gunung ungaran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-ungaran/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:00:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung ungaran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung-ungaran/ 32 32 135956295 Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran https://telusuri.id/iriban-tradisi-merawat-air-di-lereng-gunung-ungaran/ https://telusuri.id/iriban-tradisi-merawat-air-di-lereng-gunung-ungaran/#comments Tue, 06 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46851 Bagi masyarakat Indonesia, tradisi adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Letak geografis memiliki andil dalam mewarnai tradisi yang ada, sebagai bentuk respons dari masyarakat terhadap keadaan sekeliling dan kepercayaan di hati mereka.  Pada masyarakat...

The post Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi masyarakat Indonesia, tradisi adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Letak geografis memiliki andil dalam mewarnai tradisi yang ada, sebagai bentuk respons dari masyarakat terhadap keadaan sekeliling dan kepercayaan di hati mereka. 

Pada masyarakat lereng gunung, misalnya, yang secara geografis berdampingan dengan alam dan segala sumber dayanya memiliki tradisi untuk menjaga wilayahnya. Salah satunya adalah iriban, gerakan merawat sumber mata air di lereng Gunung Ungaran. Melalui tradisi ini, kita akan diajak untuk berefleksi bagaimana para leluhur memiliki hubungan yang teramat dekat dengan alam. Selain itu juga ingin mewariskan spirit ini pada anak cucu mereka demi sebuah harmoni kehidupan yang lestari.

Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran
Hutan dan air adalah segalanya bagi masyarakat lereng gunung, sebagai ruang gerak dan ruang mencari penghidupan/Dania Sindy Qistina

Ungaran, Gunung Penting di Jawa Tengah

Gunung Ungaran adalah salah satu gunung terpenting di Jawa Tengah. Terutama di tiga wilayah yang terdampak langsung dengan sumber daya dan segala aktivitasnya, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Kendal.

Sekalipun nama Gunung Ungaran tidak sepopuler Gunung Slamet, tetapi gunung ini patut menjadi perhatian. Pasalnya, hutan Gunung Ungaran termasuk dalam hutan lindung yang terancam keberadaanya. Ini tentu menjadi tanda bahaya bukan hanya bagi biota yang hidup di sana, melainkan juga semua organisme termasuk manusia. Kelangsungan hidup manusia terletak pada kelangsungan hutan dan senyawa di dalamnya.

Pemerintah Indonesia seyogianya memiliki payung hukum tertulis melalui peraturan perundang-undangan untuk kelestarian alam dan melindungi apa saja yang ada di sana. Namun, pada praktiknya undang-undang saja tidak cukup. Sebuah aksi nyata dari masyarakat memiliki andil besar dalam mewujudkan hutan yang lestari.

Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran
Warga bersemangat menyiapkan tradisi iriban/Dania Sindy Qistina

Peran Budaya Iriban untuk Konservasi Air

Iriban memiliki beberapa nama di daerah. Ada yang menyebutnya sebagai susuk wangan atau sadran banyu. Pada intinya sama, yaitu sebuah praktik berkelanjutan untuk merawat sumber mata air, atau dalam bahasa Jawa disebut ngrumat banyu. Tradisi ini mengakar dari para leluhur untuk menjaga alam. Ritual iriban biasanya dilakukan di dekat sumber air. Di beberapa tempat iriban umumnya dilakukan oleh laki-laki karena medan dan jarak tempuh ke hutan yang cukup jauh.

Namun, sayangnya tradisi iriban di beberapa daerah lereng gunung mati suri atau sekadar ritual belaka. Makna iriban sendiri memudar seiring waktu. Padahal iriban memiliki makna yang lebih besar dari sekadar membersihkan aliran sungai yang pampat. Pengaruh modernisasi dan tidak adanya transfer knowledge dari generasi tua kepada generasi muda, yang relevan dengan keadaan saat ini, turut mengambil peran akan memudarnya tradisi merawat air ini di beberapa tempat. 

