gunung lawu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-lawu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:18:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung lawu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-lawu/ 32 32 135956295 Naga Telaga Berdendang di Sarangan https://telusuri.id/naga-telaga-berdendang-di-sarangan/ https://telusuri.id/naga-telaga-berdendang-di-sarangan/#respond Fri, 18 Apr 2025 02:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46705 “Di dasar telaga, hidup sepasang naga,” tutur seorang bapak pada anaknya seraya menunjuk kecipak ombak di tengah telaga. Alih-alih tertarik, anak empat tahun tersebut malah berlari ke seberang, arah utara. “Kuda, kuda, kuda!” teriak sang...

The post Naga Telaga Berdendang di Sarangan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Di dasar telaga, hidup sepasang naga,” tutur seorang bapak pada anaknya seraya menunjuk kecipak ombak di tengah telaga. Alih-alih tertarik, anak empat tahun tersebut malah berlari ke seberang, arah utara. “Kuda, kuda, kuda!” teriak sang anak. Bapaknya pun mengejar. Sang anak lebih memilih naik kuda daripada mendengar cerita bapaknya.

Namun, meski tak dihiraukan anaknya, ucapan sang bapak tak menguap sia-sia. Telinga saya tidak sengaja menangkap ucapannya ketika bersantai menyesap kopi di tepi Telaga Sarangan, Magetan, Jawa Timur.

Apa benar sepasang naga hidup di dasar telaga ini? Rasa penasaran membekap. Tutur seseorang tak kukenal mengendap di kepala. Tidak elok rasanya jika saya mengganggu bapak-anak yang sedang berpelesir itu. Jari-jemari pun langsung berselancar di dunia maya. Saya mencari “Naga Telaga Sarangan”. Boom! Muncullah kisah asal-usul telaga ini dengan berbagai versi. 

Naga Telaga Berdendang di Sarangan
Deretan speed boat terparkir menunggu wisatawan Telaga Sarangan/Isna Wachidah

Narasi Naga Telaga

Konon, telaga ini bermula dari seorang petani bernama Kiai Pasir yang menemukan telur di tepi ladangnya. Ia pun membawanya ke rumah. Istrinya, Nyai Pasir, memasak telur tersebut, mengirisnya jadi dua bagian dan bersama-sama memakannya dengan Kiai Pasir. Namun, saat kembali ke ladang, Kiai Pasir dan Nyai Pasir merasakan panas di tubuhnya dan perlahan-lahan berubah wujud menjadi naga. Naga-naga itu bergeliat dan berguling-guling di atas pasir hingga terbentuk cekungan yang cukup dalam. Cekungan pun memancarkan air bumi. Akhirnya, sepasang naga terkubur air di dasar telaga. 

Di tepi Telaga Sarangan, mata saya memang memandang cemara-cemara yang anggun bergoyang, kuda-kuda berpenumpang yang berseliweran, lalu-lalang pengunjung yang berjalan, speed boat yang berputar-putar, dan riak-riak air telaga yang berombak. Namun, pikiran saya telanjur terngiang kisah sepasang naga. Hebat! Sepasang naga telah mencipta kenikmatan dan hiburan bagi umat manusia.

Saya kembali tersadar ketika gelap bergelayut dan petang menyelimut. Saya pun memutuskan berjalan mengitari telaga. Di samping telaga, hotel-hotel dan penginapan menjamur. Kelap-kelip lampu mengelilingi telaga. Malam makin larut, tapi pengunjung makin menyemut. Iklim yang sejuk dan pemandangan yang aduhai membuat Telaga Sarangan jadi jujugan wisata, bahkan sejak zaman kolonial.

Puas berjalan-jalan, saya memutuskan duduk di antara rombong sate kelinci dan gerobak ronde-angsle. Kata orang-orang, tanpa menyantap sate kelinci dan menyesap ronde-angsle, kita dianggap belum sah mengunjungi Telaga Sarangan. Setelah memesan, saya bertanya pada penjual sate kelinci, “Apa benar sepasang naga hidup di dasar telaga di kaki Gunung Lawu ini?” Ia mengangguk. Pertanyaan serupa saya lontarkan pada penjaga rombong angsle-ronde. Dia mengiyakan. 

Naga Telaga Berdendang di Sarangan
Penjual sate kelinci di tepi telaga/Isnaini Wachidah

Seteguk ronde hangat membuat dada hangat. Tiba-tiba saya teringat konsep storynomics tourism, pendekatan pariwisata yang menitikberatkan pada kekuatan narasi. Dalam buku Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising (2018), Robert McKee mengemukakan bahwa cerita menjadi faktor kuat suksesnya pemasaran produk ekonomi. 

Pada aspek promosi pariwisata, legenda naga Telaga Sarangan adalah contoh absah penerapan storynomics tourism. Pasalnya, narasi tentang Telaga Sarangan yang terbentuk dari geliat naga disebarkan, dituturkan, dan diturunkan. Dari mulut ke mulut, dari kepala ke kepala, dari generasi ke generasi. Legenda naga ini turut mendukung, melengkapi dan memperkuat keindahan alam Telaga Sarangan.

Pemandangan telaga di kaki gunung memang menjadi daya tarik utama wisatawan, tetapi narasi naga telaga tak dapat disepelekan. Legenda naga bergema dalam tempurung-tempurung kepala warga hingga saya mendengarnya pada suatu senja. Ah, bagaimana nasib bapak-anak itu? Apakah sang anak telah mendengar kisah naga telaga?

Malam telah berganti dini hari. Telaga tak kunjung sepi. Tubuh saya butuh menepi dan merebahkan diri. Sebelum benar-benar terlelap, sebuah pertanyaan muncul di kepala. Mengapa asal-usul Telaga Sarangan yang bersumber dari cerita rakyat lebih mengemuka daripada fakta saintifik geologisnya sebagai danau vulkanik?

Foto-foto lawas Telaga Sarangan tahun 1930 (kiri) dan 1935 via Leiden University Libraries/KITLV

Dendang Sarangan

Matahari muncul begitu memesona di kaki Gunung Lawu. Cahayanya mengkilat-kilat hangat. Kabut terangkat mengangkasa. Kemarin, saya sudah tamat mengitari telaga. Saatnya mencari alternatif tempat. Saya meniti setapak di tepi pemukiman, ladang-ladang, dan kebun-kebun. Stroberi, bawang, sawi, dan selada menyapa. Hati saya hangat terasa. Puji Tuhan, Sarangan dianugerahi tanah subur dan pemandangan serupa mazmur. 

Ya, mazmur. Puji-pujian pada Tuhan. Alam seindah ini, pasti memunculkan kidung terlantun dan madah tercipta. Saya membatin. Benar belaka. Saat jemari menelusuri Youtube, terpampang tiga lagu merekam keasrian telaga. Nada-nada menggemakan keindahan Sarangan. Dendang lagu turut mengamplifikasi keasrian telaga. Penuh puja-puji, Ismanto mencipta lagu Telaga Sarangan berlanggam keroncong. Ismanto menulis:

Teduh sunyi damai tenang
Telaga Sarangan
Indah, bukan buatan
Pemandangannya untuk bertamasya

Tempat margasatwa mandi
Berkecimpung ria
Bebas menghias diri
Berkicau murai di tepian telaga

Kolam air ciptaan Tuhan
Berpagar bukit-bukit rimba
Tempat insan datang
Untuk menghibur lara

Di kakinya gunung Lawu
Di situ letaknya
Kagum aku memandang
Keindahannya, oh, rahasia alam

Kolam air ciptaan Tuhan
Berpagar bukit-bukit rimba
Tempat insan datang
Untuk menghibur lara

Di kakinya gunung Lawu
Di situ letaknya
Kagum aku memandang
Keindahannya, oh, rahasia alam

Lagu tentang Sarangan yang lain, yaitu Tangise Sarangan (2016) menjadikan Sarangan perlambang dan telaga sebagai penanda bagi kesedihan hati Saraswati, pencipta lagunya. Ia mengibaratkan telaga adalah tetes tangisnya dan dingin udara Sarangan sebagai kondisi hatinya. Ia menggambarkan Sarangan begitu asri, sangat berbeda dengan perasaannya. Sarangan adalah saksinya melepaskan kekasih hati.

Dengan nada muram serupa, Arya Galih menceritakan kesedihannya pada lagu Sarangan Nglarung Rasa (2021). Arya Galih meramu diksi-diksi penampakan alam dengan diksi keluh kesah hatinya. Lereng Lawu berpadu dengan cinta semu. Pohon cemara berdiri bersama janji yang dikhianati. Ombak telaga bersanding dengan hati dengan luka menganga. Arya Galih mengakhiri lagunya dengan melarungkan rasa sakit hatinya di telaga. Ia bercerita:

Tak larung rasaku ana Telaga Sarangan
(Kularung cintaku di Telaga Sarangan)
Pengen ngilangke rasa ati sing kelaran
(Aku ingin menghilangkan rasa sakit hati)
Ombak tlaga dadi crita, netes eluh saka mata
(Debur ombak telaga jadi cerita, air mata berlinang)
Wus tak larung rasa lara, kari nerima aku lila
(Telah ku larung rasa sakitku, hanya bisa menerima aku rela)

Naga Telaga Berdendang di Sarangan
Kabut menutupi pemandangan Gunung Lawu. Tampak hotel-hotel menyemut di sekitar Telaga Sarangan/Arif Islahuddin

Melalui lagu-lagu tersebut, kita dapat mengerti bahwa telaga sarangan adalah cawan rasa raksasa. Tempat manusia melarung perasaannya. Manusia menumpahkan keluh kesah, melempar duka lara, menambatkan segala penat, dan melunturkan sesak dalam dada. Harapannya, sepulang dari Sarangan, hati gembira riang lapang kembali. Seperti hati saya saat pulang ke Surabaya selepas dua hari semalam bervakansi di Sarangan.

Seraya menginjak pedal gas mobil menuju Surabaya, saya bergumam dalam hati. Telaga Sarangan tak hanya perihal keindahan alam dan kesejukan udara semata. Legenda naga telaga dan dendang nada-nada juga turut mengabadikan keanggunannya. 


Referensi:

McKee, R. &Gerace, T. 2018. Storynomics: Story-driven marketing in the post-advertising world. London: Hachette UK.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Naga Telaga Berdendang di Sarangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/naga-telaga-berdendang-di-sarangan/feed/ 0 46705
Pesan buat Para Pendaki Gunung https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/#respond Fri, 11 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46613 Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba. Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka...

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.

Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.

Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.

Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.

‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Para pendaki antusias memotret pemandangan dengan ponsel di camp Puncak Pemancar saat sore hari. Tampak serpihan-serpihan sampah di rerumputan hasil buangan pendaki yang berkemah sebelumnya/Rifqy Faiza Rahman

Upayakan semangat minim sampah itu

Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani. 

Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area). 

Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.

Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah. 

Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Petugas Basecamp Skydoor mengecek satu per satu barang bawaaan pendaki Gunung Kembang via Blembem. Basecamp ini termasuk salah satu pelopor pendakian nol sampah di Indonesia/Rifqy Faiza Rahman

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati

Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.

Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun. 

Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.

Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri. 

Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.

Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman

Bijaksana mengukur diri sendiri

Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.

Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.

Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.

Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.

Selamat mendaki gunung!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/feed/ 0 46613
Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/ https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/#respond Fri, 10 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41890 Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari...

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari daerah barat maupun timur.

Jika kamu adalah seorang pemburu seven summits, dan masih terlalu jauh untuk menggapai tujuh puncak tertinggi Indonesia atau dunia, kamu bisa memulainya di Jawa Tengah. Secara umum, akses menuju lokasi basecamp masing-masing gunung relatif mudah dijangkau tanpa kesulitan berarti.

Gunung-gunung di daftar ini rata-rata bisa didaki secara optimal dengan durasi dua hari satu malam perjalanan. Beberapa di antaranya jika diperlukan memerlukan tambahan satu hari untuk ritme yang santai dan menikmati jalur, atau bahkan sehari pergi-pulang jika ingin memakai sistem tektok.

1. Gunung Slamet (3.428 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Lebatnya hutan Gunung Slamet terlihat jelas dari Bambangan, Purbalingga/Rifqy Faiza Rahman

Inilah atap Jawa Tengah. Nomor dua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl). Jangkauan lereng hingga kaki gunungnya sangat luas, menjangkau lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada bagian puncaknya terdapat kawah belerang yang masih aktif. Selain itu, di area puncak gunung dengan medan berbatu dan berpasir juga dikenal kerap berkabut secara tiba-tiba sehingga pendaki mesti ekstra fokus dan berhati-hati.

