indonesia colonial heritage Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/indonesia-colonial-heritage/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Sep 2024 12:31:12 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 indonesia colonial heritage Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/indonesia-colonial-heritage/ 32 32 135956295 Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/ https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/#respond Fri, 13 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42647 Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini...

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini memang dipenuhi rumah-rumah besar dengan halaman luas. Belum lagi deretan pohon palem raksasa di kanan-kiri jalan. Sementara bagian tengahnya ada taman yang berbentuk memanjang.

Intinya, Jalan Ijen atau sering disebut Idjen Boulevard ini tertata sangat baik. Bisa jadi karena kawasan ini adalah salah satu landmark Kota Malang sehingga harus selalu terlihat cantik. Rumah-rumah megah dengan berbagai gaya seolah menandakan bahwa tempat ini bukanlah kawasan sembarangan. Kenyataannya memang demikian, karena Idjen Boulevard merupakan permukiman elit dari masa kolonial Belanda hingga saat ini.

Saking cantiknya Idjen Boulevard ketika itu, tempat ini pernah dinobatkan sebagai kawasan terbaik pada masa kolonial. Idjen Boulevard sendiri membentang dari selatan ke utara. Mulai dari perempatan Jalan Kawi hingga perlimaan Gereja Katedral Ijen.

Kesempatan untuk menjelajahi tempat ini sambil mendengarkan kisah sejarah Idjen Boulevard, kembali saya dapatkan pada Februari lalu. Sewaktu saya mengikuti tur heritage bertema Nooit Klaar yang diadakan Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH). Dalam bahasa Belanda, Nooit Klaar mempunyai arti perencanaan yang belum selesai.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Para peserta mendengarkan arahan sebelum tur dimulai/Dewi Sartika

Dari Rumah Bentoel ke Rumah Soesman

Dulunya, kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya di masa kolonial memang masuk dalam bouwplan (rencana penataan kota) VII Kota Malang. Pada waktu itu, pemerintah Belanda berencana membangun kota ini secara bertahap melalui sejumlah bouwplan. Sayangnya, ketika Belanda hendak melengkapi pembangunan kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, Jepang keburu masuk ke Indonesia pada tahun 1942.

Warsa 1917, bouwplan Kota Malang pertama kali dilaksanakan. Sementara bouwplan VII yang meliputi Idjen Boulevard dan sekitarnya baru dilakukan tahun 1935. Perencanaan tata kota kawasan ini sendiri diarsiteki Thomas Karsten, yang dikenal juga sebagai orang di balik pembangunan Pasar Johar Semarang dan Pasar Gede Hardjonagoro di Solo.

Bouwplan VII merupakan kelanjutan dari proyek bouwplan V yang dimulai dari Jalan Semeru dengan dua gedung kembar yang mengapit jalan tersebut hingga ke arah barat yang tembus ke Jalan Ijen (Idjen Boulevard).

Saya berjalan beriringan dengan salah satu peserta yang saya kenal di tur-tur heritage sebelumnya. Kami menyusuri Jalan Semeru mengikuti instruksi Irawan Paulus, pemimpin tur. Bersama peserta lainnya, kami berangkat dari titik kumpul yang berada di Jalan Sumbing kemudian menyeberangi jalan. Selanjutnya kami singgah dan berdiri di samping gedung perpustakaan Kota Malang.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Rumah Bentoel sebelum ditutupi seng/Dewi Sartika

“Bangunan bercat merah yang ada di hadapan kita ini sering disebut sebagai ‘Rumah Bentoel’. Kenapa demikian? Karena dulunya rumah tersebut memang dimiliki pengusaha rokok cap Bentoel sehingga dinamai Rumah Bentoel,” jelas lelaki yang lebih dikenal dengan sapaan Om Ir itu.

Sebagai permukiman elit, rumah-rumah di Jalan Ijen memang dibangun untuk kebutuhan tempat tinggal bagi orang-orang kulit putih maupun orang berada yang termasuk dari kalangan Tionghoa. Rumah Bentoel mulanya dimiliki The Bo Gwan. Rumah ini berdiri pada tahun 1935 dengan Liem Bwan Tjie sebagai arsiteknya. Ia dikenal sebagai arsitek Tionghoa pertama di Kota Malang.

