusuRI memasuki kawasan hutan desa Merabu (13/10/2023). Pak Cay (53), pemandu lokal, memimpin trekking menuju Gua Bloyot. Gerbang rimba di selatan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Kampung Merabu membuka langkah pertama kami memasuki hutan tropis dataran rendah khas Kalimantan.

Pintu hutan tersebut terletak setengah kilometer dari rumah Yervina, bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK. Ia juga yang menugaskan Pak Cay untuk menemani kami selama perjalanan ke Gua Bloyot. Belakangan kami baru tahu alasan Yervina meminta Pak Cay menjadi pemandu kami. 

Sorot matanya tajam. Langkahnya gesit dan presisi. Ia sudah hapal tanah-tanah yang aman untuk dipijak tanpa selip sedikit pun. Hari itu Pak Cay mengenakan “seragam dinas” yang jadi standar umum pemandu Merabu. Kaus kerah dan celana pendek, sepatu pul merek Bowling buatan Malaysia dan kaus kaki sebetis, tas selempang dan dry bag yang dikalungkan di leher, serta sebilah mandau melingkar di pinggang. Kami hanya menambah satu barang untuk ia pakai, yaitu topi rimba hijau bertuliskan TelusuRI.

Di mata orang Merabu, Pak Cay adalah seorang legenda hidup pemanjat madu. Ia pernah merasakan bahayanya pemanjatan dengan hanya mengandalkan tali rotan sampai sekarang menggunakan peralatan modern. Keahlian dan pengalamannya diturunkan ke anak-anak muda Merabu.

Sebagai orang asli Merabu, Pak Cay telah khatam seluk-beluk hutan di kampungnya. Dari daratan hingga perairan. Di beberapa kesempatan ia berhenti dan memberitahu kami sesuatu. Misalnya, auman beruang madu di sisi lain hutan agak jauh dari jalur kami. Terdengar pula pekikan owa kalimantan yang biasanya berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Ia juga menunjukkan pohon-pohon tempat sarang madu, seperti pohon menggeris atau sialang (Koompassia excelsa). Tingginya bisa mencapai 30—60 meter. Dan yang bikin takjub adalah Pak Cay dan orang-orang kampung itu memanjat untuk memetik madu pada malam hari, gelap, tanpa penerangan.

“Kalau itu biasa buat sarang orang utan,” ujar Pak Cay mengarahkan telunjuk ke salah satu pohon besar di dalam hutan. Saking tingginya, saya sampai menengadahkan kepala nyaris 90 derajat.

Sepanjang perjalanan, praktis hanya dua kali kami beristirahat melepas lelah. Di pos pertama yang terletak di HM 12 atau 1,2 kilometer dari pintu hutan dan pos kedua di HM 24 atau 1,2 kilometer dari pos sebelumnya. Napas kami cukup ngos-ngosan, kontras dengan Pak Cay yang tampak anteng-anteng saja.

Kami beristirahat agak lama di pos terakhir karena terpana dengan jernihnya aliran sungai kecil dengan sempadan berlumut di bawah jembatan kayu. Pos tersebut ditandai dengan atap seng pondok yang ambruk karena pohon tumbang.

Di titik ini, selain gemericik air, saya merasakan kesunyian luar biasa. Makin dalam hutan yang dijelajahi, rasanya seperti membenarkan kelakar Doni Simson (41), ketua BUMKam. Katanya, siapa saja yang masuk Merabu dianggap hilang dari dunia. Itu masih mendingan, karena motor atau mobil masih bisa masih. Di dalam hutan, kami hanya bisa jalan kaki di tengah belantara rimba dengan vegetasi nan rapat. 

