gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 27 Nov 2023 02:12:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/gunung/ 32 32 135956295 Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/ https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/#respond Tue, 05 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40152 Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang...

The post Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang sedang berlibur ke Yogyakarta.

Jarum arloji menunjukkan pukul 13.45 WIB ketika saya tiba di parkiran depan poliklinik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Jumat, 2/6/2023). Sehari sebelumnya, saya bersama Eka dan Nurul, dua orang kawan saya asal Subang, Jawa Barat, telah bersepakat untuk menjadikan masjid kampus ini sebagai titik kumpul sebelum berangkat bersama ke Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul dengan berboncengan mengendarai sepeda motor.

Dengan ekspresi wajah menahan terik matahari, Eka dan Nurul mengaku sudah lama menunggu saya. Saya menghampiri mereka sembari mencoba menenangkan dan meyakinkan bahwa penantian mereka akan terbayarkan dengan perjalanan di hari ini. 

Tak lama, Asrijal, kawan satu daerah dan satu prodi selama kuliah S1 juga datang dan menggenapkan rombongan kami menjadi empat orang. Serentak kami memulai perjalanan menuju lokasi, meninggalkan Kota Yogyakarta yang teriknya saya rasakan membasahi jersey tandang Timnas Sepakbola Indonesia di balik jaket outdoor yang saya kenakan.

Perjalanan kami menuju Gunung Api Purba Nglanggeran yang terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul memakan waktu sekitar 50 menit. Estimasi waktu ini termasuk ketika mampir di salah satu minimarket untuk membeli cemilan. Lokasi gerai ini berada di Piyungan, sesaat sebelum menanjak ke “lantai dua Yogyakarta”, sebutan popular untuk menggambarkan Kabupaten Gunungkidul yang terletak di jajaran Pegunungan Sewu.

Roda kendaraan dengan mulus melewati jalur menanjak dan berkelok-kelok ala pegunungan. Kami pun mengikuti petunjuk jalan dan melewati jalan kabupaten hingga tiba di di Desa Nglanggeran—sebuah desa wisata yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan Desa Wisata Mandiri Inspiratif dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada 2 Desember 2021, Nglanggeran juga berhasil masuk dalam salah satu desa wisata terbaik di dunia oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO), sebuah badan PBB yang memiliki kewenangan dalam mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Gunung Api Purba Nglanggeran
Pintu masuk sekaligus pos registrasi Gunung Api Purba Nglanggeran/Ammar Hilmi

Setibanya di sana, kami membeli tiket masuk seharga Rp15.000/orang dan membayar parkir motor. Usai menunaikan ibadah salat Asar, barulah kami memulai pendakian menuju ketinggian kurang lebih 700 mdpl.

Melansir dari situs gunungapipurba.com, material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuannya antara lain breksi andesit, tufa, dan lava bantal. Singkapan batuan vulkaniklastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung tersebut menjadi  lokasi tipe (type location)  dan diberi nama Formasi Geologi Nglanggeran.

Berbeda dengan jalur pendakian pada umumnya yang didominasi oleh vegetasi rapat dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, pepohonan di jalur Gunung Api Purba tidak terlalu lebat sehingga kita masih dapat permukiman penduduk. Tingkat kemiringan jalur juga tidaklah terlampau ekstrem sehingga aman bagi orang yang belum pernah mendaki sebelumnya. Beruntunglah kami, meski di awal terkesan shock dengan trek yang dilalui namun langkah demi langkah tetap terlewati. 

Kedua kawan saya, Eka dan Nurul rupanya tidak menyangka jika kami akan mendaki. Hal ini sangat kontras dengan outfit mereka kenakan yang lebih cocok untuk wisata-wisata ‘santai’. Efeknya, beberapa kali kami harus singgah beristirahat untuk mengatur pernafasan. Beruntungnya, mereka telah punya pengalaman mendaki gunung, tidak begitu kaget meski persiapan fisik kurang.

Beberapa kali kami melewati jalur sempit yang berada di celah-celah bebatuan besar. Saking sempitnya, jalur hanya mampu dilewati oleh satu orang saja. Untuk keamanan, di beberapa bagian jalur telah terpasang alat bantu yang memudahkan wisatawan melewati jalur. Tangga besi misalnya, sangat membantu kami dalam menapaki batu-batu besar. Begitupun dengan tali webbing di beberapa titik sangat efektif menjaga kami agar tidak terpeleset.

Sekitar satu jam perjalanan dengan diselingi beberapa kali istirahat, tibalah kami di puncak Gunung Api Purba, titik tertinggi Yogyakarta. Tekstur puncak berupa bebatuan purba membuat pohon sama sekali tidak tumbuh di area ini. Di sekeliling tampak perkampungan warga yang terlihat kecil. Vegetasi terbuka membuat angin bertiup kencang menerpa kami. Beberapa orang mendirikan tenda di camp area yang sebelumnya kami lewati sesaat sebelum mencapai puncak.

Di sebelah barat matahari semakin turun yang menandakan sebentar lagi siang berganti malam. Kurang lebih 30 menit kami duduk dan berbincang di puncak sembari menikmati senja. Selepas itu, tentu saja bergegas turun agar saat tiba di pos registrasi suasana belumlah terlalu gelap.

Jalur turun yang kami lalui berbeda dengan jalur saat naik. Barangkali karena jalur sempit tadilah yang membuat pengelola kawasan akhirnya menyediakan jalur yang berbeda untuk turun. Perjalanan ke bawah, memakan waktu kurang dari satu jam.

Setelah istirahat dan menunaikan ibadah salat Magrib, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah warung makan yang berada di kawasan Bukit Bintang. Sembari memandangi gemerlap lampu rumah-rumah penduduk dari kejauhan, kami pun kembali mengobrol santai membicarakan lelah hari ini. Hangatnya obrolan ini, ternyata mampu menghilangkan kejenuhan saya yang perlahan tapi pasti suatu saat akan terjebak kembali pada rutinitas yang sama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/feed/ 0 40152
Gunung Singgalang dalam Kabut Kenangan https://telusuri.id/gunung-singgalang-dalam-kabut-kenangan/ https://telusuri.id/gunung-singgalang-dalam-kabut-kenangan/#respond Fri, 24 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37277 Jika beberapa gunung di Sumatra Barat memiliki puncak yang menurut pandangan saya memiliki panorama indah, Gunung Singgalang justru memberikan nilai dan sensasi seminatural khusus dari sejumlah elemen; hutan pimpingan, lumut, telaga, dan adanya sutet pemancar—alias...

The post Gunung Singgalang dalam Kabut Kenangan appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika beberapa gunung di Sumatra Barat memiliki puncak yang menurut pandangan saya memiliki panorama indah, Gunung Singgalang justru memberikan nilai dan sensasi seminatural khusus dari sejumlah elemen; hutan pimpingan, lumut, telaga, dan adanya sutet pemancar—alias tidak memiliki puncak yang menawarkan pemandangan.

Sedikit dari kebanyakan pendaki ketika naik gunung punya motivasi untuk menapaki puncaknya. Meski ada sanggahan dari pendaki bijak yang mengatakan, “puncak hanyalah bonus” atau ungkapan lain, “sampai mana batas kemampuan kita dalam mendaki, keselamatan nomor satu, puncak nomor dua”.

Dua contoh ungkapan di atas menurut saya tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar. Sebab pendaki yang telah memutuskan untuk mendaki, pasti memiliki konsep, motif maupun motivasi, dan paling utama keselamatan. Sementara perihal siap-siaga dalam pencegahan terjadinya trouble tak luput dari perhatian utama. Oleh sebab itu, puncak secara otomatis menjadi parameter dari misi pendakian.

Namun hal ini tidak akan berlaku jika teman-teman mendaki Gunung Singgalang yang sebelah-menyebelah dengan Tandikek dan Marapi. Singgalang secara geografis berada di Desa Tanjuang, Kenagarian Pandai Sikek, Kabupaten Agam yang langsung berbatasan dengan Bukittinggi dan Padangpanjang.

  • Gunung Singgalang
  • Gunung Singgalang

Singgalang memiliki ketinggian 2877 mdpl. Dengan ketinggian tersebut, motivasi kebanyakan pendaki ke sini adalah menyambangi hutan lumut dan Telaga Dewi—telaga yang menurut perspektif geologi terbentuk dari letusan gunung api ribuan tahun silam, lalu kemudian membentuk kaldera. Kaldera itulah yang kini menjadi telaga lantaran sudah tidak aktif lagi. Sementara menurut cerita oral yang beredar di lingkungan masyarakat setempat, Telaga Dewi berasal dari legenda seorang anak manusia yang dikaitkan dengan adanya pula telaga lain bernama Telaga Sikumbang.

Keberadaan telaga inilah yang kemudian menjadi destinasi dari sejumlah pendaki yang hendak berkunjung ke Singgalang. Soal jalur, Singgalang adalah gunung dengan daya tarik dan keunikan yang dimilikinya. Hal ini terlihat dengan adanya hutan pimpingan atau alang-alang yang melintang di awal jalur pendakian. Jadi teman-teman akan dibuat menunduk terlebih dahulu sebelum memasuki jalur selanjutnya.

Singgalang dan Lain-lainnya

Kaitan jalur pimpingan di awal pendakian Gunung Singgalang sama halnya konsep rumah adat yang ada di Desa Sade, Lombok Tengah. Di Sade, pintu rumah dibuat lebih rendah dengan filosofi, setiap orang yang akan masuk ke dalam rumah itu mesti merunduk sebagai bukti penghormatan terhadap tuan rumah.

Singgalang pun begitu juga. Dengan beban tas ransel yang berat dan aneka barang bawaan lainnya, saat itu saya dipaksa merunduk oleh pimpingan yang entah faktor kesengajaan demi mempertahankan alamiah jalur pendakian atau ada indikator lainnya. Sehingga seolah-olah di sana saya kembali dibuat refleksi—menerapkan konsep penghargaan diri terhadap alam.

