interval Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/interval/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 06 Mar 2023 08:24:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 interval Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/interval/ 32 32 135956295 Slow Travel: Melambatkan Perjalanan di Dunia yang Serba Cepat https://telusuri.id/slow-travel-melambatkan-perjalanan-di-dunia-yang-serba-cepat/ https://telusuri.id/slow-travel-melambatkan-perjalanan-di-dunia-yang-serba-cepat/#comments Sat, 11 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36552 Slow travel atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “perjalanan santai” merupakan sebuah tren pariwisata yang mengedepankan kualitas perjalanan yang lebih intim daripada sekedar mengecap tempat untuk “menjadi tropi” atau dipamerkan di media sosial. ...

The post Slow Travel: Melambatkan Perjalanan di Dunia yang Serba Cepat appeared first on TelusuRI.

]]>
Slow travel atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “perjalanan santai” merupakan sebuah tren pariwisata yang mengedepankan kualitas perjalanan yang lebih intim daripada sekedar mengecap tempat untuk “menjadi tropi” atau dipamerkan di media sosial. 


Bagi saya, perjalanan adalah soal keintiman dengan tujuan. Semakin intim dengan tempat yang saya tuju, semakin saya memaknai perjalanan tersebut dengan kata “sukses”. Sukses dalam artian saya menjadi terikat secara batin dengan tempat tersebut; orang-orangnya, kebiasaannya, bahkan sekedar warung nasi di pinggir jalan. Perjalanan dengan keintiman dengan tempat tujuan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan slow travel. Saya baru tahu istilah ini sekitar tiga tahun belakangan ini, dan saya coba mencari tahu bagaimana ahli mendefinisikannya.

Dickinson pada Slow Travel and Tourism mencoba mendefinisikan slow travel sebagai kerangka kerja konseptual yang menawarkan konseptual yang muncul menawarkan alternatif untuk perjalanan udara dan mobil, di mana orang melakukan bepergian ke tujuan lebih lambat melalui darat, tinggal lebih lama, dan lebih sedikit bepergian.

Peter dalam Time, Innovation and Mobilities: Travels in Technological Cultures, merumuskan tiga pilar yang dimiliki slow tourism yang membedakannya dengan pariwisata pada umumnya: melakukan sesuatu dengan kecepatan yang tepat, mengubah sikap terhadap waktu dan penggunaannya, dan memprioritaskan kualitas di atas kuantitas.

Basis dari slow travel awalnya adalah menentang segala kecepatan—yang sebenarnya terjadi dalam semua hal di dunia modern—yang terjadi di dunia perjalanan yang mengakibatkan kurangnya pemaknaan pada suatu tempat, berujung pada wisata kilat yang hanya menyisakan lelah dan letih. Slow travel sebaliknya, mencoba memberikan pejalan waktu untuk memahami, mengerti, merasa, dan tentu saja bersenang-senang dalam tempat yang acapkali dilabeli sebagai “komoditi wisata”.

Slow Travel
Warga Suku Bajo menggunakan perahu sebagai alat transportasi sehari-hari di Kepulauan Togean via TEMPO/Sakti S. Karuru

Apakah harus se-slow itu?

Kalau kita menelaah secara harfiah, slow travel memang identik dengan lamban, santai, tidak terburu-buru. Namun seperti apakah slow-nya itu? Apakah berarti kita harus menghabiskan waktu yang lebih lama ketika bepergian? Atau kita harus kenal semua penjual lokal yang ada di sana?

Jawabannya iya. Slow travel mewajibkan kita menikmati apa yang kita dapat dengan sepenuh hati. Artinya, jangan terlalu ngoyo untuk dapat semuanya dalam satu suapan. Berbicaralah dengan warga sekitar. Cobalah jajanan pasar yang murah meriah. Pergilah ke toko roti setempat. Kesempatan berinteraksi dengan hal-hal terdekat inilah yang akan menjadikan perjalanan lebih terasa dalam dibanding hanya melihat-lihat, lalu mengemas barang dan pergi. Hal ini dijelaskan dalam Slow Tourism Experiences and Mobilities, dapat menumbuhkan manfaat di kedua sisi dalam hospitality, baik untuk turis maupun penduduk lokal. 

