gunung sindoro Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-sindoro/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 10 May 2024 04:12:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung sindoro Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-sindoro/ 32 32 135956295 Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/ https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/#respond Fri, 10 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41890 Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari...

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari daerah barat maupun timur.

Jika kamu adalah seorang pemburu seven summits, dan masih terlalu jauh untuk menggapai tujuh puncak tertinggi Indonesia atau dunia, kamu bisa memulainya di Jawa Tengah. Secara umum, akses menuju lokasi basecamp masing-masing gunung relatif mudah dijangkau tanpa kesulitan berarti.

Gunung-gunung di daftar ini rata-rata bisa didaki secara optimal dengan durasi dua hari satu malam perjalanan. Beberapa di antaranya jika diperlukan memerlukan tambahan satu hari untuk ritme yang santai dan menikmati jalur, atau bahkan sehari pergi-pulang jika ingin memakai sistem tektok.

1. Gunung Slamet (3.428 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Lebatnya hutan Gunung Slamet terlihat jelas dari Bambangan, Purbalingga/Rifqy Faiza Rahman

Inilah atap Jawa Tengah. Nomor dua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl). Jangkauan lereng hingga kaki gunungnya sangat luas, menjangkau lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada bagian puncaknya terdapat kawah belerang yang masih aktif. Selain itu, di area puncak gunung dengan medan berbatu dan berpasir juga dikenal kerap berkabut secara tiba-tiba sehingga pendaki mesti ekstra fokus dan berhati-hati.

Untuk kamu yang merancang program pendakian atau ekspedisi tujuh gunung dalam satu rangkaian waktu, masukkan Gunung Slamet ke daftar destinasi pertama. Panjangnya jalur pendakian dan tingkat tantangan yang tersaji akan menuntutmu mempersiapkan segalanya dengan baik, baik secara fisik, mental, dan logistik. 

Sejauh ini ada sekitar enam jalur pendakian resmi di Gunung Slamet. Baturraden (Banyumas), Bambangan (Purbalingga), Gunung Malang (Purbalingga), Dipajaya (Pemalang), Guci (Tegal), dan Kaliwadas (Brebes). Masing-masing memiliki karakter dan tingkat kesulitannya sendiri. Kecuali terdapat peraturan yang mengikat oleh pengelola basecamp, TelusuRI menyarankan kamu mendaki gunung ini dalam tiga hari dua malam. Tujuannya agar lebih menikmati perjalanan dan tidak terlalu menguras tenaga.

2. Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Sabana Segoro Banjaran di dalam kaldera Gunung Sumbing, bisa ditempuh dari jalur Banaran, Temanggung/Rifqy Faiza Rahman

Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Di lereng gunungnya terhampar melimpah perkebunan tembakau, sama seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro. Ciri khas gunung ini adalah bagian kaldera dekat puncak yang bisa dieksplorasi, mencakup sabana Segoro Banjaran, area berpasir Segoro Wedi, makam Ki Ageng Makukuhan, dan kawah belerang aktif.

Tersedia banyak pilihan jalur menuju puncak, baik itu Puncak Rajawali (tertinggi), Puncak Buntu, maupun Puncak Sejati. Di wilayah Magelang, ada jalur Butuh dan Mangli yang masuk wilayah Kecamatan Kaliangkrik. Kemudian di Temanggung, terdapat jalur Banaran, Cepit, Dukuh Seman, Sipetung, dan Batursari. Terakhir di jalur barat atau Wonosobo, kamu bisa memilih antara Bowongso atau Gajah Mungkur. 

Secara umum, tipikal jalur pendakian Gunung Sumbing cenderung lurus dan menanjak terjal nyaris tanpa ampun. Sebagian rute bahkan tidak memiliki sumber air, sehingga kamu harus mempersiapkan stok air berlebih. Untuk itu, diperlukan ketahanan fisik yang prima agar mampu mendaki gunung ini dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Gunung Lawu (3.265 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Pendaki menikmati pemandangan dan suasana sore di sabana Gupakan Menjangan, jalur Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Bagian kaki, lereng, hingga puncak tertinggi gunung ini (Hargo Dumilah) tertancap di perbatasan dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terkenal bukan hanya di kalangan pendaki, melainkan juga bagi para peziarah atau pelaku spiritual.