Untuk kamu yang merancang program pendakian atau ekspedisi tujuh gunung dalam satu rangkaian waktu, masukkan Gunung Slamet ke daftar destinasi pertama. Panjangnya jalur pendakian dan tingkat tantangan yang tersaji akan menuntutmu mempersiapkan segalanya dengan baik, baik secara fisik, mental, dan logistik. 

Sejauh ini ada sekitar enam jalur pendakian resmi di Gunung Slamet. Baturraden (Banyumas), Bambangan (Purbalingga), Gunung Malang (Purbalingga), Dipajaya (Pemalang), Guci (Tegal), dan Kaliwadas (Brebes). Masing-masing memiliki karakter dan tingkat kesulitannya sendiri. Kecuali terdapat peraturan yang mengikat oleh pengelola basecamp, TelusuRI menyarankan kamu mendaki gunung ini dalam tiga hari dua malam. Tujuannya agar lebih menikmati perjalanan dan tidak terlalu menguras tenaga.

2. Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Sabana Segoro Banjaran di dalam kaldera Gunung Sumbing, bisa ditempuh dari jalur Banaran, Temanggung/Rifqy Faiza Rahman

Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Di lereng gunungnya terhampar melimpah perkebunan tembakau, sama seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro. Ciri khas gunung ini adalah bagian kaldera dekat puncak yang bisa dieksplorasi, mencakup sabana Segoro Banjaran, area berpasir Segoro Wedi, makam Ki Ageng Makukuhan, dan kawah belerang aktif.

Tersedia banyak pilihan jalur menuju puncak, baik itu Puncak Rajawali (tertinggi), Puncak Buntu, maupun Puncak Sejati. Di wilayah Magelang, ada jalur Butuh dan Mangli yang masuk wilayah Kecamatan Kaliangkrik. Kemudian di Temanggung, terdapat jalur Banaran, Cepit, Dukuh Seman, Sipetung, dan Batursari. Terakhir di jalur barat atau Wonosobo, kamu bisa memilih antara Bowongso atau Gajah Mungkur. 

Secara umum, tipikal jalur pendakian Gunung Sumbing cenderung lurus dan menanjak terjal nyaris tanpa ampun. Sebagian rute bahkan tidak memiliki sumber air, sehingga kamu harus mempersiapkan stok air berlebih. Untuk itu, diperlukan ketahanan fisik yang prima agar mampu mendaki gunung ini dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Gunung Lawu (3.265 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Pendaki menikmati pemandangan dan suasana sore di sabana Gupakan Menjangan, jalur Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Bagian kaki, lereng, hingga puncak tertinggi gunung ini (Hargo Dumilah) tertancap di perbatasan dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terkenal bukan hanya di kalangan pendaki, melainkan juga bagi para peziarah atau pelaku spiritual.

Sejumlah jalur pendakian yang tersedia bahkan menyimpan beberapa situs cagar budaya peninggalan kerajaan masa lampau. Seperti jalur Cetho, Karanganyar, kamu akan menjumpai Candi Cetho itu sendiri dan Candi Kethek yang terletak berdekatan. Adapun rute pendakian lain di wilayah Jawa Tengah adalah Cemoro Kandang (Tawangmangu) dan Tambak (Ngargoyoso). Keduanya juga berada di Kabupaten Karanganyar.

Menurut kebanyakan pendaki, temperatur udara di Gunung Lawu kabarnya lebih dingin dibandingkan gunung-gunung lain. Untuk itu, persiapkan fisik dan perlengkapan yang memadai agar pendakianmu berjalan lancar.

4. Gunung Sindoro (3.153 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Kerucut Gunung Sindoro dipotret dari jalur pendakian Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman

Posisi gunung yang memiliki kawah belerang aktif dan cukup besar ini tepat di seberang Gunung Sumbing. Hanya dipisahkan lembah yang di atasnya membentang jalan raya Temanggung–Wonosobo. 

Hampir di segala penjuru mata angin gunung ini terdapat jalur resmi yang bisa didaki. Dari sisi utara, kamu bisa mendaki melalui Sigedang yang letaknya tak jauh dari kawasan perkebunan teh Tambi, Wonosobo. Di sebelah timur, terdapat jalur Bansari yang relatif dekat dengan pusat kota Kabupaten Temanggung. Kemudian jika kamu ingin mendaki dari arah barat, kamu bisa menuju Desa Ndoro Arum di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Bergeser ke selatan, ada tiga jalur yang terletak berdekatan di perbatasan Kabupaten Temanggung–Wonosobo. Pertama, jalur Kledung. Basecamp-nya menempel dengan kompleks Kantor Desa Kledung dan berada persis di pinggir jalan raya Temanggung–Wonosobo. Kedua, Alang-alang Sewu di wilayah Kecamatan Kertek, Wonosobo. Ketiga, rute Bedakah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh Bedakah, juga di Kecamatan Kertek. Jalan menuju basecamp Bedakah searah dengan basecamp Gunung Kembang, “anak” Gunung Sindoro.

5. Gunung Merbabu (3.145 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Deretan tenda pendaki di area camp Puncak 2 Pemancar Gunung Merbabu, via jalur Thekelan/Rifqy Faiza Rahman

Berada di dalam kawasan taman nasional, Merbabu juga memiliki seven summits-nya sendiri. Kamu akan mencapainya bila mendaki lewat jalur Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Orang-orang menyebutnya jalur tua atau klasik. Kelebihan lain dari jalur Thekelan adalah ada tiga titik sumber air yang bisa dimanfaatkan pendaki, yaitu Pos 1 Pending (1.824 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.137 mdpl), dan pos air di bawah Helipad (2.884 mdpl).

Karena aturan durasi pendakian terbatas dua hari satu malam, persiapkan fisik, logistik, dan manajemen waktumu untuk bisa menggapai tujuh puncak tertinggi Merbabu: Puncak 1 Watu Gubug (2.723 mdpl), Puncak 2 Pemancar (2.847 mdpl), Puncak 3 Geger Sapi (3.002 mdpl), Puncak 4 Syarif (3.119 mdpl), Puncak 5 Ondo Rante (3.112 mdpl), Puncak 6 Kenteng Songo (3.142 mdpl), dan Puncak 7 Triangulasi (3.145 mdpl).

Lewat jalur mana pun, baik itu Thekelan, Selo, Suwanting, maupun Wekas, kamu bisa simak informasi panduan registrasi pendakian Gunung Merbabu secara daring di sini. Sebagai bocoran, pesan kuota pendakianmu jauh-jauh hari, karena saat akhir pekan biasanya akan penuh (terutama jalur Selo dan Suwanting).

6. Gunung Prau (2.590 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Tenda-tenda pendaki di area camp dekat puncak Gunung Prau, bisa digapai lebih cepat dari jalur Patak Banteng/Rifqy Faiza Rahman

Sejak pertama kali dibuka untuk umum sampai sekarang, tampaknya status gunung sejuta umat yang biasa disandang Semeru bergeser ke Prau. Lihat saja saat akhir pekan atau libur panjang, pendaki akan menyemut hampir di semua jalur. Dari sekitar enam jalur resmi, Patak Banteng dan Dieng di Wonosobo jadi dua daftar teratas yang paling diburu pendaki. 

Kalau kamu cenderung mencari jalur yang relatif tidak terlalu padat, kamu bisa mencoba jalur Wates di Kecamatan Wonoboyo, Temanggung; Igirmranak dan Kalilembu di Kecamatan Kejajar, Wonosobo; atau via Dieng Kulon (Candi Dwarawati) di Kecamatan Batur, Banjarnegara. Masing-masing jalur akan saling bertemu di kawasan puncak tertingginya. 

Ikon gunung ini memang berada di area puncak. Hanya dengan mendaki sekitar 2,5–4 jam (setiap jalur bervariasi), pendaki bisa melihat pemandangan gunung-gunung besar lain di sekitarnya. Jika cuaca cerah, kamu akan melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing berdampingan, begitu pun Merbabu dan Merapi. Nun di barat, ada Gunung Slamet. Momen terbaik biasanya saat matahari terbenam, malam hari penuh bintang, atau matahari terbit. 

7. Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Vegetasi semak dan rerumputan di area puncak Gunung Pakuwaja via Facebook/Gunung Pakuwaja

Meskipun berbeda lokasi, Gunung Pakuwaja terbilang masih satu area dengan Gunung Prau di dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng. Bentang alam Gunung Pakuwaja mencakup tiga desa di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, yaitu Sembungan, Parikesit, dan Tieng. Basecamp terpopuler gunung ini ada di Parikesit. Waktu tempuhnya berkisar 1,5–3 jam, tergantung kondisi fisik kamu. Meski tidak sampai 3.000 mdpl, tetapi treknya cukup bervariasi. Ada yang landai, ada yang terjal. 

Dalam catatan Badan Geologi ESDM, Pakuwaja merupakan gunung api yang terbentuk paling muda yang menempati Kompleks Vulkanik Dieng. Oleh karena itu, jika kamu penyuka ilmu kebumian, Gunung Pakuwaja adalah tempat yang pas karena memiliki situs jejak lava yang beraneka ragam. Namun, pastikan kamu tetap menaati segala peraturan yang ditetapkan basecamp dan jaga sopan santun selama pendakian. Sebuah sikap yang juga berlaku untuk gunung-gunung lain.

Setelah menuntaskan Sumbing, Sindoro, Prau, dan Pakuwaja, jika masih memiliki sumber daya waktu, tenaga, dan biaya, kamu bisa melanjutkan program seven summits khusus di wilayah Kabupaten Wonosobo. Ketiga puncak gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), dan Gunung Kembang (2.340 mdpl). Yang menarik, kamu bisa mendapatkan sertifikat dari Perhutani KPH Kedu Utara sebagai apresiasi keberhasilan kamu meraih seven summits of Wonosobo.

Menjadi Pendaki Bijak

Sah-sah saja jika kamu berambisi mengkhatamkan tujuh puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah. Namun, pastikan kamu menjadi pendaki yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk ikut menjaga gunung itu sendiri. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan pendakian
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang mengurangi sampah kemasan anorganik
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang mungkin kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Jadi, mau mulai dari mana buat mendaki seven summits Jawa Tengah? Lekas kemasi ranselmu dan berangkat sekarang juga!


Penafian:
Gunung Merapi (2.968 mdpl) tidak masuk daftar karena telah lama ditutup untuk pendakian sejak peningkatan aktivitas vulkanis pada 2018. Kini statusnya Level III (Siaga).


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/feed/ 0 41890
Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/#respond Sat, 09 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39790 Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian...

The post Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman



Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian bangkit sebenar-benarnya dari berbaring, setelah kerap membuka mata kala terdengar deru angin kencang di tengah malam. Saya segera membangunkan Aan dan Fadly agar bersiap. Sementara di tenda sebelah, Emma dan Evelyne juga terdengar sudah sepenuhnya sadar. Adapun sejumlah pendaki lain sudah berangkat terlebih dahulu ke puncak.

Agenda kami di hari ketiga akan lebih panjang daripada dua hari sebelumnya. Setelah dari puncak, kami langsung berkemas dan turun saat itu juga. Kami sepakat untuk berangkat setelah Subuh sehingga tidak terlalu gelap dan bisa menikmati matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak. 

Sebelum berangkat ke puncak, kami sempatkan menyeruput segelas teh, susu, atau minuman hangat lain untuk mengisi perut. Bekal lainnya, seperti biskuit, roti tawar dan selai, serta air minum sudah kami masukkan ke ransel kecil. Kami juga berencana menyarap di salah satu warung dekat Hargo Dalem usai dari puncak.

Angin tak sekencang semalam. Suhu perlahan menghangat seiring fajar mulai menyingsing. Pukul 05.05 kami meniti langkah demi langkah menuju tugu puncak tertinggi Lawu, Hargo Dumilah. Mencoba menyambut pagi yang mungkin akan jadi pengalaman tak terlupakan.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Jeda sejenak memandang matahari terbit saat perjalanan ke puncak Gunung Lawu/Rifqy Faiza Rahman

Lukisan Pagi

Jalan setapak sangat jelas membelah sabana yang kemarin sore kami pandang dari camp. Awalnya menurun, lalu relatif datar menjelang punggungan bukit yang masih ditumbuhi banyak cemara gunung dan semak. Dari batas sabana tersebut kami menyusuri jalur yang melipir dan menanjak hingga tiba di dataran terbuka penuh cantigi dan perdu lainnya. 

