gunung merapi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-merapi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 26 Jun 2025 17:40:01 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung merapi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-merapi/ 32 32 135956295 Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/ https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/#respond Thu, 26 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47548 Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk...

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk tempe, kedua orang tua saya tampak biasa-biasa saja. Tidak lama, ketika ibu akan membayar, tiba-tiba bapak merencanakan pergi ke lereng timur Gunung Merapi.

“Ayo jalan-jalan, ke Merapi sisi Klaten,” begitu ajakan bapak menggunakan bahasa Jawa. Kakak awalnya bingung, mau ke mana tepatnya. Ternyata bapak berinisiatif menikmati pemandangan alam Gunung Merapi dari Dukuh Girpasang, Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten. Setelah selesai membayar dan membungkus teh panas untuk perjalanan, kami pun segera beranjak ke Girpasang. 

Perjalanan kami tempuh sekitar sejam perjalanan dengan mobil. Menyusuri jalan provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, keluar di perempatan Pasar Ngupit ke arah barat melalui Jalan Jatinom –Boyolali menuju Dukuh Deles. Letak Girpasang di sisi utara Deles. Jalan ini juga yang menjadi jalan utama menuju Girpasang. 

Hanya saja, kami harus ekstra waspada karena berpapasan dengan truk pasir dari pertambangan pasir Kali Woro. Sepanjang jalan desa yang kami lalui, naungan pohon di tepi perkebunan setia menyambut dan menyegarkan mata. Meski begitu, sinyal internet yang kami gunakan membaca peta sering terputus saking lebatnya pepohonan. Kami pantang mundur dengan bertanya warga, jalan mana yang harus ditempuh hingga akhirnya kami tiba di Girpasang.

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Jembatan merah Girpasang yang tampak seperti Golden Gate bergaya art deco di Kota San Francisco/Ibnu Rustamadji

Jembatan Merah, Pintu Masuk Dukuh Girpasang

Sesampainya di gapura Dukuh Girpasang, tampak dua orang warga dengan ramah memberikan izin masuk dukuh dan menunjukkan jalan yang harus kami lalui. Geliat warung warga menjajakan sayur dan buah hasil panen dan lalu-lalang warganya sendiri turut memberikan estetika kehidupan Girpasang. Awalnya kami bingung letak dukuh ini, karena melalui peta digital ada di tengah aliran pertemuan dua sungai. 

Ternyata benar, Girpasang ada di atas bukit dan di tengah aliran pertemuan dua sungai: Woro dan Gendol. Saat sedang asyik mengabadikan panorama sekitar, tiba-tiba mata lensa membidik sesuatu dari kejauhan yang tampak seperti anak tangga menuju ke bawah bukit di sisi timur Girpasang. 

Dugaan saya, itulah jalan setapak asli penghubung Dukuh Girpasang dan Desa Tegalmulyo, yang dibenarkan salah satu warga yang kebetulan melintas dari perkebunan. Sejauh pengalaman hidupnya sebagai anak kampung setempat, ia sudah khatam melalui jalan tersebut. Ia menambahkan, jauh sebelum jembatan merah Girpasang dibangun, warga harus melalui ratusan anak tangga tanpa pengaman, naik turun bukit dan sungai jika akan keluar dukuh. 

Tidak ada jalan lain selain itu, ungkapnya. Jika mereka pulangnya terlalu malam, sudah biasa mereka bermalam di kediaman salah satu warga Tegalmulyo. Keduanya sudah saling mengenal dan memaklumi keadaan yang ada. Beberapa warga memiliki kendaraan bermotor kala itu, yang dititipkan di warga Tegalmulyo, lalu lanjut jalan kaki untuk kembali ke rumah. Begitu seterusnya.

Kiri: Gerbang masuk Dukuh Girpasang dan jalan beton sebagai akses satu-satunya di kampung. Kanan: Bentang alam di sekitar Girpasang dan tampak garis jalan setapak asli yang dulunya jadi jalan satu-satunya untuk mobilitas masyarakat Girpasang/Ibnu Rustamadji

Ia mengisahkan, ketika Gunung Merapi erupsi besar tahun 2010, kondisi Desa Tegalmulyo cukup mencekam. Tanpa aliran listrik, semalam warga menyaksikan erupsi besar dengan lahar pijar keluar dari kawah. Sebagian besar warga diungsikan ke pusat Kabupaten Klaten. Pemuda desa banyak yang menetap, menjaga lingkungan dan mengevakuasi warga Girpasang yang terisolasi.

Mencekam, panik, harus naik turun bukit Girpasang dibarengi lahar pijar yang tidak mereda, sudah ia alami. Apabila tidak memungkinkan evakuasi seluruh warga, maka hanya bisa menunggu waktu dan keadaan. Mereka harus susah payah melalui anak tangga sempit tanpa penerangan dan pengaman, menuruni sungai dan mendaki bukit.

Meski begitu, warga tidak menyalahkan alam dan aktivitas Gunung Merapi. Malahan mereka sampai saat ini lebih memilih menetap di Girpasang, hidup berdampingan dengan gunung berapi yang setiap saat bisa kembali erupsi. Mereka berprinsip jogo titahing leluhur nengendi sangkan paranning dumadi, yang artinya menjaga amanat leluhur turun-temurun, di manapun berada, suatu saat akan berhasil. Tak ayal, hanya beberapa warga yang masih setia hidup di Girpasang hingga saat ini.  

Begitu jembatan selesai dibangun, warga tidak lagi harus melalui anak tangga curam. Puas mengobrol, kami segera menyeberangi jembatan menuju Dukuh Girpasang. Sisi kanan sepanjang jembatan merupakan aliran sungai dan lembah, sisi kiri perbukitan puncak Gunung Merapi. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mbah Padmo duduk santai sambil meracik rokok lintingan/Ibnu Rustamadji

Menjaga Amanat Leluhur, Hidup Berdampingan dengan Alam

Sugeng Rawuh ing Kampung Girpasang, begitu isi inskripsi gapura masuk Dukuh Girpasang. Uniknya, dukuh ini hanya memiliki satu jalan setapak yang terhubung dengan masing-masing rumah. Jika dihitung, jumlah rumah dari gapura hingga ujung barat dukuh tidak lebih dari 10 rumah. Saat asyik memotret, tiba-tiba muncul pria paruh baya dengan ramah menyilakan saya mengabadikan semuanya. 

Ia bernama Mbah Padmo, sesepuh dukuh, yang dengan senang hati bercerita pengalaman hidupnya tinggal di Girpasang. Menurutnya, munculnya Dukuh Girpasang tidak bisa dilepaskan dari jejak leluhur mereka, yakni Ki Trunosono, yang membuka alas (hutan) Girpasang pertama kali. Kediaman awal Ki Trunosono ada di dekat Goa Jepang di lembah kapuhan (hutan), di barat dukuh.

Mbah Padmo menambahkan, kala itu terjadi hujan deras yang menyebabkan tanah di sekitar kediaman Ki Trunosono longsor. Akibatnya, tanaman talas terbawa aliran hingga berhenti di Dukuh Girpasang saat ini, sedangkan longsoran tanah lain terbawa hingga Sungai Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana IX, raja Keraton Surakarta selaku pemegang wilayah Klaten kala itu, lantas memberikan titah Ki Trunosono untuk tinggal dan membuka alas di lereng timur Merapi yang di sekitarnya ada temuan tanaman talas. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Rumah Mbah Padmo yang terletak di depan pendopo Dukuh Girpasang/Ibnu Rustamadji

Kondisi tanaman talas yang ditemukan masih utuh, begitu pun tanah di sekitarnya, meski lainnya hancur akibat longsor. Begitu hujan dan longsor mereda, Ki Trunosono dan istri memutuskan untuk tinggal di sekitarnya yang tidak terdampak longsor. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada catatan resmi kapan Ki Trunosono mulai menetap di Girpasang. Girpasang berasal dari kata “gligir” dan “sepasang”. Gligir artinya bukit yang diimpit dua aliran sungai, sedangkan sepasang merujuk keberadaan dua aliran sungai di bawah dukuh. 

Mbah Padmo mengungkapkan keinginannya menetap di Girpasang hingga akhir hayat untuk memenuhi titah leluhur. Alasannya, menjaga amanat leluhurnya, omahe pinggire jurang, papane sempit suk bakale rejo. Artinya, rumah di tepi sungai, wilayahnya sempit, suatu saat akan ramai. Ia menambahkan, mayoritas warga yang tinggal di sini adalah anak turun Ki Trunosono, sehingga mereka bersaudara satu sama lain. 

Keputusan unik bersama mereka adalah apabila salah seorang anak menikah, mereka harus hidup di luar Girpasang. Mereka kembali pada waktu-waktu tertentu, seperti upacara adat, atau hari raya untuk bersilaturahmi dengan orang tua. Selain itu, mereka juga melarang orang luar yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan salah satu warga, untuk mendirikan hunian di wilayah Dukuh Girpasang. 

Tak ayal, populasi Dukuh Girpasang hanya ada 30 orang di sekitar 10 rumah. Pekerjaan mayoritas warga adalah petani dan peternak. Sebab, kondisi geografis sejak dahulu adalah perkebunan, sehingga warga menggantungkan nasib atas hasil panen. Setiap tahun mereka juga menggelar upacara sedekah bumi yang telah beregenerasi.

Warga Girpasang layaknya warga desa umumnya. Hanya saja, mereka memiliki adat istiadat yang sedikit berbeda. Meski begitu, mereka tidak sungkan dengan kedatangan orang luar wilayah. Malah mereka mempersilakan berkunjung dan menikmati kehidupan sederhana mereka sebagai warga lereng tertinggi Gunung Merapi.  

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mendaki jalan setapak berupa ratusan anak tangga untuk kembali menuju Desa Tegalmulyo/Ibnu Rustamadji

Pulang Menapaki Ratusan Anak Tangga 

Sejam berlalu, kami lantas berpamitan dan beranjak turun menuju Desa Tegalmulyo. Namun, kami memilih jalan setapak asli Dukuh Girpasang yang harus naik turun bukit dan sungai. Butuh waktu sekitar 1,5 jam perjalanan. 

Sudah bisa saya bayangkan betapa susahnya setiap hari melalui jalan setapak ini. Sepanjang perjalanan kami berhenti sepuluh kali, salah satunya di sumur sumber mata air yang ada di bawah sungai. Sampai di sumur, rasa lelah terbayar dengan sunyinya suasana dan segarnya air langsung dari sumbernya. 

Namun, kami tidak terlalu lama di sana dan segera kembali menaiki anak tangga. Sepanjang jalan, hanya kesunyian dan tanaman bambu setia menemani kami. Seraya berjalan, saya sempat memberikan kode dengan tepukan tangan dari bawah sungai kepada warga yang melintas di atas jembatan merah. Beberapa di antaranya merespons dengan tepukan tangan juga.

Matahari mulai tampak temaram dan suhu dingin mulai menusuk tulang. Kami lekas mempercepat langkah ke anak tangga tertinggi hingga akhirnya tiba di lembah Desa Tegalmulyo. Jalan setapak yang kami lalui sudah lama ditutup semenjak dibangunnya jembatan merah Girpasang, yang hanya diperuntukkan pejalan kaki dan sepeda. Ini demi menjaga keamanan dan mempermudah mobilitas warga setempat maupun saudara yang berkunjung. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan selama menjelajahi Dusun Girpasang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/feed/ 0 47548
Menyusuri Jejak Amuk Merapi https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/ https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/#respond Thu, 10 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46602 Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru...

The post Menyusuri Jejak Amuk Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Erupsi 2010 disebut-sebut adalah yang paling dahsyat dalam 100 tahun..