Berbicara rute, teman-teman yang berasal dari luar Sumatra Barat yang hendak menyambangi Gunung Singgalang bisa lewat jalur udara dan jalur darat. Jalur udara melalui Bandara Internasional Minangkabau, Padang Pariaman yang berlanjut dengan perjalanan darat sekitar 2,5 jam ke Koto Baru, Kabupaten Agam melewati Padang Pariaman, Kayu Tanam, Padangpanjang hingga tiba di lokasi.

Begitu pula jika menempuh perjalanan melalui jalur lainnya, bisa lewat Kota Solok atau Kab. Solok, lintas Singkarak. Ada pula langsung melewati jalur Batusangkar tembus Batipuah atau Ombilin. Dan ada pula yang akan terlebih dahulu singgah ke Bukittinggi, jika dari arah Pasaman atau Payakumbuh, yang diteruskan perjalanan ke lokasi hanya 30-45 menit lagi.

Sementara untuk teman-teman pendaki yang menggunakan kendaraan pribadi, bisa langsung menuju ke basecamp. Jika pun ada yang naik kendaraan umum, pendaki biasanya akan transit di Pasar Koto Baru baik itu untuk berbelanja perlengkapan logistik dan pendakian. Dari sana, tersedia mobil angkot juga ojek yang akan membawa pendaki langsung ke basecamp melalui jalur Pandai Sikek.

Bercerita sedikit mengenai Pandai Sikek, daerah ini terkenal dengan buah karya hasil kerajinan masyarakat sekitar, yang dikenal sebagai kain songket. Hampir sama dengan yang ada di Silungkang, Sawahlunto. Hanya saja berdasarkan penelusuran singkat, bahwa songket Pandai Sikek dan Silungkang memiliki segi perbedaan dari corak dan historis.

Kembali ke soal pendakian, saya bersama teman-teman mengawali Singgalang dari titik Kota Sawahlunto. Kami menempuh perjalanan yang memakan waktu tiga jam lewat Kota Solok, Kab. Solok, Singkarak, Ombilin, Batipuah, Padangpanjang, Pandai Sikek, dan mendekati basecamp yang ditandai oleh pos pemancar. Saat itu kami tiba pada malam hari sehingga harus beristirahat dahulu untuk memulai pendakian esok pagi. Tentu, karena pendaki tidak diperkenankan mendaki Gunung Singgalang pada malam hari.

Simaksi Singgalang cukup terjangkau, Rp10.000–Rp20.000 untuk setiap orang. Saat mengurus simaksi di basecamp pendakian, biasanya para pendaki akan mendapatkan pertanyaan seputar kelengkapan alat termasuk P3K dan kondisi kesiapan kelompok. Oleh sebab di basecamp Singgalang belum tersedia tempat istirahat pendaki, maka kami mendirikan tenda di lahan terbuka tak jauh dari pintu rimba. Lebih tepatnya 10 menit naik motor ke arah atas, dekat sutet pemancar sinyal salah satu stasiun televisi swasta. Di sana juga tersedia warung warga yang terkenal dengan minuman teh telur ayam kampung.

Kenangan Pendakian Singgalang

Dua kali sudah saya sambangi Singgalang. Pendakian pertama cukup berkesan karena mendapati hari yang cerah, dan bisa mendirikan kemah tak jauh dari bibir Telaga Dewi. Pendakian kedua kali ini, saya tak seberuntung sebelumnya sebab saat itu cuaca sedang tidak bersahabat, kondisi yang kurang stabil membuat saya hanya bisa berkemah di Cadas. Tepatnya di bawah hutan lumut.

Ketika keesokan hari hendak menuju Telaga Dewi, kabut tebal datang beserta gerimis dan angin. Keadaan ini berlangsung cukup lama hingga kami tiba di telaga, membuat saya yang saat itu mengantar rombongan beberapa teman Taman Baca dan Nusantara Sehat di Telaga Dewi tidak mendapatkan pemandangan apa-apa. Atau bahasa anak pendaki, “hanya dapat tembok”. Namun kami cukup beruntung ketika berada di hutan lumut kondisi tersebut menjadikan perjalanan makin asyik.

Kali pertama ke sini, saya bersepuluh orang yang kebanyakan dari teman-teman satu kenagarian. Sementara kali ini, saya membersamai Kak Rahma dan Kak Nadia dari Nusantara Sehat. Mereka berdua adalah orang Bima, NTB dan orang Aceh Barat yang tengah mengabdi di sebuah Puskesmas yang lokasinya cukup terpelosok. Juga ada teman-teman Taman Baca Rimba, Dharmasraya yang terdiri dari Alam, Saiful, dan Zukhni. Perjalanan kali ini memang tidak sesempurna yang kami harapkan. Namun, ada hal lain yang dapat kami lakukan seperti berdiskusi dan memproduksi ide-ide segar mengenai konsep literasi.

Gunung Singgalang
Foto bersama dengan latar Gunung Marapi/Raja Syeh Anugrah

Meski proses pendakian dinilai sebagai selingan, mencoba menepi dari hiruk pikuk dan kesibukan yang monoton, namun kelak ketika kembali, kami pun mesti siap dengan segala realitas yang akan dihadapi.

Kali ini, saya tidak menceritakan estimasi waktu pendakian guna memantik rasa penasaran teman-teman pendaki agar menikmati setiap etape pos-pos yang disuguhkan Singgalang. Pun, selain Telaga Dewi yang sudah tersohor, pendaki bisa menemukan narasi dan pengetahuan baru tentang legenda dari Singgalang itu sendiri. Jadi, kapan kamu akan singgah ke sini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Singgalang dalam Kabut Kenangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-singgalang-dalam-kabut-kenangan/feed/ 0 37277
Mendaki Gunung: Dulu dan Kini https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/#respond Tue, 07 Feb 2023 04:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=37156 Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera...

The post Mendaki Gunung: Dulu dan Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera organisasi, tak salah memang jika orang-orang ramai-ramai untuk mengupload dan membagikannya di media sosial masing-masing. 

Berbekal caption dari karangan sendiri—mungkin juga mengutip quote tokoh tertentu—plus berbagai hastag kekinian, para pendaki ini berharap unggahan mereka mendapat banyak like dan repost oleh akun-akun yang membahas dunia pendakian. Dengan harapan postingannya bisa viral, bertambah followers, dan semakin dikenal oleh khalayak ramai.

Tapi ada satu hal yang membuat saya sedikit geli dengan fenomena pendakian zaman sekarang. Walau saya sendiri tidak mengklaim diri sebagai pendaki profesional yang telah berpengalaman dan dilengkapi dengan peralatan mendaki yang canggih nan mahal, tapi saya turut dibuat gatal untuk mengomentari, atau sedikit memberi pencerahan kepada mereka-mereka yang hendak mencoba merasakan sensasi mendaki gunung. 

Saya jadi teringat dengan salah satu pesan dari kanal YouTube salah pendaki terkenal negeri ini. Dia mengatakan bahwa setelah mendaki gunung itu, hanya akan ada dua kemungkinan: pertama, kapok dan tidak akan mendaki gunung lagi. Kedua, ketagihan dan ingin lanjut mencoba mendaki di gunung yang lain. 

Kita tidak bisa menafikan bahwa atmosfer pendakian gunung yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan pendakian zaman dahulu. Zaman dahulu, yang mana orang tua kita mungkin masih berusia 20 tahunan, pendakian itu identik dengan kegiatan rutin organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (disingkat MAPALA, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Soe Hok Gie). Namun di zaman sekarang semua golongan bisa merasakan sensasi mendaki gunung tanpa harus berstatus sebagai anggota aktif MAPALA. Tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, semuanya bisa melakukan  pendakian.

Sindoro Sumbing
Gunung Sumbing tampak dari Gunung Sindoro/Ammar Mahir Hilmi

Zaman yang lebih lampau, kegiatan mendaki gunung biasanya untuk tujuan observasi lapangan, pemetaan kondisi geografis, penelitian keanekaragaman flora dan fauna, hingga ekspedisi penaklukan puncak gunung yang belum pernah terjamah oleh manusia sebelumnya. 

Sedangkan di zaman sekarang, [kebanyakan] pendakian saat ini lebih didominasi untuk tujuan wisata—kalau tidak dikatakan untuk mengikuti tren masa kini. Untuk sekedar foto-foto atau video dokumentasi. Namanya juga era Revolusi Industri 4.0, semuanya tidak akan lengkap tanpa ada bukti digital.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tren seperti ini. Foto-foto, membuat vlog, lalu kemudian mengunggahnya sebagai konten di media sosial selama untuk tujuan edukasi ataupun promosi pariwisata justru merupakan hal yang harus kita dukung agar penyebaran konten yang edukatif dapat mengimbangi arus konten negatif yang sering wara-wiri.

Ada salah satu kanal YouTube pendaki yang menjelaskan bahwa tujuan ia mendokumentasikan perjalanan pendakiannya adalah agar orang-orang yang belum pernah mendaki gunung bisa turut merasakan sensasi mendaki gunung dan melihat pemandangan meski hanya melalui perantara dunia virtual.

Yang menjadi permasalahan saat ini yaitu jika pendakian hanya sekedar untuk pamer ria hasil jepretan maupun vlog di media sosial namun tidak peduli dengan kondisi lingkungan di gunung yang ia kunjungi. 

Saya kira slogan “gunung bukan tempat sampah,” “bawa turun sampahmu,” “pendaki bijak meninggalkan jejak, bukan sampah,” mungkin sudah sangat familiar dan banyak terpampang di basecamp, petunjuk arah jalur pendakian, hingga di puncak gunung. Ini harusnya bukan sekedar slogan hiasan semata, tapi merupakan himbauan yang wajib dipatuhi bagi siapa saja yang hendak mendaki gunung.

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kita akan anugerah keindahan alam, maka sudah seharusnya kita menjaganya, tidak malah membiarkan atau bahkan ikut merusak lingkungan tanpa ada rasa bersalah sama sekali. 

  • Sindoro Sumbing
  • Gunung Sumbing
  • Gunung Prau

Saya menyaksikan sendiri, orang banyak yang mengaku pendaki tapi malah meninggalkan sampahnya di lokasi berkemah. Saya tidak habis pikir dengan kejadian seperti ini. Tujuan mereka mendaki gunung untuk apa sih? Kalau hanya untuk sekedar swafoto, kan masih banyak spot foto lain yang lebih mudah dijangkau dan tidak harus capek-capek mendaki sampai badan jadi pegal. 