Terus terang sebenarnya bisa saja kami mencapai puncak lebih cepat. Namun, selayaknya seorang pemburu konten dan tidak mau melewatkan momen sekecil apa pun, rasanya sayang jika kami harus terburu-buru mengejar puncak yang tidak akan ke mana-mana. Sementara matahari terbit beserta serunai alam yang mengiringinya adalah siklus yang belum tentu bisa disaksikan setiap hari. Lukisan alam yang belum tentu kami lihat di perkotaan.

Setelah hampir sejam berjalan, di salah satu tepian jalur terbuka sekitar kawasan Pasar Dieng (3.095 mdpl) saya berhenti sejenak. Saya memandang ke ufuk timur. Mencoba menerka-nerka deretan gunung dan pegunungan Jawa Timur yang tampak jelas berselimut awan di kakinya.

JIka membayangkan peta Jawa Timur dari arah barat, saya masih bisa melihat jelas Pegunungan Wilis, Gunung Arjuno-Welirang, Gunung Kawi, dan Gunung Buthak. Di antara gunung-gunung itu, saya belum pernah mendaki Wilis dan Kawi. Mungkin suatu saat nanti saya harus mencoba mendakinya.

  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)

Dari kawasan Pasar Dieng yang terbuka, berbatu, dan penuh cantigi, kami berjalan sekitar 340 meter untuk sampai di kawasan Hargo Dalem (3.131 mdpl). Hargo Dalem merupakan petilasan di sebuah cungkup, yang dipercaya warga setempat menyimpan jejak keberadaan Prabu Brawijaya. Lagi-lagi, perlu kajian literatur mendalam untuk memastikan hal tersebut. Sejauh ini kita tetap menghormati segala tradisi dan laku sebagai bentuk kearifan lokal.

Hargo Dalem juga merupakan pertemuan jalur Cetho dengan Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Di bawah Hargo Dalem, terdapat warung Mbok Yem yang terkenal. Kami nanti tidak akan makan pagi di sana karena akhir pekan pasti ramai pendaki dan antre panjang.

Kami juga tidak masuk ke Hargo Dalem, karena tujuan utamanya adalah puncak Hargo Dumilah. Dari Hargo Dalem, kami melipir ke jalur sebelah kiri melewati warung Mbok Gar (3.147 mdpl) menuju puncak. Kami berencana akan menyantap sarapan di warung tersebut. Menu yang tersedia adalah soto ayam dan nasi pecel.

Dari GPS saya, jarak dari Hargo Dalem ke puncak tinggal 360 meter lagi dengan kontur menanjak di atas tanah berpasir dan berkerikil. Sesekali saya menengadah ke arah puncak. Jelas terlihat tugu Hargo Dumilah dengan bendera merah putih di sebelahnya.

“Ayo, semangat! Sebentar lagi puncak!” saya berseru.

  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)

Puncak Kontemplasi

Sejak Bulak Peperangan sampai area Hargo Dalem, sebenarnya kami sudah masuk wilayah Jawa Timur. Puncak tertinggi, Hargo Dumilah (3.265 mdpl), berada persis di perbatasan Jawa Tengah—Jawa Timur. Maka bisa saya katakan kalau mendaki Gunung Lawu dari Cetho seperti melakukan perjalanan lintas kabupaten (Karanganyar—Magetan) dan lintas provinsi. 

Dahulu sebelum pandemi Covid-19, pendaki masih diizinkan mendaki lintas jalur. Seperti yang pernah saya lakukan bersama teman-teman dari Malang pada Oktober 2013. Waktu itu kami naik dari Cemoro Sewu (Magetan, Jawa Timur) dan turun Cemoro Kandang (Karanganyar, Jawa Tengah). Namun, sejak pandemi hingga sekarang pendaki harus naik dan turun lewat jalur yang sama untuk alasan keamanan dan kemudahan pelaporan.

Pagi ini Hargo Dumilah seakan semringah. Ia tampak mengkilap lantaran semburan sinar sang surya. Di sisi lain, mungkin Hargo Dumilah senang karena banyak pendaki “berziarah” ke rumahnya. Puncak tertinggi Lawu ini adalah pertemuan para pendaki dari semua jalur. Selain yang saya sebutkan tadi, juga ada yang mendaki dari Tambak (Karanganyar) dan Singolangu (Magetan). Jalur yang disebut terakhir pernah saya coba pada momen perayaan 17 Agustus 2020. Jalur Singolangu akan tembus di belakang warung di pos Sendang Drajat, bertemu dengan Cemoro Sewu.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Pendaki-pendaki di puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu/Rifqy Faiza Rahman

Selain itu, saya ingin membuat pengakuan bahwa monumen puncak di Gunung Lawu adalah yang terbaik dari gunung-gunung lain di Jawa. Tugu Kiky, begitu orang menyebutnya karena keterlibatan sponsor perusahaan buku tulis dalam pembangunan monumen tersebut.

Sebagaimana di gunung lain, puncak adalah tempat luapan euforia dan kebanggaan terbesar para pendaki. Puncak menjadi acuan semangat di tiap hadirnya keluhan terhadap tanjakan-tanjakan tak berujung. Sebagian orang memandang puncak adalah sesuatu yang wajib mereka rengkuh, sementara tak sedikit pula menganggapnya bonus perjalanan. Begitupun dengan kami. Meski tentu saja, selama kesempatan itu ada, tidak ada salahnya berikhtiar menggapainya dengan tetap mengutamakan keselamatan tim.

Berkaca pada sejumlah kasus yang pernah ada, tidak sedikit pendaki yang meregang nyawa di gunung ini. Penyebab terbesar salah satunya adalah hipotermia. Sebuah kondisi akut yang menandakan suhu tubuh turun sangat drastis di bawah normal. Jika penanganannya tidak cepat dan tepat, penderita bisa meninggal dunia tanpa merasakan gejala apa pun, bahkan merasa seperti kepanasan sampai melucuti semua bajunya. Maka upaya antisipasi terhadap situasi ini adalah menghindari pendakian saat musim hujan, selalu mempersiapkan kondisi fisik dan segala perlengkapan sebaik-baiknya. 

Dari sudut pandang saya, semestinya puncak gunung adalah tempat perenungan bagi setiap pendaki. Saya tidak melarang pendaki merayakan pencapaiannya, hanya saja jangan berlebihan. Saya merasa kita perlu berpikir tentang proses yang kita lalui sepanjang perjalanan. Mulai berangkat dari rumah, tiba di puncak, lalu pulang kembali ke rumah. Memahami apa dan siapa saja yang telah memberi jalan dan menuntun kita ke tempat tertinggi ini.

Di gunung, kita tidak akan berjalan sendirian. Alam akan merestui orang-orang yang berniat baik.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Emma, dalam perjalanan turun dari puncak, melintasi telaga kering yang akan berisi air saat musim hujan di Gupakan Menjangan/Rifqy Faiza Rahman

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/feed/ 0 39790
Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/#respond Fri, 08 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39772 Pendakian kian menantang karena jalur terjal dan beban bekal air yang bertambah. Angin kencang jadi tantangan lain yang tetap harus dinikmati. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman “Kulo (saya) Partini,” ujarnya memperkenalkan diri. Perempuan itu...

The post Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pendakian kian menantang karena jalur terjal dan beban bekal air yang bertambah. Angin kencang jadi tantangan lain yang tetap harus dinikmati.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Warung Mba Yuni di Pos 3 Cemoro Dowo/Rifqy Faiza Rahman

Kulo (saya) Partini,” ujarnya memperkenalkan diri. Perempuan itu sedang menyiapkan pesanan susu jahe panas kami. Ia adalah partner Bu Yuni, pemilik warung di Pos 3. Keduanya warga asli Dusun Cetho.

Warung Mba Yuni sudah buka sejak pukul 05.30. Kepulan asap membubung dari celah-celah jendela warung menandakan aktivitas mereka. Mereka sudah naik dan berjualan sejak Jumat pagi sebelum kami. Besok Minggu mereka akan turun. Setiap naik biasanya dibantu oleh Pak Sukino, suami Bu Yuni, dan seorang pria lagi untuk membawa barang dagangan. Mulai beras, makanan ringan, dan bahan makanan lainnya.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Melongok ke dapur, Bu Yuni sedang adang (menanak) nasi dengan dandang. Tak ada gas. Murni menggunakan kayu bakar untuk menghasilkan api. Bapak-bapaklah yang membawa kayu-kayu bakar tersebut sebagai stok selama berjualan. Kami melihat tumpukan kayu tersebut di belakang warung. Kami bisa membayangkan perjuangan mereka mencari nafkah dan berkah dari pendakian gunung.

Saya membawa pesanan kami ke belakang. Di area ini terdapat gentong besar untuk menampung air dari sumber dan fasilitas toilet sederhana berupa bilik dari terpal dan spanduk. Sebelum memasak sarapan—kali ini nasi dan olahan makanan beku ayam karage—kami menikmatinya terlebih dahulu di sebuah bangku kayu sambil menikmati pemandangan awan dan langit biru. Aktivitas yang menambah spirit baru dan kepercayaan diri melanjutkan perjalanan berat pada hari kedua ini.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Tenda kami di Pos 3 Cemoro Dowo bersebelahan dengan pipa air/Rifqy Faiza Rahman

Pelan-pelan ke Penggik

Usai sarapan, kami lekas berkemas. Berbagi tugas membersihkan peralatan masak dan makan, serta merapikan tenda. Sebagian turun ke sumber air. Saya menginstruksikan untuk memenuhi botol minum masing-masing. Saya juga mengisi jeriken lima liter sebagai bekal pendakian hari ini dan besok. Jeriken tersebut akan saya masukkan di dalam ransel bagian atas. 

Tepat pukul 09.30, kami mulai berjalan kembali. Perjalanan dari Pos 3 Cemoro Dowo ke Pos 4 Penggik adalah yang terjauh dan terberat di jalur Cetho. Elevasinya naik tajam sekitar 353 mdpl, dengan estimasi jarak tempuh 860 meter. Pada pendakian 2019 lalu, rute inilah yang benar-benar menguras tenaga. Ditambah hujan deras yang menjadikan jalur seperti aliran sungai. 

Tidak jauh berbeda, beban tenda dan jeriken lima liter penuh air yang saya bawa jelas lebih berat dari kemarin. Terlebih karakter jalur yang terjal kerap membuat kami mengangkat lutut lebih tinggi.

“Aku yang di depan, ya. Jalan pelan-pelan. Nek kesel (kalau capek), istirahat,” pinta saya. Hal ini semata agar ritme berjalan kami seirama dan tidak berjauhan. 

Beruntung vegetasi selepas Pos 3 masih relatif rimbun. Tidak terlalu rapat, tetapi cukup meneduhkan jalur. Jenis tanamannya masih sama, kombinasi semak, mlandingan (lamtoro) yang rata-rata tumbuh agak doyong, dan beberapa cemara gunung. Trek berupa jalan setapak tanah yang sudah mulai berdebu tanda memasuki musim kemarau.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Rehat sebentar di tengah pendakian menuju Pos 4/Rifqy Faiza Rahman

Kami cukup sering berhenti untuk mengatur napas. Terutama saya. Sesekali ketika menemui tempat datar di antara tanjakan, saya lepas ransel ke tanah untuk melegakan pundak. Di titik seperti ini, kekompakan tim dalam hal mental sangat penting. Penting sekali satu sama lain memahami bahwa tidak perlu berjalan terburu-buru apalagi berambisi menjadi yang tercepat. Tidak ada urgensi untuk itu.

Langkah yang stabil dan pintar-pintar menata waktu untuk istirahat, ternyata membuat perjalanan lebih tidak berasa capek. Kira-kira setelah 1 jam 10 menit, kami tiba di Pos 4 Penggik (2.547 mdpl). Lebih cepat 50 menit dari rencana. Di pos ini kami berjumpa rombongan pendaki dari Jakarta yang turun. Mereka juga rehat sebentar di sini.

“Setelah Pos 4 nanjak-nya enak, kok. Yang berat, ya, cuma antara Pos 3 ke Pos 4 doang,” ujar salah satu dari mereka ketika kami bertanya jalur naik. Saya agak lupa kontur jalur di atas Pos 4. Saya hanya ingat sepotong-sepotong kalau trek akan datar ketika keluar hutan cemara gunung dan memasuki sabana.