Setelah malapetaka tersebut, tahun 2014 ditawarkan wisata petualangan menggunakan mobil jip ke area terdekat Gunung Merapi yang terdampak erupsi. Namanya Lava Tour Merapi. Pada awal Juni 2024 lalu, saya dan istri mengunjunginya.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Jip-jip parkir di halaman basecamp penyedia jasa Lava Tour Merapi, Sleman/Fandy Hutari

Telusur Bekas Erupsi

Banyak komunitas yang menawarkan jasa petualangan ini di sekitar Jalan Mbah Maridjan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kami memilih salah satunya. Ada tiga paket yang mereka tawarkan, yakni paket panjang dengan durasi tiga jam, berbiaya Rp600.000. Pengunjung yang memilih paket ini bakal diajak ke Bungker Kaliadem, The Lost World Park, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip.

Lalu paket menengah dengan durasi dua jam, berbiaya Rp500.000. Tempat-tempat yang ditawarkan antara lain Bungker Kaliadem, Petilasan Mbah Maridjan, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip. Terakhir paket pendek dengan durasi 1,5 jam, berbiaya Rp400.000. Tempat-tempat yang dikunjungi seperti paket menengah, tetapi tanpa off-road air.

Kami memilih paket pendek saja. Sebab, saya hanya penasaran dengan Petilasan Mbah Maridjan dan Museum Erupsi Merapi.

Jip-jip terbuka terparkir di halaman luas salah satu komunitas trip Merapi, sewaktu kami tiba dari penginapan di seberang Stasiun Yogyakarta. Gunung Merapi sudah terlihat saat kami dalam perjalanan menuju lokasi jip.

Perkampungan yang beberapa rumahnya sudah kosong, kebun-kebun warga, dan jalan penuh bebatuan mengawali petualangan kami dengan jip. Kami melewati jalanan penuh bebatuan dan pasir, mirip sungai yang sudah kering. Menurut pemandu, yang juga sopir jip, area yang kami lewati itu dahulu titik aliran lahar Gunung Merapi. Guncangan-guncangan kecil tentu saja terjadi, tetapi itulah yang membuat seru.

Dari titik ini, jika beruntung tak tertutup awan, pengunjung bisa melihat puncak Gunung Merapi sangat dekat. Sayang sekali, saat kami ke sana, awan sudah tebal menghalangi pandangan ke puncak itu.

Puas mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan ke Petilasan Mbah Maridjan. Menurut pemandu, yang saya lupa namanya, jarak dari petilasan ke puncak Gunung Merapi sudah dekat, hanya sekitar lima kilometer.

Kemudian jip membawa kami ke Bungker Kaliadem yang punya cerita miris. Terakhir, ke Museum Erupsi Merapi dan kembali ke titik jip tadi berangkat, saat siang mulai datang.

  • Menyusuri Jejak Amuk Merapi
  • Menyusuri Jejak Amuk Merapi

Ada Kisah di Balik Tempat

Petilasan—atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan bekas peninggalan—Mbah Maridjan menyimpan banyak cerita amuk Gunung Merapi pada 2010 lalu. Mbah Maridjan adalah kuncen Merapi. Sosok ini cukup terkenal karena keberanian dan kebijaksanaannya. Ketenarannya bahkan sampai mengantarkannya ke industri hiburan, menjadi bintang iklan minuman berenergi.

Mbah Maridjan mulai menjadi juru kunci Gunung Merapi pada 1982, setelah ditunjuk Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Tugasnya adalah merawat situs dan menjalankan upacara adat di lereng Merapi. Juru kunci Merapi dipercaya menjadi sosok sentral yang memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan keselamatan lewat pendekatan kultural dan supranatural. Dia memiliki nama lain Raden Ngabehi Surakso Hargo. Saat awan panas erupsi turun dari puncak Merapi tanggal 26 Oktober 2010, Mbah Maridjan menolak dievakuasi.

Dalam wawancaranya dengan Andy F. Noya dalam acara Kick Andy episode “Menonton dengan Hati”, Sultan Hamengkubuwana X pernah ditanya soal Mbah Maridjan yang menolak dievakuasi saat letusan Merapi tahun 2006. Sultan mengatakan, tak pernah memerintahkan Mbah Maridjan agar turun gunung dan mengungsi karena hal itu tidak mungkin dilakukan Mbah Maridjan.

“Sebab, kalau Mbah Maridjan sampai mengungsi, ibarat di dunia militer, itu berarti dia sudah desersi. Saya sangat memahami, buat dia keputusan untuk tetap tinggal di sana (lereng Gunung Merapi) hingga mati lebih berharga daripada mengungsi,” ujar Sri Sultan.

Wawancara tersebut ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta pada awal November 2007. Namun, dalam erupsi 2010, Mbah Maridjan meninggal dunia.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Mobil evakuasi yang seyogianya akan membawa Mbah Maridjan turun dari lereng Gunung Merapi/Fandy Hutari

Menurut penuturan wartawan Regina Safitri yang meliput langsung kejadian itu, Mbah Maridjan meninggal pada 26 Oktober 2010 dalam posisi sujud. Kepastian wafatnya diperoleh dari RSUP Dr Sardjito, 27 Oktober 2010 pagi. Jika Merapi mengeluarkan awan panas, kata dia, Mbah Maridjan langsung mengambil posisi sujud.

“Saya tidak tahu alasan ia sujud jika Gunung Merapi mengeluarkan awan panas, mungkin karena kedekatan beliau dengan Merapi. Mbah Maridjan sangat erat hubungannya dengan Merapi, ia sangat menghormati Merapi, ia bahkan tidak suka awan panas disebut wedhus gembel,” kata Regina.

Ada 37 orang warga Dusun Kinahrejo, Sleman—kampung sekitar rumah Mbah Maridjan, yang kini jadi petilasan—yang meninggal dunia karena letusan Gunung Merapi tahun 2010. Ditambah seorang relawan dan seorang wartawan. Nama-nama mereka terpampang di batu marmer Petilasan Mbah Maridjan.

Sisa amuk Merapi masih bisa kita lihat dari hancurnya barang-barang, yang masih terdapat sisa abu vulkanik. Ada perabot rumah tangga, kursi dan meja, sepeda, sepeda motor, gamelan milik Mbah Maridjan, dan satu unit mobil relawan yang menjadi saksi bisu peristiwa itu. Foto-foto peristiwa letusan tertempel di dinding.

Tempat Mbah Maridjan meninggal dengan posisi sujud ditandai dengan petilasan berbentuk mirip makam dan ada foto besar di belakangnya. Petilasan itu dilindungi di bangunan mirip pendopo.

Menurut pemandu, Mbah Maridjan teguh memegang kewajibannya “menjaga” Merapi sehingga dia menolak untuk mengungsi. Sebelum meninggal, kata pemandu, Mbah Maridjan sempat berkata, “Kehormatan seseorang itu dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajibannya.”

Dari Petilasan Mbah Maridjan, jip yang kami tumpangi bergerak menuju Bungker Kaliadem. Tak seperti namanya, “adem”, bungker ini pernah diguyur lava. Kami menuruni anak tangga menuju dalam bungker. Ada tiga ruangan di sini, yakni kamar mandi, gudang, dan ruang tengah yang besar. Di tengahnya ada batu besar, yang katanya sisa lava yang sudah menjadi batu. Jika jari kita ditempelkan ke dinding dalam bungker, bakal ada bekas abu vulkanik yang masih melekat.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Para pengunjung keluar dari Bungker Kaliadem/Fandy Hutari

Menurut penuturan pemandu, saat erupsi Gunung Merapi 2006, ada dua orang yang berlindung di dalam bungker. Namun, mereka tewas di sana karena suhu yang sangat tinggi hingga 200 derajat Celsius. Bungker ini dibangun pada 2001. Fungsi awalnya memang sebagai tempat berlindung warga. Namun, karena peristiwa letusan tahun 2006, bungker ini tidak lagi digunakan.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Museum Erupsi Merapi. Kami melewati tanah-tanah kosong yang sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan, rumah-rumah warga yang hancur karena dampak erupsi, dan sebuah sekolah yang sudah tak lagi berpenghuni.

Museum kecil yang awalnya sebuah rumah ini, punya nama asli Omahku Memoriku Merapi. Didirikan pada 2013, museum ini menjadi saksi bisu dahsyatnya amuk Merapi 2010. Di halaman depan, ada dua kerangka sapi yang masih utuh. Masuk ke dalam, ada gamelan dan lukisan wayang milik sebuah sanggar, serta dua unit sepeda motor.

Lebih ke dalam lagi, di ruang tengah, ada kursi dan meja tamu. Di atas meja, ada rangka kelinci yang dilindungi kaca. “Warga di sini, selain beternak sapi, ada juga yang beternak kelinci,” kata pemandu kami.

Dari kiri ke kanan: Bagian belakang Omahku Memoriku Merapi dipenuhi perabot rumah tangga dan galeri foto di dinding, dua unit sepeda motor yang menjadi saksi bisu ganasnya erupsi, dan jam yang menunjukkan waktu erupsi Merapi 5 November 2010/Fandy Hutari

Di bawahnya, ada toples-toples yang menyimpan abu erupsi. Di dinding, terpacak foto-foto letusan Gunung Merapi dari beragam tahun. Ada juga jam dinding besar yang sudah meleleh, bertuliskan “THE MOMENT TIME OF ERUPTION 5 NOV 2010.” Jam itu menunjukkan waktu saat erupsi terjadi pada tanggal tersebut.

Di bagian belakang, ada tabung-tabung gas 3 kilogram. “Dulu sebelum erupsi (Merapi 2010), seminggu sebelumnya itu, ada penyuluhan tabung gas. Jadi, warga dibagikan gas-gas,” tutur pemandu. Di bagian atasnya, ada foto-foto hewan ternak yang terkena awan panas, tetapi masih hidup dan diselamatkan relawan. Ada juga perabot rumah tangga, seperti panci, gentong, gelas, piring, dan ember yang semuanya sudah meleleh. Fosil batu-batu besar sisa erupsi juga dipajang.

Sebelum jip mengantar kami turun, ada warung oleh-oleh persis di depan museum. Kami memesan secangkir kopi khas Merapi sebagai penutup perjalanan kali ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Jejak Amuk Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/feed/ 0 46602
Museum Pertama di Boyolali (2) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/#respond Wed, 02 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46514 Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi...

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi pemimpin Lembaga Orthopedi dan Prothese. Sempat pula ia menjadi penggerak berdirinya Yayasan Koperasi Harapan. Atas usahanya yang ulet, daerah aktivitasnya pun semakin luas.

Dua tahun setelahnya, yakni 1957, ia mendirikan sheltered workshop penyandang disabilitas prothese di Surakarta. Di situ tidak hanya membuat alat-alat saja, tetapi juga menampung para kaum difabel, yang nantinya mereka diberi kesempatan bekerja dan melatih diri sesuai kemampuan masing-masing. Upaya tersebut menunjukkan Prof. Dr. Soeharso telah berbuat baik bagi psikologi mereka, sehingga mereka akan merasa masih berguna dan layak untuk hidup. Pada tahun 1962, Prof. Dr. Soeharso juga merintis pendirian Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC)1. Sesuai dengan namanya, yayasan itu digunakan untuk mendidik dan memberi latihan olahraga bagi para individu difabel agar badannya sehat.

Tidak berhenti di situ, tahun 1967 didirikan juga Yayasan Balai Penampungan Penderita Paraplegia di Surakarta. Hampir bersamaan, pada tahun 1968 didirikan pula Dana Skoliosis Resser di Surakarta yang diketuai Prof. Dr. Soeharso. Selain aktif di bidang kesehatan, Prof. Dr. Soeharso juga aktif di bidang kebudayaan dan kesenian Jawa2.

