jawa barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jawa-barat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:52:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 jawa barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jawa-barat/ 32 32 135956295 Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/ https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/#respond Thu, 12 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47390 Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten...

The post Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin appeared first on TelusuRI.

]]>
Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. 

Panjangnya hampir 500 meter dengan lebar sekitar 2,75 meter. Jembatan Surapatin, yang dibangun dan dikelola secara swadaya oleh warga lokal dan berbayar ini, menghubungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi di sisi barat dan sisi timur anak Danau Saguling. 

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Sebuah perahu bermesin tempel penuh penumpang melintasi perairan Danau Saguling/Djoko Subinarto

Sensasi Goyang-goyang

Delapan tahun setelah kunjungan pertama ke Jembatan Surapatin, Kamis siang (1/5/2025), saya berkesempatan kembali menyambangi jembatan ini. Jika pada kunjungan pertama saya datang dari arah barat via Gunung Bentang, maka pada kunjungan kedua saya datang dari arah timur jembatan ini, yakni daerah Batujajar.

Tidak banyak perubahan yang saya lihat dari penampilan Jembatan Surapatin secara umum. Hanya saja, pada kunjungan kedua ini, saya menyaksikan konstruksi jembatan yang telah mengalami peningkatan. Balok kayu yang digunakan sebagai lantai jembatan kini terlihat lebih tebal, besar, dan kokoh dibanding sewaktu pertama kali berkunjung. Saat itu saya melihat balok kayu yang digunakan tipis, kecil, dan di beberapa bagian terlihat sudah rapuh serta disulam bambu.

Sensasi goyang-goyang dan bunyi gemeretak tatkala balok-balok kayu terlindas ban sepeda motor masih tetap saya rasakan. Sama seperti delapan tahun lampau kala pertama melintasi jembatan ini.

Mempersingkat Perjalanan

“This bridge will lead you home,” begitu sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris. Ungkapan tersebut tampaknya menjadi sebuah realitas bagi warga yang bermukim di sisi barat dan sisi timur Jembatan Surapatin.

Bagi mereka, keberadaan jembatan apung ini sangat berarti. Tidak hanya mampu membawa mereka melalui jalan pulang menuju rumah—baik itu dari pasar, sekolah maupun tempat kerja—dengan lebih cepat, tetapi juga lebih murah. 

Sebelum ada Jembatan Surapatin, warga mesti naik perahu atau naik-turun angkot yang memutar jalan puluhan kilometer. Akibatnya, bukan saja membutuhkan waktu relatif lama, melainkan juga menyedot biaya. Sekarang, cukup membayar Rp2.000 (berjalan kaki atau bersepeda) atau Rp5.000 (sepeda motor), mereka bisa sampai ke tujuan dengan lebih cepat melalui Jembatan Surapatin.

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Dua pesepeda melintasi Jembatan Surapatin, tampak struktur sederhana yang digunakan, tetapi memberi manfaat besar bagi penggunanya/Djoko Subinarto

Kolam dan Saung Terapung

Sambil melintas di atas Jembatan Surapatin, kita bisa melihat kolam jaring terapung yang berada di sisi kiri dan kanan jembatan. Beberapa saung makan apung lesehan berdiri pula persis di tepi jembatan.

Saung makan apung ini umumnya menawarkan kuliner khas Sunda, seperti nasi timbel, lalap, ayam bakar, dan ikan bakar. Harga paket nasi timbel lengkap dengan lalap, ayam bakar, dan ikan bakar bervariasi, sekitar Rp20.000–Rp35.000 per porsi. 

Selain kuliner, saung-saung makan ini juga menyediakan fasilitas karaoke. Maka, setelah kenyang menyantap nasi timbel, pengunjung saung makan bisa santai berkaraoke sejenak sembari menikmati semilir angin di atas anak Danau Waduk Saguling.

Bisa dikatakan, Jembatan Surapatin ini sebagai bentuk infrastructure of care. Berkat jembatan apung ini, para nenek dan kakek yang mukim di sekitar anak Danau Saguling kini bisa lebih mudah menjenguk cucu mereka. Para petani juga bisa lebih cepat menjual hasil bumi mereka.

Bayangkan pula ketika jembatan ini dilalui motor tua yang mengangkut sayur-mayur dari kebun-kebun warga lokal. Maka jembatan ini bukan sekadar penghubung, tapi juga jalan logistik mikr—salah satu aspek yang kerap luput dari kalkulasi pembangunan skala besar.

Dalam konteks ini, jika sebagian infrastruktur besar kerap dikritik karena tak inklusif, maka Jembatan Surapatin justru jadi antitesisnya. Pasalnya, ia dibangun untuk kebutuhan dan manfaat yang nyata banyak warga.

Adaptasi Ekologis

Selain itu, Jembatan Surapatin merupakan bentuk adaptasi ekologis dari warga lokal. Ketimbang membangun jembatan beton besar, jembatan apung sederhana menjadi solusi ringan, cepat, dan fleksibel.

Meski demikian, ada pula tantangan dalam soal perawatan dan pemantauan. Ketahanan konstruksi jembatan tentu saja perlu terus dipantau. Tanpa perawatan memadai, jembatan bisa menjadi bahaya laten bagi keselamatan warga. Apalagi di era perubahan iklim, ketika hujan intensitas tinggi, angin ekstrem, maupun badai semakin sering terjadi sehingga bisa saja mengancam struktur jembatan apung ini.

Pada titik inilah upaya perawatan dan pemantauan menjadi hal yang sangat krusial untuk terus diupayakan. Warga di sekitar jembatan dituntut untuk merawat dan memantau struktur jembatan apung ini demi keselamatan bersama. Dengan demikian, warga tak sekadar menjadi pengguna, tapi juga penjaga keselamatan.