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Papan informasi tentang Gua Bloyot yang dibuat BPCB Kalimantan Timur. Terpampang pula peraturan hukum, imbauan, dan peringatan keras yang harus dipatuhi pengunjung untuk menjaga kelestarian situs cagar budaya tersebut/Mauren Fitri

Menembus masa lampau

Setelah berjalan santai dua jam untuk jarak sekitar empat kilometer, papan informasi Cagar Budaya Gua Bloyot dengan logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyambut di mulut tebing cadas penuh lubang. Semak belukar tumbuh liar di sela batu-batu tajam. Di sebelah kanan terdapat sebuah shelter berbentuk segitiga untuk tempat berlindung. Pak Cay mengatakan bangunan itu merupakan salah satu pos milik Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Saya pikir kami sudah sampai di Gua Bloyot, tetapi rupanya belum. Saya masih meraba-raba ke mana jalur selanjutnya menuntun kami ke gua tersebut. JIka tidak menyewa pemandu, rasa-rasanya akan mudah tersesat di hutan selebat ini.

Tanpa banyak bicara, Pak Cay memberi kode dengan berjalan ke arah kiri dari papan informasi. Meniti batuan karst menanjak hingga tiba di mulut gua yang cukup lebar. Kami istirahat sejenak dan meneguk air minum untuk melepas dahaga. Sesuai sarannya, kami meninggalkan sejumlah barang di mulut gua untuk memudahkan pergerakan di dalam lorong karst menuju Gua Bloyot. Kami juga menyiapkan alat penerangan, seperti senter atau headlamp.

Bau apek khas gua menyeruak ketika kami menelusuri lorong gelap dengan langit-langit gua yang cukup rendah. Sesekali kepala harus menunduk ketika kawanan kelelawar melintas dan terbang rendah di sekitar kami. 

Jalur yang dilalui mengantarkan kami ke sebuah mulut gua dengan pemandangan hutan dan bukit-bukit karst di kejauhan. Bak balkon villa, hanya saja yang ini tanpa pagar dan bersisian langsung dengan jurang. Kami masih harus meniti satu anak tangga kayu yang lapuk sebelum akhirnya sampai di aula utama Gua Bloyot. Jaraknya hanya sekitar 10 menit dari tempat kami menaruh barang.

Dari pintu masuk, hamparan karet hitam seperti karpet terbentang memanjang sebagai jalur berjalan. Tanah sekitarnya memang terlihat gembur dan becek jika terkena air. Konturnya relatif bergelombang dan tidak rata. Stalaktit dan stalagmit dengan kombinasi warna yang unik—putih tulang dan hijau lumut—berhasil memukau kami dalam pandangan pertama.

Laju Pak Cay baru benar-benar berhenti ketika ia menunjuk beberapa corak aneh di dinding atas gua. Napas saya sempat tercekat melihat itu dari dekat. Mulut menganga saking takjubnya. Ada lebih dari satu gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

Menurut BPCB Kalimantan Timur, penggambaran tersebut memiliki variasi yang sama dengan gambar di Gua Tewet dan Gua Mardua di kompleks Gunung Gergaji, blok karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur. Pewarnaan merah juga disebut sebagai salah satu informasi utama dari populasi awal manusia berciri Ras Mongoloid, penutur bahasa Austronesia. 

Satu keheranan besar muncul ketika Pak Cay menunjuk satu lagi lukisan tangan di langit-langit gua. Dekat liang kecil yang menjadi jalan masuk sinar matahari. Jika harus dilukis dengan orang zaman sekarang, maka diperlukan tangga atau alat panjat untuk mengecapkan. Sekadar melompat saja tidak mungkin karena terlalu tinggi. Pertanyaannya, selain alasan gaib seperti diyakini penduduk setempat, bagaimana nenek moyang kita dahulu melakukan hal yang sepintas mustahil itu?

Yang jelas, waktu seakan terhenti ketika kami memasuki aula utama Gua Bloyot. Entah, rasanya dekat sekali dengan sosok-sosok manusia purba penghuni gua ini yang hidup 5.000—10.000 tahun lalu. Dalam kacamata awam, keberadaan jejak-jejak tersebut mengindikasikan teknik literasi dan bertutur lewat gambar-gambar yang diwariskan kepada generasi-generasi setelahnya. 

