gunung sumbing Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-sumbing/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 10 May 2024 04:12:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung sumbing Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-sumbing/ 32 32 135956295 Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/ https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/#respond Fri, 10 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41890 Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari...

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari daerah barat maupun timur.

Jika kamu adalah seorang pemburu seven summits, dan masih terlalu jauh untuk menggapai tujuh puncak tertinggi Indonesia atau dunia, kamu bisa memulainya di Jawa Tengah. Secara umum, akses menuju lokasi basecamp masing-masing gunung relatif mudah dijangkau tanpa kesulitan berarti.

Gunung-gunung di daftar ini rata-rata bisa didaki secara optimal dengan durasi dua hari satu malam perjalanan. Beberapa di antaranya jika diperlukan memerlukan tambahan satu hari untuk ritme yang santai dan menikmati jalur, atau bahkan sehari pergi-pulang jika ingin memakai sistem tektok.

1. Gunung Slamet (3.428 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Lebatnya hutan Gunung Slamet terlihat jelas dari Bambangan, Purbalingga/Rifqy Faiza Rahman

Inilah atap Jawa Tengah. Nomor dua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl). Jangkauan lereng hingga kaki gunungnya sangat luas, menjangkau lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada bagian puncaknya terdapat kawah belerang yang masih aktif. Selain itu, di area puncak gunung dengan medan berbatu dan berpasir juga dikenal kerap berkabut secara tiba-tiba sehingga pendaki mesti ekstra fokus dan berhati-hati.

Untuk kamu yang merancang program pendakian atau ekspedisi tujuh gunung dalam satu rangkaian waktu, masukkan Gunung Slamet ke daftar destinasi pertama. Panjangnya jalur pendakian dan tingkat tantangan yang tersaji akan menuntutmu mempersiapkan segalanya dengan baik, baik secara fisik, mental, dan logistik. 

Sejauh ini ada sekitar enam jalur pendakian resmi di Gunung Slamet. Baturraden (Banyumas), Bambangan (Purbalingga), Gunung Malang (Purbalingga), Dipajaya (Pemalang), Guci (Tegal), dan Kaliwadas (Brebes). Masing-masing memiliki karakter dan tingkat kesulitannya sendiri. Kecuali terdapat peraturan yang mengikat oleh pengelola basecamp, TelusuRI menyarankan kamu mendaki gunung ini dalam tiga hari dua malam. Tujuannya agar lebih menikmati perjalanan dan tidak terlalu menguras tenaga.

2. Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Sabana Segoro Banjaran di dalam kaldera Gunung Sumbing, bisa ditempuh dari jalur Banaran, Temanggung/Rifqy Faiza Rahman

Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Di lereng gunungnya terhampar melimpah perkebunan tembakau, sama seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro. Ciri khas gunung ini adalah bagian kaldera dekat puncak yang bisa dieksplorasi, mencakup sabana Segoro Banjaran, area berpasir Segoro Wedi, makam Ki Ageng Makukuhan, dan kawah belerang aktif.

Tersedia banyak pilihan jalur menuju puncak, baik itu Puncak Rajawali (tertinggi), Puncak Buntu, maupun Puncak Sejati. Di wilayah Magelang, ada jalur Butuh dan Mangli yang masuk wilayah Kecamatan Kaliangkrik. Kemudian di Temanggung, terdapat jalur Banaran, Cepit, Dukuh Seman, Sipetung, dan Batursari. Terakhir di jalur barat atau Wonosobo, kamu bisa memilih antara Bowongso atau Gajah Mungkur. 

Secara umum, tipikal jalur pendakian Gunung Sumbing cenderung lurus dan menanjak terjal nyaris tanpa ampun. Sebagian rute bahkan tidak memiliki sumber air, sehingga kamu harus mempersiapkan stok air berlebih. Untuk itu, diperlukan ketahanan fisik yang prima agar mampu mendaki gunung ini dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Gunung Lawu (3.265 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Pendaki menikmati pemandangan dan suasana sore di sabana Gupakan Menjangan, jalur Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Bagian kaki, lereng, hingga puncak tertinggi gunung ini (Hargo Dumilah) tertancap di perbatasan dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terkenal bukan hanya di kalangan pendaki, melainkan juga bagi para peziarah atau pelaku spiritual.

Sejumlah jalur pendakian yang tersedia bahkan menyimpan beberapa situs cagar budaya peninggalan kerajaan masa lampau. Seperti jalur Cetho, Karanganyar, kamu akan menjumpai Candi Cetho itu sendiri dan Candi Kethek yang terletak berdekatan. Adapun rute pendakian lain di wilayah Jawa Tengah adalah Cemoro Kandang (Tawangmangu) dan Tambak (Ngargoyoso). Keduanya juga berada di Kabupaten Karanganyar.

Menurut kebanyakan pendaki, temperatur udara di Gunung Lawu kabarnya lebih dingin dibandingkan gunung-gunung lain. Untuk itu, persiapkan fisik dan perlengkapan yang memadai agar pendakianmu berjalan lancar.

4. Gunung Sindoro (3.153 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Kerucut Gunung Sindoro dipotret dari jalur pendakian Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman

Posisi gunung yang memiliki kawah belerang aktif dan cukup besar ini tepat di seberang Gunung Sumbing. Hanya dipisahkan lembah yang di atasnya membentang jalan raya Temanggung–Wonosobo. 

Hampir di segala penjuru mata angin gunung ini terdapat jalur resmi yang bisa didaki. Dari sisi utara, kamu bisa mendaki melalui Sigedang yang letaknya tak jauh dari kawasan perkebunan teh Tambi, Wonosobo. Di sebelah timur, terdapat jalur Bansari yang relatif dekat dengan pusat kota Kabupaten Temanggung. Kemudian jika kamu ingin mendaki dari arah barat, kamu bisa menuju Desa Ndoro Arum di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Bergeser ke selatan, ada tiga jalur yang terletak berdekatan di perbatasan Kabupaten Temanggung–Wonosobo. Pertama, jalur Kledung. Basecamp-nya menempel dengan kompleks Kantor Desa Kledung dan berada persis di pinggir jalan raya Temanggung–Wonosobo. Kedua, Alang-alang Sewu di wilayah Kecamatan Kertek, Wonosobo. Ketiga, rute Bedakah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh Bedakah, juga di Kecamatan Kertek. Jalan menuju basecamp Bedakah searah dengan basecamp Gunung Kembang, “anak” Gunung Sindoro.

5. Gunung Merbabu (3.145 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Deretan tenda pendaki di area camp Puncak 2 Pemancar Gunung Merbabu, via jalur Thekelan/Rifqy Faiza Rahman

Berada di dalam kawasan taman nasional, Merbabu juga memiliki seven summits-nya sendiri. Kamu akan mencapainya bila mendaki lewat jalur Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Orang-orang menyebutnya jalur tua atau klasik. Kelebihan lain dari jalur Thekelan adalah ada tiga titik sumber air yang bisa dimanfaatkan pendaki, yaitu Pos 1 Pending (1.824 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.137 mdpl), dan pos air di bawah Helipad (2.884 mdpl).

Karena aturan durasi pendakian terbatas dua hari satu malam, persiapkan fisik, logistik, dan manajemen waktumu untuk bisa menggapai tujuh puncak tertinggi Merbabu: Puncak 1 Watu Gubug (2.723 mdpl), Puncak 2 Pemancar (2.847 mdpl), Puncak 3 Geger Sapi (3.002 mdpl), Puncak 4 Syarif (3.119 mdpl), Puncak 5 Ondo Rante (3.112 mdpl), Puncak 6 Kenteng Songo (3.142 mdpl), dan Puncak 7 Triangulasi (3.145 mdpl).

Lewat jalur mana pun, baik itu Thekelan, Selo, Suwanting, maupun Wekas, kamu bisa simak informasi panduan registrasi pendakian Gunung Merbabu secara daring di sini. Sebagai bocoran, pesan kuota pendakianmu jauh-jauh hari, karena saat akhir pekan biasanya akan penuh (terutama jalur Selo dan Suwanting).

6. Gunung Prau (2.590 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Tenda-tenda pendaki di area camp dekat puncak Gunung Prau, bisa digapai lebih cepat dari jalur Patak Banteng/Rifqy Faiza Rahman

Sejak pertama kali dibuka untuk umum sampai sekarang, tampaknya status gunung sejuta umat yang biasa disandang Semeru bergeser ke Prau. Lihat saja saat akhir pekan atau libur panjang, pendaki akan menyemut hampir di semua jalur. Dari sekitar enam jalur resmi, Patak Banteng dan Dieng di Wonosobo jadi dua daftar teratas yang paling diburu pendaki. 

Kalau kamu cenderung mencari jalur yang relatif tidak terlalu padat, kamu bisa mencoba jalur Wates di Kecamatan Wonoboyo, Temanggung; Igirmranak dan Kalilembu di Kecamatan Kejajar, Wonosobo; atau via Dieng Kulon (Candi Dwarawati) di Kecamatan Batur, Banjarnegara. Masing-masing jalur akan saling bertemu di kawasan puncak tertingginya. 

Ikon gunung ini memang berada di area puncak. Hanya dengan mendaki sekitar 2,5–4 jam (setiap jalur bervariasi), pendaki bisa melihat pemandangan gunung-gunung besar lain di sekitarnya. Jika cuaca cerah, kamu akan melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing berdampingan, begitu pun Merbabu dan Merapi. Nun di barat, ada Gunung Slamet. Momen terbaik biasanya saat matahari terbenam, malam hari penuh bintang, atau matahari terbit. 

7. Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Vegetasi semak dan rerumputan di area puncak Gunung Pakuwaja via Facebook/Gunung Pakuwaja

Meskipun berbeda lokasi, Gunung Pakuwaja terbilang masih satu area dengan Gunung Prau di dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng. Bentang alam Gunung Pakuwaja mencakup tiga desa di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, yaitu Sembungan, Parikesit, dan Tieng. Basecamp terpopuler gunung ini ada di Parikesit. Waktu tempuhnya berkisar 1,5–3 jam, tergantung kondisi fisik kamu. Meski tidak sampai 3.000 mdpl, tetapi treknya cukup bervariasi. Ada yang landai, ada yang terjal. 

Dalam catatan Badan Geologi ESDM, Pakuwaja merupakan gunung api yang terbentuk paling muda yang menempati Kompleks Vulkanik Dieng. Oleh karena itu, jika kamu penyuka ilmu kebumian, Gunung Pakuwaja adalah tempat yang pas karena memiliki situs jejak lava yang beraneka ragam. Namun, pastikan kamu tetap menaati segala peraturan yang ditetapkan basecamp dan jaga sopan santun selama pendakian. Sebuah sikap yang juga berlaku untuk gunung-gunung lain.

Setelah menuntaskan Sumbing, Sindoro, Prau, dan Pakuwaja, jika masih memiliki sumber daya waktu, tenaga, dan biaya, kamu bisa melanjutkan program seven summits khusus di wilayah Kabupaten Wonosobo. Ketiga puncak gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), dan Gunung Kembang (2.340 mdpl). Yang menarik, kamu bisa mendapatkan sertifikat dari Perhutani KPH Kedu Utara sebagai apresiasi keberhasilan kamu meraih seven summits of Wonosobo.

