gunung ciremai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-ciremai/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 13:20:04 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung ciremai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-ciremai/ 32 32 135956295 Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/ https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/#respond Mon, 09 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47351 Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian. Teks & foto:...

The post Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai appeared first on TelusuRI.

]]>
Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian.

Teks & foto: Mochamad Rona Anggie


Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Pendaki mengintip ke arah Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Para pendaki Gunung Ciremai yang naik via Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka) bakal melintasi Pos 9 Goa Walet. Sampai pos ini, kondisi pendaki biasanya sudah kelelahan. Medan berbatu menguji mental dan ketahanan fisik. Dalam beberapa situasi, ada saja pendaki yang menyerah. Memilih tak meneruskan ke puncak. Takluk oleh tanjakan Goa Walet.

Semakin tinggi, jalur memang bertambah terjal. Belum lagi rimbunnya pepohonan cantigi, membuat pendaki mesti tetap fokus menentukan langkah. Jangan sampai salah jalur karena bisa terperosok ke jurang.

Sebenarnya, jarak dari Goa Walet ke titik tertinggi Jawa Barat tinggal 280 meter. Tapi, ya, itu tadi. Lutut ketemu dagu ketika menaiki bebatuan besar dengan kemiringan 60–75 derajat. Kalau kalah mental, selesai. Puncak tak tergapai.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Jalur terjal berbatu dari Goa Walet menuju puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Dekat di Mata, Jauh di Kaki

Perjalanan summit attack (menuju puncak) dari transit camp (TC) terakhir di Pos 6 Pasanggrahan, saya melewati Pos 7 Sanghiyang Ropoh dan Pos 8 Simpang Apuy sebelum tiba di Goa Walet. Pos 7 adalah batas vegetasi. Pepohonan besar khas hutan hujan tropis dengan kanopi rapat, berganti tanaman perdu (rerumputan) serta bunga edelweis. 

Pemandangan selepas Sanghiyang Ropoh semakin terbuka. Kalau cerah, puncak terlihat jelas. Menambah semangat untuk segera sampai. Namun, jalur konstan menanjak. Medan tanah-berakar antara Pos 6 ke Pos 7, berubah bebatuan dan kerikil. Pendaki rentan merosot. Harus pandai memilih pijakan. 

Menuju Simpang Apuy, kita bakal tersadar, ternyata puncak begitu dekat di mata, jauh di kaki. Ya, begitulah kalau sudah berada di medan terbuka. Target perjalanan seolah sebentar lagi tergapai, tetapi nyatanya masih harus berjuang sekuat tenaga mewujudkan keinginan muncak.   

Kiri: Area Pos 8 Simpang Apuy. Ketika turun ke kiri rute Palutungan, ke kanan Apuy. Kanan: Rimbun habitat cantigi di sekitar Pos 9 Goa Walet, menambah tantangan tersendiri agar jangan salah jalur saat menuju puncak/Mochamad Rona Anggie

Dulu, Boleh Buka Tenda di Goa Walet

Pada pendakian 9 April 2025, saya naik Ciremai bareng Evan Hrazeel Langie (Ali). Saya mendampingi salah satu anak kembar saya itu, dalam upayanya menggapai puncak untuk keempat kalinya. Ali mau menyamai capaian saudara kembarnya, Rean Carstensz Langie (Zaid) dan adiknya, Muhammad, yang berhasil keempat kalinya menapaki atap Jawa Barat pada 6 Oktober 2024. Sementara pendakian perdana mereka ke Ciremai berlangsung 15–16 Agustus 2022. Waktu itu Muhammad kelas 1 SD, Zaid dan Ali kelas 6. Alhamdulillah, berhasil muncak dan turun dengan selamat.

Sebelumnya, saya terakhir mendaki Ciremai pada 31 Mei 2012, bersama sohib SMAN 3 Kota Cirebon yang kini berdomisili di Yogyakarta, Peri Surya Febianto, plus seorang rekan anggota Himapala STT Mandala Bandung, Yudi Marsahid. Ketika itu saya dan Peri sudah bekerja, sedangkan Yudi baru lulus kuliah di usia 27 tahun. Kami mendaki via Palutungan dan menyempatkan turun ke Goa Walet. Zaman itu gunung belum seramai sekarang. Hanya ada kami bertiga di Goa Walet. Pun saat tiba di puncak, tak ada pendaki lain.

