gunung slamet Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-slamet/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 26 Dec 2024 05:40:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung slamet Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-slamet/ 32 32 135956295 Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/ https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/#respond Wed, 25 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44700 Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan...

The post Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan mobil. Kami akan menempuh perjalanan 1,5 jam. Personel kali ini lengkap: saya dan istri, tiga jagoan anak lanang serta dua bocah wadon.

Saya dan keluarga sengaja tidak jalan saat akhir pekan, menghindari kepadatan pelancong. Bayangan kami, malam Jumat bakal sedikit yang berkemah di buper yang terletak di Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur itu.

Namun, harapan kami meleset setibanya di Ipukan pukul 17.30 WIB. Kok, ramai?

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Acara berkemah siswa-siswi SMAN 2 Indramayu di Ipukan/Mochamad Rona Anggie

Ipukan, Pilihan Rekreasi Luar Ruang untuk Keluarga

Melihat kedatangan kami, petugas tiket datang. “Mau nengok, main saja, atau camping?” 

Camping,” jawab saya.

“Berapa orang?”

“Lima.” Sengaja saya tidak menghitung anak nomor empat dan lima, karena masih berusia empat dan tiga tahun. Biasanya bebas tiket masuk.       

 Petugas perempuan itu pun menyobek lima lembar tiket. “Jadi seratus ribu,” ucapnya.

Rame, lagi ada acara apa, teh?

“Kemah pramuka dari SMAN 2 Indramayu.”

“Wah, nggak kebeneran,” kata saya dalam hati, “niat nyari suasana sepi dan hening, malah sebaliknya.”

Memang, bagi warga Cirebon dan Indramayu, pilihan aktivitas luar ruang paling dekat adalah ke Kuningan atau Majalengka. Wisatawan lokal mendominasi kunjungan ke tempat-tempat rekreasi alam terbuka. Terutama wilayah pegunungan di Kuningan. Pada masa kolonial, keempat daerah itu ada dalam satu karesidenan. Publik mengenalnya dengan akronim Ciayumajakuning. 

Bagaimanapun, saya dan keluarga bersyukur, sudah bisa kumpul dan selamat sampai Ipukan. Ini hal yang membahagiakan. Terlebih si sulung kembar, yang sekolah di dua pesantren beda provinsi. Mesti cari waktu tepat biar bisa jalan bareng.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Suasana hutan pinus di sekitar tenda kami di Ipukan/Mochamad Rona Anggie

Membuka Tenda

Sebelum gelap datang, kami mencari tempat untuk membuka tenda. Untungnya buper Ipukan sangat luas. Pilihan bermalam dengan tenda ada di tiga titik: sekeliling hutan pinus (bagian tengah), tanah lapang menghadap belantara Gunung Ciremai (sebelah barat), atau di sisi timur dengan pemandangan kota Kuningan.

Tadinya kami pilih di area hutan pinus agar lebih dekat musala dan toilet. Tenda hendak digelar, tapi saya coba naik ke titik lebih tinggi sebelah timur. Siapa tahu masih ada tempat kosong. Sementara acara pramuka mengaveling area puncak Ipukan sisi selatan. Saya perkirakan ada seratus tenda dome mereka pasang, berdasarkan jumlah peserta yang melibatkan keseluruhan kelas dan guru pendamping.

Alhamdulillah, ada tempat bagus, dekat sebuah gazebo. Pemandangannya lampu kota, cantik sekali. Segera saya kabari anak-anak. Kami lantas boyongan memindahkan tenda dan tas perbekalan, melewati jalan setapak yang menanjak. Gelap mulai mengurung. Senter di kepala (headlamp) dinyalakan untuk membantu penerangan. 

Kami berpapasan dengan pelajar berseragam pramuka. Mereka hendak ke musala untuk salat Magrib. Panggilan dari kakak pembina membuat siswa dan siswi bergegas. Terdengar perintah dari pengeras suara yang tegas dan lantang, “Ayo, segera! Keluar dari tenda!”