Menjadi Pendaki Bijak

Sah-sah saja jika kamu berambisi mengkhatamkan tujuh puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah. Namun, pastikan kamu menjadi pendaki yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk ikut menjaga gunung itu sendiri. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan pendakian
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang mengurangi sampah kemasan anorganik
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang mungkin kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Jadi, mau mulai dari mana buat mendaki seven summits Jawa Tengah? Lekas kemasi ranselmu dan berangkat sekarang juga!


Penafian:
Gunung Merapi (2.968 mdpl) tidak masuk daftar karena telah lama ditutup untuk pendakian sejak peningkatan aktivitas vulkanis pada 2018. Kini statusnya Level III (Siaga).


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/feed/ 0 41890
Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/#respond Fri, 29 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41567 Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat berat dan malas. Keengganan beradu dengan keingintahuan tentang puncak—alias ambisi—tatkala ingin mengeluarkan seluruh tubuh dari kehangatan sleeping bag. Namun, alarm ponsel yang dihidupkan jelas memiliki tujuan. Mau tak mau kami harus bangun.

Saya dan Badak, yang memang satu tenda, lekas bersiap. Kami memilah barang bawaan yang diperlukan dalam ransel kecil, antara lain minuman, camilan, dan obat-obatan. Begitu pun kawan-kawan yang lain. Kecuali Rendra, yang mengaku sedang kurang fit, selebihnya siap mencoba kesempatan muncak. Livi, yang semalam sempat bilang tidak ikut karena kelelahan, subuh itu (20/08/2023) tiba-tiba berubah pikiran. 

Berbekal headlamp, kami mulai berjalan meninggalkan Pos 4 Watu Ondho tepat pukul 04.30. Tampaknya kebutuhan akan senter kepala ini tidak akan terlalu lama. Saya berseru ke teman-teman, sang fajar telah muncul di cakrawala. Situasi yang malah tidak membuat kami bergegas atau tergesa, tetapi memilih untuk menikmati sajian alam di tiap jeda beberapa langkah. 

Berkawan rawi pelipur netra

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri-kanan: Henny, Evelyne, Emma, Livi, dan Lukas. Kami kembali beristirahat di tengah jalur menanjak setelah 30 menit berjalan dari Pos 4 Watu Ondho. Meskipun tidak terlalu berangin, kami tetap memakai jaket untuk mencegah kedinginan dan potensi hipotermia. Bagi saya pribadi, biasanya baru akan melepas jaket jika pagi sudah hangat karena cahaya matahari. Namun, lagi-lagi itu berlaku jika angin tidak terlalu kencang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Tidak ada yang salah dengan menengok ke belakang ketika berhenti. Puncak gunung tidak akan lari dikejar. Tak akan ke mana-mana, katanya. Seperti yang dilakukan Emma (jaket putih). Jika menyukai fotografi, pasti setuju momen itu mahal harganya dan sulit untuk diulang. Bahkan dengan kamera ponsel sederhana sekalipun.

Salindia ke-2: Sorot headlamp Dio yang menyala di tengah pendakian menuju puncak. Di kejauhan Gunung Merbabu (kiri) dan Merapi terlihat mungil di atas lautan awan bak selembut kapas. Di saat-saat seperti inilah kami sering berhenti, karena terlalu sayang dilewatkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Ketika jalur semakin terbuka dan naungan pepohonan berkurang, panorama alam kian terbentang luas memanjakan netra. Sekitar 10 menit berjalan dari area Watu Lawang (2.960 mdpl), saya ingin rehat di di tengah jalur dan duduk di antara rerumputan. Emma mengekor di belakang. Saya melihat sang rawi mulai menampakkan diri di kaki langit. Spontan saya segera memencet tombol shutter kamera beberapa kali. 

Salindia ke-2: Potret Lukas yang sedang beristirahat dengan latar Gunung Merbabu dan awan-awan putih. Kali ini ia dan Henny berjalan agak santai. Jarak antara satu sama lain yang muncak pagi itu relatif tidak terlalu jauh.

Salindia ke-3: Sekuntum bunga edelweiss yang masih belum mekar sempurna. Di gunung ini, edelweiss yang tumbuh memang tidak banyak. Namun, keberadaannya mewarnai jalur pendakian. Tanaman gunung yang biasa disebut bunga abadi ini memang hidup dan mampu bertahan di ketinggian hingga 3.000-an mdpl.

Jalur pendakian membelah tebing terjal menuju kawah Segoro Banjaran, yang kira-kira masih berjarak 30 menit lagi. Rute timur Banaran memang cenderung lebih panjang dibandingkan jalur lain, seperti Kaliangkrik, Garung, maupun Bowongso. Pendaki tidak akan langsung menemui puncak, tetapi harus turun terlebih dahulu menyusuri Segoro Banjaran. Akan tetapi, perjalanan dan pengalaman seperti itulah yang kami cari di sini.

Membumi di Segoro Banjaran

Kiri: Petunjuk arah di persimpangan jalur Banaran dan Butuh (Kaliangkrik) di ketinggian 3.202 mdpl. Saat turun dari Segoro Banjaran atau Puncak Rajawali, pendaki harus fokus dan memerhatikan petunjuk yang tersedia agar tidak salah jalur. Kanan: Tebing cadas Puncak Sejati—tingginya hampir sama dengan Puncak Rajawali—yang bisa ditempuh langsung lewat jalur Kaliangkrik, Magelang. Baik itu melalui Dusun Butuh, Mangli, maupun Adipuro, karena ketiganya akan bertemu di percabangan yang sama.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Segoro Banjaran (3.180 mdpl). Sebuah kawasan kaldera Gunung Sumbing yang luas dan dikelilingi tebing cadas setinggi 200-an meter. Di dalam kaldera ini terdapat kawah-kawah kecil penghasil belerang. Kami kerap menjumpai bubuk-bubuk putih belerang yang cukup menyengat di sepanjang jalur. Saat musim hujan, beberapa titik di Segoro Banjaran akan tergenang air. Kami tiba di tempat ini setelah berjalan 2 jam 45 menit dari camp.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Menyusuri jalan setapak membelah rumput-rumput kering yang menguning di Segoro Banjaran. Kami menjadi sangat kecil berada di kaldera megah ini. Seperti semut yang berjalan beriringan di sudut-sudut rumah. Situasi serupa yang saya alami di gunung-gunung lain, tak terkecuali ketika berlayar di tengah lautan. Alam tak akan tertandingi, tak akan bisa ditaklukkan. Ego dirilah yang harus kami tundukkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Petunjuk arah menuju empat tempat, yaitu jalur Banaran (Sumbing East Route), Segoro Wedi (kawasan kawah berpasir putih), Puncak Buntu, dan Puncak Rajawali. Untuk menuju Puncak Buntu meniti jalur yang sama ke arah Puncak Rajawali, lalu di persimpangan ambil arah kanan memanjat tebing menuju jalur Garung. Informasi arah yang ditopang dengan tiang besi ini berada dekat makam Ki Ageng Makukuhan.

Salindia ke-2: Kompleks makam Ki Ageng Makukuhan (3.209 mdpl), yang biasanya ramai saat malam 1 Muharram atau 1 Suro (penanggalan Jawa). Seorang tokoh agama yang dihormati penduduk sekitar Gunung Sumbing. Ada sejumlah versi berkaitan dengan sosok tersebut, salah satunya menyebut Ki Ageng Makukuhan sebagai pendakwah beretnis Tionghoa. Ia merupakan santri Sunan Kudus dan ditugaskan menyebarkan agama Islam di Karesidenan Kedu. Kemungkinan “Makukuhan” adalah serapan lidah Jawa terhadap nama aslinya “Ma Kuw Kwan”. Di sisi lain, lokasi makamnya pun memiliki perbedaan versi. Sebagian mengatakan di kawah Gunung Sumbing—seperti yang kami kunjungi—sedangkan yang di daerah Kedu, Temanggung, adalah petilasannya. Yang pasti, siapa pun wajib menjaga etika jika berada di tempat ini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salah satu dapur belerang berukuran cukup besar di area kawah utama. Tampak papan informasi berwarna kuning dari PVMBG, BPBD, dan pemerintah daerah setempat. Isinya larangan berkemah di seluruh kawasan kawah karena dikhawatirkan adanya kenaikan intensitas gas vulkanis beracun, terutama malam hari atau musim hujan. Saat hari cerah saja kami tidak betah berlama-lama di dekat kawah karena bau belerang yang menyengat.

Jalan terjal menuju Puncak Rajawali

Pendakian terus berlanjut. Menurut GPS yang saya bawa, jarak ke Puncak Rajawali tinggal 350 meter lagi. Namun, meski puncak sudah tampak di depan mata, tidak semudah itu menggapainya. Masih harus menanjak tebing yang penuh batuan putih (kiri), kembali melewati sabana (kanan), dan satu tanjakan terjal terakhir lalu tibalah kami di Puncak Rajawali. Perkiraan saya, perlu satu jam lagi untuk menempuh sisa perjalanan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sudut pandang lebar dari lensa kamera yang merekam kaldera Gunung Sumbing. Saya memotretnya di ujung tanjakan sebelum mendekati Puncak Rajawali. Tampak Segoro Wedi bak lapangan berpasir putih di kejauhan. Rumpun edelweiss di sini lebih banyak dibanding jalur Banaran. Sebagian ditumbuhi cantigi. Di titik inilah Sumbing East Route bertemu dengan jalur Sipetung, Batursari, dan Garung. Pendaki dari arah sana harus melewati Puncak Buntu terlebih dahulu dan menuruni tebing curam ala “Watu Ondho”, sebelum sampai puncak tertingginya.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Euforia para pendaki yang datang dari pelbagai jalur di Puncak Rajawali Gunung Sumbing (3.371 mdpl). Saat itu akhir pekan, sehingga ramai pendaki. Di antara sekian jalur resmi yang tersedia, memang jalur Garung masih menjadi favorit dan paling banyak dilalui pendaki.

Salindia ke-2: Salah satu sudut foto yang juga biasa dipakai pendaki Gunung Sumbing setibanya di Puncak Rajawali. Jika cerah akan terlihat Gunung Sindoro. Di belakangnya lagi ada Gunung Prau dan pegunungan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Tampak Emma dan Henny (tengah) sedang mengantre giliran foto di plakat penanda puncak tertinggi Gunung Sumbing.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Pemandangan membiru Gunung Slamet di sisi barat. Gunung tertinggi di Jawa Tengah (3.428 mdpl) yang kakinya membagi lima kabupaten: Purbalingga, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Pemalang. Saya pernah sekali mendaki gunung berapi aktif itu, yaitu pada Desember 2013 via Bambangan, Purbalingga. Gunung ini biasanya didaki untuk melengkapi ekspedisi “Triple S” di Jawa Tengah, selain Sindoro dan Sumbing.

