hari bumi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/hari-bumi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 10 Jun 2025 03:30:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 hari bumi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/hari-bumi/ 32 32 135956295 Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/ https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/#respond Fri, 30 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47272 Sekelompok musisi, kreator konten, dan pelaku budaya berkumpul di Bali baru-baru ini. Sebuah langkah kolaboratif sebagai pesan penting untuk Indonesia, bahwa seni bisa menginspirasi masyarakat beraksi mengatasi krisis iklim yang kian melanda bumi. Sejak lama,...

The post Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekelompok musisi, kreator konten, dan pelaku budaya berkumpul di Bali baru-baru ini. Sebuah langkah kolaboratif sebagai pesan penting untuk Indonesia, bahwa seni bisa menginspirasi masyarakat beraksi mengatasi krisis iklim yang kian melanda bumi.


Sejak lama, Bali dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan lingkungan untuk kepedulian iklim di Indonesia. Hal ini timbul salah satunya karena berangkat dari keresahan terhadap masifnya turisme massal (overtourism), yang kemudian berdampak dan membebani keberadaan alam maupun budaya. Selain inisiatif musisi dan seniman lokal, salah satu kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi adalah terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018. Peraturan yang berlaku sejak 1 Juli 2019 ini memuat larangan penggunaan plastik sekali pakai, seperti kantung plastik, sedotan, dan polistirena (styrofoam).

Namun, aksi iklim tidak cukup semata bicara soal sains dan kebijakan, tetapi juga pentingnya membangun cerita yang menggugah. Di Pulau Dewata, sekelompok musisi, kreator konten, dan budayawan membuktikan pesan iklim yang paling kuat kerap datang melalui alunan lagu dan lirik musik, pengalaman hidup, dan budaya sehari-hari. 

Di bulan Mei ini, jaringan Verified Champions1 di Indonesia berkolaborasi dengan IKLIM (Indonesia Climate Communications, Arts and Music Lab) untuk menggaungkan betapa musik dan storytelling bisa mempengaruhi pemahaman publik terhadap krisis iklim. Di ajang ini Robi Navicula dan para inisiator IKLIM berbagi pengalaman betapa gerakan budaya bisa meningkatkan kesadaran akan isu iklim dengan cara yang relevan secara emosional dan lokal.

“Seni dan musik itu masuk langsung ke hati. Ketika kita berbicara mengenai isu iklim dalam lirik dan pertunjukkan, itu bukan lagi edukasi—tetapi sudah jadi seruan untuk sadar dan beraksi,” ujar Gede Robi Supriyanto, vokalis dan gitaris Navicula yang juga aktivis lingkungan. Band beraliran musik grunge asal Bali tersebut dikenal karena kerap berkecimpung di dunia aktivisme sosial dan lingkungan.

“Kita tidak hanya menyanyikan lagi, kita membangun gerakan,” tambah pria yang akrab disapa Robi Navicula itu.

Para peserta Verified Champions mewawancarai Robi Naviculo di studio (kiri) dan foto bersama dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung Ni Made Sulistiawati/Dokumentasi Verified Champions Indonesia

Storytelling sebagai ruh gerakan sadar iklim

Alih-alih menggunakan bahasa-bahasa sains yang rumit, pendekatan dengan gaya bercerita atau storytelling justru lebih ampuh untuk membangun ikatan individu maupun kelompok sosial terhadap isu perubahan iklim. Menurut EcoAmerica, sebuah organisasi nonprofit yang berbasis di Washington dan San Fransisco, storytelling lebih memungkinkan fakta-fakta seputar iklim menjadi dekat dan relevan.2 Salah satunya melalui ekspresi seni, baik itu film, musik, atau pertunjukan kebudayaan lainnya.

Di sisi lain, cerita juga dianggap bisa menumbuhkan empati seseorang—bahkan masyarakat dalam skala luas—terhadap pentingnya kesadaran pada masalah global yang mendera bumi. Para pegiat seni selaku komunikator iklim bisa berbagi cerita, membangkitkan motivasi, hingga mendorong audiens mereka untuk ikut berperan mencari solusi dalam menghadapi perubahan iklim.