Sejumlah jalur pendakian yang tersedia bahkan menyimpan beberapa situs cagar budaya peninggalan kerajaan masa lampau. Seperti jalur Cetho, Karanganyar, kamu akan menjumpai Candi Cetho itu sendiri dan Candi Kethek yang terletak berdekatan. Adapun rute pendakian lain di wilayah Jawa Tengah adalah Cemoro Kandang (Tawangmangu) dan Tambak (Ngargoyoso). Keduanya juga berada di Kabupaten Karanganyar.

Menurut kebanyakan pendaki, temperatur udara di Gunung Lawu kabarnya lebih dingin dibandingkan gunung-gunung lain. Untuk itu, persiapkan fisik dan perlengkapan yang memadai agar pendakianmu berjalan lancar.

4. Gunung Sindoro (3.153 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Kerucut Gunung Sindoro dipotret dari jalur pendakian Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman

Posisi gunung yang memiliki kawah belerang aktif dan cukup besar ini tepat di seberang Gunung Sumbing. Hanya dipisahkan lembah yang di atasnya membentang jalan raya Temanggung–Wonosobo. 

Hampir di segala penjuru mata angin gunung ini terdapat jalur resmi yang bisa didaki. Dari sisi utara, kamu bisa mendaki melalui Sigedang yang letaknya tak jauh dari kawasan perkebunan teh Tambi, Wonosobo. Di sebelah timur, terdapat jalur Bansari yang relatif dekat dengan pusat kota Kabupaten Temanggung. Kemudian jika kamu ingin mendaki dari arah barat, kamu bisa menuju Desa Ndoro Arum di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Bergeser ke selatan, ada tiga jalur yang terletak berdekatan di perbatasan Kabupaten Temanggung–Wonosobo. Pertama, jalur Kledung. Basecamp-nya menempel dengan kompleks Kantor Desa Kledung dan berada persis di pinggir jalan raya Temanggung–Wonosobo. Kedua, Alang-alang Sewu di wilayah Kecamatan Kertek, Wonosobo. Ketiga, rute Bedakah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh Bedakah, juga di Kecamatan Kertek. Jalan menuju basecamp Bedakah searah dengan basecamp Gunung Kembang, “anak” Gunung Sindoro.

5. Gunung Merbabu (3.145 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Deretan tenda pendaki di area camp Puncak 2 Pemancar Gunung Merbabu, via jalur Thekelan/Rifqy Faiza Rahman

Berada di dalam kawasan taman nasional, Merbabu juga memiliki seven summits-nya sendiri. Kamu akan mencapainya bila mendaki lewat jalur Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Orang-orang menyebutnya jalur tua atau klasik. Kelebihan lain dari jalur Thekelan adalah ada tiga titik sumber air yang bisa dimanfaatkan pendaki, yaitu Pos 1 Pending (1.824 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.137 mdpl), dan pos air di bawah Helipad (2.884 mdpl).

Karena aturan durasi pendakian terbatas dua hari satu malam, persiapkan fisik, logistik, dan manajemen waktumu untuk bisa menggapai tujuh puncak tertinggi Merbabu: Puncak 1 Watu Gubug (2.723 mdpl), Puncak 2 Pemancar (2.847 mdpl), Puncak 3 Geger Sapi (3.002 mdpl), Puncak 4 Syarif (3.119 mdpl), Puncak 5 Ondo Rante (3.112 mdpl), Puncak 6 Kenteng Songo (3.142 mdpl), dan Puncak 7 Triangulasi (3.145 mdpl).