Prioritas alat transportasi dalam slow travel adalah “yang paling lambat” yang akan digunakan, sebut saja jalan kaki, sepeda, bus, kereta api, hingga mobil. Prinsip yang dipegang para penganut slow traveler berbanding lurus dengan manfaatnya terhadap lingkungan. Para penganut mazhab ini lebih menyukai penggunaan transportasi yang rendah karbon dan menolak transportasi udara sebagai perwakilan dari moda transportasi tidak ramah lingkungan, atau menggunakannya hanya jika terpaksa dan seminimal mungkin (Kostilnikova, K. et al, 2022).

Janet Dickinson dan Les Lumsdon meringkas nilai-nilai yang terkandung dalam slow travel sebagai berikut: lambat dalam artian berkualitas, memperlambat secara fisik dan menikmati apa yang ditawarkan, pengalaman yang berkualitas, makna dan keterlibatan, selaras dengan ekologi dan keberagaman.

Dari ringkasan yang mereka berikan, kita dapat memberikan kesimpulan bahwa slow travel adalah perjalanan yang lambat; yang artinya bisa hemat secara pengeluaran, murah dalam hal pemilihan keperluan perjalanan, lama secara waktu dan intensitas, dan ramah pada lingkungan dan budaya sekitar. Tentunya, hal ini tidak asing dan seringkali kita terapkan dalam jalan-jalan kita tanpa kita sadari.

Slow Travel
Warga Suku Bajo membersihkan rumput laut yang baru dipanen di perkampungan pesisir Teluk Bone, Kabupaten Bone via TEMPO/Fahmi Ali

Bukan untuk Semua?

Slow travel ibarat sebuah wadah yang mengampu model-model wisata lainnya. Moira, Mylonopoulos, dan Kondoudaki (2017) meletakkan apa-apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “yang diwadahi” oleh slow travel: agrotourism, ecotourism, gastronomic tourism, oenotourism, industrial heritage tourism, fishing tourism, dan lain sebagainya. Intinya, nilai-nilai yang dirumuskan dalam tatar slow tersebut dapat dibongkar pasang dan diaplikasikan pada genre wisata lainnya. Misalnya ekowisata yang mengharuskan interaksi dengan warga lokal yang lebih intens karena ada penjelasan-penjelasan yang harus diterima dalam upaya transfer pengetahuan. Intensitas inilah yang dimaknai sebagai keterkaitan yang lebih dalam dengan penduduk lokal.

Meski terkesan berjarak dengan wisatawan pada umumnya, Peter Robinson dalam Research Themes for Tourism juga mengingatkan bahwa slow tourists memiliki kecenderungan yang sama dengan tipe turis biasa, meski dalam beberapa hal saling bertentangan. Ia memberi contoh bahwa meskipun slow tourist lebih mengapresiasi budaya lokal yang mirip dengan budaya lingkungannya karena bepergiannya yang cenderung dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Tapi, simplifikasi ini kemudian ia tolak sendiri dengan mencontohkan backpacker dan volunteer tourist sebagai bagian dari slow tourists yang berjalan jauh.

