heritage Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/heritage/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:03:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 heritage Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/heritage/ 32 32 135956295 Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/#respond Wed, 30 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46807 Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada 1923. Arsitektur bagian depannya masih bercirikan khas bangunan-bangunan era kolonial. Di sampingnya, ada penjual minuman Siropen. Cukup membayar Rp7.000, pengunjung bisa menikmati minum es Siropen.

Usai melalui Jalan Mliwis, Toufan kemudian membawa kami ke Jalan Jembatan Merah. Masih melewati beberapa gedung-gedung tua, tibalah kami di salah satu bangunan ikonis di seputaran jalan ini: Gedung Singa. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Pabrik sirup Siropen di Jalan Mliwis/Dewi Sartika

Gedung Singa

Penyebutan Gedung Singa mengacu pada keberadaan dua patung menyerupai singa yang ada di depan pintu masuk bangunan tersebut. Lebih tepatnya hewan mitologi yang memiliki sayap, bentuknya mirip sphinx. Kedua patung ini dibuat Da Costa de Mendes, pematung terkenal Eropa.

Hal lain yang membuat Gedung Singa istimewa yaitu mozaik rancangan seniman berdarah Belanda, Jan Toorop. Mozaik menggambarkan dua perempuan mengangkat bayi. Sosok berpenampilan menyerupai Firaun berada di tengah-tengahnya.

“Jadi, mozaik ini ada artinya. Yang kiri orang Eropa, yang kanan perempuan Jawa pribumi. Keduanya menggendong anak. Anak yang kiri gembira, yang kanan nangis. Terus dewanya yang di tengah-tengah itu, kakinya yang sebelah kiri menghadap perempuan Eropa. Itu rasis, ya, memilih perempuan Eropa,” terang Toufan kepada kami di seberang gedung.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Tampak depan Gedung Singa/Dewi Sartika

Mulanya, Gedung Singa merupakan Kantor Perusahaan Umum Asuransi dan Tunjangan Hari Tua (Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente), sebuah perusahaan asuransi terbesar di Hindia Belanda kala itu. Pembangunannya diarsiteki Hendrik Petrus Berlage, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hemert. Saat ini, Gedung Singa dimiliki perusahaan asuransi Jiwasraya dan dibiarkan kosong.

Di seberang jalan Gedung Singa, ada bekas halte untuk menunggu kedatangan trem dan berfungsi juga sebagai tempat memarkir kendaraan. Hingga kini, bentuk bangunan yang atapnya dari tembok ini tak berubah sama sekali. Sekarang, beberapa pedagang memanfaatkan tempat ini untuk jualan.

“Hal menarik lainnya, dahulu tempat ini enggak setinggi ini, ya, alias lebih rendah dari jalan maupun gedung-gedung itu,” tambahnya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Bekas halte trem dan tempat parkir/Dewi Sartika

Gedung Radar Surabaya

Selanjutnya, kami menuju Roode Brug alias Jembatan Merah yang letaknya tak jauh dari Gedung Singa. Menurut Toufan, jembatan ini sudah tidak asli lagi. Jembatan Merah berdiri di atas Kali Mas. Jalur transportasi utama di masa kolonial ini menghubungkan Jalan Rajawali dan Kembang Jepun (Pecinan). Dulunya di sekitar jembatan pernah berdiri kantor residen Surabaya. Jejak keberadaan kantor residen tak berbekas sama sekali karena bangunan tersebut dihancurkan untuk akses jalan.

Setelah melewati Jembatan Merah, kami menuju kantor Radar Surabaya. Tak kalah dengan Gedung Singa, arsitektur gedung ini juga tak kalah menawan. Dengan dominasi warna putih, gedung bertingkat ini dilengkapi jendela-jendela besar berteralis di bagian bawahnya. Bagian depan menuju pintu masuk berbentuk melengkung sebagaimana Gedung Singa.

Gedung ini awalnya milik Unie Bank voor Nederland en Koloniën. Dibangun pada 1880. Sesudah kemerdekaan, bangunan ini digunakan sebagai kantor media cetak The Java Post milik orang Tionghoa. Selanjutnya, The Java Post diakuisisi lalu berganti nama menjadi Jawa Pos. 

Meskipun disebutkan berdiri pada abad ke-19, tetapi bangunan ini tidak mencirikan gaya indische empire dengan pilar-pilarnya yang khas. Menurut perkiraan Arief DKS, bangunan tersebut sudah mengalami renovasi di masa kolonial mengingat gaya bangunan dan ornamennya khas tahun 1900-an.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Radar Surabaya/Dewi Sartika

Beristirahat di Tepi Kali Mas

Selesai mengamati detail-detail ornamen yang ada di luar gedung tersebut, kami beranjak menuju Jalan Panggung. “Dinamakan Jalan Panggung karena dulunya rumah-rumah di sini bentuknya seperti panggung dan orang-orang Melayu tinggal di sini.”

Sebelum memasuki mulut gang, Toufan juga menerangkan, dahulu Jalan Panggung pernah menjadi pasar gelap transaksi opium. Tak hanya itu saja, ada terowongan menuju sungai untuk menyelundupkan opium.

Kami menyusuri Jalan Panggung yang meriah dengan bangunan bercat warna-warni. Makin ke dalam, bangunan-bangunan lawas bertingkat khas abad ke-19 terlihat jelas meski beberapa sudah direnovasi di sejumlah bagian. Hingga akhirnya, hidung saya membaui aroma rempah-rempah. Saya sempat membatin, kira-kira dari mana asal aroma ini, mengingat bangunan-bangunan di Jalan Panggung rata-rata digunakan sebagai toko sedang tutup di hari Minggu. Jawaban itu baru saya dapat ketika Toufan memberitahu ada toko obat-obatan tradisional terkenal di jalan ini.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Rumah-rumah bergaya indische empire di sepanjang Jalan Panggung/Dewi Sartika

Aroma rempah-rempah berangsur berkurang lalu berganti dengan bau amis ikan menjelang tiba di pertigaan Jalan Panggung. Para pedagang dengan hasil laut berganti bersahutan menawarkan ikan, kepiting, dan udang. Di sebelah kanan sebelum belok, mata saya tertuju pada Pasar Pabean yang memperdagangkan rempah-rempah. Saya belok ke kiri kemudian belok kanan.

Kami beristirahat di tepi Kali Mas. Di seberang berdiri Jembatan Merah Plaza (JMP). Dari tempat kami duduk yang dipisahkan jalan, terdapat permukiman padat penduduk. Berdekatan dengan rumah-rumah yang nyaris tak menyisakan ruang tersebut, berdiri menara syahbandar. 

“Ini menara syahbandar digunakan untuk mengawasi kapal-kapal yang datang ke sini. Kali Mas ini dulu, kan, pelabuhan sungai sebelum ada Tanjung Perak. Kita lihat di bangunan menara syahbandar ada gambar lambang, yang kiri lambang Surabaya lalu sebelah kanan lambangnya Jakarta,” jelas Toufan.

Beberapa teman memutuskan melihat lebih dekat menara syahbandar. Tak lupa memotret bangunan tersebut. Saya lebih memilih untuk duduk saja karena masih merasa kelelahan. Satu hal yang kemudian agak saya sesali begitu balik ke Malang.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Penampakan menara syahbandar/Dewi Sartika

Peristiwa 10 November 1945

Kami cukup lama beristirahat di tepi Kali Mas, mungkin sekitar satu jam sambil ngobrol dengan tema random yang berkaitan dengan sejarah. Sesudahnya, kami mengayunkan langkah ke Taman Sejarah dan Museum Hidup Kota Lama Surabaya. Di sini, pengunjung yang ingin mengelilingi Kota Lama Surabaya bisa menaiki kendaraan dengan tarif bervariasi. 

Kami sempat berhenti sejenak mendengarkan cerita Toufan mengenai Peristiwa 10 November 1945. Di sini terdapat replika sedan SB 723 yang dinaiki Jenderal Mallaby.

“Pas Jepang menyerah, senjatanya direbut para pejuang kita, Inggris datang ke sini karena sebagai mandat pemenang Perang Dunia II. Jadi, dia punya misi untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan Jepang serta menjaga ketertiban yang nantinya akan diserahkan ke NICA Belanda. Nah, orang Indonesia berpikir, ngapain diserahkan ke Belanda sementara kita sudah merdeka sehingga para pejuang siap-siap sekitar bulan Agustus dan September.”

Sembari bersimpuh sebentar karena kepayahan, Toufan melanjutkan kisah mengenai kedatangan Sekutu (Inggris) ke Surabaya pada 25 Oktober. Para serdadu Inggris menyebar ke kota, salah satunya adalah gedung Internatio yang berhasil dikuasai.

“Pada tanggal 26, 27, 28, 29, dan 30 terjadi perang kota. Akhirnya Sukarno didatangkan ke Surabaya untuk berdiskusi, terjadi gencatan senjata. Tapi, tanggal 30 Oktober masih terjadi tembak-tembakan antara pejuang kita dan tentara Inggris. Lalu, Mallaby datang, tapi enggak diperbolehkan masuk ke gedung oleh pejuang. Lalu, tiba-tiba pasukan Inggris dari India datang, menyiapkan mortir dan senjata untuk menembaki pejuang supaya Mallaby masuk ke mobil karena dikepung para pejuang saat menunggu perundingan selesai. Banyak pejuang yang tewas, ada juga yang sembunyi di sungai sementara di dalam mobil, sembunyi tiga orang termasuk Mallaby dan ajudannya. Karena banyak rekannya yang ditembaki, tiba-tiba datang seorang pemuda lalu menembaki. Lalu, ajudannya keluar dari pintu samping melemparkan granat ke arah pemuda tersebut. Granatnya meledak. Mati Mallaby.”

Saya mendengarkan dengan saksama penjelasan mengenai kematian Jenderal Mallaby. Ia meneruskan ceritanya, kematian Mallaby bisa jadi karena orang Inggris sendiri.

“Ketembak, iya, tapi belum tentu [langsung] mati. Kena granat pasti mati. Yang nembak itu lalu loncat ke Dul Arnowo, ’Wes, Cak. Wes tak beresi (sudah saya beresi, Cak)’. Saat Dul Arnowo tahu siapa yang diberesi pemuda itu, Dul Arnowo pun meminta pemuda tersebut diam saja alias tidak mengaku. Karena pemuda inilah yang menjadi penyebab pertempuran 10 November.”

Toufan mengaku mengenal pemuda tersebut yang bernama Abdul Aziz dari Ampel, pejuang PRI (Pemuda Republik Indonesia). Apa yang ia ceritakan hanyalah salah satu dari beberapa versi terbunuhnya Mallaby. Akibat kejadian ini, Inggris kemudian marah lalu menelepon Sukarno. 

Pertempuran pun terjadi. Inggris sempat memberikan ultimatum kepada warga kota. Pada 9 November keesokan harinya warga harus menyerahkan diri dengan senjata yang dimiliki mulai pukul enam  pagi di tempat-tempat yang telah ditentukan. Namun, ultimatum ini diabaikan. Akhirnya, tanggal 10 November, Surabaya dibombardir dari darat, laut, dan udara  sampai tiga minggu. Karena kalah, pada 1 Desember para pejuang kemudian keluar dari kota.

Usai mendengarkan penuturan Toufan mengenai Peristiwa 10 November, kami menuju titik akhir tur, Jalan Kasuari. Deretan pajangan berupa tulisan berisi sejarah Kota Lama Surabaya menarik perhatian saya. 

Salah satunya tertulis, Raja Mataram Pakubuwono II menyerahkan Surabaya kepada VOC sebagai imbalan atas tertangkapnya Trunojoyo. Sebelumnya, sesuai catatan penulis Portugis, Tome Pires di tahun 1511, wilayah Surabaya dipimpin Pate Bubat yang independen. Lalu, Surabaya diserang Kerajaan Mataram berkali-kali hingga berhasil ditaklukkan pada 1625.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Internatio/Desi Mahargyani

Saya beralih ke tulisan lain yang menjelaskan asal-usul kata ‘Surabaya’. Ternyata nama kota ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti berani (melawan) bahaya. Sementara simbol Surabaya berupa ikan hiu dan buaya berasal dari cerita rakyat dan baru muncul di abad ke-19.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya berjalan melewati lapangan yang berada di samping gedung Internatio. Gedung Internatio dulunya merupakan kantor Internationale Credit Vereeniging Rotterdam. Beberapa anak sedang bermain bola. Seorang juru foto menghampiri salah satu dari kami, menawarkan jasanya. Kami menggeleng sebagai isyarat menolak. Sebenarnya saya pribadi ingin mengabadikan momen dengan latar gedung ini, tetapi apa ada daya, rasa lelah sudah benar-benar menggerogoti tubuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/feed/ 0 46807
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/#respond Tue, 29 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46793 Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela yang menjadi salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di bagian tengah ada menara  yang dihiasi jam pada bagian atasnya. Saat ini, gedung tersebut menjadi kantor Maybank dan terletak di pojok Jalan Cendrawasih.

