gunung sumbing via banaran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-sumbing-via-banaran/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 28 Mar 2024 15:02:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung sumbing via banaran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-sumbing-via-banaran/ 32 32 135956295 Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/#respond Fri, 29 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41567 Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat berat dan malas. Keengganan beradu dengan keingintahuan tentang puncak—alias ambisi—tatkala ingin mengeluarkan seluruh tubuh dari kehangatan sleeping bag. Namun, alarm ponsel yang dihidupkan jelas memiliki tujuan. Mau tak mau kami harus bangun.

Saya dan Badak, yang memang satu tenda, lekas bersiap. Kami memilah barang bawaan yang diperlukan dalam ransel kecil, antara lain minuman, camilan, dan obat-obatan. Begitu pun kawan-kawan yang lain. Kecuali Rendra, yang mengaku sedang kurang fit, selebihnya siap mencoba kesempatan muncak. Livi, yang semalam sempat bilang tidak ikut karena kelelahan, subuh itu (20/08/2023) tiba-tiba berubah pikiran. 

Berbekal headlamp, kami mulai berjalan meninggalkan Pos 4 Watu Ondho tepat pukul 04.30. Tampaknya kebutuhan akan senter kepala ini tidak akan terlalu lama. Saya berseru ke teman-teman, sang fajar telah muncul di cakrawala. Situasi yang malah tidak membuat kami bergegas atau tergesa, tetapi memilih untuk menikmati sajian alam di tiap jeda beberapa langkah. 

Berkawan rawi pelipur netra

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri-kanan: Henny, Evelyne, Emma, Livi, dan Lukas. Kami kembali beristirahat di tengah jalur menanjak setelah 30 menit berjalan dari Pos 4 Watu Ondho. Meskipun tidak terlalu berangin, kami tetap memakai jaket untuk mencegah kedinginan dan potensi hipotermia. Bagi saya pribadi, biasanya baru akan melepas jaket jika pagi sudah hangat karena cahaya matahari. Namun, lagi-lagi itu berlaku jika angin tidak terlalu kencang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Tidak ada yang salah dengan menengok ke belakang ketika berhenti. Puncak gunung tidak akan lari dikejar. Tak akan ke mana-mana, katanya. Seperti yang dilakukan Emma (jaket putih). Jika menyukai fotografi, pasti setuju momen itu mahal harganya dan sulit untuk diulang. Bahkan dengan kamera ponsel sederhana sekalipun.

Salindia ke-2: Sorot headlamp Dio yang menyala di tengah pendakian menuju puncak. Di kejauhan Gunung Merbabu (kiri) dan Merapi terlihat mungil di atas lautan awan bak selembut kapas. Di saat-saat seperti inilah kami sering berhenti, karena terlalu sayang dilewatkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Ketika jalur semakin terbuka dan naungan pepohonan berkurang, panorama alam kian terbentang luas memanjakan netra. Sekitar 10 menit berjalan dari area Watu Lawang (2.960 mdpl), saya ingin rehat di di tengah jalur dan duduk di antara rerumputan. Emma mengekor di belakang. Saya melihat sang rawi mulai menampakkan diri di kaki langit. Spontan saya segera memencet tombol shutter kamera beberapa kali. 

Salindia ke-2: Potret Lukas yang sedang beristirahat dengan latar Gunung Merbabu dan awan-awan putih. Kali ini ia dan Henny berjalan agak santai. Jarak antara satu sama lain yang muncak pagi itu relatif tidak terlalu jauh.

Salindia ke-3: Sekuntum bunga edelweiss yang masih belum mekar sempurna. Di gunung ini, edelweiss yang tumbuh memang tidak banyak. Namun, keberadaannya mewarnai jalur pendakian. Tanaman gunung yang biasa disebut bunga abadi ini memang hidup dan mampu bertahan di ketinggian hingga 3.000-an mdpl.

Jalur pendakian membelah tebing terjal menuju kawah Segoro Banjaran, yang kira-kira masih berjarak 30 menit lagi. Rute timur Banaran memang cenderung lebih panjang dibandingkan jalur lain, seperti Kaliangkrik, Garung, maupun Bowongso. Pendaki tidak akan langsung menemui puncak, tetapi harus turun terlebih dahulu menyusuri Segoro Banjaran. Akan tetapi, perjalanan dan pengalaman seperti itulah yang kami cari di sini.

