imlek Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/imlek/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 09 Feb 2024 06:19:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 imlek Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/imlek/ 32 32 135956295 Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/ https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/#respond Fri, 09 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41136 Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas...

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa Krendang, Jakarta Barat ketika perayaan Cap Go Meh selalu menarik perhatianku.

Aku mulai mengacak tumpukan bukuku. Mencari bahan bacaan menarik bertemakan Imlek dan Cap Go Meh, selain tentang kemeriahan Glodok dan pertunjukan Barongsai. Di buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia karya Alwi Shahab—jurnalis senior dan pencerita terbaik tentang sejarah Betawi dan Jakarta—aku menemukan bacaan tentang tradisi membawakan ikan bandeng dan kue cina untuk calon mertua dari calon menantu sebelum Imlek.

Sementara di buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita dari tim Akademi Kuliner Indonesia, menceritakan tentang akulturasi budaya di kehidupan masyarakat Betawi yang multikultur dan berlangsung dalam kurun waktu lama sampai melahirkan tradisi lebaran gaya Jakarta yang “berwarna”. Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi.

Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Di komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani mungkin berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara untuk perayaan Imlek disebut Lebaran Cina dan pindang bandeng menjadi salah satu makanan yang wajib dihidangkan. 

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Sampul depan buku karya Windoro Adi di situs Gramedia Digital/Gramedia

Jejak Kekerabatan Multietnis dari Seekor Bandeng

Membaca fakta itu aku mulai mencari lebih jauh tentang hubungan ikan bandeng dengan perayaan Imlek. Akhirnya aku menemukan kalimat “Sepekan menjelang Imlek tiba, pertigaan Rawa Belong ramai oleh pedagang dan pembeli ikan bandeng…” di buku Batavia 1740 — Menyisir Jejak Betawi tulisan Windoro Adi.

Aku pernah beberapa kali ke Rawa Belong yang terkenal dengan Pasar Bunganya itu. Terakhir ke sana, aku menyusuri daerah ini dari halte busway Slipi Petamburan 2 sampai ke Pasar Bunga Rawa Belong. Dari penelusuran itu aku mendapati beberapa bangunan tua berikut ini:

  1. Gedung Tinggi Palmerah. Bekas kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat VOC, yang sekarang menjadi kantor Polsek Palmerah. Gedung ini dibangun tahun 1790-an bergaya arsitektur Indische dengan ciri khas pilar besar di bagian depan, langit-langit yang tinggi, serta jendela dan pintu besar.
  2. SD Negeri Palmerah 07 Pagi. Bangunan yang dibangun tahun 1936 ini dulunya gedung sekolah Tionghoa, Kwa Ming School.
  3. Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio. Kelenteng yang telah ada dari abad ke-19 ini berdiri di dekat Pasar Palmerah.

Rawa Belong juga terkenal sebagai kampungnya para jawara. Istilah ini mungkin berawal dari zaman Andries Hartsinck menjadi tuan tanah di Palmerah sampai Grogol. Penyebutan Palmerah berasal patok (paal) berwarna merah sebagai penanda batas tanah dari Andries Hartsinck. Dengan tanah seluas itu, Andries Hartsinck membutuhkan penjaga yang disebut centeng dan mandor. Kampung di depan Gedung Tinggi dikenal dengan nama Kampung Kemandoran. Kemungkinan dahulu daerah itu menjadi tempat tinggal para mandor dan centeng, jawara-jawaranya Andries Hartsinck.

Si Pitung, tokoh legenda masyarakat Betawi pun diceritakan lahir di Rawa Belong. Bahkan makamnya bisa ditemukan di depan gedung Telkom, Jl. Palmerah No. 80. Di buku Iwan Mahmoed Al-Fattah, Pitung (Pituan Pitulung): Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta, menjelaskan Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang jawara yang membela kaum lemah dari penindasan kaum kafir penjajah. Salah satu aliran silat khas Betawi, Silat Cingkrik, juga berasal dari Rawa Belong dan makin menguatkan frasa kampung jawara di Rawa Belong.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang ibu memilih bandeng yang akan dibeli di lapak bandeng Rawa Belong, Pamelah, Jakarta Barat/Daan Andraan

Mencari Bandeng di Rawa Belong

Tiga hari menjelang Imlek, dengan menumpang ojek daring, aku menuju ke Rawa Belong. Sehari sebelumnya aku telah mencari info tentang lokasi para penjual ikan bandengnya. Motor pun berhenti di pertigaan Jl. Rawa Belong dan Jl. Sulaiman. Lapak-lapak penjual ikan bandeng yang hanya ada ketika menjelang perayaan Imlek ini berjejer di sisi jalan. Lapak tersebut begitu sederhana. Hanya terbuat dari meja kayu yang di empat sudutnya ada tiang bambu sebagai penyangga atap yang terbuat dari plastik, dan di atas meja berderet-bertumpuk ikan bandeng.

Setelah berkeliling, aku berhenti di salah satu lapak. Pak Ujang, nama bapak penjual bandeng bercerita tentang tradisi “Nganter Bandeng”. Hantaran bandeng ini biasanya dilakukan oleh calon menantu kepada calon mertua. Bandeng yang dibawa dalam bentuk besar sebagai tanda keseriusan dan ketulusan. Bandeng ini kemudian dimasak pindang oleh calon menantu perempuan dan dihidangkan ke keluarga calon mertua laki-laki. Tradisi warga Betawi tersebut kemudian diadopsi oleh orang-orang Tionghoa waktu itu dan menjadikan bandeng sebagai sajian Imlek.

