gunung merbabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-merbabu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:14:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung merbabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-merbabu/ 32 32 135956295 Pesan buat Para Pendaki Gunung https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/#respond Fri, 11 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46613 Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba. Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka...

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.

Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.

Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.

Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.

‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Para pendaki antusias memotret pemandangan dengan ponsel di camp Puncak Pemancar saat sore hari. Tampak serpihan-serpihan sampah di rerumputan hasil buangan pendaki yang berkemah sebelumnya/Rifqy Faiza Rahman

Upayakan semangat minim sampah itu

Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani. 

Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area). 

Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.

Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah. 

Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Petugas Basecamp Skydoor mengecek satu per satu barang bawaaan pendaki Gunung Kembang via Blembem. Basecamp ini termasuk salah satu pelopor pendakian nol sampah di Indonesia/Rifqy Faiza Rahman

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati

Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.

Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun. 

Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.

Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri. 

Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.

Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman

Bijaksana mengukur diri sendiri

Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.

Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.

Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.

Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.

Selamat mendaki gunung!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/feed/ 0 46613
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/#respond Mon, 31 Mar 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46485 Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pendaki mengular di punggungan jalur Thekelan dengan tujuan sama: menuju puncak tertinggi Gunung Merbabu/Rifqy Faiza Rahman

Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati matahari terbit dari puncak Merbabu. Sementara kami baru memulai langkah pukul 04.00.

Di depan dan belakang kami banyak rombongan pendaki. Tampaknya peserta open trip, yang tentu ketahanan fisik dan ritme langkahnya berbeda-beda. Beberapa kali kami harus bersabar menunggu antrean panjang yang meniti jalan setapak di antara cerukan batu, karena hanya bisa dilalui satu per satu.

Seperti kebiasaan kemarau bulan Agustus, angin berembus cukup kencang sepanjang subuh. Debu-debu beterbangan, bikin mata kelilipan. Vegetasi sangat terbuka, hanya perdu kering, cantigi, dan edelweiss yang hijaunya kontras dengan trek tanah dan batu-batu besar berselimut duli. Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl), yang berada di titik HM 33, kami tempuh sekitar 45 menit perjalanan dari Pos 2.

Tidak ada tempat lapang untuk beristirahat dengan lega di sini. Umumnya pendaki akan rehat sejenak di area datar HM 31. 

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Lampu perkotaan dan sesaat sebelum matahari terbit/Rifqy Faiza Rahman

Bertemu jalur klasik Thekelan

Waktu menunjukkan pukul lima tepat saat kami tiba di pertemuan jalur Wekas dan Thekelan. Tidak ada tanda yang istimewa di sini, hanya berupa petunjuk arah yang terikat pada ranting cantigi agar saat turun pendaki Wekas tidak kesasar dan bablas ke Thekelan. Pertemuan jalur ini berada di punggungan yang membujur dari Puncak Pemancar hingga Puncak Geger Sapi, lalu berakhir di tebing raksasa tempat empat puncak berada: Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi.

Tugu perbatasan tiga kabupaten tidak jauh dari situ. Meski bentuknya masih kukuh, tetapi kondisinya cukup memprihatinkan karena mulai rompal dan sudah tercabut dari pondasinya. Lapisan semen yang merekat perlahan terkikis alam lewat badai angin dan hujan.

Dari arah utara, para pendaki jalur Thekelan berduyun-duyun menahan gigil untuk mencoba peruntungan ke puncak. Saya kemudian berinisiatif mengajak sebagian teman salat Subuh di Helipad saja, yang tempatnya relatif datar dan longgar untuk beribadah. Sesekali tercium bau menyengat dari kawah-kawah belerang Merbabu. Meski dorman dan tertidur sangat lama sejak letusan terakhir sebelum abad ke-18 silam, gunung ini masih memproduksi bongkahan belerang. Pertanda statusnya sebagai gunung berapi.

Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
Tugu perbatasan kabupaten. Dipotret saat pendakian tektok Juli 2024/Rifqy Faiza Rahman

Hari mulai terang dan menghangat tatkala kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl). Semburat matahari pagi perlahan menampakkan diri. Selepas simpang pos mata air Thekelan, trek sempit dan terjal di antara cerukan batuan jadi tantangan yang menguji ketahanan lutut. Beberapa kali saya harus memegang akar cantigi atau bongkahan batu untuk membantu saya melangkah naik.

Dari atas Geger Sapi—secara harfiah berbentuk seperti punuk (geger) sapi—kami bisa melihat jalur klasik Thekelan yang legendaris. Pada saat-saat tertentu, punggungan panjang yang naik dan turun itu bak kerucut pipih yang mencuat menembus selaput kabut dan gulungan awan. Nun jauh di seberang, dari barat ke  timur, Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, Telomoyo, dan Ungaran jadi penggembira sebagai latar belakang.

“Istirahat sebentar, Ko, nunggu yang lain,” pinta saya ke Lukas begitu kami tiba duluan di Geger Sapi. Kurniawan, Eko, dan Dio masih di bawah. Tempat ini tidak begitu luas, hanya seperti puncak punggungan yang kemudian berganti ke punggungan lain yang terus menanjak sampai puncak Merbabu.

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pemandangan lebih jelas punggungan jalur Thekelan-Wekas dari Puncak Geger Sapi/Rifqy Faiza Rahman

Di persimpangan jalan

Sinar matahari kembali terhalang tebing di sisi timur ketika kami melanjutkan pendakian. Suasana jalur kembali teduh, debu-debu beterbangan akibat sapuan kaki pendaki. Tak jauh dari Geger Sapi, jalur bercabang menjadi dua, yang sama-sama berujung di persimpangan jalan dekat Ondo Rante. Sama-sama terjal dan melelahkan.

Di titik ini kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Puncak Syarif saja, tidak perlu ke Kenteng Songo maupun Triangulasi. Untuk itu kami memilih jalur kiri karena lebih dekat dengan puncak yang dulunya dipercaya pernah jadi tempat bertapa Mbah Syarif, sesepuh dan tokoh spiritual dari sebuah kampung di lereng Merbabu.

Mendekati Puncak Syarif, saya bertemu dengan sejumlah pendaki yang berjalan di depan. Sebagian baru pertama mendaki Merbabu, atau sudah pernah tapi lewat jalur lain, bukan via Wekas atau Thekelan. Salah satu di antara mereka bertanya puncak-puncak yang mungkin bisa digapai sekali jalan.

“Yang di atas itu puncak apa, Mas?” Ia menunjuk arah tenggara, ke tempat yang akan kami tuju.

“Itu Puncak Syarif, Mas,” jawab saya. 

“Kalau yang disebut Seven Summits Merbabu itu mana saja, Mas?”

“Itu kalau lewat Thekelan, bisa dapat tujuh puncak, Mas. Mulai dari Puncak Watu Gubug, Puncak Pemancar, Puncak Geger Sapi, Puncak Syarif, Puncak Ondo Rante, Puncak Kenteng Songo, dan Puncak Triangulasi. Nah, Puncak Syarif di depan itu puncak keempat.” Ia dan temannya ternyata sama-sama naik dari Wekas. Mereka berencana akan menggapai semua puncak itu.

Satu tanjakan terakhir menyambut setibanya kami di persimpangan jalur Syarif–Ondo Rante. Trek yang kami lalui amat curam dan bikin bulu kuduk meremang karena berada di tepi jurang jurang, menuntut fokus selama melangkah dan memastikan kaki berpijak pada tanah atau batuan yang stabil.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Arti cukup di Puncak Syarif

Angka ‘06:45’ tertera di arloji digital saya ketika kami sampai di Puncak Syarif (3.137 mdpl). Gunung Merapi di selatan begitu gagah menjulang. Statusnya sebagai gunung berapi paling aktif di Indonesia ditunjukkan lewat kepulan asap yang keluar dari kawah, meninggalkan jejak serupa garis memanjang yang melayang di antara awan. Sejak 2018, pendakian ke puncak gunung yang disakralkan Keraton Yogyakarta itu sudah ditutup karena aktivitas vulkanis yang eksplosif dan masih berstatus Siaga selama hampir lima tahun terakhir.

Ternyata sudah cukup banyak pendaki yang tiba di Puncak Syarif, menunjukkan ragam ekspresi eksistensi lewat kamera ponsel. Mendadak rasa haru dan nostalgia menyeruak, mengingatkan saya pendakian pertama Merbabu lintas Thekelan–Selo pada April 2013. Sudah 12 tahun berlalu dan saya baru menginjakkan kaki lagi di puncak ini untuk kedua kalinya. Dulu jauh lebih sepi karena kami adalah rombongan satu-satunya yang melintas jalur waktu itu.

Sebuah tugu dengan desain dan kombinasi warna yang kurang enak dilihat, jenis tulisan serupa Comic Sans di Microsoft Word serta terlalu memakan tempat—seperti di Kenteng Songo dan Triangulasi—jadi pertanda keberadaan puncak tenggara Merbabu ini. Rasanya, plakat puncak jadul 12 tahun lalu masih lebih enak dipegang dan dipandang daripada tetenger fisik seperti sekarang, yang entah mengandung filosofi apa di balik pembuatannya.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Kawasan Puncak Syarif lumayan luas. Setidaknya terdapat dua area datar terbuka yang bisa menampung beberapa tenda dome—walau memang sangat tidak disarankan mendirikan tenda di puncak. Masih lebih mudah menemukan rerumputan di sini daripada Kenteng Songo dan Triangulasi yang permukaan tanahnya sudah tertutup debu tebal saat musim kemarau.

Dari Puncak Syarif, saya bisa melihat para pendaki berbondong-bondong menuju puncak-puncak berikutnya. Terutama Kenteng Songo dan Triangulasi, yang jadi pertemuan jalur Thekelan-Wekas dengan Selo dan Suwanting. Meski hanya tinggal beberapa ratus meter dan kurang dari satu jam saja, membayangkan langkah ke sana sudah capek. Rasanya waktu kami lebih berharga untuk dimanfaatkan istirahat lebih lama di camp.

Saya kembali memastikan ke teman-teman. “Piye? Lanjut Kenteng Songo atau sudah cukup sampai Syarif saja?” 

Kurniawan menyahut, “Wis cukup, balik tenda saja.” Eko, Lukas, dan Dio setuju. Agar tercipta pengalaman baru, kami memilih turun lewat jalan pintas yang tembus mata air di bawah Helipad, lalu kembali menyusuri jalan yang sama menuju Pos 2 Wekas. 

Sepanjang perjalanan ke tenda, saya sudah membayangkan akan menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum berkemas dan turun gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/feed/ 0 46485
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/#respond Mon, 31 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46483 Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang),...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
Gunung Merbabu dipotret dari wilayah Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang/Rifqy Faiza Rahman

Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang), atau Thekelan (Semarang). Meski masih satu kabupaten dengan Suwanting, tetapi Wekas berada di desa dan kecamatan berbeda. Suwanting terletak di Banyuroto, Kecamatan Sawangan, sedangkan Wekas berlokasi di Kenalan, Kecamatan Pakis.

Kesempatan pertama mendaki jalur Wekas datang pada pertengahan Juli 2024. Mulanya saya mencoba pendakian tektok (tanpa menginap), tetapi tidak sampai puncak. Saat itu saya bersama Eko, kawan karib seangkatan semasa kuliah di Malang, hanya menuntaskan perjalanan hingga mata air di jalur Thekelan, lalu balik turun. Baru pada 3–4 Agustus 2024 lalu saya mengulangi jalur ini dengan camping dua hari satu malam. Eko yang kini bekerja di Pemalang ikut lagi, ditambah teman-teman dari luar kota, yakni Lukas dan Dio (Surabaya) serta Kurniawan—kakak tingkat saya semasa kuliah dan kini bekerja di Tangerang.

Dari sekitar tiga basecamp milik warga yang ada di Wekas, saya memilih basecamp Pak Lasin. Rumah petani sayur yang juga berprofesi sebagai pemandu dan porter itu dekat dengan akses utama menuju pintu hutan Merbabu Pass, titik awal pendakian. Berbeda dengan perjalanan bersama Eko sebelumnya yang membawa motor, kali ini saya membawa mobil sewaan. Sebab, barang-barang untuk pendakian lebih banyak.

Rombongan prapendakian terbagi menjadi dua keberangkatan. Saya menjemput Kurniawan terlebih dahulu di Stasiun Yogyakarta, sedangkan Eko menyusul naik bus ke Salatiga untuk bertemu Lukas dan Dio di sana. Kami sepakat bermalam di basecamp sebelum pendakian keesokan paginya, agar persiapan lebih mudah dan tidak terburu-buru.

Tampak luar basecamp Pak Lasin di Wekas (kiri) dan kondisi bagian dalam rumah/Rifqy Faiza Rahman

Kehangatan di tengah dingin

Konsekuensi dari menyulap rumah menjadi basecamp adalah berbagi ruang antara keluarga dengan tamu. Di Wekas sebagian besar tamu adalah pendaki Merbabu, yang mungkin populasi hariannya melebihi jumlah populasi penduduk setempat. Menurut sistem reservasi daring taman nasional, Wekas dapat jatah kuota harian 294 pendaki. Lebih sedikit daripada Selo, Suwanting, dan Thekelan yang mengakomodasi 330–350 pendaki per hari.