“Kampung” kemah pramuka ada di bagian atas hutan pinus. Kami lewat di bawahnya, searah tempat parkir kendaraan. Banyak warung di dekatnya. Para pedagang kompak buka karena ramai pengunjung. Biasanya kalau sedang sepi, hanya satu-dua warung saja yang buka.

Mereka menawarkan ragam makanan. Ada panganan tradisional, seperti cilok dan cilor, bala-bala, gehu, serta siomay. Tidak ketinggalan bakso, mi rebus, dan nasi goreng. Minumnya wedang jahe, susu, kopi atau teh panas. Harganya masih ramah di kantong. Kalau mau, bisa jajan sepuasnya, andai tak bawa bekal.        

“Nah, oke, kan?” tanya saya begitu sampai. Semua mengangguk tersenyum. Lalu mengerjakan tugas masing-masing.

Si kembar, Rean Carstensz Langie (14) dan Evan Hrazeel Langie (14), membangun tenda dome kapasitas lima orang. Tenda hadiah waktu mereka sunat di usia enam tahun. Muhammad (10) merentangkan matras di atas lantai gazebo, sedangkan anak kecil perempuan langsung gogoleran (rebahan).

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Ada beberapa gazebo di sini, bisa dimanfaatkan untuk menaruh perbekalan, memasak, dan makan bersama/Mochamad Rona Anggie

Cuaca Bersahabat di Ipukan

Perbekalan dibongkar oleh ibunya anak-anak. Ia merebus air, membuat teh dan kopi. Camilan awal disiapkan: roti bakar dan kentang goreng. Makan malamnya ayam kecap plus sop bakso.

Udara terasa sejuk. Belum terlalu dingin. Angin juga sepoi saja. “Asap” dari mulut tak keluar. Perkiraan suhu 15 derajat Celsius. Ini kali pertama dua bocah wadon diajak bermalam di alam terbuka. Sempat khawatir mereka tak betah, rewel, lalu minta pulang—wah, bisa gagal kemahnya. Tapi syukurlah, semua baik-baik saja. Situasi kondusif.

“Puncak musim dinginnya sudah lewat. Agustus–September,” kata pengelola Ipukan, Muhammad Jawil (45), ketika memasang lampu di gazebo. 

Saya yang mengadu lampu mati saat mampir ke warungnya untuk membeli kayu bakar Rp20.000 per ikat. Sudah mencakup serpihan kulit pinus sebagai bahan bakar.

“Oh, siap! Nanti saya pasang,” ucap lelaki perintis buper Ipukan pada 2014. Selain makanan dan minuman, warung Pak Jawil juga menyediakan sewa perlengkapan camping, seperti tenda, sleeping bag, kasur tiup, kompor portabel, dan peralatan masak.

Ditanya kapan hujan terakhir, Jawil menyebut sudah lama tidak turun. Menurutnya, sekarang cuaca sedang bersahabat. Siang tak terlalu panas, malam tidak hujan. “Cerah, insyaallah. Bebas babakaran,” ujar warga asli Palutungan itu dengan logat Sunda. 

Ada harapan bisa bikin api unggun tanpa khawatir air langit tumpah. Mau memanggang (barbeque) juga aman.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Warung Jawil yang cukup lengkap/Mochamad Rona Anggie

Semarak Kembang Api 

Pukul 19.30 WIB, ada upacara di “kampung” kemah pramuka. Kami mampir melihat. Ratusan siswa membentuk lingkaran, mengelilingi kayu yang menumpuk tinggi. Persiapan api unggun besar. Tiap perwakilan ekstrakurikuler membacakan “janji”, semacam komitmen anggota pada ekstrakurikuler yang diikuti. Anak pramuka menyuarakan Dasa Darma.   

Upacara ditutup simbolis dengan menembakkan kembang api ke udara. Ledakannya keras. Kilat api berbagai warna melesat. Percikannya menyebar ke sela-sela dahan pinus. Terang. Semarak. Riuh suara para murid. 

Sementara bocil wadon mendekap saya erat. Takut pada ledakan yang berentetan, ia minta menjauh. Saya gendong kembali ke gazebo, baru dia tenang. 