Metode slow ini hanya akan mampu menjangkau wisatawan-wisatawan dengan tujuan khusus semisal para backpacker yang memang tujuannya berkelana ke suatu tempat dengan biaya serendah mungkin, para peneliti yang memang butuh waktu lama untuk merampungkan sebuah proyek, atau para pemudik yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di kampung halaman. Motivasi mereka yang berbeda-beda disatukan oleh satu hal yakni waktu yang fleksibel dan kebutuhan untuk menghemat anggaran. Jadi, slow travel memang sebuah pandangan mengenai dunia turistik yang lebih ideal, tapi tetap saja tidak untuk semua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Slow Travel: Melambatkan Perjalanan di Dunia yang Serba Cepat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/slow-travel-melambatkan-perjalanan-di-dunia-yang-serba-cepat/feed/ 1 36552
Refleksi dari Sebuah Pendakian https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/ https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/#respond Mon, 19 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36676 Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti...

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti pesannya, bahwa “Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Naik gunung menjadi pengunci kalimat terakhir Gie. Beda pendakian Gie pada masa itu, beda lagi fenomena dunia pendakian akhir-akhir ini. Dalam patokan terbatas boleh dikatakan sejak ditayangkannya film 5 cm pada Desember 2012 hingga Januari 2013 silam, membuat jagat dunia pendakian “heboh”. Pendaki berbondong-bondong mulai mendatangi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). 

Sekiranya inilah gambaran fenomena yang berbanding terbalik. Ketika orang berbondong-bondong menjadi “keren” dengan mendaki gunung. Mulai dari amatiran, ikut-ikutan, dan pemula-pemula nekat minim persiapan. Semua membaur. Gunung yang seharusnya memberikan ketenangan, keheningan, dan kesyahduannya alam, malah berubah menjadi ruang terbuka yang bising. 

Padahal dengan ramainya gelombang manusia yang menjajaki gunung dapat berefek buruk jika dengan intensitasnya tinggi. Maka, perlu kebijakan pengelola yang memberi jeda gunung hingga tiga bulan sebagai bentuk pemulihan. Sebab jika diabaikan begitu saja lantaran sekadar pencarian keuntungan, ditakutkan membuat gunung kehilangan orisinalitasnya sebagai bagian dari alam raya.

Alam raya, jika ditilik kembali, berisikan berbagai komponen atau unsur-unsur seperti tetumbuhan dan hewan. Begitu pun tanahnya yang mengandung unsur hara bagi kesuburan dan keberlangsungan setiap makhluk hidup. Juga manusia, makhluk ciptaan yang diberikan fisik utuh dan akal sehat sekaligus pionir yang mampu mengelola lingkungan itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman, suatu waktu saya pernah ditanya tentang lelucon reflektif dari seorang Bapak SAR (Search and Rescue), “Coba bayangkan jika satu gunung yang didaki oleh 1000 pendaki dalam rentang waktu satu pekan, dan itu terus-menerus dilakukan tanpa henti, kemudian setiap 1000 pendaki itu membuang air kecil. Lantas apa yang terjadi dengan tanah-tanah di gunung itu?”

Sabana merbabu
Sabana Merbabu berlatar belakang Merapi/Raja Syeh Anugrah

Saya diam sejenak. Sebab saya berpikir bahwa hal kecil tersebut tentu akan menjadi hal besar jika diabaikan. Dan ternyata dalam penjelasan dari pertanyaan itu oleh si penanya, ia mengonsepkan bahwa setiap manusia tidak menentu apa yang ia konsumsi, lalu ketika ia mengeluarkan kotoran, ada zat-zat kimia yang berbahaya turut terbawa kemudian mencemari tanah-tanah. Kalau sudah tercemar, maka unsur hara di gunung akan terganggu dan mengganggu ekosistem di sana.

Dari hal kecil tersebut saya mengiyakan konsepsi itu sekaligus merenungi setiap perjalanan pendakian selanjutnya. Kemudian berpikir ulang, kalau saja etika lingkungan yaitu hubungan manusia dengan alam belum tercipta dan belum menemukan esensinya, bagaimana dengan hubungan manusia dengan manusia ketika di gunung?