Sama seperti tiga pos sebelumnya, Pos 4 Penggik ditandai dengan “brakseng”. Peraturan yang berlaku adalah jangan mendirikan tenda di dalam shelter. Gubuk ini hanya untuk berteduh atau penanganan keadaan darurat yang memerlukan tempat berlindung. Namun, Pos 4 Penggik tidak terlalu nyaman untuk mendirikan tenda. Lahan datar terbatas dan berada di jalur yang terjal.

Terjalnya jalur Pos 3—Pos 4 membuat kami memilih istirahat agak lama. Kurang lebih 10 menit untuk sekadar merebahkan punggung, minum dan menyantap bekal buah pisang yang jadi sumber energi kami. 

“Mau makan siang di sini atau di mana, Mas?” tanya Emma.

“Nanti saja agak atas. Kalau nemu tempat yang pas. Sekarang masih tanggung,” jawab saya.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Pos 4 Penggik yang tidak ideal untuk mendirikan tenda/Rifqy Faiza Rahman

Sabana Kenangan

Apa yang dikatakan anak-anak Jakarta tadi benar. Memang masih terus menanjak, tetapi tidak terlalu panjang. Seingat saya, ada satu tanjakan terakhir yang cukup terjal karena berpindah punggungan. Sesudah itu jalur lebih banyak datar melipir bukit yang ditumbuhi banyak cemara gunung. Seketika suasana lebih teduh setelah terpapar terik matahari sejak Pos 4 Penggik.

Kami akhirnya menemukan tempat yang cukup pas untuk istirahat dan makan siang. Berdasarkan GPS, lokasinya berjarak sekitar 570 meter dari Pos 4 Penggik dan berada di ketinggian 2.721 mdpl. Sekitar 68 menit perjalanan. Kami sempat menyapa beberapa porter lokal yang bekerja untuk sebuah open trip yang diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah. Mereka akan menyiapkan camp di Bulak Peperangan.

Tempat kami break bukan lokasi yang ideal karena hanya memanfaatkan lahan sempit di samping jalur. Namun, lumayan nyaman buat menanak beras porang dan makan lahap sisa lauk ayam karage serta tambahan lauk kering yang dibawa Evelyne. Bahkan tak terasa ketika saya menyadari kalau kami istirahat hampir 1,5 jam. Sebab kami sempatkan juga untuk tidur siang sebentar.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Lokasi istirahat dan makan siang di pinggir jalur/Rifqy Faiza Rahman

Banyak teman saya mengamini kalau Lawu adalah gunung yang sangat dingin. Bahkan di tempat yang belum terlalu tinggi sekalipun. Itu yang kami rasakan selepas bangun dari tidur siang. Meski terang-terangan cuaca begitu cerah dan matahari bersinar nyalang, tak bisa kami pungkiri perubahan suhu yang terjadi jelang sore. Tepat pukul dua siang, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Kenangan pendakian 2019 kembali menguak ingatan setibanya kami di batas hutan-sabana. Sekitar 475 meter atau hampir setengah jam berjalan. Terdapat pohon dan bunga edelweiss yang banyak tumbuh di kawasan ini. Saya yang berada di belakang segera menyusul teman-teman yang sudah ada di persimpangan jalur ke Bulak Peperangan.

Saya ceritakan ke mereka, “Di sinilah dulu kami terpaksa bikin tenda karena kondisi darurat. Wis kudanan, kesel, nganti Magrib lho Bulak Peperangan durung kethok blas (Sudah kehujanan, capek, sampai Magrib loh Bulak Peperangan belum kelihatan sama sekali).”

Lokasinya memang sangat terbuka dengan lahan sabana agak miring. Padahal jika mau berjalan lebih jauh sekitar 15 menit saja atau 400 meter dengan trek datar, kami akan menjumpai Pos 5 atau Bulak Peperangan (2.843 mdpl). Sebuah area tempat bertemunya jalur Cetho dengan Jogorogo (Ngawi), yang lebih representatif dan nyaman untuk berkemah. Cuma, ya, itu tadi. Bukan tak mau. Kami memang sudah tidak mampu.

Tentu saja tidak ada rasa penyesalan ketika hari ini akhirnya saya tahu seperti apa Bulak Peperangan itu. Yang kami tahu adalah saat itu sudah menjadi keputusan terbaik dan disepakati bersama, daripada memaksakan diri walau sekadar “tinggal sedikit lagi”.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Nyanyian Angin di Gupakan Menjangan

Tatkala menempuh 660 meter terakhir atau dua pertiga perjalanan menuju Gupakan Menjangan, kami melihat dua pemandangan yang memukau mata. Bukan sabananya yang makin banyak terhampar, melainkan kemunculan satwa yang terlihat jelas dan bergerak cepat. Sampai-sampai saya tak mampu merekamnya dalam kamera.

“Eh, itu ada kijang!” saya berseru.

Sontak yang lain pun ikut menoleh ke arah saya menunjuk. Seekor kijang berwarna cokelat muda yang berlari bak kilat di lereng perbukitan miring. Kami melihatnya di sebelah kiri jalur, kira-kira 300 meter. Begitu saya baru sadar dan mengambil kamera, Muntiacus muntjak lincah itu sudah hilang di balik hutan.

Kedua, elang Jawa atau alap-alap yang terbang memutar di atas celah-celah kanopi cemara gunung, ketika mendekati Gupakan Menjangan. Saya cukup berhasil memotretnya meski agak kurang jelas.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Kembali melihat burung di dekat Gupakan Menjangan/Rifqy Faiza Rahman

Pemandangan itu menjadi pengalaman langka nan berharga bagi kami. Di tengah masifnya manusia yang mendaki gunung lewat jalur ini, bertemu dengan satwa liar pasti tak akan terlupakan.

Pukul 15.35, atau 45 menit dari Bulak Peperangan, kami tiba di Gupakan Menjangan. Angan-angan saya sejak lama yang kini jadi kenyataan. Sebuah tempat berkemah di malam kedua, sekalipun tidak ada sumber air. Kami adalah rombongan pertama yang sampai di area camp setinggi 2.936 mdpl tersebut. Makin sore, kami mendapati makin banyak kelompok lainnya yang ikut mendirikan tenda di sini. Wajar, akhir pekan akan ramai pendaki meskipun tidak sepadat jalur lainnya, seperti Cemoro Sewu.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Meskipun tempat camp berada di tengah-tengah cemara gunung, tetapi angin yang bertiup dari arah sabana sangat terasa. Bahkan berlangsung cukup lama hingga kami kerap terbangun saat tengah malam. Embusannya lumayan kencang sampai-sampai menggoyangkan ranting-ranting cemara dan menderu, seperti bernyanyi sumbang tanpa nada. Adapun lokasi tenda kami cukup terlindung dari keberadaan semak-semak, sehingga terhindar dari angin secara langsung.

Namun, yang terpenting adalah cuaca cerah dan stabil hingga hari ini, yang kami harap bisa bertahan setidaknya sampai kami turun esok hari. Birunya langit berpadu serasi dengan hamparan sabana hijau bak permadani. Di sanalah terdapat kubangan air musiman yang akan terisi saat hujan, tempat para menjangan (kijang) minum. Sebuah jejak (gupak) yang menandakan bahwa satwa lincah itu masih eksis, seperti yang kami lihat di lereng bukit tadi. Setidaknya abadi dalam nama yang menjadi tempat berkemah favorit pendaki di jalur ini.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/feed/ 0 39772
Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/#respond Thu, 07 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39749 Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan) Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat...

The post Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan)


  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat oranye nan bersahaja itu. Logo Perhutani, nomor telepon petugas dan saluran radio tertera di dinding pos yang berbahan triplek kayu. Dari bilik loket seorang pria penjaga pos menyambut kami dan menyodorkan lembaran kertas beralas meja dada.

“Dari mana, Mas? Berapa orang?”

“Campur, Mas. Jogja, Magelang, sama Purbalingga. Lima orang saja,” jawab saya. 

“Silakan isi formulir data kelompok dan logistik yang dibawa. Sama nanti ninggal satu KTP di sini. Tiket per orangnya Rp20.000,” ujarnya memberi arahan.

Saya menyodorkan lembaran kertas itu ke Aan, memintanya mengisi. Sekaligus meminjam KTP miliknya. KTP saya sedang jadi jaminan sewa mobil yang saya bawa dari Magelang.

Proses administrasi hanya berlangsung sepuluh menit. Tak hanya mengisi data diri, kami juga harus melaporkan daftar barang bawaan yang kami bawa. Baik perlengkapan pribadi maupun kelompok. Mulai dari pakaian, alat masak, bahan makanan, minuman, jeriken, obat-obatan pribadi. Masing-masing dari kami juga membawa kantung plastik besar (trash bag) yang kami pasang sebagai pelindung barang di dalam tas. Selain itu kami juga harus memastikan tidak ada sampah sekecil apa pun yang terbuang selama di gunung.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Emma di depan gapura pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Permisi, Mbah Branti

Kami baru benar-benar memulai pendakian sekitar pukul 13.30. Trek awal berupa jalan cor yang cenderung melandai selepas gapura pendakian. Terdapat percabangan jalur dari arah Candi Cetho, bagi wisatawan yang ingin melanjutkan kunjungan ke Candi Kethek. Jalur akan menurun hingga menyeberangi aliran sungai kecil, lalu mendaki kembali hingga tiba di Candi Kethek.

Kontur yang turun dan naik sepanjang 550 meter dari pos perizinan cukup membuat “mesin” kami panas. Otot mulai tegang dan peluh sudah bercucuran. Kami istirahat sejenak di bangku kayu sembari melihat Candi Kethek (1.444 mdpl) yang sampai sekarang masih aktif menjadi tempat pemujaan.

Menurut penelitian Purwanto dkk (2017)1, candi ini memiliki karakter pondasi khusus, yaitu susunan batuan andesit yang pengerjaannya tidak sempurna atau menyeluruh. Hanya memanfaatkan batu-batu alam berukuran besar sebagai batas di setiap empat teras berundak. Latar belakang agama Candi Kethek bersifat Hinduistik. Informasi ini berdasarkan pada temuan arca kura-kura yang merupakan simbol dari Dewa Wisnu. Terlihat pula anasir pemujaan terhadap roh nenek moyang. Keberadaan teras berundak di Candi Kethek, yang menandakan wujud gunung, dianggap sebagai tempat bersemayam leluhur yang sudah meninggal.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Candi Kethek yang bersifat Hinduistik/Rifqy Faiza Rahman

Candi Kethek dapat dibilang termasuk kurang terkenal daripada Candi Sukuh dan Candi Cetho, meskipun pembangunannya diperkirakan sezaman dengan kedua candi tersebut, yaitu sekitar abad XV-XVI Masehi. Padahal keduanya pun hanya menjadi bagian dari puluhan situs sejarah yang tersebar di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Dalam catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah tahun 2012, seperti dikutip Purwanto dkk (2017), terdapat 37 situs sejarah yang berstatus cagar budaya daerah dan nasional. Penyebabnya mungkin lokasi yang sedikit masuk ke hutan, meskipun terbilang dekat dengan Candi Cetho. Selain itu juga perlu penelitian lebih lanjut mengingat data artefak yang minim dari candi ini.

Tak sampai lima menit kami melegakan napas. Pendakian harus berlanjut sebelum otot mengendur.

Jalur pendakian menuju Pos 1 Mbah Branti masih melewati perkebunan warga. Jalan setapak tanah dengan elevasi yang belum terlalu menanjak. Walau sudah lepas tengah hari, kami masih menjumpai satu-dua warga bekerja di ladang sayur. Komoditas umumnya lombok, sawi, kol, dan loncang. Kami juga sempat melihat burung terbang memutar di atas kami, entah itu elang Jawa atau alap-alap.

  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

Sekitar 450 meter dari Candi Kethek, di sisi kanan jalur terdapat sebuah tempat pemandian. Meski Lawu lekat dengan kisah Brawijaya atau Majapahit, saya belum tahu persis sisi historis sebenarnya tentang pembuatan tempat ini. Yang jelas, ketika lewat sini tahun 2019 sedang dalam proses pembangunan. Namanya Patirtan Sapta Resi Brawijaya (1.566 mdpl). Sapta berarti tujuh, karena memang ada tujuh pancuran yang mengalirkan air jernih pegunungan ke kolam berbentuk persegi panjang. Tersedia pula fasilitas umum berupa toilet dan warung, tetapi saat itu tutup. Kami hanya sempat membasuh muka saja, karena air di botol kami masih penuh.

