gunung semeru Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-semeru/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:16:14 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung semeru Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-semeru/ 32 32 135956295 Pesan buat Para Pendaki Gunung https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/#respond Fri, 11 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46613 Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba. Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka...

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.

Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.

Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.

Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.

‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Para pendaki antusias memotret pemandangan dengan ponsel di camp Puncak Pemancar saat sore hari. Tampak serpihan-serpihan sampah di rerumputan hasil buangan pendaki yang berkemah sebelumnya/Rifqy Faiza Rahman

Upayakan semangat minim sampah itu

Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani. 

Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area). 

Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.

Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah. 

Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Petugas Basecamp Skydoor mengecek satu per satu barang bawaaan pendaki Gunung Kembang via Blembem. Basecamp ini termasuk salah satu pelopor pendakian nol sampah di Indonesia/Rifqy Faiza Rahman

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati

Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.

Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun. 

Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.

Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri. 

Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.

Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman

Bijaksana mengukur diri sendiri

Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.

Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.

Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.

Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.

Selamat mendaki gunung!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/feed/ 0 46613
7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/ https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/#respond Fri, 21 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45722 Di sejumlah daerah pegunungan, biasanya air terjun menjadi tempat favorit rekreasi yang menyasar semua kalangan. Mulai dari remaja, mahasiswa, hingga keluarga; dari wisatawan domestik sampai mancanegara. Seperti dua kabupaten bertetangga yang terletak di selatan Gunung...

The post 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang appeared first on TelusuRI.

]]>
Di sejumlah daerah pegunungan, biasanya air terjun menjadi tempat favorit rekreasi yang menyasar semua kalangan. Mulai dari remaja, mahasiswa, hingga keluarga; dari wisatawan domestik sampai mancanegara. Seperti dua kabupaten bertetangga yang terletak di selatan Gunung Semeru, yaitu Malang dan Lumajang. Nyaris tak terhitung aliran-aliran air terjun yang mengalir di kedua daerah tersebut, baik yang sudah dibuka untuk wisata maupun yang masih tertutup karena sulit dijangkau akibat medan yang ekstrem.

Dari banyaknya air terjun, TelusuRI merangkum tujuh air terjun yang mengalir sepanjang tahun, yang bisa jadi pilihan buat mengisi waktu liburan atau akhir pekan, karena lokasinya berdekatan. Beberapa air terjun bisa digapai dalam sehari. Namun, jika ingin menjangkau semuanya, setidaknya perlu waktu dua hari dan menginap satu malam di homestay warga sekitar. Sebab, sejumlah titik air terjun memerlukan ketahanan fisik dan waktu ekstra untuk dijangkau.

Umumnya, tarif masuk wisata air terjun dipatok sekitar Rp10.000 per orang, belum termasuk parkir kendaraan. Untuk jasa pemandu maupun permintaan khusus lainnya seputar kegiatan berwisata bisa didiskusikan dengan pengelola wisata setempat.

1. Coban Sewu atau Tumpak Sewu

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Coban Sewu atau Tumpak Sewu saat musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Air terjun ini berada di aliran sungai yang menjadi pembatas alami antara Kecamatan Ampelgading (Kabupaten Malang) dan Kecamatan Pronojiwo (Lumajang). Di Malang disebut coban, sedangkan di Lumajang disebut tumpak. Keunikan formasi arus airnya membuat Coban Sewu populer dan banyak dikunjungi wisatawan. Aliran dari satu sungai besar berwarna kecokelatan jatuh dasar jurang sedalam ratusan meter bersama puluhan aliran mata air yang mengucur dari balik celah tebing. Debit air saat musim hujan lebih deras daripada musim kemarau.

Untuk melihat air terjun ini bisa melalui dua pintu masuk, dari sisi Desa Wonokerto (Malang) maupun Desa Sidomulyo (Lumajang). Wisatawan bisa cukup sekadar melihat panorama dari pinggiran tebing, atau menuruni jalur setapak ekstrem dan sangat curam ke dasar jurang untuk lebih dekat ke guyuran air terjunnya. Lebih aman membawa pemandu lokal untuk memastikan keamanan jalur.