Membumi di Segoro Banjaran

Kiri: Petunjuk arah di persimpangan jalur Banaran dan Butuh (Kaliangkrik) di ketinggian 3.202 mdpl. Saat turun dari Segoro Banjaran atau Puncak Rajawali, pendaki harus fokus dan memerhatikan petunjuk yang tersedia agar tidak salah jalur. Kanan: Tebing cadas Puncak Sejati—tingginya hampir sama dengan Puncak Rajawali—yang bisa ditempuh langsung lewat jalur Kaliangkrik, Magelang. Baik itu melalui Dusun Butuh, Mangli, maupun Adipuro, karena ketiganya akan bertemu di percabangan yang sama.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Segoro Banjaran (3.180 mdpl). Sebuah kawasan kaldera Gunung Sumbing yang luas dan dikelilingi tebing cadas setinggi 200-an meter. Di dalam kaldera ini terdapat kawah-kawah kecil penghasil belerang. Kami kerap menjumpai bubuk-bubuk putih belerang yang cukup menyengat di sepanjang jalur. Saat musim hujan, beberapa titik di Segoro Banjaran akan tergenang air. Kami tiba di tempat ini setelah berjalan 2 jam 45 menit dari camp.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Menyusuri jalan setapak membelah rumput-rumput kering yang menguning di Segoro Banjaran. Kami menjadi sangat kecil berada di kaldera megah ini. Seperti semut yang berjalan beriringan di sudut-sudut rumah. Situasi serupa yang saya alami di gunung-gunung lain, tak terkecuali ketika berlayar di tengah lautan. Alam tak akan tertandingi, tak akan bisa ditaklukkan. Ego dirilah yang harus kami tundukkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Petunjuk arah menuju empat tempat, yaitu jalur Banaran (Sumbing East Route), Segoro Wedi (kawasan kawah berpasir putih), Puncak Buntu, dan Puncak Rajawali. Untuk menuju Puncak Buntu meniti jalur yang sama ke arah Puncak Rajawali, lalu di persimpangan ambil arah kanan memanjat tebing menuju jalur Garung. Informasi arah yang ditopang dengan tiang besi ini berada dekat makam Ki Ageng Makukuhan.

Salindia ke-2: Kompleks makam Ki Ageng Makukuhan (3.209 mdpl), yang biasanya ramai saat malam 1 Muharram atau 1 Suro (penanggalan Jawa). Seorang tokoh agama yang dihormati penduduk sekitar Gunung Sumbing. Ada sejumlah versi berkaitan dengan sosok tersebut, salah satunya menyebut Ki Ageng Makukuhan sebagai pendakwah beretnis Tionghoa. Ia merupakan santri Sunan Kudus dan ditugaskan menyebarkan agama Islam di Karesidenan Kedu. Kemungkinan “Makukuhan” adalah serapan lidah Jawa terhadap nama aslinya “Ma Kuw Kwan”. Di sisi lain, lokasi makamnya pun memiliki perbedaan versi. Sebagian mengatakan di kawah Gunung Sumbing—seperti yang kami kunjungi—sedangkan yang di daerah Kedu, Temanggung, adalah petilasannya. Yang pasti, siapa pun wajib menjaga etika jika berada di tempat ini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salah satu dapur belerang berukuran cukup besar di area kawah utama. Tampak papan informasi berwarna kuning dari PVMBG, BPBD, dan pemerintah daerah setempat. Isinya larangan berkemah di seluruh kawasan kawah karena dikhawatirkan adanya kenaikan intensitas gas vulkanis beracun, terutama malam hari atau musim hujan. Saat hari cerah saja kami tidak betah berlama-lama di dekat kawah karena bau belerang yang menyengat.