Dalam catatan GPS saya, ketinggian rumah Pak Lasin mencapai 1.748 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagaimana hunian perdesaan di kaki gunung, rumah Pak Lasin sangat sederhana tanpa banyak perabot. Ada tiga bagian di rumah ini, yaitu dua kamar pribadi, ruang tamu, dan pawon lawas beralas tanah—kamar mandi satu-satunya juga ada di sini. 

Di ruang tamu tak berkeramik itu, hanya plester semen, puluhan pendaki bisa beristirahat di atas tikar yang disediakan Pak Lasin. Kadang-kadang pendaki menambahkan alas matras atau sleeping pad agar hangat lalu tidur dengan sleeping bag, seperti yang saya lakukan. Selepas petang sampai subuh keesokan harinya, suhu di luar akan turun mendekati angka satu digit. Menusuk kulit, tetapi di dalam rumah hangat. 

Di rumah, istri Pak Lasin menyediakan makanan dan minuman untuk pendaki. Menunya antara lain nasi sayur (plus lauk telur), nasi goreng, mi goreng, dan mi rebus. Pilihan minumannya standar, seperti teh, kopi, dan air mineral biasa. Menu makanan yang sederhana itu semata pertimbangan kemudahan bahan saja, bukan karena tenaga yang terbatas. “Kalau bikin ramesan gitu repot nanti, Mas, karena harus bolak-balik ke pasar buat belanja bahan. Kalau sayur kan tinggal ambil di kebun, sementara beras, telur, dan mi bisa awet buat beberapa hari, jadi tidak harus setiap hari pergi ke pasar,” jelas ibu dua anak itu.

Ia biasa memasak di pawon jadul itu, mengandalkan kayu bakar sebagai sumber perapian, yang bisa jadi sumber kehangatan. Kehangatan yang juga muncul dari interaksi antarpendaki dengan keluarga Pak Lasin, 

Eko berfoto bersama Pak Lasin dan istri (kiri). Istri Pak Lasin sedang merebus air di pawon rumahnya. Foto ini diambil saat pendakian tektok bersama Eko pada Juli 2024 lalu/Rifqy Faiza Rahman

Jarak dan air, jaminan kenyamanan jalur Wekas

“Jalur Wekas itu jalur paling pendek dan cepat di Merbabu,” kata Pak Lasin. Ia menyebut kisaran angka 4–5 kilometer untuk total jarak dari basecamp ke Kenteng Songo dan Triangulasi, puncak tertinggi gunung ini.

Saya coba mengecek situs web taman nasional. Panjang jalur Wekas 4,86 kilometer. Benar kata Pak Lasin, lebih pendek dari Selo (5,63 km), Suwanting (5,68 km), dan Thekelan (6,1 km). Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur Thekelan di percabangan batas tiga kabupaten: Magelang-Semarang-Boyolali (2.847 mdpl).

Selain soal jarak, Pak Lasin menyebut ketersediaan sumber air jadi kelebihan jalur Wekas. Letaknya di Pos 2 Kidang Kencana (2.480 mdpl), yang juga jadi tempat berkemah paling ideal di jalur ini. Kami tidak perlu repot-repot membawa banyak air dari basecamp, pun tidak perlu khawatir kehabisan bekal air selama pendakian. 

“Turun dari puncak bisa isi ulang air lagi di bawahnya Helipad itu,” jelas Pak Lasin. Helipad (2.898 mdpl) adalah salah satu pos datar yang sempit di punggungan jalur Thekelan-Wekas menuju puncak. Dinamakan Helipad karena bentuknya menyerupai landasan helikopter, hanya saja tidak ada huruf ‘H’ besar di permukaan tanahnya.

Tak jauh dari Helipad, ada satu cabang jalur menurun yang bisa jadi jalan tembus ke puncak atau sebaliknya, dan terdapat sumber air yang dialirkan dengan keran. Jaraknya kira-kira 5–10 menit perjalanan. Dari sumber ini pula tersambung pipa-pipa PVC yang lentur dan panjang, menyelimuti lereng-lereng curam, untuk memenuhi kebutuhan air jalur Suwanting.

Akan tetapi, lanjut Lasin, kenyamanan jalur Wekas tersebut acapkali kurang memikat pendaki, yang kebanyakan lebih memilih Selo atau Suwanting. Bukan tanpa sebab. Pendeknya jarak tempuh jelas membawa konsekuensi bahwa jalur akan lebih sering menanjak dan minim bonus—istilah untuk trek datar atau landai. Adanya penutupan untuk rehabilitasi kedua jalur itu beberapa waktu lalu rupanya membawa berkah. Jalur klasik Thekelan dan Wekas yang sebelumnya jarang dilirik mulai mendapat atensi seperti dahulu kala.

“Kalau pendaki lawas dulu, ya, tahunya naik Merbabu lewat Thekelan atau Wekas, Mas,” kata Pak Lasin. Kedua jalur tersebut sama-sama bisa diakses dari jalan raya Magelang–Salatiga, dekat kawasan wisata Kopeng.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Ujian kesabaran hingga HM 19

Pendakian pada Sabtu pagi (3/8/2024) kami mulai pada pukul 08.30 setelah sarapan nasi sayur dan lauk telur yang dibuat istri Pak Lasin. Kami juga memesan masing-masing seporsi nasi telur untuk makan siang di camp Pos 2 Wekas nantinya. Tukang ojek dengan tarif Rp15.000 sekali jalan yang kami pesan untuk mengantar ke pintu hutan Merbabu Pass (1..858 mdpl) juga sudah siap di depan basecamp.

Sejam sebelumnya, Eko turun ke Pos TPR (tempat pemungutan retribusi) yang terletak di tepi jalan kampung, untuk registrasi ulang SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang telah kami pegang lewat reservasi daring. Kami hanya perlu membayar biaya tambahan berupa retribusi kampung dan parkir. Banyak mobil rombongan pendaki yang parkir paralel di pinggir jalan. Sebab, kontur kampung cukup ekstrem dan sempit jika dipaksakan parkir dekat basecamp, kecuali sepeda motor yang bisa dititipkan di masing-masing basecamp.

Tampaknya pendakian hari itu akan ramai pendaki karena akhir pekan. Pak Lasin pun ikut naik, ia dan tetangga dusunnya disewa sebagai porter dan pemandu oleh satu rombongan pendaki asal Jakarta. “Alhamdulillah hari ini full (kuota), Mas.”

Untuk itulah kami berangkat lebih awal, sebelum jalur terlalu sesak pendaki. Menggunakan ojek merupakan pilihan bijak untuk menghemat tenaga dan waktu, sekaligus memberi sedikit kontribusi pada roda perekonomian masyarakat.

Perjalanan dengan ojek ke Merbabu Pass dilanjutkan dengan jalan kaki. Sebuah plang putih sederhana memberi informasi yang menyambut pendaki memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Trek awal yang datar di 200 meter pertama sempat memberi kami napas lega, sebelum harus bersahabat dengan tanjakan yang nyaris tanpa putus sampai patok HM (hektometer) 19.

“Ya, normalnya paling 3–4 jam sudah sampai Mas di Pos 2,” Pak Lasin memberi info waktu tempuh pendakian. Ketika saya dan Eko mendaki tektok bulan sebelumnya, kami butuh dua jam berjalan santai dari Merbabu Pass sampai Pos 2. Dengan beban bawaan yang lebih banyak, kami berasumsi akan sampai di Pos 2 dua kali lebih lama dari durasi tektok.

  • Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Rasanya, energi dari asupan sarapan pagi mulai menguap seiring kemiringan tanjakan jalur Wekas. Berdasarkan pengalaman tektok sebelumnya, satu kilometer pertama sampai Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl) baru bisa dianggap pemanasan. Dua pos bayangan tanpa selter, Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl), kurang representatif sebagai tempat istirahat sehingga kami sedikit memacu tenaga agar bisa mengatur napas lebih lama di selter Pos 1 yang berupa gazebo kayu. Pendakian menuju Pos 1 memerlukan waktu sekitar 50–60 menit. 

Tutupan hutan jalur Wekas sedang-sedang saja. Vegetasi yang tumbuh di jalur punggungan yang dilalui pipa air itu didominasi cemara gunung, mlanding (sejenis lamtoro), dan tanaman perdu. Jika beruntung, akan terlihat kawanan Macaca fascicularis alias monyet yang bergelantungan di dahan-dahan dan relatif jinak, tidak seagresif di Rinjani, Butak, atau hutan Baluran.

Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian menuju camp Pos 2. Di sinilah ujian kesabaran sesungguhnya, baik fisik dan mental. Selepas HM 11 sampai HM 19 adalah fase terberat jalur ini. Kaki harus diangkat tinggi-tinggi melebihi lutut. Untuk menguji diri, Dio meminta bertukar tas. Ia ingin merasakan carrier 65 liter milik saya yang berisi tenda kapasitas empat orang, alat masak, dan sejumlah logistik lainnya. Sementara saya memakai tas Dio yang bobotnya relatif lebih ringan.

Hari kian beranjak siang. Langkah kian tertatih. Dio sempat terlihat kepayahan ketika mencapai ujung tanjakan HM 19, tapi menolak menyerah. Tanggung, katanya. Ia benar. Vegetasi sudah terbuka. Hanya perlu 600 meter lagi sampai ke HM 25, tempat Pos 2 berada. Di sisi kiri terpisah jurang, tampak punggungan jalur Thekelan yang berujung pada Puncak Pemancar. Bekas menara radio tentara itu ambruk tak bersisa akibat badai besar musim hujan lalu.

Ritme langkah kami mendadak cepat seiring melandainya jalan setapak berdebu. Pos idaman jalur ini telah menyambut di depan mata. Lukas dan Kurniawan sudah tiba lebih awal setengah jam yang lalu. Mereka ‘mengkaveling’ sepetak tanah yang muat untuk dua tenda dome kami. Hanya sepelemparan batu dengan gazebo kayu dan keran sumber air. Kami akan bermalam di sini.

Gazebo sederhana di area camping ground Pos 2 Wekas (kiri) dan kumpulan tenda rombongan pendaki peserta open trip/Rifqy Faiza Rahman

Menyongsong senja, merayakan malam

Sebelum berangkat mendaki, aplikasi radar cuaca memprakirakan dua hari ke depan akan cenderung cerah. Mungkin hampir niscaya karena Agustus hingga September terbiasa jadi puncak musim kemarau, yang identik dengan debu dan angin kencang.

Walaupun potensi turunnya hujan itu tetap ada. Jika itu terjadi, BMKG kerap menyebutnya sebagai ‘campur tangan’ fenomena global, yakni gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, yang berperan dalam sistem curah hujan tropis dan memicu gelombang iklim berskala besar Osilasi Madden-Julian (MJO). Fenomena-fenomena ini mungkin tidak akan tampak secara tersurat di langit beberapa daerah dan dampak yang timbul setelahnya. Namun, setidaknya dalam pendakian kami hari itu, cuaca yang bersahabat berpeluang lebih besar terjadi daripada cuaca buruk. Di Gunung Merbabu, alam memiliki kemungkinan besar menghadirkan senja dan pagi dengan raut khas yang semestinya.

Ada satu alasan lagi yang membuat saya memilih tanggal pendakian di hari ini. Sebagai penikmat fotografi, saya tidak ingin melewatkan kesempatan memotret milky way saat malam tiba. Fenomena malam menakjubkan ini hanya akan mudah terlihat saat tanggal-tanggal fase bulan baru (new moon), atau saya biasa menyebutnya fase bulan mati—bisa dicek lewat aplikasi kalender bulan semacam Lunar Phase atau sejenisnya. Sebab, langit akan lebih bersih tanpa polusi cahaya dari hari-hari ketika bulan bersinar terang benderang. Gunung yang tinggi dan minim gangguan cahaya buatan jadi salah satu prasyarat wajib untuk merekam miliaran bintang dan sistem tata surya dalam galaksi spiral Bimasakti lewat lensa kamera.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Usai perburuan foto senja dan gemintang, saya kembali ke tenda. Pembicaraan sebelum makan malam tadi masih menggantung di antara kami, lalu saya pastikan lagi, “Gimana, besok jadi muncak?”

Tarik ulur rencana ke puncak itu karena ada sebagian dari kami yang masih merasa lelah setelah dihajar tanjakan jalur Wekas. Mulanya sempat merasa cukup dengan berada di Pos 2 ini, tetapi semua akhirnya sepakat. Kami berencana berangkat agak santai, sekitar pukul empat pagi. Kami tidak akan tergesa mengejar matahari terbit di puncak, tidak akan berambisi pula untuk menggapai seluruh puncak tertinggi.

“Mau sampai Puncak Kenteng Songo atau cukup di Puncak Syarif saja?” saya tanya ulang.