Mengapa tradisi iriban begitu penting? Mengapa sumber air harus dijaga dan dirawat? Apa hubungan hutan dan perawatan air? Pertanyaan-pertanyaan ini umumnya tidak terjawab secara harfiah oleh generasi muda, sedangkan generasi tua umumnya tidak mengejawantahkan dengan konteks masa kini dan kemerdekaan di atas tanah mereka.

Di lereng utara Gunung Ungaran, tepatnya Dusun Gempol, Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, masyarakat setempat mencoba memaknai kembali makna tradisi iriban lebih dalam. Mereka memiliki filosofi dalam satu kalimat berbahasa Jawa yang berbunyi: anane banyu amergo anane alas. Adanya air karena adanya hutan.

Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran
Beberapa orang asyik membuat anyaman dari janur kelapa untuk membawa sesaji dan ayam kampung sebagai sarana ritual prosesi iriban/Dania Sandy Qistina

Masyarakat lereng gunung hidup berdampingan dengan hutan setiap harinya. Hutan memberikan mereka kehidupan dan penghidupan yang tiada henti. Air yang bersih, udara yang sehat, kayu bakar, hasil panen hutan seperti kopi dan rempah, sayur-mayur, dan ruang gerak untuk berdaya. Hutan adalah segalanya bagi masyarakat lereng gunung untuk tetap bertahan hidup.

Air yang mengalir tidak serta-merta datang sendiri. Ada kerja sama dari semua senyawa di hutan, termasuk akar pohon yang membantu menyimpan air di dalam tanah. Semakin banyak akar pohon, semakin banyak pula air tersimpan. 

Berdasarkan pengamatan dari penduduk lokal, air yang mengalir di kampung sudah mengalami penurunan debit air. Saat hujan air juga berubah menjadi cokelat. Beberapa warga melakukan pertanian intensif, termasuk merebaknya tanaman kopi sebagai komoditas ekonomi yang tinggi, serta pembiaran dari aparat terhadap pelanggaran yang dilakukan oknum ataupun warga. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, kondisi yang demikian juga karena deforestasi hutan dan segala aktivitas hutan yang mengancam kelangsungan hidup keanekaragaman hayati di dalamnya.

Tradisi iriban adalah salah satu bentuk dari kearifan lokal untuk menjaga tanah dan air mereka. Sebuah praktik berkelanjutan untuk mengingatkan kembali perjuangan para leluhur untuk memuliakan anak cucu di atas tanah mereka. Para pemangku adat Dusun Gempol sepakat untuk kembali melakukan tradisi ini dengan segala prosesinya seperti yang dilakukan para leluhur dulu. Bukan hanya sekadar bersih-bersih sungai dan selamatan. Mereka juga menyepakati untuk melakukan aksi lingkungan berupa penanaman pohon beringin di pinggir sungai dan mengejawantahkan keselarasan menjaga hutan untuk merawat mata air mereka.

Tradisi iriban dilakukan setiap Minggu Pon di bulan Desember. Pada malam sebelumnya beberapa dari mereka menyiapkan tempat sesaji, termasuk tempat untuk membawa ayam kampung yang nantinya akan disembelih di atas sumber air. Para warga membuatnya dari janur kelapa yang dianyam dan dirangkai. Aroma daun yang samar wangi berpadu dengan kehangatan masyarakat merayakan tradisi. 

Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran
Para lelaki memaki iket dan membawa tas kain sebagai simbol dari ritual budaya dan gerakan nonplastik saat tradisi iriban/Dania Sindy Qistina

Perjalanan Prosesi Iriban dari Hutan ke Sumber Air

Kegiatan prosesi iriban ke hutan dimulai pukul 07.00 WIB. Semua lelaki menggunakan iket, membawa bekal masing-masing dan sebagian di antaranya membawa ayam kampung hidup. Mereka berjalan cepat agar sampai tepat waktu.

Jalur di hutan ini adalah tempat bagi masyarakat lokal mencari kayu bakar, memanen kopi dan rempah kemukus, serta mencari sayur pakis yang hanya tumbuh di hutan. Medannya cukup berat dan kompleks; ada bebatuan, jalur menanjak dan menurun yang cukup curam, permukaan tanah agak licin karena beberapa rembesan air membasahi tanah. Beberapa pohon beringin meliuk dalam pesonanya, wangi air dari segala penjuru datang dengan lembut.