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, J. J. Rizal mengatakan sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang calon pembeli dari atas motornya mengamati tumpukan bandeng jumbo di salah satu lapak Rawa Belong/Daan Andraan

Tradisi “Nganter Bandeng” Kini

Seorang Ibu yang sedang membeli ikan pun ikut nimbrung di percakapan kami. Zaman dahulu apabila ada ikan bandeng yang digantung di pagar rumah, itu menandakan ada seorang gadis yang belum menikah di rumah tersebut dan siap dipinang. Apabila bandengnya hilang, berarti ada seorang pemuda yang tertarik dengan sang gadis. Di masa sekarang, kalau ada yang menggantung ikan di pagar bukan diambil oleh pemuda yang akan datang melamar sang gadis, tetapi dicomot oleh kucing oren yang kelaparan, cerita sang ibu sambil terkekeh.

Tradisi “Nganter Bandeng” untuk menyenangkan hati mertua pun mulai pudar. Namun, ibu itu menambahkan pandangan menarik. Membeli dan memasak pindang bandeng pada saat Imlek, yang kemudian dimakan bersama-sama atau diberikan kepada keluarga yang lebih tua, masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Betawi di Jakarta.

Hal paling unik di lapak para penjual bandeng ini adalah ukuran bandeng yang jumbo. Pak Ujang mengatakan, ikan-ikan ini memang dipelihara sampai berukuran besar dan dipanen untuk dijual menjelang Imlek. Tambak di daerah Cilincing dan Tangerang menjadi sentra pemasok bandengnya. Sementara di lagu Penjual Ikan yang didendangkan Lilis Suryani saja, penyanyi lawas tahun 1960-an, bercerita tentang penjual ikan bandeng yang mengambil ikannya di empang Muara Karang.

Aku pun membeli dua ekor bandeng jumbo seberat tiga kilogram dengan harga Rp240.000 di lapak Pak Ujang. Di atas ojek daring yang mengantarku pulang, anganku dipusingkan, akan ke mana ikan-ikan bandeng ini kuberikan. Pasangan saja tidak punya, apalagi calon mertua!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/feed/ 0 41136
Kelenteng Eng An Kiong dan Perayaan Imlek 2023 https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-dan-perayaan-imlek-2023/ https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-dan-perayaan-imlek-2023/#respond Mon, 13 Mar 2023 04:00:24 +0000 https://telusuri.id/?p=37651 Perayaan Tahun Baru Imlek pada 22 Januari 2023 lalu merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kelenteng Eng An Kiong, Kota Malang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan tua yang berdiri sejak 1825 atas inisiasi dari Letnan...

The post Kelenteng Eng An Kiong dan Perayaan Imlek 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Perayaan Tahun Baru Imlek pada 22 Januari 2023 lalu merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kelenteng Eng An Kiong, Kota Malang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan tua yang berdiri sejak 1825 atas inisiasi dari Letnan Kwee Sam Hway. Konon Letnan Kwee Sam Hway merupakan keturunan ketujuh dari seorang jenderal pada masa Dinasti Ming, di Tiongkok. Dan, menjadi tempat beribadah untuk tiga umat beragama atau Tri Dharma, yakni Khonghucu, Tao, dan Buddha.

Saya datang pagi hari, ketika pertunjukkan barongsai sudah meramaikan halaman depan kelenteng. Saat itu banyak warga yang juga berkunjung untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut. Pasalnya, pada saat perayaan Imlek, tak hanya umat Tri Dharma saja yang dapat mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong, namun juga masyarakat umum.

Saya sempat dibuat penasaran terkait barongsai yang sangat identik dengan perayaan Imlek. Beruntungnya, saya mendapatkan kesempatan untuk bercengkrama dengan Ketua Umum Yayasan Kelenteng Eng An Kiong yakni Pak Rudy Phan. Beliau menjelaskan bahwa barongsai sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh para leluhur. Masyarakat dahulu percaya bahwa barongsai dapat mengusir roh-roh jahat, dan saat ini roh-roh tersebut diibaratkan juga sebagai aura jahat. Maka dari itu barongsai identik dengan perayaan Imlek dan tetap dipertahankan hingga saat ini.

  • Kelenteng Eng An Kiong
  • Kelenteng Eng An Kiong

Usai pertunjukan barongsai, perayaan berlanjut dengan pertunjukan liang-liong atau tari naga. Para penari membawa tiang-tiang untuk menyangga badan naga. Mereka dengan terampil dan cekatan membentuk liukan yang sangat indah pada badan naga. Tak heran pertunjukkan tersebut berhasil memukau masyarakat yang berkerumun.

Saat pertunjukkan sudah berakhir, umat Tri Dharma terlihat semakin banyak yang berdatangan. Dengan langkah yang sedikit ragu, saya akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kelenteng. Meskipun dibuka untuk umum, namun saya khawatir keberadaan saya justru akan mengganggu kenyamanan para umat yang beribadah. 

Asap dan semerbak bau dupa menyambut kedatangan saya. Dupa tersebut berasal dari umat Tri Dharma yang tengah berkeliling dari satu altar menuju altar lainnya yang menggenggam beberapa dupa di tangannya. Ada banyak sekali patung dewa dan dewi di sini. Ada sekitar 18 altar untuk memuja mereka. Sementara itu, patung dewa-dewi yang ada di sana kurang lebih berjumlah 28, dan satu di antaranya merupakan patung tertua yakni patung Dewa Bumi, Hok Tek Ceng Shin, yang berusia lebih dari 3.000 tahun.

Saat itu saya hanya memperhatikan patung-patung tersebut dari balik pintu masing-masing altar. Saya tidak ingin dengan memasuki altar yang ada, karena tidak mau mengganggu peribadatan umat Tri Dharma di Kelenteng Eng An Kiong.