Opo jare sesok ae, wis,” kata Eko dan Kurniawan serempak, lalu mengajak saya segera beristirahat. Bagaimana kelanjutan perjalanan kami, tergantung apa kata alam besok pagi.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/feed/ 0 46483
Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/ https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/#respond Fri, 28 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45770 Di Jawa Tengah, Gunung Merbabu termasuk destinasi pendakian populer, baik untuk pendaki domestik maupun mancanegara. Dari empat jalur resmi saat ini, dua di antaranya berada di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Suwanting (Kecamatan Banyuroto) dan Wekas...

The post Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Jawa Tengah, Gunung Merbabu termasuk destinasi pendakian populer, baik untuk pendaki domestik maupun mancanegara. Dari empat jalur resmi saat ini, dua di antaranya berada di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Suwanting (Kecamatan Banyuroto) dan Wekas (Kecamatan Pakis).

Pendakian dari Magelang memiliki karakteristik jalur dan tantangan tersendiri yang amat layak untuk dieksplorasi. Bentang alam, vegetasi, dan medan pendakian tidak kalah menarik dibandingkan rute utara via Thekelan (Kabupaten Semarang) maupun rute tenggara via Selo (Kabupaten Boyolali).

Jalur Suwanting dan Wekas tidak berada pada satu rute yang sama. Kedua jalur ini baru bertemu di Kenteng Songo, salah satu puncak tertinggi Gunung Merbabu dengan ketinggian sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sampai saat ini, pihak Taman Nasional Gunung Merbabu belum memperbolehkan lintas jalur, sehingga pendaki harus dua kali reservasi di waktu yang berbeda supaya bisa melakukan pendakian di masing-masing jalur.

Buat kamu yang ingin mencoba mendaki Merbabu via Suwanting dan Wekas, berikut informasi jalur, kondisi medan, serta estimasi jarak dan waktu tempuh yang bisa dipelajari sebelum melakukan pendakian. Angka pada ketinggian dan jarak berdasarkan catatan GPS dan informasi dari taman nasional.

Jalur pendakian Merbabu via Suwanting

Jalur Suwanting berada di sisi barat Gunung Merbabu. Jalur ini dikenal cukup terjal dan jaraknya sedikit lebih panjang daripada Wekas. Tempat camp ideal berada di Pos 3 Dampo Awang, karena berada dekat sumber air.

Basecamp Suwanting (1.350 mdpl) — Pintu Hutan (1.470 mdpl): +850 meter

  • Jalan dusun berupa cor yang menanjak, kemudian melewati perkebunan sayur warga sampai menjumpai pintu hutan, yang ditandai gapura Taman Nasional Gunung Merbabu
  • Estimasi: 15—20 menit dengan jalan kaki untuk pemanasan atau 5 menit dengan ojek

Pintu Hutan (1.470 mdpl) — Pos 1 Lembah Lempong (1.555 mdpl): +200 meter

  • Rute pintu hutan ke Pos 1 merupakan jalur dengan jarak terpendek di Suwanting
  • Vegetasi masih didominasi hutan pinus, dengan tanaman semak dan rumput di permukaan tanah
  • Pos 1 hanya berupa tanah datar yang tidak terlalu luas dan tidak ada selter untuk berteduh
  • Estimasi: 5 menit

Pos 1 Lembah Lempong (1.555 mdpl) — Pos 2 Bendera (2.186 mdpl): +2 kilometer

  • Pendakian sesungguhnya telah dimulai, jalur cukup panjang dan mulai menanjak cukup konstan dengan sesekali bonus landai
  • Trek tanah cukup liat dan akan licin serta berlumpur saat musim hujan, sedangkan musim kemarau akan sangat berdebu
  • Melewati beberapa “pos bayangan” bernama Lembah Gosong (1.665 mdpl), Lembah Cemoro (1.790 mdpl), Lembah Ngrijan (1.866 mdpl), dan Lembah Mitoh (2.127 mdpl)
  • Vegetasi mulai rapat dengan tanaman semak dan beberapa cemara gunung
  • Pos 2 berupa tanah datar berundak dan pemandangan agak terbuka; banyak pendaki yang mendirikan tenda di sini jika fisik tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan
  • Estimasi: 2—2,5 jam

Pos 2 Bendera (2.186 mdpl) — Pos Air (2.665 mdpl): +1,1 kilometer

  • Perjalanan dari Pos 2 menuju pos air adalah yang terberat dan paling terjal di jalur Suwanting, karena fisik sudah mulai terkuras
  • Jalur cenderung konstan menanjak di kawasan Lembah Manding, pilih jalur baru di sisi kanan yang lebih bersahabat
  • Trek tanah cukup liat dan akan licin serta berlumpur saat musim hujan, sedangkan musim kemarau akan sangat berdebu
  • Terdapat tali bantuan yang terikat pada batang pohon di sejumlah titik yang cukup curam
  • Vegetasi tidak terlalu rapat dengan dominasi tanaman semak dan pohon mlanding (lamtoro)
  • Terdapat dua buah gentong berisi air yang dialirkan melalui pipa, saat ini menjadi satu-satunya sumber air di jalur Suwanting
  • Estimasi: 2,5—3 jam

Pos Air (2.665 mdpl) — Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl): +200 meter

  • Setelah Lembah Manding yang menguras tenaga, kerahkan sisa kekuatan untuk menjangkau Pos 3 yang tidak jauh lagi
  • Pos 3 sangat luas dan mampu menampung puluhan tenda, sehingga menjadi tempat terbaik dan teraman untuk mendirikan tenda
  • Vegetasi hanya rerumputan serta edelweis di Pos 3, sangat terbuka sehingga waspada dengan angin kencang
  • Pemandangan yang dapat dilihat antara lain Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan kawasan permukiman di kaki gunung
  • Estimasi: 15—20 menit

Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl) — Puncak Suwanting (3.105 mdpl): +1,1 kilometer

  • Perjalanan ke puncak Suwanting akan melewati tiga kawasan sabana, yaitu Sabana 1 (2.828 mdpl), Sabana 2 (2.915 mdpl), dan Sabana 3 (2.984 mdpl)
  • Trek tanah yang konstan menanjak, tetapi tidak terasa berat karena hanya membawa perlengkapan dan bekal seperlunya
  • Vegetasi dominan padang rumput terbuka, sehingga berpotensi angin kencang atau badai
  • Puncak Suwanting merupakan ujung punggungan jalur Suwanting, dengan ketinggian hampir sama dengan Triangulasi dan Kenteng Songo
  • Estimasi: 1—1,5 jam

Puncak Suwanting (3.105 mdpl) — Puncak Triangulasi (3.142 mdpl): +250 meter

  • Kontur jalur menuju puncak Triangulasi sedikit naik-turun, tetapi relatif ringan dan jaraknya cukup dekat
  • Vegetasi masih didominasi rerumputan dan terdapat beberapa pohon cantigi (manisrejo)
  • Kawasan puncak Triangulasi tidak terlalu luas dan hanya ditandai dengan tugu permanen milik taman nasional
  • Estimasi: 10-15 menit

Puncak Triangulasi (3.142 mdpl) — Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl): +150 meter

  • Kontur jalur antarpuncak hanya sedikit turunan dan tanjakan, sehingga mudah terlihat satu sama lain saat cuaca cerah
  • Puncak Kenteng Songo ditandai dengan tugu permanen milik taman nasional, serta beberapa situs cagar budaya berupa lumpang batu alami yang dikelilingi pagar besi untuk menghindari vandalisme
  • Puncak Kenteng Songo adalah titik pertemuan jalur Suwanting dengan Selo dan jalur utara (Thekelan, Cuntel, Wekas)
  • EstimasI: 5 menit

Rekomendasi basecamp:
Pak Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon (0813-5987-6990)

* * *

Jalur pendakian Merbabu via Wekas

Wekas dikenal sebagai jalur pendakian dengan jarak tempuh paling pendek ke puncak. Sebab, titik awal pendakian sudah cukup tinggi, di atas 1.500 mdpl. Meski durasi perjalanan relatif lebih singkat, tetapi trek pendakian cenderung lebih terjal. Jalur Wekas bertemu dengan jalur Thekelan di punggungan antara puncak pemancar dan pos helipad, yang juga menjadi batas alam antara Kabupaten Semarang, Magelang, dan Boyolali.

Basecamp Wekas (1.748 mdpl) — Merbabu Pass (1.858 mdpl): +350 meter

  • Jalan dusun berupa kombinasi cor dan paving block yang sempit dan menanjak cukup ekstrem, sampai menjumpai area camping bernama Merbabu Pass
  • Dari Merbabu Pass, pemandangan gunung-gunung terdekat yang bisa dilihat (saat cuaca cerah) antara lain Telomoyo, Andong, Sumbing, dan Sindoro
  • Merbabu Pass berada tepat di pintu hutan, menjadi batas antara wilayah konservasi taman nasional dengan lahan perkebunan warga
  • Estimasi: 15—20 menit dengan jalan kaki untuk pemanasan atau 5 menit dengan ojek

Merbabu Pass (1.858 mdpl) — Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl): +1,1 kilometer

  • Dari pintu hutan Merbabu Pass atau patok HM 0, trek mulanya datar dan landai, tetapi kemudian perlahan menanjak sampai Pos 1 Tegal Arum
  • Sepanjang jalur akan menjumpai aliran pipa air yang tersambung dari sumber air di Pos 2 Wekas sampai ke permukiman warga
  • Vegetasi didominasi cemara gunung, tumbuhan perdu, dan tanaman mlanding (sejenis lamtoro)
  • Kadang-kadang terlihat monyet-monyet bergelantungan mencari makan, tetapi tidak agresif sehingga jangan sampai mengusik maupun memberi makanan sembarangan kepada satwa
  • Melewati dua pos bayangan, yaitu Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl)
  • Pos 1 Tegal Arum berada di antara HM 10 dan HM 11, artinya berjarak sekitar 1–1,1 km dari pintu hutan
  • Di pos ini terdapat selter berupa gazebo kayu yang bisa digunakan untuk istirahat dan berteduh, tetapi tidak tersedia tanah datar yang cukup untuk mendirikan tenda
  • Estimasi: 1–1,5 jam 

Pos 1 Tegal Arum (2.065 mdpl) — Pos 2 Wekas/Kidang Kencana (2.480 mdpl): +1,4 kilometer

  • Pendakian antara Pos 1 Tegal Arum dan Pos 2 Wekas merupakan yang paling berat di jalur Wekas, terutama trek terjal tanpa putus sepanjang kira-kira 800 meter setelah HM 12 sampai dengan HM 20
  • Saat hujan, kondisi jalur Wekas akan cukup licin, sementara kala kemarau bakal diselimuti debu tebal
  • Tutupan hutan masih cukup rapat, lalu vegetasi terbuka mendekati HM 20 dan terlihat punggungan tebing jalur Thekelan di sisi kiri (timur) yang akan terlihat sampai Pos 2 Wekas
  • Selepas HM 20 hingga Pos 2 Wekas yang terletak di HM 25, trek relatif landai meniti jalan setapak di pinggir jurang
  • Pos 2 Wekas atau disebut juga Pos 2 Kidang Kencana berupa lahan yang sangat luas dan bisa menampung puluhan tenda, dengan fasilitas sumber air bersih satu-satunya yang dialirkan lewat keran serta gazebo untuk sekadar bersantai
  • Pos 2 Wekas merupakan tempat camp ideal sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak, lokasinya seperti berupa cerukan yang diapit punggungan tebing jalur Thekelan dan Suwanting
  • Jika beruntung, saat sore bisa melihat pemandangan matahari terbenam dengan latar Gunung Sumbing di kejauhan
  • Estimasi: 1,5–2 jam

Pos 2 Wekas/Kidang Kencana (2.480 mdpl) — Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl): +800 meter

  • Trek menuju Pos 3 Watu Kumpul cenderung menanjak melewati cerukan sempit terbuka yang didominasi batu-batu vulkanis berukuran besar, menunjukkan sejarah Merbabu sebagai gunung berapi (kini dalam kondisi tidur atau dorman)
  • Vegetasi mulai didominasi pepohonan semak yang kering dan mulai dijumpai edelweis di sisi kiri-kanan jalur
  • Ada area cukup lapang dan terbuka di HM 31, tetapi bukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda
  • Pos 3 Watu Kumpul persis berada di HM 33, tidak ada tempat ideal untuk istirahat dalam waktu lama apalagi membangun tenda
  • Estimasi: 45 menit–1 jam

Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl) — Tugu Perbatasan (2.847 mdpl): +100 meter

  • Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur klasik Thekelan di persimpangan yang ditandai dengan tugu perbatasan tiga kabupaten, yaitu Semarang, Magelang, dan Boyolali
  • Trek dari Pos 3 Watu Kumpul masih menanjak, tetapi jarak dengan tugu perbatasan tidak begitu jauh
  • Tugu perbatasan tersebut berada di punggungan terbuka, yang memungkinkan pendaki untuk melihat pemandangan matahari terbit dan terbenam sekaligus
  • Sepanjang pendakian dari tugu perbatasan sampai puncak berada di area terbuka tanpa naungan, sehingga waspada terhadap potensi badai atau angin kencang dan jangan memaksakan untuk melanjutkan pendakian jika cuaca memburuk
  • Estimasi: 10–15 menit