Begitulah beberapa andil perjuangan Prof. Dr. Soeharso yang sangat berguna bagi masyarakat. Tentu masih banyak lagi jasa lainnya yang belum saya sebutkan di sini.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Abdul Rochim berjalan di antara galeri arsip foto untuk turun dari lantai dua ke lantai satu/Danang Nugroho

Diorama Kebudayaan Boyolali

Selanjutnya diorama budaya yang ada di Boyolali juga ditampilkan. Misalnya, tradisi ngalap berkah apem kukus keong mas di Pengging, Banyudono, dan tradisi sedekah gunung di Lencoh, Selo.

Selain itu, ada juga cagar budaya yang ada di daerah saya, Cepogo, yang belum lama dibuatkan dioramanya di museum, yakni Candi Lawang, Candi Sari, dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Cagar budaya lainnya adalah Loji Papak di Juwangi dan Umbul Pengging di Banyudono.

Di samping itu, tak hanya diorama, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain yang ditampilkan di lantai satu, seperti foto-foto bupati Boyolali dari masa R. Hamong Wardoyo dan seterusnya. Ada juga arsip foto sejarah Presiden Sukarno dan Soeharto yang pernah datang ke Boyolali, koleksi batuan klasik pindahan dari Rumah Arca di Taman Sono Kridanggo—yang digusur menjadi pom bensin—kereta kencana, meriam, keris, beberapa pusaka peninggalan Pakubuwono X, dan masih banyak lagi peninggalan bersejarah lainnya.

Ketika saya dan Abdul Rochim naik ke lantai dua, kami melewati lorong berbentuk spiral untuk mencapainya. Di sini tersaji arsip foto-foto bersejarah di Boyolali pada tembok lorong, yang menemani perjalanan pengunjung agar tak bosan sekaligus menambah pengetahuan. Ketika kami mencapai lantai dua yang beratap kaca itu, ternyata ruangan seperti auditorium itu kosong. Setelah itu, kami bergegas turun menemui Mas Pepi untuk mengobrol di bagian registrasi.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sejarah Berdirinya Museum R. Hamong Wardoyo

Atas ide dari bupati ke-23 Boyolali Seno Samodro, tahun 2015 didirikan museum pertama di atas lahan bekas gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boyolali. Operasional pertama pada awal 2016.

“Alasan Pak Seno mendirikan museum itu apa, Mas?” tanya saya.

“Bapak Seno itu punya ide untuk memperkenalkan Boyolali ke masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun [masyarakat] luar Boyolali, bahwa di sini itu ada museum yang bisa memperkenalkan Boyolali,” ujar Mas Pepi.

Banyak yang menyebut bentuk bangunan ini mirip Museum Louvre di Paris. Jadi, sejarahnya, sebelum jadi bupati Pak Seno pernah bekerja menjadi koresponden beberapa media cetak Indonesia di Prancis, seperti Bola, Merdeka, dan GO. Maklum jika bekerja di Prancis, karena ia adalah lulusan Sastra Prancis UGM. Meski menamatkan kuliah selama 7,5 tahun, siapa sangka dialah yang menjadi pelopor berdirinya museum pertama di Boyolali. Ia kembali ke Indonesia tahun 20003.

“Setelah pulang ke Boyolali [Bapak Seno itu] punya angan-angan [kurang lebih], ‘Oh, suk ning Boyolali tak buatkan museum seperti yang ada di Paris, Prancis’, begitu,” ungkap Mas Pepi.

Begitulah alasan mengapa Museum R. Hamong Wardoyo mirip Museum Louvre di Paris, Prancis. Adapun nama R. Hamong Wardoyo diambil dari bupati ke-10 yang memimpin Boyolali pada 1947.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Potret wajah Bupati Boyolali periode 1945-1948 R. Hamong Wardoyo/Danang Nugroho

Rencana Selanjutnya di Lantai dua

Ternyata, lantai dua itu walaupun kosong tetap digunakan untuk kegiatan pertemuan, sarasehan, atau peminjaman tempat dari orang luar. “Mungkin ke depannya kami buatkan bioskop mini,” ungkap Mas Pepi.

Ia juga menambahkan, “Ada rencana mau minta file Joglo Wisata tentang terjadinya proses erupsi Merapi untuk dibawa ke sini. Ada juga rencana film tentang asal usul Boyolali,” tambahnya.

“Di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Boyolali itu ada film dokumenter tentang Boyolali, Pak. Mungkin bisa dikoordinasikan,” celetuk saya.

Walaupun lantai dua dari atap kaca, tetapi ada rencana pembuatan bioskop mini itu. Tentu harus ada desain pembuatan ruang khusus agar cahaya dari luar yang tembus melalui atap kaca itu tidak masuk ke ruang bioskop mini. Entah nantinya terlaksana atau tidak, tentu hal itu menjadi nilai plus sebagai daya tarik wisatawan.

Selain itu, beberapa orang tentu ada yang memiliki gaya belajar audiovisual. Jika memang rencana itu terealisasi, misal kurang memahami bagian museum di lantai satu, mereka tentu dapat merasakan dampaknya melalui media bioskop mini di lantai dua, sehingga pesan-pesan sejarah, budaya, dan pembelajaran pada benda-benda mati itu bisa tersampaikan kepada para pengunjung.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sarana Pembelajaran Masyarakat dan Bekal Pulang

“Kalau outing class itu giliran, Mas. Sering. Misal minggu ini dari sekolah A, [kemudian] besok sekolah B. Makanya mereka itu kalau berkunjung kirim surat dulu yang isinya akan berkunjung hari apa, tanggal berapa, dan jumlah siswa berapa, gitu,” jawab Mas Pepi menyambung pertanyaan-pertanyaan saya sebelumnya.

Museum ini tentu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat luas. Tidak hanya mereka yang bersekolah saja, tetapi juga bagi semua kalangan, baik di wilayah Boyolali maupun luar Boyolali.

Dari anak sekolah, seringnya yang berkunjung adalah anak-anak PAUD, TK, SD, dan SMP. Kalau anak SMA biasanya ke sini untuk tugas video kelompok atau individu. Bertepatan juga dengan Kurikulum Merdeka yang memiliki P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yaitu program yang ada kegiatan di luar kelasnya. Tentu pada saat guru memilih tema kearifan lokal, para siswa bisa diajak berkunjung ke Museum R. Hamong Wardoyo agar lebih mengenali Boyolali dan sejarahnya.

Mas Pepi mengungkapkan, kalau yang berkunjung itu tidak hanya sekolah di Boyolali saja, melainkan dari luar Boyolali juga, seperti pengunjung umum. Ramainya museum terjadi pada masa liburan atau tanggal merah. Sementara anak sekolah, selain kegiatan outing class tadi, biasa berkunjung sepulang sekolah.

Namun, ada juga ironisnya. “Kalau untuk pengunjung umum harian itu masih sepi. Sampai sehari tidak ada pengunjung itu sering,” kata Mas Pepi.

Saya pun agak heran karena ada hari-hari tanpa kunjungan itu. Kemudian saya tanyakan harapan Mas Pepi dari museum ini. “Harapannya, ya, semoga banyak orang berkunjung ke museum. Intinya, ya, meningkatnya wisatawan yang pergi ke Boyolali, khususnya ke Museum Hamong Wardoyo, [agar] mereka mengenal lebih dalam tentang sejarah atau apa yang ada di Kabupaten Boyolali, yang masyarakat [sekitar dan luar] belum tahu tentang sebagian kecilnya,” pungkasnya.

Saya lantas mengucap terima kasih dan membawa bekal pulang ‘pertanyaan’ dari perkataan Mas Pepi sebelum memungkasi wawancara itu. “Apakah museum ini perlu menjelma bupati ke-10 Boyolali itu sebagai manusia hidup lagi untuk berteriak dikunjungi supaya sehari-harinya tidak sepi?”


  1. Pada nama lembaga bagian ‘Penderita Cacat’ alangkah baiknya diganti cara membaca/pada saat Anda menulis (misal bukan sejarah nama lembaga yang paten) dengan Difabel, Kaum Difabel, Penyandang Disabilitas, atau Kaum Penyandang Disabilitas seperti yang tertulis dalam Arif Maftuhin, “Difabel dan Penyandang Disabilitas”, Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, September 2014, http://pld.uin-suka.ac.id/2014/09/difabel-dan-penyandang-disabilitas.html. ↩︎
  2. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎
  3. Taufiq, “Mengenal Lebih Dekat Seno Samodro: Membuat Boyolali Tersenyum dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Indonesia”, Kagama.co, 5 November, 2018, https://kagama.co/2018/11/05/mengenal-lebih-dekat-seno-samodro-membuat-boyolali-tersenyum-dengan-pertumbuhan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia/3/. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/feed/ 0 46514
Museum Pertama di Boyolali (1) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/#respond Tue, 01 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46513 Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi? Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan...

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi?

Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan sebutan Kota Susu, Boyolali kini tampak lebih maju. Salah satu kemajuan itu terlihat dari berdirinya museum pertama bernama Museum R. Hamong Wardoyo.

Cuti bersama Tahun Baru Imlek (28/1/2025) memancing hasrat saya untuk pergi bermain di kota sendiri. Awan kelabu yang terlihat menggumpal di Cepogo, daerah saya yang terletak di lereng Gunung Merapi, tak mengurungkan niat saya untuk mengunjungi Museum R. Hamong Wardoyo.

“Ayo, jadi apa tidak? Tapi mendung cuacanya,” ajak Abdul Rochim, teman saya dalam bahasa Jawa.

“Oke, gas! Santai, bagian kota tampak cerah. Otw (dalam perjalanan ke) rumahmu,” celetuk saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Tampak depan Museum R. Hamong Wardoyo Boyolali/Danang Nugroho

Perjalanan ke Museum

Seperti biasanya, daerah pegunungan memang lebih sering mendung dan hujan, tetapi tidak dengan daerah perkotaan. Sebab, dataran pegunungan lebih tinggi, sehingga saya bisa melihat cuaca di dataran rendah yang lebih cerah. Sinyal hijau cuaca di daerah bawah akhirnya mengantarkan kami bergegas menuju museum.

Kami mengendarai sepeda motor ke museum. Jarak dari Cepogo cuma 12 km, hanya memakan waktu 20 menit perjalanan. Lokasi museum terletak di Jl. Pandanaran No. 19, Tegalmulyo, Siswodipuran, Boyolali, Jawa Tengah. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan masuk ke bangunan yang mirip dengan Museum Louvre di Rive Droite Seine, arondisemen pertama di Paris, Prancis. Museum ini berbentuk segi enam dan atap dari kaca serupa piramida.

Kami mengisi daftar hadir. Tidak ada biaya masuk alias gratis. Tampak beberapa wisatawan yang berkunjung hari ini. Pada saat pengisian itu, saya sempat mengobrol sejenak dengan penjaga museum bernama Farid Purnomo atau akrab disapa Mas Pepi. Kami pun janjian untuk wawancara dengannya setelah mengitari museum.

Di dalam gedung museum, tampak lorong melingkar di lantai satu dan lorong spiral untuk naik ke lantai dua. Kami menelusuri bagian bawah terlebih dahulu.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang mengisi daftar hadir disaksikan Mas Pepi/Danang Nugroho

Cerita Rakyat tentang Asal Usul Nama Boyolali

Awalnya kami disuguhkan sebuah diorama seorang bekas bupati Semarang pada abad XVI, Ki Ageng Pandan Arang atau yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Notoprojo—ada juga yang menyebutnya Sunan Tembayat—yang sedang beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Konon, ia diramalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai wali penutup menggantikan Syekh Siti Jenar. Hal itu berkaitan dengan sejarah nama Boyolali.