Sebelum mendapat sebutan Rumah Bentoel, bangunan yang terletak di Jalan Semeru dan Jalan Ijen tersebut juga pernah menjadi kediaman Wali Kota Malang semasa pendudukan Jepang, Raden Adipati Ario Sam (1942–1954), kemudian dimiliki pengusaha rokok Bentoel. Menurut kabar terakhir yang diperoleh ICH, kepemilikan rumah tersebut sudah beralih tangan ke pihak lain.

Sayangnya, keasrian dan keindahan bangunan era kolonial tersebut terancam. Sudah beberapa minggu belakangan, rumah yang didominasi warna merah itu ditutupi seng. Bukan rahasia umum lagi, apabila sebuah rumah telah tertutup seng, dipastikan bangunan tersebut akan berubah. Hal ini pula yang pernah saya temui di kawasan Idjen Boulevard beberapa waktu lalu. Semoga saja apa yang saya perkirakan tersebut salah.

Tak berselang lama sesudah para peserta berjalan, kami kemudian berhenti beberapa meter dari bangunan Perpustakaan Kota Malang. Perhatian saya dan lainnya tertuju ke seberang jalan, saat Om Ir menunjuk sebuah rumah di samping Museum Brawijaya.

Diperkirakan rumah tersebut dibangun pada 1930-an. Pemiliknya bernama Soesman. “Dulu, ada dua orang bernama Soesman. Yang satu orang Belanda berdarah campuran, satunya lagi pribumi. Dugaan saya, pemilik rumah yang ada di belakang saya ini adalah Soesman, orang Belanda berdarah campuran,” ucap Om Ir ketika menerangkan singkat tentang pemilik awal rumah tersebut.

Berdasarkan kisah yang diperoleh, Soesman merupakan anggota volksraad (dewan rakyat) sekaligus aktif di Indo-Europeesch Verbond (IEV). Ia juga yang berupaya mempertahankan bouwplan VI (kawasan yang diberi nama pulau-pulau) sebagai tempat hunian bagi kaum menengah ke bawah, karena sebelumnya ada rencana akan dibuat sebagai area industri pada saat itu. Sayangnya, rumah milik Soesman sekarang sudah berubah bentuk. Hanya atapnya saja yang masih asli.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Gardu ANIEM di Idjen Boulevard/Dewi Sartika

Sejumlah Ciri Khas Kawasan Idjen Boulevard

Selesai mendengar penjelasan, kami kemudian meneruskan langkah menyusuri jalur pejalan kaki (pedestrian) di sepanjang Jalan Ijen. Sesekali saya menengok ke atas, lalu menyadari bahwa saya seolah seperti kurcaci yang berada di bawah barisan pohon palem yang sudah ada sejak kawasan ini mulai dibangun. Tak luput, sepasang mata saya juga mengedarkan pandangan ke rumah-rumah yang kami lewati saat itu.

Sementara itu, lalu-lalang kendaraan tak berhenti melewati jalan kembar yang berada di Idjen Boulevard. Ya, kawasan ini dibelah dua jalan yang dipisahkan taman yang membentang di sepanjang Jalan Ijen. Dikutip dari Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, boulevard sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti dua ruas jalan dengan taman yang ada di tengah-tengahnya. 

Pada salah satu taman, terdapat gardu ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij), perusahaan listrik yang berdiri pada 1909. Fungsinya untuk menyalurkan listrik melalui kabel ke rumah-rumah di kawasan Idjen Boulevard.

“Rumah-rumah yang ada di kawasan ini dulunya tidak dibangun secara serentak, tetapi setahap demi setahap,” ucap lelaki kelahiran 1967 tersebut.

Bentuk rumah-rumah di sepanjang Idjen Boulevard sekarang sudah bercampur. Ada bangunan peninggalan kolonial, ada juga yang sudah beralih rupa menjadi bangunan bergaya modern. Om Ir menjelaskan bahwa dulunya tipe rumah-rumah di Idjen Boulevard berbentuk rumah vila dengan ukuran sekitar 1.000 meter persegi (paling kecil 600 meter persegi), dengan ukuran bangunan banding tanah adalah 50:50.