Bahkan yang lebih parah, saya pernah menyaksikan sendiri seorang pendaki yang tanpa merasa bersalah mencabut bunga yang ada di puncak gunung lalu ia gunakan untuk berfoto-foto dengan pasangannya. Anjay, lebay kali. Lagi-lagi, walau saya bukanlah pendaki hebat yang telah menaklukkan seven summit dunia, saya merasa jengkel saja jika melihat kelakuan-kelakuan pendaki seperti ini. Bukan untuk merefleksikan kehidupan, ia malah merusak dan membunuh kehidupan. Bukannya bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan, ia malah dibuat  angkuh dengan postingan di media sosialnya yang full filter plus caption ala-ala dunia percintaan.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa jika pendakian hanya untuk tujuan serendah dan sesempit ini, maka lebih baik gunung-gunung ditutup saja dan tidak ada lagi yang boleh masuk kecuali para petugas ataupun relawan pemerhati alam dan lingkungan. Atau setidaknya hanya mereka yang berstatus sebagai anggota pecinta alam yang telah lulus pelatihan dasar yang boleh melakukan pendakian. 

Atau ambilah solusi yang paling realistis, ikut dulu pelatihan singkat tentang dunia pendakian sebelum memulai langkah mendaki. Setelah mendapat sertifikat kelulusan, barulah diperbolehkan untuk masuk ke wilayah pendakian. Kenapa? agar orang-orang bisa mengerti bahwa tujuan mendaki tidak sekedar mencari sensasi, melainkan untuk tujuan mulia tentang rasa syukur dan penuh tanggung jawab.

Ketahuilah bahwa pada hakikatnya tujuan dari pendakian itu untuk merefleksikan kehidupan, tentang kerendahan hati, tentang rasa syukur akan nikmat Tuhan, hingga mencoba menemukan makna dari setiap perjalanan. Bukan malah pamer kemampuan membawa carrier yang begitu besar, berlomba-lomba siapa yang paling cepat sampai ke puncak, atau bahkan untuk mencari sensasi lewat postingan di dunia maya yang acap kali serba menipu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung: Dulu dan Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/feed/ 0 37156
Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/ https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/#respond Fri, 23 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36709 “Cuy, taun baruan naik gunung yuk!” ajak temanku, ketika aku sedang tidur-tiduran di dalam masjid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. “Ke mana?” tanyaku kepadanya, Argo, yang memang pada saat itu...

The post Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuy, taun baruan naik gunung yuk!” ajak temanku, ketika aku sedang tidur-tiduran di dalam masjid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. “Ke mana?” tanyaku kepadanya, Argo, yang memang pada saat itu merupakan salah satu sahabat pendakianku. “Latimojong, Sulawesi,” jawabnya dengan semangat. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan tawaran tersebut. Momen pendakian Gunung Latimojong ini sekaligus menjadi agenda liburan tahun baru 2017.

Gunung Latimojong berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Latimojong merupakan gunung tertinggi di Sulawesi dengan puncak bernama Bulu Rantemario di ketinggian 3.478 mdpl.

Pegunungan Latimojong membentang dari selatan ke utara. Bagian baratnya berada di Kabupaten Enrekang, utaranya berada di Kabupaten Tana Toraja. Bagian selatannya, berada di Kabupaten Sidenreng Rappang dan bagian timurnya berada di Kabupaten Luwu hingga pinggir pantai Teluk Bone.

Kami berenam—aku, Argo, Wahyau, Duni, Kar, dan ayahnya Argo—berangkat menggunakan pesawat dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta menuju bandara Sultan Hasanuddin di Makassar. Untuk bisa sampai di Basecamp Gunung Latimojong, kami harus melakukan perjalanan jauh dari Kota Makassar menuju Kecamatan Baraka. 

Dengan kendaraan pribadi yang kami sewa sebelumnya—banyak travel yang menawarkan dengan kisaran biaya 1-2 juta rupiah tergantung negosiasi—perjalanan kami tempuh sekitar 7 jam, sebelum akhirnya tiba di Kecamatan Baraka. Begitu tiba pada malam hari, kami sesegera mungkin mempersiapkan perlengkapan, lalu beristirahat.

Salah satu hal seru di perjalanan menuju Gunung Latimojong adalah kami menumpang mobil jip untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Karangan. Jalan yang berliku-liku, naik dan turun menemani perjalanan kami sembari menikmati pemandangan hamparan perbukitan Enrekang. “Hajar… Hajarrr… Eeaaa…” teriak pendaki lain asal Sulawesi menyemangati jip yang kami tumpangi melewati jalan rusak dan berlumpur. 

Beberapa jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk sampai basecamp di Desa Karangan. Di sinilah pendaki bisa beristirahat sembari mempersiapkan pendakian. Sederhana, basecamp pendakian berbentuk rumah panggung, pemiliknya yakni salah satu warga Desa Karangan. Kami menginap semalam di sana untuk mempersiapkan logistik. Esok paginya, barulah kami memulai pendakian ke Gunung Latimojong.

Pos demi Pos Gunung Latimojong

Pagi hari setelah sarapan dan pemanasan tubuh, kami memulai pendakian dari Desa Karangan menuju Pos 1. Durasinya sekitar 90 menit dengan medan jalan aspal dan tanah. Tak buruk, kendaraan bermotor masih bisa melewati jalan ini. Di kanan kiri jalan, masih banyak rumah dan ladang masyarakat sekitar. Para petani dari desa, biasa pergi ke ladang juga melewati jalan ini. Tutur sapa antara kami dengan warga menghiasi pagi hari. 

Untuk menuju pos selanjutnya, kami membutuhkan waktu sekitar dua jam. Semakin jelasnya suara aliran sungai dan bertemu sebuah jembatan menjadi pertanda bahwa kami akan tiba di sana. Begitu tiba di Pos 2, Gua Pak-Pak menyambut kedatangan kami. Di sini juga terdapat sebuah air terjun yang menjadi salah satu sumber air bagi pendaki.

Perjalanan kami lanjutkan ke Pos 3 dengan durasi sekitar 50 menit. Kami mengeluarkan tenaga lebih saat perjalanan ini karena jalurnya cukup terjal. Dari sini hingga Pos 5, tidak ada sumber air. Oleh karenanya, kami harus menghemat persediaan air yang kami bawa. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengatur tempo pernafasan agar tidak terlalu cepat lelah.

  • Hutan lumut
  • Jembatan kayu
  • kabut

Setelahnya, kami bertemu dengan yang cukup datar dan lumayan curam saat menuju Pos 4. Kurang lebih, satu jam kami berjalan di hutan yang banyak tumbuh lumut. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan selama dua jam menuju Pos 5. Kaki kami mulai terasa pegal dan kram. Wajar saja, jalur pendakian Gunung Latimojong di dominasi oleh tanjakan semua. Hujan menemani kami begitu tiba, tenda pun langsung kami dirikan. Selain luas, di Pos 5 juga terdapat sumber mata air sehingga cocok untuk camp site.

Makan malam kami siapkan. Usai perut kenyang, tidur menjadi pilihan karena esok kami akan melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Latimojong. Rante Mario kami datang!

Perjalanan Menuju Puncak

Udara dingin dan mata yang masih menahan kantuk harus aku paksakan. Setelah menyiapkan beberapa logistik barang yang akan kami bawa ke puncak, kami melanjutkan perjalanan. Menuju Pos 6, hutan lumut kembali menyambut. Jalur pendakiannya cukup menanjak dengan estimasi waktu 90 menit. Untuk menuju ke Pos 7 pun sama, perjalanan pendakian melewati hutan lumut, yang tampak semakin menarik dalam bidikan lensa kamera.

Balok besar di atas batu bertuliskan “Rantemario 3478 MDPL” menjadi penanda bahwa kami sudah tiba di puncak. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, tiba juga kami di sana.

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benakku untuk mendaki gunung di luar Pulau Jawa. Mungkin rasa penasaran mendaki gunung-gunung selain di Jawa menjadi pemantiknya. Apalagi setiap gunung memiliki karakteristik masing-masing. Tentunya, melalui pendakian ini aku merasa makin terpanggil untuk turut melestarikannya. Supaya generasi kita selanjutnya, masih bisa menapakinya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/feed/ 0 36709
Refleksi dari Sebuah Pendakian https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/ https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/#respond Mon, 19 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36676 Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti...

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti pesannya, bahwa “Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Naik gunung menjadi pengunci kalimat terakhir Gie. Beda pendakian Gie pada masa itu, beda lagi fenomena dunia pendakian akhir-akhir ini. Dalam patokan terbatas boleh dikatakan sejak ditayangkannya film 5 cm pada Desember 2012 hingga Januari 2013 silam, membuat jagat dunia pendakian “heboh”. Pendaki berbondong-bondong mulai mendatangi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). 

Sekiranya inilah gambaran fenomena yang berbanding terbalik. Ketika orang berbondong-bondong menjadi “keren” dengan mendaki gunung. Mulai dari amatiran, ikut-ikutan, dan pemula-pemula nekat minim persiapan. Semua membaur. Gunung yang seharusnya memberikan ketenangan, keheningan, dan kesyahduannya alam, malah berubah menjadi ruang terbuka yang bising. 

Padahal dengan ramainya gelombang manusia yang menjajaki gunung dapat berefek buruk jika dengan intensitasnya tinggi. Maka, perlu kebijakan pengelola yang memberi jeda gunung hingga tiga bulan sebagai bentuk pemulihan. Sebab jika diabaikan begitu saja lantaran sekadar pencarian keuntungan, ditakutkan membuat gunung kehilangan orisinalitasnya sebagai bagian dari alam raya.

Alam raya, jika ditilik kembali, berisikan berbagai komponen atau unsur-unsur seperti tetumbuhan dan hewan. Begitu pun tanahnya yang mengandung unsur hara bagi kesuburan dan keberlangsungan setiap makhluk hidup. Juga manusia, makhluk ciptaan yang diberikan fisik utuh dan akal sehat sekaligus pionir yang mampu mengelola lingkungan itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman, suatu waktu saya pernah ditanya tentang lelucon reflektif dari seorang Bapak SAR (Search and Rescue), “Coba bayangkan jika satu gunung yang didaki oleh 1000 pendaki dalam rentang waktu satu pekan, dan itu terus-menerus dilakukan tanpa henti, kemudian setiap 1000 pendaki itu membuang air kecil. Lantas apa yang terjadi dengan tanah-tanah di gunung itu?”