2. Coban Ciblungan

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Kolam pemandian alami Coban Ciblungan/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Mulanya, Coban Ciblungan digunakan warga sekitar untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi atau mencuci baju. Namun, begitu popularitas Coban Sewu meningkat, kelompok sadar wisata setempat berinisiatif membuka Coban Ciblungan untuk umum sebagai tempat wisata. Coban Ciblungan hanya terletak sepelemparan batu dari rumah warga terdekat di Dusun Sumberpitu, Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading. Pekarangan rumah warga tersebut biasa digunakan untuk tempat parkir motor dan mobil.

Melihat Coban Ciblungan sedikit mengingatkan pada formasi aliran Coban Sewu, hanya dalam versi yang jauh lebih mini. Terdapat satu sungai yang mengalir dari belakang Pasar Jagalan (jaraknya sekitar 1,5 km), lalu bercampur dengan deretan aliran mata air berdebit deras yang keluar dari celah tebing, mengguyur satu area kolam yang sama. Jika terjadi hujan di daerah hulu, air sungai dan kolam akan berwarna cokelat keruh sehingga tidak bisa digunakan untuk mandi atau berenang untuk sementara waktu.

3. Coban Gintung

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Aliran kembar Coban Gintung sebelum salah satunya disudet/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Masih berada di satu desa yang sama, Coban Gintung berjarak sekitar 2,5 kilometer ke arah tenggara dari Coban Ciblungan. Aliran Coban Gintung bersumber dari mata air Sumber Gintung yang menghidupi kebutuhan air rumah tangga dan pertanian masyarakat setempat. Akses menuju tempat wisata Coban Gintung hanya bisa menggunakan sepeda motor. Jika membawa mobil, bisa dititipkan di pekarangan rumah warga terdekat.

Dari tempat parkir motor, hanya perlu trekking ringan membelah ladang warga tak sampai 10 menit untuk menuju air terjun. Dahulu, Coban Gintung memiliki dua aliran air yang mengalir bersisian sehingga membuatnya tampak seperti air terjun kembar. Namun, beberapa waktu kemudian salah satu aliran disudet oleh pihak PDAM setempat untuk memenuhi pasokan air masyarakat. 

4. Coban Naga Gintung

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Seberkas pelangi di dasar Coban Naga Gintung/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Aliran Coban Naga Gintung berada di atas Coban Gintung dan masih satu payung pengelolaan. Di rute jalan setapak yang sama, terdapat percabangan jalur. Jika berbelok ke kanan, jalur akan menurun menuju Coban Gintung, sedangkan jika lurus, akan mengarah ke Coban Naga Gintung yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Ada dua cara untuk menikmati kesegaran Coban Naga Gintung. Dari atas jembatan bambu yang dipasang warga, atau sedikit turun ke tepian jika ingin sedikit basah-basahan. Debit Coban Naga Gintung cukup deras, sehingga menimbulkan suara gemuruh. 

5. Coban Gua Kelelawar

Lokasi Coban Gua Kelelawar—dalam bahasa Jawa disebut Goa Lowo—cukup jauh dari tempat parkir Coban Gintung. Air terjun ini merupakan ujung dari aliran Coban Gintung dan nantinya akan bertemu dengan aliran Sungai Glidik yang merupakan jalur lahar dingin Semeru. Untuk menuju ke coban ini, perlu trekking sekitar 30 menit lewat jalan cor hingga meniti pematang sawah. Bisa juga diakses langsung dari Coban Gintung dengan menyusuri tepian sungai dan ladang warga.

Formasi aliran air Coban Gua Kelelawar cukup unik. Air keluar dari celah sempit di bagian atas, lalu jatuh menyebar dan membasahi dinding tebing. Terdapat satu lubang kecil yang muat dimasuki manusia, yang oleh warga setempat disebut sebagai sarang kelelawar. Dari situlah nama Coban Gua Kelelawar berasal. Aliran coban ini membentuk sungai kecil penuh batuan dan diapit persawahan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.