Hujan seketika mengguyur deras hutan tropis di sekitar Gua Bloyot. Kami menerka-nerka tafsir turunnya hujan tersebut seperti dikatakan Ransum, ketua adat Kampung Merabu, yang bisa jadi untuk menyambut kehadiran pendatang di gua-gua sakral ini. Sayang, Pak Cay juga menyebutkan adanya jejak vandalisme di beberapa titik di dinding yang rapuh. Ke depan ia akan berusaha keras mengingatkan pengunjung agar tidak menyentuh dinding gua tanpa pendampingan ahlinya.

Gua Bloyot sejatinya bukan satu-satunya keajaiban yang bisa dieksplorasi lebih jauh di kawasan ini. Dari penjelasan Pak Cay, ada satu ruangan besar lagi yang menjadi satu tubuh gunung dengan gua yang namanya berasal dari keberadaan pohon asam besar (bloyot) di sekitarnya. 

“Kalau mau bermalam ada tempat camp di atasnya lagi. Namanya Gua Lima Cahaya, karena ada lima lubang [di langit-langit gua] buat sinar matahari masuk dan warnanya bisa beda-beda,” ungkap Pak Cay seperti terdengar menawarkan pengalaman seru. “Bisa gawat itu nanti karena nggak mau pulang saking betahnya.”

  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Sekelumit bocoran dari sepupu Ransum tersebut kian menegaskan kekayaan gua dengan ciri khasnya masing-masing di pedalaman hutan Merabu. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, dalam booklet khusus untuk pengajuan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016, menyebut sedikitnya terdapat 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

Bukan angka kecil untuk kawasan seluas 1.867.676 hektare. Bahkan masih ada potensi penemuan serupa di ceruk-ceruk tersembunyi yang belum pernah terjamah manusia.

Kesyahduan sehabis hujan

Hujan kembali mengguyur selepas keluar Gua Kabila, salah satu sentra sarang burung walet juga di kompleks karst ini. Pak Cay mengajak kami mengambil jalan memutar dari arah timur ke arah barat melalui sisi selatan Gua Bloyot untuk memberikan sensasi baru. Lagi-lagi, jika kami tidak mengajak pemandu, kami sungguh-sungguh bakal tersesat karena jalan setapak pun tidak jelas. Tertutup semak dan ranting rapat yang membuat kaki harus melangkah tinggi-tinggi agar tidak tersangkut.

Di tengah perjalanan, kami meminta Pak Cay berhenti sejenak karena kami akan mengenakan mantel plastik agar pakaian dan barang tidak terlalu kuyup. Pada momen ini, kami menikmati nuansa petualangan luar biasa. Jalan-jalan kehujanan di tengah hutan Kalimantan adalah salah satu pengalaman yang tidak hanya baru, tetapi juga terbaik seumur hidup.

Rintik-rintik perlahan mereda ketika kami mendekati sebuah aliran sungai kecil di mulut Sedepan Ketep. Sebuah lorong gua memanjang dengan kedalaman air semata kaki sampai betis, yang menurut Pak Cay di dalamnya cukup banyak terdapat sarang burung walet.

“Kita istirahat dulu di depan,” tunjuk Pak Cay ke suatu cerukan datar sempit di balik aliran sungai tadi. Ia bahkan sempat-sempatnya memotong batang pohon sebagai tempat duduk. Kami akan rehat sejenak untuk mengudap camilan dan makan siang. Saya dan Pak Cay sepakat untuk makan di dekat sungai.

  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Rasanya, bagian terbaik dari perjalanan ini adalah pada saat berhenti. Singgah di titik-titik yang memungkinkan kaki untuk diam sejenak. Memberi jeda pada tubuh. Mengatur napas, menghirup udara segar bersih tanpa terkontaminasi polusi apa pun. 