Setelah cukup, selanjutnya pulang

Kiri: Sejumlah pendaki berusaha memanjat tebing dengan bantuan tali webbing untuk kembali ke jalur pendakian awal—Garung dan sekitarnya. Seperti halnya Watu Ondho, tebing ini akan licin jika hujan. Pendaki harus ekstra hati-hati. Kanan: Tidak sedikit pendaki yang memilih cukup berhenti di Puncak Buntu saja, tanpa harus meneruskan perjalanan ke Puncak Rajawali. Walau tampak dekat, faktanya tetap saja bakal menguras tenaga.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Livi (paling depan) dan Emma berjalan menyusuri jalur kembali ke tempat camp. Perjalanan pulang memang akan cenderung terus menurun, tetapi seolah sama panjangnya dengan saat berangkat. Hari kian terik, kaki makin lemas, dan tenggorokan kering. Kami bertiga adalah anggota rombongan yang terakhir tiba di tenda.

Salindia ke-2: Areal camp di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl). Siang itu kabut mulai naik perlahan, tetapi tidak sampai turun hujan. Terlihat di kejauhan permukiman warga menyemut, yang kadang-kadang memandangnya justru bikin angin-anginan untuk pulang. Rasanya jauh sekali. Namun, ya, kami harus pulang.

Salindia ke-3: Rendra, teman asal Sidoarjo, sedang makan siang bersama kami sebelum turun. Ia tidak ikut muncak karena merasa kurang fit, sehingga memilih istirahat memulihkan tenaga untuk pulang. Ia mengaku memang sudah agak lama libur mendaki gunung.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sore yang kian temaram tepat kami keluar dari hutan. Saya minta tukang ojek basecamp yang menjemput untuk berhenti sejenak di tengah-tengah jalan makadam. Saya keluarkan kamera dan memotret pemandangan ini sebagai foto penutup jurnal perjalanan kami. Sebuah lanskap perkebunan tembakau, hutan pinus, dan Gunung Sumbing di baliknya. Rasanya tak percaya, secepat itu kami naik dan turun. Melelahkan memang. Namun, saya yakin akan sepadan.


Foto sampul:
Dio sedang memerhatikan jalur yang aman untuk dipijak saat perjalanan menuju Puncak Rajawali Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/feed/ 0 41567
Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/#respond Thu, 28 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41529 Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi Cetho pada pertengahan Mei 2023, mendaki Gunung Sumbing via Banaran dua bulan setelahnya adalah perjalanan remedial. Mengobati rasa penasaran atas pendakian sebelumnya yang terhenti di separuh jalan pada Desember 2022. Saat itu saya, Rino alias Badak, Emma, dan Evelyne terpaksa membuka camp beberapa meter sebelum tebing Watu Ondo. Fisik Emma drop dan tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

Kali ini, dengan personel tetap ditambah lima kawan dari Surabaya—Lukas, Henny, Rendra, Dio, dan Livi—kami kembali ke Banaran. Dusun dengan ketinggian 1.071 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang jadi salah satu pintu masuk menuju Puncak Rajawali. Para pendaki mengenalnya Sumbing East Route. Rute timur yang sangat menantang karena tanjakan konstan, jarak yang cukup jauh (sekitar 8 km), dan harus melewati luasnya kaldera Segoro Banjaran sebelum puncak.

Dan memang itulah yang kami cari, yaitu melengkapi pengalaman. Banaran adalah jalur yang komplet. Di sinilah fisik diuji, lutut dan betis diurut, dan keringat diperas. Namun, cuaca benderang di hari pertama menghibur hati. Kami optimis pendakian dua hari satu malam ini berjalan lebih baik dari sebelumnya. Kami hanya harus bersabar meniti sedikit demi sedikit langkah di atas jalan setapak.

Awal yang baik untuk melangkah

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri: Emma (memanggul tas) yang membonceng Badak ikut melihat lautan awan dalam perjalanan menuju basecamp Banaran, Tembarak, Kabupaten Temanggung. Waktu tempuhnya 1,5 jam dari Kota Magelang. Pagi itu cuaca memang cerah dan tidak terlalu berangin. Kanan: Tampak belakang basecamp Banaran yang menempati gudang penampung hasil pertanian. Saat ini sudah ada basecamp baru yang terletak sekitar 600 meter dari basecamp lama. Letaknya lebih tinggi, searah dengan jalur makadam dan perkebunan tembakau menuju pintu hutan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Suasana di dalam basecamp lama Banaran. Evelyne (paling kiri), Emma, dan LIvi tengah bersiap sebelum berangkat ke pintu hutan dengan ojek. Biaya registrasi pendakian adalah Rp15.000 per orang (sudah termasuk asuransi), ditambah Rp10.000 per orang untuk fasilitas basecamp (toilet dan mengecas gawai), dan tarif parkir Rp10.000 per kendaraan. Pagi itu (19/08/2023) tidak terlalu ramai pendaki. Kami adalah rombongan pertama yang naik. Karena armada ojek terbatas, kami meninggalkan basecamp secara bergantian mulai pukul 08.50 WIB.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya membonceng tukang ojek yang menggunakan motor matik. Berkendara 15 menit menuju pos nol (titik penurunan ojek) sangat menantang. Setelah 600 meter membelah jalan kampung yang menanjak, sisa sekitar 1,5 km ditempuh dengan menyusuri jalan makadam yang tak kalah terjal. Pengemudi harus andal dan lihai agar motor bisa melaju tanpa kehabisan tenaga. Untuk itu tas ransel ditaruh di depan pengemudi agar saya tidak terpelanting. Sekalipun begitu, saya tetap berpegangan erat pada behel motor karena cara mengemudi bapak ini sangat ngebut. Tarif ojek dari basecamp adalah Rp25.000 per orang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Seorang petani tembakau tertawa saat saya memintanya membuka topi dan tudung jaket, sehingga terlihat rambut gondrong yang disemir kemerahan. Ia mengatakan orang-orang Banaran yang hidup di lereng Sumbing biasa menanam tembakau jenis lamsi. Karakter rajangannya keras dan tebal, tetapi rasanya manis.

Salindia ke-2: Sejumlah petani membeber hasil panen daun tembakau yang sudah menguning di area pos nol (1.487 mdpl), tempat kami turun dari ojek. Suasananya meriah, penuh guyon dan gelak tawa.

Salindia ke-3: Seorang ibu baru keluar hutan dengan memanggul batang-batang kayu untuk bahan bakar perapian di dapur. Rasanya berat tas ransel dan logistik yang kami bawa tak sebanding dengan beban kayu yang ia bawa.

Tak perlu menggerutu di jalur berdebu

Trek ini bernama tangga eskalator. Salah satu ikon jalur Banaran. Dinamakan demikian karena bentuknya seperti eskalator di mal-mal, hanya saja tidak dijalankan mesin secara otomatis. Kami tetap harus berjalan manual. Mengangkat tinggi kaki melewati satu per satu trap anak tangga sepanjang setengah kilometer lebih sedikit. Dimulai dari Warung Ganesari (1.725 mdpl) hingga sepertiga jalan antara Pos 1 Seklenteng (1.880 mdpl) dan Pos 2 Siwel-Iwel (2.1.27 mdpl). Tak ada cara lain untuk melewatinya selain terus berjalan dengan sabar dan hapus segala keluh. Saat kemarau, jalur akan kering dan berdebu. Kontras dengan kondisi di musim hujan yang sangat licin dan agak berlumpur.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Pukul 12.10, berhenti agak lama di Pos 2 Siwel-Iwel untuk istirahat dan makan siang. Menunya nasi bungkus berisi nasi, sayur tumis, dan lauk telur dadar. Kami tertinggal cukup jauh di belakang Lukas, Henny, Rendra, dan Dio yang berjalan lebih cepat.

Salindia ke-2: Berurutan dari belakang, Badak, Emma, dan Evelyne sedang berhenti sejenak mengatur napas di tengah jalur. Tampak bekas batang pohon tumbang yang dipangkas dan tergeletak begitu saja di atas semak-semak. Kami menemukan banyak pohon tumbang di sepanjang jalur menuju Pos 3 Punthuk Barah, yang menunjukkan jejak badai hebat pada puncak musim hujan lalu.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Kawasan hutan mlanding yang tumbuh agak rapat. Ada bonus berupa trek datar saat melewati jalur ini, sebelum akhirnya agak menanjak mendekati Pos 3 Punthuk Barah.

Salindia ke-2: Kembali menyempatkan rehat sebentar di Pos 3 Punthuk Barah (2.411 mdpl). Jaraknya kira-kira 650 meter atau 1—1,5 jam perjalanan. Pos ini kadang jadi alternatif mendirikan tenda karena lahan datar cukup memadai. Biasanya digunakan pendaki berkemah jika fisik sudah tidak memungkinkan lanjut ke Pos 4 Watu Ondho, batas akhir camp. Namun, tidak ada sumber air di sini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya menyebutnya Pos Darurat (2.638 mdpl). Daerah terbuka di punggungan yang berjarak sekitar 500 meter dari Pos 3 Punthuk Barah. Di tempat datar sempit inilah kami membuka tenda pada Desember 2022 lalu. Saat itu sudah petang. Gerimis turun sehingga memaksa kami harus berhenti. Padahal tebing vertikal Watu Ondho sudah terlihat, sedikit lagi kami sampai di pos yang lebih nyaman untuk camp. Namun, keselamatan dan kesehatan lebih penting. Jika selepas Pos 3 terpaksa bikin camp darurat, ada tempat yang lebih layak. Letaknya di ketinggian 2.585 mdpl, 350 meter dari Pos 3.

Berjalan lebih jauh dari tebing cadas itu

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kabut sempat turun menyelimuti ujung punggungan bukit. Lukas dan kawan-kawan sepertinya telah tiba di Pos 4 Watu Ondho dan kelar bangun tenda. Sementara saya bersama Badak, Emma, Evelyne, dan Livi masih harus melalui tantangan terakhir, yaitu tebing Watu Ondho itu sendiri. Kami harus bergegas sebelum petang datang, karena masih ada tugas mengambil air di sumber yang cukup jauh dari camp.

Tebing Watu Ondho (2.690 mdpl). Tebing vertikal setinggi 6—8 meter. Satu-satunya jalan naik menuju Pos 4 Watu Ondho. Melihat batu cadas hitam keabu-abuan tersebut, jelas sekali jika saat hujan akan sangat licin dan berbahaya. Kanan-kirinya hanya jurang dalam menganga. Hidup bergantung pada uluran tali webbing dan seutas rantai yang menjuntai, terikat pada pasak-pasak besi yang tertancap di permukaan batuan. Kunci agar berhasil melewati tebing ini adalah kekompakan tim dan rasa percaya pada setiap pijakan kaki. Foto paling kanan dipotret saat turun gunung, yang lebih menantang dan sulit dibanding naik.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Jurang dalam di sisi kiri tebing. Sekali saja lengah dan kehilangan fokus, ya, sudah. Livi, kawan kami, sempat ingin menyerah tidak mau lanjut karena merasa takut dan tidak sanggup memanjat. Kami berusaha menenangkannya dan meyakinkan bahwa dia bisa. Soal bagaimana turunnya nanti, itu dipikir saat pulang besok.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Setibanya di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl) pukul 16.30, kami segera berbagi tugas. Lukas dan kawan-kawan yang sudah datang lebih dulu membantu mendirikan dua tenda yang dibawa saya dan Badak. Saya mengajak Badak mengambil air ke sumber air Semelik (2.791 mdpl), sementara Emma, Evelyne, dan Livi bergegas memasukkan barang serta menyiapkan logistik untuk makan malam. Rute ke mata air berjarak sekitar 300 meter. Naik sedikit lalu belok kanan melipir jalur antarpunggungan yang sangat terbuka tanpa naungan apa pun. Lokasinya memang tersembunyi, di celah lembah dan berupa kolam jernih di aliran sungai kecil. Menurut pengelola basecamp Banaran, mata air ini tersedia sepanjang tahun. Berbeda dengan pipa air di Pos 1 Seklenteng yang tidak mengalir saat kemarau.