Tugu Perbatasan (2.847 mdpl) — Helipad (2.898 mdpl): +150 meter

  • Untuk bisa menginjakkan kaki di Helipad, kamu harus sedikit menaiki gundukan bukit kecil yang lumayan curam, yang terletak di sisi kanan jalur utama pendakian
  • Meski bukan merupakan pos, kadang-kadang ada pendaki mendirikan tenda di area ini, karena ingin lebih dekat ke puncak
  • Tempat ini disebut Helipad karena bentuknya seperti dataran melingkar yang biasa digunakan sebagai tempat mendarat helikopter, bisa memuat kira-kira 2–3 tenda berkapasitas 4–5 orang
  • Estimasi: 5 menit

Helipad (2.898 mdpl) — Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl): +500 meter

  • Dari Helipad, jalur masih menyusuri punggungan sampai bertemu percabangan, jika turunan ke kanan menuju sumber air, sedangkan ke kiri menanjak terjal di antara pepohonan cantigi sampai Geger Sapi
  • Nama Geger Sapi kemungkinan berasal dari topografi punggungan yang tampak seperti punuk atau geger (Jawa) sapi
  • Geger Sapi termasuk dalam rangkaian tujuh puncak (seven summit) jalur Thekelan, selain Watu Gubug, Pemancar, Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi
  • Estimasi: 15–20 menit

Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl) — Pertigaan Syarif-Ondo Rante (3.084 mdpl): +400 meter

  • Dari Geger Sapi, trek semula akan melandai lalu menanjak terjal sampai ke persimpangan Puncak Syarif dan Puncak Ondo Rante
  • Ada dua pilihan jalur, sisi kiri melewati ceruk batuan dan lebih ekstrem, sedangkan sisi kanan membelah sabana terjal yang lebih berdebu saat kemarau
  • EstimasI: 15–20 menit

Pertigaan Syarif-Ondo Rante (3.084 mdpl) — Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl): +500 meter

  • Di pertigaan, kamu bisa menuju ke Puncak Syarif (3.119 mdpl) yang berjarak 10–15 menit, atau melanjutkan pendakian ke puncak tertinggi Kenteng Songo
  • Jalur pendakian ke Kenteng Songo melewati bagian kaki Puncak Ondo Rante, melipir tepian jurang sampai trek menantang yang dikenal dengan sebutan Jembatan Setan
  • Pihak taman nasional menyediakan alat bantu pegangan berupa tali dan pagar rantai untuk keamanan, karena kaki harus memijak batu-batu licin yang menempel pada tebing cadas
  • Dari Jembatan Setan, mendekati Kenteng Songo terdapat satu tanjakan ekstrem yang membuat kamu harus mengerahkan banyak tenaga untuk melewatinya, ibarat lutut bertemu dagu
  • Puncak Kenteng Songo merupakan pertemuan dari semua jalur, baik itu dari Thekelan-Wekas, Suwanting, dan Selo
  • Dari Kenteng Songo bisa melanjutkan perjalanan kurang dari lima menit untuk tiba di puncak ketujuh Merbabu, yaitu Triangulasi (3.145 mdpl)
  • EstimasI: 30–45 menit

Rekomendasi basecamp:
Pak Lasin (0823-2334-0939)

* * *

Informasi biaya pendakian

Cara memesan kuota dan mengurus perizinan pendakian bisa dilihat lebih lanjut di situs resmi Taman Nasional Gunung Merbabu: booking.tngunungmerbabu.org. Di dalamnya memuat kuota pendakian, alur reservasi, hingga pembayaran biaya pendakian. Sejak November 2024, terjadi kenaikan tarif tiket wisata pendakian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu:

Selain itu, biasanya masing-masing jalur juga memiliki tarif tambahan untuk retribusi kampung (termasuk di dalamnya untuk biaya kebersihan dan pengelolaan basecamp), serta jasa ojek (opsional):

Retribusi kampung di Suwanting: Rp35.000
Tarif ojek: Rp10.000–15.000 sekali jalan

Retribusi kampung di Wekas: Rp22.000
Tarif ojek: Rp15.000–20.000 sekali jalan

Menjadi pendaki bijak

Selain menyiapkan perbekalan dan manajemen pendakian yang baik, kamu juga harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi pendaki gunung yang baik. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan taman nasional
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang limbahnya bisa kamu timbun di dalam tanah saat pendakian
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Foto-foto oleh Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/feed/ 0 45770
Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu https://telusuri.id/camping-di-bumi-perkemahan-kalipasang-gunung-merbabu/ https://telusuri.id/camping-di-bumi-perkemahan-kalipasang-gunung-merbabu/#respond Fri, 14 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45652 Menikmati keasrian gunung kadang tidak harus dengan mendaki. Aktivitas luar ruang bisa dilakukan di bagian lain dari gunung tersebut. Sejumlah tempat wisata berbasis alam dibangun di lereng atau kaki gunung untuk mengakomodasi wisatawan yang memiliki...

The post Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Menikmati keasrian gunung kadang tidak harus dengan mendaki. Aktivitas luar ruang bisa dilakukan di bagian lain dari gunung tersebut. Sejumlah tempat wisata berbasis alam dibangun di lereng atau kaki gunung untuk mengakomodasi wisatawan yang memiliki keterbatasan mengakses pendakian. Termasuk Bumi Perkemahan Kalipasang, yang berada di utara kaki Gunung Merbabu.

Terletak di utara kaki Gunung Merbabu, Bumi Perkemahan Kalipasang dikelola oleh Taman Nasional Gunung Merbabu, yang terkenal dengan jalur pendakian menuju puncak gunung setinggi 3.145 mdpl. Lokasi bumi perkemahan ini berada di pinggiran Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, dan hanya berjarak dekat dari basecamp Thekelan, salah satu dari empat jalur pendakian resmi Merbabu.

Kalipasang sering kali digunakan untuk acara-acara kemah skala besar, baik tingkat daerah maupun nasional. Beberapa di antaranya adalah Mountain Jungle Course 2023 oleh Eiger dan Jambore Konservasi Alam dalam rangka Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2024. Di luar itu, setiap hari bumi perkemahan ini terbuka untuk pengunjung umum.

Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu
Pintu masuk Bumi Perkemahan Kalipasang/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Dari camping sampai trekking santai di Kalipasang

Lokasi yang mudah dijangkau dan tidak terlalu terpencil membuat Kalipasang ramai pengunjung saat akhir pekan. Sesuai namanya, Kalipasang cocok buat menghabiskan waktu liburan dengan camping atau berkemah, terutama bagi komunitas, atau keluarga kecil dengan anak-anak yang ingin merasakan suasana alam pegunungan dengan mudah dan murah.

Kontur Bumi Perkemahan Kalipasang seperti menempati lereng bukit, dengan kemiringan tidak terlalu terjal. Pohon-pohon tusam atau pinus (Pinus merkusii) mendominasi tegakan vegetasi yang menjulang dengan jarak tumbuh yang cukup teratur, menciptakan suasana teduh. Jalan setapak beralas batuan yang berundak sebagai akses utama membelah kawasan perkemahan, menanjak hingga berujung pada titik bangunan menara pandang di batas hutan dan perkebunan warga.

Di sisi kanan dan kiri tersedia lahan-lahan datar yang luas dan bisa menampung puluhan tenda, bahkan mungkin memuat ratusan untuk tenda berkapasitas 1–2 orang. Pengunjung bebas menentukan sepetak tanah yang nyaman untuk mendirikan tenda. Fasilitas umum yang bisa dimanfaatkan antara lain panggung terbuka atau amfiteater, kamar mandi, gazebo untuk bersantai, dan musala. Tersedia pula air bersih dari keran di sekitar musala untuk memenuhi kebutuhan air selama camping. Namun, belum tersedia pasokan listrik memadai untuk area tenda, sehingga perlu membawa peralatan kelistrikan atau lampu portabel sendiri. 

Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu
Susana berkemah di bawah pepohonan pinus Kalipasang/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Tidak hanya sibuk di sekitar tenda, pengunjung juga bisa beraktivitas selain camping di sekitar bumi perkemahan, seperti trekking ringan menikmati suasana hutan maupun perdesaan di luar kawasan. Aktivitas tersebut paling enak dilakukan saat pagi. Mulai dari melihat pemandangan Gunung Merbabu di sisi selatan, hingga menikmati aneka tumbuhan selain pinus, di antaranya pohon puspa dan aneka semak. Beberapa burung kecil juga tercatat singgah di kanopi pepohonan di bumi perkemahan, antara lain dederuk, prenjak, hingga kutilang.

Berbeda dengan sistem pendakian yang mewajibkan reservasi, tidak ada ketentuan khusus untuk berkemah di Kalipasang. Pengunjung bisa langsung datang dan membeli tiket masuk di tempat. Berdasarkan keterangan pengelola, tarif camping mulai dari Rp25.000 per orang (mencakup penggunaan fasilitas di kawasan), sementara jika hanya berkunjung tanpa berkemah dikenakan tarif Rp5.000 per orang. 

Dari kiri ke kanan: Jalan setapak membelah hutan pinus Kalipasang, menara pandang di ujung bukit, dan salah satu pohon yang berfungsi sebagai resapan mata air di area bumi perkemahan/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Cara menuju Kalipasang

Rute perjalanan yang dilalui untuk menuju Kalipasang cukup mudah. Baik dari Semarang, Salatiga, Magelang, maupun Yogyakarta, arahkan kendaraan ke kawasan wisata Kopeng. Setiap jalur akan sama-sama bertemu di Tugu Getasan, yang berada di depan kantor Koramil 03/Getasan di pinggiran Jalan Magelang–Salatiga.

Dari persimpangan tugu tersebut, selanjutnya melalui jalan kampung dengan kondisi aspal cukup baik. Ada beberapa titik tanjakan sebelum Kalipasang, sehingga harus berhati-hati. Jika bingung, bisa menggunakan panduan aplikasi peta, seperti Google Maps maupun Waze, karena sinyal seluler dan internet masih menjangkau sampai pintu masuk bumi perkemahan.

Pilihan transportasi umum sangat terbatas. Hanya ada bus kecil trayek Magelang–Salatiga yang melintasi Kopeng dengan rentang jadwal agak lama dan tidak beroperasi 24 jam. Untuk itu disarankan membawa kendaraan sendiri, baik motor maupun mobil agar lebih fleksibel. Tidak perlu khawatir dengan tempat parkir, tersedia lahan yang cukup untuk sejumlah motor dan mobil. Keamanan juga terjamin karena ada petugas jaga 24 jam di pos registrasi. 

Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu
Pemandangan Gunung Merbabu dari sekitar Bumi Perkemahan Kalipasang/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Menjadi pejalan bijak: hal-hal yang harus diperhatikan

Bumi Perkemahan Kalipasang merupakan bagian dari taman nasional selaku pemangku kawasan konservasi. Oleh karena itu pengunjung harus mematuhi aturan-aturan tertulis yang berlaku. Sebab, Kalipasang juga menjadi rumah bagi beberapa spesies flora dan fauna yang harus dilindungi keberadaannya. 

Selain itu, TelusuRI juga menyarankan setiap pengunjung agar menjadi pejalan bijak, serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan bumi perkemahan. Berikut sejumlah tips yang bisa kamu lakukan selama berkunjung di Kalipasang.

  1. Menghormati adat istiadat di dusun sekitar bumi perkemahan.
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan taman nasional.
  3. Melengkapi diri dengan perlengkapan camping dan logistik (makanan-minuman) yang cukup selama berkemah.
  4. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai.
  5. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air.
  6. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu.
  7. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya untuk meminimalisasi makanan kemasan sekali pakai.
  8. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan.
  9. Membawa kantung sampah secukupnya.

Jadi, kapan rencana mau camping di Kalipasang bareng keluarga atau sahabat terdekat?


Bumi Perkemahan Kalipasang

Jam operasional: buka setiap hari selama 24 jam
Narahubung: Pak Cicok (0823-2269-3098)

The post Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-di-bumi-perkemahan-kalipasang-gunung-merbabu/feed/ 0 45652
Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/ https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/#respond Thu, 30 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42061 Bagi sebagian masyarakat perkotaan, hidup berdampingan dengan penuh sesak dan panasnya kota merupakan keseharian yang menyebalkan. Dingin serta sunyinya pegunungan menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari pengap perkotaan.  Beruntung. Di Indonesia, kekayaan alam berupa...

The post Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian masyarakat perkotaan, hidup berdampingan dengan penuh sesak dan panasnya kota merupakan keseharian yang menyebalkan. Dingin serta sunyinya pegunungan menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari pengap perkotaan. 