Begitu pun Verified for Climate dan IKLIM, yang mempunyai keyakinan serupa bahwa storytelling adalah kunci untuk menyambungkan masyarakat dengan fakta, dan menginspirasi aksi-aksi iklim. Lebih konkret, para Verified Champions menggunakan platform sosial media populer seperti TikTok untuk menceritakan isu iklim yang penuh harapan, bernuansa personal, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sementara IKLIM menggunakan musik, seni, dan ritual budaya demi mendapatkan hubungan emosional yang kuat dengan alam.

“Kami percaya perubahan iklim tidak hanya isu lingkungan, tetapi juga isu budaya,” ujar Saraswati dari IKLIM, yang juga bekerja di Kopernik. “Tradisi, seni, dan nilai spiritual yang kita punya bisa memandu kita mengatasi krisis iklim. Tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan kebersamaan.”

Pendekatan itu dibuktikan di Festival Semarapura yang berlangsung pada 28 April–1 Mei 2025 di Klungkung, Bali Timur. Festival tahunan ini menampilkan pertunjukan musik, pameran kreatif yang melibatkan UMKM kriya maupun kuliner, hingga narasi sadar iklim, yang semuanya berakar dari identitas Bali. Selain tarian pembuka Taksu Buana, sejumlah agenda seru lainnya juga memeriahkan festival, seperti Semarapura Run Ecotourism, atraksi budaya, tur desa wisata, hingga parade kesenian khas Klungkung.

Selain merayakan warisan budaya Bali, dalam festival yang dibuka di Monumen Ida Dewa Agung Jambe—dulu bernama Monumen Puputan Klungkung—para Verified Champions bergabung dengan masyarakat setempat untuk mengeksplorasi persinggungan antara budaya, pariwisata, dan keberlanjutan untuk menghadapi desakan tantangan ekologis. Tujuh kreator konten Tiktok terdaftar yang telah terverifikasi sebagai Verified Champions, yaitu Vania Herlambang (Puteri Indonesia Lingkungan 2018), Ikbal Alexander (pendiri Kertabumi Recycling Center), Cynthia Suci Lestari (pendiri Lyfe with Less), Vanessa Budihardja (instruktur fitness Bali), Rafael Deus (kreator pelawan misinformasi lingkungan), Widia Anggia Vicky (kreator konten zero waste dari rumah), dan Dheamyra Aysha (kreator advokasi tata kota). 

Ni Made Sulistiawati, S.H., M.H., Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung, menyatakan Festival Semarapura merupakan contoh nyata bahwa tradisi dan inovasi dapat bersatu untuk membangkitkan kesadaran dan aksi iklim. Kolaborasi antara kreator muda dan tokoh budaya membawa energi baru dalam upaya keberlanjutan aksi iklim, khususnya di Bali. “Acara seperti ini mengingatkan kita bahwa menjaga lingkungan bukan hal yang terpisah dari budaya—justru menjadi bagian dari jati diri kita,” ujarnya.

Kegiatan produksi konten oleh salah satu kreator Verified Champions saat festival (kiri) dan kemeriahan pertunjukan musik sebagai bagian dari Festival Semarapura 2025/Dokumentasi Verified Champions

Suar optimisme dari para Verified Champions

Meski latar belakang masing-masing Verified Champions berbeda, tetapi visi aksi iklim tetap sama, yakni menyuarakan ajakan dan harapan tentang kepedulian iklim. Mereka mendokumentasikan dan memproduksi konten digital yang menyoroti solusi iklim lokal. Terutama berangkat dari ruang kreatif hingga inisiatif keberlanjutan berbasis komunitas.

Dalam kacamata ASEAN Community-based Climate Action, masyarakat atau komunitas lokal sebagai Non Party Stakeholders (NPS) dalam aksi iklim secara global. Peran dan partisipasi aktif komunitas sangat penting untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim di tingkat tapak. Termasuk di antaranya aksi digital kolaboratif oleh para kreator konten tersebut.

Melalui platform media sosial, cerita-cerita yang diangkat pun kini dengan mudah tersebar bahkan viral—dalam artian positif. Ini membuktikan bahwa pesan iklim yang berakar pada kebanggaan budaya dan kearifan lokal mampu menjangkau dan menyentuh khalayak yang luas.

Vania Herlambang, yang konsisten aktif menyuarakan isu-isu lingkungan, menyampaikan impresinya terhadap program ini. “Sangat mengesankan melihat bagaimana musik dan cerita komunitas bisa membuka hati orang terhadap isu iklim,” ujar perempuan yang kini menetap di Bali itu. Ia menambahkan, hal terpenting dari sebuah konten digital adalah kejujurannya, sementara visual yang ‘wah’ hanya nomor kesekian.