Kami segera membuat perapian dan duduk mengitarinya. Kudapan dikeluarkan. Tangan memegang kuping gelas berisi teh panas. Kami memandang lampu-lampu permukiman penduduk desa dan sebagian rumah warga kota Kuningan. Memang benar, berkemah itu mencari udara dingin plus pemandangan lepas nun jauh. Sulit didapatkan kalau tidak di ketinggian. 

Mendekati pukul 22.00 WIB, anak-anak perempuan dan ibunya masuk tenda. Walau puncak musim dingin sudah lewat, tetap saja makin larut udara pegunungan membuat ingin segera berselimut kantung tidur. Anak lanang tak beranjak dari api unggun. Saya memilih istirahat di gazebo.

“Kalau api sudah padam, biarkan baranya. Nanti bisa dinyalakan lagi,” pesan saya sebelum masuk sleeping bag dan memejamkan mata.

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Tampak Gunung Slamet dengan latar momen jelang matahari terbit/Mochamad Rona Anggie

Puncak Slamet dan Ciremai di depan Mata

Azan subuh membangunkan. Di samping saya ada Evan dan Muhammad tidur pulas. Posisi tubuhnya mirip udang. Dini hari memang tambah dingin. Rean masuk tenda. Tak terdengar suara anak perempuan menangis. Berarti aman, mereka bisa tidur nyenyak. 

Perlu tekad kuat keluar dari kantung tidur. Terbayang dinginnya air ketika wudu. Tapi, kewajiban mesti ditunaikan. Saya bangunkan anak-anak untuk salat Subuh, lalu bergegas menuruni jalan setapak. Benar saja, saat menginjak lantai kamar mandi, terasa menyentuh balok es. Beratnya mengguyurkan air ke anggota tubuh.    

Selesai menunaikan salat, kami mendekati perapian. Menumpuk sisa kayu, meniup bara yang redup. Api muncul setelah tiupan kesekian kali. Menjilati potongan kayu yang bersilang lalu terbakar. Api membesar. Saya membolak-balikkan telapak tangan untuk menghalau dingin.  

Cahaya kuning keemasan perlahan muncul di ufuk, menyibak langit yang gelap. Bertambah menit, semakin menawan. Tumpukan awan berjejal laksana spring bed empuk yang superluas. Andai bisa menjatuhkan tubuh di atasnya, lalu berguling-guling tanpa beban.

Di kejauhan, tampak sesuatu menyembul dari balik cakrawala. Biru langit menaunginya. Sinar matahari menyibak tirai kabut dan segala penghalang. Masyaallah, Gunung Slamet (3.428 mdpl) menyambut pagi dengan senyum merekah. Kami tak kuasa berucap apa pun, selain memuji kebesaran-Nya. Sapuan kuas Sang Pencipta begitu sempurna melukisnya.      

Perkampungan terlihat mungil di bawah sana, seolah hanya seukuran rumah permainan monopoli. Menara pemancar dan masjid bagaikan batang korek yang ditancapkan. Hamparan kebun terlihat seluas keset kaki. Berpetak-petak. Terbayang hamster-hamster di atasnya, seperti yang kami pelihara di rumah. 

Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan
Belantara Ciremai. Ipukan bersebelahan dengan jalur pendakian Gunung Ciremai via Palutungan/Mochamad Rona Anggie

Berada di ketinggian membuat pandangan leluasa, hingga kemudian lamunan merajalela ke mana-mana, mengingat kenangan ini dan itu. Fragmen kehidupan melintas di kepala. Serupa salindia Microsoft PowerPoint.

Anak-anak memanggil, mengajak jalan pagi. Gunung Slamet masih tampil di layar alam saat kami bergerak ke barat. Sebuah tanah lapang jadi tujuan. Di sana, setelah melewati dua jalur setapak menanjak, kelebatan rimba Gunung Ciremai (3.078 mdpl) membentang. Hutan hijau memanjakan penglihatan.