Sabana merbabu
Sabana Merbabu berlatar belakang Merapi/Raja Syeh Anugrah

Saya diam sejenak. Sebab saya berpikir bahwa hal kecil tersebut tentu akan menjadi hal besar jika diabaikan. Dan ternyata dalam penjelasan dari pertanyaan itu oleh si penanya, ia mengonsepkan bahwa setiap manusia tidak menentu apa yang ia konsumsi, lalu ketika ia mengeluarkan kotoran, ada zat-zat kimia yang berbahaya turut terbawa kemudian mencemari tanah-tanah. Kalau sudah tercemar, maka unsur hara di gunung akan terganggu dan mengganggu ekosistem di sana.

Dari hal kecil tersebut saya mengiyakan konsepsi itu sekaligus merenungi setiap perjalanan pendakian selanjutnya. Kemudian berpikir ulang, kalau saja etika lingkungan yaitu hubungan manusia dengan alam belum tercipta dan belum menemukan esensinya, bagaimana dengan hubungan manusia dengan manusia ketika di gunung?

Merefleksikan Pendakian

Konsepsi Gie tentang gunung begitu sederhana. Sesederhana ketika ia menghasilkan buah pikir dan kekagumannya pada Lembah Mandalawangi yang terus-terusan ia sambangi ketika lelah dengan hiruk-pikuk perkotaan. Lembah yang memberi ketenangan dan jauh dari kebisingan. Lembah sejuk yang menawarkan refleksi dan introspeksi.

Dalam puisi Sebuah Tanya, Gie menuliskan, “Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi/kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram/meresapi belaian angin yang menjadi dingin.” Betapa bernyawanya untaian kata-kata Gie dalam puisi itu, yang betul-betul merefleksikan keberadaan gunung bagi manusia.

Pada suatu perjalanan pendakian, agaknya saya sukar sekali menemukan keheningan seperti keheningan Gie dapatkan saat ia berlama-lama meresapi ketenangan di lembah Mandalawangi. Walau persepsi ini tidak memukul rata secara keseluruhan, dan perlu diakui masih banyak pula gunung-gunung yang benar-benar hening, tenang dan damai.

Namun begitu, masihkah ada garis-garis hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia serta keramah-tamahan lainnya di gunung saat ini? Jika saja manusia-manusia sudah menyusupi alaminya alam dengan pernak-pernik teknologi yang memecah keheningan alam itu sendiri. Seperti memutar musik tanpa tahu batasan, bersuara keras tanpa tahu telah mengganggu, dan basa-basi yang sulit diterjemahkan apakah itu sebuah ketulusan atas satu kesamaan sebagai pendaki?.

Makin ke sini sepertinya pendakian tengah mengalami pergeseran makna. Sebuah degradasi moral yang menghilangkan jati diri pendaki-pendaki “sejati”. Sehingga keramah-tamahan yang dirindukan itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Tidak lagi seperti sebuah cuplikan di dalam film 5 cm yang menyorot senyuman-senyuman pada setiap apapun, pada waktu kapan pun.

Lagi-lagi ketulusan itulah yang dirindukan, bukan saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap alam lingkungan yaitu gunung. Sejak maraknya dunia pendakian, gunung telah ramai oleh orang-orang yang katanya mencari ketenangan, menikmati alam, dan merefleksikan diri. Disamping itu tak tertahankan pula mengenai bekas-bekas sampah yang telah dibawanya sedari bawah kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa merasa bersalah.

Apakah masih bisa disebut tindakan itu sebuah ketulusan hati, yang mencintai alam sejak mengaku diri sebagai pendaki. Dan inilah sebuah refleksi. Hasil olah renungan dan pertanyaan terhadap diri. Tentang keramah-tamahan dalam bentuk apakah itu?

Lestari Sejak dari Hati

Lestari seharusnya tidak sebatas menjadi slogan semata. Yang didengungkan berulang kali, tanpa henti, dan pada setiap kesempatan yang ada. Lestari juga bukan sebentuk kata yang diucapkan oleh lisan, tapi juga dalam bentuk tindakan. Atau jika boleh berargumentasi, kalau bisa, lestari itu sejak hati.

Perihal hati, bahkan hingga kini saya masih menelaah lebih dalam lagi, hati seperti apa yang sebenarnya saya miliki untuk bisa mewujudkannya ke dalam perlakuan sehari-hari. Perlakuan ketika melangsungkan kegiatan alam bebas seperti mendaki. Hati yang memang dibentuk untuk merespon secara otomatis tentang makna lestari. 

Bagi saya dalam melangsungkan pendakian, perlakuan ketika di lapangan tidak seharusnya menjadi basa-basi, tapi juga setulus hati. Mencitrakan toleransi atas keberagaman dan cara pandang setiap pendaki. Meski saya masih dalam lingkup yang terus berusaha, mencoba menerapkan ketulusan hati. Agaknya tulisan ini saya ketagorikan sebentuk autokritik saya kepada diri sendiri.

Seperti Gie, mencintai Mandalawangi yang diutarakan lewat puisinya, “Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna/aku bicara padamu tentang manfaat dan keindahan/dan aku terima kau dalam keberadaanmu/seperti kau terima daku/.”

Tak ada yang lebih paham, mana yang benar-benar sebuah ketulusan selain kita. Pelaku yang merasakan secara langsung euforia dunia pendakian. Setiap jengkal dari pos ke pos, shelter ke shelter, sabana ke sabana, lembah ke lembah yang diduduki untuk istirahat sejenak. Lalu diri tertegun ketika melihat sampah, dan sampah mulai mengaburkan makna; sudahkah menjadi lestari sejak dari hati?

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/feed/ 0 36676
‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/ https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/#respond Mon, 05 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35173 Bagi mereka yang mempunyai hobi mendaki gunung, kalimat “Setiap gunung memiliki kesannya masing-masing,” akan menjadi jawaban yang lazim didengarkan ketika mendapat pertanyaan tentang gunung mana yang paling berkesan. Begitu pula kesan dari pendakian tanpa camping,...

The post ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi mereka yang mempunyai hobi mendaki gunung, kalimat “Setiap gunung memiliki kesannya masing-masing,” akan menjadi jawaban yang lazim didengarkan ketika mendapat pertanyaan tentang gunung mana yang paling berkesan. Begitu pula kesan dari pendakian tanpa camping, atau dalam  istilah pendakian lebih dikenal dengan sebutan “tektok”. Kali ini saya tektok-an ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah, pendakian pertama setelah lebih dari 3 tahun absen.

Di perjalanan kali ini saya kembali menjadikan rumah Pak Hartanto di Magelang sebagai tempat untuk transit dan beristirahat sejenak setelah mengendarai motor dari Yogyakarta pada Jumat malam (15/7/2022), sebelum melanjutkan perjalanan ke basecamp Merbabu via Wekas keesokan harinya. Di rumah ini juga turut menginap pula Dwi Cahyono, kawan pendaki lainnya asal Purwodadi yang juga telah sering ikut mendaki ataupun sekedar tektok bersama kami.

Waktu menunjukkan pukul 5 kurang 10 menit pagi,  ketika motor kami memulai perjalanan dari Magelang menuju basecamp Gunung Merbabu via Wekas (Sabtu, 16/7/2022) yang berlokasi di Desa Wekas, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Udara sejuk dan segar pagi hari khas pegunungan telah menghampiri kami ketika tiba di basecamp untuk selanjutnya bersiap-siap memulai pendakian.

Di basecamp ini pula turut bergabung Pak Bowo, Mas Sulis, dan Mbak Yeni yang sebelumnya juga telah janjian untuk tektok bareng sehingga menggenapkan rombongan ini menjadi enam orang. Tampak dari kejauhan Gunung Andong yang terlihat mungil ketika disandingkan dengan Gunung Merbabu.

Setelah berdoa dan foto bersama, tektok pun dimulai tepat pukul enam pagi melalui perkampungan warga yang keseluruhan jalannya telah dicor beton. Jasa ojek sebenarnya tersedia di jalur ini. Namun dikarenakan jarak antara basecamp dengan batas kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang relatif dekat, maka rombongan kami pun memutuskan untuk berjalan kaki saja. Hitung-hitung juga sebagai pemanasan sebelum merasakan bagaimana sensasi jalur pendakian.

Jika di jalur pendakian gunung pada umumnya didominasi oleh perkebunan warga sebelum memasuki hutan, maka hal ini tampaknya tidak berlaku di jalur ini. Hanya sekitar 5.00 meter dari basecamp, setelah melewati beberapa rumah warga dan jalan beton, hutan Gunung Merbabu langsung menyambut kedatangan kami dengan berbagai petunjuk arahnya yang telah dipasang oleh petugas taman nasional. Dikarenakan masuk dalam kategori taman nasional, tentunya untuk mendaki di Gunung Merbabu mempunyai prosedur tersendiri. Hal ini diberlakukan demi tetap terjaganya kelangsungan kehidupan flora dan fauna di dalamnya.

Di semua jalur pendakian Gunung Merbabu, ada patok penanda jalur yang di pasang sebagai penunjuk arah bagi para pendaki sekaligus penghitung jarak yang telah ditempuh secara keseluruhan semenjak dari pintu masuk kawasan. Jarak antar patok ini berkisar 100 meter. Sebagai aset taman nasional, maka sudah menjadi kewajiban untuk tidak merusak patok-patok ini.

Sepanjang jalur dari basecamp hingga Pos 1 dan 2, trek masih cukup landai dengan semak belukar dan vegetasi yang tidak terlalu rapat. Begitupun dengan pepohonan yang jaraknya tidaklah terlalu mepet sehingga cahaya matahari dan birunya langit masih tampak jelas meski telah memasuki kawasan hutan. Di beberapa kesempatan kami menemukan gerombolan kera yang menjadi penghuni hutan ini. Begitupun beberapa kali kami juga sempat mendengar suara kijang yang tampaknya sedang berkomunikasi dengan kijang lainnya.