Tetap Menjadi Kebutuhan Primer

Di tengah proyek-proyek pembangunan skala besar, jembatan apung sederhana macam Surapatin agaknya bisa memberi inspirasi, bahwa pembangunan yang mampu memberi manfaat bagi warga tak harus serba megah dan mewah. Pemerintah daerah dan pusat perlu melihat keberhasilan pembangunan tak melulu hanya diukur dari panjang kilometer jalan tol. Keberhasilan itu juga bisa hadir dalam wujud puluhan meter kayu yang terbentang menyusun jembatan apung sederhana, yang akhirnya menyambungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi.

Di tengah dunia yang kian terdigitalisasi kiwari, jembatan fisik—sesederhana apa pun bentuknya—rupanya tetap menjadi kebutuhan primer bagi banyak warga negeri ini. Di sinilah pentingnya kita memaknai pembangunan secara lebih inklusi, pembangunan yang mampu menjangkau mereka yang selama ini tak terjangkau.

Suka atau tidak, Jembatan Apung Surapatin telah mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan dan pembangunan sosial tidak selalu dibangun dari marmer dan beton. Namun. ia bisa juga muncul dari belahan-belahan kayu dan semangat gotong royong warga, yang notabene merupakan simbol kekuatan kolektif yang menjembatani keterpencilan menuju keterhubungan yang sarat makna dan manfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/feed/ 0 47390
Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/ https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/#respond Wed, 28 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47254 Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45...

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45 km2 di Cianjur Selatan, Jawa Barat. 

Udara terasa sejuk, khas udara kawasan pegunungan. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dari beberapa kunjungan saya ke Sukanagara sebelumnya. Di persimpangan Jalan Raya Sukanagara-Pagelaran-Kadupandak, Tugu Teh memang masih berdiri. Tugu tersebut merupakan sebuah monumen kecil yang dulu digadang-gadang menjadi simbol kebanggaan, bahwa Sukanagara adalah salah satu sentra teh terbaik di Kabupaten Cianjur. Tapi kini, warna tugu itu kian kusam, catnya mulai mengelupas, dan rumput-rumput liar tumbuh di sekelilingnya, seolah turut menyuarakan kegamangan zaman.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Tugu Teh di Sukanagara/Djoko Subinarto

Dari Teh ke Durian

Ditilik dari sejarah pendiriannya, Tugu Teh di Sukanagara bukan sekadar penanda lokasi semata. Ia dulunya semacam deklarasi identita: Sukanagara adalah kawasan teh. Sebuah kawasan yang menghasilkan ribuan ton teh setiap tahunnya, diekspor ke berbagai negara, dan menjadi bagian penting dari perjalanan agrikultur kolonial hingga pascareformasi. Tugu itu berdiri sebagai saksi atas masa-masa ketika teh bukan sekadar komoditas, melainkan juga simbol kejayaan ekonomi pedesaan, kebanggaan masyarakat lokal, dan bahkan menjadi bagian dari narasi nasionalisme agraria pascakemerdekaan.

Bertahun-tahun lamanya, Sukanagara lekat dengan teh. Namun, imaji itu serta-merta hilang tatkala saya mendengar penuturan Asep Doneng, pemilik penginapan tempat saya biasa bermalam setiap kali berkunjung ke Sukanagara. Asep mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, Pasirnangka—kawasan perkebunan teh terluas di Sukanagara—sudah tak sepenuhnya ditanami teh. “Sebagian sudah ditanami durian,” ungkapnya.

Saya setengah tidak percaya dengan pernyataan Asep. Sejenak, saya membayangkan sebuah kawasan dengan hamparan teh yang hijau bergelombang, yang mirip lukisan lanskap dalam buku-buku pelajaran geografi, tiba-tiba telah disulap menjadi kebun durian.

Lantaran penasaran dan ingin membuktikan perkataan Asep, saya pun segera menuju Pasirnangka. Dan benar saja. Di sejumlah lahan, saya melihat sendiri bagaimana pohon-pohon durian berdiri kukuh di antara tanaman teh. Di beberapa titik, pohon durian bahkan telah sepenuhnya mendominasi, sementara pohon teh sudah tak terlihat lagi.

Lebih menyedihkan lagi, terdapat lahan-lahan yang dibiarkan kosong, ditumbuhi belukar dan ilalang, dengan batang-batang teh yang mati perlahan. Lahan-lahan itu seperti memancarkan kemurungan tentang pergeseran zaman.

  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara

Tekanan Ekonomi hingga Faktor Iklim

Tentu saja, kenyataan ini pasti tidak datang tiba-tiba. Bisa jadi karena akumulasi dari dinamika panjang, baik yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Mungkin ini yang disebut sebagai agrarian transition, yakni perubahan struktur ekonomi pedesaan akibat tekanan eksternal, seperti pasar global, perubahan kepemilikan lahan, hingga krisis iklim.

Sebagai ilustrasi, tekanan ekonomi terhadap teh sesungguhnya sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir. Meskipun konsumsi teh global meningkat, data dari International Tea Committee menunjukkan bahwa harga teh, terutama teh hitam yang dominan dihasilkan di Indonesia, cenderung stagnan. Sementara itu, ongkos produksi terus naik. Dalam logika ekonomi, hal ini berarti margin keuntungan semakin tipis, adapun risiko kerugian semakin besar.

Di sisi lain, durian justru sedang menikmati masa keemasannya. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023 menyebut ekspor durian Indonesia meningkat signifikan, terutama ke Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Komoditas ini dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Harga durian varietas unggul seperti musang king atau lokal unggulan seperti durian Pelipisan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per buah. 

Namun, bisa pula agrarian transition ini dipicu pula oleh faktor ekologis. Faktanya, curah hujan semakin tidak menentu dan suhu semakin meningkat. Dampaknya, tanaman teh kian rentan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas.