Petang yang berkerabat dengan malam

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Lukas (kiri) dan Henny, kawan asal Surabaya. Selain naik gunung, Lukas dan Henny hobi bersepeda jarak jauh antarkota dengan komunitasnya saat akhir pekan. Tak heran di setiap kesempatan pendakian bersama dua orang ini, jalannya sangat cepat. Fisiknya terlatih. Saya awalnya keteter mengikuti ritme langkah keduanya. Namun, pada akhirnya yang sering terjadi adalah membiarkan mereka berjalan dulu di depan, sementara saya santai saja di belakang.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tampak Dio (baju hitam) berjalan di antara tenda-tenda kami di areal camp Pos 4 Watu Ondho. Karena berada di punggungan yang terbuka, akan terasa bila terjadi angin kencang atau badai. Pasak tenda harus ditancap kencang-kencang di tanah. Tempat datar di pos ini memang tidak terlalu luas. Jika penuh—biasanya akhir pekan—pendaki bisa naik sekitar 50-100 meter dan akan menemukan satu-dua petak tanah yang memadai untuk mendirikan tenda.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tenda putih milik Rendra berkapasitas satu orang dengan latar guratan langit senja. Cuaca cerah hari itu masih mewarnai Pos 4 Watu Ondho sampai malam datang. Kami tidak bisa melihat jelas momen matahari terbenam, karena terhalang punggungan gunung. Pos ini memang pas untuk menikmati panorama matahari terbit, jika tidak ingin ke puncak lebih awal.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Emma (paling kiri), Evelyne, dan Badak masak bersama untuk menyiapkan makan malam. Kadang-kadang saya ikut membantu. Cuaca cerah dan tidak terlalu berangin, sehingga kami leluasa memasak di luar tenda. Sementara rombongan Surabaya sudah selesai makan karena membawa logistik sendiri. Sembari menunggu matang, saya bergegas keluar tenda dan menyiapkan peralatan fotografi. Atmosfer malam itu benar-benar nyaris bersih, memberi ruang bagi benda-benda langit menampakkan diri.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing
Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Ini adalah alasan terbesar saya mengatur jadwal mendaki di pertengahan Agustus 2023. Saat itu sedang dalam fase new moon atau bulan baru. Saya biasa menyebutnya bulan mati. Posisi bulan berada paling dekat antara bumi dan matahari, sehingga bayangan bulan redup atau tidak terlihat. Setidaknya sampai fase bulan Di masa tersebut bintang-bintang akan terlihat lebih jelas dan tampak gugusan milky way seperti foto ini.

(Bersambung)


Foto sampul:
Pemandangan sore tatkala gulungan awan menyelimuti Gunung Merapi (kanan) dan Merbabu. Dipotret dari Pos 4 Watu Ondho/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/feed/ 0 41529
Dari Jogja ke Nepal Van Java https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/ https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/#respond Thu, 21 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40505 Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu...

The post Dari Jogja ke Nepal Van Java appeared first on TelusuRI.

]]>
Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu menggantikan interaksi fisik yang lebih mampu menyentuh emosi dan sisi kemanusiaan kita.

Sehabis turun dari Gunung Api Purba, Nglanggeran, Jogja, meski dengan rasa lelah yang belum pergi, masjid kampus UIN Sunan Kalijaga kembali menjadi titik kumpul sebelum berangkat menuju destinasi wisata selanjutnya, yakni Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Perjalanan kali ini saya ditemani Irwansya, kawan lainnya yang sedang menempuh studi S-2 dan pertama kali berkenalan di forum pengaderan sebuah organisasi. Irwansya akan berboncengan dengan Nurul, sedangkan saya bersama Eka.

Diksi Kaliangkrik mungkin terdengar asing di telinga. Namun, ketika kita menyebut Nepal Van Java, sebagian dari kita akan terbayang dengan konten-konten yang pernah viral di media sosial. Konten tersebut menampilkan pemandangan suatu desa di lereng Gunung Sumbing. Panorama rumah-rumah penduduk yang tersusun berundak-undak dengan cat warna warni menambah kesan unik dan estetik.

Kami berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.50 WIB. Harapannya saat tiba di lokasi kami masih sempat mendapatkan suasana pagi pegunungan, udara dingin, dan lautan awan yang menyambut sebelum matahari terbit. Akan tetapi, saat kami mampir di sebuah SPBU di Jalan Magelang untuk mengisi bahan bakar, teman Irwan, Yudi, bersama pacarnya baru memberi kabar jika mereka jadi ikut. Alhasil kami pun memutuskan menunggu mereka menyusul. Kami sempatkan menyantap hidangan angkringan pagi yang berada persis di samping SPBU.

Setelah beberapa saat menanti, Yudi akhirnya tiba. Perjalanan tetap kami lanjutkan meski matahari telah meninggi. Tidak masalah jika suasana pagi pegunungan telah lewat. Bagaimanapun tujuan kami adalah menikmati perjalanan. Sekaligus mengunjungi tempat yang sama sekali belum pernah kami datangi sebelumnya.

Dari Jogja ke Nepal Van Java
Rumah-rumah penduduk bercat warna-warni di lereng gunung, yang menyebabkan dusun ini mendapat julukan Nepal Van Java/Ammar Mahir Hilmi

Desa Wisata di Lereng Gunung Sumbing

Jarak tempuh mencapai 90 kilometer dengan cuaca cerah mengiringi perjalanan kami. Kurang lebih dua jam berkendara menyusuri jalan poros Jogja—Magelang. Melewati pusat Kota Magelang hingga Jalan Raya Kaliangkrik yang menanjak dan berkelok-kelok. Dengan mengandalkan insting, sambil membaca petunjuk jalan dan sesekali melihat Google Maps, akhirnya kami tiba di gerbang bertuliskan “Desa Wisata Nepal Van Java”.

Usai membayar registrasi Rp10.000/orang, kami langsung naik menyusuri jalanan desa. Menuju warung makan yang terletak persis di samping gerbang pendakian Gunung Sumbing. Sebenarnya ada opsi menyewa jasa ojek, tetapi kami memutuskan untuk berjalan saja. Hitung-hitung sebagai olahraga. Apalagi saya, Eka, dan Nurul sebelumnya sudah mendaki Gunung Api Purba. Jadi, tidak masalah untuk kembali mendaki dan melewati rumah-rumah warga yang elok dengan nuansa warna-warni nan cerah.

Kami berjalan sesekali berbincang dan menyapa penduduk setempat. Tidak terasa warung makan yang dituju terlihat. Letaknya berada di ujung paling atas permukiman yang cukup membuat energi kami terkuras habis. Momen yang sangat tepat untuk memesan makanan sambil menikmati indahnya pemandangan desa dari atas warung. Udara dingin sesekali menerpa kami, sehingga mau tidak mau kami memesan minuman hangat.

Sesaat setelah saya memesan mi telur rebus, jahe susu hangat, dan air mineral, saya langsung menuju meja makan yang memberikan panorama perkebunan dan rumah-rumah warga. Sesekali kabut datang menutupi pemandangan, tetapi syukurlah cuaca hari ini bersahabat. Meski matahari sudah cukup tinggi, udara khas pegunungan mampu mengalahkan terik matahari yang menyembul setiap kali kabut pergi.

Obrolan kami selama menikmati hidangan dan pemandangan mengalir begitu saja. Mulai dari politik, perkuliahan, adat istiadat, hingga perilaku ibu-ibu dan bapak-bapak menjadi topik yang cukup membuat kami menertawakan satu sama lain. Saking larutnya dalam obrolan, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hari sudah siang. Tidak terasa memang, mengingat suhu yang tetap menyejukkan dan matahari bersembunyi di balik awan membuat kami lupa waktu. 

Usai membayar tagihan makanan, kami memutuskan turun kembali ke parkiran untuk bersiap-siap pulang. Selepas salat Zuhur, kami menyempatkan diri berfoto-foto. Mengabadikan momen yang entah kapan akan terulang lagi. Betapa sebuah dokumentasi visual sangat berharga di era digital ini. Selain keperluan merawat ingatan, tentunya untuk konten media sosial. 

Dari Jogja ke Nepal Van Java
Foto bersama teman-teman dengan latar belakang perkampungan Dusun Butuh/Ammar Mahir Hilmi

Perjalanan Pulang

Keluar dari area parkiran, oleh petugas setempat kami diarahkan mengambil jalur lain untuk turun. Demi keselamatan, mengingat jalan di kawasan ini cukup curam dan beberapa titik tidaklah mulus. Begitu pun saat keluar dari desa wisata. Kami memutuskan melalui rute berbeda, yakni jalan raya yang tembus ke kawasan Candi Borobudur. Alasannya sederhana, karena saya pribadi sudah cukup lama tidak melalui area yang telah menjadi prioritas pariwisata nasional tersebut.

Benar saja. Kawasan Candi Borobudur makin cantik dengan berbagai pernak-pernik. Menambah kesan kuat sebagai objek prioritas pariwisata nasional. Jalanan mulus dan lampu-lampu khas akan kita temukan sepanjang rute ini. 

Sempat beristirahat sebentar di salah satu masjid, kami pun lanjut memacu motor menuju Yogyakarta. Sekitar pukul lima sore kami tiba kembali di Kota Jogja, lalu mengantar Eka dan Nurul kembali ke kos mereka. Saya dan Irwan pun berpamitan sekaligus berterima kasih atas waktunya hari ini.

Selama dua hari mengendarai motor, menuju dua dataran tinggi di dua provinsi berbeda, serta menjadi tour guide untuk dua teman asal Subang jelas menguras tenaga. Namun, semua itu terbayarkan dari kesan dan cerita perjalanan yang kami dapatkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Jogja ke Nepal Van Java appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/feed/ 0 40505
Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1) https://telusuri.id/tembakau-garangan-komoditas-isap-dari-wonosobo-1/ https://telusuri.id/tembakau-garangan-komoditas-isap-dari-wonosobo-1/#respond Mon, 14 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39603 Bila membandingkan dengan jenis tembakau di daerah lainnya, tembakau garangan dari Wonosobo cenderung memiliki bentuk dan aroma yang unik. Bentuk kotak, hitam, padat, dan aroma yang lebih menyerupai tanah ketimbang daun membuat saya cukup heran...