Merefleksikan Pendakian

Konsepsi Gie tentang gunung begitu sederhana. Sesederhana ketika ia menghasilkan buah pikir dan kekagumannya pada Lembah Mandalawangi yang terus-terusan ia sambangi ketika lelah dengan hiruk-pikuk perkotaan. Lembah yang memberi ketenangan dan jauh dari kebisingan. Lembah sejuk yang menawarkan refleksi dan introspeksi.

Dalam puisi Sebuah Tanya, Gie menuliskan, “Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi/kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram/meresapi belaian angin yang menjadi dingin.” Betapa bernyawanya untaian kata-kata Gie dalam puisi itu, yang betul-betul merefleksikan keberadaan gunung bagi manusia.

Pada suatu perjalanan pendakian, agaknya saya sukar sekali menemukan keheningan seperti keheningan Gie dapatkan saat ia berlama-lama meresapi ketenangan di lembah Mandalawangi. Walau persepsi ini tidak memukul rata secara keseluruhan, dan perlu diakui masih banyak pula gunung-gunung yang benar-benar hening, tenang dan damai.

Namun begitu, masihkah ada garis-garis hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia serta keramah-tamahan lainnya di gunung saat ini? Jika saja manusia-manusia sudah menyusupi alaminya alam dengan pernak-pernik teknologi yang memecah keheningan alam itu sendiri. Seperti memutar musik tanpa tahu batasan, bersuara keras tanpa tahu telah mengganggu, dan basa-basi yang sulit diterjemahkan apakah itu sebuah ketulusan atas satu kesamaan sebagai pendaki?.

Makin ke sini sepertinya pendakian tengah mengalami pergeseran makna. Sebuah degradasi moral yang menghilangkan jati diri pendaki-pendaki “sejati”. Sehingga keramah-tamahan yang dirindukan itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Tidak lagi seperti sebuah cuplikan di dalam film 5 cm yang menyorot senyuman-senyuman pada setiap apapun, pada waktu kapan pun.

Lagi-lagi ketulusan itulah yang dirindukan, bukan saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap alam lingkungan yaitu gunung. Sejak maraknya dunia pendakian, gunung telah ramai oleh orang-orang yang katanya mencari ketenangan, menikmati alam, dan merefleksikan diri. Disamping itu tak tertahankan pula mengenai bekas-bekas sampah yang telah dibawanya sedari bawah kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa merasa bersalah.

Apakah masih bisa disebut tindakan itu sebuah ketulusan hati, yang mencintai alam sejak mengaku diri sebagai pendaki. Dan inilah sebuah refleksi. Hasil olah renungan dan pertanyaan terhadap diri. Tentang keramah-tamahan dalam bentuk apakah itu?

Lestari Sejak dari Hati

Lestari seharusnya tidak sebatas menjadi slogan semata. Yang didengungkan berulang kali, tanpa henti, dan pada setiap kesempatan yang ada. Lestari juga bukan sebentuk kata yang diucapkan oleh lisan, tapi juga dalam bentuk tindakan. Atau jika boleh berargumentasi, kalau bisa, lestari itu sejak hati.

Perihal hati, bahkan hingga kini saya masih menelaah lebih dalam lagi, hati seperti apa yang sebenarnya saya miliki untuk bisa mewujudkannya ke dalam perlakuan sehari-hari. Perlakuan ketika melangsungkan kegiatan alam bebas seperti mendaki. Hati yang memang dibentuk untuk merespon secara otomatis tentang makna lestari. 

Bagi saya dalam melangsungkan pendakian, perlakuan ketika di lapangan tidak seharusnya menjadi basa-basi, tapi juga setulus hati. Mencitrakan toleransi atas keberagaman dan cara pandang setiap pendaki. Meski saya masih dalam lingkup yang terus berusaha, mencoba menerapkan ketulusan hati. Agaknya tulisan ini saya ketagorikan sebentuk autokritik saya kepada diri sendiri.