Menurut cerita rakyat yang hidup di sini, Ki Ageng Pandan Arang kala itu terkenal dengan wataknya yang suka pada harta dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, berkat dakwah Sunan Kalijaga, ia disadarkan akan sangkan paraning dumadi, sehingga ia dengan tulus ikhlas meninggalkan harta, jabatan, dan kedudukannya di Semarang. Sunan Kalijaga menugaskannya pergi ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten, untuk syiar agama Islam diikuti istri dan anak.

Selama perjalanan sufi tersebut, ia mengalami berbagai rintangan dan ujian. Ia berjalan cukup jauh meninggalkan istri dan anak—yang tertinggal karena tergoda harta dunia dan belum ikhlas untuk meninggalkan. Sambil menunggu anak dan istrinya, Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di atas batu besar yang berada di tengah sungai (sekarang belakang Gedung Sonosudoro Theater). Dalam istirahat dan penantiannya itu, ia berucap, “Boya wis lali wong iki (sudah lupakah orang ini?”. Dari ucapan itu maka jadilah nama ‘Boyolali’. 

Perjalanan sufi Ki Ageng Pandan Arang berlanjut ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten. Ketika sang istri atau Nyi Ageng dan anaknya sampai di batu tersebut dan mengetahui kalau sang suami sudah tidak ada, Nyi Ageng berkata, “Kiai, boya wis lali aku teko ninggal wae.” Kemudian mereka menyusul Ki Ageng Pandan Arang.

Begitulah cerita rakyat singkat yang masih hidup tentang asal usul nama Boyolali. Kabupaten Boyolali berdiri pada 5 Juni 1847, ditandai dengan surya sengkala “Kas Wareng Woh Mojo Tunggal.” Nama Boyolali diambil dari rangkaian kata “Boya” dan “Lali” yang berarti jangan lupa; selanjutnya menjadi semboyan rakyat Boyolali, terutama para pemimpin-pemimpin di sini untuk selalu patuh, taat, penuh rasa tanggung jawab, serta penuh kewaspadaan dalam melaksanakan tugasnya1. “Sungguh, sejarah nama yang menampar diri bagi para pemimpin untuk selalu berkontemplasi,” batin saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang membaca desskripsi diorama Asal Mula Kabupaten Boyolali/Danang Nugroho

Diorama Erupsi Merapi dan Pahlawan Nasional dari Boyolali

Perjalanan kami menelusuri museum berlanjut. Sejajar dengan diorama Ki Ageng Pandan Arang tadi, terdapat diorama-diorama lain yang memperlihatkan tragedi, perjuangan, budaya, dan cagar budaya yang ada di Boyolali. Tentang tragedi, museum menampilkan diorama erupsi Gunung Merapi. Mengapa terdapat diorama tragedi erupsi Gunung Merapi?

Boyolali terletak di lereng gunung Merapi, sehingga ketika erupsi besar terjadi, kami juga terkena dampaknya. Periode 3000—250 tahun yang lalu, Gunung Merapi tercatat mengalami sekitar 33 letusan, dengan letusan terparah pada 4 Agustus 1672. Kemudian abad ke-19 merupakan periode Merapi baru. Waktu itu tercatat 80 kali letusan pada tahun 1768, 1822, 1849, dan 1872. Setelahnya, Merapi mengalami letusan lagi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1998, 2001, 2006, 2010, 20212, dan 2024.

Semasa kecil, saya pernah mengalami letusan hebat saat 2010. Kala itu saya yang berada di Cepogo diguyur abu vulkanik yang begitu tebal, sehingga perlu mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Terdapat sebutan aktivitas vulkanik pada Gunung Merapi yang masih saya ingat hingga kini, yakni wedhus gembel. Penamaan wedhus gembel diartikan sebagai awan panas yang keluar saat erupsi terjadi. Wedhus gembel dalam bahasa Indonesia berarti ‘kambing atau domba berbulu gimbal’, selaras dengan visualisasi awan panas yang keluar bergumpal-gumpal berwarna abu-abu keputihan seperti bulu domba. Hingga kini, Merapi masih aktif mengeluarkan guguran lava dan ditetapkan statusnya menjadi Siaga.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama erupsi Gunung Merapi/Danang Nugroho

Sementara di kaki Gunung Merbabu, lahir seorang anak laki-laki bernama Soeharso pada 13 Mei 1912 di Desa Kembang, Ampel, Boyolali. Anak itu kelak menjadi salah satu pejuang kesehatan dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Perjuangan Prof. dr. R. Soeharso menjadi salah satu diorama yang ditampilkan di museum.

Soeharso memiliki enam saudara. Di keluarganya, Soeharso termasuk anak yang cerdas. Pada masa itu, masih sedikit sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Indonesia masih dalam masa penjajahan dan keculasan kolonial, yang sengaja membuat sebagian besar rakyat Indonesia untuk tetap bodoh agar Belanda tidak kesulitan untuk terus menjajah.

Hanya di kota-kota besar saja ada sekolah. Soeharso harus pergi ke Salatiga untuk menempuh pendidikan dengan jalan kaki. Sebuah keberuntungan ia bisa diterima di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Salatiga. Singkat cerita, selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga sarjana, Soeharso dapat menunjukkan hasil yang memuaskan tanpa pernah tinggal kelas sampai meraih gelar profesor. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, Prof. dr. R. Soeharso mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan bekerja di bidang kesehatan.

Soeharso merupakan perintis dan perencana Rehabilitasi Centrum (RC) di Sala—Solo atau Surakarta sekarang—untuk menampung penyandang disabilitas akibat perang. Pada 1945 Soeharso mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Surakarta dan menjadi pemimpin gerak cepat di garis depan Ambarawa dan Mranggen. Sekitar tahun 1945–1946, banyak pemuda yang kehilangan anggota tubuhnya dan menjadi penyandang disabilitas. Pada waktu itu, Soeharso dan Soeroto Reksopranoto sebagai tenaga teknik dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Jebres Surakarta mulai melakukan percobaan dalam menghasilkan tangan dan kaki tiruan.

Saat terjadi Agresi Militer Belanda I dan II (1947–1949), Soeharso memimpin pasukan gerak cepat PMI Cabang Surakarta. Tugasnya makin berat, karena ia juga menjadi dokter Palang Merah di Sukoharjo. Selama beberapa tahun tiada henti Soeharso berjuang untuk mengobati penyandang disabilitas. Karena jumlah penyandang bertambah, akhirnya didirikan rumah sakit darurat yang terletak di belakang RSUP Jebres.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama perjuangan Prof. dr. R. Soeharso/Danang Nugroho

Sesudah tanggal 28 Agustus 1951, Rehabilitasi Centrum untuk pertama kalinya diperkenalkan ke masyarakat umum. Kemudian pada tahun 1953, Soeharso berhasil pula mendirikan Rehabilitasi Centrum (Rumah Sakit Ortopedi) di Surakarta hingga mendapat perhatian dari dunia internasional atas usahanya dalam bidang kesehatan.

Di bawah dukungannya, 10 cabang Yayasan Anak-anak Penyandang Disabilitas dapat didirikan. Masih di Surakarta, Soeharso juga mendirikan Sheltered Workshop Foundation dr. Soeharso3. Usahanya untuk memelihara dan merawat anak-anak penyandang disabilitas belum usai, tetapi masih ada kelanjutan kegiatan lainnya.

(Bersambung)


  1. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Boyolali, “Laporan Akhir Identifikasi dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Boyolali Tahun 2020”, BI-SMART Boyolali, https://bi-smart.boyolali.go.id/uploads/riset/2020/rekomendasi_riset/a2730bfd0663f7ae4ed145c6b974f102.pdf. ↩︎
  2. Fathur Rachman, “Riwayat Letusan Gunung Merapi, Paling Parah Tahun 1930”, Tempo.co, 30 November, 2022, https://www.tempo.co/politik/riwayat-letusan-gunung-merapi-paling-parah-tahun-1930-244552. ↩︎
  3. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/feed/ 0 46513
Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/ https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/#comments Thu, 20 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46355 “Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.” Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak...

The post Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.”

Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak kenal lelah untuk ngalor-ngidul, ke sana kemari, tetapi dikejar skripsi rasanya ngos-ngosan. Segala ajakan saya terima untuk berusaha menyeimbangkan diri dengan skripsi itu, salah satunya tracking di Kalitalang.

Selasa (12/2/2025) seorang rekan membawa saya melakukan tracking. Hal ini tidak pernah terpikirkan akan terjadi oleh saya sebelumnya. Salah satu wishlist yang bolak-balik masuk dari tahun ke tahun dan tidak terealisasikan akhirnya tutup buku waktu lalu. Saya senang bukan main ketika diberi tawaran semacam itu. 

Rekan yang membawa saya memenuhi mimpi itu adalah seseorang yang berpengalaman di bidangnya. Sudah banyak gunung dan bukit yang dia sambangi. Saya sebagai seorang pemula menjadi percaya dan memiliki rasa aman dalam melakukan perjalanan ini.

Sekitar pukul 08.00 WIB perjalanan kami dimulai. Sejak awal berangkat dari tempat saya tinggal, Condongcatur, cuaca sangat cerah dan Gunung Merapi memamerkan kegagahannya. Saya sangat bersemangat dalam perjalanan menuju Kalitalang. Rasanya ketika roda sepeda motor ini berputar, semakin mendekat pula Merapi kepada saya. Perlahan hawa dingin mulai mulai menyambut perjalanan kami. 

Kurang lebih lewat satu jam, sekitar pukul 09.00 kami  tiba di kawasan ekowisata Kalitalang. Pembayaran pertama, tiket perawatan ekowisata Kalitalang dikenakan biaya masuk 5.000 rupiah per orang dan 3.000 rupiah untuk biaya parkir motor. Pembayaran kedua, tiket masuk wisatawan Taman Nasional Gunung Merapi sebesar 5.000 rupiah dan tiket asuransi pengunjung 2.000 rupiah. Sekiranya perlu menyiapkan 15.000 rupiah untuk berkunjung ke Kalitalang.

Selesai dengan urusan biaya masuk, saya dan rekan memulai langkah perjalanan baru. Saya tidak menduga bahwa kegiatan ini sangat menyenangkan dan jauh dari kata menakutkan. Jujur saja, sebagai pemula saya khawatir dengan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi di alam. Namun, kekhawatiran itu tidak ada yang terjadi dan terlupa seketika ketika saya tenggelam di dalamnya. 

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Potret warga mengangkut rumput dengan sepeda motor di Kalitalang/Karisma Nur Fitria

Pelajaran dan Tracking Dimulai

“Apakah ada hal seru lainnya selain menikmati pemandangan?” Tentu saja ada. Tidak hanya bertemu dengan sesama pendaki atau wisatawan saja di sana. Seperti foto sebelum ini, yang saya pikir lebih dari sekadar potret warga yang sedang mengangkut rumput untuk ternaknya.

Saya memikirkan sesuatu yang lebih manis di sini. Manusia dan alam memang seromantis itu dalam menjalin hubungan. Sederhananya, mereka tidak saling menuntut untuk mendapatkan dan memberikan sesuatu. Keikhlasan yang ada pada mereka menyeimbangkan sesuatu yang disebut dengan “berdampingan”. Andai semua dapat melihat pemandangan semacam ini menggunakan rasa lebih dalam. 

Banyak hal baru yang dijelaskan secara sabar oleh rekan saya. Salah satunya ketika meminta izin padanya untuk mengambil gambar sejenak, lalu ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan. Pertama, dilarang mengambil apap un selain gambar. Kedua, dilarang meninggalkan apapun selain jejak. Ketiga, dilarang membunuh sesuatu selain waktu. Itu adalah pelajaran pertama yang saya peroleh hari itu. Sudah semestinya manusia tidak berlaku sembarangan kepada semua ciptaan Tuhan.