Selain di pos-pos istirahat sepanjang Merabu sampai ke Gua Bloyot, kesempatan makan siang selepas hujan di Sedepan Ketep merupakan sebaik-baiknya fase berhenti. Ada beberapa gambaran mengisi benak di tengah kesyahduan menyantap bekal nasi, tumis kacang tempe, telur bulat balado, dan ayam goreng masakan Saripah Tapriyah atau Bu Tapri, si tukang katering selama kami di Merabu. 

Pikiran saya terlempar ke ribuan tahun silam. Saya mengimajinasikan adegan manusia prasejarah sedang berburu babi hutan di sela-sela pepohonan. Berlarian. Kejar-kejaran. Begitu dapat, kemudian diangkut ke Gua Bloyot untuk dipanggang dengan api. Disantap beramai-ramai.

Lalu saya juga membayangkan satwa-satwa berkeliaran. Orang utan (Pongo pygmaeus) bergelantungan di pohon-pohon besar menjulang. Rangkong gading atau enggang (Rhinoplax vigil) beterbangan membawa biji-biji hutan untuk betina dan anaknya di sarang-sarang pohon tua yang mencakar langit. Atau beruang madu (Helarctos malayanus), yang asyik menyantap aneka buah dan tanaman hutan. Siklus hidup yang dahulu mungkin jadi pemandangan biasa sehari-hari, tetapi kini sudah jarang terlihat.

Gemericik sungai Sedepan Ketep mengiringi saya dan Pak Cay yang hanyut dalam fokus melahap makanan sampai butir nasi terakhir. Di sela-sela itu, kami menyelipkan obrolan. Ia mengaku tidak pernah menyangka jika Gua Bloyot memiliki nilai sejarah tinggi dan bisa menghasilkan perekonomian dari sektor ekowisata.

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Pak Cay bercerita pengalamannya dahulu berburu sarang walet di mulut gua Sedepan Ketep. Sebagai seorang pemanjat madu senior, ditambah tugas juru pelihara Gua Bloyot, Pak Cay telah khatam sudut-sudut hutan Merabu di luar kepala/Deta Widyananda

“Kalau dulu memang saya tidak mengenal Gua Bloyot, karena saya masih kerja sarang walet,” kata Pak Cay.

Ketika 2011-2012 harga sarang burung walet anjlok, lalu pada saat bersamaan The Nature Conservancy (TNC) masuk membuat sejumlah program konservasi dan pemetaan ekowisata, ia mencoba berpindah haluan. Karena dianggap sangat berpengalaman menjelajah medan hutan Merabu, ia kemudian direkrut sebagai juru pelihara Gua Bloyot dan bermitra dengan BPCB Kalimantan Timur. Ia dan sejumlah rekan pelindung hutan desa Merabu berkomitmen menjaga kelestarian hutan dan situs-situs bersejarah di kawasan bentang alam karst Sangkulirang-Mangkalihat, khususnya wilayah Kampung Merabu. Sejak saat itu jumlah portofolionya sebagai pemandu wisata susur gua sudah tidak terhitung lagi. 

Yang jelas, saya akan mencarinya jika kelak diberi panjang umur bisa kembali ke Merabu. “Kapan-kapan kalau kami balik lagi ke Merabu, tolong antar dan temani kami camp di Gua Lima Cahaya, ya, Pak?

“Siap!” sahutnya penuh senyum. (*)


Foto sampul:
Aula utama Gua Bloyot yang penuh lukisan prasejarah, seperti lukisan telapak tangan dan hewan. Jejak tersebut mengindikasikan gua ini sebagai tempat hunian manusia purba ribuan tahun lalu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-lorong-waktu-di-gua-bloyot/feed/ 0 40683
Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/ https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/#respond Tue, 26 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40673 Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan,...