Atap Jawa Barat ada depan mata. Begitu dekat, seolah bisa disentuh. Terbayang pendakian saya dan anak-anak lanang menuju pucuknya. Jejak waktu merekam perjalanan kami, memberi banyak pelajaran hidup. Dan Ipukan, menambah cerita lanjutan tentang cinta dalam diary kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memandang Atap Jawa Tengah dan Jawa Barat dari Ipukan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memandang-atap-jawa-tengah-dan-jawa-barat-dari-ipukan/feed/ 0 44700
Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/ https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/#respond Fri, 10 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41890 Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari...

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari daerah barat maupun timur.

Jika kamu adalah seorang pemburu seven summits, dan masih terlalu jauh untuk menggapai tujuh puncak tertinggi Indonesia atau dunia, kamu bisa memulainya di Jawa Tengah. Secara umum, akses menuju lokasi basecamp masing-masing gunung relatif mudah dijangkau tanpa kesulitan berarti.

Gunung-gunung di daftar ini rata-rata bisa didaki secara optimal dengan durasi dua hari satu malam perjalanan. Beberapa di antaranya jika diperlukan memerlukan tambahan satu hari untuk ritme yang santai dan menikmati jalur, atau bahkan sehari pergi-pulang jika ingin memakai sistem tektok.

1. Gunung Slamet (3.428 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Lebatnya hutan Gunung Slamet terlihat jelas dari Bambangan, Purbalingga/Rifqy Faiza Rahman

Inilah atap Jawa Tengah. Nomor dua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl). Jangkauan lereng hingga kaki gunungnya sangat luas, menjangkau lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada bagian puncaknya terdapat kawah belerang yang masih aktif. Selain itu, di area puncak gunung dengan medan berbatu dan berpasir juga dikenal kerap berkabut secara tiba-tiba sehingga pendaki mesti ekstra fokus dan berhati-hati.

Untuk kamu yang merancang program pendakian atau ekspedisi tujuh gunung dalam satu rangkaian waktu, masukkan Gunung Slamet ke daftar destinasi pertama. Panjangnya jalur pendakian dan tingkat tantangan yang tersaji akan menuntutmu mempersiapkan segalanya dengan baik, baik secara fisik, mental, dan logistik. 

Sejauh ini ada sekitar enam jalur pendakian resmi di Gunung Slamet. Baturraden (Banyumas), Bambangan (Purbalingga), Gunung Malang (Purbalingga), Dipajaya (Pemalang), Guci (Tegal), dan Kaliwadas (Brebes). Masing-masing memiliki karakter dan tingkat kesulitannya sendiri. Kecuali terdapat peraturan yang mengikat oleh pengelola basecamp, TelusuRI menyarankan kamu mendaki gunung ini dalam tiga hari dua malam. Tujuannya agar lebih menikmati perjalanan dan tidak terlalu menguras tenaga.

2. Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Sabana Segoro Banjaran di dalam kaldera Gunung Sumbing, bisa ditempuh dari jalur Banaran, Temanggung/Rifqy Faiza Rahman

Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Di lereng gunungnya terhampar melimpah perkebunan tembakau, sama seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro. Ciri khas gunung ini adalah bagian kaldera dekat puncak yang bisa dieksplorasi, mencakup sabana Segoro Banjaran, area berpasir Segoro Wedi, makam Ki Ageng Makukuhan, dan kawah belerang aktif.

Tersedia banyak pilihan jalur menuju puncak, baik itu Puncak Rajawali (tertinggi), Puncak Buntu, maupun Puncak Sejati. Di wilayah Magelang, ada jalur Butuh dan Mangli yang masuk wilayah Kecamatan Kaliangkrik. Kemudian di Temanggung, terdapat jalur Banaran, Cepit, Dukuh Seman, Sipetung, dan Batursari. Terakhir di jalur barat atau Wonosobo, kamu bisa memilih antara Bowongso atau Gajah Mungkur. 

Secara umum, tipikal jalur pendakian Gunung Sumbing cenderung lurus dan menanjak terjal nyaris tanpa ampun. Sebagian rute bahkan tidak memiliki sumber air, sehingga kamu harus mempersiapkan stok air berlebih. Untuk itu, diperlukan ketahanan fisik yang prima agar mampu mendaki gunung ini dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Gunung Lawu (3.265 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Pendaki menikmati pemandangan dan suasana sore di sabana Gupakan Menjangan, jalur Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Bagian kaki, lereng, hingga puncak tertinggi gunung ini (Hargo Dumilah) tertancap di perbatasan dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terkenal bukan hanya di kalangan pendaki, melainkan juga bagi para peziarah atau pelaku spiritual.