Kelenteng Eng An Kiong
Altar dan salah satu patung dewa di Kelenteng Eng An Kiong/Lutfia Indah

Kendati tak memasuki altar, namun beragam ornamen yang ada di Kelenteng Eng An Kiong sudah dapat membuat saya takjub. Nuansa budaya Tionghoa sangat kental sekali di Kelenteng yang telah menjadi bangunan cagar budaya di Kota Malang tersebut. Mulai dari warna bangunan, dupa, hingga tempat untuk meletakkan dupa, didominasi dengan warna merah dan kuning keemasan. Bahkan di bagian dalam kelenteng juga terdapat ornamen kolam ikan koi dengan patung biksu yang tengah bermeditasi. 

Pak Rudy Phan juga menjelaskan bahwa di Kelenteng Eng An Kiong ini tak hanya sebagai sarana umat untuk beribadah. Mereka juga mengusung misi untuk melestarikan kebudayaan Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sanggar tari dan karawitan, pertunjukan barongsai yang menerima permintaan untuk tampil di acara besar, hingga olahraga pingpong maupun wushu. Pak Rudy juga menuturkan, di bagian belakang kelenteng juga terdapat Puskesmas kecil yang digunakan untuk melayani masyarakat sekitar. 

Berdirinya kelenteng bermula saat kaum Tionghoa yang bermukim di Kota Malang semakin banyak, lebih dari 600 tahun lalu. Mereka memiliki kecenderungan untuk membuat rumah secara terpusat. Hingga akhirnya membangun permukiman yang berada di Jalan R.E. Martadinata nomor 1, Kotalama, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

“Mereka biasanya kumpul di suatu tempat, makanya di daerah sini dinamakan Pecinan. Orang China di Indonesia sudah ratusan tahun, mereka di sini dagang. Mereka ingin berdoa, sembahyang, ya akhirnya mendirikan kelenteng,” sambung Pak Rudy.

Berkunjung ke Kelenteng Eng An Kiong membuat saya semakin merasa indahnya toleransi umat beragama di Indonesia. Bukan hanya perihal satu bangunan kelenteng yang menampung tiga umat beragama saja. Namun pada saat perayaan Imlek pun masyarakat umum dapat turut serta memeriahkannya, bahkan dipersilakan memasuki bagian dalam kelenteng.

Bentuk kebersamaan lainnya juga ditunjukkan pada rangkaian terakhir perayaan Imlek, yakni saat Cap Go Meh. Ketika perayaan Cap Go Meh, Kelenteng Eng An Kiong menyiapkan ribuan porsi lontong Cap Go Meh yang dihidangkan kepada masyarakat umum. 

Rupanya menghabiskan akhir pekan saya untuk menyambangi Kelenteng Eng An Kiong  menjadi hal catatan hari yang menyenangkan. Bangunan tersebut bukan hanya menjadi tempat peribadatan umat Tri Dharma, namun juga salah satu bukti sejarah berbaurnya berbagai kebudayaan yang ada di Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kelenteng Eng An Kiong dan Perayaan Imlek 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-dan-perayaan-imlek-2023/feed/ 0 37651
Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/ https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/#respond Wed, 08 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37523 Siang di akhir tahun 2022, saya masih disibukkan dengan beberapa agenda perkuliahan. Tepatnya mengurus administrasi yang belum juga terselesaikan. Cukup membuat sedikit nggliyeng, karena overthinking perkara KHS yang semoga saja tidak merah. Melihat keadaan ini,...

The post Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang di akhir tahun 2022, saya masih disibukkan dengan beberapa agenda perkuliahan. Tepatnya mengurus administrasi yang belum juga terselesaikan. Cukup membuat sedikit nggliyeng, karena overthinking perkara KHS yang semoga saja tidak merah. Melihat keadaan ini, dengan sigap tangan seorang kawan menyeret saya keluar area kampus. 

Ayo refreshing, sajak mumet ngono!” (Ayo refreshing, seperti pusing begitu!), ajak kawan saya yang belum jelas ke mana tujuannya. Saya kena gendam dengan ucapnya yang bagi saya bak sabda yang harus ditaati. 

Aja adoh-adoh, selak kelangan jejak Pak Wakil Dekan.” (Jangan jauh-jauh, keburu kehilangan jejak Pak Wakil Dekan), sahut saya. Meski secara lisan saya agak mengelak, namun raga saya manut dengan perintahnya.  

Sesaat setelah itu, kami pun mencegat  BST (Batik Solo Trans) di halte dekat gerbang fakultas. “Nyang Sar Gedhe!” (Ke Pasar Gede). Rupanya ia mengajak saya jajan dan kulineran. 

Lampion Terpasang, Tanda Imlek akan Datang

Tiba di Pasar Gede, nampak lampion-lampion sudah terpasang di sisi barat pasar, berjajar rapi dan indah dipandang. Mata saya sedikit melirik keheranan. Tak lama kemudian, seorang pedagang di Pasar Gede bercerita, seolah telah mengetahui kecurigaan apa yang hinggap di kepala saya. Kabarnya, perhelatan akbar tahunan agar kembali digelar Sudiroprajan.

Iya, Sudiroprajan. Kawasan yang biasa kami sebut kampung pecinan di Kota Solo. 

Dahulu, Belanda mengelompokkan permukiman berdasarkan etnis untuk  melancarkan taktik devide et impera. Di Kota Solo, Sudiroprajan dijadikan sebagai rumah orang-orang Cina. Sedangkan di sebelah selatannya, yaitu Pasar Kliwon sebagai permukiman orang Arab. Melansir informasi dari Pemkot Solo, memang hampir setengah penduduk Kelurahan Sudiroprajan merupakan masyarakat keturunan Tionghoa.

  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Lampion Pasar Gede Solo

Pedagang yang kami temui tersebut juga banyak bercerita mengenai Sudiroprajan dari waktu ke waktu. Katanya, rumah-rumah penduduk zaman sekarang bukan lagi seperti bangunan Cina. Sudah tak banyak warga yang mempertahankan bentuk aslinya. Seperti penduduknya yang kini adalah peranakan Cina, bukan Tionghoa asli. “Pancene trah wong Cina, ananging awakedewe ki ya wong Jawa, Wong Solo” (Memang keturunan orang Cina, tetapi kita ini ya orang Jawa, orang Solo), sahut seorang warga keturunan Tionghoa yang berada di dekat kami.