The post Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Lanskap permukiman Merabu yang dibangun di sudut tepian Sungai Lesan. Kampung berpenghuni sekitar 80-an KK atau 200-an penduduk tersebut kini menatap sinar terang dari geliat ekowisata alam dan budaya berbasis masyarakat/Deta Widyananda

Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan, mobil yang disewa TelusuRI berbelok arah ke kiri di simpang gapura Kampung Merapun. Jalan berubah drastis dari aspal ke tanah kering berkerikil yang sudah dikeraskan. Melewati sejumlah titik permukiman di antara perkebunan kelapa sawit yang jadi sumber kehidupan sedikitnya lima perusahaan sawit.

“Jarak dari gapura ke Kampung Merabu masih ada kurang lebih 31 kilometer,” kata Hardi, sopir asal Bone yang sudah lama merantau ke Berau itu. Cuaca hari itu (09/10/2023) cerah, sehingga kami bisa melihat gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di kejauhan. Tembok alam raksasa tersebut tampak kontras dengan hijaunya hamparan sawit yang telah mendominasi Kampung Merapun.

Merapun adalah desa tetangga terdekat dengan Merabu. Kontur jalan di kawasan ini kebanyakan datar, meskipun ada beberapa titik naik turun lembah. Saat hujan kondisi jalan akan sedikit berlumpur dan licin, sehingga ban rawan kehilangan traksi. Seorang pengemudi harus lihai mengendalikan motor atau mobilnya agar tidak selip. 

Sebenarnya ada jalan tercepat menuju Merabu, yakni dari utara via Kampung Muara Lesan. Jarak dan waktunya bisa dua kali lipat lebih pendek dan cepat daripada lewat Merapun. Akan tetapi, beberapa waktu lalu Sungai Lesan meluap. Jembatan kayu satu-satunya yang menghubungkan dua desa rusak diterjang banjir bandang. Kami pun terpaksa harus mengambil rute memutar dan cukup melelahkan. Jika digambarkan, jumlah kilometer yang kami tempuh baru sepertiga dari keseluruhan jarak Tanjung Redeb ke Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.

Asrani (48), kepala Kampung Merabu sekarang, menyebut akses jalan saat ini jauh lebih mendingan ketimbang beberapa dekade lalu. Semasa masih bersekolah di Tanjung Redeb dan jalan poros Berau—Samarinda belum dibangun, Asrani harus naik ketinting selama dua hari menyusuri sungai-sungai besar, seperti Lesan dan Kelay hingga bertemu Sungai Segah di pusat kota Tanjung Redeb. Bermalam di pinggiran hutan, membawa terpal untuk melindungi dari hujan.

Pengalaman Ransum (61), ketua adat Kampung Merabu, lebih berat lagi. Di masanya “teknologi” ketinting dan mesin tempel belum ditemukan. Ia bersama sejumlah warga menaiki rakit kayu dan mendayung dari Merabu ke Tanjung Redeb selama tiga hari perjalanan. Membawa hasil hutan, seperti getah damar, lilin madu, dan rotan. “Kalau mudik balik, bisa tembus 19—20 hari karena melawan arus. Kalau air sungai lagi besar, bisa tembus satu bulan,” ungkap Ransum. 

Di Tanjung—sebutan orang Merabu terhadap ibu kota Berau—mereka bisa dapat upah 10 rupiah per hari dari hasil berdagang tersebut. “Uang segitu enggak akan habis kalau buat makan enam orang di warung. [Sisanya] belanja beras, gula tebu, garam kotak, sama pakaian buat dibawa pulang,” tambahnya.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Setelah jembatan kayu yang menghubungkan Muara Lesan-Merabu rusak diterjang banjir bandang Sungai Lesan, jalan tanah berkerikil di tengah perkebunan sawit ini jadi akses satu-satunya ke Kampung Merabu. Tampak di kejauhan pohon menggeris menjulang berlatar gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat/Mauren Fitri

“Jalan poros [Berau—Samarinda] ini kan juga dulunya yang buat perusahaan kayu. Terus jalan ke kampung juga yang bikin perusahaan sawit,” terang Asrani dalam sebuah kesempatan mengobrol di rumahnya. Ia mengkritik ketidakhadiran negara untuk rakyatnya, “Mana mau pemerintah buat jalan?”