Seperti Gie, mencintai Mandalawangi yang diutarakan lewat puisinya, “Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna/aku bicara padamu tentang manfaat dan keindahan/dan aku terima kau dalam keberadaanmu/seperti kau terima daku/.”

Tak ada yang lebih paham, mana yang benar-benar sebuah ketulusan selain kita. Pelaku yang merasakan secara langsung euforia dunia pendakian. Setiap jengkal dari pos ke pos, shelter ke shelter, sabana ke sabana, lembah ke lembah yang diduduki untuk istirahat sejenak. Lalu diri tertegun ketika melihat sampah, dan sampah mulai mengaburkan makna; sudahkah menjadi lestari sejak dari hati?

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/feed/ 0 36676
Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/ https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/#respond Thu, 08 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36522 “Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.” Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang...

The post Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara appeared first on TelusuRI.

]]>
“Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.”

Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang dikelilingi oleh tembok dan jeruji besi khusuk bermunajat kepada Tuhan Yang Esa. Berpasrah dan mengakui lemahnya diri adalah kunci bagi kami menjalani hari yang tersiksa oleh rindu dan waktu. Bagi negara, kami adalah penjahat yang harus disadarkan. 

Kali ini doa yang kami panjatkan berbeda dengan sebelumnya. Beberapa hari ini kami mendapat rezeki yang datang jauh dari seberang pulau, Bali. Seorang teman yang punya kegiatan berbagi nasi di Bali menghubungi saya, dia mau berbagi nasi buat teman-teman yang menjalani hidup di balik jeruji.

“Penjara adalah cerminan dari suatu negara,” kalau di negara ini masih banyak yang korupsi, tidak menutup kemungkinan hak-hak napi juga dikorup. Tapi apapun makanan harian yang diterima setiap hari wajib disyukuri, meskipun di bawah data dalam anggaran yang diajukan kepada negara.

ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara (TEMPO/ Gunawan Wicaksono)

Dari donasi yang diterima, kami pun memasak bersama. Bahan mentah beserta bumbunya beli di dapur kemudian dimasak dalam kamar. Lauk yang dimasak tersebut diperuntukkan untuk malam, tentunya setelah semua kegiatan kamar selesai.

Kebaikan yang diterima tentu saja tidak terabaikan. Sebagai manusia kurungan, mendoakan segala kebaikan bagi teman-teman yang berdonasi adalah cara untuk membalasnya dan tentu saja bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Rapalan-rapalan doa mustajab mengalun indah setelah salat Magrib. Pembacaan ibu surat dari Al-Quran yaitu Al-Fatihah dilantunkan bersama seiring pengucapan nama-nama teman-teman yang berdonasi, orang tua, keluarga ataupun kekasih yang masih setia menunggu kepulangan kami. 

Kami tidak hanya menerima donasi dari yang seiman, juga dari teman-teman yang tidak seiman. Betapa indahnya Tuhan memberikan warna berbeda dalam hidup, “Mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Begitulah ajaran dari salah satu Khulafaur Rasyidin umat Islam, Ali bin Abi Thalib.

Semur ayam, gulai ayam, gulai daging, semur telor, semur daging, dan ayam balado adalah lauk yang kami masak selama beberapa hari. 

Di dalam penjara, perasaan lebih sensitif. Makanan hasil donasi terasa sangat nikmat, karena kami yakin ada keikhlasan di dalamnya. Menjadi penawar rindu yang sangat menyesakkan dada, berbagai tempaan hidup kami hadapi di sini. Dari orang tua yang meninggal, saudara dan anak yang masuk rumah sakit, diceraikan istri, hingga orang tua yang menua dan mulai lupa dengan anaknya.