Jalur pendakian Gunung Merbabu via Wekas bisa dikata jalur yang paling singkat di antara jalur pendakian Gunung Merbabu lainnya. Hal ini tidak lain karena letak basecamp yang berada di ketinggian 1.800-an mdpl. Mendaki melalui jalur ini praktis mampu menghemat waktu dan tenaga. Dengan posisi basecamp yang sudah cukup tinggi ini pula, jarak menuju puncak jelas tidak terlalu jauh. Maka pilihan tektok bukanlah hal yang berlebihan.

Kawah mati
Kawah mati/Ammar Mahir Hilmi

Ketika memasuki Pos 3, jalur bebatuan dan tanjakan ekstrim telah menanti. Di pos ini juga terdapat penanda batas tiga wilayah yakni Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Semarang. Dari Pos 3 ini pula kita dapat melihat kawah Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif lagi. Menurut keterangan Mas Sulis yang merupakan penduduk setempat dan sudah sangat sering mengantar para pendaki, kawah ini masih sering mengeluarkan gas ketika musim kemarau datang. Namun intensitas aktivitas kawah Gunung Merbabu tentunya sudah tidak massif Gunung Merapi yang letaknya berdampingan langsung dengan Gunung Merbabu.

Vegetasi sudah sangat terbuka di jalur setelah Pos 3. Pepohonan tinggi telah berganti ilalang dengan jalur yang saking miringnya membuat kita harus menggunakan bantuan tali webbing untuk melaluinya. Bukan Merbabu namanya jika tidak ditemukan edelweiss di jalurnya. Sepanjang jalur dari Pos 3 menuju puncak ini pula kita dapat menemukan bunga edelweiss, tanaman langka yang dilindungi dan hanya bisa ditemukan di pegunungan. 

Pijakan yang di jalur sebelumnya masih berupa tanah, kini telah didominasi batuan vulkanik yang rapuh dan sangat rawan bergeser. Teman saya, Dwi, bahkan sampai menamai jalur ini sebagai Watu Urip yang berarti batu hidup dikarenakan struktur batuannya yang mudah bergerak dan mengakibatkan kita dapat terpeleset jika salah mengambil pijakan.

Tugu batas 3 kabupaten
Tugu batas 3 kabupaten/Ammar Mahir Hilmi

Setelah kurang lebih 4 jam 45 menit perjalanan menyusuri jalur Merbabu atau pada pukul 10.45 WIB, kami akhirnya sampai di Puncak Syarif di ketinggian 3137 mdpl. Gunung Merbabu memiliki tiga puncak yang masing-masing terdapat tugu berwarna kuning sebagai penandanya. Ketiga puncak tersebut yakni Puncak Kenteng Songo, Puncak Trianggulasi, dan Puncak Syarif. Namun pada Tektok kali ini kami hanya mendatangi puncak Syarif saja untuk menghemat waktu dan tenaga meski kedua puncak lainnya telah tampak dari puncak sini. 

Mengingat posisi matahari telah berada di atas kepala dan kabut yang sudah mulai turun, maka setelah menyantap perbekalan dan mendokumentasikan kegiatan di puncak, rombongan kami pun akhirnya turun. 45 menit waktu yang sudah kami habiskan di puncak, rasanya sudah cukup.

Sekilas agak aneh untuk sebagian orang, apalagi yang tidak terbiasa mendaki gunung. Bagaimana tidak, perjalanan membutuhkan waktu lebih dari empat jam menuju puncak, namun ketika sampai di sana, kami hanya menghabiskan waktu ala kadarnya. Sebentar saja untuk makan dan berfoto. Tapi bagi mereka yang menyukai kegiatan di luar ruangan, hal terpenting justru adalah proses perjalanannya.

Saat hendak turun, rombongan kami memutuskan memilih jalur yang berbeda dengan pertimbangan jalurnya lebih aman dan landai walau kita harus berputar arah. Namun pemandangan melalui jalur yang akan bertemu di Pos 4 ini tidak kalah indahnya. Hamparan sabana hijau memanjakan mata yang membuat kita benar-benar menikmati perjalanan turun tanpa harus tergesa-gesa.

Monumen penghormatan di helipad
Monumen penghormatan/Ammar Mahir Hilmi

Pada jalur turun antara Pos 4 dan Pos 3 ini pula terdapat mata air yang dapat kita minum langsung. Saya pun tidak ingin ketinggalan merasakan kesegaran air pegunungan ini. Bahkan saya mengisi kembali tumbler saya hingga penuh dan membawanya sepanjang perjalanan turun bahkan hingga tiba kembali di Yogyakarta. Di jalur ini pula saya bersama Pak Hartanto dan Dwi menyempatkan singgah dan berfoto sejenak di helipad yang terdapat di jalur ini. Helipad ini difungsikan sebagai tempat mendarat helikopter untuk keperluan evakuasi ketika dalam kondisi darurat.

Perjalanan turun
Perjalanan turun/Ammar Mahir Hilmi

Setelah kurang lebih 2,5 jam perjalanan turun dari puncak atau tepat pukul dua siang, kami akhirnya tiba lagi di basecamp dengan selamat dan lengkap berjumlah enam orang seperti di awal perjalanan. Sejenak melemaskan otot-otot yang sempat menegang akibat perjalanan naik turun gunung dengan ketinggian di atas 3.000 mdpl sebelum pulang meninggalkan basecamp. Sebuah perjalanan pendakian yang mungkin lebih tepat disebut latihan fisik.

Aktivitas ini memang membutuhkan persiapan fisik dan mental untuk memulainya. Walau otot terasa nyeri setelahnya, namun kesan yang didapatkan selama perjalanannya membuat kita tiada henti ingin mengulanginya lagi. Benar kata orang-orang, keindahan Merbabu membuat kita ketagihan dan ingin kembali lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/feed/ 0 35173
Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (2) https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-2/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-2/#respond Mon, 25 Jul 2022 02:55:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34707 Waktu telah menunjukkan pukul dua siang ketika rombongan telah sampai di pos lima yang merupakan camp area dengan kapasitas sekitar 20-25 tenda. Pada rencana awal, tim kami akan mendirikan tenda di pos tujuh dengan pertimbangan...

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Waktu telah menunjukkan pukul dua siang ketika rombongan telah sampai di pos lima yang merupakan camp area dengan kapasitas sekitar 20-25 tenda. Pada rencana awal, tim kami akan mendirikan tenda di pos tujuh dengan pertimbangan tidak memakan waktu lama untuk sampai ke puncak. Namun dengan pertimbangan stamina yang telah terkuras serta cuaca yang mendung, tim akhirnya memutuskan untuk mendirikan tenda di pos lima. Sehingga, waktu istirahat lebih banyak dan kami pun bisa mendapat tidur yang cukup untuk summit di keesokan harinya.

Tampak beberapa rombongan pendakian lainnya juga memutuskan untuk mendirikan tenda di pos ini. Bagi yang tidak terbiasa dengan pendakian dan suasana berkemah, di sinilah keunikan sekaligus keutamaan dari kegiatan di alam terbuka tampak. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun kehangatan interaksi antar sesama pendaki tetap terjalin di tengah dinginnya udara ketinggian. 

Di tengah hutan dengan segala keterbatasannya, semua golongan melebur menjadi satu tanpa ada sekat-sekat yang memisahkan. Sungguh tidak ada yang bisa disombongkan di hadapan alam. Kita hanyalah butiran kecil yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan alam. Suasana camping benar-benar menggambarkan tidak adanya sekat yang membatasi kita antar sesama manusia, semuanya sama.

***

Alarm smartphone membangunkan kami dari tidur lelap di dalam tenda ketika waktu telah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Pertanda sudah saatnya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Suasana masih gelap gulita ketika kami telah memulai summit untuk mencapai puncak Slamet. 

Berbekal alat penerangan, kami kembali menyusuri jalur pendakian dengan ditemani suhu dingin yang membuat tubuh menggigil. Jelas kemampuan untuk mengontrol suhu tubuh agar tetap terjaga sangat dibutuhkan di kondisi ini. Ketika merasa lelah, sesekali kita harus singgah beristirahat, mengatur nafas serta irama jantung dan paru-paru. Namun di sisi lain, dinginnya udara juga menjadi tantangan untuk tidak berhenti terlalu lama agar tidak terkena hipotermia.

Vegetasi Rapat
Vegetasi yang rapat/Ammar Mahir Hilmi

Tidak jauh berbeda dengan jalur sebelum camp area, kondisi jalur selanjutnya masih didominasi oleh vegetasi yang rendah dan rapat. Kencangnya angin kian terasa seiring dengan semakin berkurangnya pepohonan yang menandakan jalur sebentar lagi akan memasuki batas vegetasi. Perlahan cahaya jingga pun mulai tampak dari ufuk timur ketika tim telah memasuki area pelawangan atau yang bermakna perbatasan. 

Sesuai namanya, area ini merupakan batas vegetasi dimana tumbuhan tidak ditemukan lagi dan kondisi jalur berganti menjadi bebatuan dan kerikil. Kewaspadaan harus ditingkatkan ketika memasuki area ini. Selain memperhatikan pijakan pada trek yang didominasi batuan dan kerikil, kita juga harus senantiasa waspada pada bebatuan yang bisa saja meluncur dari arah depan tanpa kita duga.

Sinar mentari pagi perlahan memberi kehangatan ketika kami telah melewati setengah perjalanan dari trek berbatu dan berkerikil ini. Sesekali kami terdiam sejenak, beristirahat sembari memandangi indahnya pemandangan dan sejuknya udara pagi pegunungan. Suasana yang membuat kita candu akan pendakian, yang membuat kita tiada hentinya untuk kembali mendaki gunung lagi dan lagi. 

Puncak Gunung Slamet
Puncak Gunung Slamet/Ammar Mahir Hilmi

Langkah demi langkah tidak terasa semakin mendekatkan kami pada puncak Gunung Slamet. Setelah kurang lebih tiga jam perjalanan dari camp area berjuang melewati trek berkerikil yang sangat menguras tenaga, kami akhirnya sampai di puncak Gunung Slamet pada ketinggian 3428 meter di atas permukaan laut.