The post Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Bila membandingkan dengan jenis tembakau di daerah lainnya, tembakau garangan dari Wonosobo cenderung memiliki bentuk dan aroma yang unik. Bentuk kotak, hitam, padat, dan aroma yang lebih menyerupai tanah ketimbang daun membuat saya cukup heran dengan jenis tembakau satu ini.

Rasanya yang berat serta aromanya yang tajam, membuat saya mengira bahwa tembakau ini lebih berguna sebagai sisipan atau tambahan dari jenis tembakau lainnya. Toh tidak mungkin jika ada seseorang yang mampu mengisapnya secara utuh tanpa tambahan dari tembakau lainnya. Jika ada sudah pasti tenggorokannya akan rusak.

Namun, anggapan tersebut segera runtuh ketika saya mengunjungi langsung ke daerah asalnya. Saya malah menjumpai banyak dari masyarakat sekitar yang menggunakannya sebagai tembakau utama. Alih-alih tersedak, mereka justru tampak begitu khidmat menikmatinya. 

Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1)
Penampilan lebih dekat lintingan tembakau garangan/Mohamad Ichsanudin Adnan

Toko Tembakau Pak Tanir

Tembakau ini merupakan komoditas pertanian yang berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Penduduk setempat kerap menyebutnya dengan nama garangan. Tembakau ini akan mudah dijumpai bila berkunjung ke pasar. Adapun proses penanaman kerap dilakukan oleh masyarakat di sekitar Dieng maupun lereng Gunung Sumbing.

Keunikan bentuk dan aroma yang unik tidak lepas dari proses penanaman dan pengolahannya yang juga tak kalah uniknya. Lanskap Wonosobo yang terkepung oleh gunung membuat petani mesti menanam tembakau ini di dataran tinggi. 

Bahkan setelah musim panen tiba, asupan matahari yang minim membuat tembakau garangan mesti dipanggang di atas tungku api besar, alih-alih menjemurnya di luar teras. Setelah beres memanggang, petani akan menata tembakau ini ke dalam kotak kayu lalu menginjaknya dengan kaki sampai benar-benar gepeng. 

Proses tersebut dilakukan guna menjaga kondisi tembakau bisa bertahan lama dan tidak kemasukan angin, meskipun berada di situasi yang lembap. Tak heran bila bentuknya jadi kotak dan aromanya seperti berbau tanah.

Melihat keunikan itu, saya memutuskan untuk mampir ke sebuah toko tembakau milik Pak Tanir. Letaknya berada di sebelah barat Pasar Induk Wonosobo. Pak Tanir merupakan sosok kondang jika berbicara mengenai tembakau garangan. Saya mendapatkan informasi ini dari seseorang yang saya temui di warung kopi, yang kebetulan sedang mengisap garangan.

Tanpa kesulitan, saya pun berhasil menjumpai toko Pak Tanir. Di depan tokonya terpampang puluhan jenis tembakau garangan. Berserakan di atas meja. Tak lupa rentengan kemenyan bergelantungan di atas toko.

Melalui guratan tangannya, secara perlahan Pak Tanir sedang mengiris helai demi helai sebongkah tembakau yang hendak dibeli seseorang. Menariknya, jenis pisau yang ia gunakan pun memiliki bentuk khusus dan unik.

Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1)
Tembakau garangan di toko Pak Tanir Wonosobo/Mohamad Ichsanudin Adnan

Cara Melinting Tembakau Garangan

Pak Tanir merupakan sosok yang cukup ramah. Dia bersedia memberi arahan kepada saya, yang tidak mengetahui jenis tembakau yang akan saya pilih. Beliau mempersilakan saya untuk mencicipinya terlebih dahulu. Jika sudah cocok dengan selera, maka saya diperbolehkan untuk membawanya pulang. 

Saya cukup awam kalau berurusan dengan jenis tembakau yang satu ini. Bentuknya yang lumayan padat membuat saya kebingungan untuk melinting dengan menggunakan kertas.

Berdasarkan pengetahuan Pak Tanir, proses pelintingan tembakau garangan tidak bisa dilakukan sembarangan. Beliau mengarahkan saya untuk menghancurkannya terlebih dahulu sampai bentuknya lebih menyerupai bubuk. Tembakau yang saya pilih adalah garangan dari lereng Gunung Sumbing.

Ketika tembakau sudah hancur, selanjutnya mesti menaburi kemenyan di bagian atasnya agar rasa lebih halus di tenggorokan. Kemenyan merupakan bumbu rokok yang paling tepat untuk jenis tembakau garangan. Berbeda dengan cengkih atau bumbu rokok lain yang malah membuat rasanya aneh. Pak Tanir juga menambahkan, proses penaburan tembakau dan kemenyan harus merata di setiap ujung dan pangkalnya, serta berbentuk lancip ke bawah.

Setelah urusan meracik beres, selanjutnya melakukan proses pelintingan. Bagian inilah yang membuat saya cukup gusar. Ketika tembakau ini saya linting kemudian menggulung bagian pangkalnya, bentuknya malah rontok tak keruan. Alhasil tembakau dan kemenyan yang sudah saya tata rapi malah berhamburan ke mana-mana. 

Menurut Pak Tanir, tembakau garangan merupakan jenis tembakau yang sulit untuk dilinting orang awam. Butuh waktu dan kebiasaan agar dapat menikmatinya. Saya pun meminta Pak Tanir melintingkan satu saja untuk saya. Hasilnya begitu menakjubkan. Bentuk lintingan Pak Tanir sangat rapi dan tertata dari pangkal sampai ujung.

Tidak seperti prasangka yang saya bayangkan, rasa dan kepulan asapnya membuat saya takjub. Rasanya cenderung ramah di tenggorokan. Mungkin karena efek kemenyan di dalamnya, walaupun kepulan asapnya membuat saya sedikit pusing. Adapun tentang rasa, saya masih sulit mendeskripsikan. Yang jelas, membuat tembakau garangan tidak bisa tergantikan dengan jenis tembakau di daerah lainnya.

Saya pun meminta Pak Tanir membungkuskan lima helai untuk saya bawa pulang. Harga per helainya mulai Rp5.000 sampai dengan Rp50.000. Tergantung kualitas dan lamanya tahun panen. Makin lama menyimpan tembakau garangan, maka makin mahal pula harganya. 

Saya membeli yang seharga Rp35.000 per helai. Jenis tembakau keluaran tahun 1998-an, lebih tua dari usia saya sendiri. Meskipun saya belum benar-benar mahir melinting tembakau garangan, saya merasa telah membeli pengetahuan yang ada di balik sehelai tembakau tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tembakau-garangan-komoditas-isap-dari-wonosobo-1/feed/ 0 39603
Pendakian Gunung Sumbing dan Kawan yang Baik https://telusuri.id/pendakian-gunung-sumbing-dan-kawan-yang-baik/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-sumbing-dan-kawan-yang-baik/#respond Sun, 23 Jan 2022 18:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32455 Dalam perjalanan selalu saja ada kebaikan tak terduga yang kita dapati. Dua orang asing mengajarkan kepada saya bagaimana manusia seharusnya bisa bersahabat tanpa sekat, tanpa memandang apapun. Hanya ada persahabatan. Hari itu sedikit mendung. Kepala...

The post Pendakian Gunung Sumbing dan Kawan yang Baik appeared first on TelusuRI.

]]>

Dalam perjalanan selalu saja ada kebaikan tak terduga yang kita dapati. Dua orang asing mengajarkan kepada saya bagaimana manusia seharusnya bisa bersahabat tanpa sekat, tanpa memandang apapun. Hanya ada persahabatan.

Hari itu sedikit mendung. Kepala saya yang pusing akibat kurang tidur, masih harus menunggu mata yang agak sedikit berkunang-kunang. Tidur di dalam bus tidak enak. Ke kanan dan ke kiri, kepala sulit untuk menemukan posisi yang nyaman untuk bersandar. 12 jam perjalanan tentu saja adalah hal yang berat dilewati dengan tidur yang sedikit. Setelah salat Subuh di mushola kecil di ujung terminal. Saya mampir ke salah satu warung yang berjejer rapi menyambut para pendaki yang biasanya memang mampir di sini. 

“Mau ndaki kemana Le?,” tanya ibu penjual sembari menyodorkan segelas kopi.

“Rencananya ke Sindoro Bu,” jawabku lirih.

Lirih. Saya kembali mengingat-ngingat tujuan perjalanan ini, rasanya cinta memang bisa bikin gila!

“Hati-hati lho Le, lagi musim hujan, kalau ndak bisa naik jangan dipaksa.”

Saya mengangguk setuju. Pendakian bukanlah ajang main-main. Meskipun pendakian melalui jalur yang ramai, tetapi tidak bisa menganggap remeh urusan keselamatan.

Dua orang yang bertemu saya sebelum salat, kembali bertemu di warung ini. Mereka menanyakan tujuan dan jumlah rombongan. Mereka sedikit terdiam ketika saya bilang sendiri. Tak lama berbincang, datang rombongan lain yang berasal dari Garut dan Depok. Setelah berembuk, kami setuju untuk menyewa mobil bak terbuka.

Matahari mulai menjelang, saatnya besiap.

Gunung Sindoro
Saat itu pendakian lumayan sepi dan harinya cerah/M. Irsyad Saputra

“Sumbing, Sindoro, naik naik.”

Mobil bak yang belum terisi penuh itu mulai dipadati para pendaki yang kebetulan satu arah, Sindoro atau Sumbing. Ini kedua kalinya saya merasakan kota ini lagi. Wonosobo memang dikenal dengan kesejukannya dan pemandangan gunung yang wah. Kali pertama ke sini saya justru ke arah berlawanan dari tujuan sekarang.

Mobil bak berjalan lambat, seakan menyuruh para pendaki yang berasal dari luar daerah untuk menikmati sejenak Kota Wonosobo. Sesekali para pendaki lainnya, yang tampak berombongan, menanyakan asal saya dan gunung tujuan saya yang awalnya menuju Sindoro akhirnya menuju Sumbing karena suatu hal.

Mobil itu kini sudah sampai, tepat di depan basecamp pendakian Sumbing di Kecamatan Garung, kami semua serempak turun. Saya yang baru pertama kali ke sini agak melongo melihat Sindoro yang gagah diseberangnya. Dua gunung berdampingan dan di tengahnya ada jalan. Persis gambaran saya waktu TK dahulu.

Dua orang yang saya temui tadi sudah tidak terlihat. Saya bergegas ke basecamp untuk mengurus simaksi. Perut saya kembali lapar setelah sebelumnya hanya menikmati gorengan. Saya tidak lupa untuk membeli lagi tambahan air mineral, takut kehabisan di perjalanan nanti.

Perjalanan yang Menggugah

Suasana agak ramai, saya memutuskan untuk naik, setapak demi setapak, melewati jalanan aspal yang kemudian berubah menjadi paving block. Sunyi dan sepi, entah ke mana orang-orang yang tadi ramai di base camp. Di belakang saya, Gunung Sindoro yang awalnya menjadi tujuan saya tampak menjulang ke angkasa. Di sekeliling tampak kebun warga yang dipenuhi oleh sayur mayur berbagai macam.