6. Air Terjun Kapas Biru

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Seorang wisatawan di air terjun Kapas Biru/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Bergeser ke Lumajang, Kapas Biru bisa menjadi opsi wisata air terjun dengan sentuhan petualangan. Sebab, jaraknya cukup jauh dari Dusun Mulyoarjo, Desa Pronojiwo—kampung warga terdekat yang membuka akses masuk wisata—dan beberapa titik jalur trekking cukup ekstrem sehingga memerlukan kehati-hatian. Salah satunya tangga besi vertikal setinggi kurang lebih tiga meter yang mau tidak mau tetap harus dilewati. Namun, gemuruh dan kesegaran air Kapas Biru bisa mengobati lelah setelah 45 menit berjalan dengan kontur naik-turun.

Formasi geologi air terjun Kapas Biru berbeda dengan kebanyakan coban di wilayah Malang. Dinding tebingnya cadas berwarna cokelat terang dengan vegetasi hijau di sekitarnya. Saking derasnya aliran air, terkadang muncul buih-buih selembut kapas dan jika terkena sinar matahari seperti berwarna kebiruan. Aliran sungai kecil yang dibentuk dari air terjun ini juga dimanfaatkan pengelola untuk atraksi wisata tubing dengan ban karet.

7. Air Terjun Kabut Pelangi

7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang
Panorama air terjun Kabut Pelangi/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Air terjun ini berada di Dusun Besukcukit, Desa Sidomulyo. Satu desa dengan Tumpak Sewu, bertetangga dengan Kapas Biru. Akses wisata air terjun ini dibuka beberapa lama setelah Tumpak Sewu dan Kapas Biru. Letaknya yang tersembunyi dan cukup jauh dari perkampungan membutuhkan usaha lebih untuk bisa melihat air terjun ini dalam jarak dekat. Setidaknya perlu waktu 30–45 menit trekking, melewati jalan setapak di tengah ladang warga, sesekali menyeberangi sungai dengan arus cukup deras, yang terbentuk dari aliran Kabut Pelangi.

Mendekati air terjun, wisatawan seperti dikepung ngarai menjulang. Perlu kehati-hatian saat melangkah dan mewaspadai perubahan cuaca maupun arus bah mendadak. Air terjun Kabut Pelangi lebih tinggi dan lebih deras daripada Kapas Biru. Jika beruntung dan berada dalam momen yang pas, akan terlihat segaris pelangi sesuai namanya. 

Menjadi pejalan bijak: hal-hal yang harus diperhatikan

Semua air terjun tersebut berada di wilayah perdesaan dan aksesnya melewati kawasan ladang dan permukiman warga. Oleh karena itu pengunjung harus menghormati peraturan setempat yang mungkin diberlakukan. 

Selain itu, TelusuRI juga menyarankan setiap pengunjung agar menjadi pejalan bijak, serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan di sekitar tempat wisata. Berikut sejumlah tips yang bisa kamu lakukan selama berwisata di coban-coban tersebut.

  1. Menghormati adat istiadat di dusun sekitar tempat wisata.
  2. Mematuhi peraturan yang diberlakukan pengelola wisata.
  3. Mewaspadai perubahan cuaca, karena hujan deras di aliran hulu bisa menyebabkan bah kencang dan membahayakan keselamatan.
  4. Melengkapi diri dengan peralatan dan logistik yang memadai agar perjalanan berwisata aman dan nyaman.
  5. Meminimalisasi penggunaan botol minum kemasan dan plastik sekali pakai.
  6. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu selama perjalanan.
  7. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya untuk meminimalisasi makanan kemasan sekali pakai.
  8. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan.
  9. Membawa kantung sampah secukupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Pilihan Wisata Air Terjun di Perbatasan Malang-Lumajang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-air-terjun-di-perbatasan-malang-lumajang/feed/ 0 45722
Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/ https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/#respond Wed, 31 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42433 Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak. Teks & foto: Rifqy...