Angin kencang dan kabut tipis yang sempat menyelimuti puncak perlahan menghilang sehingga membuat kita dapat menyaksikan pemandangan dari puncak Gunung Slamet. “Sungguh nikmat Tuhan mana lagi yang hendak engkau dustakan,” merupakan kalimat yang sering saya ucapkan dalam hati setiap kali berhasil meraih puncak dan melihat pemandangan yang indah di bawah. 

Dinamai Gunung Slamet karena penduduk setempat percaya bahwa gunung merupakan bagian dari bumi yang membawa keselamatan sehingga kelestarian flora dan fauna di dalamnya harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dengan merawat kelestarian alam di sekitarnya, Gunung Slamet pun juga akan memberikan keselamatan pagi penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Mengingat batas aman berada di puncak maksimal pukul sembilan pagi, maka beres mendokumentasikan perjalanan di puncak, kami pun akhirnya memutuskan turun untuk kemudian selanjutnya bersiap-siap pulang kembali ke rumah. Sungguh kegiatan pendakian gunung yang akan selalu memberi kesan dan cerita tersendiri di balik peristiwanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-2/feed/ 0 34707
Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (1) https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-1/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-1/#respond Sun, 24 Jul 2022 02:19:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34706 Pendakian bukanlah tentang perlombaan siapa yang paling cepat sampai ke puncak untuk saling unjuk kebolehan. Bukan pula saling merendahkan untuk mencapai level tertinggi. Pendakian sejatinya tentang menikmati seluruh proses yang ada di setiap langkahnya, tentang...

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pendakian bukanlah tentang perlombaan siapa yang paling cepat sampai ke puncak untuk saling unjuk kebolehan. Bukan pula saling merendahkan untuk mencapai level tertinggi. Pendakian sejatinya tentang menikmati seluruh proses yang ada di setiap langkahnya, tentang bersyukur dan bersujud syukur rapat ke arah bumi, namun didengarkan oleh penghuni langit. 

Ajakan kawan dari Magelang dan Semarang tidak mampu saya tolak untuk kembali mendaki ke Gunung Slamet via Bambangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 3428 meter di atas permukaan laut ini telah saya kunjungi sebelumnya di bulan September 2018 lalu. Statusnya sebagai puncak tertinggi kedua di Pulau Jawa membuat saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk kembali berkunjung. Momen ini juga merupakan kali pertama saya kembali mendaki dan ngecamp di tahun 2022. Sebelumnya, saya hanya bisa merasakan tektok atau pendakian tanpa kemping di Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah pada bulan April lalu.

Langit malam Yogyakarta masih gerimis ketika saya berangkat mengendarai sepeda motor menuju Magelang (Senin, 13 Juni 2022) untuk berkumpul dengan rombongan lainnya. Kami menjadikan rumah Pak Hartanto sebagai titik kumpul dan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju basecamp Bambangan keesokan harinya. Di sini telah berkumpul juga Tri dan Yogi dari Semarang yang menggenapkan jumlah rombongan kami sebanyak empat orang. Jumlah yang sekiranya telah pas untuk satu tenda kapasitas lima orang.

Keberangkatan dari Magelang menuju Purbalingga dimulai pada pukul 04.00 dini hari (Selasa, 14 Juni 2022) dengan menggunakan kendaraan roda empat yang telah dicarter sebelumnya dan diantar oleh sopir yang juga bernama Pak Tri. Lama perjalanan memakan kurang lebih tiga jam hingga tiba di basecamp. Waktu yang cukup untuk melanjutkan tidur ketika kondisi masih setengah mengantuk dikarenakan harus bangun dan berangkat dini hari.

Mentari pagi telah menampakkan dirinya dari sisi timur ketika rombongan kami telah tiba di basecamp Bambangan, Kabupaten Purbalingga. Cuaca cerah telah cukup memberi kehangatan bagi rombongan kami dan rombongan pendaki lainnya untuk memulai pendakian pada hari itu juga. Dengan membayar retribusi Rp25.000 per orang dan meninggalkan kartu identitas salah satu anggota rombongan pendaki, kita dapat menjelajahi serta menikmati keasrian dan kesejukan hutan Gunung Slamet yang konon bagi penduduk setempat dipercaya sebagai “paku” Pulau Jawa. 

Hutan Slamet
Hutan Slamet/Ammar Mahir Hilmi

Atas keinginan untuk menghemat tenaga dan waktu, serta untuk membantu penduduk setempat, maka rombongan kami memutuskan untuk menyewa jasa ojek yang bersedia mengantarkan para pendaki dari basecamp hingga menjelang pos satu. Tarif dari jasa ini yaitu Rp30.000 per orang. Harga yang sebanding dengan skill dan kemampuan tukang ojek dalam mengendarai motornya di trek yang berlumpur serta menanjak. 

Layaknya gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa, lereng Gunung Slamet sebelum memasuki hutan didominasi oleh perkebunan penduduk dengan berbagai macam jenis sayuran. Begitupun ketika telah mulai memasuki hutan, pepohonan rimbun serta vegetasi rapat telah menyambut para pendaki di sepanjang jalur pendakian. Melansir dari berbagai sumber, hutan Gunung Slamet merupakan satu dari sekian hutan di Pulau Jawa yang masih dihuni oleh macan tutul, salah satu spesies dilindungi dan terancam punah.

Seperti jalur pendakian lainnya, pos satu hingga pos tiga jalur pendakian Gunung Slamet juga terdapat warung yang dikelola oleh penduduk sekitar. Keberadaan warung-warung ini telah sedikit mengurangi beban para pendaki sehingga tidak harus membawa logistik terlalu banyak. Terkait harga, tentunya akan ada perbedaan dengan harga di warung pada umumnya. Namun harga yang dipatok oleh para pemilik warung kiranya sebanding dengan usaha mereka untuk mengangkut barang dagangan dari perkampungan masing-masing.

Cuaca yang mulanya cerah perlahan mendung, kemudian menjadi hujan, air perlahan membasahi hutan Gunung Slamet. Alhasil, rombongan secara refleks mengeluarkan mantel masing-masing agar hujan yang turun tidak membasahi pakaian, logistik, serta peralatan elektronik yang kami bawa. Namun ternyata hujan tidak berlangsung lama, hanya sekitar 30 menit. Hujan berhenti ketika tim sedang beristirahat di pos tiga sekitar pukul 11.00. Setelahnya, suasana hutan cenderung berkabut tipis beserta angin yang bertiup perlahan menambah suasana sejuk tapi dingin khas pegunungan.

Kabut Tipis
Kabut tipis di hutan/Ammar Mahir Hilmi

Jika jalur pendakian dari basecamp hingga pos tiga didominasi oleh perkebunan dan hutan-hutan dengan pohon tinggi dan rindang, lain halnya kondisi trek setelah pos tiga. Vegetasi yang rendah dan rapat mendominasinya. Bahkan di beberapa kondisi jalur hanya mampu dilalui oleh satu orang saja. 

Kami berjalan sambil menunduk dan memperhatikan langkah kaki. Jalur pendakian setelah pos tiga benar-benar menuntut kita untuk berhati-hati, jangan sampai terpeleset ataupun tersangkut di dahan-dahan ilalang. Saking sempitnya, kadang kita harus setengah membungkuk ketika berjalan agar tas carrier di punggung tidak tersangkut karena rapatnya vegetasi.

Sungguh jalur yang banyak menguras energi! Pandangan kita dituntut untuk melihat kedua arah sekaligus. Melihat ke atas untuk memastikan carrier tidak tersangkut dan melihat ke bawah untuk mendapatkan pijakan yang tepat agar tidak terpeleset.Rapatnya vegetasi juga mengakibatkan jalur yang semulanya terang menjadi remang bahkan gelap walau jam masih menujukkan waktu masih siang. Beruntungnya kami yang mendaki di waktu weekday, jadi kami sedikit diuntungkan dengan kondisi jalur yang lumayan sepi sehingga kami tidak harus sering-sering berpapasan dan berbagi jalan dengan rombongan pendaki lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-1/feed/ 0 34706
Realita Pembangunan Kawasan Gunung https://telusuri.id/realita-pembangunan-kawasan-gunung/ https://telusuri.id/realita-pembangunan-kawasan-gunung/#respond Mon, 27 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31063 Kawasan gunung seperti Puncak, Bogor, sudah tak asing di telinga. Salah satunya karena menjadi tujuan wisata bagi warga ibu kota. Nyatanya tidak hanya Ada lebih dari 400 gunung yang membentang dari Sabang sampai Merauke, 100-an...

The post Realita Pembangunan Kawasan Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan gunung seperti Puncak, Bogor, sudah tak asing di telinga. Salah satunya karena menjadi tujuan wisata bagi warga ibu kota. Nyatanya tidak hanya

Ada lebih dari 400 gunung yang membentang dari Sabang sampai Merauke, 100-an diantaranya masih aktif. Selain banyak gunung-gunung tinggi untuk didaki, ada juga kawasan gunung seperti Puncak, Bogor, sudah tak asing di telinga—dan menjadi kawasan tujuan wisata. Tidak hanya Puncak saja, banyak kawasan gunung lainnya yang kini menjadi tujuan wisata.

Lalu, apa yang terjadi ketika kawasan gunung dijadikan kawasan wisata? Bagaimana dengan dampaknya?

Gunung Bromo-Unsplash-Azkiya Alfaini
Gunung Bromo via Unsplash/Azkiya Alfaini

Manfaat Kawasan Gunung

Menurut KBBI, gunung merupakan bukit yang sangat besar serta tinggi, bahkan tingginya lebih dari 600 meter. Keberadaan gunung di kehidupan manusia menduduki beberapa peran, yakni penyedia pangan, penyedia bermacam sumber daya, rumah bagi masyarakat adat, sebagai daerah konservasi, serta tentunya untuk tujuan pariwisata.