Jalan terjal menuju Puncak Rajawali

Pendakian terus berlanjut. Menurut GPS yang saya bawa, jarak ke Puncak Rajawali tinggal 350 meter lagi. Namun, meski puncak sudah tampak di depan mata, tidak semudah itu menggapainya. Masih harus menanjak tebing yang penuh batuan putih (kiri), kembali melewati sabana (kanan), dan satu tanjakan terjal terakhir lalu tibalah kami di Puncak Rajawali. Perkiraan saya, perlu satu jam lagi untuk menempuh sisa perjalanan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sudut pandang lebar dari lensa kamera yang merekam kaldera Gunung Sumbing. Saya memotretnya di ujung tanjakan sebelum mendekati Puncak Rajawali. Tampak Segoro Wedi bak lapangan berpasir putih di kejauhan. Rumpun edelweiss di sini lebih banyak dibanding jalur Banaran. Sebagian ditumbuhi cantigi. Di titik inilah Sumbing East Route bertemu dengan jalur Sipetung, Batursari, dan Garung. Pendaki dari arah sana harus melewati Puncak Buntu terlebih dahulu dan menuruni tebing curam ala “Watu Ondho”, sebelum sampai puncak tertingginya.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Euforia para pendaki yang datang dari pelbagai jalur di Puncak Rajawali Gunung Sumbing (3.371 mdpl). Saat itu akhir pekan, sehingga ramai pendaki. Di antara sekian jalur resmi yang tersedia, memang jalur Garung masih menjadi favorit dan paling banyak dilalui pendaki.

Salindia ke-2: Salah satu sudut foto yang juga biasa dipakai pendaki Gunung Sumbing setibanya di Puncak Rajawali. Jika cerah akan terlihat Gunung Sindoro. Di belakangnya lagi ada Gunung Prau dan pegunungan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Tampak Emma dan Henny (tengah) sedang mengantre giliran foto di plakat penanda puncak tertinggi Gunung Sumbing.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Pemandangan membiru Gunung Slamet di sisi barat. Gunung tertinggi di Jawa Tengah (3.428 mdpl) yang kakinya membagi lima kabupaten: Purbalingga, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Pemalang. Saya pernah sekali mendaki gunung berapi aktif itu, yaitu pada Desember 2013 via Bambangan, Purbalingga. Gunung ini biasanya didaki untuk melengkapi ekspedisi “Triple S” di Jawa Tengah, selain Sindoro dan Sumbing.

Setelah cukup, selanjutnya pulang

Kiri: Sejumlah pendaki berusaha memanjat tebing dengan bantuan tali webbing untuk kembali ke jalur pendakian awal—Garung dan sekitarnya. Seperti halnya Watu Ondho, tebing ini akan licin jika hujan. Pendaki harus ekstra hati-hati. Kanan: Tidak sedikit pendaki yang memilih cukup berhenti di Puncak Buntu saja, tanpa harus meneruskan perjalanan ke Puncak Rajawali. Walau tampak dekat, faktanya tetap saja bakal menguras tenaga.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Livi (paling depan) dan Emma berjalan menyusuri jalur kembali ke tempat camp. Perjalanan pulang memang akan cenderung terus menurun, tetapi seolah sama panjangnya dengan saat berangkat. Hari kian terik, kaki makin lemas, dan tenggorokan kering. Kami bertiga adalah anggota rombongan yang terakhir tiba di tenda.

Salindia ke-2: Areal camp di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl). Siang itu kabut mulai naik perlahan, tetapi tidak sampai turun hujan. Terlihat di kejauhan permukiman warga menyemut, yang kadang-kadang memandangnya justru bikin angin-anginan untuk pulang. Rasanya jauh sekali. Namun, ya, kami harus pulang.

Salindia ke-3: Rendra, teman asal Sidoarjo, sedang makan siang bersama kami sebelum turun. Ia tidak ikut muncak karena merasa kurang fit, sehingga memilih istirahat memulihkan tenaga untuk pulang. Ia mengaku memang sudah agak lama libur mendaki gunung.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sore yang kian temaram tepat kami keluar dari hutan. Saya minta tukang ojek basecamp yang menjemput untuk berhenti sejenak di tengah-tengah jalan makadam. Saya keluarkan kamera dan memotret pemandangan ini sebagai foto penutup jurnal perjalanan kami. Sebuah lanskap perkebunan tembakau, hutan pinus, dan Gunung Sumbing di baliknya. Rasanya tak percaya, secepat itu kami naik dan turun. Melelahkan memang. Namun, saya yakin akan sepadan.