Sebuah studi dalam Journal of Agricultural Meteorology, seperti dikutip Yan et al (2021), mencatat bahwa peningkatan suhu global sebesar 1°C dapat menurunkan produktivitas teh hingga 20% di wilayah tropis. Pohon teh, yang dulu tahan banting, kini makin rapuh terhadap iklim yang berubah cepat.

Tak hanya itu, ada juga aspek kelembagaan yang mungkin turut berperan. Perkebunan teh dulunya dikelola secara terpusat oleh perusahaan BUMN atau swasta berskala besar. Namun, pascareformasi dan restrukturisasi BUMN, banyak lahan dikembalikan kepada petani penggarap. Dalam pengelolaan individu yang tidak terintegrasi, teh menjadi komoditas yang sulit dirawat. Panen yang padat tenaga kerja, harga jual yang fluktuatif, dan kurangnya insentif dari pemerintah membuat tanaman teh semakin tidak menarik.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Bekas lahan perkebunan teh yang kini ditanami durian/Djoko Subinarto

Dinamika Agrikultur

Sukanagara agaknya sedang berubah. Dan perubahan ini adalah bagian dari dinamika agrikultur Indonesia secara luas. Di banyak tempat, petani tengah berhadapan dengan dilema; bertahan pada komoditas lama yang mapan secara historis tapi makin tidak menguntungkan, atau beralih ke komoditas baru yang lebih menjanjikan tapi penuh ketidakpastian.

Mungkin, inilah waktunya bagi Sukanagara untuk berdamai dengan keadaan yang terus berubah. Tidak harus memilih antara teh dan durian, tapi justru mencari titik temu di antara keduanya. Memadukan yang lama dan yang baru, demi tetap menjaga warisan sekaligus merangkul masa depan.

Teh mungkin tak akan lagi menjadi “raja” di Sukanagara. Akan tetapi, saya yakin, Sukanagara tetap sebagai tanah yang subur, tempat di mana kisah-kisah baru dan harapan-harapan baru selalu bisa ditanam dan ditumbuhkan.


Referensi:

Badan Pangan Nasional. (2025, 20 Maret). Dorong Ekspor Durian ke Tiongkok, Badan Pangan Nasional Kawal Pemenuhan Standar Keamanan dan Mutu Pangan. Siaran Pers, https://badanpangan.go.id/blog/post/dorong-ekspor-durian-ke-tiongkok-badan-pangan-nasional-kawal-pemenuhan-standar-keamanan-dan-mutu-pangan. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Pramono, B.T. (2021). Current Status of Indonesian Tea Industry. World Green Tea Association (O-CHANET), https://www.o-cha.net/english/association/information/documents/20211019-CurrentstatusofIndonesianteaindustry.pdf. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Samudera, J., Daryanto, A., dan Saptono, I.T. (2017). Competitiveness of Indonesian Tea in International Market. Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship 3(1):14-23. DOI: 10.17358/ijbe.3.1.14.
Xinhua. (2024, 27 Juni). Indonesia Bidik Ekspor Durian Senilai 8 Miliar Dolar AS ke China. ANTARANews, https://www.antaranews.com/berita/4170828/indonesia-bidik-ekspor-durian-senilai-8-miliar-dolar-as-ke-china. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Yan, Y., Jeong S., Park, C.E., Mueller, N.D., Piao, S., Park, H., Joo, J., Chen, X., Wang, X., Liu, J., & Zheng, C. (2021). Effects of Extreme Temperature on China’s Tea Production. Environmental Research Letters, 16 (2021) 044040. DOI: 10.1088/1748-9326/abede6.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/feed/ 0 47254
Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/ https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/#respond Thu, 01 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46818 Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara.  Memasuki kawasan Puntang, di...

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara. 

Memasuki kawasan Puntang, di suatu Sabtu pagi nan mendung, saya disambut oleh sejuknya udara pegunungan. Gemercik air sungai mengalir jernih, deretan pohon pinus menjulang tinggi. 

Di salah satu sudut jalan yang agak menikung, terpampang papan peringatan. “HATI-HATI!!! RAWAN POHON TUMBANG”—begitu bunyi peringatannya, yang sempat sejenak menarik perhatian saya.

Namun, yang paling membetot perhatian pagi itu sesungguhnya adalah puing-puing bangunan stasiun Radio Malabar. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari Sungai Cigeureuh yang mengalir di sela-sela kaki Gunung Puntang.

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Jejak Radio Malabar yang tersisa dan kini hanya tinggal puing/Djoko Subinarto

Radio Malabar Dulu dan Kini

Dahulu, pada tahun 1920-an, Radio Malabar merupakan salah satu stasiun pemancar terbesar di dunia. Radio ini mampu menghubungkan kawasan Hindia Belanda, yang notabene merupakan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, dengan Kerajaan Belanda di Eropa secara langsung. 

Proyek Radio Malabar sendiri diprakarsai oleh Dr. Cornelis de Groot dan dianggap sebagai sebuah terobosan besar dalam dunia komunikasi nirkabel masa itu. Teknologi yang digunakan di Radio Malabar memungkinkan transmisi gelombang radio hingga mencapai ribuan kilometer, menjadikannya sebagai pusat komunikasi strategis pada masanya.

Menyaksikan sendiri reruntuhan bangunan Radio Malabar yang masih tersisa di salah satu pojok kaki Gunung Puntang, saya lantas membayangkan beberapa ruang yang dipenuhi oleh deru mesin pemancar dan suara operator. Namun, kini hanya menyisakan tembok-tembok tua yang terus digerogoti zaman.  Bekas kolam berbentuk hati—yang beken dinamai Kolam Cinta—dan berada di depan puing bangunan Radio Malabar, yang dipisahkan oleh hamparan rumput, kini ditutupi oleh papan yang sebagian besar terlihat telah melapuk. 