Mendekati Pos 1 Mbah Branti, dengan jarak tempuh hampir sama dengan Candi Kethek—Patirtan Sapta Resi Brawijaya, kami sedikit menambah tenaga. Bongkahan batu berserakan di tanah, yang kadang kami jadikan pijakan untuk melangkah. Kami juga menjumpai sambungan pipa air di permukaan tanah. Ada satu-dua titik yang bocor sehingga air meluber. Meskipun begitu debitnya tetap deras.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Patirtan Sapta Resi Brawijaya/Rifqy Faiza Rahman

Tepat 1,5 jam dan 1,5 kilometer dari basecamp Danang, kami tiba di Pos 1 Mbah Branti (1.679 mdpl). Pos ini hanya berupa tanah datar yang luasnya seukuran tenda berkapasitas empat orang. Ditandai gubuk sederhana dengan lima tiang kayu dan atap berbahan seng. Saya tidak membawa bekal informasi apa dasar penamaan Mbah Branti pada pos ini. Mungkin saja pada zamannya merupakan tokoh setempat, yang memiliki laku atau tirakat tertentu di gunung ini.

Kami datang ketika memang masih waktunya jam tidur siang. Wajah-wajah menahan kantuk tampak dari raut Emma, Evelyne, Aan, dan Fadly. Saya sendiri tidak terlalu mengantuk. Namun, kami sepakat untuk istirahat sebentar barang 10—15 menitan. Emma dan Evelyne tidur bersebelahan dengan cara selonjor bersandar bangku panjang dari batang pohon. Fadly berbaring di atas selembar matras alumunium foil, sementara Aan tidur beralas rain cover saja.

Saya sempat terpejam, tetapi tak sampai benar-benar lelap. Mungkin kurang dari lima menit saja. Saya memilih berdiri, menggerak-gerakkan badan agar tidak kedinginan. Tiba-tiba hasrat kencing tak bisa saya tahan. Di antara semak-semak di belakang pos, saya membuang hajat.

“Permisi, Mbah Branti…”

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Tidur siang di Pos 1 Mbah Branti/Rifqy Faiza Rahman

Sepertiga Awal Perjalanan

Tipikal kontur jalur selepas Pos 1 Mbah Branti masih mirip dengan fase sebelumnya. Jalan setapak tanah yang licin kalau musim hujan. Vegetasi hutan mulai rapat, tetapi agak terbuka. Di beberapa titik kami melewati trek yang berbentuk seperti anak tangga, meliuk di tengah-tengah cerukan tanah setinggi dada orang dewasa. 

Dalam rentang jarak 680 meter menuju Pos 2 Brakseng, sesekali kami istirahat sejenak. Terutama setelah melewati tanjakan yang agak terjal atau panjang, untuk meredakan degup jantung yang memburu. Kami berusaha membuat ritme pendakian senyaman mungkin. Tidak terlalu santai, tetapi juga tidak tergesa-gesa. Alat navigasi (GPS) yang saya bawa membantu kami mengukur diri. Kapan harus berhenti, kapan harus berjalan. Ingatan saya pada pendakian 2019 lalu sedikit membantu gambaran seberapa jauh lagi pos berikutnya akan terlihat.

Pos 2 Brakseng (1.914 mdpl) kami gapai persis satu jam berjalan. Suasana begitu tenteram nyaris tanpa polusi suara, kecuali oleh kami sendiri. Satu-satunya penghasil “keributan” di tengah hutan dengan celoteh, umpatan, atau nyanyian sumbang yang menyaingi kicau burung jalak dan kerabat-kerabatnya.

Jika melihat ada hal yang berubah atau berbeda dibanding pendakian saya sebelumnya, itu adalah keberadaan tempat sesaji dari kayu dan “hilangnya” kain kuning yang menyelimuti satu-satunya pohon besar berakar bak cacing di sini. Gubuk atau “brak”-nya masih bertahan dengan atap dan dinding seng. Bentuknya seperti yang ada di Pos 1 Mbah Branti. Hanya saja pos ini lebih luas walau bukan tempat yang pas untuk berkemah.

Target camp kami adalah Pos 3 Cemoro Dowo. Tempat kami bergantung pada sumber airnya untuk memasak, minum, mencuci piring, dan berwudu. Masih ada 685 meter dan elevasi 280 meter vertikal yang harus kami lalui untuk memungkasi sepertiga awal perjalanan hari ini. Dua jarum arloji menunjukkan waktu pukul 15.55. Perkiraan saya, butuh setidaknya 1,5 jam untuk mencapai Cemoro Dowo.

Kondisi jalur belum banyak berubah. Hanya saja lebih banyak tanjakan. Hutan semakin rapat. Tanaman semak, tanah dan batu berlumut menghiasi jalur. Beberapa tempat tampak lembap dan basah saking rapatnya naungan.

Ketika melewati sebuah trek datar yang melipir tepi bukit, kami bisa melihat pemandangan kembali terbuka. Kami rasakan kehangatan sejenak dari pancaran matahari di tengah suhu udara Lawu yang mulai menurun. Cukup untuk mengurangi rasa dingin yang juga timbul dari cucuran keringat.

Tak jauh dari situ, dua pilihan jalur terhampar di depan mata. Kanan menanjak tajam, kiri lebih memutar. Emma, Emma, yang memimpin perjalanan, meminta pendapat.

“Yang mana ini? Kanan atau kiri?”

Bebas, kata saya. Keduanya akan bertemu di satu jalur. Dia pun memilih jalur kanan. Sebuah tanjakan terjal berselimut debu tanpa ada pegangan untuk melangkah.

Langit sore perlahan beralih wajah. Sang rawi pelan-pelan undur diri di balik cakrawala. Meski betis makin panas dan napas memburu, kami harus bergegas karena sebenarnya Pos 3 sudah dekat. Saya memastikan itu berdasar GPS di genggaman tangan. Sampai akhirnya tepat sebelum hari benar-benar menggelap, sekitar pukul 17.25, kami melihat sebuah gubuk di sisi kiri dan pipa sumber air di tengah-tengah jalur. Pertanda sahih bahwa kami telah berada di Pos 3 Cemoro Dowo (2.194 mdpl). 

“Kita bangun tenda dulu, baru ambil air,” pinta saya. Emma dan kawan-kawan pergi agak ke atas, memilih tempat yang datar untuk dua tenda kami. Lokasinya sangat dekat dengan warung dan toilet yang dikelola warga.

Kami berbagi tugas mendirikan tenda, mengambil air, dan menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Sebisa mungkin kami bisa istirahat lebih awal. Mengisi ulang tenaga yang akan kami pacu lebih keras besok pagi. Menu nasi, tumis pakcoy dan sosis, tempe goreng, sertasecangkir kopi sepertinya lebih dari cukup untuk mengantar kami berkelana alam mimpi.

  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

(Bersambung)


Referensi:

1Purwanto, H., Titasari, C. P., dan Sumerata, I. W. (2017). Candi Kethek: Karakter dan Latar Belakang Agama. Forum Arkeologi Kemendikbud RI, 30 (2). ISSN 0854-3232.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/feed/ 0 39749
Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/#respond Wed, 06 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39739 Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali...

The post Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali memilih Candi Cetho untuk mendaki ke Gunung Lawu. Jalur ketiga yang saya lalui setelah lintas Cemoro Sewu—Cemoro Kandang pada Oktober 2013. Cetho adalah sebuah dusun tertinggi di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, sekaligus jalur terpanjang menuju Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu.

Kala itu hari-hari basah masih mendominasi hingga akhir triwulan pertama, khususnya di sekitar Gunung Lawu. Walau sejatinya tidak sampai menciutkan niat kami, sembilan orang dari lintas daerah, curah hujan tinggi bisa saja meruntuhkan fisik dan mental. Sebuah potensi gejolak alam yang sudah kami sadari. Hampir tak ada ekspektasi sekecil apa pun tentang puncak. Sejauh mana kami mampu melangkah, sejauh itu batas yang kami miliki.

Sampai akhirnya kami benar-benar tunduk pada waktu. Hujan merontokkan tekad sejak di atas Pos 3 Cemoro Dowo sampai Pos 4 Penggik. Air hujan mengalir di jalur yang berubah menjadi sungai. Tanah berlumpur dan licin. Petang kian surut, gerimis belum berhenti. Sementara pikiran, pandangan, hati, dan kaki sudah tidak sejalan. Kami benar-benar payah setelah hampir 10 jam berjalan. Beberapa teman menggigil. Gupakan Menjangan, target berkemah hari itu, tak kunjung kami gapai. Bulak Peperangan yang hanya beberapa puluh meter saja di depan tidak sanggup kami rengkuh. Di sabana terbuka selepas hutan cemara gunung, kami lepas ransel dan memutuskan mendirikan tenda di situ.

Di pikiran kami waktu itu, sudah tergambar tentang rencana keesokan harinya. Yang jelas, target puncak sudah tercoret dari daftar kunjungan. Kami hanya ingin hari esok lekas datang dan pulang dalam keadaan sehat. Dan di pikiran saya, suatu saat harus mengulang kembali perjalanan ke Lawu lewat jalur ini.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Jalan terjal ke Dusun Cetho. Kendaraan harus benar-benar prima saat melalui jalan menuju Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Pertanda Baik

Empat tahun berselang, saya kembali menyapa dusun di ketinggian 1.384 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dari standar dua hari satu malam, saya memutuskan perjalanan remedial ini dengan menambah sehari semalam, dengan dua target titik camp di Pos 3 Cemoro Dowo dan Gupakan Menjangan. Pendakian menjadi lebih santai karena tidak berkejaran dengan waktu.

Empat rekan lain dalam tim belum pernah sama sekali mendaki lewat jalur ini. Sementara pengalaman terjauh saya pada 2019 lalu terdampar di sabana sebelum Bulak Peperangan. Hari itu (26/05/2023) hanya dua rombongan yang mendaki. Selain kami, ada satu grup besar anak-anak remaja di belakang kami dalam jarak yang cukup jauh.

Sebelum berangkat ke Cetho, saya berkomunikasi intensif dengan Mas Danang Eko Priyono. Dia adalah pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu dan rental perlengkapan outdoor OAOE di Cetho. Tahun 2019, saya menggunakan jasanya untuk jemput dan antar kami dari Stasiun Solo Balapan ke basecamp dan sebaliknya.

Melalui Whatsapp, saya memesan dan menyewa tiga peralatan, yaitu tenda dome berkapasitas empat orang, sebuah kompor portabel, dan headlamp (lampu kepala). Di rumah, saya hanya punya satu tenda berkapasitas dua orang. Rencananya tenda sewaan tersebut akan saya tempati bersama Aan dan Fadly, kawan dari Jogja. Adapun tenda milik saya akan ditempati Emma—adik ipar saya—dan Evelyne, rekan asal Purbalingga, yang pernah mendaki bareng ke Argopuro 2022 lalu. 

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Danang sedang mengecek perlengkapan yang kami sewa/Rifqy Faiza Rahman

Danang, sapaan akrabnya, siang itu sibuk sekali. Pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu, sebuah tempat istirahat pendaki yang bertempat di rumah keluarganya, sedang menyiapkan sejumlah perlengkapan pendakian. 

“Ada tamu, Mas? Naik sekarang?” saya coba memastikan.

“Besok, Mas, tapi nggak ke Lawu,” jawabnya.

“Loh, ke mana?”

“Sumbing sama Prau, Mas.” Tamunya serombongan dari Malaysia. Katanya, tamu langganan.

Ketika tiba sekitar pukul 10.00, basecamp yang kami singgahi kosong melompong.  Lokasinya dekat sekali dengan gerbang wisata Candi Cetho. Halaman depan bisa memuat parkir dua mobil. Pintu basecamp depan terbuka lebar. Kami masuk dan meletakkan tas di atas tikar-tikar sederhana yang biasa dipakai untuk sekadar duduk atau rebahan. Kami manfaatkan waktu mengemas ulang barang bawaan. Meskipun di dalam, posisi dusun yang sudah cukup tinggi membuat lantai rumah terasa menusuk kulit.

Usai packing, saya menemui Paul di teras basecamp. Seorang pendaki. Seorang pendaki senior dan berpengalaman dari Jakarta. Ia baru selesai mandi setelah turun gunung. Kami sempat mengobrol sebentar. Saya bertanya seputar kondisi jalur dan cuaca terkini padanya.

“Cuaca aman, Pak, di atas?”