Foto sampul:
Dio sedang memerhatikan jalur yang aman untuk dipijak saat perjalanan menuju Puncak Rajawali Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/feed/ 0 41567
Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/#respond Thu, 28 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41529 Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi Cetho pada pertengahan Mei 2023, mendaki Gunung Sumbing via Banaran dua bulan setelahnya adalah perjalanan remedial. Mengobati rasa penasaran atas pendakian sebelumnya yang terhenti di separuh jalan pada Desember 2022. Saat itu saya, Rino alias Badak, Emma, dan Evelyne terpaksa membuka camp beberapa meter sebelum tebing Watu Ondo. Fisik Emma drop dan tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

Kali ini, dengan personel tetap ditambah lima kawan dari Surabaya—Lukas, Henny, Rendra, Dio, dan Livi—kami kembali ke Banaran. Dusun dengan ketinggian 1.071 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang jadi salah satu pintu masuk menuju Puncak Rajawali. Para pendaki mengenalnya Sumbing East Route. Rute timur yang sangat menantang karena tanjakan konstan, jarak yang cukup jauh (sekitar 8 km), dan harus melewati luasnya kaldera Segoro Banjaran sebelum puncak.

Dan memang itulah yang kami cari, yaitu melengkapi pengalaman. Banaran adalah jalur yang komplet. Di sinilah fisik diuji, lutut dan betis diurut, dan keringat diperas. Namun, cuaca benderang di hari pertama menghibur hati. Kami optimis pendakian dua hari satu malam ini berjalan lebih baik dari sebelumnya. Kami hanya harus bersabar meniti sedikit demi sedikit langkah di atas jalan setapak.

Awal yang baik untuk melangkah

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri: Emma (memanggul tas) yang membonceng Badak ikut melihat lautan awan dalam perjalanan menuju basecamp Banaran, Tembarak, Kabupaten Temanggung. Waktu tempuhnya 1,5 jam dari Kota Magelang. Pagi itu cuaca memang cerah dan tidak terlalu berangin. Kanan: Tampak belakang basecamp Banaran yang menempati gudang penampung hasil pertanian. Saat ini sudah ada basecamp baru yang terletak sekitar 600 meter dari basecamp lama. Letaknya lebih tinggi, searah dengan jalur makadam dan perkebunan tembakau menuju pintu hutan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Suasana di dalam basecamp lama Banaran. Evelyne (paling kiri), Emma, dan LIvi tengah bersiap sebelum berangkat ke pintu hutan dengan ojek. Biaya registrasi pendakian adalah Rp15.000 per orang (sudah termasuk asuransi), ditambah Rp10.000 per orang untuk fasilitas basecamp (toilet dan mengecas gawai), dan tarif parkir Rp10.000 per kendaraan. Pagi itu (19/08/2023) tidak terlalu ramai pendaki. Kami adalah rombongan pertama yang naik. Karena armada ojek terbatas, kami meninggalkan basecamp secara bergantian mulai pukul 08.50 WIB.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya membonceng tukang ojek yang menggunakan motor matik. Berkendara 15 menit menuju pos nol (titik penurunan ojek) sangat menantang. Setelah 600 meter membelah jalan kampung yang menanjak, sisa sekitar 1,5 km ditempuh dengan menyusuri jalan makadam yang tak kalah terjal. Pengemudi harus andal dan lihai agar motor bisa melaju tanpa kehabisan tenaga. Untuk itu tas ransel ditaruh di depan pengemudi agar saya tidak terpelanting. Sekalipun begitu, saya tetap berpegangan erat pada behel motor karena cara mengemudi bapak ini sangat ngebut. Tarif ojek dari basecamp adalah Rp25.000 per orang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Seorang petani tembakau tertawa saat saya memintanya membuka topi dan tudung jaket, sehingga terlihat rambut gondrong yang disemir kemerahan. Ia mengatakan orang-orang Banaran yang hidup di lereng Sumbing biasa menanam tembakau jenis lamsi. Karakter rajangannya keras dan tebal, tetapi rasanya manis.

Salindia ke-2: Sejumlah petani membeber hasil panen daun tembakau yang sudah menguning di area pos nol (1.487 mdpl), tempat kami turun dari ojek. Suasananya meriah, penuh guyon dan gelak tawa.

Salindia ke-3: Seorang ibu baru keluar hutan dengan memanggul batang-batang kayu untuk bahan bakar perapian di dapur. Rasanya berat tas ransel dan logistik yang kami bawa tak sebanding dengan beban kayu yang ia bawa.