Konon, Kolam Cinta adalah tempat yang digunakan sebagai area relaksasi bagi para insinyur dan pekerja yang mengoperasikan Radio Malabar. Saya membayangkan sebuah kolam besar dengan air yang sangat bening, ketika ikan-ikan berenang dengan suka cita. Saya juga membayangkan ada beberapa rumpun bunga lili air yang sengaja ditanam untuk memperelok tampilan kolam tersebut. 

Rekonstruksi Sejarah

Secara keseluruhan, saya melihat puing-puing peninggalan Radio Malabar itu tampaknya masih belum mendapat perhatian dalam hal rekonstruksi sejarah. Pasalnya, puing-puing itu masih dibiarkan apa adanya.

Padahal, rekonstruksi sejarah melalui situs-situs bersejarah dapat turut mengerek kesadaran masyarakat ihwal pentingnya warisan budaya. Menurut UNESCO, pelestarian situs-situs bersejarah bukan hanya sekadar untuk kepentingan akademik, melainkan juga untuk membangun rasa memiliki terhadap budaya dan sejarah lokal.

Di Indonesia, terus terang saja, banyak warisan sejarah yang terpinggirkan karena kurangnya dokumentasi dan minimnya perhatian dari pihak berwenang. Bahkan, tak sedikit bangunan pusaka yang akhirnya benar-benar lenyap tanpa jejak. Oleh sebab itu, jika puing-puing Radio Malabar tidak segera direkonstruksi, maka bisa saja jejak-jejak sejarah dan keberadaannya, cepat atau lambat, bakal benar-benar lenyap dalam beberapa dekade mendatang.

Tentang keberadaan stasiun Radio Malabar sendiri, salah satu bentuk rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kembali bangunan Radio Malabar dalam wujud museum interaktif. Museum ini nantinya dapat menyajikan dokumentasi sejarah, replika alat komunikasi lama yang pernah digunakan, hingga simulasi interaktif soal bagaimana stasiun radio di kaki Gunung Malabar ini dulu berfungsi. Dengan upaya rekonstruksi tersebut, para pengunjung diharapkan tidak hanya akan melihat sejarah sebagai sesuatu yang statis, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman yang hidup. 

Kita mungkin bisa belajar dari keberhasilan proyek rekonstruksi stasiun Radio Grimeton di Swedia, yang kini telah menjadi bagian dari situs warisan dunia UNESCO. Stasiun radio tersebut mengalami rekonstruksi dan kini berfungsi sebagai pusat edukasi serta wisata sejarah. Rekonstruksi seperti yang dilakoni Radio Grimento di Swedia agaknya dapat diaplikasikan pula untuk Radio Malabar.

Selain melakukan rekonstruksi secara fisik, rekonstruksi juga bisa dilakukan secara  virtual. Di beberapa negara, pelestarian situs-situs bernilai sejarah telah dilakukan pula dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Misalnya, lewat pemanfaatan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). 

Jika hal itu juga bisa dilakukan untuk stasiun Radio Malabar, maka dapat membantu visualisasi secara virtual ihwal bagaimana Radio Malabar beroperasi di masa lalu. Model rekonstruksi semacam ini tidak hanya bakal menarik bagi generasi yang lebih muda, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam bagi para wisatawan, khususnya mereka yang akrab dengan teknologi digital.

Sembari duduk di salah satu bongkahan tembok puing Radio Malabar, imajinasi saya berkelana ihwal bagaimana suasana pada tahun 1920-an di tempat tersebut, manakala Radio Malabar masih beroperasi. Di tengah kesunyian alam Puntang, saya seakan mendengar gema suara operator yang sibuk mengirimkan pesan ke Belanda, Negeri Kincir Angin, nun jauh di Eropa sana. 

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Wisatawan membaca papan informasi yang menjelaskan sejarah Radio Malabar/Djoko Subinarto

Warisan Pustaka yang Harus Dijaga

Pada akhirnya, jejak sejarah bukan sekadar catatan-catatan yang tertuang di halaman-halaman buku belaka, melainkan juga jejak-jejak yang perlu dihidupkan kembali agar tidak terlupakan sama sekali. Kesadaran akan pentingnya rekonstruksi sejarah tidak hanya tentang mengenang masa lampau, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun masa depan. 

Andaikan saja, Radio Malabar dapat direkonstruksi. Kelak, warisan bangunan pusaka dari masa silam ini bisa menjadi aset wisata edukatif yang lebih bernilai bagi Indonesia.

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang berharga bisa hilang jika tidak dirawat dan dijaga. Dengan mempelajari dan merekonstruksi jejak dan warisan sejarah Radio Malabar, kita tidak hanya mengenang masa lampau, tetapi juga memastikan bahwa warisan sejarah nan berharga ini tetap hidup dan bisa dipelajari oleh generasi-generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/feed/ 0 46818
BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/ https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/#respond Wed, 19 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46308 Kisah sukses Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Indonesia belum begitu nyaring terdengar. Padahal, kiprahnya mampu membuat orang kota kagum dan penasaran.  BUMDes Arya Kamuning, salah satu BUMDes di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan dapat...

The post BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Kisah sukses Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Indonesia belum begitu nyaring terdengar. Padahal, kiprahnya mampu membuat orang kota kagum dan penasaran. 

BUMDes Arya Kamuning, salah satu BUMDes di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan dapat menahan pemuda lokal untuk tak bergegas ke kota: melupakan sama sekali istilah urbanisasi, memilih menetap di kampung halaman, dan turut serta dalam pengembangan sektor pariwisata di desanya.