Kiri: Jalan setapak di atas awan, mengarah ke Goa Walet sebelum berbelok turun. Kanan: Muhammad (7 tahun), scrambling mendekati pucuk Ciremai pada pendakian perdananya, 16 Agustus 2022/Mochamad Rona Anggie

Tahun 2002, saya pernah berkemah di depan Goa Walet. Gunung Ciremai belum berstatus taman nasional. Belum ada larangan buka tenda di sana. Kalau sekarang, dilarang camping di area Goa Walet. Menghindari potensi sampah dan bahaya kebakaran. Sebab, lazimnya saat memutuskan berkemah di tengah pendakian—terlebih di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl—pendaki akan membuat perapian untuk menghalau dingin dan binatang yang coba mendekat.

Saat berkemah di Goa Walet itu, saya mendaki bersama tiga orang teman via Apuy. Di Goa Walet sudah ada tim pendaki lain dari perkumpulan pencinta alam Curah Rimba yang berbasis di Pangandaran, Ciamis.

Saya ingat betul “hantu” dingin leluasa menggigit tubuh kami. Perlengkapan masih terbatas. Kami bawa tenda prisma yang biasa dipakai pramuka, bukan tenda dome. Tak punya kantung tidur, hanya pakai sarung. Kaus kakinya tipis. Dingin menyerbu masuk tenda. Saya bungkus kedua kaki pakai kresek dan diikat sebisanya. Tubuh menggelepar sepanjang malam, bertarung melawan dingin.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Rupa mulut Goa Walet dan vegetasi rimbun di sekitarnya pada 2022/Mochamad Rona Anggie

Memasuki Goa Walet bersama Ali

April lalu, saya dan Ali sampai di titik tertinggi Ciremai (3.078 mdpl) pukul 06.00 WIB. Cuaca cerah. Pemandangan tak tertutup kabut. Setengah jam menikmati suasana puncak sudah cukup buat kami. Sebotol susu cokelat dan sekerat roti, mengisi tenaga untuk kembali bergerak.

Perjalanan turun selalu ditempuh lebih cepat. Namun, tetap harus waspada, jangan terlena. Turunan curam mengadang. Melangkah perlahan saja, tak perlu buru-buru. Hindari banyak melompat. Khawatir persendian lutut cedera karena entakan berlebih.

Hari masih pagi. Langit biru menaungi. Begitu sampai Pos 9 Goa Walet, saya ajak Ali turun melihat langsung gua. Awalnya Ali menolak. Ia ingin cepat sampai tenda lagi di Pos 6, lalu berkemas pulang. Tapi saya yakinkan, waktu sangat memungkinkan. Tidak akan kesorean di jalan. Dan, kapan lagi bisa mampir Goa Walet? Akhirnya Ali mengikuti langkah saya menuju gua.

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Beberapa pendaki terlihat memasuki Goa Walet saat kami tiba setelah turun dari puncak, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie

Dari jalur naik, mau ke Goa Walet belok kanan. Sementara yang turun dari puncak, ikuti setapak ke kiri. Jalannya terlihat jelas. Tidak tertutup semak. Usai setapak landai, jalur menurun hingga tiba di pelataran depan mulut gua. Kalau dihitung vertikal dari atas ke Goa Walet sekitar 50 meter. Adapun jaraknya kurang dari seratus meter. 

Pendaki lain ada yang turun juga ke Goa Walet. Mereka mau mengisi perbekalan air. Dulu, tahun 2002 saat saya masuk ke gua, banyak bekas botol air mineral menampung tetesan air dari stalaktit yang menggantung di langit-langit gua. Banyak air terisi dalam botol-botol itu. Para pendaki memanfaatkannya untuk keadaan darurat (kehabisan air saat perjalanan naik atau turun dari puncak). 

Tapi kemarin, botol-botol itu sudah tidak ada. Berganti sebuah gentong plastik berisi air, sementara di satu sudut gua ada cerukan tergenang air. Para pendaki mengambil air dari cerukan.

Kiri: Pendaki yang kehabisan air, memanfaatkan genangan air dalam gua untuk mengisi ulang botol minum mereka. Kanan: Bunga edelweis yang sedang mekar di area Pos 9 Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Sudah Dikunjungi sejak Hampir 100 Tahun Lalu

Mengutip akun Instagram resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) di @gunung_ciremai, penampakan Goa Walet dari atas seperti cekungan menyerupai kawah. Di dinding barat cekungan, terdapat lubang besar yang disebut Goa Walet, karena konon tempat bersarang burung walet.