Tak perlu menggerutu di jalur berdebu

Trek ini bernama tangga eskalator. Salah satu ikon jalur Banaran. Dinamakan demikian karena bentuknya seperti eskalator di mal-mal, hanya saja tidak dijalankan mesin secara otomatis. Kami tetap harus berjalan manual. Mengangkat tinggi kaki melewati satu per satu trap anak tangga sepanjang setengah kilometer lebih sedikit. Dimulai dari Warung Ganesari (1.725 mdpl) hingga sepertiga jalan antara Pos 1 Seklenteng (1.880 mdpl) dan Pos 2 Siwel-Iwel (2.1.27 mdpl). Tak ada cara lain untuk melewatinya selain terus berjalan dengan sabar dan hapus segala keluh. Saat kemarau, jalur akan kering dan berdebu. Kontras dengan kondisi di musim hujan yang sangat licin dan agak berlumpur.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Pukul 12.10, berhenti agak lama di Pos 2 Siwel-Iwel untuk istirahat dan makan siang. Menunya nasi bungkus berisi nasi, sayur tumis, dan lauk telur dadar. Kami tertinggal cukup jauh di belakang Lukas, Henny, Rendra, dan Dio yang berjalan lebih cepat.

Salindia ke-2: Berurutan dari belakang, Badak, Emma, dan Evelyne sedang berhenti sejenak mengatur napas di tengah jalur. Tampak bekas batang pohon tumbang yang dipangkas dan tergeletak begitu saja di atas semak-semak. Kami menemukan banyak pohon tumbang di sepanjang jalur menuju Pos 3 Punthuk Barah, yang menunjukkan jejak badai hebat pada puncak musim hujan lalu.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Kawasan hutan mlanding yang tumbuh agak rapat. Ada bonus berupa trek datar saat melewati jalur ini, sebelum akhirnya agak menanjak mendekati Pos 3 Punthuk Barah.

Salindia ke-2: Kembali menyempatkan rehat sebentar di Pos 3 Punthuk Barah (2.411 mdpl). Jaraknya kira-kira 650 meter atau 1—1,5 jam perjalanan. Pos ini kadang jadi alternatif mendirikan tenda karena lahan datar cukup memadai. Biasanya digunakan pendaki berkemah jika fisik sudah tidak memungkinkan lanjut ke Pos 4 Watu Ondho, batas akhir camp. Namun, tidak ada sumber air di sini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya menyebutnya Pos Darurat (2.638 mdpl). Daerah terbuka di punggungan yang berjarak sekitar 500 meter dari Pos 3 Punthuk Barah. Di tempat datar sempit inilah kami membuka tenda pada Desember 2022 lalu. Saat itu sudah petang. Gerimis turun sehingga memaksa kami harus berhenti. Padahal tebing vertikal Watu Ondho sudah terlihat, sedikit lagi kami sampai di pos yang lebih nyaman untuk camp. Namun, keselamatan dan kesehatan lebih penting. Jika selepas Pos 3 terpaksa bikin camp darurat, ada tempat yang lebih layak. Letaknya di ketinggian 2.585 mdpl, 350 meter dari Pos 3.

Berjalan lebih jauh dari tebing cadas itu

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kabut sempat turun menyelimuti ujung punggungan bukit. Lukas dan kawan-kawan sepertinya telah tiba di Pos 4 Watu Ondho dan kelar bangun tenda. Sementara saya bersama Badak, Emma, Evelyne, dan Livi masih harus melalui tantangan terakhir, yaitu tebing Watu Ondho itu sendiri. Kami harus bergegas sebelum petang datang, karena masih ada tugas mengambil air di sumber yang cukup jauh dari camp.