Dari kejauhan, saya melihat dua orang yang tadi saya temui di terminal, Babah dan Menong, tampak mengambil nafas di Pos 1. 

“Eh, ketemu lagi!”

“Iya nih bang, kirain tadi kalian udah jauh ke atas duluan.”

“Barengan aja yuk,” tawarnya.

Tawaran ini saya terima dengan baik. Babah orangnya agak gemuk, asli Sunda, suka sekali berbicara, dan tampak periang. Satunya dipanggil Menong, perawakannya tinggi dan juga suka ngebanyol. Saya mengekor mereka di belakang. Kita sambil mengobrol dan tegur sapa dengan pendaki lainnya. Meskipun Babah gemuk, dia yang bergerak paling cepat di antara kami. Sesekali dia berceloteh dan memberikan kami permen, katanya biar semangat.

Salah satu trek yang menyiksa via Garung ini adalah Engkol-engkolan. Sudutnya sangat terjal, usaha kaki untuk menapak jadi lebih ekstra. Setelah lama berjalan rupa-rupanya tenaga Babah sudah habis. Dia minta istirahat sebentar. Menong yang merupakan sahabatnya rupanya sudah paham kelakuan temannya. Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk makan siang dan beristirahat. 

Gunung Sindoro
Pemandangan Sindoro dari Sumbing, kedua gunung ini seringkali dibilang sebagai gunung kembar karena letaknya yang berdekatan/M. Irsyad Saputra

Sorenya, kami sudah sampai di Pos 3. Sekeliling sudah tampak tenda-tenda yang didirikan. Awan tebal yang sedari tadi mengikuti kami perlahan-lahan mulai menghilang. Puncak Sindoro pun bisa terlihat lagi. 

Kami memasang tenda yang dibawa Babah, Menong memasakkan kami bakwan buatannya. Dinginnya hawa gunung mulai saya rasa, namun herannya Babah yang sedari tadi memakai kaos dalam tidak merasakan apapun.

“Kamu jangan ngikutin dia, dia kulitnya kulit badak,” kata Menong

Saya tertawa dan mulai menggigil.

Sore itu kami nikmati dengan berfoto, menyapa pendaki lainnya, dan membersihkan diri. Senja hadir dan kami menikmati mentari sembari duduk santai. Malamnya kami mengakrabkan diri dengan cerita-cerita. Bagaimana Babah dan Menong sudah menikmati perjalanan berdua sebelumnya. Mereka masih mempertanyakan kenekatan saya seorang diri pergi ke gunung. Saya mulai mengisahkan sebab kenekatan saya. Mereka berdua mulai tertawa. 

Gunung Sindoro
Babah dan Menong, dua orang ini mengajarkan saya banyak hal selama pendakian Gunung Sumbing/M. Irsyad Saputra

“Biasa, cinta kalau nggak bikin orang jadi berani atau bikin orang jadi bodoh,” timpal Menong.

Diantara kami bertiga, hanya Menonglah yang berkeluarga. Membahas keluarga. Dia jadi teringat putri kecilnya. Dia ingin mengajak keluarganya suatu saat naik ke gunung yang tinggi, tapi kelihatannya tidak memungkinkan.

“Paling ya naik gunung yang ngga tinggi-tinggi, camping ceria lah.”

Malam yang tadi tenang sekarang mulai berangin kencang, geluduk terdengar lebih dekat dengan telinga. Saya jadi was-was. ‘

Babah bercerita dia pernah menumpangi orang yang kehujanan karena tidak punya tenda. Orang itu menumpang tidur di ruang kosong antara tenda dan flysheet. Babah memberi nasehat kepada saya untuk tidak terlalu nekat lagi, tapi dia mensyukuri keberadaan saya, yang mungkin sudah menjadi suratan di antara kami. Saya jadi banyak mendapatkan pelajaran.

Akhir Perjalanan

Pagi-pagi sekali Babah membangunkan kami untuk bersiap menuju puncak. Jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. Menurut hematnya, kami akan tiba di puncak pas ketika matahari terbit. Saya berdiri paling belakang agar bisa mengikuti cahaya dari senter mereka. Langkah kaki saya sedikit tergopoh mengikuti mereka. 

Di kejauhan, kami melihat ada orang berkumpul. Kami sempat menebak nebak ada orang yang terjatuh. Ternyata ada seorang anak—remaja—yang ditinggalkan rombongannya dan mulai mengalami gejala hipotermia dan hampir hilang kesadaran. Selagi yang lain masih bingung, Babah dengan tanggap membangunkannya. Dengan segera dia mengeluarkan selimut alumunium foil dan mulai membungkusnya. Babah juga menerapkan skin to skin  untuk mengurangi hawa dingin di sekitar anak tersebut. 

Babah menyuruh rombongan yang lalu untuk mengejar rombongan anak ini, dia juga menyuruh kami membuatkan minuman hangat, yang segera kami laksanakan.

Hipotermia, seringkali diremehkan para pendaki pemula karena dianggap “hanya” kedinginan. Padahal kehilangan panas tubuh bukanlah hal yang sepele. Organ tubuh tidak lagi bekerja maksimal dan saraf tubuh kehilangan kendali. Akibatnya fatal, jika tidak ditangani dengan benar dapat menyebabkan kematian. 

Pengalaman dan pengetahuan menyelamatkan anak itu dari hipotermia. Salah satu dari rombongan anak itu mulai datang dan memberi pertolongan. Babah menasehati mereka tentang pentingnya kebersamaan di gunung, bukan hanya mengejar puncak. Selepasnya, kami mulai melanjutkan perjalanan.

Belum sampai menuju puncak, matahari sudah terbit lebih dahulu, meski suasana pagi itu masih tertutup awan hitam. Tak berapa lama,  kami akhirnya sampai juga di puncak, menikmati dinginnya udara dari 3371 mdpl.

Gunung Sindoro
Babah ketika berada di puncak, bahkan ketika udara/M. Irsyad Saputra

Samar samar, Merapi dan Merbabu terlihat dari kejauhan, begitu pula Ciremai. Di seberangnya nampak gagah Gunung Sindoro berdiri, seakan raksasa yang berhadap-hadapan, bersiap menyerang satu sama lain.

Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga, setelah Semeru dan Slamet. Dalam catatan sejarah, gunung ini terakhir meletus pada 1730. Semenjak itu, Sumbing nampak tertidur pulas ketika saudara jauhnya, merapi nampak rutin terbangun. 

Babah yang sedari tadi melepas bajunya, tak terlihat kedinginan apalagi menggigil. Menong tahu saya kebingungan melihat tingkah temannya. “Kamu tahu gak, kulit dia itu kulit badak, gak bakal ngerasa dingin,” celotehnya. Babah cuma nyengir mendengar celotehan temannya. Kami memang sedikit terlambat untuk berada di puncak, orang-orang sudah sepi, hanya ada tiga rombongan termasuk kami. Masing-masing dari kami berfoto dengan plakat puncak gunung yang selalu menjadi pose andalan masyarakat pendaki se-Indonesia. 

Kami berbincang, meraba ketinggian, merasakan angin yang melewati jemari kami. Langit berwarna kelabu, pertanda hujan akan datang. Akhirnya saya menggigil kedinginan. Kami menuruni puncak dan beristirahat sebentar di tenda sebelum berkemas. Sebelum sampai di base camp, hujan turun dengan derasnya membasahi kami yang berlari tergopoh-gopoh.

Ternyata rombongan Garut dan Depok yang bersama kami menumpang mobil bak sudah turun dari Sindoro. Kami saling bertukar kabar dan pandangan mengenai perjalanan masing-masing. Kami merencanakan untuk mendaki Sindoro besok pagi, sembari melihat apakah besok hujan akan tetap turun atau tidak, kami mengawal santap malam dengan mie dan kudapan untuk mengisi tenaga esok hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Sumbing dan Kawan yang Baik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-sumbing-dan-kawan-yang-baik/feed/ 0 32455
Refleksi Diri di Hadapan Rajawali (2) https://telusuri.id/refleksi-diri-di-hadapan-rajawali-2/ https://telusuri.id/refleksi-diri-di-hadapan-rajawali-2/#respond Wed, 05 Feb 2020 05:52:59 +0000 https://telusuri.id/?p=19685 Saya sukses melewati malam dengan nyaman di dalam bivak flysheet. Saya terbangun pukul 01.00 dini hari dan langsung memasak kopi sembari sarapan roti, disusul Reza dan Lucas lalu duet anak-anak yang tetap ribut kala membuka...

The post Refleksi Diri di Hadapan Rajawali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya sukses melewati malam dengan nyaman di dalam bivak flysheet. Saya terbangun pukul 01.00 dini hari dan langsung memasak kopi sembari sarapan roti, disusul Reza dan Lucas lalu duet anak-anak yang tetap ribut kala membuka pintu tenda. Kami sarapan dengan logistik masing-masing, menyiapkan peralatan untuk pergi ke puncak, memakai sepatu trekking kembali lengkap dengan headlamp melingkar di kepala. Di Pos 3 saat itu hanya terlihat satu kelompok yang—kalau kata orang-orang—”menyerang puncak.” Bentang bintang-bintang di cakrawala terlihat jelas. Kabar bagus untuk kami: cerah.

Kami melangkahkan kaki. Pendakian malam memang membuat perjalanan jadi tidak terasa. Kami tiba di Pos 4 Pestan relatif cepat karena memang jaraknya dekat. Dengan Adit, Nuril, dan Lucas yang hanya mencapai Pos 3 kala pertama kali mendaki Sumbing, sementara Reza dan saya baru pertama kali mendaki Sumbing, grup ini sudah kehilangan navigator.

Di Pos 4 ini kami berdiskusi tentang peran masing-masing. Saya sendiri dipilih sebagai leader, Lucas sebagai sweeper, dan Adit jadi gelandang pengangkut air. Kasihan. Mana masih muda. Tapi, penentuan peran ini penting dalam sebuah pendakian demi meminimalisir kecelakaan gunung. Setiap anggota akan memiliki rasa tanggung jawab terhadap anggota lainnya.

Matahari terbenam di Pos 3 Sunrise/Muhammad Husen S.

Kami menyusuri trek secara santai tak terburu-buru. Setelah sekitar 30 menit berjalan, sampailah kami di Pos V Pasar Watu. Trek menanjak namun padat dengan bebatuan, lumayan menghunjam sol sepatu. Sesuai namanya,, segala jenis batu tampaknya ada di pos ini. Mungkin dari mulai batu bata sampai batu baterai tersedia di sini. Trek ini cukup panjang dan beberapa ruas harus digapai dengan tangan. Saya sendiri senang dengan trek ini, soalnya relatif tidak licin kala didaki. Tapi, ya, kembali lagi bergantung pada footwear-mu. Kalau pake Swallow jelas kamu takkan slow.

Kami rehat sejenak di pertengahan trek. Jam tangan menunjukkan pukul 03.00 dini hari, dengan suhu sekitar 9 derajat Celsius. Dingin bila berlama-lama istirahat. Kami kembali menyusuri jalan dan sampailah kami di Pos VI Watu Kotak, batu setinggi sekitar 4 meter dengan lebar 5 meter. Konon, Watu Kotak menyerupai kepala singa. Namun karena cahaya terbatas kami tidak bisa melihat secara jelas seperti apa bentuknya.