Rumah vila di Idjen Boulevard yang masih bisa dilihat adalah sebuah rumah bertingkat dengan tulisan De Vliering di salah satu bagian atasnya. Tidak seperti rumah dua lantai zaman sekarang yang terdiri dari beberapa ruangan, lantai dua di De Vliering hanya berisi satu kamar saja.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Irawan Paulus dengan sebuah foto rumah De Vliering/Dewi Sartika

Ciri khas Idjen Boulevard tak hanya rumah vila saja, tetapi juga menyangkut jalur pejalan kaki. Dulunya pedestrian tidak mulus seperti saat ini (dilapisi lantai), tetapi hanya berupa tanah yang dilapisi batu-batu kecil. Tujuannya agar air hujan yang jatuh di jalur pejalan kaki bisa meresap ke tanah dan tidak meluber ke jalan.

“Dulu, di sini masih terdapat burung-burung manyar yang hinggap di pohon-pohon palem yang ada di sepanjang Jalan Ijen. Sekarang sudah habis karena diburu manusia. Tupai juga masih ada saat itu,” kenang Om Ir kepada para peserta.

Kami melanjutkan perjalanan lalu berhenti kembali di depan sebuah jalan yang menyerupai gang yang diapit dua rumah. Dari penjelasan Om Ir, kami mengetahui kegunaan jalan ini di masa kolonial dulu.

Dulunya, jalan ini disebut brandgang yang berarti gang kebakaran. Brandgang ini bisa ditemui di setiap permukiman yang dibangun pemerintah Belanda saat itu. Keberadaan gang tersebut digunakan sebagai jalur evakuasi sekaligus jalan yang dilalui mobil pemadam kebakaran seandainya terjadi kebakaran. Sayangnya, kini gang yang menghubungkan Idjen Boulevard dan Jalan Rinjani tersebut menjadi jalan buntu.

Salah satu rumah bergaya kolonial yang mengapit brandgang pernah menjadi rumah kos anak laki-laki (jongen) sebagaimana iklan termuat di Soerabaijasch Handelsblad tahun 1935—yang ditunjukkan kepada peserta tur. Tentu saja, saat itu yang mampu ngekos adalah anak-anak Belanda yang bersekolah di Kota Malang. 

Jadi, rumah kos ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Berbeda dengan kos zaman sekarang yang cenderung bebas, menurut Om Ir, pada masa itu anak-anak yang kos tinggal satu atap dengan induk semang atau pemilik kos. Sejujurnya, cerita ini mengingatkan saya kepada kisah Presiden Sukarno ketika indekos di rumah HOS Cokroaminoto.

Waktu terus bergerak menuju siang hingga akhirnya tiba di perlimaan yang ditandai dengan keberadaan Gereja Katedral Ijen. Sembari berjalan, dalam hati saya membayangkan bagaimana kondisi kawasan bouwplan VII tempo dulu dan merasa beruntung masih bisa menikmati kawasan ini.

Rasa-rasanya tak berlebihan, sebagai warga Kota Malang, saya sangat berterima kasih kepada Thomas Karsten atas mahakaryanya yang satu ini. Meskipun nasib arsitek kelahiran Amsterdam tersebut harus berakhir pada 1945 di kamp interniran di Cimahi, sewaktu pendudukan Jepang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/feed/ 0 42647
Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2) https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-2/ https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-2/#respond Thu, 14 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41366 Setelah sore hari mengeliling Hotel Niagara, malamnya para peserta berkumpul di ruang tengah. Acara makin seru ketika panitia membagikan doorprize bagi peserta yang bisa menjawab pertanyaan. Kegiatan penelusuran dan menginap di Hotel Niagara yang berlangsung...

The post Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sore hari mengeliling Hotel Niagara, malamnya para peserta berkumpul di ruang tengah. Acara makin seru ketika panitia membagikan doorprize bagi peserta yang bisa menjawab pertanyaan. Kegiatan penelusuran dan menginap di Hotel Niagara yang berlangsung dua hari satu malam makin meninggalkan kesan tak terlupakan bagi para peserta. Keesokannya, setelah salat Subuh kami diajak menikmati matahari terbit di rooftop (atap) bangunan.

Tentu saja untuk ke sana kami harus menaiki anak tangga terlebih dahulu menuju lantai empat dan lima. Kedua lantai tersebut tidak difungsikan pihak pengelola. 