Hanya beberapa langkah dari Maybank, Toufan mengajak kami berhenti sesaat di sebuah toko di Jalan Cendrawasih. Kesan jadul menjadi hal pertama yang saya lihat. Saya pun membatin, toko ini pasti berusia tua. Tak mungkin Toufan mengajak kami ke sini kalau bangunan ini bukan toko lawas.

Sebuah papan kayu dengan tulisan Kopi Sigan tergantung di bagian atas depan toko. Seiring langkah kami memasuki toko, aroma kopi menguar. Enak. Seorang perempuan dan laki-laki berjaga di depan. Dengan ramah keduanya menyambut kami. Beberapa merek kopi tersaji di etalase berkaca bening. Begitu pula barang-barang lain. Tak ketinggalan toples-toples kaca yang ada isinya juga tersaji. Suasana jadul benar-benar saya rasakan di toko ini. Dari keterangan penjaga, toko ini sudah ada sejak tahun 1930-an. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Toko Sigan/Dewi Sartika

Lawang Sewu-nya Surabaya

Usai membeli kopi serta jajanan di Kopi Sigan, kami berjalan kembali. Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di gedung PTPN XI di Jalan Merak. Sebenarnya, kami tidak berniat masuk ke gedung ini. Namun, sepertinya Toufan menangkap peluang bisa memasukinya sewaktu mendapati ada dua bus yang terparkir di luar gedung. 

“Mumpung ada yang mengunjungi gedung ini, kita coba masuk saja.”

Toufan kemudian memandu kami masuk ke gedung. Di dalam, rombongan siswa sekolah sedang melakukan foto kelulusan. Sedikit tergesa-gesa, saya meniti anak tangga menuju lantai dua. Kondisi di bagian atas lebih ramai lagi. Bersama yang lain saya lalu menuju teras. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Salah satu bagian gedung PTPN XI yang berada di belakang/Dewi Sartika

“Gedung ini disebut juga sebagai Lawang Sewu-nya Surabaya,” ujar Toufan kepada kami. Memang dari luar, penampakan bangunan ini memang menyerupai Lawang Sewu.

Awalnya, gedung ini merupakan kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA) atau Asosiasi Perdagangan Amsterdam yang berdagang gula, kopi, dan singkong. Dibangun pada 1911–1921 dengan bahan-bahan material dari luar negeri, diresmikan 18 April 1925.

Tidak hanya bagian luarnya saja yang terlihat megah dan mewah, tetapi juga interior bagian dalamnya, sangat berkelas. Di lantai dua terdapat panel relief yang menggambarkan aktivitas di perkebunan. 

Kami tak bisa berlama-lama di dalam gedung, seorang satpam mendatangi kami. Karena tak berizin, kami pun harus lekas keluar. Toufan mengajak kami ke tepi anak tangga. Telunjuknya tertuju pada kaca patri yang terpasang di atas. Saya mendongak. Di tiap-tiap bagian tengah, ada panel stained glass dengan lambang berbeda.

“Ada delapan lambang, jadi tiap lambang yang ada berbeda-beda bentuknya. Lambang-lambang tersebut melambangkan kota-kota yang ada di Hindia Belanda. Salah satunya ada lambang Kota Surabaya.”

Kami bergegas keluar gedung, tetapi masih berada di bagian depan. Toufan memberitahu kami bahwa di samping pintu masuk ada bungker. Satpam mengizinkan kami untuk masuk. Kesan pertama, bungker ini lebih mirip galeri seni karena kondisinya bersih dan beberapa pajangan terpasang di tembok.

Fakta unik lain mengenai gedung yang diarsiteki Hulswit, Fermont, dan Cuypers, ternyata gedung ini tahan gempa. Hal ini tampak pada salah satu pilar bangunan di luar yang berada di tengah-tengah. Diamati lebih saksama, berbeda dengan pilar lainnya, bagian tengah pilar tersebut seolah terbelah yang ditandai dengan keberadaan garis vertikal. 

Meskipun waktu yang kami miliki hanya sedikit, setidaknya kami beruntung bisa masuk. Selanjutnya, Toufan mengajak kami untuk melihat sebuah bangunan yang diperkirakan sebagai rumah tertua di Surabaya. Letaknya berada di seberang jalan Gedung PTPN XI. Untuk mencapai rumah tersebut, kami harus melewati gang kecil.

“Dilihat dari bentuk atapnya, sudah kelihatan ini kalau rumahnya dari masa VOC,” celetuk Arief DKS dari Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH) Malang sekaligus seorang arsitek yang turut membersamai perjalanan kami.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bangunan yang disinyalir sebagai rumah tertua di Surabaya/Dewi Sartika

Cerita Korps Cacad Veteran

Perjalanan menjelajahi Kota Lama Surabaya masih berlanjut dengan melewati Jalan Krembangan Timur. Kepada kami, Toufan bercerita mengenai Makam Krembangan yang pernah menjadi kuburan pertama orang-orang Eropa di Surabaya sebelum pindah ke Peneleh. Kebetulan, letaknya tak jauh dari tempat kami berjalan. Dulunya, letak makam selalu berada di luar tembok kota.

Lalu, berdirilah kami tepat di depan sebuah pintu gerbang berwarna merah hati. Agak lama kami berdiri sembari mengamati pintu gerbang tersebut, terutama desain serta besinya.

“Diduga kuat, tembok lama dari Kota Lama yang masih tersisa yang itu.” Toufan menunjuk ke tembok berwarna hijau yang berada tak jauh dari pintu gerbang.

Ketika meneruskan perjalanan, kami melewati tembok yang dimaksud Toufan tadi. Berjalan agak pelan, saya memerhatikan tembok itu karena posisi lebih dekat. Temboknya tak begitu tinggi, sekitar 175 sentimeter. Padahal dalam bayangan saya, temboknya tinggi sekali. Menurut Toufan, tembok Kota Lama setinggi itu karena elevasi jalan semakin meninggi tiap waktu.

Kemudian, tibalah kami di kawasan utama Kota Lama Surabaya, Jalan Rajawali. Toufan mengajak kami ke kompleks bangunan Korps Cacad Veteran RI Kota Surabaya. Semula kami memang tak berencana masuk ke dalam area kompleks ini. Namun, setelah mendapat izin, kami lekas masuk.

Sebelum masuk, Toufan memberitahu kami, kompleks ini sekarang digunakan sebagai tempat tinggal. Begitu masuk, mata saya terbelalak, untuk menyakinkan diri tempat ini memang benar-benar ada yang mendiami. Deretan ruangan yang menyerupai rumah petak dengan kondisi kusam dan nyaris kumuh menjadi perhatian saya, sebelum belok ke kanan mengikuti Toufan dari belakang.

Seorang perempuan berusia lanjut tengah duduk di pojokan. Setelah Toufan meminta izin, perempuan bernama Bu Endang itu lalu memandu kami memasuki bungker dan membuka pintu. Sebelum masuk, ia memberitahu ruangan bungker masih tergenang air karena hujan yang turun semalam.

Bungker dipenuhi berbagai barang. Hampir tak menyisakan ruang kosong. Berbeda dengan bungker di Malang yang pernah saya masuki, kondisi di sini sangat pengap sehingga menimbulkan bau yang sulit digambarkan. Sebuah kipas angin kecil dinyalakan untuk memberikan udara baru. Namun, belum ada tiga menit di dalam bungker, saya memutuskan secepatnya keluar karena tak sanggup berlama-lama di bungker.

Di luar, saya mendapati seorang pria sedang duduk di kursi. Namanya Pak Agus. “Dulu tempat ini menjadi rumah bagi perwira militer Belanda. Cirinya kalau bangunan penting itu ada bungker. Sejak awal saya tinggal di sini,” ucapnya mengawali pembicaraan.

Pak Agus menjadi penghuni yang masih bertahan di tempat ini sementara lainnya telah direlokasi ke Kampung Pejuang, Benowo. Bukan tanpa alasan ia memutuskan bertahan. Ia ingin melihat kebijakan wali kota terkait pemanfaatan bangunan ini ke depannya. Masih dari penuturan Pak Agus, dulunya ada 17 keluarga yang tinggal di sini. Ia adalah generasi kedua.

Dari pembicaraan itu, saya jadi tahu mengapa kompleks ini dinamakan Korps Cacad Veteran serta memiliki semboyan: tumbal negara. “Jadi, kalau pahlawan itu ditembak, beliau meninggal, tetapi kalau veteran ditembak itu sakti alias masih hidup, tapi cacat,” jelas Pak Agus.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bagian depan kompleks bangunan Korps Cacad/Dewi Sartika

‘Diculik’ Nona Cilik Belanda

Kami meneruskan perjalanan menyusuri Jalan Rajawali. Deretan bangunan lawas yang masih kukuh berdiri di tepi jalan. Plakat cagar budaya tertempel di tiap sisi bangunan.

Selanjutnya, kami berhenti di sebuah bangunan bergaya indische empire dari abad ke-19. Sebelumnya, Toufan menunjukkan kepada kami foto lawas bangunan tersebut. Ia memberitahu bahwa dulunya bangunan dengan sejumlah pilar putih tersebut adalah apotek pertama di Surabaya.

Kami bertemu Sri dan Subaidi yang sedang membersihkan bagian dalam bangunan. Ternyata, keduanya mengenal Toufan. “Rencananya mau dibuat warung kopi,” jawab Sri saat ditanya hendak dibuat apa ruangan tempat ia sedang menyapu.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bekas bangunan apotek pertama di Surabaya/Dewi Sartika

Bangunannya sendiri tersekat menjadi dua yang dipisahkan tembok tepat di bagian tengah. Namun, menurut Arief DKS, tembok pemisah ini dulunya tak ada. Kondisi bagian dalamnya masih berantakan. Di bagian belakang malah nyaris hitam pekat. Sementara atapnya sendiri berupa kayu. 

Sri dan Subaidi berbaik hati mengizinkan kami semua untuk masuk ke ruangan sebelah yang terdapat anak tangga menuju lantai atas. Berbeda dengan ruangan sebelah yang kosong dan gelap, ruangan yang baru saja saya masuki ini diisi dengan banyak barang. Sepertinya dimanfaatkan untuk tempat tinggal.

Anak tangga bercat hijau berada di sebelah kanan. Satu per satu kami menaikinya lalu tibalah kami di lantai dua. Lantai atas kelihatan lengang, tak banyak barang. Ada beberapa ruangan di sini. Lantainya berupa kayu. Menurut Arief DKS, terbuat dari kayu jati tua yang diperkirakan umurnya puluhan tahun sehingga terlihat kuat. Jendela-jendela berukuran besar juga menghiasi bagian atas.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Bagian dalam bangunan yang ditempati Bu Sri/Dewi Sartika

Usai melihat-lihat, kami kemudian turun. Sri dan Subaidi menghentikan aktivitas mereka membersihkan ruangan. Kami berbincang-bincang dengan keduanya di bagian depan bangunan.

“Saya pernah kehilangan anak saya selama satu jam. Dicari-cari di dalam enggak ketemu. Lalu, saya mau turun tangga, ternyata anak saya ada di belakang saya. Katanya, dia ada di sini. Terus saya tanya, dari mana? Dia jawab, kalau dia diajak noni-noni main, dikasih mainan. Noninya cantik. Noninya bilang, itu lo, kamu dipanggil mamamu, ayo pulang tak antar,” terang Sri sambil duduk di kursi plastik.

Sri dan Subaidi telah tinggal di bangunan tersebut sejak 1993, sedangkan orang tuanya pertama kali menempati gedung ini tahun 1970-an. Dari keterangannya, status kepemilikan gedung ini adalah milik mereka.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/feed/ 0 46793
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/#respond Mon, 28 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46783 Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa menuntaskan keinginan tersebut.