Pada seperempat perjalanan kami melewati sungai yang jernih. Di depannya ada air terjun yang kecil, tetapi rupawan. Sungai ini didominasi oleh tumbuhan pakis, kemadu, dan tumbuhan khas hutan. Kawanan capung beterbangan. Kehadiran mereka adalah indikator bahwa sungai ini masih bersih.

Mbah Rori selaku ketua adat dan Pak Kadus sebagai pemangku wilayah sudah menunggu di sekitar aliran air untuk sebuah prosesi pertama iriban, yaitu menyembelih ayam kampung di atas aliran mata air sebagai simbol dari kehidupan bersama. Darah ayam mengalir ke sungai, menyebar di segala sisi lalu menghilang. Namun, zat reniknya tetap terbawa di sepanjang air mengalir, memberikan kehidupan lagi bagi para makhluk air. Ada tiga tungku darurat yang dibuat di tempat dan para bapak langsung bekerja dengan ekstra, membersihkan dan memasak ayam kampung yang baru disembelih.

Pada momen seperti ini, ada satu lalapan yang wajib untuk ada, yaitu daun cekode yang tumbuh liar di sekitar sungai. Mbah Harno, salah seorang pegiat kampung, mengambilkan daun tersebut. Kehadiran daun khas ini melengkapi menu makan siang di hutan. Kelompok bapak lainnya sibuk membersihkan aliran sungai yang terhambat.

Mbah Rori didampingi Pak Kadus dan Pak Budi menyalakan dupa di bawah pohon besar. Mereka melakukannya dengan penuh khidmat, seolah tidak terganggu dengan kehadiran para manusia. Aroma wangi dupa yang samar-samar turut menyejukkan pagi ini, mengingatkan bahwa apa yang dilakukan hari ini berdampak besar untuk kelangsungan masa depan.

Menanam Pohon Beringin dan Selamatan

Sebagai simbol dari merawat alam, empat pohon beringin ditanam di pinggir sungai. Iringan lagu Lir Ilir  mengalun dari mulut dan hati. Sebenarnya, tanpa manusia pun alam akan pulih dengan sendirinya. Namun, tanggung jawab kita sebagai manusia adalah berikhtiar untuk merawat apa pun yang sudah alam berikan.

Sesi terakhir sebelum beranjak dari hutan adalah menggelar kenduri (selamatan). Hidangan utamanya adalah ayam ingkung, yaitu ayam kampung yang diolah sedemikian rupa dan disajikan untuk peserta iriban. Selamatan berasal dari kata “selamat” yang artinya keselamatan, kesejahteraan, juga sebagai doa dan harapan. Selamatan identik dengan sedekahan atau sodaqohan, yang merupakan simbol dari welas asih dengan berbagi kepada sesama.

Pak Kadus mengantar selamatan dengan baik. Ia mengucapkan terima kasih kepada semua masyarakat yang sudah berpartisipasi, dan mengingatkan untuk tetap menjaga hutan karena “anane banyu amergo anane alas”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Iriban: Tradisi Merawat Air di Lereng Gunung Ungaran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/iriban-tradisi-merawat-air-di-lereng-gunung-ungaran/feed/ 1 46851
Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran https://telusuri.id/menjelajah-hutan-indrakila-sisi-barat-gunung-ungaran/ https://telusuri.id/menjelajah-hutan-indrakila-sisi-barat-gunung-ungaran/#respond Wed, 15 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41925 Semenjak aku bergabung di unit kegiatan mahasiswa (UKM) pencinta alam kampusku, kegiatan pendakian yang aku lakukan tidak lagi sekadar trekking di jalur pendakian biasa, mendirikan tenda, lalu pulang. Lebih dari itu, pendakian yang dilakukan biasanya...

The post Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran appeared first on TelusuRI.