Seorang peneliti Belanda, Van Gils mengungkapkan, Goa Walet merupakan kawah yang tercipta akibat erupsi gunung Ciremai kisaran 1917. Di sekitar Goa Walet tumbuh flora edelweis (Anaphalis javanica), cantigi (Vaccinium varingifolium), dan sengon gunung (Albizia montana). TNGC melarang pendaki camping di kawasan Goa Walet demi menjaga keasriannya.

Tangkapan layar Instagram TNGC yang membandingkan foto Goa Walet tahun 1929 dan 2022. Nyaris seabad silam, gua di bawah puncak Ciremai ini sudah dikunjungi manusia

Selepas menziarahi Goa Walet, saya dan Ali melanjutkan perjalanan turun gunung. Kami tiba di Pos 6 pukul 09.00, rehat sejenak lalu melipat tenda. Target kami zuhur sampai Pos 1 Cigowong dan lanjut berjalan menuju titik finis basecamp Cadas Poleng, Palutungan, pukul 13.45. Kami kembali ke rumah di Cirebon pukul lima sore. 

Pendakian yang menyenangkan. Semoga Gunung Ciremai senantiasa lestari.


Foto sampul:
Perlu keberanian menziarahi Goa Walet. Tampak pendaki keluar dari mulut gua yang berada di bawah jalur pendakian Apuy dan Palutungan, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/feed/ 0 47351
Jalan Pagi ke Cigowong https://telusuri.id/jalan-pagi-ke-cigowong/ https://telusuri.id/jalan-pagi-ke-cigowong/#respond Fri, 17 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45395 Mendung menggelayut saat saya tiba di belokan Terminal Cirendang, Kuningan, Minggu (8/12/24). Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Saya lanjut tancap gas supaya tidak kehujanan di jalan. Rute menanjak jadi tantangan setiap pemotor di jalur arah...

The post Jalan Pagi ke Cigowong appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendung menggelayut saat saya tiba di belokan Terminal Cirendang, Kuningan, Minggu (8/12/24). Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Saya lanjut tancap gas supaya tidak kehujanan di jalan.

Rute menanjak jadi tantangan setiap pemotor di jalur arah Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur. Mesti lihai main gas dan rem karena banyak belokan tajam. 

Kecepatan saya cukup untuk menyalip beberapa city car. Melaju kencang hingga masuk pertigaan jalan baru. Terus menanjak melewati Rageman Resto. Sampai tiba-tiba, crak crak crak… Terdengar sesuatu dari bagian mesin. Saya gas, motor diam saja. Saya pun minggir. Sedan hitam yang baru saja disalip, balik mendahului.

Saya dorong motor ke warung bakso yang berjarak sepuluh meter di depan. Dugaan saya rantai karetnya putus. “Bengkel terdekat di mana, Teh?” tanya saya pada pemilik warung.

“Di depan SMK. Balik turun, pertigaan ke kiri lurus terus.” Karena jauh, si teteh mempersilakan saya menitip motor di warungnya, yang langsung saya iyakan. 

Saya berupaya mencari tumpangan dengan mencegat pengendara baik hati. Setelah sempat pesimis menanti motor tanpa penumpang, kemudian lewat pengendara Beat hitam, melaju pelan sendirian. Cepat saya cegat dengan gerakan tangan penuh semangat. Alhamdulillah, ia berhenti. Saya dekati, “Ikut ke atas.” Dia merespons dengan membuka pijakan kaki pembonceng. “Ya, mangga.”

Syukurlah, saya tetap bisa ke Palutungan. Saya diantar hingga gerbang lawas Bumi Perkemahan Ipukan. Saya lanjut jalan kaki ke basecamp Cadas Poleng, tempat registrasi pendakian Gunung Ciremai. Saya mengurus perizinan hiking ke Pos 1 Cigowong.

Jalan Pagi ke Cigowong
Tempat parkir motor basecamp Cadas Poleng/Mochamad Rona Anggie

Berlaku Tarif Baru

Kabut menyambut saya di Cadas Poleng. Petugas ramah melayani. “Sekarang ada penyesuaian tarif, Kang. Berlaku aturan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang baru,” terangnya. Saya sampaikan mau olahraga ke Cigowong. Dia menyobek tiga lembar tiket. “Jadi 30 ribu,” kata lelaki bernama Akoy itu.