BUMDes Arya Kamuning mengelola Telaga Cicerem dan Side Land—area perkemahan plus kolam renang—di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan. Sebuah wilayah di kaki Gunung Ciremai, bisa ditempuh 45 menit dengan motor dari Kota Cirebon. Atau sekitar satu jam pakai mobil karena di beberapa titik cenderung macet.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

Saya mengunjungi Side Land, Kamis (9/1/2025). Saya menyurvei lokasi tersebut untuk rencana kegiatan camping sekolah. Penjaga loketnya Hilda, seorang wanita berkerudung. Dia menyebutkan harga tiket masuk kawasan Rp30.000, untuk durasi kunjungan dua hari satu malam. “Bisa berkemah di tempat yang disediakan, dan renang sepuasnya,” katanya ramah.

Kalau hanya berenang, orang dewasa dikenakan tarif Rp15.000, anak-anak Rp10.000. Ada lima pilihan kolam renang dengan masing-masing kedalaman 50 cm, 50–80 cm, 100 cm, 80–120 cm dan 1–1,5 meter. “Kalau renang datang rombongan minimal 50 peserta, kami diskon 10 persen,” bebernya.

Nah, buat penikmat alam terbuka, area berkemah di kawasan Side Land ada di dua titik: sisi barat yang satu kompleks dengan kolam renang, dan sebelah timur dengan kontur tanah berbukit, yang mampu menampung 200 tenda dome. Pemandangan dari sisi timur lebih lepas ke segala arah. Termasuk saat malam hari, pengunjung dapat menikmati lampu-lampu kota nun jauh di bawah.

Hilda menerangkan, kalau hujan deras pas camping tamu bisa berlindung ke pendopo. Tersedia colokan listrik dan dispenser yang air panasnya bisa untuk menyeduh kopi atau teh. Meja-meja panjang berikut kursinya bebas dipakai. Bisa santai sambil menikmati aneka camilan dan berbincang hangat bareng keluarga atau teman dekat.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

Aktif Sejak 2017

Pada kunjungan perdana itu, saya beruntung berjumpa Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim. Sosoknya bersahaja dengan penampilan sederhana. Pertama kali melihatnya, saya tak menyangka lelaki 49 tahun itu adalah orang di balik kesuksesan pengelolaan Telaga Cicerem dan Side Land, hingga mampu menyetor untuk Pendapatan Asli Desa (PADes) sebesar lebih dari setengah miliar pada 2022 dan 2023.

Kalau saja Hilda tak memberi tahu, awalnya saya mengira Iim adalah mandor yang sedang mengawasi para pekerja. Jauh dari kesan perlente. “Saya mah, ya, begini,” kata Iim menjelaskan alasan tak berpenampilan formal layaknya petinggi perusahaan. Dia mengaku tak ingin kehilangan jati diri sebagai orang desa, sehingga memilih berpakaian seperti warga desa umumnya. “Buat apa tampil mencolok, tapi tak berbuat apa-apa,” tegasnya.

Terlahir di Dusun Binaloka, Desa Kaduela, Iim awalnya berprofesi sebagai pedagang. Ia tergerak mengembangkan potensi alam desanya, setelah melihat objek wisata Telaga Cicerem punya daya tarik bagi wisatawan. “BUMDes Arya Kamuning mulai aktif 2017. Kami coba memaksimalkan (pengelolaan) Telaga Cicerem. Alhamdulillah, responsnya positif,” ungkap ayah tiga anak itu.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Bertemu Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim/Mochamad Rona Anggie

Sukses menata Telaga Cicerem, naluri kemandirian Iim menangkap peluang lainnya. Ia melihat lahan luas di blok Sidelan yang merupakan tanah bengkok milik perangkat desa. Dua lokasi berseberangan yang dipisahkan jalan desa itu, kemudian dibangun kolam renang dan bumi perkemahan pada 2021–2022. “Kami memanfaatkan lahan kritis, yang view-nya punya nilai jual,” kata Iim mengungkap awal ‘babat alas’ objek wisata Side Land.

Kiranya pilihan Iim dan anggota BUMDes Arya Kamuning jitu. Kini pengunjung Side Land sambil berenang bisa menikmati pemandangan persawahan hijau yang berundak, Gunung Ciremai yang menjulang di sisi utara dan gunung batu kapur di sebelah barat. Tambah lagi, udara sejuk khas perdesaan dijamin bakal membuat pelancong betah berlama-lama.

Iim membeberkan modal pembangunan Side Land memakai laba pengelolaan Telaga Cicerem plus pinjaman dari beberapa pihak. Di salah satu kolam renang, ditempel plakat peresmian Side Land pada 29 Maret 2022, yang ditandatangani oleh Iim. Perlahan tapi pasti, lanjut Iim, begitu dikenalkan ke publik, wisatawan dari Kuningan dan Cirebon langsung menyerbu. Terbukti pada libur panjang seperti Lebaran, pengunjung bisa mencapai 800–1.000 orang per hari. Termasuk libur anak sekolah dan momen akhir tahun. Di hari biasa, Side Land mampu menyedot rata-rata sehari 300 turis domestik.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

“Alhamdulillah, sudah bisa bayar pinjaman dan memberdayakan perekonomian warga desa,” ucap Iim semringah.

Terkait pilihan nama Side Land, terang Iim, pengurus BUMDes Arya Kamuning sempat berembuk menghimpun ide dan masukan. Kira-kira nama apa yang mengundang penasaran wisatawan, mudah diingat, dan pastinya punya nilai jual. “Karena ada di blok Sidelan, tercetuslah Side Land,” ungkapnya.

Iim melengkapi pula keseruan rekreasi di Side Land dengan mendatangkan delapan unit motor empat roda alias all-terrain vehicle (ATV). Pengunjung akan melewati medan berlumpur dan trek menantang lainnya selama 25 menit, dengan harga sewa Rp25.000 per unit.