Lewat jalur mana pun, baik itu Thekelan, Selo, Suwanting, maupun Wekas, kamu bisa simak informasi panduan registrasi pendakian Gunung Merbabu secara daring di sini. Sebagai bocoran, pesan kuota pendakianmu jauh-jauh hari, karena saat akhir pekan biasanya akan penuh (terutama jalur Selo dan Suwanting).

6. Gunung Prau (2.590 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Tenda-tenda pendaki di area camp dekat puncak Gunung Prau, bisa digapai lebih cepat dari jalur Patak Banteng/Rifqy Faiza Rahman

Sejak pertama kali dibuka untuk umum sampai sekarang, tampaknya status gunung sejuta umat yang biasa disandang Semeru bergeser ke Prau. Lihat saja saat akhir pekan atau libur panjang, pendaki akan menyemut hampir di semua jalur. Dari sekitar enam jalur resmi, Patak Banteng dan Dieng di Wonosobo jadi dua daftar teratas yang paling diburu pendaki. 

Kalau kamu cenderung mencari jalur yang relatif tidak terlalu padat, kamu bisa mencoba jalur Wates di Kecamatan Wonoboyo, Temanggung; Igirmranak dan Kalilembu di Kecamatan Kejajar, Wonosobo; atau via Dieng Kulon (Candi Dwarawati) di Kecamatan Batur, Banjarnegara. Masing-masing jalur akan saling bertemu di kawasan puncak tertingginya. 

Ikon gunung ini memang berada di area puncak. Hanya dengan mendaki sekitar 2,5–4 jam (setiap jalur bervariasi), pendaki bisa melihat pemandangan gunung-gunung besar lain di sekitarnya. Jika cuaca cerah, kamu akan melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing berdampingan, begitu pun Merbabu dan Merapi. Nun di barat, ada Gunung Slamet. Momen terbaik biasanya saat matahari terbenam, malam hari penuh bintang, atau matahari terbit. 

7. Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Vegetasi semak dan rerumputan di area puncak Gunung Pakuwaja via Facebook/Gunung Pakuwaja

Meskipun berbeda lokasi, Gunung Pakuwaja terbilang masih satu area dengan Gunung Prau di dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng. Bentang alam Gunung Pakuwaja mencakup tiga desa di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, yaitu Sembungan, Parikesit, dan Tieng. Basecamp terpopuler gunung ini ada di Parikesit. Waktu tempuhnya berkisar 1,5–3 jam, tergantung kondisi fisik kamu. Meski tidak sampai 3.000 mdpl, tetapi treknya cukup bervariasi. Ada yang landai, ada yang terjal. 

Dalam catatan Badan Geologi ESDM, Pakuwaja merupakan gunung api yang terbentuk paling muda yang menempati Kompleks Vulkanik Dieng. Oleh karena itu, jika kamu penyuka ilmu kebumian, Gunung Pakuwaja adalah tempat yang pas karena memiliki situs jejak lava yang beraneka ragam. Namun, pastikan kamu tetap menaati segala peraturan yang ditetapkan basecamp dan jaga sopan santun selama pendakian. Sebuah sikap yang juga berlaku untuk gunung-gunung lain.

Setelah menuntaskan Sumbing, Sindoro, Prau, dan Pakuwaja, jika masih memiliki sumber daya waktu, tenaga, dan biaya, kamu bisa melanjutkan program seven summits khusus di wilayah Kabupaten Wonosobo. Ketiga puncak gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), dan Gunung Kembang (2.340 mdpl). Yang menarik, kamu bisa mendapatkan sertifikat dari Perhutani KPH Kedu Utara sebagai apresiasi keberhasilan kamu meraih seven summits of Wonosobo.

Menjadi Pendaki Bijak

Sah-sah saja jika kamu berambisi mengkhatamkan tujuh puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah. Namun, pastikan kamu menjadi pendaki yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk ikut menjaga gunung itu sendiri. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan pendakian
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang mengurangi sampah kemasan anorganik
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang mungkin kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Jadi, mau mulai dari mana buat mendaki seven summits Jawa Tengah? Lekas kemasi ranselmu dan berangkat sekarang juga!