Beruntung. Di Indonesia, kekayaan alam berupa gunung tersebar hampir di setiap pulau. Tiap gunung memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Salah satu gunung yang memikat karena pemandangan alam yang masih asri adalah Gunung Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga wilayah administratif, yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang. Jika kita melihat pemandangan gunung ini dari daerah Boyolali bagian timur, seperti Kecamatan Banyudono, Teras, dan Mojosongo, kita akan melihat pemandangan dua gunung berdampingan: Merbabu dan Merapi. Mirip dengan lukisan pemandangan alam anak-anak sekolah dasar. 

Di lereng Gunung Merbabu, cukup banyak tempat yang bisa digunakan untuk sekadar ngopi atau menikmati alam. Dari sekian pilihan, saya memilih untuk berkunjung ke sebuah kafe bernama Selosa Coffee Hills. Letaknya tidak jauh dari Simpang PB VI Selo—warga sekitar menyebutnya Alun-alun Selo. Jika dari timur, sebelum simpang tersebut bisa berbelok ke arah kanan lalu mengikuti jalan naik. Nantinya akan ada plang petunjuk arah menuju lokasi parkir kafe tersebut. 

Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
Pintu masuk Selosa Coffee Hills/Aldino Jalu Seto

Fasilitas dan Keunikan Selosa Coffee Hills

Selosa Coffee Hills terletak di atas bukit. Bagian depannya berhadapan langsung dengan Gunung Merbabu. Inilah yang menjadi ciri khas Selosa. Sepanjang mata memandang terlihat hijaunya pepohonan, tanah dan lahan yang subur ditanami sayur, serta pepohonan yang tinggi menjulang. Terlihat di atasnya keluarga bahagia dari burung ciblek gunung membuat rumah bersama anaknya. 

Jika melihat lebih luas, suasana asri tersebut berbanding terbalik dengan pemandangan kota yang terlihat samar. Tak hanya gedung yang membumbung tinggi, tetapi juga udara bermuatan debu polusi dari kendaraan bermotor. Dari kejauhan tampak kontras corak warna perkotaan menjadi lebih putih dan kuning, yang menandakan wilayah tersebut lebih panas. Selain itu, hampir tak terlihat hijaunya pepohonan di sana. 

Sementara hari masih cerah dan terasa sedikit panas, saya segera memesan segelas regal dingin dengan tambahan bakpao rasa ayam dan cokelat. Saya bertanya pada kasir, “Apakah kopinya bisa diberi wadah di gelas saja?”

Kasir tersebut menjawab, “Maaf, Kak. Untuk persediaan gelas kita terbatas, biasanya kita menggunakan gelas plastik [sekali pakai].”

Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
Menikmati pemandangan lereng Gunung Merbabu ditemani segelas minuman dan buku yang saya bawa/Aldino Jalu Seto

Percakapan kecil itu jadi sentilan bagi saya pribadi. Di tempat yang dianggap sebagai paru-paru dari suatu daerah, ternyata masih memproduksi limbah anorganik yang akan menghancurkan keasrian tempat tersebut suatu hari nanti. 

Sayang sekali kesadaran kecil seperti itu belum terbentuk. Pemandangan tadi kembali mengalihkan perhatian saya. Dengan suasana setenang itu, saya berpikir untuk mengeluarkan sebuah buku. Tulisan Mas Marco Kartodikromo yang dibukukan menjadi pilihan saya. Bukunya berisi kritikan kepada pemerintah kolonial dengan gaya jurnalisme.

Selain kumpulan tulisan Mas Marco Kartodikromo yang sengaja saya bawa dari rumah, saya juga melihat koleksi buku dari Selosa Coffee Hillis. Menarik. Banyak buku bergenre cinta bertengger di rak buku itu. Kebanyakan hasil terjemahan dari novel luar negeri.

Namun, masih terdapat novelis indonesia, seperti Andrea Hirata. Ia terkenal dengan novel fiksi yang dipadupadankan dengan sains. Saya rasa, pemandangan alam akan sangat pas bila dikombinasikan dengan ketenangan membaca buku fiksi bergenre cinta. Perasaan seolah diaduk.

Bagi orang yang kurang suka membaca, Selosa menyediakan permainan yang bisa dimainkan bersama. Contohnya kartu UNO. Bila bosan pun, masih banyak opsi permainan lain yang bisa dicoba. Tak perlu repot untuk meminjam, permainan tersebut tersedia langsung di ruang semi outdoor, asal nanti dikembalikan seperti semula. 

Variasi Pilihan Tempat Nongkrong

Yang tak kalah menarik adalah keberadaan kamar mandi, sesuatu yang biasanya luput dari perhatian pengelola. Saya sendiri sering menemukan kamar mandi di tempat wisata yang kurang terawat sehingga kotor dan tak nyaman untuk dipakai. Di Selosa, saya menemukan kamar mandi yang terbilang estetis dan tidak “malu-maluin” jika difoto.

Selosa memberikan beberapa tempat nongkrong dengan desain yang berbeda. Pertama, ruangan indoor yang didesain secara modern. Dilengkapi kursi kayu, lampu, lukisan, cermin, serta kaca yang menghadap langsung ke pemandangan sekitar—daya tarik utama ruangan ini. Di dalamnya juga terdapat bar untuk memesan makanan dan minuman.

  • Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
  • Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills

Kedua, semi outdoor, yang berada di sebelah ruangan indoor. Identik dengan angin dingin yang berembus langsung mengenai tubuh. Pada bagian yang lain saya masih menjumpai tempat yang benar-benar terbuka. Di atasnya terdapat pohon untuk memayungi pengunjung yang duduk di bawahnya dari panas dan hujan.

Pemandangan Merbabu dari Selosa memang memiliki daya tariknya sendiri. Jika berlibur ke sana, jangan melewatkan tempat tersembunyi di atas bukit. Bahkan kalau mau naik sedikit lagi, kita bisa mengunjungi Goa Raja. Gua ini merupakan tempat tapa brata atau semedi Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Menurut beberapa literatur, Goa Raja digunakan oleh keduanya untuk mengatur strategi melawan kolonialisme Belanda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/feed/ 0 42061
Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/ https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/#respond Fri, 10 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41890 Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari...

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari daerah barat maupun timur.

Jika kamu adalah seorang pemburu seven summits, dan masih terlalu jauh untuk menggapai tujuh puncak tertinggi Indonesia atau dunia, kamu bisa memulainya di Jawa Tengah. Secara umum, akses menuju lokasi basecamp masing-masing gunung relatif mudah dijangkau tanpa kesulitan berarti.

Gunung-gunung di daftar ini rata-rata bisa didaki secara optimal dengan durasi dua hari satu malam perjalanan. Beberapa di antaranya jika diperlukan memerlukan tambahan satu hari untuk ritme yang santai dan menikmati jalur, atau bahkan sehari pergi-pulang jika ingin memakai sistem tektok.

1. Gunung Slamet (3.428 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Lebatnya hutan Gunung Slamet terlihat jelas dari Bambangan, Purbalingga/Rifqy Faiza Rahman

Inilah atap Jawa Tengah. Nomor dua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl). Jangkauan lereng hingga kaki gunungnya sangat luas, menjangkau lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada bagian puncaknya terdapat kawah belerang yang masih aktif. Selain itu, di area puncak gunung dengan medan berbatu dan berpasir juga dikenal kerap berkabut secara tiba-tiba sehingga pendaki mesti ekstra fokus dan berhati-hati.

Untuk kamu yang merancang program pendakian atau ekspedisi tujuh gunung dalam satu rangkaian waktu, masukkan Gunung Slamet ke daftar destinasi pertama. Panjangnya jalur pendakian dan tingkat tantangan yang tersaji akan menuntutmu mempersiapkan segalanya dengan baik, baik secara fisik, mental, dan logistik. 

Sejauh ini ada sekitar enam jalur pendakian resmi di Gunung Slamet. Baturraden (Banyumas), Bambangan (Purbalingga), Gunung Malang (Purbalingga), Dipajaya (Pemalang), Guci (Tegal), dan Kaliwadas (Brebes). Masing-masing memiliki karakter dan tingkat kesulitannya sendiri. Kecuali terdapat peraturan yang mengikat oleh pengelola basecamp, TelusuRI menyarankan kamu mendaki gunung ini dalam tiga hari dua malam. Tujuannya agar lebih menikmati perjalanan dan tidak terlalu menguras tenaga.

2. Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Sabana Segoro Banjaran di dalam kaldera Gunung Sumbing, bisa ditempuh dari jalur Banaran, Temanggung/Rifqy Faiza Rahman

Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Di lereng gunungnya terhampar melimpah perkebunan tembakau, sama seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro. Ciri khas gunung ini adalah bagian kaldera dekat puncak yang bisa dieksplorasi, mencakup sabana Segoro Banjaran, area berpasir Segoro Wedi, makam Ki Ageng Makukuhan, dan kawah belerang aktif.

Tersedia banyak pilihan jalur menuju puncak, baik itu Puncak Rajawali (tertinggi), Puncak Buntu, maupun Puncak Sejati. Di wilayah Magelang, ada jalur Butuh dan Mangli yang masuk wilayah Kecamatan Kaliangkrik. Kemudian di Temanggung, terdapat jalur Banaran, Cepit, Dukuh Seman, Sipetung, dan Batursari. Terakhir di jalur barat atau Wonosobo, kamu bisa memilih antara Bowongso atau Gajah Mungkur. 

Secara umum, tipikal jalur pendakian Gunung Sumbing cenderung lurus dan menanjak terjal nyaris tanpa ampun. Sebagian rute bahkan tidak memiliki sumber air, sehingga kamu harus mempersiapkan stok air berlebih. Untuk itu, diperlukan ketahanan fisik yang prima agar mampu mendaki gunung ini dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Gunung Lawu (3.265 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Pendaki menikmati pemandangan dan suasana sore di sabana Gupakan Menjangan, jalur Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Bagian kaki, lereng, hingga puncak tertinggi gunung ini (Hargo Dumilah) tertancap di perbatasan dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terkenal bukan hanya di kalangan pendaki, melainkan juga bagi para peziarah atau pelaku spiritual.

Sejumlah jalur pendakian yang tersedia bahkan menyimpan beberapa situs cagar budaya peninggalan kerajaan masa lampau. Seperti jalur Cetho, Karanganyar, kamu akan menjumpai Candi Cetho itu sendiri dan Candi Kethek yang terletak berdekatan. Adapun rute pendakian lain di wilayah Jawa Tengah adalah Cemoro Kandang (Tawangmangu) dan Tambak (Ngargoyoso). Keduanya juga berada di Kabupaten Karanganyar.

Menurut kebanyakan pendaki, temperatur udara di Gunung Lawu kabarnya lebih dingin dibandingkan gunung-gunung lain. Untuk itu, persiapkan fisik dan perlengkapan yang memadai agar pendakianmu berjalan lancar.

4. Gunung Sindoro (3.153 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Kerucut Gunung Sindoro dipotret dari jalur pendakian Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman

Posisi gunung yang memiliki kawah belerang aktif dan cukup besar ini tepat di seberang Gunung Sumbing. Hanya dipisahkan lembah yang di atasnya membentang jalan raya Temanggung–Wonosobo. 

Hampir di segala penjuru mata angin gunung ini terdapat jalur resmi yang bisa didaki. Dari sisi utara, kamu bisa mendaki melalui Sigedang yang letaknya tak jauh dari kawasan perkebunan teh Tambi, Wonosobo. Di sebelah timur, terdapat jalur Bansari yang relatif dekat dengan pusat kota Kabupaten Temanggung. Kemudian jika kamu ingin mendaki dari arah barat, kamu bisa menuju Desa Ndoro Arum di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Bergeser ke selatan, ada tiga jalur yang terletak berdekatan di perbatasan Kabupaten Temanggung–Wonosobo. Pertama, jalur Kledung. Basecamp-nya menempel dengan kompleks Kantor Desa Kledung dan berada persis di pinggir jalan raya Temanggung–Wonosobo. Kedua, Alang-alang Sewu di wilayah Kecamatan Kertek, Wonosobo. Ketiga, rute Bedakah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh Bedakah, juga di Kecamatan Kertek. Jalan menuju basecamp Bedakah searah dengan basecamp Gunung Kembang, “anak” Gunung Sindoro.

5. Gunung Merbabu (3.145 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Deretan tenda pendaki di area camp Puncak 2 Pemancar Gunung Merbabu, via jalur Thekelan/Rifqy Faiza Rahman

Berada di dalam kawasan taman nasional, Merbabu juga memiliki seven summits-nya sendiri. Kamu akan mencapainya bila mendaki lewat jalur Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Orang-orang menyebutnya jalur tua atau klasik. Kelebihan lain dari jalur Thekelan adalah ada tiga titik sumber air yang bisa dimanfaatkan pendaki, yaitu Pos 1 Pending (1.824 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.137 mdpl), dan pos air di bawah Helipad (2.884 mdpl).