Situasi “mendingan” yang disebut Asrani sebelumnya memang masih jauh dari kata ideal. Jauhnya lokasi kampung, baik dari Berau maupun Samarinda-Balikpapan, lalu daya tarik wisata yang menggaransikan petualangan, kian menguatkan segmentasi Merabu bukan untuk semua orang. Hanya orang-orang yang memiliki minat khusus untuk berwisata ke kampung penyangga ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat itu.

Maka tatkala The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat—yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—masuk Merabu sejak 2011, dari yang semula meriset etnografi dan arkeologi di sepanjang aliran Sungai Lesan dan kawasan karst, berkembang mendampingi pengembangan potensi ekonomi lokal berbasis masyarakat.

Peningkatan kapasitas warga Merabu menjadi prioritas selain pembangunan infrastruktur fisik. Mereka diajak melihat sudut pandang lebih luas dari sekadar budidaya karet maupun memanen sarang burung walet, yaitu ekowisata. 

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Sepasang turis mancanegara menikmati pemandangan dan keheningan Danau Nyadeng, Merabu. Nico (kanan) yang berasal dari Jerman dan Maria yang berpaspor Meksiko baru pertama datang berwisata ke Merabu dan mengaku tahu nama kampung ini dari Lonely Planet. Mereka terkesan dengan keindahan alamnya yang masih terjaga/Deta Widyananda

Tantangan membuka pikiran masyarakat

“Dulu [masyarakat punya] ketergantungan di gua, [memanen] sarang walet,” ujar Yervina (40), bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK, menerangkan awal mula penghidupan masyarakat Merabu sebelum beralih ke ekowisata.

Penghasilan dari sarang burung walet pada masa jayanya memang sangat menggiurkan. Jalan semalaman saja di hutan mudah mendapatkan hasil, karena sepanjang pinggiran hutan pasti ada gua-gua karst yang dihinggapi walet. Bahkan tidak sampai satu malam, dalam hitungan jam saja sudah bisa membawa pulang satu kresek sarang walet senilai 5—10 juta rupiah.

Akan tetapi, di era tersebut beberapa orang kurang bijak mengelola pemasukan sebesar itu dengan baik alih-alih berpikir jangka panjang. Yervina menilai orang dahulu berpikir hasil sarang walet bisa untuk selamanya, padahal alam suatu saat akan menurun juga apabila dieksploitasi habis-habisan. Tak tebersit sedikit pun untuk berinvestasi dengan membeli sepeda motor, apalagi menabung. Uang jutaan rupiah habis tak bersisa hanya dalam hitungan hari. Entah untuk hura-hura ke kota, pesta minum, main perempuan maupun kegiatan-kegiatan nirfaedah dan tidak punya arah. Dampaknya akan terasa ketika usia sudah lanjut dan tidak bisa lagi jalan ke hutan memanen sarang walet.

Di antara itu ada segelintir penduduk yang lebih terarah dalam mengatur keuangannya. “Jadi, beruntunglah mereka [yang lebih terarah]. Ketika gua sudah tidak menghasilkan [karena harga walet turun], sekarang larinya ke wisata. Mereka mempergunakan uangnya dengan baik, [sehingga] bisa berinvestasi dan memiliki modal untuk wisata,” jelas guru SDN 001 Merabu itu. 

Ia dan keluarga besarnya bukan tanpa usaha untuk mendidik masyarakat. Terutama mendiang Agustinus, suaminya yang juga kepala kampung periode 2018—2021 dan merupakan saudara kandung Asrani-kepala kampung sekarang. Keduanya terbilang getol untuk mengedukasi masyarakat agar bisa bijak mengelola pendapatan sarang burung walet dengan baik. Meskipun pada akhirnya tidak semua sejalan.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Tim TelusuRI menyapa dan berbincang dengan Yervina (paling kiri), yang siang itu (10/10/2023) baru pulang mengajar di SDN 001 Merabu. Selain menjadi guru, istri mendiang Agustinus itu juga mengemban tugas sebagai bendahara BUMKam Lebo ASIK/Rifqy Faiza Rahman

Ketika harga sarang burung walet benar-benar anjlok, masyarakat belum sepenuhnya beralih ke ekowisata. Peluang lain yang sedang terbuka adalah membudidayakan bibit kelapa sawit pribadi, untuk dijual ke perusahaan di luar Kampung Merabu. Masing-masing memiliki potensi ekonomi yang cukup bagus.