Hawa dingin langsung menyelimuti begitu kaki kami tiba di bagian paling atas Hotel Niagara. Sekitar satu setengah jam saya dan peserta lainnya menikmati pemandangan kota Lawang dari atap bangunan. Udara terasa menusuk tulang. Belum lagi angin lumayan kencang turut menemani kami selama berada di sini. Uniknya, di bagian atap tersebut terdapat empat patung dewa orang Tionghoa yang ditempatkan di beberapa sudut. Keberadaan patung ini berfungsi sebagai dewa pelindung.

Beberapa peserta tak melewatkan kesempatan menaiki sebuah anjungan pandang berbentuk melingkar. Bangunan itu menjadi bagian dari lift yang ada di Hotel Niagara. Tak ketinggalan, saya pun turut naik. Namun, hanya sebentar saja karena harus bergantian dengan peserta lain.

Matahari yang menyerupai kuning telur sedikit demi sedikit naik dari ufuk timur. Sungguh pemandangan mengesankan yang tak mungkin dilewatkan. Sama seperti peserta lain, saya juga tak lupa mengabadikannya melalui kamera ponsel.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Menjelajahi Dua Lantai Teratas Hotel Niagara

Selesai menikmati pemandangan dari atap, kami langsung turun ke lantai empat dan lima. Dengan diantar seorang pekerja hotel, kami menjelajahi ruangan demi ruangan yang berada di dua lantai tersebut.

Berbeda dengan ketiga lantai di bawah yang masih kentara dengan kemewahannya dan terawat dengan baik, kondisi beberapa ruangan di lantai lima amat memprihatinkan. Dinding ruangan yang lembap sehingga cat tembok bercampur dengan warna hijau dari lumut. Tak ketinggalan pula debu yang menyelimuti lantai.

Meskipun begitu, tidak terawatnya ruangan-ruangan lantai lima justru memberi kesan tersendiri bagi para penikmat bangunan lawas. Kesannya tetap elok ketika didokumentasikan, baik foto maupun video.

Sebagaimana di lantai bawah, sisa-sisa kemewahan di lantai lima juga masih tampak. Mulai dari kusen pintu dan kaca patri di beberapa bagian jendela hingga lantai teraso bermotif yang sudah kusam.

Saya juga menyempatkan diri untuk menengok kamar mandi di area lantai yang sama. Bagian dalamnya berantakan. Mata saya juga menangkap keramik-keramik putih di tembok terlepas karena semen perekatnya sudah termakan usia. 

Karena tak digunakan, tentu saja saya menangkap suasana agak angker pada lantai paling atas yang tak terurus ini. Untung saja, kami menyusuri ruangan tersebut di pagi hari. Tak terbayangkan bagaimana kondisinya begitu malam tiba. Hal ini pula yang sempat menjadi guyonan antarpeserta untuk uji nyali dengan berdiam diri di ruangan lantai lima.

Kami kemudian turun satu tingkat ke lantai empat. Dibandingkan sebelumnya, lantai empat masih terawat meski tidak difungsikan. Pada lantai ini terdapat ruang tambahan, yaitu ruang doa yang biasa digunakan pemilik hotel. Di lantai ini juga kami sempat berada di balkon. Berbeda sekali dengan teraso di bagian dalam yang masih mulus, teraso luar menjadi kasar akibat paparan sinar matahari.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Mengingat Hotel Niagara sendiri menerapkan ornamen bergaya Art Nouveau, tidak mengherankan pada beberapa bagian ruangan terdapat hiasan menyerupai fauna dan flora untuk memperindah bangunan. Salah satunya di lantai teraso luar yang terdapat lukisan ayam, harimau, dan buah-buahan.

Setelah melihat sisa-sisa kemewahan yang masih tersisa, kami kemudian diajak menuju sebuah ruangan yang cukup luas. Sepasang mata saya langsung tertuju kepada lantai teraso bermotif bunga dengan lubang di tengahnya.

“Dulunya, ruangan ini adalah bar. Lubang-lubang yang berada di lantai teraso itu untuk menancapkan tiang-tiang kursi atau stool bar dan meja counter bar. Jadi, di tempat inilah dulunya para tamu Tuan Liem bersenang-senang. Pemandangan dari luar jendela ini mengarah langsung ke Gunung Arjuno,” kata Arief kepada para peserta sembari mengarahkan telunjuknya.