Tidak seperti tahun lalu sewaktu mengikuti tur heritage di Kampung Peneleh, saya bersama seorang teman berangkat dari Malang sekitar pukul 04.30 WIB naik kereta api, membuat kami berdua lumayan mengantuk selama perjalanan. Untuk menghindari itu, saya dan lainnya memutuskan mengambil jadwal kereta pukul enam pagi.

Kami tiba di Stasiun Surabaya Kota sekitar pukul 08.30. Selama menjelajahi Kota Lama Surabaya, kami akan dipandu Toufan Hidayat. Ia seorang pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas pegiat sejarah. Beberapa kali ia mengikuti tur heritage di Kota Malang. Dari sinilah, saya mengenalnya. 

Berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Surabaya Kota, kami memilih berjalan kaki saja daripada naik taksi daring. Hitung-hitung olahraga sembari menikmati bangunan-bangunan tua. Begitu keluar dari stasiun, saya terperangah. Suasana hiruk-piruk menjadi pemandangan utama. Ada pasar baju bekas layak pakai, para pedagang menggelar lapak di tepi jalan raya. Baju-baju tergantung di hanger, ada pula yang menaruhnya begitu saja di bawah. Tak ketinggalan para pedagang kuliner ringan juga meramaikan suasana.

Saat berjalan, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan penjual nasi. Sayangnya, hanya ada nasi pecel. Sementara yang lain rupanya lebih tertarik meneruskan perjalanan menuju titik pertemuan dengan Toufan. Untuk mengganjal perut, kami sempat berhenti di sebuah minimarket.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Toufan Hidayat, pemandu tur, sedang memberi penjelasan kepada peserta tur/Dewi Sartika

Berkunjung ke Museum Hidup Polisi

“Halo, Mbak, posisi di mana?”

Saya lalu bertanya kepada yang lain sesudah mengangkat telepon dari Toufan sewaktu mengantre di kasir. “Kita di Jalan Veteran,” ucap Vadia, salah satu sahabat yang turut serta dalam tur ini.

Usai mengetahui posisi kami, Toufan kemudian memberitahu titik pertemuan. Tak lagi di Kantin Kasuari sebagaimana rencana awal, tetapi bergeser ke depan Museum Polrestabes Surabaya. Kami pun tak berlama-lama di minimarket. Setelah beristirahat sebentar untuk mengisi perut, kami bergegas melanjutkan perjalanan. 

Pagi itu, Jalan Veteran cukup lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Dari kejauhan sesosok laki-laki bertopi berdiri di depan museum. Kami menghampirinya. Tak berselang lama ia lalu menjelaskan mengenai kawasan kami berada saat itu.

“Jadi, Kota Lama dulu dikelilingi tembok. Temboknya, ya, jalan ini lalu sungainya ada di belakang bangunan-bangunan itu. Sementara di sini juga pintu pos utama keluar Kota Surabaya,” terang Toufan kepada kami. Telunjuknya mengarah kepada jalan di depan kami sewaktu menerangkan bahwa jalan raya tersebut dulunya adalah tembok kota.

Menurut Toufan juga, dahulu permukiman orang-orang Belanda (VOC) bentuknya mengikuti model bangunan di Eropa yang dikelilingi tembok. Saya pun teringat kastil-kastil di Eropa yang pernah muncul di film berlatar abad pertengahan. Sesudah tembok lalu ada sungai yang juga mengelilingi permukiman tersebut, sungai berisi buaya. Baik sungai dan tembok ini berfungsi sebagai benteng pertahanan. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Tampak depan bangunan Museum Hidup Polisi/Dewi Sartika

Sesudah mendengar keterangannya, pandangan saya langsung tertuju ke gedung Museum Polrestabes Surabaya yang tepat di berada di samping kami berdiri. Dari kejauhan, bangunan tersebut seolah-olah sudah menunjukkan keangkuhannya. Gedung museum dihiasi pilar-pilar raksasa putih serta deretan jendela berukuran besar.

Toufan melangkah memasuki kompleks museum. Ia hendak meminta izin agar bisa memasuki gedung, lebih tepatnya dalam istilah Bahasa Jawa, untung-untungan. Bisa masuk, ya, alhamdulillah, tidak bisa masuk juga tidak apa-apa.  Mengingat untuk bisa masuk ke tempat tersebut pengunjung harus meminta izin tiga hari sebelum kunjungan dilakukan.

Sebelum melangkah lebih lanjut, saya baru sadar bahwa tepat di bagian pintu masuk Museum Polrestabes Surabaya inilah pada warsa 2018 lalu terjadi peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga. Setidaknya, itulah yang dikatakan Toufan. Seketika ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu sewaktu kejadian ini menjadi headline pemberitaan di televisi maupun media daring.

Ia kemudian kembali dengan wajah semringah karena izin berhasil ia kantongi. Kami pun membuntutinya dari belakang. Seorang petugas polisi yang semula berjaga di pos mengiringi langkah kami memasuki gedung museum. Makin mendekati bangunan, rasa-rasanya hati saya makin berdecak kagum dengan kemegahannya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Berbagai jenis seragam polisi/Dewi Sartika

Koleksi Museum Beragam

Gedung ini sendiri dibangun sekitar tahun 1808 sebagai bagian dari rencana Daendels menjadikan Surabaya sebagai pangkalan militer. Mulanya, bangunan ini dipakai untuk barak militer. Selepas Daendels tak berkuasa, fungsinya masih sama, hingga pada 1925 gedung ini dialihfungsikan sebagai kantor kepala komisaris kepolisian Surabaya. Sampai sekarang, bangunan ini juga masih aktif sebagai kantor Polrestabes Surabaya.

Begitu memasuki gedung, berbagai benda pajangan, seperti senjata, seragam polisi, dan sepeda zaman dulu memenuhi bagian dalam bangunan. Semuanya tertata rapi di display. Tak ketinggalan pula terdapat patung M. Jasin yang dikenal sebagai Bapak Brimob Polri.  Tepat di tengah-tengah terdapat sebuah lonceng berwarna keemasan dengan tulisan terukir di bagian badan lonceng.

Dari keterangan yang saya baca, lonceng yang didesain Paul van Vlissingen dan Dudok van Heel ini digunakan sebagai tanda peringatan oleh pemerintah Belanda. Tahun pembuatannya sendiri sekitar 1843 dan terbuat dari bahan besi kuningan. Untuk membawa lonceng ini dari Belanda ke Hindia Belanda—sekarang Indonesia—dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun. Uniknya, lonceng dengan bentuk dan tulisan sama ini tak hanya terdapat di Surabaya saja, tetapi juga ditemukan di Benteng Willem, Ambarawa.

Sempat tebersit di pikiran saya, mengapa museum ini dinamakan museum hidup. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab. Alasannya, tak seperti museum pada umumnya yang bisa dikunjungi kapan saja, untuk bisa ke sini harus izin terlebih dahulu mengingat gedung ini masih aktif digunakan untuk pertemuan polisi. Hal ini ditandai dengan sebuah ruang pertemuan yang berisi kursi-kursi.

Selanjutnya, kami juga menyempatkan untuk melihat-lihat bagian samping bangunan yang juga dikenal sebagai gedung Hoofdbureau ini. Di masa kolonial tempat ini memang menjadi kantor pusat polisi di Surabaya.

“Itu meriam asli, ya. Ditemukan tahun 2009 di Kota Lama, tepatnya di gedung Telkom. Dulunya, gedung itu pabrik senjata, awalnya Pindad. Jadi, sebelum pindah ke Bandung, dulu berada di daerah Jembatan Merah. Pabrik tersebut memproduksi meriam, [tetapi] karena panas akhirnya pindah ke Bandung dan Malang karena hawanya lebih dingin. Ada sembilan meriam yang ditemukan,” jelas Toufan sewaktu kami berdiri di dekat meriam yang berada di pojok gedung museum.

Sembari diselimuti kekhawatiran, kamu lalu masuk ke bagian lain kompleks gedung museum. Alasan mengapa kami nekat, tak lain dan tak bukan karena penasaran dengan bungker yang ada di samping gedung. Sayangnya, bungker tersebut terkunci. Kami hanya sebentar saja karena memang izin memasuki kompleks ini sebenarnya hanya untuk ke gedung museum saja, tidak ke bagian yang lain.

Sepertinya, ada banyak sebutan untuk bangunan yang baru saja kami kunjungi. Selain disebut Museum Polrestabes Surabaya dan Museum Hoofdbureau, bangunan ini juga menyandang nama lain, yaitu Museum Hidup Polri.

Beranjak keluar untuk meneruskan perjalanan, di bagian depan kompleks bangunan berdiri dengan gagah patung dengan seragam polisi. Sosok tersebut adalah Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjadi Kapolri pertama Republik Indonesia sekaligus Grand Master Freemason di Indonesia.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/feed/ 0 46783
Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/#respond Tue, 01 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42768 Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit...

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung
Perjalanan menyusuri kebun teh menuju House of Bosscha/Nawa Jamil

Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit kian redup.

Kami memasuki area House of Bosscha yang tampak sepi di sore hari. Pos penjaga juga kosong. Hanya terdapat satu kelompok turis yang tampaknya akan pergi sebentar lagi. Perjalanan penelusuran ini saya lakukan bersama Kak Bolang, orang Makassar yang sudah setahun lebih bekerja di Bandung dan Kak Sandra, seorang teman yang kini tengah menyelesaikan tesisnya di Universitas Indonesia.

Kami memarkir kendaraan tidak jauh dari rumah utama Bosscha dan menyempatkan diri berfoto di beberapa titik, seperti papan rumah dan bagian depan rumah Bosscha. Kami sempat kesulitan mencari pintu masuk ke ruangan ini, meskipun ada banyak pintu. Sayangnya, semua yang kami coba buka terkunci semua. Untungnya seseorang dari rombongan turis tadi menyarankan untuk mencoba pintu belakang. 

“Neng, kayaknya di sini semuanya terkunci. Tadi kami lewat belakang.”

Nuhun, Kang.”

Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung
Salah satu sudut luar Rumah Bosscha/Nawa Jamil

Lorong Waktu Rumah Bosscha

Melihat dari model bangunan dan suasana yang dibawa, saya bisa merasakan bahwa beberapa bangunan yang terpisah dari rumah utama jauh lebih baru. Di bagian belakang, terdapat deretan paviliun dan satu bangunan persis di sebelah pintu belakang rumah utama, yang tampaknya diisi oleh para pekerja yang mengelola tempat ini. Seorang pengelola duduk di dekat pintu masuk. Kami menyapa hangat. Usai membayar biaya kontribusi per orang, kami mulai menelusuri bagian dalam dari rumah tua ini, yang tadinya hanya bisa kami saksikan dari kaca jendela luar.  

Bagian dapur rumah seolah membawaku melintasi lorong waktu. Di sini, sinar matahari masuk secara maksimal dengan interior bernuansa putih. Sebuah drinking water filter yang usianya kuyakini jauh lebih tua dariku tampak kokoh di sudut penanggah (pantry). Seorang petugas duduk di dekat pintu, mempersilakan kami mengeksplorasi bagian dalam dari rumah Bosscha. Dari dapur, pintu langsung terhubung ke ruang tengah. 

Tidak banyak yang tersisa dari ruangan tersebut. Sejumlah pajangan berukuran kecil terpasang di atas sebuah perapian. Ada angklung dengan delapan tangga nada, beberapa patung wayang orang, pigura Karel Albert Rudolf (K. A. R.) Bosscha, serta miniatur makamnya. Di atas pajangan-pajangan tersebut terdapat satu lukisan cat air yang cukup besar. Visualisasi hutan dengan dominan warna hijau membuat saya bisa merasakan kekuatan lukisan ini yang mampu bertahan dalam periode waktu yang lama.

Kemudian ada pajangan-pajangan kecil di kedua sisi perapian, termasuk kaca buram dengan bentuk menyerupai jendela. Selain perapian, di ruangan tersebut juga tersimpan beberapa perabot dari kayu jati kukuh—bahkan lima pria dewasa saja saya ragukan dapat memindahkan perabotan ini—seperti piano dengan tuts kusam yang masih berfungsi, sejumlah sofa, dan sebuah lemari kayu jati (yang tampaknya) superberat hanya dari melihatnya saja.