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Kabut pagi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Selain malam bertabur bintang, hal ikonis lainnya yang ditunggu-tunggu pendaki di Ranu Kumbolo adalah matahari terbit. Saking identik dan populernya, kalau mengetikkan nama danau ini di mesin peramban, tak terhitung potret pagi telaga suci itu yang berseliweran menghiasi dunia maya. Seperti halnya Danau Segara Anak yang melekat pada Gunung Rinjani, Lombok, begitu pun Ranu Kumbolo dan Gunung Semeru.

Normalnya, pendaki akan menginap setidaknya satu malam di Ranu Kumbolo. Baik itu sebelum menuju Kalimati-Mahameru atau sesudahnya. Kondisi ideal sejatinya adalah dua malam dihabiskan di Ranu Kumbolo, dengan program pendakian empat hari tiga malam. Semalam sebelum ke Kalimati, semalam sebelum turun ke Ranu Pani. Saya pernah merasakannya, dan percayalah, Ranu Kumbolo benar-benar menyuguhkan nuansa yang berbeda. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Embun es di semak-semak Ranu Kumbolo saat puncak musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Melihat atraksi alam di pagi hari

Bahkan kalaupun taman nasional membatasi pendakian menjadi tiga hari dua malam saja, saran saya, lupakanlah Puncak Mahameru. Serahkan nasib dua malam kita dengan berkemah di tepi danau yang terbentuk dari kawah purba Gunung Jambangan itu. Ketika pagi mulai terang, lihatlah detail-detail yang tercermin di pinggiran danaunya.

Kita akan menyaksikan salah satu pertunjukan kolosal dan dramatis dari alam Ranu Kumbolo. Diawali dengan semburat rona langit yang memerah. Lalu pada saat yang tepat, sang rawi akan menampakkan diri dari balik dua bukit di timur danau. Di bulan-bulan tertentu, matahari akan terbit persis di antara dua bukit tersebut.

  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)

Kemunculan matahari terbit adalah kabar gembira bagi para pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo. Ia adalah berita tentang kehangatan yang menebus bekunya pagi, serta harapan akan hari yang cerah. Pada momen-momen seperti inilah pendaki akan berbondong-bondong menyambutnya dengan bingkai lensa kamera atau gawai lain yang dimiliki.

Acapkali halimun akan ikut menampakkan dirinya. Entah itu kabut-kabut tipis yang melayang di permukaan danau, maupun terbang rendah dari balik dua bukit ke arah tempat berkemah. Adakalanya cuaca kurang bersahabat. Kabut seakan “berkonspirasi” dengan awan-awan tebal menciptakan pagi yang mendung dan suram. Menghalangi matahari yang dipaksa bersembunyi, yang tak jarang disambut seruan kekecewaan sebagian pendaki.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Mega bergelayut yang menutupi pancaran sang surya di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Padahal seorang teman pernah berkata, “Tidak cuma sunrise yang ngangenin, tapi juga kabutnya.”

Bahkan kabutnya saja dirindukan. Ia tidak peduli alam memberikan sajian pagi seperti apa, mau cuaca cerah melebihi ekspektasi atau jauh dari yang diimpikan. Sebab berada di Ranu Kumbolo saja sudah melebihi bayangan setiap orang, yang tidak semuanya beruntung bisa bertamu ke sana. 

Setiap pendaki rela berjalan menempuh 10 kilometer yang melelahkan dari Ranu Pani. Melintasi empat pos utama dan hutan di bawah tebing Watu Rejeng, sampai akhirnya tiba di Ranu Kumbolo. Sebuah danau seluas 15 hektare yang menjadi Ikon utama dari Semeru yang legendaris. Setiap pendaki, rela menghabiskan banyak biaya, waktu, dan tenaga demi pengalaman yang tak akan terlupakan.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Refleksi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Tempat untuk merefleksikan diri

Ranu Kumbolo adalah daya pikat yang selalu berhasil menggoda siapa pun untuk kembali. Ya, berdiri di Mahameru atau titik tertinggi Pulau Jawa memang sebuah pencapaian. Namun, pamor danau yang pernah dikunjungi Mpu Kameswara pada 1447 silam, bagi saya, mampu melebihi ketenaran puncak itu sendiri.