  1. Verified for Climate adalah inisiatif global dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Purpose, yang didukung oleh TikTok, Fortescue, dan Rockefeller Foundation. Dari semula diluncurkan sebagai respons untuk menangkal pandemi COVID-19, kini meluas dengan memberdayakan para penyampai pesan terpercaya—mulai dari ilmuwan hingga musisi—untuk berbicara secara autentik tentang perubahan iklim melalui narasi yang kreatif dan relevan secara budaya. Verified for Climate bertujuan melawan misinformasi dan disinformasi, serta membangun gerakan aksi iklim yang inklusif. Dengan jaringan global yang mencakup Indonesia, Brasil, Spanyol, Uni Emirat Arab, dan Inggris, Verified Champions telah menjangkau lebih dari 875 juta penonton melalui narasi yang autentik berlandaskan budaya.Mulai dari tradisi keagamaan dan festival jalanan hingga kuliner dan musik, para champion mengubah pengalaman sehari-hari menjadi percakapan penting tentang perubahan iklim. ↩︎
  2. EcoAmerica, “Connecting on Climate: A Guide to Effective Climate Change Communication”, Center for Research on Environmental Decisions, Earth Institute of Columbia University (2014), 42. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/feed/ 0 47272
Bagaimana Kabarmu, Bumi? https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/ https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/#respond Wed, 24 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41748 Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal...

The post Bagaimana Kabarmu, Bumi? appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal kita. Cuaca dahulu sewaktu kita kecil berbeda dengan masa kini. 

Saya pernah mengalami tinggal cukup lama di Kota Malang untuk kuliah. Kata dosen saya, dulu di era 1980 hingga 1990-an mahasiswa dan pengajar memakai jaket atau sweater untuk menghalau dingin. Padahal kelas berlangsung siang hari. Sekarang saat malam pun sudah tidak terlalu dingin. Apalagi di kota-kota yang memang sudah panas dan makin panas tiap tahunnya, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Riau, Balikpapan, Makassar, Kupang, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Belakangan kita tahu itu adalah dampak dari perubahan iklim. Bumi tidak hanya memanas, tetapi juga mendidih. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui siaran pers “Rapat Nasional Prediksi Musim Kemarau 2024” (10/02/2024), menerangkan jika Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat tahun 2023 sebagai tahun terpanas, dengan anomali suhu rata-rata global mencapai 1,4 derajat Celcius. Untuk itulah dalam Paris Agreement pada 2015 memberi mandat negara-negara dunia harus berkolaborasi menahan laju pemanasan global di angka 1,5 derajat Celcius.

Di luar itu, bumi seolah memberitahu para penghuninya, bahwa ia memiliki derita lain yang harus kita lihat dan alami. Sebut saja banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, badai siklon tropis atau kekeringan ekstrem, hingga kenaikan permukaan air laut; yang mana peningkatan kejadian bencana tersebut sejatinya satu rangkaian siklus juga dengan adanya perubahan iklim.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Bentuk nyata deforestasi hutan untuk pembukaan lahan pertambangan atau perkebunan di Kabupaten Berau/Mauren Fitri

Penyebab bumi kian merapuh

United Nations dalam rilisnya pada 18 Maret 2022, menyebut emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Banyak faktor yang turut bertanggung jawab pada peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut beberapa tahun belakangan.

1) Pembuatan energi berbahan bakar fosil

Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi listrik dan panas menghasilkan emisi global dalam skala besar. Tak bisa dimungkiri, pasokan energi listrik di dunia saat ini masih bergantung pada batu bara, minyak, dan gas. Hanya segelintir, kira-kira seperempat dari energi listrik global yang bersumber dari tenaga angin, tenaga surya, atau sumber daya energi baru terbarukan lainnya.

2) Industri manufaktur

Lagi-lagi bahan bakar fosil masih jadi “gantungan hidup” untuk sumber energi kegiatan industri manufaktur. Bukan hanya sebagai bahan baku, melainkan juga memasok energi untuk operasional industri. Misalnya, produksi semen, besi, baja, elektronik, plastik, atau pakaian. Industri yang berusaha memenuhi permintaan atau gaya hidup manusia, yang populasinya semakin bertambah dari waktu ke waktu.