]]>
Semenjak aku bergabung di unit kegiatan mahasiswa (UKM) pencinta alam kampusku, kegiatan pendakian yang aku lakukan tidak lagi sekadar trekking di jalur pendakian biasa, mendirikan tenda, lalu pulang. Lebih dari itu, pendakian yang dilakukan biasanya sekaligus membuka jalur baru yang belum ada ataupun menjelajah jalur yang paling sepi dan sudah lama tidak dilalui oleh para pendaki. Bukan tanpa maksud apa-apa, melainkan bertujuan untuk melatih keterampilan ilmu navigasi serta skill survival kami di alam bebas.

Gunung yang sering kami jadikan tempat latihan adalah Gunung Ungaran. Jika biasanya para pendaki melalui jalur pendakian Mawar, Gedong Songo, Promasan, atau Perantunan, kami justru memilih Indrakila. Mungkin tidak terkenal di kalangan para pendaki, tetapi jalur tersebut cukup sering dilalui warga untuk berburu dan dijadikan tempat latihan bagi para kelompok pencinta alam. 

Dimulai dari Dukuh Indrakila

Jalur pendakian Indrakila berada di Dukuh Indrakila, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Kami menuju Indrakila menggunakan mobil bak untuk menampung sepuluh orang personel tim beserta peralatan. Dari kampus kami, perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Jalan menuju dukuh lumayan sempit dan hanya cukup dilalui satu kendaraan roda empat, sehingga kami harus berhati-hati terutama saat melewati jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. 

Titik awal pendakian jalur ini adalah rumah kepala dukuh yang berada paling ujung dan tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Kami harus berjalan kaki sejauh 400 meter dari lokasi pemberhentian terakhir di mana kendaraan bisa parkir. Memang tidak jauh, tetapi medan yang langsung menanjak tajam membuat kami sedikit terengah-engah. Sesampainya di sana, kami meminta izin kepada kepala dukuh untuk melakukan pendakian. 

“Hati-hati, ya. Kalau hujan jalannya licin. Selalu utamakan keselamatan,” pesannya setelah memberi kami izin. Kami pun mengangguk patuh dan berterima kasih.

Untuk meregangkan otot-otot kami, terlebih dahulu kami melakukan pemanasan. Kemudian dilanjutkan dengan orientasi medan untuk menentukan titik koordinat awal perjalanan yang akan kami lalui. Meski dengan GPS bisa saja kami mengetahui koordinat dengan mudah, tetapi kali ini kami harus menggunakan peta manual dengan dibantu kompas. Beres menentukan koordinat, tak lupa kami berdoa bersama sebelum melangkahkan kaki memasuki hutan Indrakila.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Menjelajah rimbunnya hutan Indrakila/Lya Munawaroh

Perubahan Rencana

Di awal pendakian, medan yang kami lalui berupa jalan setapak yang sering dilewati warga dengan vegetasi berupa kebun kopi. Setengah jam kami berjalan, kami istirahat sejenak selama lima menit. Manajemen perjalanan seperti ini kami lakukan secara berkala untuk menjaga kondisi fisik supaya tidak mudah lelah. 

Di sela-sela istirahat, kami kembali melaksanakan orientasi medan. Lantas kami melakukan resection untuk mengetahui sampai mana perjalanan kami dan medan seperti apa yang akan kami lewati selanjutnya. Saat resection kami membidik dua objek berupa punggungan dan tower yang terlihat menggunakan kompas. Dengan begitu kami bisa mengetahui titik koordinat lokasi kami pada peta. Agar lebih akurat, kami mencocokkan koordinat hasil resection dengan GPS yang kami bawa.

Setelah satu jam perjalanan, kami memasuki kawasan vegetasi berupa pohon pinus dengan medan jalan setapak yang semakin menanjak. Kami terus menyusuri jalan setapak yang telah kami plotting sebelumnya. Namun, ternyata itu adalah jalan buntu dan yang kami temui malah semak belukar. Kami segera berkumpul dan mengeluarkan peta, lalu merapatkan rencana perubahan jalur pendakian.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Briefing singkat perubahan jalur pendakian/Lya Munawaroh

“Punggungan ini sepertinya daerah Curug Lawe,” tunjuk Mas Hardi (pendamping tim pendakian) pada punggungan sebelah kanan jalur yang kami plotting. Ia pun bertanya dan meminta kami mengambil keputusan, “Kalau kita teruskan jalan ke atas punggungan ini harus babat jalur. Jadi, kalian mau babat jalur ke atas atau pindah punggungan?”