“Sebenarnya semuanya penting. Wisata penting, walaupun orang bilang jangan bergantung sama wisata. Sawit juga penting, tapi jangan juga tergantung pada sawit,” jelas Yervina. “Kalau menurut saya, apa yang ada peluangnya di kampung ini silakan Anda [masyarakat] tangkap begitu. Jika ingin di wisata, maka berpikir kita harus bikin [sesuatu], seperti punya perahu, homestay, atau transportasi.”

Perjalanan membuka pola pikir masyarakat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yervina mengakui perlu waktu untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat. Termasuk soal homestay, misalnya, yang belum semua warga mau karena merasa tidak layak melayani tamu. Sehingga setiap tamu yang datang seringnya diinapkan di rumah Yervina, Ester, Juari, atau Doni Simson—ketua BUMKam.

Namun, seperti yang ia sampaikan, Yervina justru mendorong agar masyarakat jeli melihat peluang lain di luar ekowisata. Tujuannya semata agar tidak terlalu bergantung pada kedatangan wisatawan untuk menunjang kehidupan masing-masing, terutama menjamin pendidikan anak-anak hingga ke jenjang tertinggi. Ia mengingatkan agar orang-orang Merabu tidak terlena dengan status kampung sebagai destinasi wisata. 

Harapan berkelanjutan

Dalam perkembangannya, Merabu menghadapi sejumlah aral yang tidak bisa dianggap enteng. Di tengah arus tamu yang datang silih berganti dan harus mendapat pelayanan terbaik, tantangan demi tantangan seakan menuntut untuk diselesaikan. Salah satunya adalah keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai fasilitas pendukung kebutuhan dasar masyarakat kampung.

Selama kami singgah di Merabu, Ester, istri Asrani dan kepala kampung periode 2022—2023, telah memberitahu kalau PLTS sudah mati sejak Mei lalu. Katanya ada masalah pada daya baterai sehingga perlu diganti dengan yang baru, mengingat spesifikasi keahlian teknisi PLTS berbeda dengan teknisi listrik PLN biasa.

Matinya PLTS berbulan-bulan itu, setelah hampir lima tahun sebelumnya menyala 24 jam, terasa sangat berdampak pada aktivitas rumah tangga warga. “Karena ada masalah di baterai, jadi kami kembali lagi ke awal rasanya,” celetuk Ester sedikit tergelak.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Instalasi PLTS yang dihibahkan secara cuma-cuma oleh pihak ketiga untuk Kampung Merabu. Operasional PLTS dikelola oleh BUMKam Lebo Asik melalui PT Sinang Puri Energy. Keberadaan sumber energi terbarukan seperti ini tidak hanya krusial memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga pengelolaan ekowisata Merabu/Deta Widyananda

Sumber listrik diesel atau genset kembali diandalkan, meskipun tidak semua warga punya. Bahan bakar minyak yang mahal, bisa hampir 2—3 kali lipat dari harga normal, membuat Ester hanya memaksimalkan tenaga genset pribadi saat petang sampai malam. Biasanya mulai pukul 18.00 hingga tengah malam. Berlaku pula untuk genset besar yang ada dalam satu lahan dengan PLTS, yang tidak dinyalakan setiap hari karena keterbatasan bahan bakar.

PLTS didapatkan Kampung Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam Lebo ASIK, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.