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Jalur tracking Kalitalang/Ibu S. Roestamadji

Selama tracking, saya tidak pernah berhenti untuk mencurahkan perasaan saya atas alam yang Tuhan ciptakan. Merapi tidak lagi memamerkan kegagahannya, ia ‘memanggil’ saya untuk semakin mendekat kepadanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang cukup menarik perhatian saya. 

Penampilan Merapi mulai berbeda, terkesan seperti ada topi putih yang menutup malu puncaknya. Lagi-lagi rekan saya tanpa diminta menjelaskan sesuatu, yang berarti itu pelajaran kedua di hari itu. Rekan saya menjelaskan bahwa itu adalah awan lentikular. Sesuatu yang baru di telinga saya.

Setelah sibuk berjalan sambil menjelaskan awan itu, cukup terasa bagi saya sampai akhirnya tiba di Pos 1. Melelahkan, tentu saja. Berulang kali saya meminta jeda untuk mengambil napas. Rekan saya menjelaskan bahwa trek ini tidak terlalu sulit dan cukup landai. Mungkin jika saya bukan seorang pemula tentu akan menyetujuinya dengan mudah.

Angin yang kencang dan dingin rasanya ingin membawa saya terbang. Jika bisa atau diperbolehkan, tentu saja saya ingin ikut terbang terbawa angin saja. Saya tidak lagi berorientasi pada ujung perjalanan ini. Saya hanya ingin menyelami setiap sudut mata memandang bentang alam di Kalitalang.

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Pos 1 Pangukan Kalitalang dengan latar belakang hutan dan Gunung Merapi/Karisma Nur Fitria

Meresapi Keindahan Alam

Pengalaman pertama tracking ini membuat saya merasa tidak hanya lebih dekat dengan alam, tetapi juga dengan manusia. Entah sudah langkah ke berapa yang kami tempuh, tidak terhitung pula berapa manusia yang menyapa kami dengan ramah. Rekan saya menegaskan bahwa tidak perlu merasa heran dengan situasi seperti itu. Itu menjadi pelajaran baru ketiga bagi saya. 

Ketika meresapi keindahan alam di Kalitalang, saya terpikirkan sesuatu yang sedikit menggerus perasaan. “Pemandangan ini mungkin saja lahir dari hal yang menyakitkan bagi alam atau bahkan makhluk lain dan kita mengaguminya sebagai sebuah keindahan,” ucap saya. 

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Tebing yang terbelah di lereng Merapi/Karisma Nur Fitria

Begitulah kiranya ketika saya melihat pemandangan itu. Akan tetapi, setidaknya saya tahu bahwa alam tidak perlu merasa terlalu kecewa. Pada kenyataannya rasa sakit itu melahirkan keindahan yang bisa saja membuat ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini menjadi pelajaran terakhir yang saya peroleh di siang itu.

Kalitalang membawa saya lebih jauh dari sekadar mengunjunginya. Banyak hal yang saya pelajari tentu tak lepas dari andil ketepatan rekan yang membawa saja hingga sejauh itu. 

Saya memang tidak mencapai puncaknya dan merasa cukup sampai di Pos 3. Itu bukan pencapaian jika diukur dari ujung perjalanan di Kalitalang. Akan tetapi, itu adalah sebuah keberhasilan bagi saya dalam kemampuan meresapi dan memaknai perjalanan saya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/feed/ 1 46355
Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/ https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/#respond Wed, 17 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41702 Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik...

The post Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik pedagang dan pembeli silih berganti mewarnai aktivitas pasar tradisional tersebut setiap harinya.

Harga jual di Pasar Cepogo cenderung lebih murah ketimbang pasar perkotaan. Jika membeli dalam jumlah besar, harga bisa ditawar. Tawar-menawar juga berlaku untuk komoditas lain, seperti buah-buahan dan hewan ternak—saat hari pasaran tiba. Jika mengunjungi Pasar Cepogo pas hari pasaran, jangan terkejut apabila menjumpai berbagai macam dagangan dari bahan pokok hingga peralatan perkebunan.

Para pedagang biasa berjualan dari subuh hingga senja hari. Tidak sedikit dari mereka tak kuat menahan kantuk sehingga tertidur di samping dagangan. Pemandangan yang lumrah terjadi di pasar tradisional. Untuk menyiasatinya, mereka saling bertegur sapa dan membantu menjual barang dagangan satu sama lain. 

Momen-momen Penuh Kehangatan di Pasar Cepogo

Ketika mulai menginjakkan kaki menyusuri gang-gang kecil Pasar Cepogo, saya langsung disambut berjejer kios dengan aneka jenis dagangan. Sekadar lewat tanpa belanja pun tidak masalah. Tiada henti saya menyorotkan mata kamera untuk mengabadikan setiap momen yang sangat berharga.

“Mari silakan, Mas, mau cari apa?” para pedagang menyapa sepanjang jalan dan saling bersahutan tiada henti. Salah satu cara membalasnya adalah cukup dengan tersenyum dan menyapa balik. Begitu saja mereka sudah sangat senang. Tampak sederhana, tetapi belum tentu mudah dilakukan.

Selama menyusuri pasar, saya menyaksikan sesama pedagang tidak ada yang saling iri ketika ada pembeli yang menghampiri salah satu lapak. Batin saya, rezeki sudah ada yang mengatur. Pasti nanti juga laku semua.

Tatkala asyik mengabadikan potret seorang pedagang, tiba-tiba pedagang lain di belakang saya berteriak, “Wah, Mas! Masuk majalah apa ini nanti? Saya juga mau kalau difoto. Gratis kan, Mas?”

“Oh, iya, Bu. Boleh, gratis. Nanti saya masukan majalah Kuncung (majalah jadul)!” jawab saya dengan nada bercanda.

Lensa kamera tak henti merekam setiap tingkah laku si ibu, yang berhasil membuat saya ikut tertawa. Maklum, kehidupan warga desa di pasar tradisional pasti ada saja keunikannya. Di sela-sela obrolan, ibu itu masih sempat bercanda menawarkan sayur mentah kepada saya. 

“Murah, Mas. Seunting (satu ikat) hanya 1.000 rupiah,” ungkapnya dengan aksen bahasa Jawa.

Murah sekali memang. Namun, karena tujuan awal ke Pasar Cepogo untuk jalan-jalan dan memotret, dengan berat hati harus saya tolak tawarannya.

  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali

Setelah puas bercengkerama, saya melangkahkan kaki menyusuri Pasar Cepogo lebih dalam. Sayup-sayup terdengar suara sapi dan kambing berbalas-balasan di sela kebisingan pekerjaan pandai besi. Sejumlah induk sapi dan kambing berjejer memenuhi halaman tengah pasar. Bukan untuk disembelih lalu dijual dagingnya, melainkan dijual dalam bentuk indukan. Para pedagang ternak melakukan itu karena mereka ingin mengembangbiakkan anakan yang dimiliki.

Ongkos perawatan seekor sapi indukan cukup mahal. Tidak sedikit juga sapi atau kambing yang dijual masih produktif. Pedagang sapi indukan biasanya sudah memiliki ikatan bisnis dengan peternak yang kelebihan jumlah sapi indukan.

Saya sempat melihat sedikit keunikan di antara pengunjung. Mereka mengerubungi hewan ternak yang dijajakan. Ternyata, mereka sedang tawar-menawar dan bertanya jenis sapi yang sehat dan baik kepada para pedagang.

“Banyak yang tanya jenis sapi dan minta dicarikan untuk diternakkan. Kalau beli secara langsung dan dibawa pulang sendiri tidak banyak,” ungkap salah satu pedagang.

Harga yang ditawarkan bervariasi, tergantung jenis sapi perah atau pedaging dan seberapa besar ukurannya. Calon pembeli tidak perlu khawatir karena harga yang dipatok masih bisa ditawar. Tak ayal para pengunjung berjubel menyaksikan dan mencari informasi lebih dekat. Proses jual beli diadakan di lokasi, langsung berhubungan dengan pedagang.

Hewan ternak di Pasar Cepogo sebagian berasal dari luar kota Boyolali. Para pedagang pada umumnya melakukan itu demi mengadu keberuntungan. Tidak sedikit dari mereka, ketika hari pasaran ternak tiba, berpindah-pindah dan keliling ke kota lain.

“Jualannya tidak hanya di pasar ini [Cepogo] saja, tetapi juga kota lain. Tergantung situasi kondisi dan harga ternak di pasaran mana yang cocok, itu yang akan kita datangi,” ungkap salah satu pedagang ternak kepada saya.

Obrolan kami terhenti ketika datang salah satu pembeli. Ia menanyakan harga seekor sapi indukan penghasil susu. Tak butuh waktu lama, keduanya intens berbicara mengenai kondisi sapi yang sedang dijual. Ternyata si pembeli adalah warga Desa Sukabumi, Cepogo, yang juga seorang peternak sapi. Ia bercerita sedang mencari anak sapi perah untuk dikembangkan sendiri. 

Kabupaten Boyolali memang menjadi sentra produksi susu sapi. Hampir merata seluruh desa di Boyolali, sehingga terkenal dengan julukan Kota Susu.

Puas melihat jual beli ternak, rasa penasaran yang menggebu membawa saya ke tepi jalan di depan pasar. Di sana aktivitas pedagang tak kalah riuh. Saya melihat kemacetan dan lalu-lalang warga maupun para tengkulak. Silih berganti menghiasi jalan utama penghubung Boyolali dan Magelang.

“Ah, untung saja ada ibu-ibu jualan buah. Coba izin mengabadikan, semoga boleh,” gumam saya sembari tersenyum melihat ibu paruh baya berjualan di pinggir jalan.

Belum sempat meminta izin, si ibu sudah lebih dahulu meminta difoto karena menyadari kamera yang saya bawa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika saya tak henti memotret, tiba-tiba muncul ibu-ibu lain datang menghampiri dan meminta ikut masuk frame kamera.

“Mas! Mbokdhe ikut foto, ya? Masuk TV!” teriak salah satu ibu sambil tertawa dengan aksen bahasa Jawa khas pedesaan.

Ia lantas mengajak kawan lainnya untuk ikut berfoto. Pemandangan ini sudah sangat jarang ditemukan. Meski hanya warga desa, keakraban dan kebersamaan merekalah yang menambah mewah setiap momen. Lagi asyik mengobrol, salah seorang ibu pedagang buah tiba-tiba menyodorkan pisang jualannya.

“Ayo, Mas, sambil dimakan. Adanya cuma pisang,” pintanya. Kan pisang dijual, kenapa diberikan cuma-cuma? Sejatinya pisang yang diberikan kepada saya tidak layak jual karena patah pada bagian tangkai, tetapi masih baik untuk dimakan.

Sebagai sesama orang desa, akhirnya saya terima pisang yang patah tersebut dan berbincang bersama. Ia sempat bilang kalau pisang satu tundun yang dijual harganya 15 ribu rupiah. Murah, matang pohon. Karena matang pohon terlalu lama, tangkai pisang rawan patah. Pisang patah sejatinya juga dijual dengan harga lebih murah. Namun, yang saya makan sejatinya milik si ibu tersebut.

Setelah lega bertukar cerita, waktunya saya pamit dan berterima kasih atas pemberian pisang dari si ibu. Belum sempat berdiri, ia kembali memberikan pada saya tiga buah pisang untuk bekal perjalanan. Sungguh, nikmat Tuhan yang tidak mungkin saya dustakan. Benar-benar saya syukuri.

Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
Senyum kegembiraan terpancar dari ibu-ibu penjual pisang di seberang pasar/Ibnu Rustamadji

Perlu Sinergi untuk Revitalisasi Pasar

Sepanjang jalan penghubung Boyolali–Magelang, persisnya di depan Pasar Cepogo, menjelang siang akan kian ramai dengan lalu lintas kendaraan dari Boyolali ke Magelang dan sebaliknya. Sebagian di antara pengendara tidak hanya sekadar lewat, tetapi juga transaksi jual beli.

Tidak sedikit yang bertransaksi di tepi jalan, karena situasi dan kondisi yang tidak menentu. Jika hari pasaran tiba, dapat dipastikan akses jalan utama akan tersendat. Kendaraan yang hendak menjual hasil panen pun ikut tertahan di pinggir jalan. Meskipun begitu, pemandangan tersebut lazim terjadi di Pasar Cepogo.

Para pengemudi tampak sesekali membuka terpal penutup bak mobil berisi sayuran segar. Tujuannya memastikan tidak ada kerusakan karena bisa menurunkan kualitas dan harga sayur. Salah satu dari pengemudi itu merupakan warga Desa Jrakah, Kecamatan Selo, daerah perbatasan dengan Kabupaten Magelang. Ia mengaku berangkat Subuh guna menghindari penumpukan kendaraan di Cepogo, walau faktanya tetap harus menunggu sampai menjelang siang. 

“Pasar Cepogo ini sentral perdagangan sayur-sayuran areal Merapi–Merbabu. Jadi, para tengkulak kalau beli sayur jumlah besar langsung ke sini. Kita yang dari atas mengumpulkan di sini, jadi mereka tidak perlu mencari sendiri,” jelasnya. 

Sebagai jantung ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Cepogo memberikan nilai lebih untuk kehidupan warga sekitar. Hanya saja, kondisinya terlalu semrawut dan kurang tertata. Tidak adanya kantung parkir dan keterbatasan bidang jalan membuat Pasar Cepogo kerap menyebabkan kemacetan.

Besar harapan saya, Pemerintah Kabupaten Boyolali dan stakeholder terkait mampu bersinergi. Bersama-sama dengan masyarakat menata pengelolaan Pasar Cepogo menjadi lebih baik, sekaligus tetap mampu mempertahankan keramahan orang-orangnya.

Tidak ada yang salah dengan revitalisasi pasar tradisional. Alangkah bijaknya melakukan revitalisasi tanpa menghilangkan keunikan yang sudah ada dan mendarah daging di dalamnya.

Kabut senja mulai mengiringi langkah saya. Memungkasi perjalanan menyusuri denyut kehidupan pasar tradisional Cepogo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/feed/ 0 41702
Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/ https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/#respond Mon, 29 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41045 Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan. Jika dicari melalui peta digital,...

The post Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan.

Jika dicari melalui peta digital, Cabean Kunti berada di utara Desa Paras. Warga Paras sangat mengenal desa tersebut. Apabila ingin bertanya lokasi Petirtaan Cabean Kunti—tujuan saya kali ini—pasti diarahkan. Seperti yang saya lakukan tempo hari.

“Oh, itu, Mas! Ada papan petunjuk menuju MTs Negeri 7 Boyolali. Ikuti jalan itu saja terus. Nanti lewat tiga jembatan, nah jembatan yang ketiga [sudah masuk] kawasan Petirtaan Cabean Kunti,” salah satu warga memberi arahan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Tampak Petirtaan Cabean Kunti sisi barat jembatan/Ibnu Rustamadji

Dari jalan utama Boyolali—Magelang, saya menyusuri jalan desa 10 menit saja. Setibanya di Dukuh Kunti, hilir mudik warga setempat setia mewarnai sepanjang perjalanan. Sisi kiri dan kanan jalan menuju dukuh tersebut terhampar perkebunan dengan beragam varietas. Hanya saja, tidak ada warga beraktivitas di pinggiran perkebunan yang bisa saya tanya. Mereka biasa berkebun di dalam.

“Ah, ya sudah. Pokoknya lurus ikut jalan ini dulu. Ketemu sesepuh baru bertanya,” batin saya.

Selama perjalanan, saya tidak menjumpai gapura tanda masuk pedukuhan. Padahal dukuh lainnya ada. Tidak butuh waktu lama, akhirnya saya tiba di Petirtaan Cabean Kunti. Tidak ada warga atau juru kunci di situs bersejarah ini.

Saya putuskan untuk segera menelusuri seluruh kawasan petirtaan. Tidak adanya warga dan minimnya informasi bukan suatu masalah bagi saya, asalkan bisa mengabadikan setiap jengkal perjalanan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Akses menuju Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Peninggalan Wangsa Syailendra Sejak Abad ke-9

Cabean Kunti merupakan penamaan sumur mata air. Petirtaan Cabean Kunti memiliki sekitar tujuh sumber mata air sebagai sarana ibadah masyarakat Hindu dan Buddha di wilayah Cepogo. Ketujuh sumber tersebut bernama Sendang Jangkang, Sendang Sidotopo, Sendang Lerep, Sendang Kaprawiran, Sendang Panguripan, Sendang Kaputren, dan Sendang Samboja.

Ada dugaan tujuh sumur tersebut dibangun dan digunakan sezaman dengan Candi Lawang dan Candi Sari. Tujuannya terutama untuk mempermudah umat Hindu dan Buddha mensucikan diri sebagai salah satu sarana ibadah kedua candi tersebut. Ibadah biasa berlangsung tidak lama setelah upacara penyucian diri.

Hal ini dikuatkan dengan gaya arsitektur situs Petirtaan Cabean Kunti layaknya bangunan candi Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Namun, sayang hanya satu situs sumur yang memiliki relief beraliran agama Buddha. Ada dugaan petirtaan ini merupakan hasil penyatuan dua agama, yakni Hindu dan Buddha.

Relief yang terpahat pada salah satu sumur mata air, Sendang Lerep, bermotif sosok manusia menyunggi perbekalan di atas kepala dan juga motif burung merak. Maknanya adalah sumber mata air tersebut memiliki keterikatan antara manusia dan alam. Tidak dapat dipisahkan. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Detail relief sumur Sendang Lerep di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Faktanya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas pemberian alam, setiap tahunnya masyarakat Dukuh Kunti menggelar upacara sedekah bumi di kawasan petirtaan. Begitu kira-kira dugaan saya mengenai arti yang tersembunyi di balik relief Sendang Lerep.

Merujuk pada papan informasi yang ada, Petirtaan Cabean Kunti diperkirakan dibangun pada masa Ratu Dyah Wara dari Wangsa Syailendra, Mataram Kuno guna mendukung tempat pendarmaan atau pertapaan untuk belajar ilmu agama di kawasan Candi Lawang dan Candi Sari. Petirtaan ini dibangun pada masa klasik, yaitu sekitar abad VIII hingga IX Masehi.

Petirtaan Cabean Kunti memang berada tidak jauh dari kedua candi tersebut. Terletak di pinggiran Sungai Kunti. Hanya saja untuk mencapai petirtaan harus melalui jembatan Dukuh Kunti. Hal ini terjadi karena ketujuh sumur mata air berada tersebar di sisi Barat dan Timur jembatan. 

Tiga sumur di barat dan dua di timur. Sisanya berada di selatan jembatan. Selama penelusuran saya menemukan beberapa sumur memiliki batuan halus, tetapi tidak merata. Usut punya usut, batuan halus tersebut saya duga terjadi karena aktivitas mandi dan mencuci yang dilakukan warga sekitar saat sore. Sangat disayangkan jika harus terjadi seperti itu.

Tidak lama kemudian dugaan saya terjawab. Tampak seorang ibu paruh baya berjalan seorang diri menuju Sendang Keputren. Pasti si ibu akan mencuci di dekat sumur mata air, pikir saya.

Benar saja. Ia mencuci pakaian dan mandi di sendang tersebut tidak lama kemudian. Sendang Keputren artinya mata air untuk perempuan. Tentu khusus dan terpisah dengan sumur mata air untuk pria. Si ibu memang boleh memanfaatkan air di Sendang Keputren. Namun, karena ketidaktahuannya mengubah karakteristik gaya bangunan sumur mata air.

Beranjak 20 meter darinya, tampak sumur mata air berbentuk persegi tidak beraturan berada di bawah naungan pohon beringin. Tidak banyak tambahan informasi yang bisa saya dapat mengenai petirtaan ini, selain hanya sepotong informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Kondisi salah satu sumur di bawah pohon beringin/Ibnu Rustamadji

Warisan Bersejarah yang Harus Dilestarikan

Latar belakang keagamaan dapat dilihat dari relief manusia dan binatang pada Sendang Lerep, yang diperkirakan merupakan tantri atau cerita binatang berisi ajaran moral pada agama Buddha. Fungsi Petirtaan Cabean Kunti adalah sebagai bangunan suci mengingat muatan moral tersebut. 

Berdasar pendapat para ahli, ada dua kemungkinan tokoh pendiri Petirtaan Cabean Kunti. Pertama, dibangun oleh bangsawan yang mengasingkan diri. Kedua, dibangun oleh pertapa yang ingin mencapai moksa.

Hingga saat ini tidak ada penjelasan yang rinci mengenai pendiri dan tujuan pembangunan situs tersebut. Yang jelas, petirtaan tersebut merupakan hasil karya manusia yang hidup pada zaman sekitar abad ke-9 Masehi di kawasan timur Gunung Merapi tersebut.

Keberadaan sumur tujuh mata air Cabean Kunti terlindungi oleh naungan pepohonan. Menambah kesan estetik bagi siapa pun yang berkunjung. Tidak ada rasa takut menggelayuti selama penelusuran, justru rasa nyaman dan tenang yang saya rasakan.

Hal ini mungkin terjadi karena saya memegang prinsip untuk selalu menjunjung tata krama dan sopan santun di mana pun berada. Seperti halnya bertamu di rumah orang lain. Harus mengikuti aturan dan adat yang berlaku serta tidak memaksakan ego pribadi. Terlebih jika aturan tersebut tercipta dan tidak tertulis, maka harus sangat dihormati dan berupaya bijak dalam perkataan maupun tindakan.

Walaupun kondisi Petirtaan Cabean Kunti jauh dari kata mewah, sudah sepatutnya kita ikut menjaga kelestarian warisan budaya, lingkungan, dan mata air yang ada. Musim kemarau berkepanjangan, seperti saat ini, debit mata air pun ikut surut. Aliran sungai di depannya turut terdampak. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Satu dari enam sumur mata air tanpa relief di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Meski sumber mata air tersebut tidak sepenuhnya dialirkan menuju permukiman, alangkah baiknya jika Petirtaan Cabean Kunti dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilestarikan menjadi ruang terbuka hijau layaknya Candi Lawang dan Candi Sari. 

Jika tidak mampu dikelola, ke depannya dapat digunakan sebagai pusat konservasi dan penelitian, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Besar Bengawan Solo, maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional. Daripada dibiarkan begitu saja dengan perawatan yang sederhana.

Hingga menjelang petang tidak ada warga yang beraktivitas di sekitar petirtaan Cabean Kunti selain ibu tadi. Akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penelusuran. Tidak lupa saya membersihkan diri di Sendang Lerep, sebagai tanda memungkasi kegiatan saya di situs cagar budaya tersebut. Rasa segar dan dinginnya suhu pegunungan bercampur menjadi satu.. 