Perfect! Pemandangannya bagus,” sahutnya mengacungkan jempol. Kami mengobrol dan berbagi pengalaman di gunung lain. Salah satu gunung yang ia ingin ulang adalah Argopuro. Paul tertarik dengan cerita saya mendaki di kawasan suaka margasatwa Dataran Tinggi Iyang tersebut selama tujuh hari enam malam.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Ruang utama basecamp milik Danang/Rifqy Faiza Rahman

Secara keseluruhan, berdasarkan informasi yang saya himpun dari Danang dan Paul, jalur dari Candi Cetho sekilas tidak banyak berubah. Ketersediaan sumber air satu-satunya di Pos 3 Cemoro Dowo juga aman. Cemoro Dowo adalah target camp di hari pertama ini, sekaligus tempat mengisi ulang bekal air untuk pendakian hari kedua. Info lainnya, terdapat warung milik warga dan fasilitas toilet sederhana di Pos 3.

Informasi itu menjadi bekal data berharga bagi kami. Saya makin yakin bahwa program pendakian santai selama tiga hari dua malam adalah rencana yang realistis untuk perjalanan kali ini. Kami tidak perlu ngoyo seperti pengalaman saya dahulu, yang terlalu memaksakan diri tancap gas ke Gupakan Menjangan dalam satu hari. Setiap orang memiliki ketahanan fisik yang berbeda, sehingga perlu jalan tengah untuk menahan ego masing-masing dan perjalanan pun menjadi nyaman.

Persiapan Akhir

Kami sepakat akan memulai pendakian setelah saya, Aan, dan Fadly salat Jumat di masjid dusun. Salat Jumat biasanya dimulai sekitar pukul 12.00 tepat. Saya melihat arloji, masih ada waktu 45 menit untuk menyempatkan makan siang sebentar.

Saat itu belum banyak warung yang buka dan memiliki menu lengkap. Warung yang ada di halaman basecamp Danang pun tidak beroperasi. Si pemilik warung malah menyarankan kami untuk beli makan di warung seberang.. 

Sesuai arahannya, kami bergegas ke warung yang ditunjuk ibu itu. Tidak ada nama khusus yang melekat di warung sederhana itu. Selain menu, salah satu yang mencolok adalah tulisan dari cat “24 jam” di muka dan samping warung. Saya melihat beberapa orang yang sedang makan. Rata-rata pengunjung Candi Cetho, baik yang sekadar berwisata maupun bersembahyang.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Warung makan (kanan) di seberang basecamp Danang. Tampak gapura wisata Candi Cetho di ujung jalan menanjak/Rifqy Faiza Rahman

Hanya satu orang yang menjaga warung beratap seng itu. Seorang bapak paruh baya yang memakai jaket. Ia menyilakan kami duduk di ruang kosong dekat dapur dan posisinya lebih rendah dari tempat lesehan di depan. Untuk mengisi tenaga, kami memesan nasi goreng telur dan minuman hangat. Khusus yang laki-laki, kami makan lebih cepat karena harus segera ke masjid. Terdengar azan pertama sudah berkumandang.

Bapak warung memberitahu lokasi masjid. Lewat jendela di samping warung, ia menunjuk ke arah bawah. Sedikit terlihat kubah kecil masjid dengan corong suara di bagian menara. Ketika saya cek di peta, jaraknya sekitar 300 meter dengan kontur jalan kampung menurun. Ini berarti saat kembali ke basecamp kami harus mendaki dengan jarak yang sama. Lumayan buat pemanasan, pikir saya.

Khutbah Jumat cukup singkat dan jemaah yang hadir sekitar 5-6 saf. Yang menarik adalah adanya makanan ringan yang disediakan takmir setelah salat Jumat. Sebuah jajanan pasar yang manis dan saya sampai mengambil dua kali.

Setibanya di basecamp, kami melakukan persiapan akhir. Kami mengecek ulang perlengkapan dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Beberapa barang bawaan yang tidak dibawa saya masukkan ke mobil yang terparkir di halaman bawah basecamp. Saya pamit ke Mas Danang di kios rentalnya.

“Mas, kami naik dulu, ya. Titip mobil.”

“Oke, Mas. Hati-hati di jalan.”

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Memulai langkah pendakian ke Gunung Lawu dari Dusun Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Tepat pukul 13.00 kami berjalan meninggalkan basecamp. Rutenya naik sedikit di atas basecamp lalu belok kiri menyusuri gang di bawah Ceto Coffee sampai menemui perempatan kecil. Dari persimpangan itu, kami belok kanan dan menaiki anak tangga hingga ke pos perizinan pendakian. Jaraknya hanya 100 meter atau lima menit jalan kaki.

Kabut dan mega yang sempat menyelimuti Ceto perlahan terkuak. Sinar matahari menembus celah-celah pohon. Sebuah awal yang baik untuk pendakian hari pertama. Selanjutnya tergantung pada langkah kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/feed/ 0 39739
Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/ https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/#respond Fri, 14 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35310 Langit sore kota Solo tampak mendung ketika saya bersama teman saya yang bernama Nanda tiba di stasiun Solo Balapan yang menjadi titik kumpul dari kegiatan Consina Responsible Tracker 2021 (Selasa, 26/10/2021). Cerita ini terjadi hampir...

The post Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit sore kota Solo tampak mendung ketika saya bersama teman saya yang bernama Nanda tiba di stasiun Solo Balapan yang menjadi titik kumpul dari kegiatan Consina Responsible Tracker 2021 (Selasa, 26/10/2021). Cerita ini terjadi hampir setahun lalu, tepatnya saat mendaki ke Gunung Lawu Oktober 2021. Meski telah berlalu, namun kurang rasanya jika saya tidak menuliskannya menjadi sebuah cerita.

Berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya yang hanya bersama teman-teman dekat, pendakian kali ini terasa istimewa karena menjadi pengalaman pertama bagi saya untuk mengikuti ajang pendakian bersama yang dihadiri oleh para pendaki dari berbagai wilayah. Ketika pertama kali saya mendapat informasi pendakian ini melalui akun media sosial, tanpa berpikir panjang saya langsung menghubungi kontak tertera dan mendaftar untuk turut berpartisipasi. Sembari mengajak juga salah satu kawan agar saya ada teman perjalanan dari Yogyakarta.

Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, para pendaki yang tergabung dalam kegiatan pendakian bersama bertajuk Consina Responsible Tracker Gunung Lawu 2021 melaksanakan pendakian di Gunung Merbabu via Candi Ceto, Karanganyar, Jawa Tengah. Kegiatan ini diinisiasi dan difasilitasi oleh Consina, salah satu brand kegiatan outdoor di Indonesia. Stasiun Solo Balapan dipilih sebagai meeting poin karena letaknya yang cukup strategis dan mempunyai akses langsung ke Basecamp Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar.

Malam pun hadir beriringan dengan hujan yang sangat deras hingga memaksa rombongan pendaki dan tim pelaksana untuk segera bergeser meninggalkan Kota Solo menuju basecamp. Perjalanan dari Kota Solo menuju Basecamp Candi Cetho di Karanganyar memakan waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat. 

Gunung Lawu Candi Ceto
Gerbang Candi Ceto/Ammar Mahir Hilmi

Setibanya di basecamp pada malam hari sebelum memulai pendakian, para rombongan pendaki bersama panitia pelaksana dari pihak Consina melakukan briefing terlebih dahulu demi kelancaran dan kesuksesan agenda acara keesokan harinya. Selepas briefing, beberapa rombongan lanjut bercengkerama agar saling mengenal satu sama lain. Namun ada pula beberapa rombongan yang memilih untuk langsung beristirahat dan mempersiapkan tenaga untuk memulai pendakian esok hari.

Di pagi hari waktu pendakian (Rabu, 27/10/2021), sehabis sarapan, briefing terakhir, dan doa bersama, rombongan memulai pendakian tepat pada pukul 08.00 WIB. Cuaca cerah dan sejuk ala pegunungan menemani pendakian kami yang keseluruhan rombongan berjumlah 25 orang. Waktu pendakian yang bertepatan dengan musim peralihan dari penghujan ke kemarau membuat jalur masih sedikit becek. Namun kondisi seperti ini masih cukup bersahabat bagi kami jika dibandingkan kondisi trek berdebu yang sangat mengganggu pernafasan.

Hujan sempat mengguyur deras ketika rombongan telah berada di Pos 3 yang terdapat mata air. Perundingan sempat berlangsung antara peserta dengan panitia penyelenggara terkait kelanjutan perjalanan apakah akan tetap mendirikan tenda di Pos 5 atau cukup di Pos 3 demi keselamatan bersama. Beruntung tidak lama kemudian hujan perlahan mereda dan perjalanan dapat dilanjutkan. Perlahan kabut datang menggantikan air hujan yang menandakan hari telah sore dan akan segera berganti malam. Otomatis langkah harus dipercepat agar rombongan tiba di camp area sebelum malam.

  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto

Sempat dibuat khawatir akan kemalaman tiba di camp area, ternyata rombongan kami berhasil tiba di Pos 5 Bulak Peperangan sesaat sebelum malam tiba. Tampak di camp area tidak terlalu banyak tenda yang berdiri. Selain tenda-tenda dari rombongan pendakian kami dan porter, hanya ada 3 tenda lain yang didirikan di pos ini. 

Dinamakan Bulak Peperangan karena konon di lokasi inilah pernah terjadi perang pada zaman Majapahit. Kesaksian dari cerita para pendaki yang mendirikan tenda di pos ini, tidak sedikit yang pernah mendengar suara iring-iringan pada malam hari bahkan ada juga yang pernah mendengar keriuhan suara perang di pos ini. Percaya atau tidak, itu semua kembali ke kepercayaan masing-masing.

Setelah mendirikan tenda dan makan bersama, tanpa banyak basa basi, beberapa anggota rombongan memilih untuk langsung beristirahat untuk selanjutnya melanjutkan perjalan keesokan harinya.

Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB pagi (Kamis, 28/10/2021) ketika rombongan memulai summit attack melanjutkan perjalan dari camp area menuju puncak Gunung Lawu. Memang sudah terlambat jika ingin mengejar sunrise, tapi bukan itu tujuan dari pendakian ini dilaksanakan. Mengingat setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, maka rombongan pendakian juga telah merencanakan untuk melakukan upacara bendera dan pembacaan teks sumpah pemuda di puncak nantinya.

Cuaca pagi ini sangat cerah, jauh lebih baik dari cuaca kemarin yang sempat hujan dan lebih banyak berkabut. Kita pun dapat menikmati keindahan sabana Gunung Lawu di sepanjang perjalanan dari Pos 5 hingga puncak. Di Pulau Jawa, gunung dengan hamparan sabana yang cantik salah satunya bisa kita temukan di Gunung Lawu ini. Bila beruntung, kita bahkan dapat melihat langsung gerombolan rusa yang minum di area Gupak Menjangan, tidak jauh dari Pos 5 tempat rombongan mendirikan tenda.

  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto

Setelah sempat beristirahat dan mengganjal perut di warung legendaris Mbok Yem, warung legendaris yang dinobatkan sebagai warung tertinggi di Indonesia, rombongan pun kembali melanjutkan pendakian menuju puncak yang tinggal sedikit lagi dari lokasi warung Mbok Yem. Meski matahari telah meninggi dan waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi, cuaca masih sangat cerah ketika kami telah tiba di Hargo Dumilah, puncak Gunung Lawu di ketinggian 3265 mdpl.

Kami cukup beruntung ketika sampai di puncak. Selain cuaca cerah yang membuat kita dapat menikmati 360 derajat pemandangan Gunung Lawu, waktu pendakian weekday juga membuat situasi puncak tidak terlalu ramai sehingga kita dapat leluasa mengabadikan momen tanpa harus mengantre dan berebutan plakat.

Kembali ke agenda awal tadi, dikarenakan hari ini bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, rombongan pun melaksanakan upacara di puncak dengan mengibarkan bendera Merah Putih sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu dilanjutkan dengan pembacaan Sumpah Pemuda. 

Suasana khidmat tentu tidak bisa dihindari. Berhasil mencapai puncak lalu kemudian menyanyikan lagu kebangsaan di hari besar nasional jelas merupakan momen yang langka. Menjadi suatu kenangan tersendiri bagi kami semua yang terlibat di dalamnya.

Gunung Lawu Candi Ceto
Puncak Gunung Lawu/Ammar Mahir Hilmi

Sumpah Pemuda dan Tanggung Jawab Sosial Kaum Muda

Sehabis mendokumentasikan acara seremonial peringatan Hari Sumpah Pemuda, rombongan akhirnya turun dan kembali ke tenda masing-masing di Pos 5 untuk bersiap-siap pulang. Tapi rangkaian acara tidak berhenti sampai di sini saja. 