Pihaknya menawarkan pula petualangan off-road, melibatkan komunitas jip dengan harga mulai 400–500 ribu rupiah durasi satu jam, menempuh jarak enam kilometer. Wisatawan dibawa keliling perdesaan menyaksikan aktivitas tanam padi di sawah, naik ke perbukitan, melintasi hutan dan kolam-kolam ikan milik warga. “Bakal menjadi pengalaman yang mengesankan bagi orang kota. Mudah-mudahan mereka mau datang lagi,” harap Iim.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Unit ATV di Side Land yang bisa disewa/Mochamad Rona Anggie

Pemuda Desa Enggan ke Kota Lagi 

Iim menyebutkan sampai sekarang ada 170 pengurus BUMDes Arya Kamuning. Terdiri dari pemuda dan pemudi anggota karang taruna, ibu rumah tangga, serta orang-orang tua. Ia menegaskan pengerjaan proyek Side Land, termasuk penataan Telaga Cicerem, murni dikerjakan penduduk lokal. “Kami tak pernah memakai konsultan. Berupaya menampung ide-ide warga desa, kemudian direalisasikan secara gotong-royong,” tuturnya bangga. 

Sejauh ini pengembangan wisata alam Desa Kaduela mampu menarik perhatian anak muda setempat. Di antaranya Irman Nurahman, yang sejak 2016 aktif di karang taruna. Kepada penulis, lelaki 35 tahun itu menjelaskan, ketika pemerintah pusat mengharuskan sebuah desa memiliki BUMDes pada 2017, lantas terbentuklah BUMDes Arya Kamuning. “Mulanya karang taruna yang mengelola Telaga Cicerem. Kemudian beralih ke BUMdes, otomatis saya ikut gabung,” katanya.

Irman mengaku kehadiran BUMDes Arya Kamuning sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Sebelumnya usai tamat SMP, ia memilih merantau ke kota. Bekerja membantu perekonomian orang tua dan menambah pengalaman. Namun, begitu ada BUMDes, ia tak tertarik lagi ke kota. “Walau pendapatan di kota itu besar, tapi biaya hidup besar pula. Dihitung-hitung enak tinggal di kampung sendiri, sesuai antara pendapatan dan pengeluaran,” papar lelaki yang baru saja dikaruniai anak pertama itu. “Istilahnya kalau ada (pekerjaan) yang dekat, kenapa cari yang jauh,” imbuhnya. 

Selain itu, sambung Irman, BUMDes Arya Kamuning kini menjadi wadah aktivitas positif generasi muda Desa Kaduela, karena kegiatan di karang taruna sedang tidak aktif. Dalam pengamatannya, pemuda dan pemudi Desa Kaduela tampak antusias ikut mengelola tempat wisata di kampung halaman. “Kami senang turut diberdayakan dan bisa berkiprah memajukan desa,” kata tenaga harian lepas (THL) penjaga wahana ayunan di Telaga Cicerem itu.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Informasi wisata BUMDes Arya Kamuning di pertigaan Polsek Pasawahan/Mochamad Rona Anggie

Pemuda lainnya, Opik Hidayat, memilih bergabung di BUMdes Arya Kamuning sejak 2021, sebab terkena pemutusan hubungan kerja ketika mengadu nasib di kota. “Waktu itu ada wabah COVID-19, saya kena pengurangan karyawan. Pulang ke desa, lalu tertarik gabung BUMdes,” ucap lajang 25 tahun itu.

Kini, Opik bertugas di loket tiket pintu masuk Side Land. Bergantian jaga selang sehari dengan Hilda. Baginya, menyibukkan diri di BUMDes Arya Kamuning lebih menyenangkan, ketimbang berjibaku dengan kerasnya kehidupan kota. “Lebih tenang di sini, banyak teman dan keluarga,” ujarnya seraya menyebut kawan lainnya dipercaya menjaga parkir kendaraan, mengurus pemeliharaan taman, dan mengawasi pengunjung yang berenang. “Apalagi kami diberi bayaran, ya, senang dong,” tambah bungsu dari empat bersaudara itu.

Senada dengan Hilda, yang memutuskan aktif di BUMDes sejak 2022. Ia menjadi petugas ticketing Side Land bergantian dengan Opik. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat oleh BUMDes Arya Kamuning terasa nyata, bukan lagi sekadar omong-omong. “Selain dekat rumah, juga dekat dengan keluarga. Kalau kerja di kota kan jauh (dari keluarga),” tuturnya memberi alasan tertarik bekerja di Side Land.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/feed/ 0 46308
Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/ https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/#respond Mon, 17 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45665 Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Jawa Barat, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk kampung ini sekitar 271 jiwa, terdiri dari 101 kepala keluarga. Dengan populasi penduduk...

The post Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Jawa Barat, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk kampung ini sekitar 271 jiwa, terdiri dari 101 kepala keluarga. Dengan populasi penduduk yang relatif kecil, keaslian budaya Kampung Naga tetap terjaga hingga kini. Sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN mendaftarkan dan meresmikan hak pengelola (HPL) Tanah Ulayat di Kampung Naga.

Seperti halnya Kampung Adat Kuta di Kabupaten Ciamis, Kampung Naga menjadi salah satu dari banyaknya kampung adat yang memilih untuk tetap mempertahankan adat istiadat serta warisan leluhurnya di tengah perubahan sosial yang terus berkembang. Komitmen tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luar untuk bersilaturahmi, berbagi pengalaman dan memahami pandangan hidup (filosofi) masyarakat Kampung Naga.

  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga

Sejarah Kampung Naga

Sayangnya, sejarah atau asal usul Kampung Naga tidak dapat diketahui secara pasti. Berdasarkan pengakuan dari Pak Sarya selaku kepala wilayah, berbagai arsip Kampung Naga hilang pascapemberontakan DI/TII sekitar tahun 1950-an. Konon, pembakaran terjadi pada saat pemberontakan tersebut yang mengakibatkan hangusnya arsip sejarah tentang Kampung Naga.