Sejumlah jalur pendakian yang tersedia bahkan menyimpan beberapa situs cagar budaya peninggalan kerajaan masa lampau. Seperti jalur Cetho, Karanganyar, kamu akan menjumpai Candi Cetho itu sendiri dan Candi Kethek yang terletak berdekatan. Adapun rute pendakian lain di wilayah Jawa Tengah adalah Cemoro Kandang (Tawangmangu) dan Tambak (Ngargoyoso). Keduanya juga berada di Kabupaten Karanganyar.

Menurut kebanyakan pendaki, temperatur udara di Gunung Lawu kabarnya lebih dingin dibandingkan gunung-gunung lain. Untuk itu, persiapkan fisik dan perlengkapan yang memadai agar pendakianmu berjalan lancar.

4. Gunung Sindoro (3.153 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Kerucut Gunung Sindoro dipotret dari jalur pendakian Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman

Posisi gunung yang memiliki kawah belerang aktif dan cukup besar ini tepat di seberang Gunung Sumbing. Hanya dipisahkan lembah yang di atasnya membentang jalan raya Temanggung–Wonosobo. 

Hampir di segala penjuru mata angin gunung ini terdapat jalur resmi yang bisa didaki. Dari sisi utara, kamu bisa mendaki melalui Sigedang yang letaknya tak jauh dari kawasan perkebunan teh Tambi, Wonosobo. Di sebelah timur, terdapat jalur Bansari yang relatif dekat dengan pusat kota Kabupaten Temanggung. Kemudian jika kamu ingin mendaki dari arah barat, kamu bisa menuju Desa Ndoro Arum di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Bergeser ke selatan, ada tiga jalur yang terletak berdekatan di perbatasan Kabupaten Temanggung–Wonosobo. Pertama, jalur Kledung. Basecamp-nya menempel dengan kompleks Kantor Desa Kledung dan berada persis di pinggir jalan raya Temanggung–Wonosobo. Kedua, Alang-alang Sewu di wilayah Kecamatan Kertek, Wonosobo. Ketiga, rute Bedakah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh Bedakah, juga di Kecamatan Kertek. Jalan menuju basecamp Bedakah searah dengan basecamp Gunung Kembang, “anak” Gunung Sindoro.

5. Gunung Merbabu (3.145 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Deretan tenda pendaki di area camp Puncak 2 Pemancar Gunung Merbabu, via jalur Thekelan/Rifqy Faiza Rahman

Berada di dalam kawasan taman nasional, Merbabu juga memiliki seven summits-nya sendiri. Kamu akan mencapainya bila mendaki lewat jalur Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Orang-orang menyebutnya jalur tua atau klasik. Kelebihan lain dari jalur Thekelan adalah ada tiga titik sumber air yang bisa dimanfaatkan pendaki, yaitu Pos 1 Pending (1.824 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.137 mdpl), dan pos air di bawah Helipad (2.884 mdpl).

Karena aturan durasi pendakian terbatas dua hari satu malam, persiapkan fisik, logistik, dan manajemen waktumu untuk bisa menggapai tujuh puncak tertinggi Merbabu: Puncak 1 Watu Gubug (2.723 mdpl), Puncak 2 Pemancar (2.847 mdpl), Puncak 3 Geger Sapi (3.002 mdpl), Puncak 4 Syarif (3.119 mdpl), Puncak 5 Ondo Rante (3.112 mdpl), Puncak 6 Kenteng Songo (3.142 mdpl), dan Puncak 7 Triangulasi (3.145 mdpl).

Lewat jalur mana pun, baik itu Thekelan, Selo, Suwanting, maupun Wekas, kamu bisa simak informasi panduan registrasi pendakian Gunung Merbabu secara daring di sini. Sebagai bocoran, pesan kuota pendakianmu jauh-jauh hari, karena saat akhir pekan biasanya akan penuh (terutama jalur Selo dan Suwanting).