Saya jadi teringat lagu Mahameru milik Dewa 19. Nuansa tembang yang dirilis dalam album Format Masa Depan tahun 1994 itu begitu personal dan emosional, sebab sebagian personelnya pernah menginjakkan kaki ke Gunung Semeru. Roman persahabatan dan interaksi hangat antarpendaki tergambar jelas di potongan liriknya.

Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo

Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat cokelat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Balutan kain putih di beberapa pohon menandakan titik-titik sakral bagi masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2017)

Bagi saya, Ranu Kumbolo bukan sekadar tempat transit. Tempat ini adalah guru, sekaligus titik krusial untuk menimbang keputusan akan ego dan ambisi pendaki. Melampauinya hingga ke Kalimati dan Puncak Mahameru, berarti mengantar pendaki beriringan dengan tantangan di depan yang lebih berbahaya. Atau, menghentikan langkah sebagai titik akhir, dan singgah untuk meresapi ruang terbuka yang menenangkan jiwa.

Sebagaimana terpantul dalam permukaan airnya yang tenang, bentuk kehidupan yang mengepung—pohon, bukit, rerumputan, hingga polah pendaki—bak cermin raksasa. Refleksi diri, sebagai kesempatan terbaik untuk memeluk kala yang melambat. Sampai akhirnya kita menyadari, bahwa waktu yang ada di rimba Semeru terlalu singkat untuk dinikmati.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Siapa pun yang telah datang ke sini, suatu saat akan kembali/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/feed/ 0 42433
Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/ https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/#respond Mon, 29 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42420 Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang. Teks & foto:...

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Selamat datang di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Terutama ketika Juni lalu. Beberapa akun pemengaruh, komunitas lokal, atau lembaga pencinta alam baru pulang dari kegiatan bersih jalur pendakian bersama Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Ada satu-dua kawan baik saya yang ikut. Tujuannya memang hanya sampai ke Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan camp dan memaksimalkan fasilitas shelter kayu di tepi danau berketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.

Meski rute relatif tidak banyak berubah, tetapi pergerakan alam meninggalkan banyak jejak setelah pendakian umum ditutup sejak November 2020. Mulai dari longsor di jalur menuju Pos 3 setelah kawasan tebing Watu Rejeng, tumbuhnya banyak pohon di area berkemah Ranu Kumbolo, hingga permukaan debit air ranu yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lama tak dikunjungi manusia, alam Semeru memulihkan diri sebagaimana mestinya.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Permukaan air Ranu Kumbolo yang tenang, dengan latar kolom abu tampak membubung setelah meletus dari kawah Gunung Semeru. Letusan kecil tersebut terjadi berkala dalam 20-30 menit sekali setiap harinya/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Berita penurunan status aktivitas Gunung Semeru dari Level III (Siaga) menjadi Level II (Waspada) pada 15 Juli 2024 turut memantik obrolan di media sosial. Rata-rata menyuarakan rasa rindunya pada jalur pendakian Semeru, khususnya kenangan berkemah di Ranu Kumbolo. Lini masa bak menjadi tempat reuni para pendaki lintas generasi; sekaligus meledek pendaki yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di hutan Semeru.

Tidak terkecuali saya. Meski belum bersuara “ugal-ugalan” di media sosial, saya lekas membuka memori yang tersimpan di cakram keras eksternal. Melihat-lihat lagi kenangan tentang Ranu Kumbolo dalam rentang satu dasawarsa silam. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Gunung Semeru dan lanskap ladang sayur warga Ranu Pane, desa terakhir di kaki Gunung Semeru, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dari desa inilah pendaki memulai langkahnya menuju Ranu Kumbolo dan Semeru/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Bersiap dibekap dingin sejak petang

Umumnya pendaki tiba di Ranu Kumbolo sore hari. Pendakian dari Ranu Pani (2.200 mdpl)—desa terakhir dan pos registrasi pendakian TNBTS—membutuhkan waktu tempuh normal 4–5 jam untuk jarak sekitar 10 kilometer. Melewati jalur yang relatif landai sepanjang gapura pendakian, Pos 1, Pos 2, sampai Watu Rejeng (2.350 mdpl).