Terlebih sebagai tempat tinggal tentu harus mengalami renovasi, apalagi bangunan asli zaman dulu sudah  keropos termakan usia. Mengingat, deretan rumah di Sudiroprajan dahulu didominasi dengan kayu. Walau begitu, Gen Z seperti saya masih bisa melihat bangunan Cina yang nampak seperti aslinya dulu. Tepatnya di Klenteng Tien Kok Sie, yang arsitekturnya belum banyak berubah. Setiap sisinya masih mempertahankan konstruksi asli.

“Aja lali ya Nduk, suk nonton lampion!” (Jangan lupa ya Nak, besok nonton lampion!), akhir  percakapan kami siang itu.

Grebeg Sudiro Cermin Semarak Kebhinekaan 

Awal tahun 2023 tiba, gawai saya berdering pertanda ada pesan masuk “Grebeg Sudiro wis wiwitan.” (Grebeg Sudiro dah mulai.) Pesan itu mengingatkan agar saya tidak melewatkannya. 

Sudiroprajan  kali ini mengusung tema “Merajut Harmoni dalam Kebhinekaan”. Benar saja, kelurahan dengan luas wilayah 23 ha ini kembali berhasil mengajarkan saya mengenai sesrawungan.  Meski helatan ini dalam rangka memperingati Tahun Baru Imlek, bukan hanya masyarakat keturunan Tionghoa yang memeriahkan event ini.  Sebagian besar pengunjung adalah “orang Jawa tulen” dan bahkan pengunjung yang datang tidak hanya dari Solo saja.  

Dari Grebeg Sudiro saya juga dapat melihat perpaduan apik akulturasi seni serta budaya Jawa dan Tionghoa. Selaras dengan tujuannya untuk merefleksi Kawasan Sudiroprajan sebagai Kampung Pembaruan.

Melalui media sosial Grebeg Sudiro, ada beberapa event yang digelar. Yang pertama yakni Wisata Perahu Hias. Kerlap-kerlip lampu pada perahu hias akan mewarnai Kali Pepe di Kawasan Pasar Gede dari tanggal 10 hingga 30 Januari 2023. Dengan harga tiket Rp10.000 per orang, pengunjung dapat menikmati terang ribuan lampion di tengah gelapnya malam Kota Solo. 

Selain itu, adapula Bazar Potensi yang juga digelar dari tanggal 10 sampai 30 Januari 2023. Agenda ini  menyedot banyak perhatian warga terutama di malam hari. Lewat bazar dengan HTM Rp0 ini, pengunjung bisa jajan aneka panganan, dari yang tradisional seperti gethuk, sate kere, atau kudapan mancanegara seperti takoyaki hingga dimsum. Di sini, pengunjung juga bisa mencicipi jajanan akulturasi Cina—Jawa yang mentereng di Pasar Gede. Kerajinan “awet” seperti patung barongsai, balon berbentuk kelinci, hingga lato-lato yang sedang viral pun ada di sini.

Selain itu, masyarakat yang mengunjungi Bazar Potensi di Grebeg Sudiro ini juga bisa berswafoto dengan segala macam demit jadi-jadian seperti sundel bolong, pocongan, kuntilanak, falak, hingga vampir dan makhluk biru Avatar. Seperti tahun lalu, warga Sudiroprajan juga memasang ikon tahun baru yakni patung kelinci sebagai salah satu spot foto. Letaknya di sebelah selatan Pasar Gede.   Mengiringi suasana di Pasar Gede, kulintang juga kethek ogleng bisa dengan mudah kita temukan di sini. Di sisi barat area bazar, masyarakat dapat nongkrong di halaman balai kota sembari bersantai.

  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Solo Sudiroprajan Imlek
  • Solo Sudiroprajan Imlek

Sementara itu, pada tanggal 12 Januari 2023 juga terselenggara acara Umbul Mantram, serta Karnaval Budaya pada 15 Januari 2023 yang tayang secara langsung di kanal YouTube Gibran TV.

Puncaknya pada pergantian tanggal 21 ke 22 Januari 2023. Di kawasan Pasar Gede diadakan Panggung Pentas Harmoni Sudiro dengan menampilkan TK Warga, Sanggar Tari Bale Rakyat, Ikamala, Dragon Taiji Fight, dan beberapa grup band lokal seperti Teori, Fisip Meraung, dan D’Diamondz. Yang mana acara ini berlangsung dari pukul 18.00. Pesta kembang api pun menjadi pamungkas, menutup seluruh rangkaian acara ini.

Bisa dibilang Grebeg Sudiro tahun ini lebih meriah dibanding tahu lalu. 

Dari seluruh kemeriahan ini, ada hal yang membuat saya tercengang. Yakni, es teh jumbo yang saya bayar dengan harga Rp5.000.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/feed/ 0 37523
Tak Ada Lagi Gerombolan Fotografer di Kuil Xietian Gong https://telusuri.id/tak-ada-lagi-gerombolan-fotografer-di-kuil-xietian-gong/ https://telusuri.id/tak-ada-lagi-gerombolan-fotografer-di-kuil-xietian-gong/#respond Mon, 06 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37420 Minggu (22/1/2023) pagi, seorang perempuan berwajah oriental berbaju merah muda motif kembang-kembang terlihat keluar dari Gang Luna, Bandung, Jawa Barat. Ia kemudian berjalan menyusuri Jalan Cibadak yang lengang ke arah utara. Hari itu bertepatan dengan...

The post Tak Ada Lagi Gerombolan Fotografer di Kuil Xietian Gong appeared first on TelusuRI.