“Mahal juga, ya?” saya sedikit protes.

“Iya, Kang. PNBP-nya naik. Sebelumnya 25 ribu,” ucapnya sambil tersenyum khas urang Sunda. Saya terima tiga lembar tiket yang diklip, terdiri dari Mitra Pengelola Pariwisata Gunung Ciremai (MPPGC) Rp19.500, asuransi Eka Warsa Bumiputera Rp500, dan karcis masuk wisatawan nusantara Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Rp10.000.

Setoran ke pemerintah ada di tiket TNGC sebagai PNBP. Kenaikan ini berlaku serentak di sejumlah taman nasional. Bagi saya pribadi, lonjakan tarif cukup memberatkan. Apalagi harga tiket untuk semua jalur pendakian Gunung Ciremai kini 120 ribu per orang. Padahal sebelumnya “hanya” 75–80 ribu, termasuk biaya cek kesehatan. 

“Betul, tidak semua bisa menerima penetapan tarif baru ini,” ujar Akoy memahami kegundahan saya dan pendaki lainnya yang ‘sehati’. “Kami paham, daya beli semua orang berbeda,” lanjutnya coba menghibur.

Jalan Pagi ke Cigowong setelah PNBP Naik
Loket registrasi pendakian/Mochamad Rona Anggie

Tingkat Kunjungan Menurun

Menurut Akoy, tarif baru berimbas pada jumlah pengunjung TNGC via Palutungan. “Jelas, Kang. Turun drastis,” ucapnya. 

Ia membandingkan sebelum pemberlakuan PNBP baru per 30 Oktober 2024. Biasanya akhir pekan terdata seratusan pendaki. Belum lagi yang tektok—mendaki tanpa bermalam. Tambah pengunjung yang hiking ke Cigowong. 

“Bisa 200–300 orang kalau weekend. Sekarang di bawah seratus. Turun lima puluh persen,” timpal petugas lainnya, Sandi Baron.

Per 22 Oktober 2024, pengelola basecamp Cadas Poleng membatasi pula pendaki tektok. Semakin menyaring jumlah pengunjung. Belakangan ini pendakian tektok booming. Tak sedikit yang hanya coba-coba. Kebanyakan remaja baru kenal aktivitas alam terbuka tanpa pengetahuan memadai, sekadar ingin eksis di media sosialnya. 

“Kalau tidak kami perketat, bahaya. Tapi yang profesional, sudah biasa [tektok] tetap dibolehkan,” tambah Baron.  

Jalan Pagi ke Cigowong setelah PNBP Naik
Hutan pinus mendominasi/Mochamad Rona Anggie

Membelah Hutan Pinus, Menikmati Kesendirian          

Pukul 10.05 WIB, saya mulai melangkah. Target sebelum zuhur sudah sampai Cigowong. Jaraknya 3,4 kilometer. Pengalaman mendaki Oktober lalu, butuh 1,5 jam dengan carrier “kulkas”. Sekarang saya kejar 60 menit saja. Hanya bawa daypack berisi sebotol air, pakaian ganti, dan jas hujan.  

Tanjakan Beunta mengadang begitu masuk pintu rimba. Panjangnya kurang dari seratus meter, tetapi dijamin membuat kita langsung terjaga dan waspada. Beunta (Sunda) sama dengan melek (Jawa), alias buka mata.

Beberapa pengunjung berpenampilan ala pendaki tektok turun. Mungkin mereka start hiking pagi sekali. Gayanya celana legging, kaus baselayer, menyandang hydrobag, menggenggam trekking pole, dan memakai sepatu trail run warna-warni. Sebuah fenomena kekinian, yang tak saya jumpai di era pendakian dekade awal tahun 2000-an.       

Jalan Pagi ke Cigowong
Petunjuk arah ke puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Tegur sapa menjadi momen menyenangkan bila berpapasan sesama penggiat alam terbuka. Saya fokus melangkah sambil mengatur ritme napas. Jantung berdegup kencang. Keringat keluar. Itu tadi, jaraknya sedang saja hingga di ujung tanjakan, tetapi membuat kita beunta.

Trek selanjutnya datar lalu menanjak perlahan, memasuki kawasan hutan pinus (Pinus merkusii) yang lebat. Tanpa teman perjalanan, saya sudah menyiapkan diri menikmati suasana hening ini. Paru-paru menyerap dengan baik oksigen segar di alam. Betapa hutan sangat berharga bagi manusia. Kelestariannya jangan sampai dirusak.