Trek akan menanjak menjelang Pos 3 dan kembali melandai saat mendekati Pos 4. Di pos terakhir ini, Ranu Kumbolo sudah terlihat sangat jelas. Tinggal menyusuri turunan terjal menuju sabana Pangonan Cilik, lalu berjalan melipir bukit hingga tiba di area shelter di sisi barat danau untuk berkemah.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Dua pendaki menyusuri jalur di tepian utara danau untuk menuju area utama berkemah Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Pada prinsipnya, pendaki bebas mendirikan tenda di mana saja, selama tidak terlalu dekat dengan bibir danau dan aktivitasnya tidak mencemari danau. Ranu Kumbolo memiliki arti penting dan sakral bagi kepercayaan masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani. Di area camp, terdapat prasasti berbahan batu andesit yang bertuliskan sebuah kalimat berbahasa Jawa Kuno. Artinya, prasasti tersebut menceritakan tokoh bernama Mpu Kameswara yang melakukan suatu ritual bernama tirthayatra pada tahun Saka 1447. Ritual ini merupakan salah satu rangkaian langkah hidup wanaprastha untuk bisa memasuki tahap akhir kesempurnaan yang disebut dengan sanyasin atau biksuka.

Saya membayangkan di masanya keheningan menyelimuti perjalanan dan laku tapa Mpu Kameswara di Ranu Kumbolo. Saat malam tiba, kedamaian tampak paripurna setelah bintang-bintang dan galaksi menyemut di kolom langit. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Pemandangan Ranu Kumbolo dari puncak bukit Tanjakan Cinta/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Lukisan malam yang harus diabadikan

Sebagaimana di malam terakhir pendakian saya pada akhir Mei 2014. Bertepatan dengan fase bulan mati atau new moon, Ranu Kumbolo begitu hidup. Terlihat tenda-tenda seperti bercahaya, disorot lampu senter para pendaki yang lalu-lalang. Sayup suara pendaki masih terdengar, meski samar.

Selebihnya adalah suara-suara dari corong alam. Gemercik air danau, embusan angin yang menyibak rerumputan dan ranting-ranting pohon. Bahkan langit gemerlap itu pun mungkin bersuara dalam diamnya. Maka jika ingin mengulang, kelak saat pendakian kembali dibuka, saya akan datang bermodalkan fase kalender bulan yang sama, untuk merasakan pengalaman serupa seperti dahulu.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Warna-warni tenda pendaki saat malam memeluk Ranu Kumbolo dan beratap langit penuh bintang/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Saya sempat berpaling ke belakang. Melihat siluet celah bukit di ujung Tanjakan Cinta. Gurat pepohonan menukik mengikuti kontur tanah. Di atasnya, bintang-bintang menyemut. Seolah-olah menyentuh pucuk pepohonan cemara gunung.

Sejatinya, saya juga menyaksikan pemandangan malam yang sama tatkala pendakian bulan November 2012. Namun, kamera yang saya bawa kurang memadai untuk merekam lukisan malam yang luar biasa itu. Kala itu, hanya tutur cerita dari mulut saya bagi mereka yang bertanya, tentang bagaimana melalui malam yang cerah di tempat semagis Ranu Kumbolo. Kini saya memiliki sedikit simpanan foto malam yang meriah di Ranu Kumbolo. Sebuah alasan paling kuat yang bisa mengajak saya kembali ke sana.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Sudut pandang lain untuk melihat bintang di Ranu Kumbolo, yaitu dengan latar depan siluet Tanjakan Cinta/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/feed/ 0 42420