Rombongan tidak langsung turun ketika semua tenda telah dibongkar dan mengemasi barang-barang. Masih dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, rombongan pendaki yang kesemuanya adalah kaum muda melanjutkan kegiatan dengan bersih-bersih gunung. Rombongan memunguti sampah-sampah anorganik yang ditinggalkan pendaki lain di sekitaran Pos 5, lalu membawanya turun. Sesuai dengan nama kegiatannya yaitu Consina Responsible Tracker yang secara bahasa berarti pendaki yang bertanggung jawab.

Kita sepakat bahwa bukan pendakian namanya jika tidak berkesan. Maka kesan yang didapatkan dari pendakian gunung kali ini yaitu tentang tanggung jawab sosial pemuda. Kilas balik sejarah perjuangan bangsa ini yang banyak dimotori oleh golongan muda, maka sudah seharusnya golongan muda saat ini senantiasa merefleksikan perjuangan tersebut dalam konteks masa kini. Tidak harus dalam skala besar, memulainya dari hal-hal kecil seperti memunguti sampah di gunung adalah salah bukti nyatanya.

Begitupun dengan solidaritas yang ditunjukkan selama pendakian berlangsung. Saling bantu ketika melewati jalur dan tidak saling meninggalkan rombongan menjadi catatan penting yang harus diterapkan di setiap pendakiannya. Apresiasi tinggi juga pantas ditujukan kepada panitia penyelenggara yang selama kegiatan berlangsung tiada henti saling berkoordinasi dan benar-benar bertanggung jawab penuh atas keselamatan semua peserta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/feed/ 0 35310
Menyusuri Tlogodringo, Dusun di Ujung Timur Karanganyar https://telusuri.id/menyusuri-tlogodringo-dusun-di-ujung-timur-karanganyar-bersama-pmpa-gopala-valentara-fh-uns/ https://telusuri.id/menyusuri-tlogodringo-dusun-di-ujung-timur-karanganyar-bersama-pmpa-gopala-valentara-fh-uns/#respond Sun, 12 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29055 Pagi buta aku bersama rekan-rekan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Gopala Valentara Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta sudah mempersiapkan diri menuju Dusun Tlogodringo. Sebuah dusun wisata di kaki Gunung Lawu yang secara...

The post Menyusuri Tlogodringo, Dusun di Ujung Timur Karanganyar appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi buta aku bersama rekan-rekan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Gopala Valentara Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta sudah mempersiapkan diri menuju Dusun Tlogodringo. Sebuah dusun wisata di kaki Gunung Lawu yang secara administratif berada di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Selepas semua hal telah dipersiapkan, kami segera bergegas menuju dusun di ujung timur Kabupaten Karanganyar itu dari kampus kami tercinta, UNS.

Dengan perjalanan yang tak kurang dari satu jam, akhirnya kami sampai di dusun yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Magetan, Jawa Timur tersebut. Setibanya di Dusun Tlogodringo kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju hutan rimba yang mampu kami tinggali selama satu malam. Namun sebelum menuju lokasi utama, kami perlu melewati sela-sela tanah perkebunan yang sengaja tidak ditanami oleh para petani atau yang biasa disebut ”galengan” oleh masyarakat Jawa. ‘

Permukiman di Tlogodringo

Keramahtamahan dan senyum hangat warga lokal tak jarang kami jumpai di tengah-tengah perjalanan. Sembari menghirup udara segar dan menikmati dinginnya pegunungan sekitar menjadi kenikmatan tersendiri bagi kami. Tak lama berjalan rupanya hujan turun mengguyur kami semua dan mengharuskan kami untuk berhenti sejenak sembari mempelajari ilmu-ilmu kepecintaalaman. Kami belajar mengenai bagaimana melihat arah kompas dengan baik serta membidik objek dengan kompas yang tepat. Setelah istirahat dirasa cukup kami kembali melanjutkan perjalanan dengan membuka jalur yang telah tertutup semak belukar.

Dengan melihat arah kompas kami berjalan beriringan, namun kali ini kami harus ekstra hati-hati karena jalanan yang licin diguyur hujan. Perjalanan tidak begitu terasa hingga waktu adzan dzuhur telah tiba yang mengharuskan kami untuk beristirahat. Mengambil air wudhu dari aliran air sungai yang turun dari pegunungan Lawu sebelum melaksanakan salat menjadi kenangan tersendiri karena air tersebut sangatlah menyegarkan. Setelah shalat tidak lupa kami menikmati bekal yang kami bawa sebagai asupan energi lantaran perjalanan masih jauh lagi. 

Di sela-sela istirahat kami kembali belajar mengenai ilmu kepecintaalaman, untuk kali ini kami diajarkan mengenai bagaimana menangani rekan sependakian yang membutuhkan pertolongan pertama. Sedikit banyak aku secara pribadi dapat mengetahui bagaimana cara search and rescue korban yang mengalami kecelakaan di hutan. Selain itu kami diingatkan kembali mengenai makanan apa saja yang bisa kami konsumsi dari hutan apabila kondisi benar-benar mendesak untuk survival

Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan agar sampai ke tujuan  utama dengan tidak terlalu malam. Di tengah perjalanan aku sedikit memetik tumbuhan yang dapat dimakan seperti pucuk paku, bunga rasamala serta dedaunan lain yang dapat kami konsumsi. Perjalanan rupanya sudah cukup lama sehingga rasa lelah dan letih yang hinggap membuatku merasa ingin berhenti dan istirahat sejenak. Tetapi kami belum sampai juga di tujuan utama sehingga aku harus melawan ego agar segera sampai. 

Jalanan terus menanjak sehingga kami harus mendaki dengan kehati-hatian yang tinggi karena jalan yang masih licin dan begitu terjal. Tanjakan demi tanjakan kami lalui dengan rasa kewaspadaan karena tak jarang ada jurang yang curam di sisi jalur yang kami lalui. Hampir sampai di lokasi yang tepat untuk kami bermalam, kami bertemu dengan kijang yang berada di penangkaran. Kijang yang dilindungi dan dipelihara oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar di Hutan Konservasi di Dusun Tlogodringo ini menarik perhatianku. Tetapi aku hanya bisa melihatnya lantaran tidak boleh bagi kami atau para pendaki lain mengganggu kijang yang dibesarkan dengan perlindungan ekstra itu.

Hutan di Perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur

Sembari menikmati panorama alam serta topografi yang indah aku mengucap syukur dalam batin karena telah mendapat kesempatan menyusuri dusun di batas Jawa Tengah-Jawa Timur ini. Kicauan burung yang banyak berterbangan di atas kami pun menambah decak kagumku atas kuasa Tuhan. Setelah beberapa lama rupanya langkah kaki kami perlu berhenti lantaran telah sampai di tujuan utama kami. Di bawah pepohonan di balik Bukit Sidoramping serta Bukit Mongkrang. Carrier yang kami gendong akhirnya terlepas juga dari balik punggung kami.

Namun baru saja sampai hujan kembali turun sehingga membangun tenda di tengah guyuran air hujan mau tidak mau dilakukan. Dinginnya udara Pegunungan Lawu ditambah hujan yang membasahi tubuh kami semakin menambah kenikmatan kami yang semakin lama berpisah dengan sinar mentari. Tidak heran jika banyak dari kami yang perempuan saling bergenggaman tangan bahkan berpelukan agar rendahnya suhu tidak menjadikan penghalang kami untuk menikmati malam kali ini.

Malam pun akhirnya kami jumpai serta tenda juga telah berdiri yang menandakan kami dapat beristirahat untuk malam ini. Akan tetapi karena basahnya tubuh serta kuyupnya baju kami perlu mengganti baju dengan yang tersimpan di dalam carrier. Setelah kami berganti pakaian rupanya hujan kini hanya rintik-rintik sehingga kami dapat menyeduh kopi. Dengan kompor gas portable, air kami panaskan dan kopi siap dinikmati sembari menikmati dinginnya udara malam yang seakan menusuk diri. 

Setelah kopi terseduh rupanya kami merasa lapar yang kemudian kami merebus mie instan yang sengaja kami bawa untuk bekal makan malam. Perut yang sudah terisi dan kami kembali ke tenda masing-masing lantaran saat petang belum juga shalat Magrib. Sehingga di waktu Isya kami jamaklah shalat kami di dalam tenda. Setelah shalat kami sesama mahasiswa pecinta alam ini bercengkrama di balik malam yang akhirnya kantuk pun datang menghampiri. Rasa kantuk yang tidak dapat kami tepis dan rasa lelah seharian berjalan akhirnya mengajak kami untuk tidur malam.

Hingga sekitar pukul 05.00 WIB kami terbangun untuk melaksanakan shalat Subuh yang juga kami laksanakan di dalam tenda. Sempitnya tenda tidak mengurangi kekhusyukan kami dalam beribadah, justru kenikmatan pagi di sekitar Gunung Lawu menambah rasa syukur pada Tuhan Sang Pencipta Alam. Cahaya matahari yang perlahan memberi kehangatan pada kami yang semalaman kedinginan menambah kesan yang mengharukan. Hingga tak terasa perut kami kembali keroncongan yang membuat kami sesegera mungkin memasak sayur mayur dan bahan makanan yang telah kami persiapkan.

Menanak nasi, mengupas dan memotong sayur sudah menjadi pekerjaan kami di pagi itu tidak mengenal entah lelaki atau perempuan. Akan tetapi, rupanya persediaan air kami semakin lama semakin menipis yang mengharuskan bagi kami mengambil air di sendang. Air sendang yang mengalir dari Pegunungan Lawu di pagi hari terasa sangat menyegarkan. Sehingga tidak jarang dari kami sekadar mencuci muka dengan air yang gembrojog langsung dari grojogan Pegunungan Lawu itu. Karena ketenangan suasana di sekitar gunung itu sendang di kawasan Tlogodringo sering digunakan tapa brata oleh para warga lokal untuk kembali mengingat keagungan Tuhan dengan budaya dan tradisi yang masih melekat.

Beras yang telah menjadi nasi, lauk yang sudah jadi, serta sayur yang telah matang rupanya siap bertempur di lambung kami. Makan bersama-sama dengan sayur dan lauk yang serba ada di tengah hutan menjadi keindahan yang rasanya tidak ada duanya. Tak lupa juga ada puding yang siap mencuci mulut dan menutup hidangan kami di pagi hari. Tak ingin kalah, kopi pagi juga siap menemani kami menghirup udara segar yang terbebas dari hiruk pikuk kota.

Setelah makanan telah kami konsumsi dan energi kami telah pulih kembali, kami bersiap melanjutkan aktivitas kami untuk belajar lagi mengenai ilmu kepencintaalaman. Baju kami segera kami ganti dengan pakaian perjalanan kami gunakan di hari kemarin. Setelah berganti pakaian kami bergegas membersihkan area hutan yang semalam kami gunakan. Agenda kami selanjutnya belajar lagi dengan kompas bidik. Namun kali ini, kami membidik dua bukit yang berada di belakang kami yaitu Bukit Sidoramping dan Bukit Mongkrang. Kami membidik keduanya untuk mengetahui letak dan posisi kami dengan peta yang sudah di tangan kami masing-masing.

Semua aktivitas telah kami lalui di Tlogodringo, membuat kami mesti meninggalkan dusun dengan pesona yang luar biasa indahnya ini. Tenda yang telah dirapikan serta perbekalan kami kemarin yang telah kami bereskan juga sampah yang harus segera kami kumpulkan dan bersihkan kembali. Setelah semua area dirasa telah bersih dan tidak ada perbekalan yang tertinggal kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Menjaga kebersihan memang sudah menjadi kewajiban agar nikmat Tuhan ini tidak hanya dapat dinikmati untuk saat ini.

Puncak Lawu dari amatan Dusun Tlogodringo/Rosla Tinika Sari

Berjalan kaki di bawah hangatnya sang surya semakin menambah semangat kami, khususnya bagi diriku sendiri. Sembari mengamati puncak Lawu yang dengan gagahnya seolah menyapa kami yang segera meninggalkan lokasi perkemahan. Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu kami temui kembali perkebunan warga yang telah ditanami berbagai sayur mayur seperti bawang merah, bawang putih, wortel, kubis hingga umbi-umbian serta masih banyak lagi. Perkebunan yang menandakan kami telah keluar dari area hutan.