]]>
Kelenteng Satya Budhi
Gerbang utara Kelenteng Satya Budhi/Djoko Subinarto

Minggu (22/1/2023) pagi, seorang perempuan berwajah oriental berbaju merah muda motif kembang-kembang terlihat keluar dari Gang Luna, Bandung, Jawa Barat. Ia kemudian berjalan menyusuri Jalan Cibadak yang lengang ke arah utara.

Hari itu bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili. Perempuan dari Gang Luna itu akan menuju Kelenteng Satya Budhi, yang terletak di Jalan Kelenteng, yang melintang dari Utara ke Selatan.

Antara Jalan Cibadak dan Jalan Kelenteng membentang Jalan Jenderal Sudirman. Maka, jika dari Jalan Cibadak hendak ke Jalan Kelenteng, ataupun sebaliknya, kita harus terlebih dahulu menyeberangi Jalan Jenderal Sudirman. 

Di mulut Jalan Kelenteng, terpasang gapura tinggi. Di atas gapura tertulis kalimat berbunyi: “Wilujeng Sumping. Kawasan Wisata Pecinan.” Kalimat “Wilujeng Sumping” adalah ucapan dalam bahasa Sunda, yang artinya selamat datang.

Kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, berseliweran di Jalan Kelenteng. Mendekati gerbang selatan Kelenteng Satya Budhi, terkadang lalu lintas agak tersendat karena proses keluar masuknya kendaraan yang dari dan menuju Kelenteng Satya Budhi.

Kelenteng Satya Budhi
Gerbang selatan Kelenteng Satya Budhi/Djoko Subinarto

Seorang petugas terlihat sigap mengatur lalu lintas. Sebuah sedan hitam meluncur keluar dari kompleks kelenteng menuju utara, sementara dua kendaran lain dari arah selatan siap memasuki kompleks kelenteng.

Gerbang kelenteng hanya dibuka separuh. Saya iseng melongok ke dalam. Setelah gerbang utama, ternyata ada lagi gerbang kedua, berupa gerbang dorong, yang dijaga beberapa petugas.

Persis di seberang gerbang kelenteng, dua gerobak sederhana berdiri. Gerobak itu menjual pernak-pernik imlek yang didominasi warna merah, termasuk kartu ucapan imlek maupun amplop. Sang penjual terlihat tengah menata barang dagangannya. Tak jauh darinya, penjual kembang menggelar dagangan mereka di emperan ruko yang tutup.

Di depan gerbang kelenteng, di sebelah kiri, sekelompok pencari derma duduk bergerombol. Mereka menanti derma dari mereka yang pulang berdoa atau bersembahyang di kelenteng.

Di sebelah kanan gerbang kelenteng yang terbuka lebar, terlihat penjual burung pipit. Burung-burung pipit yang dijualnya ditempatkan dalam beberapa sangkar. 

Kelenteng Satya Budhi
Halaman depan Kelenteng Satya Budhi/Djoko Subinarto

Sebagian warga Tionghoa hingga kini masih melaksanakan salah satu tradisi Imlek, yaitu melepaskan sejumlah burung pipit. Tujuan utamanya adalah untuk berbuat baik kepada makhluk lain dan untuk keberkahan hidup. 

Kelenteng Satya Budhi adalah salah satu kelenteng tertua di Kota Bandung. Ia menjadi satu bukti peninggalan sejarah pecinan masa silam di kota berjuluk Parijs van Java ini.

Awalnya, kelenteng ini bernama Kuil Xietian Gong, berdiri sejak tahun 1865 dan merupakan tempat tinggal seorang kapiten Tionghoa bernama Tan Yun Liong. Barulah pada tanggal 15 Juni tahun 1885, bangunan tempat tinggal ini dijadikan sebuah kelenteng.

Pada masa kolonial Belanda, jalan di mana Kelenteng Satya Budhi berada bernama Chineese Kerk Weg. Dalam bahasa Belanda, ‘kerk’ secara harfiah berarti ‘gereja’. Adapun ‘weg’ bermakna jalan. 

Setidaknya ada dua jalan masuk untuk mencapai lokasi Kelenteng Satya Budhi. Pertama, kita bisa masuk dari arah utara, yaitu dari Jalan Kebon Jati. Kedua, dari arah selatan yakni dari Jalan Jenderal Sudirman. Akses masuk ke kelenteng bisa dari pintu gerbang utara, yang langsung menuju halaman samping kelenteng, atau bisa lewat gerbang selatan dan harus melewati ruangan parkir.

Jika masuk dari Jalan Kebon Jati, Kelenteng Satya Budhi berada di sisi kanan. Sebaliknya, kalau kita masuk dari Jalan Jenderal Sudirman, posisi kelenteng berada di sisi kiri. Lokasi kelentengnya sendiri tidak menghadap persis ke tepi jalan, melainkan agak menjorok ke dalam, menghadap ke arah selatan.

Aroma hio

Suasana kelenteng yang relatif sunyi sepi di hari-hari biasa mendadak ramai tatkala hari Imlek tiba. Kalau kita menyempatkan dolan-dolan ke kelenteng ini pas di waktu Imlek, nuansa kental Imlek niscaya kita dapatkan di sini. Lampion bergelantungan. Dupa yang mengepul, aroma hio yang menyengat di antara mereka yang hendak dan tengah bersembahyang.

Di dalam kelenteng yang didominasi warna merah, terlihat orang-orang khusyu memanjatkan doa. Sejumlah arca—antara lain arca Panglima Perang Kwan Yu dan Dewi Kwan Im—serta sajian aneka bunga dan buah-buahan segar terlihat di atas altar. Lilin merah berbagai ukuran menyala di ruang tengah dan halaman belakang kelenteng.

Ritual sembahyang saat Imlek lazimnya diawali dengan menyalakan dupa. Setelah itu, berdoa di halaman depan kelenteng. Kemudian, masuk ke ruang utama kelenteng dan berdoa kembali di depan altar utama dan dilanjutkan dengan berdoa di ruang barat dan ruang timur kelenteng.