Karena aturan durasi pendakian terbatas dua hari satu malam, persiapkan fisik, logistik, dan manajemen waktumu untuk bisa menggapai tujuh puncak tertinggi Merbabu: Puncak 1 Watu Gubug (2.723 mdpl), Puncak 2 Pemancar (2.847 mdpl), Puncak 3 Geger Sapi (3.002 mdpl), Puncak 4 Syarif (3.119 mdpl), Puncak 5 Ondo Rante (3.112 mdpl), Puncak 6 Kenteng Songo (3.142 mdpl), dan Puncak 7 Triangulasi (3.145 mdpl).

Lewat jalur mana pun, baik itu Thekelan, Selo, Suwanting, maupun Wekas, kamu bisa simak informasi panduan registrasi pendakian Gunung Merbabu secara daring di sini. Sebagai bocoran, pesan kuota pendakianmu jauh-jauh hari, karena saat akhir pekan biasanya akan penuh (terutama jalur Selo dan Suwanting).

6. Gunung Prau (2.590 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Tenda-tenda pendaki di area camp dekat puncak Gunung Prau, bisa digapai lebih cepat dari jalur Patak Banteng/Rifqy Faiza Rahman

Sejak pertama kali dibuka untuk umum sampai sekarang, tampaknya status gunung sejuta umat yang biasa disandang Semeru bergeser ke Prau. Lihat saja saat akhir pekan atau libur panjang, pendaki akan menyemut hampir di semua jalur. Dari sekitar enam jalur resmi, Patak Banteng dan Dieng di Wonosobo jadi dua daftar teratas yang paling diburu pendaki. 

Kalau kamu cenderung mencari jalur yang relatif tidak terlalu padat, kamu bisa mencoba jalur Wates di Kecamatan Wonoboyo, Temanggung; Igirmranak dan Kalilembu di Kecamatan Kejajar, Wonosobo; atau via Dieng Kulon (Candi Dwarawati) di Kecamatan Batur, Banjarnegara. Masing-masing jalur akan saling bertemu di kawasan puncak tertingginya. 

Ikon gunung ini memang berada di area puncak. Hanya dengan mendaki sekitar 2,5–4 jam (setiap jalur bervariasi), pendaki bisa melihat pemandangan gunung-gunung besar lain di sekitarnya. Jika cuaca cerah, kamu akan melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing berdampingan, begitu pun Merbabu dan Merapi. Nun di barat, ada Gunung Slamet. Momen terbaik biasanya saat matahari terbenam, malam hari penuh bintang, atau matahari terbit. 

7. Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Vegetasi semak dan rerumputan di area puncak Gunung Pakuwaja via Facebook/Gunung Pakuwaja

Meskipun berbeda lokasi, Gunung Pakuwaja terbilang masih satu area dengan Gunung Prau di dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng. Bentang alam Gunung Pakuwaja mencakup tiga desa di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, yaitu Sembungan, Parikesit, dan Tieng. Basecamp terpopuler gunung ini ada di Parikesit. Waktu tempuhnya berkisar 1,5–3 jam, tergantung kondisi fisik kamu. Meski tidak sampai 3.000 mdpl, tetapi treknya cukup bervariasi. Ada yang landai, ada yang terjal. 

Dalam catatan Badan Geologi ESDM, Pakuwaja merupakan gunung api yang terbentuk paling muda yang menempati Kompleks Vulkanik Dieng. Oleh karena itu, jika kamu penyuka ilmu kebumian, Gunung Pakuwaja adalah tempat yang pas karena memiliki situs jejak lava yang beraneka ragam. Namun, pastikan kamu tetap menaati segala peraturan yang ditetapkan basecamp dan jaga sopan santun selama pendakian. Sebuah sikap yang juga berlaku untuk gunung-gunung lain.

Setelah menuntaskan Sumbing, Sindoro, Prau, dan Pakuwaja, jika masih memiliki sumber daya waktu, tenaga, dan biaya, kamu bisa melanjutkan program seven summits khusus di wilayah Kabupaten Wonosobo. Ketiga puncak gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), dan Gunung Kembang (2.340 mdpl). Yang menarik, kamu bisa mendapatkan sertifikat dari Perhutani KPH Kedu Utara sebagai apresiasi keberhasilan kamu meraih seven summits of Wonosobo.

Menjadi Pendaki Bijak

Sah-sah saja jika kamu berambisi mengkhatamkan tujuh puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah. Namun, pastikan kamu menjadi pendaki yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk ikut menjaga gunung itu sendiri. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan pendakian
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang mengurangi sampah kemasan anorganik
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang mungkin kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Jadi, mau mulai dari mana buat mendaki seven summits Jawa Tengah? Lekas kemasi ranselmu dan berangkat sekarang juga!


Penafian:
Gunung Merapi (2.968 mdpl) tidak masuk daftar karena telah lama ditutup untuk pendakian sejak peningkatan aktivitas vulkanis pada 2018. Kini statusnya Level III (Siaga).


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/feed/ 0 41890
Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023 https://telusuri.id/cerita-dari-seorang-peserta-eiger-mountaineering-jungle-course-2023/ https://telusuri.id/cerita-dari-seorang-peserta-eiger-mountaineering-jungle-course-2023/#respond Fri, 19 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41724 Namanya Emma Justica Rusadi. Adik ipar penulis. Anak muda yang—setidaknya—dua tahun belakangan sangat aktif mendaki gunung. Selain karena memang suka, renjananya terhadap rimba juga disebabkan “kegilaan” kakak-kakaknya yang memang sangat hobi dan menggilai petualangan alam,...

The post Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Emma Justica Rusadi. Adik ipar penulis. Anak muda yang—setidaknya—dua tahun belakangan sangat aktif mendaki gunung. Selain karena memang suka, renjananya terhadap rimba juga disebabkan “kegilaan” kakak-kakaknya yang memang sangat hobi dan menggilai petualangan alam, terutama pendakian gunung.

Meskipun portofolio pendakiannya baru seputar gunung-gunung di Jawa Tengah, lakunya menunjukkan antusiasme besar melebihi pengalamannya sejauh ini. Ia hampir selalu ikut jika penulis dan teman-teman memiliki agenda mendaki gunung di sekitar rumah. Beruntung dan bersyukur Magelang dikaruniai gunung-gunung yang bisa dijangkau dengan mudah.

Beberapa bulan lalu perempuan kelahiran Magelang itu baru pulang dari “diklat singkat” dalam EIGER Mountaineering & Jungle Course (MJC) pada 24 September–1 Oktober 2023, yang acara intinya dihelat di Bumi Perkemahan Kalipasang, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, Getasan, Kabupaten Semarang. Saat dinyatakan lolos seleksi setelah periode pendaftaran 8–11 September, ia dan peserta lainnya mendapat sejumlah fasilitas, antara lain tas carrier EIGER Rhinos 45 L, kostum kegiatan (kaus dan syal), transportasi titik kumpul Koramil Getasan–basecamp (PP), peta kawasan, tenda dan konsumsi selama kegiatan, pendampingan medis, Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi), dan sertifikat kegiatan.

Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023
Djukardi “Bongkeng” Adriana (paling depan, memegang kapak) membuka acara EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023 secara resmi di Bumi Perkemahan Kalipasang, Taman Nasional Gunung Merbabu/EIGER Adventure

Pada event tersebut, Emma dan puluhan peserta lainnya berkesempatan mereguk ilmu seputar pendakian gunung dari Djukardi “Bongkeng” Adriana dan 10 pembicara lainnya dengan materi-materi terbaik: Galih Donikara (manajemen ekspedisi), Heri “Jaro” Herdiana (manajemen perlengkapan dan peralatan ekspedisi), Heri “Uu” Suherman (teknologi navigasi darat gunung hutan), Nana Herdiana (perencanaa perbekalan), Gustaman (membangun jaringan komunikasi lapangan), Mamay S. Salim (wawasan ekspedisi), Dudi Sugandi (dokumentasi ekspedisi), Siska Nirmala (pendakian zero waste), serta dr. Darmawati Ayu, M.Si.Med (kesehatan perjalanan dan medis ekspedisi). Nurpana Sulaksono, yang saat itu menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, turut berbicara memberi wawasan mengenai kawasan konservasi Gunung Merbabu.

Di tengah keterbatasan waktu, Emma (panggilan akrabnya) berbagi cerita singkat serta banyaknya ilmu dan keterampilan yang didapat saat mengikuti agenda tahunan EIGER tersebut. 

Ceritakan, dong, awalnya bisa ikut EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023?

Pertama kali lihat (poster iklan) MJC itu pas mau naik Merbabu [via] Thekelan itu, loh (Agustus 2023). Terus langsung [berpikir]. wah, ini [menarik]. Slot terbatas dan cepet-cepetan.

Kenapa mau ikut event ini? 

Karena memang background-ku bukan dari anak pencinta alam, terus [aku] merasa kayak butuh. [Selain itu] pengin coba dan kenalan sama teman-teman pendaki yang pastinya banyak dari komunitas pencinta alam. Apalagi dari kampus kampus, kan, biasanya. Dan kemarin kebetulan juga banyak banget perwakilan [organisasi] pencinta alam kampus, yang sangat didukung secara finansial dan moral.

  • Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023
  • Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023
  • Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023

Bagaimana proses pendaftaran dan seleksinya?

Daftarnya itu gampang sebenarnya. Tinggal isi formulir (secara daring lewat tautan Instagram EIGER Adventure Service Team/EAST) kemudian diseleksi. [Jika lolos] dihubungi untuk registrasi ulang dan [baru] aku bayar [biaya registrasi] Rp750.000.

Sistem bayarnya juga harus dihubungi satu per satu dulu baru bisa bayar, sehingga yang bukan calon peserta itu enggak bisa transfer. Jadi, memang sangat terseleksi dan tepatlah orangnya [yang bisa ikut].

[Setelah itu] akhirnya masuk ke grup [Whatsapp]. Nah, di grup tersebut mulai kayak ada [tambahan persyaratan] tes kesehatan dan surat keterangan dari orang tua atau wali, karena kita delapan hari kegiatan di luar [rumah].

Dari mana saja 80 orang yang ikut MJC kemarin?

Untuk peserta tahun ini hampir rata, sih, karena hampir setiap provinsi ada. Yang paling jauh itu Papua, cuma aku lupa bagian mana dan enggak banyak. [Peserta] paling banyak itu [dari] Sulawesi, Nusa Tenggara, sama Sumatra pun ada. Kalau dihitung rata banget, kok. Cuma kalau dari Jawa Tengah hanya Magelang dan Banjarnegara.

Dari 80 peserta, hampir 97% berpengalaman mendaki gunung. [Kadar] pengalamannya paling minim mendaki gunung tertinggi di provinsi mereka. Misalnya, orang-orang Jawa Tengah sudah sampai Slamet. Orang Nusa Tenggara Barat sudah sampai Rinjani.

  • Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023
  • Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023

Bagaimana jadwal kegiatan berlangsung selama delapan hari itu?

Di grup kita dikasih briefing materi dan lain-lain, seperti persiapan dan daftar perlengkapan apa saja yang harus dibawa besok. Nah, untuk kegiatannya [apa saja] itu sangat-sangat dirahasiakan. Jadi, selama delapan hari itu kita sama sekali enggak tahu kita besok mau ngapain, materinya apa, ketemu siapa. Kita enggak tahu.

Habis subuh itu, sekitar pukul 05.00 kita sudah bangun untuk persiapan senam. Habis senam kita makan. Setelah itu kayak enggak ada jeda untuk mandi dan lain-lain. Ya, sudah, langsung mulai pukul 07.00 itu mulai [pemberian] materi sampai pukul 21.00. Pembicara itu banyak, tetapi melingkupi seluruh materi. Jadi, kayak step by step.

Sebenarnya banyak pembicara selain dari [yang tertera] di poster MJC. Misalnya, 17 ekspeditor perempuan dari Ekspedisi 17 Gunung di tanggal 17 Agustus itu juga diundang. Bahkan Kang Bongkeng itu malah hadir dari mulai panitia masuk buka tenda, benar-benar dari nol belum ada apa-apa di lapangan, sampai hari H selesai.

Di akhir kegiatan, peserta MJC praktik melakukan ekspedisi ke Gunung Merbabu. Seperti apa itu proses perjalanannya?

Dari 80 dibagi empat kelompok. Berarti [ada] 20 orang per tim, [masing-masing] lewat jalur Suwanting, Wekas, Thekelan, dan Selo. Tanggal 29 September itu naik, tanggal 28 malam (sehari sebelumnya), kita baru dikasih tahu [pembagian kelompok dan jalur].

Di situ tugas kita sebagai peserta dalam satu tim, diminta buat proposal ekspedisi. Mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, koordinator logistik, siapa navigatornya, siapa bagian dokumentasi; itu [harus] detail semua. Setelah buat kepanitiaan dan pembagian tugas, kita menyusun rencana anggaran untuk ekspedisi itu. Istilahnya kita [akan] dibiayai EIGER, tapi kita [harus] mengajukan proposal dulu. sampai di-ACC pagi harinya.

Kita tuh enggak tahu per tim itu dapat berapa juta. Jadi, ya, kita harus seminimal mungkin anggarannya dan tetap sesuai tujuan gitu. Makanya kemarin aku sempat jadi bendahara di tim jalur Suwanting, ya, kerasa [pusing].