Penafian:
Gunung Merapi (2.968 mdpl) tidak masuk daftar karena telah lama ditutup untuk pendakian sejak peningkatan aktivitas vulkanis pada 2018. Kini statusnya Level III (Siaga).


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/feed/ 0 41890
Kembali Mendaki Gunung Sindoro setelah Lama Absen https://telusuri.id/pendakian-gunung-sindoro-via-kledung-2017/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-sindoro-via-kledung-2017/#comments Wed, 25 Oct 2017 02:00:38 +0000 http://telusuri.id/?p=2992 Bagi saya upacara bendera perdana di gunung adalah pengalaman yang tak terlupakan. Tahun kedua kuliah waktu itu. Gunungnya Merbabu. Seingat saya, waktu itu saya dan lima orang teman lain memisahkan diri dari rombongan kawan-kawan seangkatan...

The post Kembali Mendaki Gunung Sindoro setelah Lama Absen appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi saya upacara bendera perdana di gunung adalah pengalaman yang tak terlupakan. Tahun kedua kuliah waktu itu. Gunungnya Merbabu. Seingat saya, waktu itu saya dan lima orang teman lain memisahkan diri dari rombongan kawan-kawan seangkatan sepulang survey ospek.

Detailnya saya lupa. Tapi yang saya ingat kami begitu kepayahan setiba di puncak. Saat kondisi tubuh sedang buruk-buruknya, kami ikut upacara bendera yang dipimpin Jagawana. Maka bisa ditebak, sedikit saja disentil oleh pidato mengharukan yang dibacakan oleh Polisi Hutan yang jadi pembina, saya mbrebes mili. Begitu juga seluruh peserta—dan pelaksana—upacara peringatan detik-detik kemerdekaan RI di Kenteng Songo.

pendakian gunung sindoro
Melintasi kebun tembakau/Fuji Adriza

Tapi kalau harus mengulang nanjak tanggal 16 Agustus malam, saya ogah. Ramai dan berisik. Lagian, saya pasti tak akan terharu seperti saat pertama kali upacara di gunung sekitar sepuluh tahun yang lalu itu. Makanya ketika Obreng dan saya bikin janji untuk naik ke Sindoro pas libur panjang HUT RI, kami sepakat-sepakat saja saat menentukan tanggal pendakian, yakni sehari setelah 17 Agustus.

Setelah sekian lama tidak mendaki Gunung Sindoro

Sudah lama sekali ketika saya terakhir kali ke Gunung Sindoro, tahun 2009. Waktu itu saya cuma berdua dengan seorang senior. Kami berangkat malam-malam naik motor dari Yogyakarta. Tiba di sana, kami agak ragu untuk mengetuk pintu base camp. Sungkan, sebab sudah lewat tengah malam.

Tapi mau tak mau kami harus mengetuk. Tidak mengetuk sama saja menyerahkan tubuh pada kuasa hawa dingin. Untungnya di Base Camp Grasindo itu masih ada orang. Berbalut sarung, ia membukakan pintu dengan mata mengantuk. Karena sudah terlalu malam dan kelelahan, kami istirahat dulu sampai pagi sebelum memulai pendakian. Saat itu waktu bukan persoalan; we’ve got nothing but time!

pendakian gunung sindoro
Sewaktu melewati trek yang lumayan terjal/Fuji Adriza

Pagi ternyata datang bersama hujan, yang turun sampai lewat tengah hari. Kata anak-anak Grasindo, kalau di base camp hujan, sebaiknya jangan dulu mulai pendakian. Jadilah kami nongkrong lebih lama di Grasindo. Tapi kegiatan menunggu itu sama sekali tak terasa membosankan. Anak-anak Grasindo mengajak kami nongkrong di ruang kecil di samping dan mengajarkan kami ilmu baru: melinting.