“Penderitaan adalah jalan menemukan makna hidup,” mungkin itu kalimat yang tepat bagi kami. Perjalanan yang jauh ke dalam diri, perjalanan yang tidak dapat diukur oleh jarak. Jalan bagi kami untuk mulai menyayangi diri sendiri, dari menyayangi jiwa dengan ibadah, menyayangi pikiran dengan belajar dan menyayangi tubuh dengan asupan yang baik dan olahraga. 

sel di Penjara Banceuy
Sel nomor lima di situs Penjara Banceuy, Bandung, Jawa Barat. (TEMPO/Prima Mulia)

Penjara juga menjadi jalan menyelami perbedaan. Penjara adalah laboratorium manusia karena berbagai suku dan agama ada di sini. Tuhan, terima kasih untuk segala nikmat yang telah Engkau berikan. Terima kasih juga buat teman-teman yang telah berdonasi, segala kebaikan hidup selalu menyertai hidup kalian semua. 

Mengutip salah satu puisi Rendra, “Kita menyandang tugas, karena tugas adalah tugas. Bukannya demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/feed/ 0 36522
Memberantas Disinformasi Sejarah Melalui Media Sosial https://telusuri.id/memberantas-disinformasi-sejarah-melalui-media-sosial/ https://telusuri.id/memberantas-disinformasi-sejarah-melalui-media-sosial/#respond Sat, 30 Jul 2022 02:25:38 +0000 https://telusuri.id/?p=34496 Sejarah memang seringkali menarik untuk disimak. Melihat bagaimana perjalanan manusia dalam lintas masa, budaya, hingga teknologi dengan pelbagai peristiwa yang terjadi. Sejarah kemudian tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tetapi akhirnya menjadi disiplin ilmu pengetahuan...

The post Memberantas Disinformasi Sejarah Melalui Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejarah memang seringkali menarik untuk disimak. Melihat bagaimana perjalanan manusia dalam lintas masa, budaya, hingga teknologi dengan pelbagai peristiwa yang terjadi. Sejarah kemudian tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tetapi akhirnya menjadi disiplin ilmu pengetahuan untuk melihat peristiwa yang telah lalu sebagai pembelajaran berharga untuk masa depan.

Suatu ketika saat berselancar di jagat Twitter, saya menemukan sebuah akun yang membahas sejarah dengan bahasan yang ringan, diselingi beberapa pendapat dari sejarawan, serta referensi buku-buku sejarah. Berulang kali, akun tersebut mengupas sejarah dari sudut pandang ilmu sejarah yang sarat dengan banyak sisi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti akun tersebut, bermedia sosial sekaligus belajar. 

Kumpulan thread dari @mazzini_gsp

Akun tersebut bernama @mazzini_gsp. Sembari mengikuti berbagai twitnya seputar sejarah, saya jadi penasaran, siapakah orang yang berada di balik akun ini? Mengikuti rasa penasaran ini, akhirnya saya memberanikan diri untuk berkenalan secara pribadi melalui pesan langsung. 

Namanya Muhammad Saddam. Ia seorang pegiat sejarah dan jurnalis yang bekerja di salah satu media online. Baginya, topik sejarah sudah menjadi kecintaannya semenjak dahulu. Rasa penasaran akan kejadian masa silam, membuatnya berkelana dari satu bacaan ke bacaan lainnya. Dia kemudian mencoba untuk menuliskan pengetahuan sejarah yang ia pelajari secara singkat melalui media Twitter pada 2019.

“Waktu itu kalau nggak salah, saya nge-twit tentang sejarah VOC sama lengsernya Gus Dur pada 2019. Ternyata tanggapannya lumayan banyak nih, dan orang-orang juga tidak terlalu konsen dengan itu, jadinya banyak pertanyaan-pertanyaan menarik (dari netizen),” terang Saddam. Antusias ini akhirnya menumbuhkan semangat Saddam untuk menekuni penulisan twit sejarah di Twitter.

Kesukaannya pada sejarah membawanya bertemu dengan komunitas-komunitas sejarah. Meskipun pembelajaran sejarah yang ia dapat dari komunitas yang berbagai macam, ada satu hal yang menurut Saddam masih kurang. Pengetahuan sejarah yang dia dapatkan terasa hanya dari klaim sepihak seperti klaim Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman, harta karun Bung Karno, dan sebagainya. Namun, semakin dia masuk lebih dalam, semakin merasa adanya penyimpangan yang terjadi.