Berada dekat bar, ada beberapa ruangan lain. Menurut perkiraan Arief, ruangan-ruangan tersebut adalah kamar tidur. Sembari bercanda, ia berseloroh bahwa setelah para tamu Tuan Liem minum-minum hingga mabuk, mereka bisa langsung menuju kamar-kamar tersebut.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Kunjungan Pakubuwana X ke Vila Liem Sian Joe

Usai menjelajahi sejumlah ruangan, saya bersama peserta tur lainnya turun ke lantai tiga. Kami lalu diajak melihat mesin lift Hotel Niagara yang sudah tak berfungsi. Berdasarkan penjelasan Arief, sejak 1990-an, lift tidak dioperasikan lagi karena membutuhkan daya listrik yang sangat besar untuk menjalankannya.

“Saya memperkirakan, saat berkunjung ke Amerika, Tuan Liem melihat gedung yang ada liftnya sehingga ia pun ingin agar vilanya juga dilengkapi dengan lift. Mesin lift ini dibuat perusahaan ASEA dari Swedia yang berdiri sekitar tahun 1880-an. Jadi, mesin ini didatangkan langsung dari Eropa,” jelasnya.

Telunjuk Arief lalu menunjuk pada sebuah mesin berwarna merah yang terpasang di salah satu sisi ruangan. Mesin itu menggerakkan lift yang berada tepat di samping benda tersebut. Sementara pintu lift sendiri terdiri dari dua daun pintu kayu dan dijalankan seorang operator. Lift ini hanya mampu menampung empat orang.

Saya melongok untuk membuktikan ucapan Arief bahwa pada mesin tersebut terdapat tulisan ASEA yang memang terbukti ada. Diyakini Hotel Niagara menjadi satu-satunya bangunan tinggi yang menggunakan lift di zaman itu.

“Sebuah koran zaman Belanda pernah memuat tulisan mengenai keinginan Tuan Liem untuk membeli lift yang sama persis, baik itu bentuknya, ukurannya, dan mereknya seperti yang pernah ia lihat di gedung di Amerika sewaktu melakukan perjalanan bisnis ke sana,” tambah pria kelahiran tahun 1973 ini.

Hal menarik lainnya yang saya dapati dari Hotel Niagara adalah kepercayaan orang-orang Tionghoa berdasarkan fengsui. Mereka tidak menempatkan kamar mandi di ruang tidur. Dalam artian, kamar mandi dalam baru ditambahkan di kemudian hari. Kamar mandi yang berada di luar ruang tidur juga masih asli. Uniknya, kamar mandi dan toilet dibuat terpisah di setiap lantai.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)

Selanjutnya, ketika menjelajahi lantai dua saya juga mendapati hal menarik lainnya terkait ruang kamar tidur yang saya tempati. Kepada para peserta, Arief mengemukakan asumsinya jika dulunya ruangan dengan dua kamar ini adalah tempat tidur Liem Sian Joe.

Tentu ada alasan mengapa ia berani berpendapat demikian. Sebelum masuk ke kamar tidur, ada semacam lorong dengan gerbang berbentuk melengkung. Menurut Arief, lengkungan ini diperkirakan terpengaruh gaya arsitektur Arab yang banyak diadopsi di Eropa. Lorong tersebut tak ditemui di ruangan lain alias satu-satunya. Keyakinan alumni Universitas Pancasila Jakarta itu juga makin bertambah, tatkala mendapati inisial Liem Sian Joe di lantai teraso lorong dengan gerbang berlanggam Timur Tengah tersebut.

Berbicara mengenai kamar-kamar di Hotel Niagara, nyaris semuanya sudah berkurang keasliannya. Hanya ada sebuah kamar di lantai tiga yang bagian dalamnya masih sama sejak hotel ini dibangun. Tak ada kamar mandi di dalam ruangan. Selain itu seluruh tembok kamar juga dihiasi keramik. 

Sebagai bangunan mewah di masanya, cerita menarik tentang vila Liem Sian Joe ini ternyata menarik perhatian Sri Susuhunan Pakubuwana X dari Surakarta. Bersama rombongannya, ia pernah mengunjungi bangunan tersebut pada 1924 sebagaimana diberitakan sebuah surat kabar dari Semarang. Pemimpin Keraton Surakarta itu juga tak ketinggalan untuk mencoba lift yang ada di vila.

Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2)
Para peserta foto bersama di atap Hotel Niagara dengan latar belakang Gunung Arjuno/Dokumentasi Panitia

Selesai menyusuri bagian dalam Hotel Niagara, saya mengempaskan tubuh ke kursi di ruang tengah yang berada di lantai satu. Kedua mata saya lalu menyapu pandangan. Dalam hati, saya bersyukur rasa penasaran akan bangunan ini akhirnya tuntas terjawab.

Ya, bisa dibilang Hotel Niagara masih terjaga dengan baik. Setidaknya, pemilik bangunan saat ini, Ongko Budiarto mampu mempertahankan keaslian bangunan tersebut sebagaimana yang dilakukan ahli waris Tuan Liem ketika lelaki itu meninggal tahun 1920. 

Keluarga Ongko Budiarto sendiri membeli bangunan vila ini pada 1960. Dua tahun kemudian bekas tempat peristirahatan keluarga Liem Sian Joe tersebut difungsikan sebagai hotel sampai sekarang. Meskipun termasuk bangunan peninggalan era kolonial, tetapi Hotel Niagara tidak masuk sebagai bangunan cagar budaya karena Kabupaten Malang belum memiliki peraturan daerah tentang cagar budaya.

Hotel Niagara menjadi pilihan wajib bagi pencinta bangunan heritage yang wajib dikunjungi seandainya datang ke Malang. Begitu memasuki bangunan ini, pengunjung seakan tersedot mesin waktu ke era kolonial Belanda.

Foto sampul:
Menikmati matahari terbit di atap Hotel Niagara Lawang/Yohannes Catur Leonardus


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-2/feed/ 0 41366
Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1) https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-1/ https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-1/#respond Wed, 13 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41354 Saya masih ingat betul. Beberapa tahun lalu saat jalan tol ke Malang belum ada, setiap kali saya menaiki bus hendak pulang ke kampung halaman atau balik ke Malang, perhatian saya pasti akan tertuju ke sebuah...

The post Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya masih ingat betul. Beberapa tahun lalu saat jalan tol ke Malang belum ada, setiap kali saya menaiki bus hendak pulang ke kampung halaman atau balik ke Malang, perhatian saya pasti akan tertuju ke sebuah bangunan bertingkat. Terutama sewaktu melewati wilayah Kecamatan Lawang, perbatasan Kabupaten Malang dan Pasuruan.

Ketika itu saya hanya tahu bahwa bangunan bertingkat tersebut bernama Hotel Niagara. Hotel ini merupakan bangunan tua yang sudah ada sejak era kolonial Belanda. Apakah saya penasaran? Tentu saja. Sayangnya, bertahun-tahun saya hanya mampu menyimpan perasaan itu sembari membayangkan bagaimana isi Hotel Niagara. 

Begitu Indonesia Colonial Heritage (ICH), sebuah komunitas pencinta bangunan era kolonial mengadakan acara menginap di hotel tersebut, saya pun tak ingin melewatkannya. 

Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)
Dua orang panitia kegiatan tampak sedang melayani seorang peserta di lobi hotel/Dewi Sartika

Berawal dari Vila Liem Sian Joe

Perasaan saya campur aduk begitu motor yang saya kendarai memasuki halaman Hotel Niagara. Seorang pekerja hotel mengarahkan saya untuk memarkir kendaraan di teras rumah tua bergaya kolonial, yang berada tepat di samping hotel. 

Ibarat orang yang sudah lama tak bertemu dengan pujaan hati, mungkin itulah yang bisa mewakili hati saya ketika itu. Dengan hati berdebar, saya memasuki lobi hotel. Tulisan “Niagara” dari kayu tergantung di dinding dekat meja resepsionis. Suasana jadul menjadi hal pertama yang saya rasakan begitu tiba.

Seorang perempuan berjilbab di bagian resepsionis melempar senyum ketika saya menghampirinya. Saya memberitahunya bahwa saya peserta tur ICH. Ia kemudian mempersilakan saya duduk. Beberapa peserta telah tiba terlebih dahulu, termasuk seorang pria yang duduk di samping saya. 