Agustus kemarin, delapan tahun setelahnya, saya kembali ke Sindoro. Kalau dulu cuma berdua, kali ini bertiga bersama Obreng dan Hadi yang datang jauh-jauh dari Bandung. Berangkat dari Jogja sekitar tengah hari, kami tiba di Kledung menjelang magrib. Saya agak pangling juga mendapati bahwa ternyata base camp sudah tidak di tempat lama. Sekarang yang jadi tempat beres-beres para pendaki adalah balai desa yang letaknya tak seberapa jauh dari jalan raya.

pendakian gunung sindoro
Sunrise Camp Gunung Sindoro/Fuji Adriza

Base camp yang luas itu riuh rendah oleh para pendaki. Ada yang baru datang, ada yang sedang beres-beres sebelum pulang. Semakin malam, base camp semakin sepi. Semakin sepi ruangan itu, semakin dingin pula udara. Kami melawan dingin dengan cara mencari warung dan menyeruput secangkir kopi sindoro.

Pendakian yang terasa lebih cepat

Tergoda oleh kehangatan warung itu, akhirnya kami memilih untuk numpang tidur di sana—pilihan yang salah. Tidur saya sama sekali tidak nyenak. Berkali-kali saya tersentak. Setiap ada truk yang lewat warung itu pasti bergetar!

Jam 5, alarm tak berperasaan itu membangunkan kami. Dengan mata setengah terbuka kami sarapan nasi goreng. Supaya tidak harus buka-buka peralatan memasak di tengah jalan, kami sekalian memesan nasi bungkus untuk bekal makan siang. Lalu, sekitar jam 6 kami mulai mendaki.

pendakian gunung sindoro
Memasak makan malam di Sunrise Camp/Fuji Adriza

Hari sudah agak terang saat kami mengawali perjalanan. Mengikuti petunjuk arah yang sudah sangat jelas, sebentar saja kami sudah meninggalkan desa. Sekarang di kanan-kiri kami adalah kebun tembakau. Di depan sana Gunung Sindoro tampak jelas. Lerengnya bersih dari arsiran awan.

Sesekali kami harus menepi untuk memberi jalan pada ojek motor yang—katanya—mampu membawa penumpang dari base camp ke pertengahan jalan antara Pos 1 dan Pos 2. Luar biasa. Terakhir kali ke sana dulu memang sudah ada ojek yang menyediakan jasa. Tapi jumlahnya tak seberapa dan motor yang digunakan adalah yang biasanya dipakai untuk mengangkut rumput atau hasil kebun. Sekarang motornya sudah bagus-bagus.

pendakian gunung sindoro
Pos Batu Tatah/Fuji Adriza

Di pendakian Sindoro sebelumnya, rasanya lama sekali untuk tiba di batas hutan. Dulu, Sindoro adalah salah satu gunung yang saya hindari sebab treknya panjang dan jalurnya licin. (Apalagi lokasi kamp favorit, yakni Pos 3, lumayan jauh dari puncak.) Sekarang, tahu-tahu kami sudah tiba di Pos 2. (Pos 1 luput dari pengamatan. Kami tidak sadar bahwa “Pos Ojek” tempat kami duduk-duduk tadi adalah Pos 1.) Saat Obreng melihat jam, ia terkekeh sendiri mendapati bahwa saat itu masih jam 8 pagi.

Kelebihan memulai pendakian pagi-pagi

Jam 11 kurang kami sudah tiba di Sunrise Camp yang terletak sedikit di atas Pos 3. Seingat saya kamp ini belum ada tahun 2009 dulu.

Saya juga pangling melihat Pos 3 yang jadi jauh lebih luas. Dulu Pos 3 tidak sebesar sekarang. Ke atas sedikit, yang ada cuma hutan lamtoro. Sekarang bahkan sudah ada bangunan serupa warung tempat para pendaki yang enggan membuka tenda bisa cari perlindungan dari dinginnya angin.

pendakian gunung sindoro
Menyusun batu di Sindoro/Fuji Adriza

Kami segera mendirikan tenda. Karena masih terang—baru jam 11 siang—hanya sekedipan mata saja tenda itu berdiri. Lalu kami duduk-duduk di luar sambil ngobrol dan minum kopi. Sebenarnya kami semua agak shock, sebab tiba lebih cepat dari perkiraan.