Tak perlu khawatir salah jalur. Papan penunjuk arah banyak tersebar. Di sebuah percabangan, tanjakan berbatu siap dilewati. Seorang anak muda turun. “Masih banyak orang, kan, di atas?” tanya saya. Dia mengangguk. Saya memastikan di kedalaman rimba, masih bisa jumpa pengunjung lain.

Setelah tanjakan, langkah kaki kembali menembus setapak hutan pinus. Kali ini banyak batang pinus yang disadap getahnya. Sejak lampau getah pinus bernilai ekonomis sebagai bahan pembuat terpentin, cat, dan kosmetik.  

Jalan Pagi ke Cigowong setelah PNBP Naik
Batang pinus yang disadap getahnya/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Pengunjung Lain

Sinar mentari belum mau menyentuh tanah. Langit tertutup mendung. Ketinggian bertambah. Jalan terus menanjak, tapi tak curam. Asyik dinikmati sambil sesekali berhenti, foto sana-sini. Memandangi rimbunnya hutan di seberang lembah. Oh, Ciremai, betapa hijau dan luasnya engkau… 

Sampai kemudian terlihat pengunjung lain yang mengarah naik pula. Semakin dekat, ternyata seorang ibu membawa tiga anak perempuan, ditemani dua keponakan lelaki. Mereka rehat sejenak. Kami saling menyapa. “Ini, Pak, biar enggak main hape aja,” cerocos si ibu, mengungkap alasan membawa buah hatinya hiking. “Sampai ketemu di Cigowong,” balas saya seraya meneruskan langkah.    

Vegetasi mulai bervariasi. Pinus masih mendominasi, bercampur dengan pepohonan khas hutan hujan tropis, seperti pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii).

Saya tiba di puncak punggungan yang terbuka. Lokasi ini ideal untuk orientasi medan—mengenal tanda sekitar yang mencolok seperti puncak bukit, punggungan atau lembahan—untuk selanjutnya melakukan resection (menentukan titik di mana kita berada di kontur peta). Demikian ilmu navigasi darat yang pernah saya pelajari di Mapala UMY, dua dekade silam. 

Tak terasa sudah separuh perjalanan terlewati. Jalur lantas menurun, menuju sungai berbatu yang sedang kering. Kalau hujan deras, dipastikan air mengalir di sini. Terdapat cerukan cukup dalam. Awas, jangan sampai terpeleset.

Jalan Pagi ke Cigowong
Selamat datang di Cigowong/Mochamad Rona Anggie

Menanjak sedikit ke atas sungai kering, jalur pindah punggungan. Saya menyusuri setapak tanah yang gembur bekas tersiram hujan, berpapasan dengan banyak pengunjung yang turun. Terdengar suara-suara orang tertawa. Sepertinya Cigowong sudah dekat. Sebuah tanjakan panjang terbentang. Jalurnya lebar, tapi di tengahnya menganga. Bekas roda motor ojek gunung yang dikelola warga lokal.

Pertarungan otot betis versus tanjakan pamungkas tak terelakkan. Saya menggenjot langkah tanpa henti, sampai akhirnya Pos 1 Cigowong terlihat. Gembira rasanya menempuh titik 1.450 mdpl satu jam saja.

Sekelompok gadis ayu foto bareng di pos ojek dekat gerbang masuk. Mereka serius mengabadikan momen. Memasang timer otomatis di ponsel yang dicengkeram tripod, ingin semua kawan tampil lengkap dalam satu bingkai.

Keringat saya bercucuran. Riuh tawa dan obrolan seru menyambut di area perkemahan. Pengunjung memenuhi pinggiran warung. Saya menuju sebuah bangku di bawah pohon besar yang batangnya berlumut. Menikmati suasana hutan, menenangkan pikiran, menarik dan mengembuskan napas. Berulang kali. Merelaksasi tubuh sebisanya. Menghirup oksigen alami sebanyak mungkin. 

  • Jalan Pagi ke Cigowong
  • Jalan Pagi ke Cigowong
  • Jalan Pagi ke Cigowong

Saya sempatkan mengitari sekeliling, lalu mengisi ulang botol minum dengan air yang mengalir lewat pipa dari sumber mata air. Begitu menenggaknya dahaga sirna. Air dingin membasahi tenggorokan. Nikmat sekali. 