Bergeser ke ruang tamu, terdapat banyak perabot tua, seperti sofa yang disusun mengikuti bentuk jendela besar ruang tamu, sebuah lampu gantung, beberapa meja kaca bundar dengan kaki-kaki kayu langsing, sofa malas besar, dan lampu lantai dengan desain yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tutupannya begitu besar, bermotif khas grandma core, berbahan kain berlapis tebal dengan aksen kain bulat di sekelilingnya. Satu pertanyaan langsung terlintas saat saya melihat desain lampu lantai tua itu, ”Sebanyak apa debu di benda ini?”

Secara umum, rumah Bosscha cukup terawat mempertimbangkan umurnya yang sekitar satu abad lebih. Termasuk bagian dapur yang masih aktif difungsikan oleh penjaga rumah ini. Kak Bolang dan Kak Sandra masih sibuk berfoto di beberapa sudut rumah, sementara saya memutuskan kembali ke bagian dapur, lalu duduk di salah satu kursi dekat pintu masuk. Saya duduk berseberangan dengan bapak penjaga rumah. Dari perawakannya, bapak itu sudah bekerja cukup lama. Ia juga cukup ramah menjawab beberapa pertanyaanku, termasuk kisah panjang tentang sosok Bosscha. 

”Dari cerita kakek saya yang ikut langsung dengan Pak Bosscha, Bapak dahulu orang yang baik meskipun bukan orang pribumi. Saking baiknya, waktu Pak Bosscha meninggal, kepala rombongan pelayatnya sudah sampai di kuburan, ekornya masih di sini.” 

Namanya Kang Asep. Obralan kami dimulai dengan menceritakan sosok Bosscha, perihal peninggalan orang Belanda yang banyak berjasa bagi masyarakat Bandung, sejarah dan deretan perubahan rumah, juga pengalaman unik selama bekerja di sini. 

Rumah Bosscha mengalami beberapa kali renovasi. Salah satu yang paling diingat Kang Asep adalah peristiwa gempa Sukabumi yang terjadi pada 2009. Dari penuturan beliau, saat gempa terjadi sebagian besar paviliun baru di sekitar rumah Bosscha rusak parah, bahkan beberapa bagian dari rumah utama.  

”Selama Bapak kerja di sini, rumah ini sudah beberapa kali renovasi, Teh. Rusak terparah itu sewaktu tahun 2009. Ada beberapa bagian rumah yang rusak, tapi tidak semuanya.” 

Ia melanjutkan, ”Tapi dulu sewaktu 2009, seluruh paviliun, bangunan-bangunan baru yang dibangun setelah rumah ini seluruhnya rusak, Teh. Justru rumah Bosscha ini yang tidak terlalu parah rusaknya, padahal bangunan ini, Teh, dibangun tanpa semen seperti bangunan-bangunan sekarang.”

Tentang Bosscha

Ada banyak hal yang diceritakan Kang Asep, tetapi banyak hal pula yang justru membuat saya semakin penasaran dengan sosok Bosscha. Dari beberapa sumber, saya bisa merasakan sosoknya yang begitu peduli dengan kesejahteraan pribumi di Bandung, terutama orang-orang yang bekerja dengannya di Perkebunan Teh Malabar. Ia banyak berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan di tanah Bandung, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Pada 1901 ia mendirikan sekolah dasar Vervoloog Malabar bagi anak-anak karyawan dan buruh perkebunan teh. Bosscha juga berperan penting dalam pendirian Institut Teknologi Bandung sebagai Majelis Direktur. Kontribusi yang tak kalah penting dari Bosscha adalah inisiasi pembangunan Bosscha Sterrenwacht atau sekarang dikenal dengan Observatorium Bosscha.

Ia datang ke Hindia Belanda tahun 1887. Namun, tidak langsung ke Bandung, tetapi terlebih dahulu melakukan ekspedisi pencarian emas di Sambas, Kalimantan. Sepulang dari Kalimantan, ia kemudian memulai karir sebagai pengusaha perkebunan teh pada 1896. Selama 32 tahun mengurusi perkebunan dengan banyaknya hal baik yang diberikan kepada orang-orang pribumi, ia akhirnya mengembuskan napas terakhir di rumahnya sendiri. Bosscha disemayamkan di tempat yang paling ia senangi sewaktu masih hidup, yakni di tengah-tengah kebun teh Malabar. 

Terlahir di Gravenhage (Den Haag), Belanda dan meninggal sebagai seorang bujang di Bandung, ia menghibahkan perkebunan dan asetnya untuk kesejahteraan masyarakat Bandung. Dari penuturan Kang Asep, keluarga Bosscha beberapa kali berkunjung ke makam dan rumah Bosscha setahun sekali pada periode 1980-an. Namun, kini sudah tidak pernah lagi.

Sayang sekali, penelusuran jejak Bosscha kemarin tidak sampai ke Observatorium Bosscha. Fasilitas tersebut ditutup semenjak pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, meski saat ini dibuka secara terbatas. Namun, bertandang ke makam Bosscha dan rumahnya, serta bertemu orang-orang yang tumbuh dengan cerita kebaikannya, membuat saya mengerti bagaimana ia begitu dirayakan masyarakat Bandung hingga hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/feed/ 0 42768
Menengok Peninggalan-Peninggalan Kolonial yang Tersisa di Kota Madiun https://telusuri.id/menengok-peninggalan-peninggalan-kolonial-yang-tersisa-di-kota-madiun/ https://telusuri.id/menengok-peninggalan-peninggalan-kolonial-yang-tersisa-di-kota-madiun/#respond Fri, 02 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42445 Tiba-tiba main ke Madiun. Begitu kira-kira kalimat yang pas untuk perjalanan singkat saya kali ini. Tujuan utama adalah melihat sejarah masa lalu di sekitaran alun-alun kota. Saya menempuh perjalanan dengan kereta api dari Solo. Setibanya...

The post Menengok Peninggalan-Peninggalan Kolonial yang Tersisa di Kota Madiun appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiba-tiba main ke Madiun. Begitu kira-kira kalimat yang pas untuk perjalanan singkat saya kali ini. Tujuan utama adalah melihat sejarah masa lalu di sekitaran alun-alun kota. Saya menempuh perjalanan dengan kereta api dari Solo.

Setibanya di Madiun sekitar pukul 08.10 pagi, saya lekas menikmati sarapan sepincuk pecel legendaris khas Madiun. Usai sarapan dan melihat pameran kereta api di kantor Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun, saya melangkahkan kaki sejauh 35 menit ke arah selatan, menuju alun-alun kota.

Saya ditemani Andrik Akira, pegiat sejarah dan putra asli Madiun. Selama penelusuran, lensa kamera tak henti mengabadikan peninggalan kolonial di Jalan Pahlawan.

Mengunjungi Kerkop Seniman Musik dan Film di Kota Madiun

Tujuan pertama saya ada di kerkop Madiun, Kecamatan Manguharjo. Ada sekitar 10 makam berbeda di sini, tetapi hanya satu yang membuat mata saya berpaling. Tanpa inskripsi nama, hanya batu blok besar.

Ternyata, batu nisan ini milik seorang perempuan kelahiran Jonggrangan, Klaten tahun 1868, yakni Mary Emmie Josephine Manuel. Ia putri dari pasangan Joseph August Manuel dan Elisabeth Janseen. Mereka tinggal di Madiun karena J. August  Manuel pindah tugas sebagai pengawas jalur kereta api Madiun–Solo. 

Mereka tinggal di Jalan Pahlawan, hingga orang tua Emmie J. Manual wafat. Ia pun lantas menjadi pewaris tunggal kediaman tanpa memiliki suami, keluarga, dan pelayan. Sampai dianggap perempuan aneh dan pelit, walau sejatinya tidak.

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Tempat peristirahatan terakhir Mary Emmie Josephine Manuel di Kerkop Madiun tanpa nama dan nisan/Ibnu Rustamadji

Merujuk catatan yang Andrik temukan, Emmie J. Manuel penyumbang dana pengembangan balai kota dan pembangunan Schouwburg (teater atau gedung pertunjukan) Madiun. Ia juga memiliki saham sebesar 80.000 gulden di Indische Leening dan permata seharga 5.000 gulden.

Saking kayanya, ia pernah kerampokan permata dua kali. Semasa hidup ia dikenal sebagai seniman musik dan film yang eksentrik, sering bergaun panjang dengan korset ketika menonton film. Ia pandai bermain piano dan tergabung dalam Madiun Kunstkring atau Seniman Madiun. Sering kali ia bermain piano di tengah malam, diterangi lampu temaram.

Nasib tidak selamanya mujur. Emmie J. Manuel ditemukan wafat keesokan harinya oleh jongos—yang akan bekerja untuknya—tanpa diketahui sebabnya. Ketika dilakukan penyelidikan, ditemukan sepucuk surat wasiat di atas meja kamar tidur.

Inti isi surat menyatakan, Emmie J. Manuel mewariskan semua harta kepada pemerintah Madiun dan kediaman diwakafkan untuk pembangunan Schouwburg. Jika pemerintah tidak bisa menyanggupi, warisan akan diserahkan ke Panti Asuhan Gereja Katolik Madiun. Ia juga meminta agar pemerintah menjadi penanggung jawab pemakamannya dan meminta ia dikubur satu pusara bersama sang ibu.

Setelah dikabulkan oleh pemerintah, warisan dibagi dua dengan panti asuhan gereja Katolik. Pemerintah bertanggung jawab atas pemakaman dan meminta perusahaan marmer Ai Marmi Italiani Surabaya sebagai penyedia batu marmer untuk obelisk Emmie J. Manuel dan sang ibu seharga 2.000 gulden.

Makam Emmie J. Manuel dan sang ibu sejatinya berupa obelisk dengan hiasan guci di bagian atas, lalu bagian tengah bertuliskan inskripsi “Hier Rusten Mary Emmie Jozephine Manuel en haar Moeder Elisabeth Jensen”. Namun, sekarang tinggal bongkahan nisan besar berinskripsi “Ai Marmi Italiani” dan angka 622 yang setia menemani.

Kantor Bakorwil dan Tapak Jejak Benteng Tua yang Hilang

Bagi warga Madiun, kantor Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan (Bakorwil) 1 adalah istana merdeka-nya Madiun. Dianggap memiliki kemiripan dengan Istana Merdeka di Jakarta, tetapi berbeda fungsi dan masa lalunya.

Istana Merdeka dulunya bernama Paleis Koningsplein atau Istana Kerajaan, sedangkan Bakorwil I Madiun dahulu bernama Resident Huiz atau Rumah Residen. Tempat residen Belanda yang ditugaskan mengawasi wilayah Karesidenan Madiun. Residen Madiun yang pertama kali menempati adalah Loudewijk De Launy. Menurut data yang Andrik miliki, rumah Residen Madiun ini dibangun tahun 1831 di atas benteng tua di tepi Sungai Madiun.  

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Tampak depan gedung Bakorwil 1 Madiun/Ibnu Rustamadji

Rumah residen dibangun bergaya indische empire dengan beranda lebar, ditopang pilar bergaya Yunani dengan balutan lantai marmer. Sebagai simbol hubungan dan legitimasi, bagian dalam dibangun aula dengan lukisan raja dan ratu Belanda.

Situasi rumah residen kala itu masih sepi, dikelilingi sawah yang berbatasan dengan hutan jati dan lereng Gunung Wilis. Ada sebuah catatan menarik yang ia temukan, yakni catatan seorang geolog Belanda bernama Franz Wilhelm Junghuhn. 

Dalam catatannya, tertanggal 13 Juni 1838, ia (Franz W. Junghun) menginap di sebuah bangunan kompleks kediaman residen yang serupa dengan benteng kecil. Kondisi saat itu masih sangat sepi, hanya ditinggali tiga orang Eropa. Menurutnya, kondisi demikian layaknya peternakan di Eropa yang dikelilingi padang rumput.

Ada juga catatan perjalanan pelancong Eropa lain yang menulis sebaliknya.  Tahun 1840, rumah residen yang berada di tepi Sungai Madiun bangunannya paling indah, tetapi kurang bersih. Lalu catatan tahun 1849 menyatakan rumah residen sangat indah dengan halaman luas.