Barangkali pendakian ini terasa cepat karena kami mulai nanjak pagi-pagi saat kondisi fisik sedang dalam keadaan prima. Waktu pertama kali naik Sindoro, saya dan kawan-kawan mulai nanjak malam hari, sehabis magrib. Ketika akhirnya kami membuka tenda di Pos 3, sudah lewat tengah malam. Mungkin karena naik malam dan yang kami lihat hanya kelam, perjalanan terasa lebih lama.

pendakian gunung sindoro
Gunung Sumbing, kembaran Gunung Sindoro/Fuji Adriza

Waktu pendakian kedua, kami mulai nanjak tengah hari saat matahari sedang bersinar terik-teriknya. Tentu saja pendakian terasa sangat berat dan ritme perjalanan kami terganggu. Rasa-rasanya perlu waktu bertahun-tahun hanya untuk mencapai pintu rimba. Pun saat gelap sudah turun—yang juga ikut menurunkan suhu—kami masih di jalan. Mungkin “cobaan-cobaan” itu yang bikin perjalanan terasa lama.

Sindoro yang bikin pangling

Keesokan harinya, sekitar pukul 4, kami bangun dan sarapan. Setengah jam kemudian kami memulai perjalanan ke puncak. Di depan mata saya hanya bisa melihat kaki rekan-rekan yang sama-sama berjuang menuju puncak. Di belakang sana, di bawah, lampu-lampu head lamp bergerak seperti sekawanan laron yang sedang mengantre.

pendakian gunung sindoro
Menjelang puncak/Fuji Adriza

Perlahan fajar mulai menyemburat. Gunung Sumbing, kembaran Sindoro, mulai mewujud dan berubah dari siluet menjadi lukisan lanskap ala Monet. Gurat-guratnya, lembah-lembah dan punggungannya, semakin lama semakin nyata. Lama-lama senter kepala tak terlalu diperlukan lagi; cahaya matahari mulai mengambil alih hari.

Saat hari masih remang-remang itulah perut saya mulai bergejolak. Saya pun menepi, menjauh, dan… bikin lubang. Pagi itu saya buang hajat di toilet dengan pemandangan terindah di dunia. Di seberang sana lereng Gunung Sumbing tampak begitu simetris seperti dalam gambar-gambar karya anak SD. Di pohon-pohon yang semakin jarang, burung jalak mengoceh riang menyambut pagi.

pendakian gunung sindoro
Kawah Sindoro yang sekarang mengeluarkan solfatara/Fuji Adriza

Menjelang puncak—sekitar 2,5 jam perjalanan dari Sunrise Camp—yang tersisa dari vegetasi hanyalah pohon-pohon cantigi yang telah mati. Daunnya sudah hilang. Bau belerang mulai menyengat. Pemandangan sekitar puncak sudah banyak berubah akibat aktivitas vulkanik Sindoro tahun 2011. Seingat saya, 2009 dulu wilayah sekitar puncak gunung ini masih begitu hijau. Penuh rumput dan rumpun-rumpun cantigi. Sekarang, saya malah merasa sedang berada di Hutan Mati Papandayan.

Obreng dan Hadi sudah menunggu di puncak. Saya berjalan pelan sambil mencerna pemandangan surealistis yang terhidang di depan. Setiba di puncak, Obreng dan Hadi menjabat tangan saya. Di belakang mereka, kawah bertingkat Gunung Sindoro tampak berbeda. Kawah yang lebih dalam mengeluarkan solfatara berbau menyengat—suaranya seperti bunyi kompor penjual nasi goreng.

Dulu saya pernah turun ke kawah untuk mengambil air. Karena ke sana musim hujan, kawah itu disaput kabut dan tampak begitu menakjubkan.

The post Kembali Mendaki Gunung Sindoro setelah Lama Absen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-sindoro-via-kledung-2017/feed/ 2 2992