Setelah menunggu agak lama, acara tur Hotel Niagara pun dimulai. Ada sekitar lima puluh peserta yang ikut. Tepat jam empat sore, kami mulai mengeksplorasi kompleks hotel didampingi oleh Irawan Paulus, pemandu tur. Kami mulai mengelilingi bagian luar Hotel Niagara.

Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)
Selasar yang menghubungkan ruang makan dan bagian pelayanan/Dewi Sartika

Semua berawal saat Liem Sian Joe pergi ke Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Tentu bisa dibayangkan betapa kayanya Tuan Liem saat itu. Mungkin karena terkesima dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi sewaktu mengunjungi negeri Paman Sam, ia pun menghendaki bangunan vila yang akan ia dirikan dengan bentuk di luar pakem alias vertikal.

Liem Sian Joe adalah seorang pengusaha karet dan kayu yang tinggal di Malang. Daerah Lawang dikenal sebagai pintu masuk menuju Malang serta kawasan perkebunan, seperti Perkebunan Teh Wonosari yang sudah ada sejak 1910.

Vila Liem Sian Joe mulai dibangun 1914 kemudian selesai empat tahun berikutnya. Pembangunannya diarsiteki Fritz Joseph Pinedo, arsitek Belanda berdarah Portugis. Sekilas mengenai Fritz Joseph Pinedo, pada 1911, ia mendapat surat izin praktik di Semarang. Beberapa karyanya masih berdiri, seperti Restoran 1914 dan gedung PT Perkebunan Nusantara. Kedua bangunan tersebut berada di Surabaya.

Sementara itu, gaya bangunan Hotel Niagara sendiri mengadopsi gaya neoklasik yang sepenuhnya meniru bangunan Eropa. Meskipun begitu, sebenarnya bangunan ini juga menggunakan unsur China melalui ornamen yang tidak terlalu diperlihatkan, seperti garis-garis yang menghiasi bagian depan hotel.

Dahulu, bangunan asli vila Liem Sian Joe sebenarnya dilengkapi air mancur, yang saat itu menjadi simbol status sosial seseorang. Sampai sekarang, air mancur tersebut masih ada dan terletak di halaman depan. Tak hanya air mancur saja, tetapi juga di halaman yang sama terdapat tiang bendera yang masih berdiri tegak sejak 1914.

Pada bagian depan hotel terdapat pintu utama dan pintu samping. Pintu utama sebagai akses menuju lobi, sedangkan pintu samping dulunya digunakan untuk menuju ke taman vila yang terletak di selatan bangunan.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)

Selesai mendengar penjelasan bagian depan dan sisi kiri Hotel Niagara, saya beserta peserta lainnya kemudian bergerak menuju belakang hotel. Di sini, terdapat sebuah bangunan tua yang digunakan sebagai sarang walet. Beberapa bagiannya sudah menghitam dan kusam. 

Selanjutnya, terdapat pula bangunan tua lainnya yang berada tepat di samping hotel. Oleh pengelola, tempat ini dimanfaatkan untuk area pelayanan hotel, termasuk difungsikan sebagai dapur. Kemudian antara hotel dan bangunan tersebut dihubungkan dengan selasar yang langsung menuju ruang makan.

Bangunan yang Dipenuhi Simbol Kemewahan

Selesai menjelajahi bagian luar hotel, kami kembali ke dalam. Tepatnya di bagian lobi. Dahulu, ruangan ini digunakan sebagai teras. Selain menjadi lobi, pada sisi kanan terdapat ruang kerja pemilik hotel.

Sebagai simbol kemewahan, vila Liem Sian Joe dibangun begitu detail dan istimewa. Menurut Arief DKS, salah satu pendiri ICH, hal ini tercermin pada penggunaan lantai teraso yang sangat khusus. Namun, berbeda dengan teraso pada umumnya—di zaman itu pemasangannya tidak menyambung—teraso di Hotel Niagara dipasang menyambung alias terusan.

Mendengar ucapannya, saya mengernyitkan dahi karena tak memercayainya. Saya berjongkok. Sembari mengamati, telunjuk saya menyentuh lantai teraso. Dibandingkan teraso pada beberapa bangunan kolonial yang pernah saya kunjungi, teraso Hotel Niagara memang terasa lebih halus. Sepanjang mata saya memandang tidak ada bekas sambungan antarteraso. 