Batu itu lengkap dengan pernak-pernik vandalisme. Wajar, menurut saya. Mungkin pendaki yang melakukan praktik vandalisme itu memang tidak mengenyam pendidikan di sekolah sehingga mengira Watu Kotak sebagai papan tulis. Semoga mereka yang vandal lekas mendapat pendidikan yang lebih baik. Amin.

Setelah Watu Kotak, kami melipir ke sisi kiri lalu berjalan melintas melewati sisi bukit. Trek cukup jelas karena dibantu cahaya rembulan. Terlihat pula sebuah punggungan bukit berwarna hitam akibat kebakaran sebulan silam. Cepat sembuh, Sumbing.

Trek ini tidaklah menanjak menguras tenaga seperti sebelumnya. Di sini pula kami bertemu kelompok pendaki yang sudah lebih dahulu muncak sebelum kami. Setelah melewati sisi bukit yang perlahan menuju puncak, sampailah kami di puncak bayangan tepat pukul 04.30. Matahari masih malu-malu tampaknya untuk keluar.

Keterbatasan cahaya dan trek yang mulai tertutup lalu membingungkan kami. Kami berembuk apakah tetap melanjutkan atau tidak. Saya pribadi sebenarnya sudah cukup puas, namun pasukan pengutang belum tampaknya.

trek menuju puncak rajawali
Padang rumput diselingi cantigi di sekitar puncak Gunung Sumbing/Muhammad Husen S.

Lalu sebuah solusi tak terduga muncul: kami memilih trek mengikuti sampah. Sebenarnya cukup berat untuk memilih keputusan ini. Hasil kesepakatan membuat saya dan Adit yang relatif lebih lincah kebagian tugas melihat trek apakah bisa dilalui atau tidak. Mengapa dipilih yang lincah? Karena perjalanan selanjutnya adalah panjat tebing yang cukup ekstrem sehingga perlu koordinasi dengan baik sebagai sebuah tim. Saya kaget menemukan sampah “Susuku,” sebuah produk jajanan kala saya sekolah SD. Apa mungkin ini trek yang sudah lama ditinggalkan?

Saya buang ragu itu dan tetap melanjutkan susur tebing, diikuti dengan isyarat agar tim Lucas, Reza, dan Nuril segera menyusul. Matahari perlahan muncul seakan memberi semangat kepada kami. Trek selanjutnya membuat kami mesti melangkah di tebing-tebing pinggir kawah. Mungkin akan fatal apabila terpeleset sedikit saja. Kami dengan sendirinya membentuk sebuah koordinasi yang baik kala melintas di pinggir tebing. Semua berjalan sesuai rencana.

Kemudian sampailah kami di persimpangan menuju puncak kawah. Istirahat sejenak dan Adit mulai berulah: dia rewel ingin buang hajat.

Namanya juga anak anak.

Setelah bongkar muatan, dengan bangganya ia memproklamirkan bahwa hajat kali inilah yang tertinggi dalam hidupnya. Sungguh tak penting. Tapi tak apa. Yang penting dia senang.

Soal nyeri hebat pada tendon “Achilles”

Petaka muncul bagi saya. Trauma kecelakaan motor dua tahun silam kembali mengambil peran. Saya mengalami nyeri hebat sekitar tendon Achilles. Yang saya ingat kala konsultasi perawatan ialah saya harus beristirahat agak panjang setelah 6 jam mendaki. Kecelakaan ini pula yang membuat saya absen mendaki selama setahun. Saya pikir keadaan kaki akan tangguh seperti semula. Saya tetap memaksakan, mengingat tanggung jawab sebagai leader dan Puncak Kawah sudah mulai kelihatan. Namun, akhirnya saya memantapkan hati bahwa Puncak Kawah adalah lokasi peristirahatan dan tak melanjutkan perjalanan.

menuju puncak rajawali
Trek menuju puncak Gunung Sumbing/Muhammad Husen S.

Singkat cerita, sampailah kami di Puncak Kawah. Saya tersenyum terpaksa karena nyeri di kaki tampaknya sudah tak dapat ditolerir lagi. Di sini juga saya izin untuk beristirahat dan menunggu mereka sampai kembali dari Puncak Rajawali. Saya lantas terperenyak, berbaring, mengistirahatkan engkel seraya bergumam dalam hati, “Kalau begini terus bisa jadi beban tim di pendakian-pendakian selanjutnya.”

Saat itu tepat pukul 05.30. Matahari sudah muncul dengan gagah, tapi kaki ini sudah mulai payah.

Saya tertidur sementara yang lainnya melanjutkan perjalanan. Tak terasa 45 menit berlalu. Saya terbangun dan dapat melihat yang lainnya sedang mendaki bukit. Timbul perasaan ingin menyusul. Sembari menyesap kopi dalam termos yang ditinggalkan teman-teman, saya menimang-nimang apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak.

Ya, karena di judul tulisan ini ada frasa “di hadapan Rajawali,” tentunya saya melanjutkan perjalanan. Mantap dalam pikiran, saya langsung memasang ankle support socks untuk menstabilkan pergelangan kaki kala berjalan. Saya berteriak kepada yang lainnya untuk menunggu sejenak.

Setelah Puncak Kawah, trek tebing makin tak masuk akal. Saya harus menyusuri jalur menurun dengan tali webbing yang artinya setiap gerakan akan bertumpu pada pergelangan kaki. Aduh! Mau tak mau, sambil menahan nyeri, saya paksakan melangkah. Setelah melewati tebing dengan webbing, jalanan berubah menjadi datar mengantarkan ke bukit tempat teman-teman berada. Saya berjalan perlahan dan alhamdulillah teman-teman bersedia menunggu. Sampai di hadapan bukit, trek menanjak mulai menyambut. Yak, sedikit lagi. Semangat.

Trek melipir melintasi sisi bukit. Sesekali saya berpegangan pada cantigi untuk mempermudah pergerakan. Sepanjang mata memandang, belum ada kelompok pendaki yang menyusul kami. Hanya kelompok kami yang sampai di titik ini pada hari itu. Lanskap punggungan tebing dan punggungan bukit mulai terlihat. Maklum, selama perjalanan saya kurang memerhatikan karena keterbatasan cahaya. Sekitar 30 menit kami menyusuri bukit. Mulai terlihat plang dengan dua tiang di kanan dan kirinya, lengkap dengan sebuah bendera merah putih yang sedari puncak bayangan sudah terlihat namun berukuran kecil.

Finally! 07.15 pagi. Penulis menjejakkan kaki di Puncak Rajawali. Bersujud syukur, Allah masih memberi kesempatan kaki saya yang lemah ini untuk mencapai salah satu lukisan-Nya. Terdengar berlebihan memang, namun memang ini yang saya rasakan. Ini pendakian terlemah saya sejauh ini. Mungkin jika tidak disokong dengan canda tawa teman-teman, dan tetap kekeuh untuk solo hiking, saya takkan sampai di puncak ini. Di titik ini saya terperenyak merenung, mengulas kembali perjalanan absurd yang dimulai dua hari lalu.

puncak rajawali
Berfoto bersama teman-teman baru di Puncak Rajawali, Gunung Sumbing/Muhammad Husen S.

Gudang Garam di tangan, di sesap yang keempat saya mulai menyadari bahwasanya manusia memang makhluk sosial, saling butuh satu sama lain. Memang pendakian terasa cepat bila sendiri, namun belum tentu lebih jauh apabila tak dilakukan bersama. Seperti kehidupan, bukan?

Rupa-rupa bentang alam dengan berbagai komponen utamanya seperti matahari, bukit, awan, langit, pohon, dan segala detail kecilnya membuat lanskap ini tampak megah. Semua saling mengisi satu sama lain. Matahari tanpa awan. Mungkin ia hanya bola api yang tak jauh beda dari banaspati.

Untuk mengakhiri, catatan perjalanan ini saya pungkasi dengan perkataan dari Albert Einstein: “Look deep into nature, and then you will understand everything better.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi Diri di Hadapan Rajawali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-diri-di-hadapan-rajawali-2/feed/ 0 19685
Refleksi Diri di Hadapan Rajawali (1) https://telusuri.id/pendakian-gunung-sumbing-2/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-sumbing-2/#respond Tue, 04 Feb 2020 16:24:14 +0000 https://telusuri.id/?p=19644 Perjalanan ini dimulai pada pertengahan November 2018, diawali dari sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat, Depok. Ke manakah perjalanan ini akan membawa saya? Jujur, saat pertama melangkahkan kaki, saya tak tahu mau ke mana,...

The post Refleksi Diri di Hadapan Rajawali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini dimulai pada pertengahan November 2018, diawali dari sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat, Depok. Ke manakah perjalanan ini akan membawa saya?

Jujur, saat pertama melangkahkan kaki, saya tak tahu mau ke mana, yang pasti menuju Dataran Tinggi Dieng. Di masa-masa ini, saya sedang gemar-gemarnya mengutak-atik berbagai setup bivak flysheet, yaitu sebuah selter yang dibuat hanya dari sebuah flysheet alias layer tambahan yang bersifat anti-air pada tenda. Perjalanan ini sekaligus dalam rangka mencoba setup bivak flysheet di medan yang sebenarnya, yaitu gunung.

Sebuah tiket bus SJ dengan keberangkatan pukul 15.00 sudah di tangan. Sampai sini, saya belum menentukan gunung apa yang akan didaki, mengingat ada banyak pilihan gunung di Dataran Tinggi Dieng, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan, yang paling hits, Gunung Prau.

Terminal Mendolo Wonosobo jadi tujuan bus yang saya naiki. Saya tiba di Terminal Mendolo tepat pukul 05.30 pagi. Perjalanan singkat bila diceritakan, namun panjang apabila dirasakan sendiri tanpa teman.

Sejauh ini masih tetap sama, entah mau mendaki gunung yang mana.

Selepas salat Subuh, yang telat, saya duduk santai sambil menyesap segelas kopi di sebuah warung. Terlihat banyak pendaki dengan keril gagah di bahu—palingan yang tebal matras di dalamnya saja. Pasangan-pasangan muda lalu-lalang, ada yang bersolek demi unggahan Instagram. Mau bagaimana lagi, lokasi foto model tidak hanya kolam renang tampaknya. Tapi tak apa. Pemandangan ini bagus untuk kesehatan mereka-mereka yang haus asmara.

Lalu-lalang tidak hanya dilakukan oleh para pendaki, melainkan juga para kenek Isuzu Elf yang sedang mencari sewa. Atau, dalam terminologi transportasi publik, mencari penumpang. Berulang kali juga saya ditawarkan angkutan untuk ditumpangi. Cuma, karena belum jelas mau ke mana, saya tolak selalu tawaran-tawaran itu.

Sudah habis tiga batang Gudang Garam, saya lantas melangkahkan kaki. Asal saja saya naiki Elf yang mangkal di pintu terminal, entah mau ke mana ia. Tepat 06.30 roda angkutan umum itu berputar menjauhi terminal.