Keberadaan PLTS komunal tersebut krusial karena menjadi simbol nyata energi terbarukan yang seiring dengan pengembangan ekowisata di Kampung Merabu. Tentu yang paling pokok adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti memompa sumber air dari sungai untuk kebutuhan harian, menyalakan kulkas dan perlengkapan elektronik lainnya, hingga yang tidak kalah penting adalah menjadi penerangan untuk anak-anak yang belajar di rumah maupun sekolah. 

Pada saat bersamaan, operasional PLTS secara optimal jelas akan membantu kelancaran aktivitas wisata di Kampung Merabu. Para tamu tidak akan kesulitan untuk setidaknya mengisi ulang perangkat elektroniknya, seperti ponsel, kamera, dan laptop selama di sana. Lancarnya aliran listrik juga membantu akses internet lewat Wi-Fi kampung, yang berasal dari bantuan Kemenkominfo, tetap menyala.

Dari bocoran yang disampaikan Doni Simson, ada rencana untuk mengambil alih kepemilikan instalasi PLTS dari PT Akuo Energy Indonesia ke PT Sinang Puri Energy, unit usaha BUMKam. Sebelum itu terjadi, pihaknya menginginkan perbaikan baterai terlebih dahulu. “Soalnya cuma teknisi dari orang Akuo Energy saja yang bisa memperbaiki. Teknisi listrik biasa enggak bisa, karena beda tekniknya,” jelasnya. 

Kelak ketika listrik ramah energi tersebut berfungsi kembali sebagaimana 2018—2022, Merabu diyakini makin melesat lebih jauh. Sampai-sampai masyarakat, bahkan orang luar sekalipun, tidak pernah membayangkan Merabu akan seperti ini sebelumnya karena karena geliat ekowisata. Tidak pernah terpikirkan pula Merbabu dianggap sebagai laboratorium alam dan cagar budaya yang mengundang peneliti-peneliti untuk datang. 

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Gary (kiri) melihat keseruan membakar ikan sungai bersama Natanael, pemuda Merabu, di pekarangan sempit depan rumah Yervina. Videografer independen yang berbasis di London tersebut sudah menginap hampir seminggu di Merabu untuk mengambil beberapa stok foto dan video. Bahasa menjadi salah satu kendala yang harus segera diatasi jika ada tamu asing datang berkunjung/Mauren Fitri

Untuk berkembang lebih jauh, kuncinya justru terletak pada sinergi dan kekompakan masyarakatnya. Kehadiran The Nature Conservancy (TNC), YKAN, Indecon, maupun lembaga masyarakat sipil lainnya berfungsi mengakselerasi langkah orang-orang Merabu. Kini, konsistensi Merabu, terutama di sektor ekowisata yang saat ini menjadi unggulan, bergantung sepenuhnya pada komitmen warganya.

Perjalanan Merabu masih sangat panjang dan tidak akan berujung. Aral-aral pasti akan selalu ada dan bisa menghambat pengembangan ekowisata. Akan sayang jika Gua Bloyot, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, dan potensi sumber daya alam lain yang telah dipoles sedemikian rupa terabaikan karena tidak dijaga dengan maksimal.

Akan tetapi, Asrani tidak ingin putus harapan. Setidaknya untuk saat ini. Jika ditanya, Merabu ingin lebih dikenal sebagai destinasi khusus ekowisata atau budaya, ia menjawab panjang, “Kami ingin Merabu bisa dikenal baik dalam maupun luar negeri. Kami juga punya hutan, kami juga punya budaya,” harapnya.

“Kalau orang datang ke sini itu bukan hanya mengunjungi tempat wisatanya, tapi juga melihat budayanya, melihat alamnya, melihat keramahan masyarakatnya.” (*)


Foto sampul:
Siluet Pak Cay, pemandu lokal saat memasuki pintu utama Gua Bloyot, yang terkenal karena adanya lukisan telapak tangan di dinding gua. Penemuan gua dan jejak prasejarah tersebut menjadi awal mula pengembangan ekowisata di Kampung Merabu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/feed/ 0 40673