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Beranda depan berhias kolom bergaya Yunani/Ibnu Rustamadji

Namun, sayang keindahan rumah residen harus terkoyak ketika dilanda angin kencang pada Februari 1852. Perbaikan dilakukan setelahnya. Seorang pelancong Eropa bernama Van Gelder menuliskan rumah residen berada di kampung Eropa di Patoman Madiun dan merupakan bangunan yang sangat indah.

Lokasi rumah residen Madiun dulu adalah benteng pertahanan guna menghalau serangan pasukan Diponegoro ketika pecah Java Oorlog atau Perang Jawa 1825–1830. Benteng dibangun atas inisiatif Pierre Medard Diard, seorang tuan tanah dari Yogyakarta.

Setelahnya Ronggo Prawirodiningrat, bupati Madiun kala itu, menugaskan Raden Tumenggung Sosronegoro—seorang pegawai pajak di Madiun—untuk mendirikan benteng di Kartoharjo. Proses pembangunan dilaksanakan dengan dua bastion menghadap selatan dan utara untuk mengawasi rumah bupati.

Benteng selesai dibangun pada 1826 dengan empat bastion dan bernama Fort Blokhuis. Pasca Perang Jawa, benteng tidak difungsikan dan berubah menjadi rumah residen yang kelak disebut Bakorwil I Madiun.

Jalan Pahlawan di depan Bakorwil I Madiun, di masa lalu adalah bagian dari Jalan Pos (Postweg Daendels) Pantai Utara. Jalan Pahlawan dibangun untuk mempermudah akses pedalaman Jawa. 

Balai Kota Madiun, Jejak Karya Maestro Art Deco di Madiun

Gedung Balai Kota Madiun pertama kali ditempati seorang Asisten Residen Madiun bernama W. M. Ingenluyff pada 20 Juni 1919. Perencanaan awalnya dimulai 10 Oktober 1919, tetapi karena keterbatasan lahan dan biaya, rencana pembangunan ditangguhkan selama 10 tahun. 

Selama itu, kegiatan pemerintahan tetap aktif di kantor asisten residen. Puncaknya pada 27 Maret 1929, dengan menggandeng AIA Bureau Fremont-Buyer dari Batavia, di bawah pengawasan dinas permukiman Kota Madiun, rencana pembangunan balai kota kembali didengungkan. 

Pada Sabtu pagi (30 November 1929), digelar upacara peletakan batu pertama pembangunan balai kota oleh istri Hendrik Cornelis van den Bosch (residen Madiun saat itu) yang bernama  E. L. E. van den Bosch. Turut hadir pula pejabat pemerintah Madiun dan Batavia, lalu dilanjutkan doa bersama. 

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Balai Kota Madiun bergaya art deco karya Marius Hulswit Freymont en Cuyper/Ibnu Rustamadji

Melalui laporan kegiatan pembangunan, perusahaan marmer italia Ai Marmi Italiani perwakilan kantor Surabaya dan Mevrouw Mia Lyons turut serta menyumbang ide desain interior gedung. Mia Lyon merupakan pelukis kenamaan Yogyakarta beraliran realisme. Ia juga turut menyempurnakan rancangan balai kota Madiun bersama rekan kerjanya di Yogyakarta. Salah satunya memberikan lukisan 12 zodiak pada bagian panel jendela dan lampu gantung warna. Sementara Ai Marmi Italiani bertugas menghias seluruh bangunan dengan lantai marmer. 

Ruang kerja dirancang sangat tenang dengan hiasan panel kayu jati setinggi dua meter dan berhias lampu kaca patri. Tanpa kendala berarti, gedung balai kota Madiun akhirnya selesai dan upacara peresmian digelar pada 1 Januari 1930 dengan jamuan santap siang dan gelaran musik Eropa.

H. C. van den Bosch, dalam catatan yang Andrik miliki, berharap balai kota Madiun menjadi gedung terindah di Karesidenan Madiun. Ia mengucapkan terima kasih atas karya ketiga maestro tersebut hingga akhirnya berdiri megah di selatan rumah residen (kantor Bakorwil I Madiun).

Jejak Kediaman Kapitan Tionghoa yang Tersisa di Madiun

Tujuan akhir perjalanan ini adalah kediaman kapitan Tionghoa Madiun, Njoo Swie Lian, tepat di selatan alun-alun. Njoo Swie Lian, selain menjabat sebagai kapitan, juga bekerja di perusahaan perkebunan jati di Madiun dan pengawas jalur kereta api di Bangil.

Ia memiliki beberapa istri, satu di antaranya Njoo Hong Siang. Njoo Swie Lian wafat di usia 55 tahun pada 17 Februari 1930. Upacara pelepasan jenazah digelar pada 26 Februari 1930, pukul 08.15 pagi di kediamannya saat ini. Prosesi pemakaman digelar pukul 10.00 di pemakaman Tionghoa Mangoenharjo, Madiun.

Menengok Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Tersisa di Kota Madiun
Bekas kediaman kapitan Madiun Njoo Swie Lian/Ibnu Rustamadji

Kabar duka itu disampaikan sang istri yang menyusul wafat lima tahun kemudian. Satu hal yang menarik dari masa lalu rumah ini adalah cerita wafatnya Njoo Hong Siang di tahun 1935.

Upacara pelepasan dan pemakaman dihadiri ratusan peziarah, di antaranya Pangeran Hangabehi beserta sang istri, Raden Ayu R. M. A Josodipoero mewakili Sunan Pakubuwono X. Turut hadir pula Raden Ayu Hardjosoebroto mewakili Pangeran Arya Mangkunegara IX. Dari pihak pemerintah Belanda yang hadir antara lain residen dan asisten residen, ketua landraad Madiun, pengurus pabrik gula Madiun, bupati Magetan, dan bupati Ngawi. Karangan bunga berjejer rapi memenuhi halaman.

Iring-iringan pembawa jenazah berangkat dari rumah duka menggunakan kereta layon atau kereta duka. Jenazah Njoo Hong Siang dimakamkan di samping mendiang suami.

Saat ini, bentuk asli kediaman sang kapitan masih dipertahankan. Namun, kini sudah beralih fungsi menjadi coffee shop kekinian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Peninggalan-Peninggalan Kolonial yang Tersisa di Kota Madiun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-peninggalan-peninggalan-kolonial-yang-tersisa-di-kota-madiun/feed/ 0 42445
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/#respond Thu, 11 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42320 One of the visitors, braver than me, took the path further away and even opened the closed stubby door. I felt heavier back then, so I told her (we didn’t know each other), “Let’s go,...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
One of the visitors, braver than me, took the path further away and even opened the closed stubby door. I felt heavier back then, so I told her (we didn’t know each other), “Let’s go, this is the furthest we could go, come on!” But she obeyed me after succeeding in the attempt of opening the door. I asked what was inside, she said that it was nothing.

Coming out from the so-not-rabbit hole, we were asked by the tour leader, “Are you guys feeling alright?” Nodding was our answer. Although that bravest candidate looked a bit disappointed expecting to find more or at least there was something in there.

We became friends then, this was the conversation leading our connection to it, “How do you get all the bravery?” I asked. She merrily answered, “I was exorcized once, I could see ghosts in the past, but now I can’t see them.”

I shook my head in awe. I spoke to myself, no wonder she assigned herself for a trip like this.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
The front yard where Soekarno had his speech/Putriyana Asmarani

Bella Vista, The Crisis of Meaning

As this trip was arranged and paid as the assigned members wish, I didn’t know whether entering Bella Vista was free. It should be free. Like many other abandoned houses, Bella Vista is totally wounded, what makes it different from many others is that it is visitable. Before entering the place, we all stood solemnly in the front yard, there we witnessed remnants of the splendor. We were told that where we stood was where Soekarno delivered his speech after he administered Tugu square. Bella Vista served him as the guest house.

A group of teenage boys sat on their modified motorcycles, they made a fuss there just near the building where the part was entirely ruined. A middle-aged vendor, a man shares a space with Bella Vista, he sells something there, he promotes snacks. A little commotion in the front yard didn’t make Bella Vista merrier. Or, being surrounded by human beings doesn’t make this place cleaner. Like that lonely swing in Splendid Inn that doesn’t add value whatsoever for the site. Both look deserted and melancholy. Places that bear history with them are somehow melancholy, I believe all noble sites are touched with that.

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)

But Bella Vista’s appearance is smaller compared to the massive Splendid Inn. This house has a large living room which leads to a dining area. The dining area, in the past, must be very awe-inspiring as it faces directly to the garden like how you imagine the grandeur of Victorian dining and gardens. But do not imagine it as the fine one, because in the present, the garden is ruined, it is now just a rectangular space full of weeds.

I do admit that Europeans are brilliant when it comes to architecture. Bella Vista is ruined now, but the downpours of sun rays wake this place, even some remote areas get a bit of share from the light. With the rays, I come to a profound realization that the past is always wakeful, since then I consider the past as the wisest time signal. I am not so prominent in interior designs and housing morphology but Bella Vista, I think is built like the letter U. Or maybe because the backyard is closed or demolished, so the area was not accessible, the thing is we entered the front and got out from another door in the front area.

Toilet, whether it was built in the past or not, stood horrendously next to the building, not far from where the teenage boys were hanging out. The area was filthy and the boys had no worries in the world whatsoever, I was being skeptical about how they messed around littering here and there.

There isn’t much to tell here except the disturbing vandalism, the collapsed wall, the ruptured windows, and the deformed balcony. The only meaning it could be derived is just the fact that the first president was here once. But would it be all? If, Soekarno didn’t visit Bella Vista, I believe it yields no story at all and soon would be demolished. Who knows?

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
The toilet/Putriyana Asmarani

The Commercialization of Terror

In the absence of life and color, Bella Vista and Splendid Inn conform to the most appalling thing of mankind; the visible world is formed with compassion, however the invisible spheres are formed in fright. H. P. Lovecraft warned us all with this common and indulging mistake, a mistake to fancy that horror is associated inextricably with darkness, silence, and solitude.

It is affirmed that darkness manifests itself from something remote, full of anger, resentful and revengeful. In fact, over time, darkness is man-made. From the moment Splendid Inn and Bella Vista were abandoned and left in ruins, that would be the first stage where darkness approached. The places look inviting for the ghost. Believe it or not, the abandonment is an act decided by the stakeholder itself that invites the devils. But ghosts, today, do not concern us, don’t they?

Ghost hunting or anything ghostly is a commodity. Therefore, people are mostly attracted to visit the sites due to the haunting narrative; a group of school boys and girls went there to take photoshoots, they wanted to get the Danur vibe. They are not the only ones. I believe people receive accumulated hysteria about the horror and therefore decide to visit the place. The more the place receives visitors, the more successful is the marketing campaign.

Hence, no renovation for Bella Vista and Splendid Inn, let alone renovations, the places are not swept or mopped, no staff assigned to clean the place. If an accident happens, let’s say the rotten plywood falls on the visitor’s head leading to serious injury, the first agent to blame is that the demon wants the soul. If not serious injury, the mild one, one gleam of injury is said to be our own mistake not to behave in the site. This judgment is hereditary. Thus, to start with a critical point of view about this market-driven man-made terror is like beating against the solid metal. 

I do believe in ghosts, I also believe in the residual spirits which stay in the sites for the places are parts of their being and identity. I am a devout follower of Kisah Tanah Jawa and a seasonal lover for Jurnal Risa. I am fully aware that certain actions might lead to the anger of those spirits, for instance, if the stakeholder decides to clean the site or renovate, the invisible dwellers might revolt against it. But mankind isn’t a servant for the spirits. To balance the world a pact with the spirits should be made, otherwise there would be the possibility that they encircle the area, create an empire there. Then, the dark spirits do harm to the visitors. Like the visible world we live in, there should be politics too in the underworld, right?

There is also another factor wallowing in the fate of Splendid Inn and Bella Vista. Renovations mean changing, although the efforts also include preserving the place the way it looked in the past, renovations mean replacing materials anew. Then, this concern; renovations mean a threat to genuineness.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
Another side of the corridor in Splendid Inn/Putriyana Asmarani

Now, this is fun, this notion of genuineness is fun. Let’s imagine Splendid Inn and Bella Vista’s ruin as a person suffering from cancer. The person is famous for cancer, people are impressed with the story of the person’s battle and survival. But cancer isn’t worshiped, the admiration is rooted from the cure process. Just because a person is famous for the disease, does it mean that the person is less genuine when she or he is cured? All the ruins, the collapsed attic, the tattered balcony, the blasted windows and doors, aren’t these all but a disease in once a perfect body of building in the past?