“Akhirnya saya keluar, dan lebih menggali lagi sejarah yang benernya,” terang Saddam. Sejarah memang seringkali menjadi ladang hoaks yang paling subur, karena narasi-narasi yang dituturkan lebih bergelora dibandingkan dengan kejadian aktual. Saddam memfokuskan diri untuk belajar dan membaca literasi sejarah dari sumber-sumber yang lebih kredibel. 

Sebagai seorang influencer bidang sejarah, Saddam merasa ada tanggung jawab untuk mengentaskan narasi-narasi sejarah hoaks yang ada di media sosial. Barang kali, kita semua sering menemukan narasi sejarah yang hanya mengandalkan cocoklogi, pun di media sosial, narasi tersebut seringkali memantik percakapan yang ramai hingga dipercayai sebagai sebuah fakta.

Muhammad Saddam/@mazzini_gsp

Saddam, dalam pembuatan sebuah utas bacaan di Twitter, melakukan riset-riset yang cukup banyak terkait sebuah topik yang akan dibawakannya. Beberapa kali dia juga mencantumkan twit lain untuk mendukung topik yang ia bahas, banyak di antaranya adalah twit dari sejarawan. Saddam leluasa untuk menentukan topik apa yang ingin dibahas, bisa mengikuti keadaan yang viral (riding the wave) atau mengambil momentum tertentu (hari besar, kejadian besar, atau tragedi).

“Jadi dari part-part yang lagi saya baca,intisari hari itu dari buku yang saya baca. Akhirnya saya tentukan sendiri dan kemudian saya tuangkan dalam tulisan di thread (utas).”

“Tapi kalau sekarang kebanyakan melihat obrolan di beranda, di media sosial. Pembahasan sejarah apa sih yang lagi rame, yang lagi diomongin orang,” tambahnya.

Ide lainnya kadang didapatkan dari beberapa orang yang mengirim pesan langsung ke Saddam, mereka meminta penjelasan Saddam apakah cerita sejarah yang mereka dapatkan itu benar. Saddam mengedepankan sikap berhati-hati dalam menjawab pertanyaan tersebut.

“Kalau saya memang ada bukunya, atau saya pernah baca arsipnya, atau saya tahu cara akses arsipnya di konteks peristiwa itu ya akan saya jawab. Tapi kalau nggak biasanya saya kasih ke teman-teman pegiat sejarah atau sejarawan yang lain.”

Salah satu twit Saddam yang membahas sejarah Talangsari
Salah satu twit Saddam yang membahas sejarah Talangsari/@mazzini_gsp

Ada keresahan dalam diri Saddam ketika melihat suatu sejarah yang dipelintir atau dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya. Hal tersebut juga menjadi perhatian kolega-kolega Saddam lain. Hal-hal mistis dan supranatural memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita berbangsa dan bertanah air, ada banyak hal di luar nalar yang terjadi di sekeliling kita yang sering kali tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Saddam dan kawan-kawan lainnya ingin bahwa informasi tersebut boleh asal jadi informasi tambahan atau selintas saja. Jangan dicampur seolah olah informasi tersebut adalah peristiwa sejarah yang patut diketahui.

“Ini yang kadang-kadang nggak kita biasakan. Harusnya lu bahas mistisnya ya bahas aja tapi lu bahas juga konteks sejarahnya dengan data yang ada,” ucapnya.

Saya kemudian bertanya, apakah dengan penyajian konten cerita seperti itu bisa—atau setidaknya sedikit— meningkatkan antusiasme publik pada sejarah. Saddam menjawab dengan gamblang, tidak.