Arief melanjutkan bahwa motif teraso yang digunakan di tiap ruangan di hotel lima lantai ini pun tak sama. Saya ingin membuktikannya. Saya beranjak dari lobi hotel menuju ruang tengah dan belakang. Ternyata memang benar, motif terasonya berbeda. Motif teraso pada lobi lebih ramai ketimbang dua ruangan di belakangnya.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)

Begitu pula saat saya menjelajahi ruangan-ruangan lain di lantai atas. Antarruang terasonya juga berbeda. Mengetahui hal itu saya hanya menggeleng takjub mengingat teknologi zaman dahulu tentu saja belum secanggih sekarang.

“Saat pengerjaan hotel ini, yang jelas teraso tidak didatangkan dari pabriknya, justru para pekerjanya yang didatangkan ke sini. Dalam artian mereka membuat terasonya, ya, di sini. Saya juga memperkirakan beberapa material bangunan, seperti keramik dan porselen diimpor dari luar,” jelas laki-laki yang berprofesi sebagai arsitek itu sambil menekankan betapa istimewanya teraso Hotel Niagara.

Mengenai ruang tengah Hotel Niagara, yang saat ini berfungsi sebagai ruang makan, pada langit-langitnya yang berlapis kayu terdapat hiasan ornamen menyerupai naga. Sewaktu masih menjadi vila, ruang tengah tersebut dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga. Alasanya karena di ruangan ini pemandangannya menghadap langsung ke area taman yang luas. Ketika itu halaman vila Liem Sian Joe memang terbilang luas, termasuk separuh area ruko yang kini berderet di selatan bangunan.

Keistimewaan Hotel Niagara tak hanya berhenti di teraso saja. Secara keseluruhan bangunan ini masih utuh sejak didirikan, termasuk jendela-jendelanya. Baik di ruang tengah maupun belakang, jendela-jendela yang terpasang berukuran besar. Jendela ini bisa dibuka setengahnya dengan cara diangkat ke atas.

Pada jendela-jendela tersebut terukir pula inisial nama Liem Sian Joe: LSJ. Di bagian bawah jendela lantai satu juga terdapat ambalan yang menggunakan huruf kanji. Tulisan ini baru bisa dibaca jika pengunjung berada di dalam bangunan.

Arief menambahkan, motif grafiran yang terdapat pada kaca jendela di lantai satu berbeda dengan lantai-lantai di atasnya. Rasa takjub saya kembali bertambah begitu ia menjelaskan tentang dinding bagian dalam bangunan.

“Dinding hotel ini ada yang ditutupi kayu. Istilahnya panel dinding berukir yang terbuat dari kayu jati berkualitas terbaik di zamannya,” ucap Arief.

  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)
  • Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1)

Selesai mendengar penjelasan tentang ruang tengah, saya lalu melangkah ke bagian belakang. Sama seperti ruangan sebelumnya, di sini tertata rapi sejumlah meja dan kursi kayu. Terdapat semacam mini bar yang berada dekat pintu menuju selasar, yang menghubungkan dengan bangunan di sebelah hotel.

Kemewahan bangunan, yang bagian luarnya berhias bata merah muda, juga bisa dilihat dari railing (pegangan tangan) pada salah satu sisi anak tangga di luar pintu masuk. Sama seperti anak tangga di bagian dalam yang terbuat dari tembaga. Begitu pula dengan teraso anak tangga yang menyerupai hamparan karpet.

Ketika berkeliling di luar bangunan, saya mendapati hal menarik. Vila Liem Sian Joe ini ternyata dilengkapi pula kolam renang yang berada di sisi barat bangunan. Air yang digunakan untuk kolam renang berasal dari sumber air di sekitar area vila.

Sayangnya, saat ini kolam renang tersebut tak berbekas sama sekali. Ada timbunan tanah yang memenuhi hampir seluruh area kolam, serta sampah plastik dan semak belukar.  Sejujurnya, saya hampir saja tak percaya bahwa saya berdiri di tepi kolam yang memiliki kedalaman dua meter tersebut.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memasuki Mesin Waktu di Hotel Niagara Lawang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memasuki-mesin-waktu-di-hotel-niagara-lawang-1/feed/ 0 41354