Hening dan tenang seketika menyeruak, ketika sinar matahari senja mulai berwarna oranye dan suara tonggeret bersahutan. Suasana khas pedesaan yang sudah sangat jarang dirasakan langsung datang menghampiri. Harapan besar saya, semoga ketujuh sumur mata air Cabean Kunti senantiasa memberikan kehidupan yang berkesinambungan antara alam dan masyarakat setempat. Dan juga ekosistem alam yang ada tidak berubah, sebagai bagian dari kehidupan sebuah desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/feed/ 0 41045
Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali https://telusuri.id/menelusuri-jejak-peradaban-arsitektur-hindu-buddha-di-lereng-merapi-boyolali/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-peradaban-arsitektur-hindu-buddha-di-lereng-merapi-boyolali/#respond Wed, 10 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40888 Penelusuran saya kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Tujuan saya tidak jauh dari tanah kelahiran, yakni Kabupaten Boyolali. Tepatnya di Dukuh Dangeyan, Gedangan, dan Dukuh Candisari, Gedangan, Kecamatan Cepogo. Lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu....

The post Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Penelusuran saya kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Tujuan saya tidak jauh dari tanah kelahiran, yakni Kabupaten Boyolali. Tepatnya di Dukuh Dangeyan, Gedangan, dan Dukuh Candisari, Gedangan, Kecamatan Cepogo. Lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu.

Tujuan utama saya menelusuri jejak masa Hindu-Buddha yang ada di dua dukuh tersebut, yaitu candi-candinya. Mungkin terdengar asing, tetapi faktanya keberadaan candi tersebut telah ditemukan. Hanya saja memang tidak semegah candi Hindu-Buddha di kota lain. 

Namun, siapa sangka Kabupaten Boyolali juga memiliki peninggalan peradaban Hindu-Buddha layaknya Yogyakarta dan Magelang? Tiga daerah tersebut berada melingkari cincin kaki Gunung Merapi. Secara etimologi keberadaan Gunung Merapi dipercaya sebagai titik pertemuan manusia dan dewa kala itu.

Selain itu masyarakat lokal meyakini Gunung Merapi sebagai pemberi kehidupan dan rezeki. Hingga saat ini, warga desa setiap tahun mengadakan sedekah bumi berdasarkan kepercayaan turun temurun. Tradisi yang mungkin berkaitan erat dengan keberadaan candi Hindu-Buddha di lereng timur gunung berapi paling aktif di Indonesia tersebut.

Setelah berkutat dengan Google Maps dan berselancar mencari keberadaan candi Hindu-Buddha tersebut, tanpa basa-basi pada hari Sabtu siang saya segera beranjak ke dua dukuh tersebut. Pencarian candi pun dimulai.

Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali
Kompleks Candi Lawang yang terletak di halaman belakang rumah warga Gedangan, Cepogo, Boyolali/Ibnu Rustamadji

Candi Lawang, Titik Awal Penelusuran

Sekitar 10 menit perjalanan dari tempat tinggal, tibalah saya di tujuan pertama, yakni Dukuh Dangeyan. Awalnya saya bingung, karena informasi di internet tidak terlalu akurat mengenai keberadaan candi di dukuh tersebut. Karena saya berhenti di tepi jalan desa, tiba-tiba seorang warga yang hendak ke kebun ikut berhenti dan menyapa. 

“Oh, mau ke Candi Lawang? Kebablasan kamu, Mas! Pertigaan belakang kita itu ke kanan, nanti lewat jembatan kecil lurus terus sampai ketemu rumah di ujung jalan. Nah, pas di halaman belakang rumah warga itu, langsung masuk tidak apa-apa. Nanti anaknya biasanya yang keluar menemani keliling,” ungkapnya. 

Setelah memahami arahan dari warga tadi, tanpa ragu lagi saya langsung melewati jalan yang dimaksud. Rupanya benar, keberadaan Candi Lawang di Dukuh Dangeyan berada tepat di halaman belakang rumah salah satu warga.

“Akhirnya ketemu dan bisa mengabadikan Candi Lawang, termasuk detailnya, bebas,” gumam saya.

  • Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali
  • Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali

Baru saja mulai memotret, tiba-tiba seorang perempuan muda datang menghampiri. Dia menanyakan maksud dan tujuan saya. Saya pun menyampaikan bahwa hanya ingin mengabadikan dan menikmati candi Lawang. 

“Iya, Mas, boleh kok. Yang kami larang biasanya muda-mudi yang pacaran di sini.  Hampir setiap sore pasti ada saja. Saya larang baru pergi,” jelasnya.

Obrolan kami cukup lama. Hanya saja, ketika saya menanyakan perihal latar belakang Candi Lawang ada di halaman rumahnya, ia enggan menjawab karena tidak mengetahui seperti apa dulunya kawasan itu. Saya bisa memaklumi.

Perbincangan kami berlanjut hingga akhirnya saya menemukan papan informasi mengenai latar belakang Candi Lawang. Ia sempat tertawa ringan, ketika saya menemukan papan informasi tersebut dan membaca informasi yang tertulis.

Merujuk papan informasi tersebut, Candi Lawang didirikan sekitar abad IX sampai X Masehi di bawah pimpinan raja Dinasti Sanjaya, pemimpin Kerajaan Mataram Kuno beraliran agama Hindu. Hal ini didasarkan atas inskripsi prasasti di ambang pintu kiri sisi selatan. 

  • Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali
  • Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali

Isi prasasti tersebut berbunyi “Ju Thi Ka La Ma Sa Tka. Bagian tubuh candi induk berelief motif belah ketupat, untaian bunga bermanik-manik, dan sulur bunga. Candi Lawang terdiri dari satu bangunan induk dan lima bangunan perwara menghadap bangunan induk.

Hanya saja karena kondisi awal ditemukan dalam kondisi runtuh, tidak banyak informasi yang bisa saya digali. Penamaan Candi Lawang menurut saya berdasarkan atas sisa reruntuhan yang menyisakan pintu masuk dengan yoni di bagian tengahnya. “Lawang” dalam bahasa Indonesia artinya pintu.

Puas mengabadikan kompleks yang tersisa dengan kamera, perjalanan saya lanjutkan ke arah barat daya Candi Lawang. Tepatnya di Dukuh Candisari, Gedangan, Cepogo. Tujuan utama sama seperti sebelumnya, hanya kali ini lokasinya sedikit berbeda karena berada di puncak bukit.

Candi Sari, Eksotisme Seni Arsitektur yang Tersembunyi

Tibalah saya di Candi Sari. Tatkala menaiki anak tangga, setiap pasang mata yang mengunjungi pasti akan dimanjakan pemandangan Gunung Merapi dan Merbabu berdiri mesra nan gagah di depan mata. Inilah nilai lebih dari keberadaan Candi Sari di Cepogo, Boyolali.

Ketika melangkah memasuki halaman candi, tata letaknya tidak ubahnya seperti Candi Lawang. Meski begitu, rasanya tetap terkesan suci dan mewah. Hanya saja, waktu saya berkunjung tidak ada warga atau juru kunci yang bisa membantu saya menelisik lebih jauh keberadaan candi tersebut.

Akan tetapi, saya masih bersyukur terdapat papan informasi mengenai Candi Sari. Merujuk informasi yang ada, Candi Sari didirikan beriringan dengan periode Candi Lawang, yakni antara abad IX sampai X Masehi. Latar belakang aliran agama pendiri pun sama, yaitu Hindu.

Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali
Candi Sari dengan latar belakang Gunung Merapi/Ibnu Rustamadji

Keterangan itu diperkuat dengan ditemukannya arca pantheon Hindu, yakni Durga, Ganesa, dan Agastya. Selain itu juga ditemukan yoni dan arca Nandi yang merupakan wahana Dewa Siwa ketika berkunjung ke bumi. Meski begitu, belum dapat diketahui siapa yang membangun candi karena belum ditemukan prasasti mengenai hal tersebut.

Tahun 2019 lalu sejatinya masih ada pohon beringin besar menaungi kawasan Candi Sari. Namun, pada 2022 pohon tersebut menyerah kepada alam. Tumbang menimpa Candi Sari Cepogo. Tubuh pohon beberapa bagian menghujam tanah cukup dalam di halaman, selebihnya menimpa pagar candi.

Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut, baik dari warga maupun juru kunci. Setelah puas memotret struktur yang tersisa, kini saatnya untuk menikmati keanggunan Gunung Merapi dan Merbabu. Di tengah asyik mengabadikan momen yang ada dari balik lensa, tiba-tiba muncul pria paruh baya dari bawah bukit.

“Permisi, Pak, numpang ambil foto gunung. Mohon maaf saya tidak tahu kalau Anda di bawah, hehe,” sapaku.

Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali
Tampak Candi Sari dari arah barat/Ibnu Rustamadji

Usai si bapak tiba di puncak bukit, kami lantas mengobrol santai seperti biasa. Ia memperkenalkan diri sebagai juru kunci sekaligus juru pelihara situs Candi Sari Cepogo. Namanya Sutrisno. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

“Candi Lawang dan Candi Sari ini sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Belanda. Mungkin karena kondisi, terus ditinggalkan dan barulah ditemukan kembali di zaman canggih ini,” ungkap Sutrisno. 

Ia menambahkan, lokasi Candi Lawang dahulu kompleks perkebunan kopi. Ada dugaan ketika pekerja perkebunan zaman Belanda menggali tanah untuk pohon kopi, reruntuhan Candi Lawang muncul. Kisah yang sama Sutrisno ungkapkan ketika mendapat cerita dari seorang pemilik rumah, ketika ia membantu proses ekskavasi tahun 2017 lalu.

Harapan Warga

“Berarti, Candi Lawang dan Candi Sari ditemukan kembali tidak berjarak lama, Pak?” tanyaku.

Ia membenarkan. Proses ekskavasi dilakukan warga bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Berdasar keterangan tim yang terlibat,  mereka memiliki buku yang mencatat ada temuan situs klasik di Cepogo. 

Tidak lama setelah ekskavasi pertama Candi Lawang selesai, pencarian terduga reruntuhan candi di Dukuh Candisari dilakukan. Ekskavasi berikutnya bertujuan mengungkap ada atau tidaknya struktur situs candi di sana. Setelah penggalian lapisan pertama, struktur pertama ditemukan dan terkonfirmasi keberadaan situs yang kelak bernama Candi Sari Cepogo.

Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali
Panorama keanggunan Gunung Merapi dan Merbabu terlihat jelas dari halaman Candi Sari/Ibnu Rustamadji

Proses ekskavasi dilakukan bertahap hingga tampak seperti sekarang. Walau tinggal reruntuhan, patut disyukuri dan berbangga jika Kabupaten Boyolali memiliki beberapa situs candi Hindu-Buddha. Terlebih letak geografisnya yang cukup jauh dari peradaban sezaman di Yogyakarta dan Magelang.

Umumnya warga Gedangan dan Cepogo menyambut baik apabila kedua candi lebih dihidupkan sebagai destinasi unggulan di dukuhnya. Daripada kawasan bernilai budaya tinggi itu hanya menjadi tempat nongkrong dan pacaran anak muda.

“Tempatnya [Candi Lawang dan Candi Sari] mudah diakses dan nyaman dikunjungi. Tetapi kalau setiap sore untuk nongkrong dan pacaran, jelas dipandang tidak nyaman,” keluh Sutrisno.

Begitu pun yang saya rasakan ketika menelusuri kedua candi tersebut. Walaupun muda-mudi yang pacaran sadar diri, ketika mata lensa kamera saya membidik tepat ke arah mereka. Sejatinya bukan mengabadikan, melainkan sebagai peringatan karena mereka berada di tempat yang tidak semestinya.

Niat awal menikmati reruntuhan candi. Namun, jika ada yang sedang beraktivitas di lokasi bersejarah akan menjadi pemandangan yang berbeda. Aktivitas positif tentu nikmat dipandang, tetapi yang terjadi tentu bermakna sebaliknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Peradaban Arsitektur Hindu-Buddha di Lereng Merapi Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-peradaban-arsitektur-hindu-buddha-di-lereng-merapi-boyolali/feed/ 0 40888
Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi https://telusuri.id/seutas-makna-dari-aliran-sungai-lahar-dingin-merapi/ https://telusuri.id/seutas-makna-dari-aliran-sungai-lahar-dingin-merapi/#respond Thu, 10 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39574 Lestari alamkulestari desakudi mana Tuhankumenitipkan aku Mungkin penggalan lirik lagu Lestari Alamku dari Gombloh itu menggambarkan perjalanan saya kali ini. Suatu kebetulan, saya tinggal di salah satu desa yang terletak di lereng timur Gunung Merapi....