Akhirnya setelah briefing singkat, kami memutuskan untuk pindah punggungan karena mempertimbangkan waktu dan kondisi fisik tim. Itu berarti kami harus menuruni bukit dulu sebelum naik ke punggungan di sebelah kanan. 

Kami sedikit kesulitan berjalan kala menuruni bukit yang lumayan curam. Ditambah dengan tekstur tanah yang gembur membuat kami beberapa kali terperosok saat menginjakkan kaki. Kami semakin dalam menuruni bukit hingga akhirnya kami sampai di lembahan dan menemukan sungai. 

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Foto bersama sebelum menyantap makan siang di tepi sungai/Lya Munawaroh

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami beristirahat sebentar untuk mengisi perut dan melaksanakan salat Duhur. Kami membuka satu per satu bekal yang kami bawa lalu menggelarnya di tanah untuk dijadikan satu.

Makan siang kali ini begitu syahdu, ditemani kicauan burung dan suara gemericik air sungai. Embusan angin menggerakkan dedaunan pohon-pohon yang menjulang tinggi, terasa begitu sejuk kala menerpa tubuh. Seusai makan dan salat, kami mengisi botol-botol kami dengan air sungai sebagai bekal melanjutkan perjalanan. Tujuan kami adalah Promasan, desa terakhir di kaki Gunung Ungaran.

Menuju Kebun Teh Promasan

Kondisi medan setelah menyeberangi sungai lebih sulit daripada sebelumnya. Selain jalur yang semakin terjal, terdapat banyak pohon tumbang yang menyulitkan pendakian. Pun semak belukar di kanan-kiri jalur bisa saja melukai tangan atau kulit sehingga kami harus berhati-hati. Ada kalanya kami melewati medan di samping jurang yang mengharuskan kami tetap fokus supaya tidak celaka.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Perjalanan menuju Kebun Teh Promasan/Lya Munawaroh

Tak berselang lama kami sampai di tempat yang sedikit terbuka dengan terdapat satu pohon besar menjulang. Ternyata tempat ini adalah Pos 4 jalur Indrakila. Pos ini lumayan luas, setidaknya bisa muat untuk 5–7 tenda dome. Terdapat sisa-sisa kayu bakar bekas api unggun dan tercecer beberapa sampah plastik. Di jalur pendakian yang sepi masih ada saja pendaki bandel yang meninggalkan sampah.

Kami beristirahat sejenak meluruskan kaki sambil menyantap camilan untuk menambah energi. Karena kami yakin setelah ini medan akan semakin berat dan menguras fisik. Benar saja, kala beberapa meter kami berjalan, medan berubah menjadi bukit yang curam dengan tanah gembur yang tertutup dedaunan kering. Kami harus berpegangan pada rumput atau tanaman di setiap sisi jalur agar bisa menapakkan kaki dengan tegak.

Usai tiga jam berjalan, kami akhirnya tiba di kebun teh Promasan. Pemandangan luar biasa menyambut kami. Pesona Gunung Ungaran yang dikelilingi hamparan hijau kebun teh dan langit biru di atasnya merupakan perpaduan yang sempurna. Seakan kelelahan kami membelah hutan Indrakila sebelumnya menguap begitu saja saat melihatnya.

Puas berfoto dengan latar lanskap Gunung Ungaran, kami bergegas menuju salah satu rumah warga yang sudah akrab dengan kami. Beliau adalah Pak Min, rumahnya berada tepat di samping rumah Pak RT. Di rumah Pak Min kami mengistirahatkan tubuh sejenak, kemudian beranjak ke Sendang Promasan untuk membersihkan diri. Sendang ini memiliki mata air yang jernih dan sering digunakan para pendaki untuk mengisi air sebagai bekal mendaki serta membilas badan.