Setiap materi itu diterapkan saat ekspedisi. Salah satunya soal navigasi darat. Jadi, meskipun sudah jelas jalurnya, kita tetap merasa bahwa ini tidak jelas jalannya. Kita benar-benar belajar [praktik langsung], kita berangkat berapa mdpl (meter di atas permukaan laut), sampai Pos 1 berapa mpdl, berapa jam [perjalanan]. Serinci itu. Kemudian handy talky (HT) itu dibagi ke tiga: ketua tim satu, sweeper satu, sama navigator satu. Dibagi tiga tim selama perjalanan.

Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023
Keesokan paginya, 30 September 2023, masing-masing tim dari empat jalur resmi bertemu di puncak tertinggi Gunung Merbabu. Kemudian dilanjutkan seremoni pengibaran bendera merah putih memanjang ditopang 80 peserta MJC di bawah pos Helipad di punggungan jalur Thekelan. Setelah itu masing-masing tim kembali turun melalui jalur seperti saat berangkat/EIGER Adventure

Adakah feedback dari perusahaan, dalam hal ini EIGER Adventure, selaku penyelenggara MJC?

Pertama, kalau dari MJC (dalam hal ini EIGER) sebenarnya enggak muluk-muluk ya. Maksudnya, enggak kayak besok kamu keluar dari MJC harus begini-begitu, harus naik gunung terus, enggak sih. Tapi mereka sangat terbuka, kalau misalnya kita mau ekspedisi dan dibantu finansial (disponsori) sama EIGER, [kita dipersilakan] buat proposal apa saja bentuk ekspedisinya. Kalau diterima [proposalnya], ya, kita dengan senang hati ngasih feedback, karena mereka senang banget [kalau] ada ekspedisi dari orang-orang atau anak-anak muda [peserta MJC].

Terus yang kedua, kalau misalnya [berkegiatan] keluar atau mau jadi apa juga dipersilakan. Be yourself. Mau pakai nama MJC enggak apa-apa, yang penting bertanggung jawab, karena kita sebelum masuk itu kayak ada surat pernyataan persetujuan gitu, [salah satunya] detail seperti membawa nama baik brand.

Apa saja pesan yang kamu dapat selama mengikuti EIGER MJC?

Secara keseluruhan [hampir semua pembicara] bilang, selagi kamu masih muda silakan bermimpi besar. Karena mimpi-mimpi kecilmu akan menjadi besar.

Kayak aku yang perempuan aja ditanya begini sama Kang Iwan “Kwecheng” Irawan:
“Kamu masih muda, Mbak. Perempuan lagi. Umurnya berapa?”
“24 tahun, Pak.”
“Loh, enggak mau nikah, ya?”
“Belum, Pak.”
“Kamu cita-citanya atau impian terbesarmu apa?”
“Ya, pengin paling enggak sampai basecamp Everest.”
“Ya, bisa! Kamu itu punya mimpi yang besar, jangan yang kecil-kecil. Karena kalau [mimpi] yang besar itu pasti effort-nya akan besar untuk mencapai itu.”

Semua orang di EIGER Adventure Service Team (EAST) itu kan rata-rata tidak punya tujuan untuk menjadi pendaki profesional dari muda. Kang Bongkeng saja di-drop out (DO) dari sekolah. Jadi, beliau [Kang Bongkeng] juga bilang, “Ya, kalau kamu misalnya [mau] sekolah, silakan fokus sekolah dulu. Jangan fokus naik gunung. Kalau kamu sudah punya titel, sudah lulus, baru kamu jadi pendaki profesional. Jangan kayak saya.”

Kesan apa yang sangat menempel di benak kamu selama mengikuti MJC?

[Aku merasa] sangat diterima dengan baik walaupun aku masih pemula dan enggak tahu apa-apa. Tidak ada yang membedakan sama sekali, entah itu pesertanya maupun orang-orang EIGER-nya. Bahkan orang orang basecamp pun sangat welcome [berbagi] pengetahuan, kayak [misalnya] kamu nggak tahu sesuatu, ya, dijelaskan kok. Sangat merangkul, siapa pun itu di acara MJC.

Apalagi orang-orang dari taman nasional, kemarin kan datang semua. Sangat welcome juga, diajak ngobrol. Benar-benar kayak enggak ada batasan dan tidak pandang bulu sama sekali.


Foto sampul:
Foto bersama para peserta EIGER MJC 2023 di puncak Gunung Merbabu/EIGER Adventure


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita dari Seorang Peserta EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-dari-seorang-peserta-eiger-mountaineering-jungle-course-2023/feed/ 0 41724
Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/ https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/#respond Wed, 17 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41702 Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik...

The post Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik pedagang dan pembeli silih berganti mewarnai aktivitas pasar tradisional tersebut setiap harinya.

Harga jual di Pasar Cepogo cenderung lebih murah ketimbang pasar perkotaan. Jika membeli dalam jumlah besar, harga bisa ditawar. Tawar-menawar juga berlaku untuk komoditas lain, seperti buah-buahan dan hewan ternak—saat hari pasaran tiba. Jika mengunjungi Pasar Cepogo pas hari pasaran, jangan terkejut apabila menjumpai berbagai macam dagangan dari bahan pokok hingga peralatan perkebunan.

Para pedagang biasa berjualan dari subuh hingga senja hari. Tidak sedikit dari mereka tak kuat menahan kantuk sehingga tertidur di samping dagangan. Pemandangan yang lumrah terjadi di pasar tradisional. Untuk menyiasatinya, mereka saling bertegur sapa dan membantu menjual barang dagangan satu sama lain. 

Momen-momen Penuh Kehangatan di Pasar Cepogo

Ketika mulai menginjakkan kaki menyusuri gang-gang kecil Pasar Cepogo, saya langsung disambut berjejer kios dengan aneka jenis dagangan. Sekadar lewat tanpa belanja pun tidak masalah. Tiada henti saya menyorotkan mata kamera untuk mengabadikan setiap momen yang sangat berharga.

“Mari silakan, Mas, mau cari apa?” para pedagang menyapa sepanjang jalan dan saling bersahutan tiada henti. Salah satu cara membalasnya adalah cukup dengan tersenyum dan menyapa balik. Begitu saja mereka sudah sangat senang. Tampak sederhana, tetapi belum tentu mudah dilakukan.

Selama menyusuri pasar, saya menyaksikan sesama pedagang tidak ada yang saling iri ketika ada pembeli yang menghampiri salah satu lapak. Batin saya, rezeki sudah ada yang mengatur. Pasti nanti juga laku semua.

Tatkala asyik mengabadikan potret seorang pedagang, tiba-tiba pedagang lain di belakang saya berteriak, “Wah, Mas! Masuk majalah apa ini nanti? Saya juga mau kalau difoto. Gratis kan, Mas?”

“Oh, iya, Bu. Boleh, gratis. Nanti saya masukan majalah Kuncung (majalah jadul)!” jawab saya dengan nada bercanda.

Lensa kamera tak henti merekam setiap tingkah laku si ibu, yang berhasil membuat saya ikut tertawa. Maklum, kehidupan warga desa di pasar tradisional pasti ada saja keunikannya. Di sela-sela obrolan, ibu itu masih sempat bercanda menawarkan sayur mentah kepada saya. 

“Murah, Mas. Seunting (satu ikat) hanya 1.000 rupiah,” ungkapnya dengan aksen bahasa Jawa.

Murah sekali memang. Namun, karena tujuan awal ke Pasar Cepogo untuk jalan-jalan dan memotret, dengan berat hati harus saya tolak tawarannya.

  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali

Setelah puas bercengkerama, saya melangkahkan kaki menyusuri Pasar Cepogo lebih dalam. Sayup-sayup terdengar suara sapi dan kambing berbalas-balasan di sela kebisingan pekerjaan pandai besi. Sejumlah induk sapi dan kambing berjejer memenuhi halaman tengah pasar. Bukan untuk disembelih lalu dijual dagingnya, melainkan dijual dalam bentuk indukan. Para pedagang ternak melakukan itu karena mereka ingin mengembangbiakkan anakan yang dimiliki.

Ongkos perawatan seekor sapi indukan cukup mahal. Tidak sedikit juga sapi atau kambing yang dijual masih produktif. Pedagang sapi indukan biasanya sudah memiliki ikatan bisnis dengan peternak yang kelebihan jumlah sapi indukan.

Saya sempat melihat sedikit keunikan di antara pengunjung. Mereka mengerubungi hewan ternak yang dijajakan. Ternyata, mereka sedang tawar-menawar dan bertanya jenis sapi yang sehat dan baik kepada para pedagang.

“Banyak yang tanya jenis sapi dan minta dicarikan untuk diternakkan. Kalau beli secara langsung dan dibawa pulang sendiri tidak banyak,” ungkap salah satu pedagang.

Harga yang ditawarkan bervariasi, tergantung jenis sapi perah atau pedaging dan seberapa besar ukurannya. Calon pembeli tidak perlu khawatir karena harga yang dipatok masih bisa ditawar. Tak ayal para pengunjung berjubel menyaksikan dan mencari informasi lebih dekat. Proses jual beli diadakan di lokasi, langsung berhubungan dengan pedagang.

Hewan ternak di Pasar Cepogo sebagian berasal dari luar kota Boyolali. Para pedagang pada umumnya melakukan itu demi mengadu keberuntungan. Tidak sedikit dari mereka, ketika hari pasaran ternak tiba, berpindah-pindah dan keliling ke kota lain.

“Jualannya tidak hanya di pasar ini [Cepogo] saja, tetapi juga kota lain. Tergantung situasi kondisi dan harga ternak di pasaran mana yang cocok, itu yang akan kita datangi,” ungkap salah satu pedagang ternak kepada saya.

Obrolan kami terhenti ketika datang salah satu pembeli. Ia menanyakan harga seekor sapi indukan penghasil susu. Tak butuh waktu lama, keduanya intens berbicara mengenai kondisi sapi yang sedang dijual. Ternyata si pembeli adalah warga Desa Sukabumi, Cepogo, yang juga seorang peternak sapi. Ia bercerita sedang mencari anak sapi perah untuk dikembangkan sendiri. 

Kabupaten Boyolali memang menjadi sentra produksi susu sapi. Hampir merata seluruh desa di Boyolali, sehingga terkenal dengan julukan Kota Susu.

Puas melihat jual beli ternak, rasa penasaran yang menggebu membawa saya ke tepi jalan di depan pasar. Di sana aktivitas pedagang tak kalah riuh. Saya melihat kemacetan dan lalu-lalang warga maupun para tengkulak. Silih berganti menghiasi jalan utama penghubung Boyolali dan Magelang.

“Ah, untung saja ada ibu-ibu jualan buah. Coba izin mengabadikan, semoga boleh,” gumam saya sembari tersenyum melihat ibu paruh baya berjualan di pinggir jalan.

Belum sempat meminta izin, si ibu sudah lebih dahulu meminta difoto karena menyadari kamera yang saya bawa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika saya tak henti memotret, tiba-tiba muncul ibu-ibu lain datang menghampiri dan meminta ikut masuk frame kamera.

“Mas! Mbokdhe ikut foto, ya? Masuk TV!” teriak salah satu ibu sambil tertawa dengan aksen bahasa Jawa khas pedesaan.

Ia lantas mengajak kawan lainnya untuk ikut berfoto. Pemandangan ini sudah sangat jarang ditemukan. Meski hanya warga desa, keakraban dan kebersamaan merekalah yang menambah mewah setiap momen. Lagi asyik mengobrol, salah seorang ibu pedagang buah tiba-tiba menyodorkan pisang jualannya.

“Ayo, Mas, sambil dimakan. Adanya cuma pisang,” pintanya. Kan pisang dijual, kenapa diberikan cuma-cuma? Sejatinya pisang yang diberikan kepada saya tidak layak jual karena patah pada bagian tangkai, tetapi masih baik untuk dimakan.

Sebagai sesama orang desa, akhirnya saya terima pisang yang patah tersebut dan berbincang bersama. Ia sempat bilang kalau pisang satu tundun yang dijual harganya 15 ribu rupiah. Murah, matang pohon. Karena matang pohon terlalu lama, tangkai pisang rawan patah. Pisang patah sejatinya juga dijual dengan harga lebih murah. Namun, yang saya makan sejatinya milik si ibu tersebut.

Setelah lega bertukar cerita, waktunya saya pamit dan berterima kasih atas pemberian pisang dari si ibu. Belum sempat berdiri, ia kembali memberikan pada saya tiga buah pisang untuk bekal perjalanan. Sungguh, nikmat Tuhan yang tidak mungkin saya dustakan. Benar-benar saya syukuri.

Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
Senyum kegembiraan terpancar dari ibu-ibu penjual pisang di seberang pasar/Ibnu Rustamadji

Perlu Sinergi untuk Revitalisasi Pasar

Sepanjang jalan penghubung Boyolali–Magelang, persisnya di depan Pasar Cepogo, menjelang siang akan kian ramai dengan lalu lintas kendaraan dari Boyolali ke Magelang dan sebaliknya. Sebagian di antara pengendara tidak hanya sekadar lewat, tetapi juga transaksi jual beli.