Niat makan siang di warung Cigowong saya urungkan. Sudah 20 menitan, saya segera turun gunung. Saya tidak melihat ibu yang membawa anaknya tadi. Mungkin mereka kembali ke bawah sebelum mencapai tujuan. 

Senang bisa jalan pagi ke Cigowong. Aliran darah terasa lancar, otot kaki menguat, dan terbayang makan siang di warung Cadas Poleng. Di tengah kegembiraan itu, petualangan lainnya menanti: saya mesti cari tumpangan turun, mengambil motor di penitipan, lalu mencari bengkel terdekat untuk memperbaiki motor supaya bisa pulang  ke rumah. Ah, hari yang penuh tantangan sekaligus tak terduga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Pagi ke Cigowong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-pagi-ke-cigowong/feed/ 0 45395
Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/ https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/#respond Wed, 25 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44700 Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan...

The post Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan mobil. Kami akan menempuh perjalanan 1,5 jam. Personel kali ini lengkap: saya dan istri, tiga jagoan anak lanang serta dua bocah wadon.

Saya dan keluarga sengaja tidak jalan saat akhir pekan, menghindari kepadatan pelancong. Bayangan kami, malam Jumat bakal sedikit yang berkemah di buper yang terletak di Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur itu.

Namun, harapan kami meleset setibanya di Ipukan pukul 17.30 WIB. Kok, ramai?

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Acara berkemah siswa-siswi SMAN 2 Indramayu di Ipukan/Mochamad Rona Anggie

Ipukan, Pilihan Rekreasi Luar Ruang untuk Keluarga

Melihat kedatangan kami, petugas tiket datang. “Mau nengok, main saja, atau camping?” 

Camping,” jawab saya.

“Berapa orang?”

“Lima.” Sengaja saya tidak menghitung anak nomor empat dan lima, karena masih berusia empat dan tiga tahun. Biasanya bebas tiket masuk.       

 Petugas perempuan itu pun menyobek lima lembar tiket. “Jadi seratus ribu,” ucapnya.

Rame, lagi ada acara apa, teh?

“Kemah pramuka dari SMAN 2 Indramayu.”

“Wah, nggak kebeneran,” kata saya dalam hati, “niat nyari suasana sepi dan hening, malah sebaliknya.”

Memang, bagi warga Cirebon dan Indramayu, pilihan aktivitas luar ruang paling dekat adalah ke Kuningan atau Majalengka. Wisatawan lokal mendominasi kunjungan ke tempat-tempat rekreasi alam terbuka. Terutama wilayah pegunungan di Kuningan. Pada masa kolonial, keempat daerah itu ada dalam satu karesidenan. Publik mengenalnya dengan akronim Ciayumajakuning. 

Bagaimanapun, saya dan keluarga bersyukur, sudah bisa kumpul dan selamat sampai Ipukan. Ini hal yang membahagiakan. Terlebih si sulung kembar, yang sekolah di dua pesantren beda provinsi. Mesti cari waktu tepat biar bisa jalan bareng.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Suasana hutan pinus di sekitar tenda kami di Ipukan/Mochamad Rona Anggie

Membuka Tenda

Sebelum gelap datang, kami mencari tempat untuk membuka tenda. Untungnya buper Ipukan sangat luas. Pilihan bermalam dengan tenda ada di tiga titik: sekeliling hutan pinus (bagian tengah), tanah lapang menghadap belantara Gunung Ciremai (sebelah barat), atau di sisi timur dengan pemandangan kota Kuningan.

Tadinya kami pilih di area hutan pinus agar lebih dekat musala dan toilet. Tenda hendak digelar, tapi saya coba naik ke titik lebih tinggi sebelah timur. Siapa tahu masih ada tempat kosong. Sementara acara pramuka mengaveling area puncak Ipukan sisi selatan. Saya perkirakan ada seratus tenda dome mereka pasang, berdasarkan jumlah peserta yang melibatkan keseluruhan kelas dan guru pendamping.

Alhamdulillah, ada tempat bagus, dekat sebuah gazebo. Pemandangannya lampu kota, cantik sekali. Segera saya kabari anak-anak. Kami lantas boyongan memindahkan tenda dan tas perbekalan, melewati jalan setapak yang menanjak. Gelap mulai mengurung. Senter di kepala (headlamp) dinyalakan untuk membantu penerangan. 