Bahkan sampai hari ini, masyarakat Kampung Naga tidak ada yang mengetahui akan sejarah kampungnya sendiri. Mereka memilih untuk tidak menyampaikan apa pun tentang sejarah atau asal usul tentang Kampung Naga. Hal ini dilakukan demi menghindari kesalahan informasi yang dikhawatirkan menghasilkan sejarah yang keliru.

Meski demikian, terdapat cerita yang berkembang di khalayak luar tentang asal usul penamaan Kampung Naga. Berdasarkan informasi yang beredar, konon penamaan Kampung Naga berasal dari lokasinya yang berada di tebing, atau dalam bahasa Sunda disebut “dina gawir”. Kemudian istilah tersebut disingkat oleh masyarakat menjadi “na gawir”, lalu muncullah penamaan Kampung Naga (Na Gawir). Akan tetapi, menurut Pak Sarya, informasi atau cerita tersebut tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya, karena masyarakat Kampung Naga sendiri pun tidak mengetahui sejarah asli kampung mereka.

Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
Posisi rumah warga saling berhadapan agar tercipta interaksi dan kerukunan bertetangga/Dadan Abdul Majid

Larangan di Kampung Naga

Sebagai kampung adat, Kampung Naga memiliki berbagai macam larangan yang terus dipegang teguh oleh masyarakatnya, antara lain:

1. Tidak boleh memasuki “leuweung larangan”

Masyarakat Kampung Naga sangat menjaga kelestarian alam yang ada di sekitarnya, yang dibuktikan dengan adanya konsep leuweung larangan atau hutan keramat. Demi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam (ekosistem), tanpa mengenal kompromi, tidak seorang pun diperbolehkan untuk memasuki hutan keramat, apa pun alasannya. 

2. Tidak boleh membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai

Untuk menjaga kebersihan aliran Sungai Ciwulan, masyarakat tidak boleh membuang limbah rumah tangga secara langsung ke sungai. Sebagai solusi, limbah tersebut harus dibuang terlebih dahulu ke kolam-kolam yang ada di sana. Masing-masing kolam tersebut memiliki beberapa tumbuhan yang mampu menyerap zat berbahaya yang dapat mencemari air sungai, salah satunya adalah tumbuhan eceng gondok. Setelah melalui penyaringan alami ini, limbah rumah tangga tersebut baru dialirkan ke aliran sungai.

3. Tidak boleh menggunakan listrik

Tidak ada satu pun warga Kampung Naga yang diperbolehkan untuk menggunakan listrik. Menurut Pak Sarya dan salah satu anggota masyarakat di sana, larangan ini bertujuan untuk menghindari berbagai risiko yang ditimbulkan dari adanya pemakaian listrik, di antaranya kebakaran akibat korsleting listrik serta mencegah perubahan gaya hidup masyarakat. Soal perubahan gaya hidup, mereka khawatir muncul kelas-kelas sosial tertentu yang berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial.

Itulah beberapa larangan yang penulis ketahui setelah berkunjung dan bersilaturahmi dengan salah satu anggota masyarakat Kampung Naga. Larangan-larangan tersebut dikenal dengan istilah “pamali”, yang merupakan konsep sakral bagi masyarakat Kampung Naga. Pamali berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang menjadikan warga masyarakatnya tunduk dan patuh pada aturan adat (social of control).

  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga

Tradisi Kampung Naga

Dalam masyarakat adat, tradisi merupakan elemen penting yang patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Sebab, tradisi tersebutlah yang dapat memperkuat ikatan sosial antaranggota masyarakat (kohesi sosial). Di Kampung Naga, salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Hajat Sasih.

Hajat Sasih merupakan upacara adat yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali, yang berarti dalam setahun masyarakat Kampung Naga merayakan enam kali upacara adat tersebut. Berdasarkan penuturan Pak Sarya, waktu-waktu pelaksanaan Hajat Sasih adalah bulan Muharram (berkaitan dengan tahun baru Islam), bulan Rabiulawal (berkaitan dengan kelahiran atau maulid Nabi Muhammad saw.), pertengahan bulan dalam kalender Hijriah, penyambutan bulan suci Ramadan, penyambutan datangnya Syawal, dan Zulhijah (bulan penutup dalam kalender Hijriah).

Saat pelaksanaan Hajat Sasih, penduduk laki-laki melakukan ziarah kubur, sementara kaum perempuan menyiapkan makanan dan hidangan nasi untuk disantap secara bersama-sama. Setelah prosesi selesai, seluruh masyarakat Kampung Naga berkumpul di bale (balai). Selanjutnya melaksanakan doa bersama sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, lalu secara bersama-sama menyantap hidangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 

Hajat Sasih tidak hanya memperkuat hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Tradisi ini juga menjadi sarana silaturahmi untuk mempererat hubungan antarsesama anggota masyarakat Kampung Naga.

Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
Bangunan balai tempat berkumpul warga/Dadan Abdul Majid

Kesetaraan Sosial dan Sistem Pendidikan di Kampung Naga 

Stratifikasi sosial merupakan penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu secara bertingkat. Wujud dari stratifikasi ini yaitu adanya kelas bawah, menengah, dan atas. Pada masyarakat modern, stratifikasi ini sangat jelas wujudnya dalam bentuk perbedaan gaya hidup dan sumber daya ekonomi yang mencolok. 