3) Peningkatan laju deforestasi

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami laju deforestasi terparah di dunia. Musuh besar hutan-hutan tropis di negeri ini adalah pertambangan, kelapa sawit, alih fungsi lahan untuk permukiman, pertanian, peternakan, dan perkebunan lainnya. Kawasan-kawasan konservasi kian terimpit. Tak terhitung konflik horizontal terjadi antara kelompok masyarakat, bahkan konflik satwa yang keluar kawasan dengan penduduk lokal.

4) Penggunaan transportasi berbahan bakar fosil

Tak bisa terhindarkan, jika mobilitas kita masih sangat bergantung pada kendaraan yang beroperasi menggunakan bahan bakar fosil. Sepeda motor, mobil, kereta api, kapal, hingga pesawat. Menaiki transportasi umum juga belum menjadi kebiasaan banyak orang. Terutama di daerah yang belum terjangkau kereta api atau transportasi publik lainnya. Ekosistem transportasi dengan energi terbarukan pun belum sepenuhnya siap, khususnya di Indonesia.

5) Produksi pakan untuk pertanian dan peternakan

Produksi pupuk untuk peternakan atau penggembalaan hewan ternak, seperti sapi maupun kambing juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Begitu pun dengan operasional peralatan pertanian maupun perahu nelayan yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Proses selanjutnya hingga ke hilir, mulai dari pengemasan sampai distribusi hasilnya juga berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

6) Pemakaian konsumsi energi berlebihan

Ini adalah sesuatu yang amat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tak dapat disangkal. Kita masih memerlukan listrik dan air untuk menunjang kehidupan sehar-hari. Mengecas laptop, ponsel, kamera, menyalakan televisi, internet, pendingin udara (AC), menggunakan mesin cuci dan kulkas, serta penggunaan aneka peralatan elektronik lainnya. United Nations menyebut, gaya hidup kita berdampak besar terhadap planet kita. Orang terkaya (seharusnya) memiliki tanggung jawab terbesar, karena satu persen di antaranya menyumbang lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan 50 persen orang termiskin.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Lahan instalasi PLTS di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur. Sebuah upaya lintas sektor untuk mewujudkan kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil/Deta Widyananda

Yang harus dilakukan selanjutnya

Entahlah. Membicarakan perubahan iklim seperti mendiskusikan sesuatu yang utopis. Tak menguntungkan banyak pihak. Tak akan terselesaikan. Terlebih menggantungkan harapan pada pemerintah atau pemangku kebijakan. Lebih-lebih bagi sebagian pengusaha industri ekstraktif dan eksploitatif—jika tak mau disebut seluruhnya—seperti kelapa sawit atau pertambangan; perubahan iklim hanya sebutir debu yang tak berarti apa-apa.

Pada akhirnya, menunggu kebijakan konkret menghadapi perubahan iklim dari para pemegang kepentingan tampaknya terlalu buang-buang waktu. Terlalu banyak kepentingan yang akan terbentur untuk disisipkan agenda memperbaiki gaya hidup demi lingkungan yang lebih baik.

Satu-satunya jalan untuk bisa berkontribusi melambatkan laju pendidihan global adalah dimulai dari diri sendiri. Melakukan sesuatu semampu kita. Berusaha bijak untuk sadar, bahwa ruang tumbuh di bumi sejatinya masih terbuka lebar, selama kita sebagai manusia mau wawas diri pada apa yang kita lakukan atau hasilkan. Memilah sampah dari rumah, mengurangi sampah anorganik, membatasi pemakaian listrik, hingga memaksimalkan kesempatan menaiki transportasi umum.

“Earth Day” bukan sekadar seremonial untuk satu hari saja. Memperingati Hari Bumi, yang berarti mengingat bumi, adalah sesuatu yang harus jadi pijakan melanjutkan kehidupan sehari-hari. Setidaknya kita luangkan bertanya kepada bumi di setiap pagi, bagaimana kabarmu, sebelum kita meneruskan langkah untuk bekerja maupun kegiatan lainnya. Berharap bumi baik-baik saja ketika semakin menua, di tengah golakan alam yang tidak terprediksi.


Foto sampul:
Hamparan perkebunan kelapa sawit di Tangkahan, Sumatra Utara, yang menjepit habitat gajah sumatra dan batas konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan emisi gas rumah kaca melalui operasional transportasi atau alat berat lainnya yang berbahan bakar fosil/Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bagaimana Kabarmu, Bumi? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/feed/ 0 41748