Kelenteng Satya Budhi
Gapura jalan Kelenteng Satya Budhi/Djoko Subinarto

Dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, ritual Imlek di Kelenteng Setya Budhi sekarang jauh lebih tertib dan lebih khusyu. Hanya mereka yang akan bersembahyang yang diperkenankan masuk ke lingkungan kelenteng.

Dulu, saat Imlek, siapa pun bisa masuk ke dalam kelenteng. Di malam Imlek dan hari Imlek, halaman dan  ruangan Kelenteng Setya Budhi dipadati bukan hanya oleh mereka yang sembahyang, tetapi juga mereka yang sedang berburu (hunting) foto. Para juru foto ini hilir mudik di dalam kelenteng dan di halaman kelenteng mencari momen dan sudut bidik ideal. Pada saat yang sama, para pencari derma juga bergerombol persis di depan pintu kelenteng.

Sekarang, tak ada lagi terlihat gerombolan fotografer ataupun para pencari derma yang menyesaki halaman utama Kelenteng Satya Budhi. Begitu juga di dalam kelenteng. Dengan begitu, para pesembahyang kini dapat lebih khusyu memanjatkan doa-doa mereka. 

Kelenteng Satya Budhi
Penjual bunga di jalan kelenteng/Djoko Subinarto

Meski sempat dipugar pada tahun 1958 dan 1985, serta mengalami kebakaran pada tahun 2019, hingga sekarang arsitektur asli kelenteng ini masih tetap utuh. Warga masyarakat Tionghoa, baik yang mukim di Bandung maupun di luar Bandung, yang masih memegang tradisi budaya leluhur mereka, kerap datang ke Kelenteng Satya Budhi untuk melakukan ritual ibadah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Ada Lagi Gerombolan Fotografer di Kuil Xietian Gong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-ada-lagi-gerombolan-fotografer-di-kuil-xietian-gong/feed/ 0 37420
Rupa Tahun Baru Imlek 2573 di Pasar Gede, Solo https://telusuri.id/rupa-tahun-baru-imlek-2573-di-pasar-gede-solo/ https://telusuri.id/rupa-tahun-baru-imlek-2573-di-pasar-gede-solo/#respond Fri, 11 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32805 Di Kota Solo, peringatan Tahun Baru Imlek 2573 biasa dilaksanakan dengan berpusat di Kawasan Pasar Gede Solo. Akan tetapi, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dimeriahkan dengan berbagai acara Imlek, kali ini di Pasar Gede hanya...

The post Rupa Tahun Baru Imlek 2573 di Pasar Gede, Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kota Solo, peringatan Tahun Baru Imlek 2573 biasa dilaksanakan dengan berpusat di Kawasan Pasar Gede Solo. Akan tetapi, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dimeriahkan dengan berbagai acara Imlek, kali ini di Pasar Gede hanya berhiaskan seribu lampion, lampu shio, serta satu patung shio macan. Meski begitu, antusiasme masyarakat telah terlihat sejak beberapa waktu sebelum tahun baru tiba. Hasilnya Pasar Gede semakin ramai.

Di sini, peringatan tahun baru Imlek bukan hanya dinantikan oleh masyarakat Surakarta keturunan Tionghoa saja, melainkan juga bagi ribuan masyarakat dengan berbagai latar agama dan suku. Selain itu, tak hanya masyarakat Solo Raya saja yang mengunjungi Pasar Gede saat Tahun Baru Imlek, masyarakat dari kota Semarang, Yogyakarta hingga Jakarta pun turut meramaikan pagelaran seribu lampion di Pasar Gede tahun ini.

Imlek Pasar Gede Solo
Jembatan Pasar Gede dan sekitarnya yang hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki pada 31 Januari 2022/Rosta Tinika S

Sejak pemasangan lampion, masyarakat telah ramai mengunjungi kawasan Pasar Gede. Masyarakat pada umumnya berdatangan sedari petang hingga malam hari. Saat-saat tersebut merupakan waktu yang sempurna untuk menikmati indahnya Kota Solo berhias seribu lampion. Hal ini dikarenakan lampion yang sengaja dipasang di kawasan Pasar Gede tersebut terlihat elok saat menyala di balik gelap malam. 

Keramaian begitu nampak sedari hari Sabtu, 29 Januari 2022. Banyak masyarakat menghabiskan malam minggu bersama orang tersayang mereka di Kawasan Pasar Gede hingga Balai Kota Solo. Dari Tugu Jam Pasar Gede hingga Jembatan Pasar Gede, Kali Pepe, Jalan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres menjadi arena kulineran masyarakat. Di area itu banyak pedagang kaki lima dan jejeran hik (warung angkringan) yang menjajakan dagangannya. 

Apalagi kala itu hujan sempat mengguyur Kota Solo, menjadi saat yang pas untuk menikmati wedang ronde. Banyak pula masyarakat yang mengabadikan momen Imlek di Pasar Gede dengan berswafoto. Galeri Seni Pasar Gede juga menjadi sasaran dari perhatian masyarakat untuk menikmati malam dengan lampion yang menghiasi pepohonan di sekitar pendopo galeri tersebut.

Imlek Pasar Gede Solo
Kawasan Galeri Seni Pasar Gede dipadati masyarakat pada Minggu, 30 Januari 2022/Rosta Tinika S

Seribu lampion ini menjadi momen yang sangat dinantikan masyarakat lantaran sudah dua tahun tidak diadakan. Maka dari itu banyak pengendara motor yang memadati jalanan, dari Monumen Patung Slamet Riyadi di Jalan Slamet Riyadi hingga arah Pasar Gede dan Balai Kota Solo di Jalan Jenderal Sudirman.