Tebing Watu Ondho (2.690 mdpl). Tebing vertikal setinggi 6—8 meter. Satu-satunya jalan naik menuju Pos 4 Watu Ondho. Melihat batu cadas hitam keabu-abuan tersebut, jelas sekali jika saat hujan akan sangat licin dan berbahaya. Kanan-kirinya hanya jurang dalam menganga. Hidup bergantung pada uluran tali webbing dan seutas rantai yang menjuntai, terikat pada pasak-pasak besi yang tertancap di permukaan batuan. Kunci agar berhasil melewati tebing ini adalah kekompakan tim dan rasa percaya pada setiap pijakan kaki. Foto paling kanan dipotret saat turun gunung, yang lebih menantang dan sulit dibanding naik.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Jurang dalam di sisi kiri tebing. Sekali saja lengah dan kehilangan fokus, ya, sudah. Livi, kawan kami, sempat ingin menyerah tidak mau lanjut karena merasa takut dan tidak sanggup memanjat. Kami berusaha menenangkannya dan meyakinkan bahwa dia bisa. Soal bagaimana turunnya nanti, itu dipikir saat pulang besok.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Setibanya di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl) pukul 16.30, kami segera berbagi tugas. Lukas dan kawan-kawan yang sudah datang lebih dulu membantu mendirikan dua tenda yang dibawa saya dan Badak. Saya mengajak Badak mengambil air ke sumber air Semelik (2.791 mdpl), sementara Emma, Evelyne, dan Livi bergegas memasukkan barang serta menyiapkan logistik untuk makan malam. Rute ke mata air berjarak sekitar 300 meter. Naik sedikit lalu belok kanan melipir jalur antarpunggungan yang sangat terbuka tanpa naungan apa pun. Lokasinya memang tersembunyi, di celah lembah dan berupa kolam jernih di aliran sungai kecil. Menurut pengelola basecamp Banaran, mata air ini tersedia sepanjang tahun. Berbeda dengan pipa air di Pos 1 Seklenteng yang tidak mengalir saat kemarau.

Petang yang berkerabat dengan malam

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Lukas (kiri) dan Henny, kawan asal Surabaya. Selain naik gunung, Lukas dan Henny hobi bersepeda jarak jauh antarkota dengan komunitasnya saat akhir pekan. Tak heran di setiap kesempatan pendakian bersama dua orang ini, jalannya sangat cepat. Fisiknya terlatih. Saya awalnya keteter mengikuti ritme langkah keduanya. Namun, pada akhirnya yang sering terjadi adalah membiarkan mereka berjalan dulu di depan, sementara saya santai saja di belakang.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tampak Dio (baju hitam) berjalan di antara tenda-tenda kami di areal camp Pos 4 Watu Ondho. Karena berada di punggungan yang terbuka, akan terasa bila terjadi angin kencang atau badai. Pasak tenda harus ditancap kencang-kencang di tanah. Tempat datar di pos ini memang tidak terlalu luas. Jika penuh—biasanya akhir pekan—pendaki bisa naik sekitar 50-100 meter dan akan menemukan satu-dua petak tanah yang memadai untuk mendirikan tenda.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tenda putih milik Rendra berkapasitas satu orang dengan latar guratan langit senja. Cuaca cerah hari itu masih mewarnai Pos 4 Watu Ondho sampai malam datang. Kami tidak bisa melihat jelas momen matahari terbenam, karena terhalang punggungan gunung. Pos ini memang pas untuk menikmati panorama matahari terbit, jika tidak ingin ke puncak lebih awal.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Emma (paling kiri), Evelyne, dan Badak masak bersama untuk menyiapkan makan malam. Kadang-kadang saya ikut membantu. Cuaca cerah dan tidak terlalu berangin, sehingga kami leluasa memasak di luar tenda. Sementara rombongan Surabaya sudah selesai makan karena membawa logistik sendiri. Sembari menunggu matang, saya bergegas keluar tenda dan menyiapkan peralatan fotografi. Atmosfer malam itu benar-benar nyaris bersih, memberi ruang bagi benda-benda langit menampakkan diri.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing
Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Ini adalah alasan terbesar saya mengatur jadwal mendaki di pertengahan Agustus 2023. Saat itu sedang dalam fase new moon atau bulan baru. Saya biasa menyebutnya bulan mati. Posisi bulan berada paling dekat antara bumi dan matahari, sehingga bayangan bulan redup atau tidak terlihat. Setidaknya sampai fase bulan Di masa tersebut bintang-bintang akan terlihat lebih jelas dan tampak gugusan milky way seperti foto ini.

(Bersambung)


Foto sampul:
Pemandangan sore tatkala gulungan awan menyelimuti Gunung Merapi (kanan) dan Merbabu. Dipotret dari Pos 4 Watu Ondho/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/feed/ 0 41529