Kami berpapasan dengan pelajar berseragam pramuka. Mereka hendak ke musala untuk salat Magrib. Panggilan dari kakak pembina membuat siswa dan siswi bergegas. Terdengar perintah dari pengeras suara yang tegas dan lantang, “Ayo, segera! Keluar dari tenda!”

“Kampung” kemah pramuka ada di bagian atas hutan pinus. Kami lewat di bawahnya, searah tempat parkir kendaraan. Banyak warung di dekatnya. Para pedagang kompak buka karena ramai pengunjung. Biasanya kalau sedang sepi, hanya satu-dua warung saja yang buka.

Mereka menawarkan ragam makanan. Ada panganan tradisional, seperti cilok dan cilor, bala-bala, gehu, serta siomay. Tidak ketinggalan bakso, mi rebus, dan nasi goreng. Minumnya wedang jahe, susu, kopi atau teh panas. Harganya masih ramah di kantong. Kalau mau, bisa jajan sepuasnya, andai tak bawa bekal.        

“Nah, oke, kan?” tanya saya begitu sampai. Semua mengangguk tersenyum. Lalu mengerjakan tugas masing-masing.

Si kembar, Rean Carstensz Langie (14) dan Evan Hrazeel Langie (14), membangun tenda dome kapasitas lima orang. Tenda hadiah waktu mereka sunat di usia enam tahun. Muhammad (10) merentangkan matras di atas lantai gazebo, sedangkan anak kecil perempuan langsung gogoleran (rebahan).

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Ada beberapa gazebo di sini, bisa dimanfaatkan untuk menaruh perbekalan, memasak, dan makan bersama/Mochamad Rona Anggie

Cuaca Bersahabat di Ipukan

Perbekalan dibongkar oleh ibunya anak-anak. Ia merebus air, membuat teh dan kopi. Camilan awal disiapkan: roti bakar dan kentang goreng. Makan malamnya ayam kecap plus sop bakso.

Udara terasa sejuk. Belum terlalu dingin. Angin juga sepoi saja. “Asap” dari mulut tak keluar. Perkiraan suhu 15 derajat Celsius. Ini kali pertama dua bocah wadon diajak bermalam di alam terbuka. Sempat khawatir mereka tak betah, rewel, lalu minta pulang—wah, bisa gagal kemahnya. Tapi syukurlah, semua baik-baik saja. Situasi kondusif.

“Puncak musim dinginnya sudah lewat. Agustus–September,” kata pengelola Ipukan, Muhammad Jawil (45), ketika memasang lampu di gazebo. 

Saya yang mengadu lampu mati saat mampir ke warungnya untuk membeli kayu bakar Rp20.000 per ikat. Sudah mencakup serpihan kulit pinus sebagai bahan bakar.

“Oh, siap! Nanti saya pasang,” ucap lelaki perintis buper Ipukan pada 2014. Selain makanan dan minuman, warung Pak Jawil juga menyediakan sewa perlengkapan camping, seperti tenda, sleeping bag, kasur tiup, kompor portabel, dan peralatan masak.

Ditanya kapan hujan terakhir, Jawil menyebut sudah lama tidak turun. Menurutnya, sekarang cuaca sedang bersahabat. Siang tak terlalu panas, malam tidak hujan. “Cerah, insyaallah. Bebas babakaran,” ujar warga asli Palutungan itu dengan logat Sunda. 

Ada harapan bisa bikin api unggun tanpa khawatir air langit tumpah. Mau memanggang (barbeque) juga aman.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Warung Jawil yang cukup lengkap/Mochamad Rona Anggie

Semarak Kembang Api 

Pukul 19.30 WIB, ada upacara di “kampung” kemah pramuka. Kami mampir melihat. Ratusan siswa membentuk lingkaran, mengelilingi kayu yang menumpuk tinggi. Persiapan api unggun besar. Tiap perwakilan ekstrakurikuler membacakan “janji”, semacam komitmen anggota pada ekstrakurikuler yang diikuti. Anak pramuka menyuarakan Dasa Darma.   

Upacara ditutup simbolis dengan menembakkan kembang api ke udara. Ledakannya keras. Kilat api berbagai warna melesat. Percikannya menyebar ke sela-sela dahan pinus. Terang. Semarak. Riuh suara para murid. 