Tidak sedikit yang bertransaksi di tepi jalan, karena situasi dan kondisi yang tidak menentu. Jika hari pasaran tiba, dapat dipastikan akses jalan utama akan tersendat. Kendaraan yang hendak menjual hasil panen pun ikut tertahan di pinggir jalan. Meskipun begitu, pemandangan tersebut lazim terjadi di Pasar Cepogo.

Para pengemudi tampak sesekali membuka terpal penutup bak mobil berisi sayuran segar. Tujuannya memastikan tidak ada kerusakan karena bisa menurunkan kualitas dan harga sayur. Salah satu dari pengemudi itu merupakan warga Desa Jrakah, Kecamatan Selo, daerah perbatasan dengan Kabupaten Magelang. Ia mengaku berangkat Subuh guna menghindari penumpukan kendaraan di Cepogo, walau faktanya tetap harus menunggu sampai menjelang siang. 

“Pasar Cepogo ini sentral perdagangan sayur-sayuran areal Merapi–Merbabu. Jadi, para tengkulak kalau beli sayur jumlah besar langsung ke sini. Kita yang dari atas mengumpulkan di sini, jadi mereka tidak perlu mencari sendiri,” jelasnya. 

Sebagai jantung ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Cepogo memberikan nilai lebih untuk kehidupan warga sekitar. Hanya saja, kondisinya terlalu semrawut dan kurang tertata. Tidak adanya kantung parkir dan keterbatasan bidang jalan membuat Pasar Cepogo kerap menyebabkan kemacetan.

Besar harapan saya, Pemerintah Kabupaten Boyolali dan stakeholder terkait mampu bersinergi. Bersama-sama dengan masyarakat menata pengelolaan Pasar Cepogo menjadi lebih baik, sekaligus tetap mampu mempertahankan keramahan orang-orangnya.

Tidak ada yang salah dengan revitalisasi pasar tradisional. Alangkah bijaknya melakukan revitalisasi tanpa menghilangkan keunikan yang sudah ada dan mendarah daging di dalamnya.

Kabut senja mulai mengiringi langkah saya. Memungkasi perjalanan menyusuri denyut kehidupan pasar tradisional Cepogo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/feed/ 0 41702
Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/ https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/#respond Thu, 28 Jan 2021 10:33:01 +0000 https://telusuri.id/?p=26653 Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah...

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah dan menjadi salah satu anggota Gabungan Pelajar Pecinta Alam Semarang (Gappase), jadi banyak aktivitas yang nggak jauh-jauh dari mendaki gunung. Meski begitu, saya baru mendaki gunung-gunung di sekitaran Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.

Karena kesibukan yang semakin padat, baru tahun 2020 lalu saya memberanikan diri untuk naik gunung lagi. Rencananya sih ingin mendaki kembali ke Gunung Merbabu, tapi kali ini lewat jalur lain yang lebih pendek yakni Cunthel.

Sejujurnya, sekarang ini saya agak setengah hati dengan kegiatan pendakian. Beberapa waktu belakangan, saya memantau pendakian di social media. Gunung tampak makin ramai, terkadang bising, dan kotor karena sampah-sampah pendaki yang tidak dibawa turun kembali. Ini juga yang menjadi alasan sebagian ‘pendaki veteran’ enggan muncak lagi. 

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Namun begitu, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi merasakan tanjakan dan indahnya pemandangan  dari puncak Gunung Merbabu.

Persiapan Sebelum Pendakian

Berbeda saat SMK dulu, persiapan mendaki gunung kali ini benar-benar matang. Saya kasih tahu, dulu waktu SMK saya hanya membawa satu tas gunung yang berisi air minum 2 botol besar, 3 mie instan, gula, kopi, teh, penyedap rasa, gula jawa, tenda, dan peralatan memasak. 

Ringkas dan serba instan karena tak ingin membebani tubuh kecil ini dengan bawaan yang berat. Sekarang, persiapan pendakian butuh berhari-hari. Mulai latihan fisik sampai ke peralatan gunung dan logistik yang memadai. 

Beberapa perlengkapan memang sengaja saya beli untuk mengurangi sampah plastik selama mendaki ke Gunung Merbabu. Seminimal mungkin saya menghasilkan sampah plastik atau bahkan kalau bisa tidak menghasilkan sampah plastik sama sekali walau rasanya sulit.

Persiapan pertama dari bahan makanan yang ingin saya bawa. Jika dulu hanya membawa mie instan, sarden, kornet, dan sebagainya; kali ini saya memilih bahan-bahan yang bisa dimasukkan ke dalam kotak makan.

Saya membeli peralatan yang berguna mengurangi sampah plastik dan bisa dipakai untuk jangka panjang. Sebagai contohnya water bladder untuk tempat air, kontainer telur agar tidak pecah selama dibawa, bumbu-bumbu dapur, rempah-rempah, dan penyedap yang sudah saya tempatkan dalam wadahnya masing-masing.  Jadi ketika bahan makanan atau bumbu tersebut habis, saya tinggal mengisinya kembali (refill).

Karena saya hanya menginap semalam saja, maka untuk bahan makanan utama yang saya bawa yakni daging ayam, daging sapi, telur, kentang, jamur, tomat cherry, bawang-bawangan, dan buah-buahan.

Terlihat mewah, bukan?

Naik gunung sudah susah, bawa makanan ya harus mewah. Prinsip ini yang saya dapatkan dari senior saya saat di organisasi pecinta alam dulu. 

Bahan makanan sudah beres, kemudian tinggal peralatan elektronik dan pakaian. Biasanya pendaki membungkus pakaian kering mereka menggunakan plastik agar tidak basah ketika diserang hujan dadakan. 

Saya pun menyiapkan dua tas pouch tahan air yang agak besar. Satu untuk pakaian kering dan bersih, satunya lagi untuk pakaian yang kalau-kalau bakal basah atau kotor. Sebetulnya, membawa pakaian basah turun ke bawah juga akan menambah beban, jadi kalau bisa sebaiknya membawa pakaian berbahan Dri-Fit.

Untuk barang elektronik seperti powerbank, charger, dan kamera ditempatkan pada pouch yang sama. Begitu juga dengan kotak PPGD, raincoat, flysheet, dan tenda. Tak lupa, kami juga membawa serbet sebagai pengganti tisu.

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Setelah semua berada di kontainernya masing-masing, tinggal mengatur dan memasukkannya ke dalam keril. dan dimasukkan ke dalam tas gunung saja. Tak lupa saya selipkan dua buah trashbag ke dalamnya.

Pendakian Gunung Merbabu Via Cunthel

Tepat pukul 8 pagi saya berangkat berdua dari Semarang menggunakan motor menuju pos pendakian Cunthel, Kopeng, Salatiga. Setelah membayar retribusi dan beristirahat selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan: mendaki Gunung Merbabu. Jalur awal masih berupa beton karena warga menggunakan jalan ini untuk beraktivitas dengan kendaraan bermotor.

Sesampainya di Pos Bayangan 1 yang berada di ketinggian 1887 mdpl terdapat satu bangunan permanen yang bisa digunakan untuk tempat beristirahat. Usai melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan ke Pos Bayangan 2 Gumuk. Di sini, kita bisa mengisi air dari sumber yang ada.

Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di Pos 1 Watu Putut dari Basecamp Cunthel. Itu saja istirahatnya selama di perjalanan hanya sebentar, sekitar 5 menitan. Makanya sebelum pendakian, saya sarankan kalian untuk melatih fisik secara maksimal.

Selama perjalanan dari Pos 1 Watu Putut sampai ke Pos 2 Kedokan, jalur mulai terbuka dengan sedikit pepohonan dan semak liar yang tinggi. Trek yang dilalui memang dominan menanjak dan hanya sedikit saja yang landai.

Di Pos 2 Kedokan, ada banyak pepohonan rindang, biasanya lokasi ini digunakan untuk alternatif tempat mendirikan tenda. Namun lokasinya masih agak jauh dari puncak Merbabu. Sampai di pos ini, saya sudah berada di ketinggian 2430 mdpl (ada papannya). 

Lanjut menuju Pos 3 Kergo Pasar, hutan tidak tampak lagi. Suasana sekitar didominasi oleh pepohonan kering dan sudah mati, namun saat menoleh ke belakang terlihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dengan lautan awan. Di sini, kami tak berlama-lama karena harus melewati satu tanjakan lagi untuk sampai di Pos Pemancar. Pos ini yang akan menjadi tempat kami mendirikan tenda karena lokasinya tidak terlalu jauh dari puncak dan lebih aman ketika badai datang. 

Nggak terasa, kami melewatkan sekitar lima jam untuk perjalanan ini. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktunya untuk mendirikan tenda dan memasak. Kami saling berbagi tugas, saya yang menyiapkan makanan, teman saya yang menyiapkan tenda. 

Slice beef yang dimasak dengan bumbu teriyaki menjadi menu andalan pada pendakian kali ini. Sedikit tips nih kalau membawa bahan makanan seperti daging, masukkanlah ke dalam kontainer kedap air yang berisi ice gel. Dijamin daging akan tetap segar dan tahan lebih lama. Atau kalau mau, kita bisa memarinasinya terlebih dahulu. 

Ada beberapa tenda yang berdiri di sekitar kami, tidak terlalu ramai. Malam itu cuaca juga cerah, tidak ada badai. Sesekali kami bersahut kata dengan rombongan tenda sebelah sebelum memutuskan untuk tidur lebih awal karena berniat summit pada jam 4 pagi untuk menyaksikan sunrise di puncak. Sebelum tidur, kami menyiapkan perlengkapan yang dibawa untuk menuju puncak besok, hanya daypack berisi logistik dan barang berharga. 

Tepat jam 4 pagi, alarm berbunyi dan kami bergegas untuk menuju puncak Gunung Merbabu. Suasana berkabut disertai hembusan angin yang dingin mememani perjalanan kami.  Setelah berjalan sekitar 2 jam, sampailah di pertigaan yang merupakan percabangan ke Puncak Syarif dan ke Puncak Kenteng Songo. Karena masih agak gelap, saya menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Syarif karena jaraknya hanya 5 menit saja dari pertigaan tadi.

Perlahan suasana mulai tampak lebih terang dari sebelumnya. Tak ingin ketinggalan, kami pun bergegas menuju puncak utama yaitu Kenteng Songo. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di puncak ini.

Sesampainya di Puncak Kenteng Songo, suasana memang belum berubah. Kabut yang masih menutupi pemandangan sekitar, ditambah matahari yang mulai menyembul perlahan. 

Dibawa santai saja, saya mengambil kompor dan gas dari tas kecil kemudian mulai merebus air untuk membuat kopi. Setidaknya sampai jam 7 pagi, kabut mulai menghilang dan pemandangan sekitar mulai terlihat.

Tampak dari kejauhan terlihat gugusan gunung-gunung yang gagah berdiri di sekitar Gunung Merbabu. Saya seperti dibawa kembali ke sepuluh tahun lalu dengan pemandangan dan suasana yang sama. Tertegun menikmati setiap hembusan angin dingin dari ketinggian 3.142 mdpl.

Sekitar jam 8 pagi, kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tak butuh waktu lama karena hanya perlu 1 jam saja untuk sampai di Pos Pemancar. 

Sampah di Merbabu/Mauren Fitri

Sebelum pulang, kami menyempatkan makan siang dahulu dan beristirahat sejenak dan mengisi tenaga. Lauk telur, daging ayam, dan kentang terasa sangat enak ketika masuk ke mulut. Saus pedas dengan sedikit mayo yang saya tambahkan pun juga menambah rasanya jadi lebih enak. Sampai sekarang pun, hanya sampah cangkang telur dan kulit bawang saja yang kami hasilkan.

Setelah semua barang tertata rapi dan perut kenyang, saya mengeluarkan barang pusaka yang wajib dibawa tiap kali naik gunung yaitu trash bag. Budaya kami dalam organisasi pecinta alam dulu memang masih melekat hingga sekarang ini. 

Membersihkan sampah sekitar dengan radius 5 meter dari tenda yang kami dirikan. Jadi bukan hanya sampah yang kami hasilkan saja, tapi sampah orang lain dalam radius tersebut akan kami bawa turun juga. 

Andai kebiasaan ini dilakukan oleh setiap pendaki pasti kita bisa melihat gunung tetap bersih. Beberapa orang mungkin akan menyarankan membakar sampah seperti bungkus mie, kopi atau kresek untuk menyalakan api. Namun hal ini tidak dibenarkan karena jika terlena sedikit saja bisa jadi kebakaran gunung yang besar. Sudah banyak kasus kebakaran hutan akibat satu puntung rokok saja, jadi sebaiknya dibawa turun lagi.

Selama ada niat dan usaha, pasti bisa untuk tidak nyampah di gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/feed/ 0 26653