I know, I know Bella Vista and Splendid Inn were built by the country’s arch enemy, by the colony. I know they are physically less precious than the crystal goblets of Persian sherbet. But, heritage deserves preservation, if not renovation at least cleanliness, like a soul deserves a nourished body to live in. Couldn’t all of us stop this commercialization of terror? In fact, in the end I couldn’t help much. Disney must really hate to hear this but, some lives are messily ever after.


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/feed/ 0 42320
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/#respond Tue, 09 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42308 If not for constant care, preservation, and rehabilitation, what’s the 10.000 rupiah for? No, I am not sorry about the value. There are temples in Mojokerto for instance, let’s say Bajang Ratu, the visitor has...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
If not for constant care, preservation, and rehabilitation, what’s the 10.000 rupiah for? No, I am not sorry about the value. There are temples in Mojokerto for instance, let’s say Bajang Ratu, the visitor has to pay for 5000 rupiah as the place needs continuous care and rehabilitation had been made in the past. With a complete abandonment, what’s the 10.000 rupiah for? Ebenezer Scrooge—a character from a novel written by Charles Dickens, Christmas Carol—must have really hated this place, he’s the most frugal in the world literature. Mr. Scrooge won’t pay.

There’s a stairs leading to the second floor in the area where the ticket was sold. This red-painted, splintered stairs is left just that. Imagine if you are tripped there and die funny. Imagine a sudden accident; the stairs break and collapse and then you are trapped in the second floor until God knows for how long. I can tell you that today’s Splendid Inn isn’t preserved for the visitors, it is for the ghost, the ghost doesn’t need stairs.

It was even scarier when my mathematical brain cells work; I weigh 54 kg, we were around 8 visitors with weight ranged from 50 to 60 kg, let’s take median 56 kg times 8 visitors, equals 448 kg weighted upon the old rustic stairs. I tell you, readers. I don’t want to live long but I too don’t want to die like this. Again, what’s the 10.000 rupiah for? There’s probably an argument coming that Dutch architecture is far stronger than you think, but it is vital to note that no matter how flawless a building is built, there’s a durability. 

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)

Splendor Swallowed by Chaos

I believe there’s a brink of restoration in 1950, post-independence of Indonesia. The inn was used as the center of administration for a Japanese colony, in 1950, Faculty of Teacher Training and Education, Airlangga University Surabaya (UNAIR) had the right for the building and restored it for lecturers’ guest house and university classrooms. But the rights shifted again, now it is owned by Malang State University (UM). Now we know, to whom it may concern, the stakeholder responsible for the building.

Believe it or not, I suggest you should believe this; Splendid Inn was renovated in 2015. In the year where Pribumi has all the freedom, in this economy, how come few parts are scattered, decayed, and ruined as if it has never been touched since the 1900s? The second floor just above the ticketing area is a medium-sized hall. It is empty; no furniture or whatsoever. The only sightseeing is windows and a door. There is a balcony leading to the sight of an old mango tree where one of the barks is hanged by a horror-struck swing. See, Indonesian horror scenarios are always predictable; a tree and a swing. Again, why is the swing there, to whom shall it entertain?

Upon leaving the building, I felt relieved about moving on from the stairs. But what waited then, remained unfathomable; it was like experiencing things outlandish and at the same time…whimsical. The second site we visited was this open area where cannons are laid bare and brazen in the yard. I believe they were just artificial, they couldn’t be real cannons. Besides, this place was an inn and university classrooms. I wonder why most sites entice paradoxical things like those Robocop and Ironman figurines in the south of Rampal field.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
The building behind/Putriyana Asmarani

We went on to the buildings behind, the notorious areas, the haunted ones, the ones where Jurnal Risa’s team got possessed by the demons. Let me briefly describe; it is the most wicked dwelling in all meridians. Was it because I felt haunted? No. It was threatening. The roof gable was mesmerizing as it signifies the key European housing style. But from the rake to its very foundation looked intimidating.

We marched to the second floor, we walked upstairs with a safer staircase but still the steps were all dirty. The first sight was a corridor, so far this area was the worst. The bats might have built their empire in the attic, because it crumbled. Their poop scattered all around the floor. There is also a thick scent of termite combined with dirt. Trust me, Ariadne (In Greek mythology, Ariadne boasted her weaving talent to Goddess Athena, she was then cursed as a spider, weaving in the darkest corner of the world) wasn’t cursed in Greek, she is in Splendid Inn all along, all this time.

This is a cosmic heart breaking; rotten plywood hung, hazardous vine entangled, mud-looking dirt scattered not only in the floor but also in the wall, I mean how can they reach the wall? Serial killers must really love it. I even accidentally found a young butterfly trapped behind the window glass, it struggled to bang itself in the mirror thinking that it pursued the brighter and greener world. But I couldn’t help it. My mother’s voice rang in my ear instantly, “Do not touch or meddle, move in or move out things or beings in the site. Those could be the toys, things entertaining the ghosts.” This is triggering though, Goddess Athene made attempt to save Odysseus from the Great God’s curse—in Homer’s Odyssey it is narrated that Goddess Athene felt sorry about the Odysseus’ struggle to sail the world with a curse of never returning home—but I couldn’t even help a single soul, the butterfly.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
The corridor in the second floor/Putriyana Asmarani

“Attack” by Something Secret

I walked through the corridor, tip-toeing (although I wore shoes), and found a stairs leading to the darker part of the inn; the third floor. I asked the tour guide, “What’s in there? Could I go there?” The tour guide said, “That’s the third floor, you may go there but I couldn’t be there for you?” I was shocked. I asked, “Why?” She gave me the short answer, “Why else!” After a few days I looked up on the internet and watched Jurnal Risa’s edition in Splendid Inn. I understood then, the area was where the two ghosts dwell; the lady in white and the soldier. 

We didn’t go further than that. But we marched downstairs in the final part of the route. There are speculations denoting that there was a secret door used as an escape during dire situations (raids and wars), there was a secret tunnel leading to SMA Tugu. But no one dares to find out. I understand why. I see smaller doors, not even a single window present, smaller passageways and stairs, enough for one person. If I walked there in a team, we cannot walk side by side so it is easier to predict who will die first in this journey.

I was enticed by the ‘secret tunnel’, the tour guide said, “It was probably in there,” pointing her hand towards one of the passage ways. She could only use her finger, she couldn’t lead us there for the same reason. But my curiosity is killing me. I’m a logic-driven person, I believe that as long as I behave, nothing bad will come after me. So I pledged her permission. Until…she said yes.

True, logic-driven but I still believe in ghosts, although I never see one. Fortunately, I wasn’t alone, there were three other visitors who demanded the same thing. We went there with salam and basmalah, I even said excuse me and bowed for it throughout the passage way. Until, the abrupt gust of something I don’t know what crept my back. It didn’t feel like a hand or a body, whatever on my back was, it felt heavy, like a burden, it was as cold as Satan’s hoof. I was short of breath a little bit. I held this sudden strike and took a photo of it, I believed it was clear but at home after the journey the photo ended up blurry.

(to be continued)


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/feed/ 0 42308
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/#respond Sun, 07 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42290 The haunting and daunting Bella Vista and Splendid Inn. No windows are open here. If there are, it might be due to natural causes of rotting and decaying. Otherwise, they break open due to vandalism;...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
The back area of Splendid Inn/Putriyana Asmarani

The haunting and daunting Bella Vista and Splendid Inn. No windows are open here. If there are, it might be due to natural causes of rotting and decaying. Otherwise, they break open due to vandalism; only the devils know the culprit. The entrance door is wide open, but this openness soon after you bring yourself inside both places makes you realize that the two are shutting themselves off to the world, uninviting and unwelcoming.

A stoic friend of mine, Wildan Habibi, shockingly catechized me a few hours after I visited Bella Vista and Splendid Inn. Whereas, he never meddled with my business before. “Why in the mother earth do you visit those Gomorrah-looking places, all for what? Brown study?”

Even a few Instagram friends of mine rang me to inform me that Jurnal Risa visited Splendid Inn (Wisma Tumapel). They vigorously bombarded me with the YouTube link, adding spice to their hysteria that Splendid Inn is so ungodly that Hades himself will freak out to see the demon of his own making.

But, I still participated in a group tour led by Jelajah Malang with a tour guide, Dini Rachmawati. The tour isn’t partially dedicated to Bella Vista and Splendid Inn visits. It was a walking route that stopped at more than four destinations. However, I just want to pour my attention in this writing only on Bella Vista and Splendid Inn; the two buildings so far as I perceive, yield an odd philosophy. 

Euroclydon of Dutch East Indies

Bella Vista and Splendid Inn have all the features of a building; doors, windows, hall, park, roof, corridor, balcony, kitchen, bathrooms, and all, but all these features are dead as stones. In most resources that I gather and based on the tour guide’s narrative point of view; history is to blame for the notorious dysfunctionality. 

In Malang, Deandelsboulevard (now Kertanegara Street) stretched from the train station area to Coenplein Jan Pieterszoon (now Tugu Street, an area that covers Bundaran Tugu or Bundaran Jan Pieterszoon), this zone is said to be the center of entertainment for the absolute Dutch aristocrats where no Pribumi was allowed to set foot unless they were on slaves’ duty. Such a Charing Cross of London, in East Indies, East Java, Malang, the Dutch made an official settlement in 1767 and cloned their architectural prowess as well as lifestyle here.

Pribumi lived in a ghetto, in suburban areas, a place truly remote and excluded from the Dutch government’s urban planning and surely, the entertainment. The Dutch government’s rule and opprobrious social class made it clear that their norms were made immutable like the law made by Medes and Persians. Dutch East Indies’s afdeling, or an administrator, or assistant resident was made official to rule the area in 1824. Since then, the Dutch population growth added with the glaring industrial opportunity radically changed Malang. In 1879, the train station was operated for the first time to distribute crops. Later, Malang became Kotapraja in 1914.

Bella Vista was built three years earlier than Splendid Inn and seven years earlier than the town hall. It was built in 1920. What was it? Was it a house back then, or an office? I have never heard of such things called exemplary in urban planning. Bella Vista, as a part of Bouwplan I (the first stage of Dutch colonial’s urban planning), was built for an example for all the buildings in the area. Perhaps the physical example was shown for the construction slaves, how impossible it was to bring the slaves to Europe to get the look of buildings’ shape, to show them that, “this is our taste and this is what you should bring to the table.” 

The prominent Splendid Inn, built in 1923 with the look of a Dutch home, was a hotel. It was owned by CC Mulie. However, 19 years later, on March 7, 1942 Japanese officially occupied the area, took over every layer of governance and life, and changed the working class structure with Japanese terms.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
Splendid Inn, the secret tunnel area/Putriyana Asmarani

Change wasn’t everything, executions of the remaining Dutch and the rebels occured massively in the area, the current Tugu Senior High School was once Dutch’s HBS (Hoogere Burger School) shifted from education place for the privileged to a slaughter house of mankind. Splendid Inn too, CC Mulie was no longer the owner of the place, whatever belonged to the Dutch, during this time, was taken over by the Japanese; the buildings and the people. 

Power contests are getting entangled in this part, Japanese whose arms, souls, and faith were sworn to help Indonesia’s revolution to the point that the country found its independence, was all a lie. For as far as this narrative is concerned, the Japanese got weaker after World War II, a door for the Dutch to return to Indonesia and seize everything that once became their source of glory. Dutch’s Operation Product 1 in 1947, against the young nation, occupied Surabaya and their next target was Malang. That time on July 22, 1947, grim reapers marched to the town, harvesting the souls.

Ashes for Unfallen Colony

Lawang was the first area subdued by Dutch Operation Product, in a critical situation, a strategy needed to be made; if it wasn’t by arms, it should be by pride. Urban Guerillas, Student’s Armies (Tentara Republik Indonesia Pelajar, TRIP) burned 1000 or more Dutch’s buildings. What were once Dutch’s administration offices, inn, and houses turned into flaring flames. They cut down electricity and water source to stop the building from functioning and from the Dutch army to shelter.

Scorched-earth is a tactic and a military strategy to put the enemy in the grievest deprivation. When talks didn’t yield repentance of imperialism, fire was the only agent to preach the truth in face of falsehood. This was all for it, a tactic used to tarnish the most imperial, the unfallen Dutch East Indies.