“Sudah banyak konten seperti ini, bahkan sebelum ada kita-kita lah, di TV itu kan berseliweran, sekarang pindah platform aja kan. Sudah dari dulu tayangan TV swasta melakukan itu tapi minat sejarah juga nggak terbangun, malah justru konteks sejarah yang ada di pembahasan itu jadi tertutup.”

Dari pemaparan Saddam, saya jadi mengetahui kenapa kita lebih mengetahui Candi Prambanan dibuat oleh Bandung Bondowoso dalam waktu semalam atau patung Malin Kundang yang ada di Pantai Air Manis, Padang adalah asli. Sedari kecil kita banyak dijejali dongeng-dongeng tanpa diimbangi dengan penjelasan aktual mengenai kejadian sebenarnya. Tentunya hal ini mempengaruhi cara pandang dan pola pikir kita ketika dewasa. Keseimbangan informasi itu perlu.

Beberapa kali Saddam berjibaku untuk perang argumen dengan twit viral terkait salah satu bangunan cagar budaya yang dipercayai “berhantu”. Padahal, ada hal yang lebih urgensi yang perlu diketahui oleh semua orang, bahwa kepengurusan bangunan cagar budaya tersebut carut marut dan tidak terurus dengan baik. Dengan konten yang lebih mengedepankan mistis, tentunya orang-orang semakin tidak peduli akan bangunan cagar budaya.

“Orang taunya itu tempat setan, orang nggak paham kalau itu tuh cagar budaya yang kepengurusannya tidak jelas diurus oleh siapa.”

Contoh konkrit lainnya yang disebutkan Saddam adalah Gudang Timur Batavia. Total ada empat gudang. Dua gudang dibongkar untuk diubah menjadi jalan tol oleh pemerintah orde baru. Dua gudang lainnya, salah satunya mengalami kerusakan yang fatal pada 2005 karena ketidaktahuan masyarakat dan keacuhan pemerintah. Tersisa satu gudang yang bernama Graanpakhuizen, itu pun dengan kondisi yang serba jomplang dan memprihatinkan.

“Masyarakat taunya itu tempat setan.Boro- boro nih mau ngeliat tempat itu, atau peduli dengan tempat itu, liat aja mereka takut. Karena narasi-narasi yang tercipta dari konten-konten yang di TV,” papar Saddam.

Berdasarkan tulisan yang dimuat di Historia.id, yang membahas nasib kawasan Batavia yang tergerus zaman, wawancara yang dilakukan dengan penduduk sekitar mengamini bahwa gudang itu memang berhantu dan seringkali dibuat tempat syuting untuk beberapa program misteri.

Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi para sejarawan atau pegiat-pegiat sejarah. Alangkah mengerikan jika pemahaman ilmiah tidak dipopulerkan, bisa-bisa gedung-gedung bersejarah akan diruntuhkan karena dianggap berhantu. Saddam berharap para pembuat konten kedepannya akan lebih bijak dalam pembuatan konten, khususnya konten yang menyangkut sejarah. Jangan sampai konten yang sudah diolah, justru tidak memberi banyak manfaat dalam menambah pengetahuan.

Sejarah memang sudah menjadi disiplin ilmu yang mempunyai metodologi-metodologi tertentu untuk menentukan keakuratan suatu pendapat tentang peristiwa sejarah. Ilmu pengetahuan bergerak dinamis, sewaktu-waktu ia bisa berubah dengan adanya bukti-bukti baru yang sudah diteliti. Intinya, kita harus mampu menyaring informasi yang masuk dan mencari padanan informasi yang serupa dengan sumber-sumber lain.
Tapi barangkali sejarah memang terdiri dari penemuan-penemuan separuh benar, atau separuh salah, hingga kemajuan terjadi.” — Goenawan Mohamad.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memberantas Disinformasi Sejarah Melalui Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memberantas-disinformasi-sejarah-melalui-media-sosial/feed/ 0 34496