Sementara bocil wadon mendekap saya erat. Takut pada ledakan yang berentetan, ia minta menjauh. Saya gendong kembali ke gazebo, baru dia tenang. 

Kami segera membuat perapian dan duduk mengitarinya. Kudapan dikeluarkan. Tangan memegang kuping gelas berisi teh panas. Kami memandang lampu-lampu permukiman penduduk desa dan sebagian rumah warga kota Kuningan. Memang benar, berkemah itu mencari udara dingin plus pemandangan lepas nun jauh. Sulit didapatkan kalau tidak di ketinggian. 

Mendekati pukul 22.00 WIB, anak-anak perempuan dan ibunya masuk tenda. Walau puncak musim dingin sudah lewat, tetap saja makin larut udara pegunungan membuat ingin segera berselimut kantung tidur. Anak lanang tak beranjak dari api unggun. Saya memilih istirahat di gazebo.

“Kalau api sudah padam, biarkan baranya. Nanti bisa dinyalakan lagi,” pesan saya sebelum masuk sleeping bag dan memejamkan mata.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Tampak Gunung Slamet dengan latar momen jelang matahari terbit/Mochamad Rona Anggie

Puncak Slamet dan Ciremai di depan Mata

Azan subuh membangunkan. Di samping saya ada Evan dan Muhammad tidur pulas. Posisi tubuhnya mirip udang. Dini hari memang tambah dingin. Rean masuk tenda. Tak terdengar suara anak perempuan menangis. Berarti aman, mereka bisa tidur nyenyak. 

Perlu tekad kuat keluar dari kantung tidur. Terbayang dinginnya air ketika wudu. Tapi, kewajiban mesti ditunaikan. Saya bangunkan anak-anak untuk salat Subuh, lalu bergegas menuruni jalan setapak. Benar saja, saat menginjak lantai kamar mandi, terasa menyentuh balok es. Beratnya mengguyurkan air ke anggota tubuh.    

Selesai menunaikan salat, kami mendekati perapian. Menumpuk sisa kayu, meniup bara yang redup. Api muncul setelah tiupan kesekian kali. Menjilati potongan kayu yang bersilang lalu terbakar. Api membesar. Saya membolak-balikkan telapak tangan untuk menghalau dingin.  

Cahaya kuning keemasan perlahan muncul di ufuk, menyibak langit yang gelap. Bertambah menit, semakin menawan. Tumpukan awan berjejal laksana spring bed empuk yang superluas. Andai bisa menjatuhkan tubuh di atasnya, lalu berguling-guling tanpa beban.

Di kejauhan, tampak sesuatu menyembul dari balik cakrawala. Biru langit menaunginya. Sinar matahari menyibak tirai kabut dan segala penghalang. Masyaallah, Gunung Slamet (3.428 mdpl) menyambut pagi dengan senyum merekah. Kami tak kuasa berucap apa pun, selain memuji kebesaran-Nya. Sapuan kuas Sang Pencipta begitu sempurna melukisnya.      

Perkampungan terlihat mungil di bawah sana, seolah hanya seukuran rumah permainan monopoli. Menara pemancar dan masjid bagaikan batang korek yang ditancapkan. Hamparan kebun terlihat seluas keset kaki. Berpetak-petak. Terbayang hamster-hamster di atasnya, seperti yang kami pelihara di rumah. 

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Belantara Ciremai. Ipukan bersebelahan dengan jalur pendakian Gunung Ciremai via Palutungan/Mochamad Rona Anggie

Berada di ketinggian membuat pandangan leluasa, hingga kemudian lamunan merajalela ke mana-mana, mengingat kenangan ini dan itu. Fragmen kehidupan melintas di kepala. Serupa salindia Microsoft PowerPoint.

Anak-anak memanggil, mengajak jalan pagi. Gunung Slamet masih tampil di layar alam saat kami bergerak ke barat. Sebuah tanah lapang jadi tujuan. Di sana, setelah melewati dua jalur setapak menanjak, kelebatan rimba Gunung Ciremai (3.078 mdpl) membentang. Hutan hijau memanjakan penglihatan.

Atap Jawa Barat ada depan mata. Begitu dekat, seolah bisa disentuh. Terbayang pendakian saya dan anak-anak lanang menuju pucuknya. Jejak waktu merekam perjalanan kami, memberi banyak pelajaran hidup. Dan Ipukan, menambah cerita lanjutan tentang cinta dalam diary kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/feed/ 0 44700