The post Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Lestari alamku
lestari desaku
di mana Tuhanku
menitipkan aku

Mungkin penggalan lirik lagu Lestari Alamku dari Gombloh itu menggambarkan perjalanan saya kali ini. Suatu kebetulan, saya tinggal di salah satu desa yang terletak di lereng timur Gunung Merapi. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia dan dunia.

Tema perjalanan saya sengaja mencatat tentang relasi kehidupan antara kehidupan warga desa dan ekosistem sungai, yang acap kali terlupakan oleh masyarakat perkotaan. Jika ada yang bilang hidup di desa tidak berkecukupan, itu hanya mitos belaka.

Selama bijak memanfaatkan sumber daya alam, saya yakin kita mampu bertahan hidup. Namun, jangan sampai mengeksploitasi secara berlebihan supaya tidak mengalami kerugian satu sama lain, seperti kerusakan ekosistem dan hilangnya sumber air sebagai kunci kehidupan.

Rumit memang, tetapi begitulah yang saat ini tengah terjadi. Sama-sama memberikan dampak baik dan buruk. Akan tetapi, apabila salah kelola tentu satu pihak atau bahkan keduanya bisa merugi. Seperti apa yang saya saksikan, ketika berjalan menikmati kehidupan dan kehangatan warga desa di lereng Gunung Merapi. Tepatnya di aliran sungai Kali Apu, Dukuh Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Proses penambangan berjalan secara manual dengan peralatan sederhana/Ibnu Rustamadji

Rezeki dan Bom Waktu Pasir Merapi

Gunung Merapi, dengan segala keindahan dan sumber daya yang dihasilkan, masih ada segelintir warganya yang menggantungkan nasib pada kehidupan di sekitarnya. Mereka rela menjadi penambang pasir di aliran sungai Merapi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tentu berbahaya, tetapi ini jamak terjadi.

Para penambang bekerja dengan alat sederhana dan semampunya. Mereka bekerja di sekitar aliran air yang tidak terlalu deras untuk mempermudah mengumpulkan pasir. Setelah terkumpul cukup banyak, biasanya sang istri atau kaum perempuan memindahkan pasir ke pinggir jalan untuk diambil pengepul.

Selama bekerja, tidak jarang mereka membawa bekal dari rumah dan menikmatinya bersama penambang lain kala istirahat. Momentum saya tepat saat itu. Saya menyambangi ketika mereka tengah mencari pasir di aliran Kali Apu, salah satu sungai aliran lahar dingin aktif, yang berhulu di puncak Merapi. Tempat saya berada berjarak sekitar sembilan kilometer dari puncak Merapi. 

Aliran sungai lahar dingin tentu membawa material pasir yang tumpah ruah di dalamnya. Tak ayal masyarakat memanfaatkannya sebagai sumber mata pencaharian. Rezeki bagi para penambang. Namun, jika pengelolaan tidak tertata, tentu akan menjadi bom waktu bagi keduanya. Kerusakan ekosistem dan perubahan daerah aliran sungai tampak nyata di depan mata. 

Efek jangka panjang dapat memengaruhi perkebunan dan ladang warga desa lain yang ada di sepanjang sungai. Bahkan aliran hulu ke hilir pun bisa sewaktu-waktu berubah apabila tidak ada pengelolaan berkelanjutan. Sangat disayangkan, tetapi fakta bercerita.

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Suami menggali pasir dan kerikil, sedangkan sang istri mengangkat dan memecah kerikil hingga menjadi pasir halus/Ibnu Rustamadji

Bertaruh Nyawa demi Menjemput Asa

Selama di aliran Kali Apu, saya cukup tertegun dengan apa yang ada di depan mata. Sepasang suami istri saling membantu merajut asa di tengah gejolak Gunung Merapi. Uang yang mereka dapat pun tidak seberapa daripada nyawa dan peluh keringat saat menambang pasir.

“Sebenarnya juga takut, kalau dari atas ada hujan bisa banjir di sini. Tapi, ya, bismillah saja. Kalau ada apa-apa langsung pergi,” ungkap salah satu perempuan penambang.

Mereka sudah biasa lantaran tinggal di sekitar aliran Kali Apu dan memahami kondisi sekitar gunung. Ketika terjadi erupsi atau hujan lahar dingin di puncak, mereka menghentikan semua aktivitas pertambangan.

Hal yang membuat saya khawatir adalah tebing di sisi kiri dan kanan yang sewaktu-waktu bisa longsor. Tentu bukan ulah mereka saja, tetapi tidak stabilnya tanah pun bisa ikut menjadi pemicu terjadinya bencana. Namun, ia mencoba mengklarifikasi, “Tebing tidak ditambang, Mas. Itu isinya tanah, pasirnya sedikit. Kalau di tengah sungai ini, jelas pasir banyak.”

Tetap saja, bagi siapa pun yang menyaksikan mereka pasti merasakan kekhawatiran seperti saya.  Mereka tetap melanjutkan pekerjaan, meski  terganggu aktivitasnya karena kehadiran saya. Di tengah asyik memotret mereka, tiba-tiba seorang ibu memanggil untuk mengajak saya istirahat sejenak.

Saya sambut ajakannya untuk sekedar melepas penat. Mereka membawa bekal untuk dimakan bersama. Meski hanya jajanan tradisional, tetapi yang terpenting adalah kebersamaan.

“Ambil [jajanan] ini, Mas! Silakan, seadanya. Kalau mau minum teh saya juga ada. Masih panas,” tawarnya.

Karena saya lahir hingga tumbuh dewasa di desa, saya harus mau menerima tawaran mereka sebagai bentuk penghormatan. Sama seperti apa yang kami lakukan d isini, yaitu menghormati dan menerima pemberian alam. Mungkin tidak semua orang akan memahami kalau belum pernah tinggal di perdesaan lereng gunung. Masyarakat lereng gunung memiliki prinsip yang sama, yakni saling menghormati, membantu, dan berbagi. Hanya cara dan wujudnya saja yang berbeda.

Setelah sekitar 30 menit beristirahat, mereka kembali bekerja. Saya memutuskan berpamitan karena sudah hampir dua jam bercengkerama. Tak lupa mereka menawarkan diri supaya suatu saat saya berkunjung ke kediamannya. 

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Kawasan hulu aliran sungai lahar dingin Kali Apu yang dekat dengan puncak Merapi/Ibnu Rustamadji

Ancaman di balik Eksotisme Hulu Kali Apu

Puas menyambangi para penambang, rasa penasaran saya terhadap hulu Kali Apu menuntun saya hingga ke Desa Kinahrejo, Sleman, Yogyakarta. Titik nol sungai yang saya datangi berjarak kira-kira satu kilometer dari puncak Merapi. Tempat ini termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang paling terancam bahaya erupsi. 

Tidak ada maksud melawan kekuatan alam, tetapi saya hanya sekadar menikmati eksotisme Merapi dari sudut lain. Tidak pernah saya duga sebelumnya, alam memberikan restu agar saya menikmati setiap detiknya.

Puncak Merapi tampak cerah tanpa tertutup awan maupun kabut. Tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, saya segera mengabadikan sang ancala sekaligus jalur sungai lahar panas yang mengalir di sepanjang lereng gunung.

Di sini, makin jelas terlihat bahwa sungai yang masuk areal gunung berapi aktif, sangat rentan rusak dan merusak apa pun di sekitarnya. Termasuk kehidupan warga desa.  Dengan kedalaman di luar perkiraan, bahkan tidak tampak adanya aktivitas pertambangan di bawahnya, tentu sangat berbahaya.

Beberapa warga yang sempat saya temui, mengaku sebenarnya merasa khawatir. Terlebih di kala puncak Merapi terang benderang. Mereka takut apabila terjadi erupsi dan melihatnya secara langsung. 

“Kalau puncak seperti ini [cerah] saya takut kalau terjadi apa-apa [dan] melihat secara langsung. Kalau kabut atau berawan [malah] tidak apa-apa, kita bisa mewanti-wanti,” ujar salah satu warga.

Meski menyimpan ketakutan, tetapi karena harus menafkahi anak dan istri, semua pekerjaan dilakoni. Tak terkecuali sebagai penambang pasir, selain berkebun sebagai mata pencaharian utama. Sekalipun aliran sungai tempat mereka bekerja amat rawan bencana. Dilema memang.  

Kalaupun mereka membanting kemudi kehidupannya ke sektor pariwisata,  tentu dituntut harus memiliki kemampuan lebih. Tidak semua warga memiliki keahlian mumpuni. Mayoritas warga Desa Kinahrejo berprofesi sebagai petani sayur, penambang pasir, peternak, dan hanya sebagian sopir jip wisata.  

Mereka tidak malu sedikit pun, meski banyak orang kota berkunjung, berfoto, dan merasa senang melihat desanya. Tidak sedikit juga yang merasa kurang cocok untuk diabadikan, tetapi selama ini tidak ada masalah. 

Malahan kita yang berkunjung wajib menghargai sesama serta menjaga adat istiadat dan tata krama di mana pun. Apabila kita mampu dan bisa menjalani, tentu warga setempat sangat senang dan menaruh perhatian. Hidup harus selaras, seimbang, dan merasa cukup. Begitu kiranya prinsip warga desa sepanjang aliran Kali Apu.

Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi
Aktivitas penambangan pasir di hulu aliran Kali Apu, sekitar satu kilometer dari puncak Merapi/Ibnu Rustamadji

Makna Perjalanan di Kali Apu

Pelajaran berharga dari perjalanan saya ke Kali Apu ternyata sangat banyak. Ada beberapa poin yang mungkin relevan dengan kondisi saat ini. Tidak masalah seseorang bekerja menjadi apa pun, asal halal dan mampu menjadikan kita lebih wawas diri serta mengerti akan kondisi sekitar. 

Menjadi penambang pasir tentu memiliki risiko lebih tinggi daripada nominal pendapatannya dalam sehari. Maka kita patut bersyukur tidak sampai memiliki kehidupan yang seberat itu. Walaupun demikian tetap harus menjaga keseimbangan alam dan jangan mengeksploitasi berlebihan.

Para penambang tentu membutuhkan uang. Namun, alam pun memerlukan ruang untuk menjaga ekosistemnya. Singkatnya, saling menghargai. 

Untuk kalian yang orang tuanya bekerja di pertambangan, tidak perlu malu. Justru harus bangga. Mereka bisa menghidupi kalian dari jerih payahnya, meski nyawa jadi taruhan.

Apabila terjadi erupsi atau banjir lahar dingin dari puncak Merapi, jangan terlampau larut dalam kesedihan. Tentu dengan intensnya komunikasi antara warga desa, dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Untuk meminimalisasi kerugian korban jiwa dan harta.

Alam memberikan kita segalanya, termasuk aliran sungai dengan segala isinya. Adakalanya alam meminta kembali sesuatu yang telah ia berikan, karena kerusakan yang kita perbuat. Berani berbuat berani bertanggung jawab.

Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Setiap orang sudah sepatutnya menghormati segala hal yang berlaku di tempat ia tinggal, termasuk menjaga ekosistem alam dan hayati yang terkandung di dalamnya.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seutas Makna dari Aliran Sungai Lahar Dingin Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seutas-makna-dari-aliran-sungai-lahar-dingin-merapi/feed/ 0 39574