The buildings were then critically destroyed and burned, but surely, they weren’t projected for annihilation. The minute I stood after passing the road that separates Deandelsboulevard and Coenplein Jan Pieterszoon, to the point where Bella Vista and Splendid Inn laid bare and wounded, I felt lost in the infinite series of heritage left in abandonment. I could grasp no further with the narrative denoting that it was an inn and that is all. I felt a ruffling surge of emotions, realizing that in this situation; history couldn’t penetrate the thick haze of the present. 

Splendid Inn: The Most Wicked Dwelling in All Meridians

My mother, discerning that I develop bizarre interests in things archaic, warned me that I have to behave in the sites. It is not, above all, the history that becomes the sole concern. Beware of the ghosts, do not wear something red or green. Do not visit the place when you are on your period. Do not say something bad, not because that is inappropriate, but because it may insult or attract the demon.

There, the moment I entered both Bella Vista and Splendid Inn, I felt this artificial chills: what’s waiting for me behind those anachronistic doors, who’s waving on that tight-closed window, and… yes, who’s following me? 

Strangely, let me be honest with you, isn’t rooted from how the place is scaring me but from the external prejudices about the place. These sort of feelings then validated after hearing the tour guide say, “There are few areas that are considered to be densely haunted, you may go there but if something happened, we aren’t held responsible.” Somehow, it’s the philosophy of all tour guides in the world that safety and knowledge are instruments they hold supreme.

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)

The visitors have to pay for 10.000 rupiah to explore Splendid Inn; few areas are locked, few areas are open but inaccessible, and lastly few areas are open but for the love of God you’d better not dare. It is, to be honest, killing me after looking at the ticket area; do not imagine a reception place, it was just a chair, a table, and a man sitting there. 

Behind him, there’s plenty of instant coffee hung by the rope, behind the instant coffee there’s a bed with the sight of bed bugs civilization. The man, he doesn’t at all look like he is a staff. He looked homeless with all that coffee and bedding situation. Seriously, why was the bed in there?

(to be continued)


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/feed/ 0 42290
Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten https://telusuri.id/perjalanan-menyigi-sisa-kejayaan-perusahaan-tembakau-kebonarum-di-klaten/ https://telusuri.id/perjalanan-menyigi-sisa-kejayaan-perusahaan-tembakau-kebonarum-di-klaten/#comments Wed, 26 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42232 Kali ini, saya mengeksplorasi eksistensi perkebunan tembakau terbaik di bekas wilayah Karesidenan Surakarta. Saya pergi ke Kecamatan Kebonarum, Klaten, untuk melihat sisa kejayaan perusahaan tembakau di sana, di antaranya los mbako atau los tembakau, tempat...

The post Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Kali ini, saya mengeksplorasi eksistensi perkebunan tembakau terbaik di bekas wilayah Karesidenan Surakarta. Saya pergi ke Kecamatan Kebonarum, Klaten, untuk melihat sisa kejayaan perusahaan tembakau di sana, di antaranya los mbako atau los tembakau, tempat pengeringan tembakau dan pabrik tembakau Kebonarum.

Pada masanya, terutama saat puncak kejayaan sekitar tahun 1930, tembakau Kebonarum masyhur dengan kualitas ekspor terbaik hingga ke Eropa. Kota Bremen di Jerman merupakan pasar utama tembakau Kebonarum untuk dijadikan cerutu dan dijual kembali ke kota lain di Benua Biru.

Namun, persaingan industri tembakau di Pulau Jawa yang semakin ramai memaksa Kebonarum yang sudah eksis sejak abad ke-19 kian terpuruk. Saat ini area yang dulunya menjadi perkebunan tembakau Kebonarum telah berubah menjadi ladang sawah dan kebun warga.

Saya tidak datang sendirian. Seorang rekan asli Klaten, Mbak Galih, ikut menemani saya menjelajah Kebonarum. Penelusuran awal kami fokuskan di sisi selatan antara pabrik pengolahan tembakau Kebonarum dan Desa Basin. 

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Sudut jalan di area depan pabrik tembakau Kebonarum, Klaten/Ibnu Rustamadji

Jejak Pabrik dan Los Tembakau di Kebonarum

Industri tembakau di wilayah Klaten dikelola oleh N. V. Klattensche Cultuur-Maatschappij sejak pertengahan abad ke-19. Inisiator awal, Mendez da Costa, pertama kali membuka di daerah Gondang. Barulah berikutnya menyebar ke wilayah lain, salah satunya Kebonarum.

Perusahaan perkebunan tembakau biasa menyewa tanah milik Kasunanan Surakarta dalam jangka waktu lama. Tanaman tembakau ditanam sekitar bulan Juli–September, saat musim kemarau tiba. Meski begitu, tetap ada aliran air untuk menjaga kestabilan tanah.

Biji pohon tembakau Kebonarum cukup langka di Hindia Belanda (Indonesia kala itu) karena diimpor langsung dari Bremen. Cara budidayanya langsung ditanam di tanah sampai masa panen. Setelah itu dikeringkan dengan bantuan bara api khusus di dalam los yang dilakukan malam hari. 

Kemudian daun tembakau kering dikemas di pabrik Kebonarum dan langsung dibawa kembali ke Bremen untuk diolah menjadi cerutu. Sisa panen yang ada diolah kembali oleh pabrik tembakau Kebonarum. Karena produk tembakau sangat baik dan bernilai jual tinggi, dibangunlah proefstation voor Vorstenlandsche Tabak Onderneming atau laboratorium penelitian tembakau di kota Klaten pada 1898. Hingga saat ini fasilitas tersebut berada di bawah naungan Pusat Penelitian Tembakau PTPN X Persero Klaten.

Ada dua pabrik tembakau yang masih eksis hingga sekarang di Kecamatan Kebonarum, yakni pabrik Kebonarum dan pabrik Gayamprit. Sebagai areal perusahaan tentu dilengkapi fasilitas penunjang, salah satunya adalah los tembakau.

Los tembakau merupakan bangunan semipermanen berbentuk persegi panjang. Konstruksi utama berbahan bambu dengan atap pelana terbuat dari ijuk dan daun tebu kering, sedangkan dinding dibuat dari anyaman bambu. Los mbako biasa dibangun memanjang ke arah utara–selatan, tergantung kondisi geografis dan arah angin wilayah setempat. 

Selain untuk tempat transit bibit sebelum ditanam, los juga berfungsi sebagai tempat pengeringan tembakau hasil panen. Cara mengeringkan daun tembakau antara lain diasapi dengan perapian sekam padi di malam hari. Setelah cukup kering, daun tembakau dibawa ke pabrik untuk pengolahan berikutnya.

Sejatinya, keberadaan los di Kebonarum cukup banyak. Namun, seiring perkembangan waktu mulai hilang menjadi lahan sawah. Sangat disayangkan, tetapi itulah faktanya.  Untungnya kami masih menjumpai satu yang masih utuh sebagai monumen hidup kejayaan tembakau Kebonarum. Galih pun menyatakan hal senada. Kami bersyukur masih bisa mengabadikan los meski berada di desa lain. 

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Petani melintas di samping salah satu los tembakau yang tersisa di Kebonarum/Ibnu Rustamadji

Sisa-sisa Kejayaan dan Catatan Lainnya

Penelusuran berlanjut kembali ke arah sekitar pabrik tembakau Kebonarum. Menyaksikan sisa-sisa bangunan yang ada mesti tidak semua. 

“Sisa paling jelas, ya, ini, Mas! Pabrik tembakau Kebonarum dan pabrik tembakau Gayamprit sekitar 2,5 kilometer dari sini [Kebonarum] ke utara,” jelas Galih. 

Kedua pabrik tembakau masih tampak sebagai monumen hidup meski tidak lagi beroperasi. Pemicunya adalah kalah saing dengan perusahaan rokok besar seperti saat ini, sebab keduanya memproduksi tembakau linting.

Di saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Galih melontarkan pertanyaan yang tidak saya pikirkan sebelumnya. “Mas, tadi lewat Gayamprit terus ke barat melewati depan SD Negeri Ngligi 1, kan?”

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Tampak depan SD Ngligi 1 Kebonarum/Ibnu Rustamadji

Rupanya, sebelum menjadi sekolah dasar saat ini, dahulunya merupakan rumah sakit perkebunan milik perusahaan perkebunan tembakau Kebonarum, yang juga digunakan oleh perkebunan tembakau Gayamprit. Hal ini disebabkan lokasinya tepat di antara kedua perusahaan perkebunan tersebut. Pikir saya, pantas saja letak sekolahnya unik karena ada di tengah hamparan sawah. Saya sering lewat, tetapi baru tahu sekarang.

“Mbak, proses pengeringannya, kan, menggunakan api. Apa tidak berbahaya dan menciptakan kebakaran losnya?” tanya saya ke Galih.

Merujuk pada catatan yang ia miliki, los tembakau milik perkebunan tembakau Kebonarum sering terbakar. Sejak zaman Belanda pun tercatat ratusan los di Klaten dilalap si jago merah. Api diduga muncul setelah proses pengeringan semalam selesai, lalu tidak dimatikan secara baik sehingga merambat ke konstruksi bambu.

Proses pengeringan yang berlangsung semalam selalu ditunggu para pekerja. Api yang dihasilkan pun tidak terlalu menyala besar, karena sejatinya yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah kestabilan suhu dan uap yang dihasilkan untuk mengeringkan daun tembakau.

Sementara daun tembakau yang dikeringkan di los mbako tidak kalah sedap jika dibandingkan pengeringan secara terbuka di bawah sinar matahari langsung. Yang membedakan hanya waktu dan proses pengeringan, karena di los tembakau lebih rumit dan lama.

Saat proses itulah kadang api menyambar ke bagian lain yang mudah terbakar. Terlebih konstruksi los yang didominasi bambu dan ijuk, membuat api mudah menyala besar dan cepat.

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Daun tembakau dalam proses pengeringan paska panen di dalam los/Ibnu Rustamadji

“Apalagi kalau pekerja kelelahan setelah sebelumnya panen, terus melanjutkan pengeringan. Ini juga faktor utamanya, karena harus lek-lekan (jaga malam),” terang Galih.

Petani adalah profesi mayoritas di Kebonarum. Dahulu, jika memasuki masa tanam tembakau, para petani akan beralih sementara dari semula padi menjadi tembakau. Begitu juga sebaliknya. Namun, saat ini petani tembakau sudah jarang ditemukan. Mereka lebih memilih menjadi petani padi dan penggarap sawah milik orang lain. Bukan disebabkan oleh harga, melainkan lebih pada mudahnya perawatan dan lahan—yang kini dibebaskan untuk jalan tol—menjadi alasan mereka beralih profesi.

Kalaupun masih ada tanaman tembakau, biasanya milik perusahaan rokok yang menyewa lahan pertanian. Sewa perkebunan pun menyesuaikan waktu tanam setiap tahun. Lahan yang disewa pun tidak lagi ke perusahaan tembakau Kebonarum, tetapi tanah kas desa setempat.

Selesai masa tanam, tanah diolah kembali untuk perkebunan tahunan. Begitu seterusnya. Lahan perkebunan kini dikelola warga dan tidak untuk perusahaan pengolahannya. Saat ini, status sisa kejayaan perusahaan tembakau Kebonarum itu berada di bawah naungan PTPN X.

Begitu pula dengan lahan, yang dahulu digunakan sebagai los mbako di wilayah Kecamatan Kebonarum. Warga dan petani yang tinggal berdampingan pun tak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tetap bekerja seperti biasa di persawahan  milik mereka.

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Persawahan dengan latar belakang reruntuhan jalur air perkebunan tembakau/Ibnu Rustamadji

Setitik Harapan

Puas menikmati areal sawah dan melihat lebih dekat los tembakau yang tersisa, kami putuskan kembali ke titik semula. Melihat sekali lagi sisa kejayaan tembakau Kebonarum. Dua pabrik pengolahan tersebut hingga kini masih berdiri tegak, memandang dengan angkuh siapa pun yang melintasi jalanan. Epik dan mewah, dua kata ini yang mungkin bisa menggambarkan betapa eksotisnya bangunan pabrik-pabrik tersebut. 