Keadaan di Pasar Gede begitu ramai oleh manusia, sepertinya mereka tidak begitu khawatir akan terpapar COVID-19. Meski begitu, mereka telah menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak fisik serta memakai masker. Selain itu suntikan vaksin dosis lengkap yang telah diterima sebagian besar masyarakat membuat mereka semakin memberanikan diri untuk turut meramaikan malam saat tahun baru Imlek di Pasar Gede.

Varian Omicron yang tengah merebak di Jakarta, tidak begitu membuat pengunjung khawatir, sepertinya sih. Lantaran Kota Solo yang masih terbilang aman dari varian tersebut. Namun, di sisi lain sebagian masyarakat sedikit khawatir lantaran cukup banyaknya pengunjung  yang berasal dari Jakarta berdatangan ke Pasar Gede.

Menanggapi keramaian masyarakat saat menghadiri lampion di Pasar Gede, satgas COVID-19 terus memantau aktivitas masyarakat yang menimbulkan kerumunan. Mereka pun tidak segan membubarkan masyarakat jika kerumunan tidak dapat dikendalikan. Sedangkan dalam upaya mengantisipasi kemacetan lalu lintas, petugas kepolisian melakukan pengalihan arus lalu lintas di berbagai kawasan yang biasa dipadati pengendara kendaraan bermotor. Pengalihan tersebut di Jalan Jenderal Sudirman hingga persimpangan Bank Indonesia. 

Imlek Pasar Gede Solo
Pengendara motor yang memadati jalanan sekitar Pasar Gede/Rosta Tinika S

Kabarnya, penutupan dan pemberlakuan arus lalu lintas sejak hari Senin 31 Januari hingga 16 Februari 2022. Oleh karena rekayasa lalu lintas tersebut, pengendara kendaraan bermotor hanya dapat melalui Jembatan Pasar Gede, Tugu Jam Pasar Gede, hingga Balai Kota sebatas pada 30 Januari 2022. Hal tersebut disebabkan sejak 31 Januari 2022 kawasan tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan kaki. Kebijakan ini diberlakukan mengingat ramainya pengendara motor dapat berakibat buruk baik bagi pengendara maupun pejalan kaki yang memadati kawasan Pasar Gede.

Walhasil menjelang puncak perayaan malam Tahun Baru Imlek pada 31 Januari kali ini nampak kemacetan yang cukup parah dari arah Bundaran Gladak hingga Balai Kota, sedangkan dari arah sebaliknya terlihat jauh lebih lengang. 

Mendadak Pasang Lampion

Mulanya masyarakat Tionghoa di Surakarta tidak berniat untuk memasang lampion saat Imlek seperti dua tahun sebelumnya. Namun, bermodal perizinan pemasangan seribu lampion atas dasar permintaan pemerintah Kota Solo membuat masyarakat keturunan Tionghoa memberanikan diri meramaikan Tahun Baru Imlek dengan memasang lampion.

Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka beserta sang wakil berharap Imlek di Pasar Gede kali ini tidak meredup seperti tahun-tahun kemarin setelah pandemi melanda dunia. Walaupun demikian, pagelaran imlek lainnya seperti Festival Imlek hingga Grebeg Sudiro tidak turut diadakan mengingat masih merebaknya COVID-19.

Salah seorang tokoh masyarakat Tionghoa, Sumartono Hadinoto mengaku permintaan walikota terbilang mendadak sehingga masyarakat Tionghoa hanya mampu memasang 1000 lampion dengan satu patung shio macan pada Imlek tahun ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rupa Tahun Baru Imlek 2573 di Pasar Gede, Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rupa-tahun-baru-imlek-2573-di-pasar-gede-solo/feed/ 0 32805
Kilas Balik Festival Imlek dan Cap Go Meh https://telusuri.id/kilas-balik-festival-imlek-dan-cap-go-meh/ https://telusuri.id/kilas-balik-festival-imlek-dan-cap-go-meh/#respond Thu, 11 Feb 2021 18:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26997 “Festival Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak Tahun Ini Ditiadakan” Aku menemukan berita ini berseliweran di Instagram dan bermunculan pula ribuan komentar yang menyayangkan hal itu. Wajar sih, karena perayaan Imlek selalu menjadi momen...

The post Kilas Balik Festival Imlek dan Cap Go Meh appeared first on TelusuRI.

]]>
Festival Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak Tahun Ini Ditiadakan

Aku menemukan berita ini berseliweran di Instagram dan bermunculan pula ribuan komentar yang menyayangkan hal itu. Wajar sih, karena perayaan Imlek selalu menjadi momen paling berkesan bagi semua masyarakat di sini. Itulah implementasi sikap toleransi dan gotong royong antar umat beragama bagi kami.

Bahkan, tepat di pukul 06:51 WIB, Aku pun mendapati berita pop up di layar handphone  yang telah membuatku yakin kalau wisata Imlek pasti ditiadakan. Katanya begini, “Pemkot Pastikan Perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak Ditiadakan.

Saat sarapan, Ayah juga mengatakan hal demikian karena beliau barusan mendapatkan berita itu di TV tadi subuh.

Tau ndak? Kalau Gubernur Kalimantan Barat tuh ye, udah ngasik tau kalau Imlek dan Cap Go Meh udah ditiadekan. Biaselah, takot bah muncol agik klaster baru COVID-19…” ucap Ayahku dengan logat dan bahasa Pontianak atau biasanya kita kenal sebagai bahasa Melayu. Artinya, Pak Gubernur telah meniadakan Imlek karena ingin mencegah penyebaran klaster baru COVID-19 di Pontianak.

Memang betul, tahun 2021 ini masih menjadi ujian bagi kita semua, karena pandemi masih belum berakhir. Di berbagai daerah pun mulai ketat menerapkan PSBB, work and study from home hingga mempersuasi usaha preventif yaitu 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak). Untuk itu, semua pihak berwajib sangat mengantisipasi munculnya keramaian di berbagai tempat.