6. Gunung Prau (2.590 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Tenda-tenda pendaki di area camp dekat puncak Gunung Prau, bisa digapai lebih cepat dari jalur Patak Banteng/Rifqy Faiza Rahman

Sejak pertama kali dibuka untuk umum sampai sekarang, tampaknya status gunung sejuta umat yang biasa disandang Semeru bergeser ke Prau. Lihat saja saat akhir pekan atau libur panjang, pendaki akan menyemut hampir di semua jalur. Dari sekitar enam jalur resmi, Patak Banteng dan Dieng di Wonosobo jadi dua daftar teratas yang paling diburu pendaki. 

Kalau kamu cenderung mencari jalur yang relatif tidak terlalu padat, kamu bisa mencoba jalur Wates di Kecamatan Wonoboyo, Temanggung; Igirmranak dan Kalilembu di Kecamatan Kejajar, Wonosobo; atau via Dieng Kulon (Candi Dwarawati) di Kecamatan Batur, Banjarnegara. Masing-masing jalur akan saling bertemu di kawasan puncak tertingginya. 

Ikon gunung ini memang berada di area puncak. Hanya dengan mendaki sekitar 2,5–4 jam (setiap jalur bervariasi), pendaki bisa melihat pemandangan gunung-gunung besar lain di sekitarnya. Jika cuaca cerah, kamu akan melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing berdampingan, begitu pun Merbabu dan Merapi. Nun di barat, ada Gunung Slamet. Momen terbaik biasanya saat matahari terbenam, malam hari penuh bintang, atau matahari terbit. 

7. Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Vegetasi semak dan rerumputan di area puncak Gunung Pakuwaja via Facebook/Gunung Pakuwaja

Meskipun berbeda lokasi, Gunung Pakuwaja terbilang masih satu area dengan Gunung Prau di dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng. Bentang alam Gunung Pakuwaja mencakup tiga desa di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, yaitu Sembungan, Parikesit, dan Tieng. Basecamp terpopuler gunung ini ada di Parikesit. Waktu tempuhnya berkisar 1,5–3 jam, tergantung kondisi fisik kamu. Meski tidak sampai 3.000 mdpl, tetapi treknya cukup bervariasi. Ada yang landai, ada yang terjal. 

Dalam catatan Badan Geologi ESDM, Pakuwaja merupakan gunung api yang terbentuk paling muda yang menempati Kompleks Vulkanik Dieng. Oleh karena itu, jika kamu penyuka ilmu kebumian, Gunung Pakuwaja adalah tempat yang pas karena memiliki situs jejak lava yang beraneka ragam. Namun, pastikan kamu tetap menaati segala peraturan yang ditetapkan basecamp dan jaga sopan santun selama pendakian. Sebuah sikap yang juga berlaku untuk gunung-gunung lain.

Setelah menuntaskan Sumbing, Sindoro, Prau, dan Pakuwaja, jika masih memiliki sumber daya waktu, tenaga, dan biaya, kamu bisa melanjutkan program seven summits khusus di wilayah Kabupaten Wonosobo. Ketiga puncak gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), dan Gunung Kembang (2.340 mdpl). Yang menarik, kamu bisa mendapatkan sertifikat dari Perhutani KPH Kedu Utara sebagai apresiasi keberhasilan kamu meraih seven summits of Wonosobo.

Menjadi Pendaki Bijak

Sah-sah saja jika kamu berambisi mengkhatamkan tujuh puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah. Namun, pastikan kamu menjadi pendaki yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk ikut menjaga gunung itu sendiri. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan pendakian
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang mengurangi sampah kemasan anorganik
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang mungkin kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Jadi, mau mulai dari mana buat mendaki seven summits Jawa Tengah? Lekas kemasi ranselmu dan berangkat sekarang juga!


Penafian:
Gunung Merapi (2.968 mdpl) tidak masuk daftar karena telah lama ditutup untuk pendakian sejak peningkatan aktivitas vulkanis pada 2018. Kini statusnya Level III (Siaga).


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/feed/ 0 41890