Beberapa bahan makanan tertentu hanya bisa ditanam di dataran tinggi. Hal itu berarti gunung berfungsi untuk menjaga ketersediaan bahan pangan. Tidak hanya untuk wilayah sekitar, tetapi juga wilayah lain, termasuk daerah urban. Misalnya teh, kopi, sayur mayur, beragam jenis buah-buahan, dan sebagainya. Terkadang bukan tidak bisa ditanam di dataran rendah, tetapi bahan pangan tertentu lebih bermutu dan berkualitas bila ditanam di kawasan gunung. Bahkan, terdapat survei yang menunjukkan bahwa 30% jenis tanaman yang merupakan bahan pangan dunia berasal dari daerah dataran tinggi.

Gunung memasok 60-80 persen air tawar dunia. Sehingga, gunung adalah harapan bagi miliaran penduduk bumi. Sejumlah negara yang membutuhkan air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air mengandalkan air dari pegunungan. Hal ini juga memunculkan anggapan bahwa lebih dari setengah populasi dunia bergantung pada ketersediaan air di kawasan gunung.

Tak sedikit masyarakat yang tinggal di kawasan gunung. Oleh karena itu, gunung pun menjadi rumah bagi masyarakat. Sebagian besar masyarakat ini juga menggantungkan hidup dengan bercocok tanam. Meskipun, kaum muda biasanya memilih pergi ke kota dengan angan kehidupan lebih baik. Di samping itu, komunitas masyarakat adat juga seringkali dijumpai di kawasan gunung. Merekalah yang berjasa melestarikan tradisi, budaya, maupun alam pegunungan. 

Beberapa gunung di dunia telah menjadi wilayah konservasi keanekaragaman hayati. Bahkan, gunung-gunung tersebut ada yang sudah dijadikan Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Gunung memiliki hutan yang merupakan tempat bagi 25% hayati dunia. Selain itu, hutan tersebut juga menjadi tempat bagi beragam makhluk hidup yang tidak bisa bertahan bila ditempatkan di lokasi lain. Pohon-pohon di hutan yang ada di pegunungan itu krusial untuk mengatur keseimbangan kehidupan. Misalnya menyerap air hujan maupun mencegah erosi.

Kawasan gunung menjadi destinasi wisata bagi masyarakat di sekitar. Pegunungan menarik 15-20% dari pariwisata dunia. Gunung yang dijadikan tujuan wisata pun mampu mendongkrak perekonomian masyarakat pegunungan. Besarnya kunjungan wisatawan dari dataran rendah menuju dataran tinggi menjadikannya primadona. Sehingga, peluang modernisasi kawasan gunung cukup tinggi. Pembangunan demi menunjang kebermanfaatan gunung untuk pariwisata tak bisa dihindarkan.

Panorama Gunung-Unsplash-Hamzah Hanafi
Panorama Gunung via Unsplash/Hamzah Hanafi

Pembangunan Masif dan Dampak Lingkungan

Demi menyokong sektor pariwisata, infrastruktur memadai sangatlah diperlukan. Hal tersebut agar wisatawan yang datang merasa nyaman. Pembangunan masif pun dijalankan. Mulai dari perbaikan sarana prasarana yang ada, sampai penyediaan sarana prasarana baru. Misalnya pembangunan penginapan, restoran, serta daerah wisata alam.

Namun dalam pembangunannya, dampak lingkungan sering dilupakan. Para pihak berpendapat bahwa pembangunan acap kali mengabaikan aspek kelestarian lingkungan, hanya mengejar tercapainya pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat dari kesalahan dalam AMDAL yang disusun. Di samping polemik AMDAL, pembangunan di kawasan gunung kerap menyebabkan alih fungsi lahan.

Pertama, kawasan hutan dipugar. Rusaknya kawasan ini dapat memicu bencana alam yang merugikan. Contoh saja erosi atau tanah longsor. Selain itu, hutan adalah tempat tinggal bagi tumbuhan maupun satwa. Hilangnya hutan berarti hilangnya tempat tinggal mereka. Satwa liar bisa saja masuk ke pemukiman warga.

Kedua, pohon yang ditebang untuk pembukaan lahan menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Banjir pun lebih mudah terjadi. Tata air tanah rusak, sehingga menyebabkan krisis air sebagai dampak terburuknya. Di samping itu, berkurangnya pohon berarti juga kualitas udara turun. Karbon dioksida tidak bisa diserap dengan baik. Kenaikan suhu udara mungkin terjadi. Perlu dicatat, pencemaran udara terus-menerus dapat mengancam kehidupan manusia.

Ketiga, lahan pertanian berkurang. Jika lahan pertanian berkurang, ketersediaan pangan pun turun. Tentunya akan merugikan masyarakat serta negara. Dampak terburuknya bisa saja negara sampai mengimpor bahan pangan yang seharusnya sudah tercukupi dari dalam negeri.

Pembangunan wisata terjadi di kawasan gunung, salah satunya Gunung Galunggung. Pembangunan guna pengembangan pariwisata di sana perlu dikaji baik-baik. Kalau tidak, alih fungsi lahan yang terjadi akan berakibat fatal. Hal tersebut karena kawasan wisata berada pada daerah aliran lahar dari Gunung Galunggung. Oleh karena itu, pengembangan wisata di Gunung Galunggung harus tetap menjaga kelestarian hutan dan mata air.

Restoran Konsep Tradisional-Unsplash-Mufid Majnun
Restoran dengan konsep tradisional via Unsplash/Mufid Majnun

Minimalisasi Degradasi Lingkungan

Pembangunan infrastruktur seharusnya berbasis lingkungan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Pembangunan ini harus dipikirkan dengan cermat untuk mengembangkan potensi wilayah secara optimal. Beragam cara perlu diusahakan demi kelestarian alam. Namun, hal itu tentu harus disertai dengan kesadaran masyarakat.

Salah satu cara jitunya adalah dengan mengembangkan pariwisata berbasis ekologi di kawasan gunung. Ekowisata atau ekoturisme merupakan kegiatan pariwisata berwawasan lingkungan yang mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal, serta pendidikan. Munculnya ekowisata ini diawali dari adanya kerusakan alam akibat pariwisata konvensional. Mulanya ekowisata ini dilakukan dengan membawa wisatawan ke objek wisata dengan cara ramah lingkungan.

Menurut The International Ecotourism Society, ada enam prinsip ekowisata. Pertama, ekowisata meminimalisasi dampak wisata massal terhadap lingkungan. Kedua, pengembangan ekowisata membangun kepedulian masyarakat atas lingkungan. Ketiga, ekowisata mampu memberikan pengalaman positif bagi wisatawan serta warga lokal. Keempat, ekowisata menunjang finansial untuk konservasi. Kelima, pengembangan ekowisata memberdayakan warga lokal. Terakhir, ekowisata meningkatkan sensitivitas terhadap iklim politik, sosial, maupun lingkungan pada negara tuan rumah.

Kaitannya dengan manfaat konservasi, penerapan ekowisata terbukti berkorelasi positif terhadap konservasi. Sehingga, efektif dalam melestarikan maupun melindungi warisan alam di bumi. Untuk tujuan ekonominya, ekoturisme dimaksudkan membuka lapangan kerja serta memberdayakan masyarakat lokal guna mengurangi angka kemiskinan. Dalam aspek pendidikan, ekowisata memperkaya ilmu alam serta meningkatkan kesadaran atas lingkungan. Kegiatan ekoturisme ini disertai pemahaman dan penghargaan untuk alam maupun masyarakat.

Contoh pengembangan ekowisata yang ada di Indonesia terjadi di Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Luas wilayahnya mencapai 7.003 hektare dengan jumlah penduduk 45.663 jiwa tahun 2018. Tawangmangu memang memiliki sejuta pesona, apalagi lokasi ini merupakan kawasan Gunung Lawu. Berdasarkan penelitian, terdapat beberapa daerah wisata yang dikembangkan jadi ekowisata, missal Grojogan Pringgodani, Puncak Lawu, Perkemahan Sekipan, Grojogan Sewu, hingga Sendang Cemplung.

Meskipun banyak destinasi wisata yang mengklaim diri sebagai ekowisata, tidak semua memenuhi ketentuan. Oleh karena itu, perlu usaha lebih demi mendukung pariwisata berbasis ekologi dengan pertimbangan aspek keberlanjutan untuk tetap melestarikan alam.

Kawasan gunung memang punya pesona tersendiri di mata masyarakat. Kunjungan wisata ke gunung pun mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi. Namun, bukan berarti pariwisata tersebut hanya semata-mata bertujuan komersial. Pelestarian alam di kawasan gunung dan kesejahteraan masyarakat lokal harus diperhatikan. Seyogyanya, pariwisata alam berjalan sejajar dengan upaya pelestarian alam. Pariwisata tumbuh, alam sembuh!


Gloria. (2018, Mei 25). Pelaksana Pembangunan Harus Perhatikan Dampak Lingkungan. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/16280-pelaksana-pembangunan-harus-perhatikan-dampak-lingkungan-hidup

Mardatila, Ani. (2021, Maret 12). 6 Manfaat Gunung bagi Kehidupan Manusia dan Lingkungan yang Jarang Diketahui. Diakses dari https://m.merdeka.com/sumut/manfaat-gunung-bagi-kehidupan-manusia-dan-lingkungan-yang-jarang-diketahui-kln.html

Mukhsin, Dadan. (2014). STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA GUNUNG GALUNGGUNG. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 14(1), 1-11 https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/planologi/article/view/2549

Rachmanto, E. & Aliyah, I. (2018). PARIWISATA DI DAERAH PEGUNUNGAN: PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN LINDUNG BERDASARKAN KEMAMPUAN LAHAN. Cakra Wisata, 19(1), 26-38 <https://jurnal.uns.ac.id/cakra-wisata/article/view/34116>Weisse, M. & Goldman, E. (2019, April 25).

Dunia Kehilangan Hutan Primer Seluas Belgia di Tahun 2018. Diakses dari https://wri-indonesia.org/id/blog/dunia-kehilangan-hutan-primer-seluas-belgia-di-tahun-2018


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Realita Pembangunan Kawasan Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/realita-pembangunan-kawasan-gunung/feed/ 0 31063
Perjalanan ke Gunung Butak https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/#respond Fri, 03 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31514 Kedua kalinya saya mendaki, kali ini saya bersama teman-teman mendaki ke Gunung Butak yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Blitar. Sebelumnya saya tidak ada rencana untuk trekking, karena sudah mau pulang ke kampung halaman....