Sebenarnya berdasarkan informasi di situs Candi Promasan, sendang tersebut bernama Sendang Pengilon. Namun, karena terletak di dekat Candi Promasan sehingga lebih dikenal dengan Sendang Promasan. Malam itu kami menginap di rumah Pak Min dan menghabiskan waktu dengan mengevaluasi perjalanan kami hari itu dan mempersiapkan kegiatan untuk esoknya.

Walaupun melelahkan, perjalanan menjelajahi hutan Indrakila tetap asyik dan seru. Dari perjalanan ini kami bisa menjelajah medan yang belum pernah kami lalui dengan mengandalkan ilmu navigasi yang telah kami pelajari. Medan yang tidak mudah justru semakin membuat kami terlatih dan meningkatkan kemampuan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajah-hutan-indrakila-sisi-barat-gunung-ungaran/feed/ 0 41925
Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/#comments Mon, 19 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41184 Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi,...

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi, setelah Andi kutanya, apakah di Magelang hujan? Ia menjawab, sudah reda. Godaan kasur saya tepis, keputusan saya bulat. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat menuju Magelang dan meluncur ke jalur pendakian Gunung Ungaran Via Mawar. 

Pukul tiga sore saya berangkat menuju Magelang, diguyur rintik-rintik hujan yang mungkin saja perlahan akan membesar. Namun lambat laun, semakin jauh dari Bantul, memasuki area Moyudan, Sleman, jalanan basah. Hujan telah pergi, semoga tak kembali lagi, gumamku sambil mengendalikan setang motor.

Pendakian kali ini masih akan sama seperti pendakian sebelumnya, pikirku. Hanya dengan 200 meter perjalanan menanjak, Andi akan mulai merasakan denyut otot kaki yang tegang karena terlampau jarang didesak aktif, dan rongga napas yang kembang kempis sebab hanya digunakan untuk sekadar bernapas. Kekhawatiran itu ditambah lagi dengan suasana dini hari yang mencekam. Pohon yang rimbun menimbulkan hawa sejuk dan menjadi sumber oksigen yang menenangkan. Akan tetapi, hal itu hanya di siang hari. Di malam hari suasananya tentu berbeda, pohon adalah lawan yang harus ditaklukkan.

Dari Magelang ke Basecamp Mawar 

Pukul empat sore lewat saya sampai di kontrakan Andi. Seperti dugaan saya, Andi belum siap untuk langsung bergegas. Alhasil kami berangkat pukul 17.00. Dari Magelang menuju basecamp butuh waktu satu jam lebih. Saya prediksi, kami akan sampai pukul 18.30.

Namun, itu sudah meleset sebelum berlangsung karena Andi belum juga tuntas. Ia memang sangat doyan menilap waktu. Coba bayangkan, bisa-bisa ia masih harus mampir di swalayan untuk membeli beberapa keperluan pribadinya dan saya harus menunggunya cukup lama. Sepuluh hingga 20 menit berlalu, belum kelihatan batang hidungnya. Kurang lebih 30 menit kemudian baru ia muncul dengan satu kantung plastik besar penuh belanjaan.

“Kenapa nggak nanti saja? Saat pulang ‘kan bisa,” gerutu saya dengan nada sedikit humor agar ia tidak tersinggung. Namun, tanpa harus begitu pun saya yakin ia tak akan tersinggung.

“Santai,” jawabnya betul-betul santai dan tak peduli saya sudah satu jam lebih mengendarai motor dari Jogja.

Kiranya pukul 19.30 kami baru sampai di basecamp, dengan badan yang mulai kelelahan dan perut mulai keroncongan. Tanpa berlama-lama Andi memarkirkan motor dan kami menuju warung, lalu memesan seporsi nasi telur untuk menuntaskan rasa lapar yang mulai kelojotan.

Pukul 10 malam kami masuk ke basecamp dan meletakkan tas yang sekaligus menandai tempat yang akan kami jadikan ruang untuk tidur. Kami duduk sebentar menghabis sebatang rokok dan setelah itu bergegas tidur. Rencananya pukul tiga pagi kami akan memulai berjalan menerobos gelap dan hawa dingin yang cukup mencekam. Sambil merokok kami mengobrol banyak hal soal politik. Betapa menggodanya isu ini di tengah masa kampanye pilpres lalu.