Huh, mau ke mana ya ini?

Saya duduk di barisan belakang bersama penduduk lokal yang naik Elf dengan berbagai alasan, entah berdagang, bekerja, atau mungkin sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya ganti posisi menjadi berdiri kala seorang nenek membawa bakul cenil naik. Saya maju mendekati bangku penumpang baris kedua dari belakang. Dari posisi inilah saya melihat dua remaja dengan style ala pendaki sedang asyik mengobrol.

Tanpa banyak basa-basi saya langsung bertanya, “Mau naek ke mana?”

“Mau ke Sumbing, Bang,” jawab seorang remaja berkulit hitam manis berambut ikal yang selanjutnya saya kenal sebagai Adit.

“Oke. Gue ikut, yak….”

“Hah?! Emang lu mau ke mana, Bang?” tanya seorang remaja dengan wajah mirip Ikang Fawzi berbalut kemeja flanel. Namanya Nuril.

“Gue pas ketemu lu berdua baru tau mau ke mana.”

Mereka berdua cuma menggeleng heran.

Singkat cerita kami mengobrol dan tak terasa sudah sampai di pinggir jalan menuju base camp (BC) Garung. Nuril dan Adit sudah pernah mendaki Sumbing, namun mereka utang tidak mencapai puncak karena sudah kelelahan ketika mencapai Pos Sunrise atau Pos 3.

Sekitar 30 menit berjalan dari jalan raya utama, sampailah kami di BC Garung. Selepas menanggalkan keril, kami bertiga mencari sarapan di sekitar BC. Asyik mengobrol sambil menunggu hidangan sarapan, datanglah dua orang dengan perawakan kurus namun terlihat lebih tua dari kami bertiga.

“Naek bertiga, Bang? Temen apa ni?” tanya pemuda dengan rambut gondrong sekuping bernama Lucas.

“Iya, nih. Temen dari terminal.”

“Hah? Gimana gimana?” tanya Lucas tak mengerti.

“Iya, baru kenal di terminal,” jawab saya cepat.

Lucas lalu mengenalkan temannya, Reza. Lucas berlatar belakang sama dengan Adit dan Nuril: barisan pengutang yang gagal mencapai puncak Sumbing, dengan faktor yang sama pula. Tapi, melihat faktor kegagalan mereka bertiga, saya menarik kesimpulan: mereka bertiga tidak mementingkan ego menuju puncak, sadar batas diri, dan lebih menyimpan energi untuk turun gunung. Sikap yang rasanya sudah sulit ditemukan di pendaki era sekarang. Omong-omong, ini adalah pendakian pertama bagi Reza.

Singkat cerita, setelah mengurus Simaksi, kami berlima sepakat melakukan pendakian bersama. Memang tidak disarankan melakukan pendakian dengan orang yang tidak dikenal, tapi saya yakin bersama keempat orang ini saya akan mudah nyetel.

Pos 3 Sunrise Gunung Sumbing
Bivak “flysheet” di Pos 3 Sunrise Gunung Sumbing/Muhammad Husen S.

Ojek gunung telah siap. Tiap orang dari kami membayar Rp25.000 untuk ke Pos 1 Malim. Tanpa ojek gunung ini, pilihan kamu ya hanya berjalan kaki menelusuri trek berbatu ladang pertanian warga selama 2 jam–kaum rebahan Jabodetabek mana mau. Berapa waktu tempuh ojek ini dari BC sampai Pos 1 Malim? Tak sampai 10 menit. Menurut saya, pengendara ojek ini harusnya banting setang saja jadi pembalap motocross, soalnya skill mengendalikan kuda besinya di atas rata-rata.

Edan.

Dapat julukan baru di Pos 3 Gunung Sumbing via Garung

Pendakian dimulai tepat pukul 08.15. Pos 1 Malim menjadi titik awal kami berlima. Kami disambut trek tanah basah dengan sedikit ilalang di kanan kirinya. Masih ada bekas trek motor di jalur ini. Rupanya masih ada ladang warga, lengkap dengan bale-bale beratap terpal plastik.

Nyuwun pangapunten, De,” ucapku kala melewati bale-bale itu.

Nyuwun pangapunten? Kok saya malah minta maaf, ya?

Trek selanjutnya masih santai. Ada banyak tanjakan namun berbanding lurus dengan bonusnya. Singkat kata sampailah kami di Pos 2 Genus. Saat itu jam tangan menunjukkan pukul 09.15.

Kami melepas lelah sejenak di pos ini. Saya sendiri sudah pasti menghisap Gudang Garam kesayangan. Sambil terus guyon tentang latar berlakang kami berlima, tak terasa sudah 20 menit berlalu. Menurut pengakuan Adit, pendakian sebenarnya dimulai dari sini. Etape Pos 2 Genus menuju Pos 3 Sunrise dengan trek Engkol-Engkolan memang sudah cukup tersohor di kalangan pendaki. Lucas tak mau kalah bercerita mengingat betapa licinnya trek ini saat musim panas yang tentunya penuh dengan debu. Agak-agaknya utang puncak membuat mereka menjadi lebih siap dari sebelumnya.

Kegagalan memang tak pernah gagal memberikan pembelajaran.

Jam 10 kurang, kami melangkahkan kaki. Saya menggunakan masker, mengingat cerita dari Lucas dan Adit tentang trek ini. Dan omongan mereka terbukti. Jalur menjadi gundukan tanah menjulang ke atas, siap membuat lutut dan kening berciuman mesra. Jujur, saya lebih memilih trek tertutup yang memancing rasa ingin tahu—dan membuat pendakian jadi tak terasa. Namun jika terbuka seperti ini…. aduh, mager.

Bergaya di Pos 3 Sunrise Gunung Sumbing/Muhammad Husen S.

Empat puluh lima menit mendaki, tiba-tiba rintik hujan mulai turun dibarengi kabut. Mereka berempat mulai menggunakan jas hujan. Saya? Ya, ini jangan ditiru: saya saat itu mengacu pada grafik barometer di jam tangan. Grafik menunjukkan undakan turun ke arah kanan dengan angka tekanan udara sekitar 919 hPa. Menurut pelajaran fisika, karena kerapatan udara di atas tidak terlalu tinggi, kecil kemungkinan terjadi hujan deras. Saya anggap saja rintik air itu hanyalah air yang dibawa turun oleh kabut. Setengah jam perjalanan menembus kabut, cuaca memang jadi kembali cerah. Tetapi, demi keselamatanmu, jangan ragu untuk lekas mengenakan jas hujan. Sekali lagi: perbuatan saya ini janganlah ditiru.

Air yang membasahi tanah ternyata membawa berkah. Trek menjadi lebih gembur sehingga tapakan kaki terasa lebih mantap. Trek yang sedikit lebih basah mempercepat langkah kami. Meskipun trek tetap tak berubah senantiasa menanjak membuat kening dan lutut tak berjarak, kami tak patah arang. Saya sendiri merasak sulit bernapas, terlebih waktu melalui trek yang terbuka jauh dari pohon yang notabene adalah penyuplai oksigen. Duh, bisa tidak treknya diganti jadi seperti trek Gunung Putri? Keluh saya dalam hati.

Tak terasa kami telah sampai di Pos 3 Sunrise. Sudah banyak tenda yang berdiri. Bisa juga sebenarnya mendirikan tenda di pos selanjutnya, yaitu Pos 4 Pestan. Namun, lahannya sangat terbuka, sangat rawan badai, terlebih di musim penghujan seperti ini. Kami sepakat mendirikan selter. Uniknya, kami tidak berada dalam satu tenda. Lucas dan Reza dalam tenda dome kapasitas 4, Adit dan Nuril di dome untuk 2 orang, dan saya tentunya di dalam bivak flysheet, selter yang mau saya coba di pendakian kali ini. Karena selter ini pulalah Adit selalu memanggil saya Bang Bivak hingga sekarang—padahal bivak itu adalah yang pertama saya buat di gunung. Yasudahlah, namanya juga anak-anak. Tapi ini jangan ditiru. Boros sekali kami berlima makan tempat.

Masih siang, pikir saya saat itu. Sejujurnya, kami berlima masih sanggup melakukan pendakian. Namun, karena pada pos-pos selanjutnya sulit untuk mendirikan tenda, jadi ya mau tak mau berkemah di sini. Di pos ini pula terdapat bedengan warung warga. Kalau kamu malas memasak, jajan saja. Kami berlima langsung menyetel kompor. Berlomba ala MasterChef, Lucas memasak logistik sejuta umat berupa Indomie rebus lengkap dengan telurnya. Saya memasak parsleyed potato lengkap dengan kornet. Dan Adit? Aduh, memang selera anak-anak. Entah dapat dari mana ia bakso cimol. Tapi, harus saya akui: bakso cimolnya paling enak.

Lomba masak siang itu pemenangnya Adit.

Selamat, Dit!

Sambil menyesap kopi dan saling bertukar tawa selepas makan, tiba-tiba hujan turun. Kami semua berlindung di selter masing-masing. Saya sendiri tidur hingga jam 4.30 sore. Adit yang kekanak-kanakan cukup rusuh membangunkan kami berlima untuk melihat matahari terbenam. Memang pas sekali, hujan telah reda. Saya langsung bergegas salat jamak takhir karena sedari tadi lupa salat Zuhur setelah pendakian. Kami berlima berfoto-foto ria. Dalam ajang foto-foto ini, duet anak-anak ini memang senang berfoto, ditambah Reza yang antusias di pendakian pertamanya. Saya dan Lucas? Sibuk saling menyalahkan siapa yang sudah menghilangkan korek.

Tak terasa sang surya mulai beranjak pamit, meninggalkan sebuah garis oranye di bentang cakrawala, ikut memberi warna pada awan-awan di sekitarnya. Selepas hujan, tampaknya cumolonimbus juga tak menunjukkan tajinya, membuat matahari dengan gagah melepas foton berupa cahaya. Teduh suasana kala itu. Tak terasa semakin gelap dan saya lekas melaksanakan salat jamak takdim membelakangi matahari. Saya rasa tak ada masjid yang memberi kita pemandangan siluet hitam dengan jelas saat salat, seolah menegaskan bahwa kita masihlah makhluk yang penuh dosa. Memang, saya mengaku tak khusyuk saat salat kala itu akibat bayangan hitam diri. Refleksi diri. Sadar bahwa saya kecil di hadapan-Nya.

Seberes matahari pamit, kami lekas memasak makan malam. Lomba masak dilaksanakan secara cepat dan dimakan dengan lahap, karena kami sepakat untuk muncak pukul 02.00 dini hari. Kami bergegas tidur di selter masing-masing.

Ketika saya, Lucas, dan Reza sudah mulai terlelap, masih saja duet anak-anak itu ribut di tendanya. Keributan sepele yang masih saya ingat sampai sekarang ialah sebuah pencarian kaus kaki yang berlangsung sekitar 15 menit.

Hadeh. Namanya juga anak-anak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi Diri di Hadapan Rajawali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-sumbing-2/feed/ 0 19644