The post Perjalanan ke Gunung Butak appeared first on TelusuRI.

]]>
Kedua kalinya saya mendaki, kali ini saya bersama teman-teman mendaki ke Gunung Butak yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Blitar. Sebelumnya saya tidak ada rencana untuk trekking, karena sudah mau pulang ke kampung halaman. Tapi kapan lagi saya akan melakukan trekking jika tidak mengiyakan ajakan ini. Hampir saya menolak, tapi lebih banyak niat untuk mengiyakannya, kemudian saya melakukan negosiasi dengan orang tua. Barulah saya bergegas untuk ikut.

Rombongan kami berjumlah tujuh orang, tiga perempuan dan empat laki-laki. Kami berangkat dari Kota Malang dengan titik kumpul di daerah Tlogomas, rencana untuk kumpul ialah jam 06.30. Tapi seperti biasalah jam kami, adalah jam karet. Terdapat beberapa hal sehingga kami tidak tepat waktu, sehingga kami semua baru sampai di titik kumpul sekitar jam 08.30. Kemudian kami melakukan perjalanan untuk ke basecamp, dan tiba pukul 09.30. Sesampainya kami sampai di basecamp, kami melakukan pendaftaran dan packing ulang, karena ada beberapa barang yang harus di tata kembali. Tiket masuk untuk satu orang seingat saya adalah Rp15.000.

Pendakian dimulai kurang lebih pukul 10.00. Sebelum perjalanan mendaki kami melakukan doa bersama. Sebelumnya, tidak ada satupun dari kami yang pernah menuju Puncak Butak, sehingga kami masih buta tentang trek untuk menuju puncak dan kami mengandalkan peta yang sudah kami foto di basecamp.

Peta Gunung Butak
Peta Gunung Butak/Cindar Bumi

Ketinggian Gunung Butak 2.868 Mdpl, medan pertama yang kami lewati merupakan batuan kecil-kecil dan banyak pohon bambu, pisang dan sedikit tanaman pertanian, mungkin kurang lebih sekitar tiga puluh menit perjalanan kami nyasar. Ya, ini kesalahan kami memilih jalur kanan, yang harusnya ke kiri. Kami baru tahu kalau jalan yang kami lewati salah karena bertemu dengan seorang bapak-bapak sedang mengendarai motor dan membawa hasil ngarit rumput.

Beliau mengatakan bahwa “Mas-Mbak sampean nyasar kalau lewat sini, karena kalau lewat jalan ini, nanti tembusannya wisata Coban Rondo,” ketika kami tahu, bahwa kami salah jalan ya kami hanya tertawa dan mungkin semua ngebatin “Kok bisa sih, gimana ini yang baca peta?” Tapi tidak apa, rasanya juga sama semua mulai lelah, letih dan lesu. Tertawa lagi dan lagi sembari jalan putar balik, lanjut menelusuri jalan kesalahan untuk menuju jalan yang benar. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini, ini konsekuensi pilihan kami.

Lanjut perjalanan saat itu matahari sedang terik-teriknya. Kami tetap harus menjaga semangat untuk sampai di puncaknya nanti, begitu juga turunnya. Menuju Butak terdapat empat pos, untuk menuju pos pertama estimasi waktu yang diperlukan adalah satu jam, namun kami menempuh dengan waktu dua jam, waktu terpotong karena sempat nyasar.

Perjalanan untuk menuju pos satu, semakin terik semakin terasa pula jauhnya, entah kenapa kami tidak sampai-sampai. Padahal kami terus berjalan, meskipun sering istirahatnya. Jargon atau motivasi kami untuk menuju pos satu adalah “semangat di depan ada es teh”.

Sesampainya kami di pos satu, disana kami melakukan makan siang dengan nasi pecel yang sudah dibawakan oleh salah satu anggota kami, setelah makan ada yang menunaikan ibadah dan menyeduh minuman saset rasa jeruk yang airnya berasal langsung dari sumber mata air. Suasana di pos satu, waktu itu tidak ramai oleh pendaki, hanya terdapat dua kelompok pendaki, mungkin kurang lebih satu kelompok berisi empat sampai lima personil, mereka juga akan melakukan perjalanan menuju Puncak Butak.

Di pos satu terdapat renovasi rumah-rumahan yang mungkin akan dijadikan tempat untuk persinggahan bagi para pendaki untuk melakukan istirahat. Saat kami istirahat di sana terlihat beberapa monyet yang sedang memperhatikan para pendaki, beberapa diantaranya duduk-duduk di atas pohon dan beberapa di pelataran pos satu.

Saat di pos satu kami diberitahu oleh salah satu penjaga warung bahwa jangan memberi makan monyet-monyet di sini, jika mau makan usahakan tidak ada monyet yang mengetahui, supaya makanan tidak direbut. Tujuan dari tidak diperbolehkannya memberi makan monyet adalah dikhawatirkan nantinya mereka akan mengambil atau menjadi terbiasa meminta makanan para pendaki. Di pos satu ini kami akhirnya menitipkan beberapa botol minuman, karena bekal air minum yang kita bawa terlalu banyak.

Gunung Panderman yang terlihat saat kami perjalanan
Gunung Panderman yang terlihat saat kami perjalanan/Cindar Bumi

Lanjut perjalanan menuju pos dua, belum ada lima belas menit kami berjalan. Terdapat dua teman saya yang kakinya kram, sehingga kami sering berhenti. Kram kaki mereka bisa jadi disebabkan oleh kebanyakan minum es, atau mungkin beban yang dibawa terlalu berat. Saat sampai di pos dua kami disini dapat melihat pemandangan Gunung Panderman.

Perjalanan menyusuri untuk sampai pos tiga merupakan perjalanan yang amat panjang, benar-benar panjang. Kami harus melalui Torong Dowo atau Hutan Lumut. Cahaya yang masuk di hutan lumut tidak begitu banyak, sehingga cahaya sedikit redup, redupnya cahaya ini semakin membuat hutan terlihat hijau namun gelap. Kanan-kiri banyak pepohonan dan bebatuan yang diselimuti oleh lumut, karena cahaya hanya sedikit yang masuk, rasa dingin sudah mulai terasa. 

Hari mulai gelap, sekitar pukul 17.30, kami masih belum sampai puncak atau sabana tempat yang merupakan destinasi untuk membangun tenda, estimasi yang kita gunakan sangat tidak tepat, alias meleset dari rencana. Semakin gelap, semakin lelah terasa, baru jalan dua menit, kami istirahat bisa menghabiskan lima sampai sepuluh menit, dan menurut saya medan semakin tinggi.

Kabut juga sudah mulai berdatangan, matahari mulai terbenam dan kami berjalan menggunakan senter dan flash ponsel masing-masing. Dalam benak saya yang benar-benar lelah “Saya bakal sampai puncak enggak ya?”

Lanjut berjalan, hingga kami memutuskan untuk membangun dua tenda di pos tiga, di sana yang laki-laki mulai melakukan pekerjaan domestic yaitu memasak makanan dan membuat minuman hangat. Sedangkan kami yang perempuan hanya berdiam diri di tenda. Ketika kami yang perempuan ingin membantu, mereka yang laki-laki bilang Udah nggak usah, di tenda saja!”

Menyenangkan, tapi agak merasa jadi beban juga, sebenarnya kami ingin melanjutkan lagi perjalanan sampai pos terakhir, tapi salah satu ketua pendaki veteran kita bilang “Udah besok saja, resikonya terlalu banyak, ini udah gelap, gerimis, dan kabut”. Oke tidak masalah, setelah kami makan malam, kami istirahat.

Keesokan harinya, saya merasa suhu udara sangat dingin, akhirnya saya menggunakan empat jaket, satu vest, tiga kaos kaki, dan sarung tangan tebal. Setidaknya ini membantu saya sedikit lebih hangat. Hari itu saya benar-benar ingin sekali matahari menampakan dirinya, agar saya merasakan hangatnya. Namun sayang sekali, mendung. Semakin mendekati puncak, angin semakin kencang. Saat menuju ke pos terakhir, saya benar-benar banyak berhentinya. Sampai akhirnya tas yang seharusnya menjadi kewajiban untuk saya bawa, dibawakan oleh rekan saya.

Bunga Edelweiss
Bunga Edelweiss/Cindar Bumi

Mau nangis rasanya saat benar-benar merasakan kedinginan, mungkin ini lebay, tapi memang dingin sekali.  Ada sesuatu yang membuat saya menjadi sedikit lebih semangat waktu itu, saya diberikan kesempatan oleh Tuhan melihat bunga edelweiss yang mulai bermekaran. Di sini saya baru tahu bahwa tanaman edelweiss ini bisa tinggi, mungkin tiga sampai lima meter. Entah kenapa rasanya senang saja, ketika melihatnya. Mood saya seketika membaik.

Sesampainya di puncak Cemoro Kandang atau Sabana sekitar pukul 09.00, kami membangun satu tenda untuk beristirahat. Menyalakan kompor untuk memasak sarapan sekaligus makan siang, lalu tak ketinggalan untuk mendokumentasikan perjalanan ini.

Sekitar pukul 12.00 kami mulai membereskan peralatan masak dan tenda. Sekali lagi sangat-sangat sayang, kami semua tidak ada yang summit menuju Puncak Butak, karena kami sudah terlanjur tepar terlebih dahulu. Kami juga menyimpan energi untuk turun ke basecamp.

Perjalanan turun memang lebih cepat nyatanya, tapi kami sampai di pos satu hari sudah mulai gelap. Saat itu juga, alam ini sedang kurang bersahabat ya dengan kami. Ketua pendaki kami selalu mengatakan “Sebentar lagi kita sampai basecamp, dengarkan ada suara adzan, lihat ada lampu, itu rumah penduduk, di sana ada warung!” Kalimat motivasi tapi sungguh menyebalkan. Karena kalau capek ya capek aja, tapi terima kasih ketua sudah memberi semangat kami. 

Meskipun tidak sampai puncak, tapi terima kasih telah membuat kenangan dengan perjalanan yang panjang meninggalkan kenangan manis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Perjalanan ke Gunung Butak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/feed/ 0 31514