Di tengah obrolan yang tak ada ujung itu, rombongan pendaki lain datang. Mereka masuk ke basecamp lalu meminang tempat untuk merebahkan badan. Rombongan itu telah melihat tas kami tergeletak. Saya rasa mereka sangat tahu, jika ada tas tergeletak artinya tempat itu sudah jadi “milik” orang lain. Mereka pun bertanya kepada saya dan Andi, ini tas siapa. Andi menjawab, itu tas kami. Lalu rombongan itu meminta izin untuk menguasai area sekitarnya. Setelah itu aku tak bisa luput memandangi tas.

Pengalaman saya, tidak ada pendaki yang akan mencuri barang pendaki lain. Dan betul saja, tas kami tetap aman di posisinya. Namun, malam itu kami telah “kemalingan”. Tempat tidur yang telah kami sekat dengan tas itu telah dikuasai rombongan yang sangat sopan meminta izin, tetapi keterlaluan karena tidak menyisakan tempat untuk kami istirahat.

Rasanya saya ingin sekali marah kepada rombongan itu. Bisa-bisanya mereka yang datang belakangan lalu menyerobot tempat yang sudah kami pinang. 

Nggak apa-apa, nanti kita tidur di musala,” jawab Andi sambil melihat ke arah ruang berukuran 3×3 meter di pojok basecamp

“Tapi itu sudah keterlaluan,” jawabku setengah emosi. Kami pun lanjut ngobrol. Sekitar pukul 00.00, saya mengambil tas lalu menuju musala dengan perasaan yang sama.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Jalur di tengah perkebunan kopi yang harus dilewati menuju puncak Gunung Ungaran/Janika Irawan

Sempat Salah Jalur

Malam itu saya tidur cukup lelap. Pukul tiga pagi kami memulai pendakian. Namun, rencana tampaknya hanya sekadar wacana belaka. Kami telat satu jam. Prediksi berdasarkan peta, butuh waktu 2,5 sampai 3 jam untuk sampai ke puncak. Itu artinya kami tidak akan mendapatkan panorama matahari terbit (sunrise) yang kontras di puncak Banteng Raider, titik tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar. 

Berjalan di malam hari tidak semudah berjalan saat siang. Suasana gelap ditambah suhu udara yang makin menggigilkan badan. Meskipun jalur Gunung Ungaran Via Mawar ini sangat jelas, tetapi keliru memilih jalur bisa jadi tak terhindarkan. Belum lagi kami pendaki yang masih sangat-sangat amatiran. Berbekal senter HP kami menembus hutan. 

Menjelang Pos II, gemercik suara air terdengar jelas. Sebuah sungai yang menyejukkan. Begitu memukau daya gedornya. Kami pun terus berjalan menuju sungai. Lagi-lagi, dengan jangkauan senter handphone yang tak melebihi jangkauan dua meter itu adalah petaka. Kami melewati begitu saja petunjuk jalan yang mengisyaratkan untuk berbelok. 

Kira-kira setengah jam kami terjebak di area sungai. Beberapa kali kami mengikuti jalan yang tampaknya betul-betul jalur pendakian dan hasilnya buntu. Tidak ada jalan. Setelah beberapa lama, kami putuskan untuk sedikit turun. Tak jauh dari situ kami menemukan jalur kembali. Kami pun lanjut berjalan menuju Pos II.

Di pos tersebut kami tidak mampir. Kami langsung lanjut mengambil jalur kanan. Karena jalurnya sangat jelas kami pun tidak merasa mengambil jalur yang salah. Setelah itu, kami melewati sebuah permukiman di tengah kebun kopi. Ada beberapa rumah di sana. Setelah kami perhatikan tidak ada satu rumah pun yang menandakan ada penghuninya. Permukiman itu terlihat sedikit menyeramkan walaupun kami sampai di sana saat matahari perlahan mengusir gelap.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi berjalan melewati permukiman tak berpenghuni. Kami tidak sadar telah mengambil jalur lama/Janika Irawan

“Mungkin sudah tidak lagi ditinggali,” kata Andi kepada saya. 