Kemarin aja, aku pergi ke warung kopi juga di razia oleh satpol PP dan kami semua wajib rapid dan swab test COVID-19 secara massal. Apalagi wisata Imlek yang bisa memicu keramaian. Tentu saja, menjadi perhatian besar bagi yang membuat kebijakan.

Kembali ke cerita Imlek yang tertunda ini.

Aku adalah penikmat dari wisata Imlek yang biasanya dipusatkan di Jalan Diponegoro, Pontianak, Kalimantan Barat. Menurut perhitungan kalender Gregorian, tahun baru Imlek jatuh pada tanggal 12 Februari 2021. Walaupun aku seorang muslim, aku dan keluargaku tetap menganggap Imlek sebagai peristiwa penting yang harus kita hargai.

Tradisi yang paling Aku senangi saat Imlek itu adalah saat bagi-bagi amplop yang berwarna merah itu. Menurut kepercayaan mereka, amplop merah yang paling disukai anak-anak dan aku ini, berisi sejumlah uang dan doa kebaikan. Biasanya, aku diajak ayah pergi ke rumah temannya yang merayakan Imlek dan selalu saja tasku dipenuhi amplop dan kue keranjang.

Tahu kan kue keranjang?

Itu loh, yang kalau menjelang Imlek, pasti letaknya di barisan depan minimarket maupun supermarket. Sangat berkesan! Tapi, itu hanyalah kenangan di tahun 2020 sebelum pandemi meluas.

Atraksi Tatung
Ratusan tatung mempersiapkan peralatan sebelum pawai tatung dalam rangka memperingati Cap Go Meh via TEMPO/ Tony Hartawan

Nah, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek pada hari ini, Aku mau mengulas kembali memori terbaik sepanjang Aku berkunjung ke wisata imlek atau dikenal oleh masyarakat Pontianak itu, Festival Cap Go Meh di tahun 2020. Seperti biasa, saat menjelang Imlek, kota kelahiranku dihiasi lampion yang berkelap-kelip. Aku seolah-seolah sedang berada di Hongkong. Ceilah!

Hal ini pula yang membuat Aku makin jatuh cinta sama Kota Pontianak karena selalu memberikan kehangatan ketika menyambut pergantian tahun bagi masyarakat Tionghoa. Bayangkan saja! Ada 2500 lampion gantung di sepanjang Jalan Gajah Mada dan sekitarnya. Benar-benar meriah.

Festival ini biasanya dibuka pada pukul 16.00 WIB atau siang hari, tapi aku bersama kerabat dekatku datang setelah sholat Ashar, tepat di pukul 16:45 WIB. Mau tahu gimana situasinya saat itu? Pecaaaah!

Aku aja speechless karena suasana yang ditawarkan membuat kami bahagia! Terdengar pula dentuman kembang api dan membuat langit cantik sekali kala itu. Sembari mengelilingi wilayah tersebut, ditemukan pula berbagai kuliner dari UMKM yang membuat aku mengecap-ecap bibir.

Selama acara berlangsung, Aku juga menemukan wisatawan domestik hingga mancanegara. Kalau dilihat-lihat muka mereka kayaknya orang Asia deh. Tapi, ada juga loh bule-bule yang menghadiri acara ini dan mereka asyik memotret naga yang bersinar serta barongsai yang menari-nari. Mereka memulai rute dari Juanda-Pattimura-Gajah Mada-finish-Budi Karya, seingat ku sih begitu.

Selain itu, juga ada penampilan dan atraksi dari tatung yang bikin bulu kuduk merinding. Ekstrem banget dong! Mereka menancapkan kawat baja runcing dan menembus tubuhnya. Lalu, berjalan di atas pecahan kaca atau pisau yang tajam. Anehnya, mereka itu nggak merasakan sakit atau terluka. Secara akal sehat memang tidak mungkin, tapi itulah uniknya Tatung yang misterinya masih aku cari tahu. Lumayan lah, bisa memicu lonjakan adrenalin saat itu.

Cha, emang gak ngilu ape liat yang begituan? Ngerik coy, ngerik. Balek yak yok, ndak tahan kamek liat macam tu. Takot bah jadi mimpi burok!” ucap Nurul.

Mendengar ucapan si Nurul, aku terbahak-bahak ketika itu. Nurul bilang, dia itu ngajakin Aku pulang karena takut melihat atraksi Tatung. Katanya, takut mimpi buruk. Aku jelas tidak mengindahkan perkataannya dan tetap menikmati penampilan dari Tatung yang sedang berlangsung. Sayangnya, Aku gak berani memotret saat mereka beraksi.

  • Atraksi Tatung
  • Atraksi Tatung

Oh iya, selama aku menghadiri festival, juga ada kejadian lucu yang membuatku tertawa terbahak-bahak sepanjang perjalanan pulang. Jadi, di sampingku ada koko-koko yang sedang bercanda dan bersikap seakan-akan sedang kemasukan roh halus karena tadi dia berpegangan tangan dengan si Tatung. Nah, si Nurul auto kaget dan berteriak sekencang-kencangnya karena memang si Nurul ini penakut. Dan, akhirnya koko tersebut jujur bahwa semua itu hanyalah candaan.

Hari mulai larut, aku pun sudah ditelpon oleh orang tuaku dan inilah waktunya kami pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa pula, aku membawa oleh-oleh berupa kue keranjang khas Imlek. Begitulah ceritaku selama mengunjungi wisata Imlek di Pontianak, salah satu momen paling berkesan yang tak terlupakan.

Semoga di tahun berikutnya, kita masih bisa menyaksikan Festival Cap Go Meh ketika situasi sudah memungkinkan, ya?

Cerita dari Icha, untuk kamu baca di Tahun Baru Imlek 2021.

The post Kilas Balik Festival Imlek dan Cap Go Meh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-festival-imlek-dan-cap-go-meh/feed/ 0 26997