Mungkin tidak semua orang mengetahui adanya pabrik tembakau Kebonarum, karena lokasinya yang jauh dari jalan utama Solo–Yogyakarta. Persisnya di jalur alternatif Yogyakarta–Boyolali. Tidak jauh dari kompleks pabrik gula Gondang Winangoen. Penampakan fisik pabrik Kebonarum bisa juga dilihat melalui citra peta digital.

Bagi yang ingin mengunjungi pabrik ini, tinggal berkendara sekitar 20 menit ke arah barat dari pertigaan lampu merah pertama Gondang Winangoen. Selanjutnya melalui Desa Basin sekitar 650 meter ke utara. Pabrik pengolahan tembakau Kebonarum berdiri tepat di sisi kiri jalan.

Senja mulai bergelayut. Penelusuran kami pun berakhir. Sebelum pulang, kami sempat menengok sisi barat pabrik. Tepat di belakang tembok pabrik, terdapat satu kompleks makam Jawa Islam. Awalnya saya berpikir kompleks makam pegawai pabrik dari Eropa atau kerkop, tetapi ternyata bukan.

Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten
Makam tua di belakang pabrik tembakau Kebonarum/Ibnu Rustamadji

“Kompleks makam Islam tua ini, Mas. Ya, mungkin saja, beberapa pegawai Eropa dari pabrik ini (Kebonarum) juga ada di sini,“ ujar Galih.

Sejatinya lazim kalau pegawai Eropa juga turut disemayamkan dengan makam Jawa Islam. Mereka memiliki hubungan pernikahan dengan salah satu perempuan priyayi wilayah setempat. Kompleks makam ini cukup tua, dibuktikan dengan salah satu epitaf nisan berangka 1832.

Saya dan Galih lantas mengirimkan doa untuk mendiang, sebelum berkemas untuk kembali ke kediaman masing-masing. Besar harapan kami perusahaan perkebunan tembakau Kebonarum dan Gayamprit tetap dipertahankan sesuai aslinya. Sebagai wujud perwakilan eksistensi di zamannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Menyigi Sisa Kejayaan Perusahaan Tembakau Kebonarum di Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menyigi-sisa-kejayaan-perusahaan-tembakau-kebonarum-di-klaten/feed/ 1 42232
Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/ https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/#respond Tue, 14 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41911 Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya....

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya. Konon pada masanya, Pabrik Texin pernah menjadi salah satu pabrik tekstil terbesar dan tersohor se-Asia Tenggara.

Menurut penuturan orang zaman dulu yang pernah bekerja di Pabrik Texin, hanya pribumi terpandang yang beruntung menjadi karyawan di pabrik peninggalan Belanda itu. Para karyawan pribumi digaji dengan bayaran yang cukup besar untuk ukuran pada masanya. Belum lagi pemberian tunjangan hari raya yang banyak dan lengkap, seperti sejumlah uang dan sembako. Bahkan karyawan pria, jika ingin memilih pasangannya hanya tinggal menunjuk perempuan mana saja yang ingin ia nikahi, karena jarang ada perempuan yang menolak.

Foto-foto lawas koleksi Tropenmuseum Amsterdam yang menggambarkan para pekerja di antara mesin-mesin tenun di pabrik Java Textiel Maatscappij Tegal atau Pabrik Texin Tegal (kiri) dan pemrosesan kapas yang dipres menjadi bal lalu dikemas oleh pekerja pabrik (kanan).

Sejarah Singkat Pabrik Texin

Pabrik Texin memiliki luas lahan sekitar 50 hektare dan terletak di Jalan Pala Raya, yang menghubungkan Kelurahan Dampyak dan Desa Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Persis di depan area pabrik, terdapat puluhan perumahan dinas khas arsitektur Belanda.

Pabrik ini didirikan pada tahun 1935 dan diresmikan tanggal 25 Mei 1936 dengan nama Java Textil Maatschappij atau JTM, yang berbentuk badan hukum “NV” dengan modal yang terbagi dalam beberapa saham. Hanya berselang setahun kemudian, pabrik mulai produksi dan berlanjut hingga pihak Jepang menguasai Indonesia. Jepang merebut pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1942.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1964 tentang pendaerahan perusahaan industri negara, serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 1965 tanggal 3 Juli 1965, terbentuklah perusahaan industri daerah “Sandang” Jawa Tengah dengan sebutan Pinda “Sandang” Jateng Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal. Di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perusda “Sandang” Jawa Tengah Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pabrik tersebut diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan ditempatkan di bawah pengawasan Badan Pertekstilan Negara. Kemudian dalam perkembangannya, beralih ditempatkan di bawah Badan Pimpinan Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang atau disebut BAPPIT PUSAT TEXIN.

Pada tanggal 27 April 1983, ada pergantian nama pabrik dari Pabrik TEXIN Tegal menjadi Pabrik Tekstil (Pabriteks) Tegal. Lalu pada November 2015, untuk yang terakhir kalinya berubah nama menjadi PT Sandang Tegal Intijaya (tahun 2000 sempat bernama PT Industri Sandang Nusantara). PT Sandang Tegal Intijaya saat ini beroperasi dengan memproduksi benang dan kain, benang TR 20/2, benang katun 20/2, kain katun, dan kain TR (tetron rayon).

Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
Tampak gerbang depan Pabrik Texin atau sekarang PT Sandang Tegal Intijaya/Google Street View

Rumah-rumah Belanda yang Tidak Terurus dan Mitosnya

Kalau Anda berkunjung ke Kota Tegal, kemudian berkendara atau berjalan melewati Jl. Pala Raya, Anda pasti akan menemukan jejeran puluhan rumah khas arsitektur negeri kincir angin yang sudah lapuk termakan waktu. Posisinya persis di sebelah selatan RS Mitra Siaga Tegal dan dekat rel kereta api. Konon, bangunan-bangunan tersebut tersebut adalah perumahan bagi para penggede Hindia Belanda yang dulu bekerja di Pabrik Texin. Seperti yang dituturkan oleh nenek saya, Maslicha (72), “Awal tahun 1960-an itu saat Mbah [sekolah] TK, masih sering terlihat anak-anak keturunan Londo  di sekitar lingkungan pabrik dan perumahan.”

Bangunan rumah yang mencolok dan tidak terawat menambah unsur angker dan mistis. Dari depan pagar, banyak terlihat rumah dinas yang telah terkelupas catnya dan ditumbuhi dengan tanaman liar yang merambat lebat hingga ke atap. Belum lagi kondisi rumah yang sudah jebol di sana-sini. Banyaknya semak belukar di sekitar halaman kompleks perumahan menjadi sarang binatang, seperti ular dan kalajengking. Dari puluhan bekas rumah dinas Belanda tersebut, terdapat satu sekolah (sepertinya sekolah dasar) yang masih terlihat catnya yang bergambar kartun Bobo.

Meski lingkungan sudah tak keruan, fisik rumah-rumah yang terlihat kokoh menjelaskan bahwa bahan bangunan yang digunakan adalah material dengan kualitas terbaik. Bingkai jendela dan pintu menggunakan kayu jati sebagai bahan bakunya. Keramik-keramik yang digunakan sejak masa kolonial masih terlihat utuh. Hanya ada satu-dua rumah saja yang roboh, itu pun akibat angin besar dan hujan lebat yang mengguyur akhir-akhir ini.

Selain perumahan dinas, di kompleks tersebut juga terdapat wisma tamu yang letaknya bersebelahan. Area wisma tamu kurang lebih seluas 70 meter persegi. Tidak banyak yang saya tahu dari wisma tamu. Namun, yang jelas di area wisma tamu terdapat kolam renang anak dan dewasa yang masih utuh bentuknya, serta ruangan karaoke, ruang dansa, dan bar yang luas. Kolam renang tersebut juga dibuka untuk umum pada saat itu. Tepat di belakang ruangan karaoke terdapat lapangan tenis, yang lantainya masih menggunakan keramik putih lama masa kolonial.

Perumahan dinas di sekitar Pabrik Texin juga pernah dan sering dijadikan sebagai tempat pengajian sebelum tahun 2000-an. Di depan jalan sepanjang perumahan dinas dan pabrik, setiap bulan puasa selalu ramai oleh hiasan lampu dan ornamen-ornamen khas Ramadan. “Biasanya setiap pengajian ibu-ibu Jumat sore, kita meminjam tempat di salah satu rumah. Nanti janjian di rumah nomor berapa,” ungkap nenek saya. 

Terdapat mitos yang berkembang di tengah sebagian masyarakat. Di belakang ruang karaoke, terdapat siluman buaya putih penghuni kolam renang. “Di kolam renang yang airnya warna hijau itu ada penunggunya (buaya putih),” kata Lita, salah satu warga setempat.

Ada satu misteri lagi, yakni sering terdengar bunyi sirine pada pukul 12 hingga 3 siang dari arah kompleks perumahan dan pabrik, serta penampakan sesosok pria Belanda di area pabrik. “Biasanya kalau siang itu ada bunyi ‘nguuung’ dari situ,” tambah Wawan, warga desa lainnya.

  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan

Kurang Perhatian Pemerintah dan Terpinggirkan

Sejak berakhirnya masa kolonial Belanda, perumahan dinas Pabrik Texin sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi, aktivitas di sekitar pabrik masih tetap berjalan. Memasuki akhir tahun 2000, kejayaan pabrik mulai memudar karena mengalami kebangkrutan. Bangunan perumahan dibiarkan terbengkalai. Entah karena biaya perawatannya yang besar atau bukan termasuk dalam bangunan cagar budaya yang dilindungi. Bagaimanapun, pabrik dan kompleks perumahan Belanda tersebut adalah bangunan bersejarah. Di baliknya banyak jejak sejarah yang bahkan oleh masyarakat sekitar sendiri tidak mengenali.

Lantas, mengapa bangunan tersebut tidak dihancurkan saja? Sesuai peraturan perundang-undangan, bangunan itu termasuk tipe A yang tidak boleh dibongkar baik luar maupun dalam. Tanggapan dan tindakan pemerintah daerah dalam mengelola Pabrik Texin adalah sebatas melakukan inventarisasi. Adapun pengurusan bangunan tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian BUMN.  Saya jadi bertanya-tanya, apakah jejak sejarah di dekat rumah saya akan tergerus oleh zaman sehingga dilupakan oleh generasi muda?

Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca dan observasi langsung, banyak aset pabrik yang dijual dan beberapa bangunan peninggalan Belanda dihancurkan untuk membayar karyawan yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Misalnya, ruangan pemintalan dan pengecoran yang dirobohkan pertama kali pada 2014, diganti dengan kompleks perumahan baru. Pelelangan dilakukan oleh pemerintah, seperti bangunan untuk pertenunan, persiapan, ketel uap, finishing, bahkan perumahan pejabat dengan arsitektur khas Belanda. Saat ini yang masih tersisa adalah bangunan masjid Baitul Amanah yang berada di bagian paling barat area pabrik.

Selain itu, bangunan pabrik sepertinya juga tidak direnovasi besar-besaran. Menurut informasi beberapa karyawan yang bekerja di pabrik tersebut, kondisi kumuh dan fasilitas pabrik di dalamnya juga masih kurang memadai untuk standar pabrik tekstil modern. Aktivitas pabrik saat ini pun sudah berkurang dibanding saat masih berjaya di bawah pengelolaan Belanda. Hanya beberapa kegiatan saja yang tetap berjalan, seperti pemintalan dan penenunan.

Foto sampul:
Foto hitam putih pabrik Java Textiel Maatschappij Tegal atau Pabrik Texin tahun 1938/koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen


Daftar Pustaka

Mulyadi, A. (2015, 12 Maret). Pabrik Texin Tegal Riwayatmu Kini. Lensa Pantura. Diakses pada 31 Maret 2024, dari http://lensaseputarpantura.blogspot.com/2015/03/pabrik-texin-tegal-riwayatmu-kini.html.
Mulyadi, A. (2023, 23 Juli). Kilas Sejarah Pabrik Texin Tegal, Perusahaan Tekstil Tersohor Pada Masanya. Radar Tegal. Diakses pada 1 April 2024, dari https://radartegal.disway.id/read/659375/kilas-sejarah-pabrik-texin-tegal-perusahaan-tekstil-tersohor-pada-masanya.
Saprudin. (2001). Analisis Sebab Pemborosan Dalam Rangka Meningkatkan Efektivitas Peralatan Pada Pasar Yang Kompetitif (Kasus PT (Persero) Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal). Tesis S-2. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/9396/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/feed/ 0 41911