Di hari yang menjelang siang kami menunggu transportasi yang kemarin kami gunakan. Sembari menunggu kami menikmati udara Dusun Tlogodringo dengan permukiman warga seolah tumpang tindih di area pegunungan. Setelah kendaraan yang kami tunggu tiba kami meninggalkan Kabupaten Karanganyar dan kembali ke Kampus UNS yang sudah kami anggap menjadi rumah kedua bagi kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Tlogodringo, Dusun di Ujung Timur Karanganyar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-tlogodringo-dusun-di-ujung-timur-karanganyar-bersama-pmpa-gopala-valentara-fh-uns/feed/ 0 29055
Mendaki Gunung Lawu dari Jalur Candi Cetho https://telusuri.id/gunung-lawu-via-candi-cetho/ https://telusuri.id/gunung-lawu-via-candi-cetho/#respond Thu, 10 Dec 2020 07:45:40 +0000 https://telusuri.id/?p=25814 Stasiun Bengawan. Aku terbangun setelah tertidur cukup nyaman di dalam kereta Bengawan yang sepi. Kala itu pukul 14.30, aku melangkahkan kaki keluar gerbong, memanggul keril berukuran 45L lengkap dengan perabotan lenong didalamnya. Ada banyak langkah...

The post Mendaki Gunung Lawu dari Jalur Candi Cetho appeared first on TelusuRI.

]]>
Stasiun Bengawan. Aku terbangun setelah tertidur cukup nyaman di dalam kereta Bengawan yang sepi. Kala itu pukul 14.30, aku melangkahkan kaki keluar gerbong, memanggul keril berukuran 45L lengkap dengan perabotan lenong didalamnya.

Ada banyak langkah kaki yang bergerak di peron stasiun ini, namun hanya 3 pasang kaki yang kukenal langkahnya, yaitu Doger, Colay, dan Nopol. Ya, kuberi nama samaran saja pada cerita kali ini. Di stasiun ini pun aku mengenal salah satu pendaki yang mungkin akan menjadi karakter utama dalam perjalanan ini, Sigit namanya.

Kami langsung dijemput Mas Asep ketika keluar dari stasiun, ia adalah kerabat Doger. Ia bersedia mengantar jemput kami ke basecamp Candi Cetho sebagai salah satu jalur pendakian Gunung Lawu. Sebelum menuju basecamp, kami berenam mengisi perut dulu di salah satu tempat olahan kambing yang terletak di sudut kota Sukoharjo.

Setelah menghabiskan satu piring tongseng beserta nasi, kami melipir ke salah satu warisan leluhur di kota Sukoharjo yang punya nilai sejarah sekaligus ekonomis, Bekonang!

Tempat yang kami tuju adalah Ciu Bekonang, di sini mereka menawarkan berbagai produk minuman baik alkohol maupun non-alkohol. Gedang klutuk menjadi varian rasa yang dipilih oleh Colay dan Doger saat itu. Mereka berdua cukup antusias, sedangkan diriku hanya tertawa ketika mereka bermaksud membawa minuman ini untuk bekal pendakian.

Aku tak banyak berceramah, aku paham mereka pendaki berpengalaman, terlebih di sela-sela mereka memasukkan logistik ini, mereka berujar “sekedar menghangatkan suasana”. Menurutku, ujaran tersebut khas anak muda Sawangan untuk acara yang berkaitan dengan minuman beralkohol.

Perbedaan gaya hidup Sawangan dan Solo menjadi topik utama pembicaraan kami sepanjang perjalanan menuju basecamp Candi Cetho, sebelum akhirnya kami tiba sekitar pukul 20.00. Setelah melepas Mas Asep di parkiran, kami langsung menuju basecamp serta re-packing untuk pendakian esok pagi. Tepat pukul 23.00 kami semua terlelap.

Pintu pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho/M. Husein

Mendaki Gunung Lawu

Dingin membangunkanku pagi itu, meski begitu aku memutuskan bergegas mandi. Buatku, ini salah satu bentuk aklimatisasi dengan suhu udara di sini. Sebelum menyentuh air, aku jongkok dan berimajinasi terlebih dulu. Membayangkan perjalanan akan menyenangkan! Usai sarapan, kami memulai perjalanan mendaki Lawu. Pendakian benar-benar kami mulai pukul 09.00 setelah beres mengurus simaksi, briefing, dan doa bersama.

Kepada Nopol, Doger, Colay, dan Sigit, kuutarakan tentang gaya pendakianku yang tepat waktu. Hal ini bukan tanpa alasan, cedera tendon achilles lima tahun silam memaksaku untuk tak lagi bisa berlama-lama di trek pendakian. Sebabnya, jika melakukan kegiatan luar ruangan khususnya pendakian lebih dari tujuh jam, kaki kiri akan terasa nyeri. Kuceritakan kisah ini kepada mereka supaya mereka dilema sih, dilema harus mengutamakan keselamatan diri atau kepercayaan teman.

Candi Kethek/M. Husein

Bicara ritme pendakian

Tiba di Candi Kethek, aku memperingati diri sendiri bahwasannya pendakian akan berjalan tidak lancar. Bang Sigit yang baru kami temui di stasiun, beridealis tentang perjalanan menikmati trek, tentu berbeda 180 derajat dengan ritme pendakianku. Di titik ini aku masih menahan emosi, sebab rasanya tak pantas mengajari pendaki lain perihal ritme pendakian.

Kalau kita bicara ritme pendakian, Gunung Lawu menjadi salah satu gunung yang sangat detail kuperhatikan manajemen pendakiannya, mulai dari logistik hingga isi keril anggotaku. Ya, kawan ku dari Sawangan sepakat untuk menyerahkan urusan pembagian beban kepada diriku. Dengan durasi perjalanan 3 hari 2 malam, kami meminimalisir beban hingga seringan mungkin mengingat trek Cetho yang terkenal panjang.

Namun semua rencana nampaknya sia-sia tatkala Bang Sigit bergabung. Perbedaan ritme pendakian semakin terpampang nyata, padahal hanya mencapai Pos II waktu itu. Aku dan Nopol tak terasa sudah berjalan cukup jauh, sedangkan yang lain masih di belakang. Terlihat diriku egois, memang. Tapi bukan berarti akan kutinggalkan teman-temanku. Kami memutuskan menunggu mereka di Pos II sembari melinting tembakau yang kubawa dari Sawangan. Kalau dihitung-hitung, tepat pada lintingan ke-16, ketiga teman pendakianku baru terlihat.

Gupak Menjangan/M. Husein

Gupak Menjangan/M. Husein

Tak ingin kehilangan momen pendakian, aku dan Nopol tancap gas menuju Pos III. Tepat pukul 12.00 siang kami sampai di satu-satunya pos bermata air di trek Candi Cetho ini. Ku isi air, dan ku lanjutkan membakar lintingan sembari beristirahat. Di pos ini, aku memberikan sinyal kepada diri sendiri bahwa waktu yang mulai molor, mengingat 2 pos terdepan adalah yang paling curam di trek ini. Kalau aku memiliki limit 7 jam, maka tersisa 4 jam lagi untuk sampai di Pos V, Gupak Menjangan sebagai tempat mendirikan tenda.

Setelah anggota lengkap dan istirahat yang cukup, pukul 13.00 kami melangkahkan kaki kembali. Di momen ini aku tak lagi bisa menahan kegusaran hati, aku memberikan pengarahan ulang bagaimana pendakian ini akan dilanjutkan. Ya agak lucu memang, sebuah pendakian dengan tim lima orang masih dibagi lagi menjadi dua tim.

Aku dan Nopol di depan, dan tiga lainnya di belakang. Kami menerapkan sistem “temu-pisah”. Kami mengulang sistem ini hingga sampai di Gupak Menjangan. Molor di waktu tentunya, namun satu yang pasti. Dengan begini, batas waktu kakiku mungkin akan terlewat, meski begitu aku bisa beristirahat lebih panjang sembari menunggu tiga orang lain di belakang.

Gupak Menjangan dengan garis oranye ku dekati. Pukul 17.00 diriku sampai terlebih dahulu dan langsung bergegas mendirikan tenda. Mendirikan tenda saat gelap adalah salah satu hal yang aku hindari selama mendaki. Selain keterbatasan cahaya yang membatasi mobilitas, waktu istirahat pun berkurang. Tepat pukul 18.30 semua sudah rapi dan lengkap, acara santap malam kami lancarkan dengan singkat. Tak butuh waktu lama kami semua pun terlelap. Kami berencana menuju hargo dumilah pukul 03.00 dini hari.

Pendakian Lawu via Candi Cetho/M. Husein

Perjalanan menuju puncak Gunung Lawu/M. Husein

Menuju Puncak Gunung Lawu

Waktu menunjukkan pukul 02.00 ketika kami berempat menyantap sereal. Bang Sigit, tidak ikut summit kali ini. Setelah berkemas serta menyesap damar wangi dalam lintingan, kami bergegas memantapkan headlamp. Kebetulan malam itu cuaca cerah karena bintang terlihat megah, namun tidak dengan anginnya yang cukup kuat menggoyang frame tenda tenda kami. Tak patah arang, kami tetap lanjut melangkahkan kaki menuju Hargo Dumilah.

Hanya terlihat rumput kering saat sorot cahaya headlamp menuntun kami, tak terasa memasuki kawasan hutan. Lawu memang terkenal dengan mistisnya, namun aku cukup bersyukur kala itu, tubuh dan pikiran dalam kondisi prima walaupun mungkin banyak hal tak kasat mata mengganggu. Kami berempat berusaha mencairkan suasana supaya dan menekan hawa yang tak mengenakan tersebut. Tak lama, kami tiba di “kantin gunung” Hargo Dalem. Bangunan dengan lampu-lampu ini membalikkan mood pendakian yang mulai runyam sedari tadi.

Kami melanjutkan pendakian, trek yang mulai menanjak dan berbatu mengiring langkah. Kami banyak diam, selain karena berbagi nafas, tapi juga karena angin yang tak kunjung reda. Sekitar pukul 04.30, terdengar suara “tang, tang, tang..” dari tiang bendera yang tertiup angin, jadi pertanda angin kalau angin di puncak sangat kencang. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Menyalakan kompor dan menyeduh liong sembari menunggu cahaya matahari bersinar.

Garis oranye mulai terlihat dari kejauhan, lautan awan tentunya tak mau kalah menunjukkan kemegahannya. Kami langsung membereskan kompor dan menuju puncak. Kami di puncak tidak lama, hanya Sekitar 30 menit saja. Harus diakui bahwa aku sudah tidak lagi kuat menahan angin di titik ini. Kami langsung turun menuju Hargo Dalem.

Sarapan pecel di tempat Mbok Yem

Pecel Mbok Yem sudah ku bidik sejak dari Sawangan. Namun sebelum sampai di Mbok Yem, kami baru tersadar bahwasannya matahari terbit saat kami turun dari puncak. Hal ini cukup menggelikan, mengingat kami selalu bertemu sunrise saat menuju maupun sampai puncak, namun kali ini kami justru bertemu saat perjalanan turun.

Mengiis perut di Gupak Menjangan/M. Husein

Usai berswafoto kami bergegas menuju Mbok Yem, menemui Adit, monyet yang menjadi penjaga pintu warung si Mbok. Setelahnya, kami kembali ke tenda. Aku berjalan cepat karena rasanya perutku sudah mulai berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, dua temanku juga berjalan cepat karena mereka tak sabar mencicipi bekal kesayangan kami. Waktunya, bekonang!

Banyak pelajaran pada pendakian kali ini, entah tentang manajemen emosi serta ritme pendakian. Diriku yang selalu menjadi time keeper dalam pendakian tak pernah menyangka akan mengalami kemunduran rencana yang lumayan lama. Namun bukan berarti diriku mendiskreditkan Bang Sigit lho.

Meski kami berbeda dalam ritme pendakian, namun kami satu pandangan dalam memaknai pendakian di era ini, bagaimana pandangannya terhadap tujuan orang orang mendaki maupun permasalahan di dalamnya.

Eh kok di akhir cerita ini rasanya aku begitu dekat dengan Bang Sigit?

Karena ada satu hal, yang tidak diceritakan di tulisan ini. Sebenarnya, aku dan dia berbagi matras yang sama dan eksklusif di dalam tenda 2p bawaannya sehingga percakapan kami tentunya lebih intens kala malam semakin larut.

The post Mendaki Gunung Lawu dari Jalur Candi Cetho appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-lawu-via-candi-cetho/feed/ 0 25814