“Sepertinya begitu,” jawab saya.

Saya membuka selebaran peta yang diberikan oleh pihak pengelola wisata saat kami membayar retribusi. Setelah perkampungan itu ada percabangan jalur. Berdasarkan peta, kami harus berbelok ke kiri. 

Kami melewati jalan bebatuan yang tersusun rapi dan lebar. Jalan yang tampaknya diperuntukkan agar bisa dilalui kendaraan roda empat untuk mengangkut hasil panen kopi. Namun, di jalur itu kami mulai curiga, apakah kami telah memilih jalur yang salah?

Sekitar pukul enam pagi kami sampai di Pos IV tanpa menemukan Pos III. Ini cukup aneh. Di peta sangat jelas, ada lima pos persinggahan untuk pendaki. Akan tetapi, karena jalur yang kami lewati sangat jelas, kami terus berprasangka baik bahwa kami telah menyusuri jalur yang benar.

Sebelum sampai di Tanggul Angin, kami melihat pendaki lain yang kami temui di basecamp semalam. Saya rasa rombongan pendaki itu ada di belakang kami, tetapi mereka malah sudah di berada di depan tanpa berpapasan dengan kami. 

Sekitar pukul 06.20 kami sampai di Puncak Tanggul Angin, di ketinggian 1.876 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dan betul saja, setelah kami tanya rombongan itu, saya dan Andi memang memilih trek yang keliru meskipun tetap tembus puncak yang sama. Kami telah melalui jalur lain yang lebih jauh. Mungkin itu jalur lama.

  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan

Menuju Puncak Tertinggi

Di Puncak Tanggul Angin, kami beristirahat sebentar. Andi tampak malu-malu membuka kameranya untuk foto selfie demi kepentingan update status di media sosial.

Beberapa saat kemudian, kira-kira berjalan 200 meter kami sampai di Puncak Batu (1.908 mdpl). Di puncak ini kami tidak beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Tak lama lagi kami akan sampai di Banteng Raider, puncak tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar dengan ketinggian 2.050 mdpl.

Kami sampai di puncak sekitar pukul delapan pagi. Meskipun perjalanan ke gunung ini tak begitu melelahkan, tetapi karena kami memilih jalur yang sedikit melebar dan lebih jauh dari trek pendakian, sambil tertawa halus kami mengerti telah memilih jalan yang keliru.

Kiranya satu jam saya dan Andi—begitu pun dua pendaki lainnya—menghabiskan waktu di puncak. Cuaca lamat-lamat berkabut, tetapi toh, cuaca cerah hanya bonus. Tujuan kami hanya refreshing akhir pekan di tengah kesibukan bekerja dan itu sudah terlaksana.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi (kanan) dan pendaki lain duduk menikmati suasana di Puncak Banteng Raider/Janika Irawan

Pukul 09.30 kami bergegas turun. Karena tak menyiapkan satu pun perbekalan, kami ingin segera sampai ke basecamp, tak kuasa membuat perut makin menderita.

Di perjalanan pulang kami tidak lagi melewati jalur seperti saat berangkat. Di bawah Puncak Tanggul Angin kami memilih ke kanan, meniti jalur yang disarankan. Kami menemukan Pos V, Pos IV, dan Pos III—yang tidak kami temukan sebelumnya.

Tiba-tiba, kesialan tak pernah hilang: hujan turun. Dan di tengah gempuran hujan kami hanya punya satu tujuan, menuntaskan rasa lapar.

Namun, yang sedikit menggembirakan dari pendakian ini adalah Andi mulai terlihat sebagai pendaki yang lumayan tangguh. Tidak seperti pendakian sebelumnya di gunung yang sama, tetapi via Perantunan. Tak lebih dari dua ratus meter dia sesak napas dan harus beristirahat cukup lama. Kondisi yang sangat membuatku risau saat itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/feed/ 1 41184