Namun, hal tersebut tidak berlaku di Kampung Naga. Rumah-rumah dengan bentuk dan bahan yang seragam tertata dengan rapi, seolah mencerminkan kesetaraan sosial di antara warganya. Selain itu, hal tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Kampung Naga tidak terpengaruh oleh kemewahan hidup, serta tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesederhanaan mereka tergambar dari batasan penggunaan teknologi modern, wajib memanfaatkan sumber daya alam secara tepat guna dan tidak eksploitatif, serta tidak adanya penggunaan listrik. Dampaknya, tidak memunculkan kelas sosial atau perbedaan gaya hidup yang mencolok di masyarakat. Selain itu, setiap dua bangunan rumah di Kampung Naga harus dibangun secara berhadapan untuk memudahkan interaksi antarwarga. Maka tidak berlebihan jika keseragaman mereka mencerminkan kesetaraan, sedangkan kedekatan mereka menegaskan pentingnya kebersamaan dan keakraban. 

Berbeda dengan Kampung Baduy Dalam, warga Kampung Naga tidak dilarang untuk menempuh pendidikan formal. Mereka bebas bersekolah, tetapi tetap diajarkan untuk tidak melupakan adat istiadat dan berbagai kearifan lokal yang mereka miliki. Bahkan mereka berharap, pendidikan yang diperoleh warganya dapat membantu dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya yang sudah ada.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/feed/ 0 45665
Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak https://telusuri.id/alun-alun-sangkala-buana-cirebon/ https://telusuri.id/alun-alun-sangkala-buana-cirebon/#respond Tue, 04 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45517 Ketika saya masih sekolah dasar (SD), guru olahraga kami sering membawa muridnya ke lapangan depan Keraton Kasepuhan. Dulu, ruang terbuka itu belum populer dengan sebutan Sangkala Buana. Baru setelah direvitalisasi oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan...

The post Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika saya masih sekolah dasar (SD), guru olahraga kami sering membawa muridnya ke lapangan depan Keraton Kasepuhan. Dulu, ruang terbuka itu belum populer dengan sebutan Sangkala Buana. Baru setelah direvitalisasi oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tahun 2022, warga familiar sesuai penamaan aslinya sejak abad ke-15: Alun-alun Sangkala Buana.

Peremajaan Alun-alun Sangkala Buana menghilangkan pagar besi yang mengelilinginya. Permukaan tanahnya kini dipasangi paving blok, sehingga tak lagi becek kala hujan. Secara tampilan lebih enak dipandang. Pengendara yang lewat, pasti ingin mampir walau sejenak. Sekadar jalan berkeliling atau duduk di bangku taman, sambil mencoba aneka jajanan yang berderet.

Jumat pagi (3/1/2025), saya biarkan dua bocah perempuan masuk arena mandi bola. Tempatnya di sudut lapangan di bawah rindang pepohonan. Tiket untuk satu anak Rp10.000, bebas main sepuasnya. Termasuk di dalamnya ada ayunan, perosotan, rumah-rumahan, motor dan mobil mini.

Sirkuit hot wheels yang bisa dilintasi motor kecil, menggoda Una (5) dan Alma (3) untuk menjajalnya. Mereka naik bergantian dan kemudian tertawa begitu merasakan sensasi motor mini melaju kencang menuruni ujung sirkuit. Di satu momen, setelah mencoba kesekian kali, motor yang ditumpangi Una tergelincir keluar sirkuit dan membuat pengendaranya terguling. Eh, bukannya menangis, dia melonjak kegirangan. Ketawa-ketiwi. Senang bukan kepalang.

  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak
  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak

Hasil revitalisasi Alun-alun Sangkala Buana yang satu kawasan dengan Keraton Kasepuhan Cirebon/Mochamad Rona Anggie

Terkenang Teman SD

Anak-anak diawasi ibunya. Saya memilih mengitari lapangan. Memori di kepala lantas memutar kenangan bersama teman-teman SD Sadagori 1. Bermain bola dan kasti di alun-alun era 1991–1997. Ada Bilal Ali Akbar (asli Papua), Arie Nurdian Putra, Myrdal Gunarto, Nena Tresnawati, Fitri Nurdiyani; serta Indra Yuniar Wulandari yang di kemudian hari mengandung lima anak saya.

Terbayang lincahnya Bilal menggocek dan membuat gol. Teringat Nena yang tangkas memukul bola kasti. Terkekeh-kekeh ingat Myrdal yang terpeleset jatuh. Wah, sudah tiga dekade yang lalu rupanya.

Tentunya masing-masing sudah berkeluarga dan punya anak. Sementara Pak Mulyadi—guru olahraga kami—telah pergi jauh meninggalkan kesan mendalam bagi para muridnya. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan Pak Mul dan guru kami lainnya.

Biasanya, selesai mendampingi siswa dan siswi berolahraga, Pak Mulyadi mengajak kami masuk ke Keraton Kasepuhan. Mengenalkan sejarah singkat keraton dan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap memiliki “karomah” tertentu. Pada satu kesempatan, saya dan teman-teman sampai di area pendopo nan sakral yang dulunya disebutkan tempat semadi seorang tokoh sakti murid Sunan Gunung Jati.

Ada air memancar dari pancuran di dekat pendopo. Oleh Pak Mul dan penjaga di sana, kami disuruh berwudu sambil mengucapkan cita-cita yang diinginkan. Ada sekitar sepuluh murid lelaki waktu itu. Kami bergantian menyucikan diri, dan melafalkan cita-cita luhur yang tentunya menjadi harapan orang tua di rumah. Tak disangka, tanpa janjian sebelumnya, ternyata cita-cita yang kami mohonkan semua sama: ingin jadi pemain bola! 

Ha-ha-ha! Saya bisa tertawa sendiri, kalau mengenang momen itu.

Kiri: Salah satu tempat persewaan mobil dan motor listrik di Alun-alun Sangkala Buana. Kanan: Anak-anak mengitari alun-alun dengan kendaraan listrik/Mochamad Rona Anggie

Rezeki Lebih di Akhir Pekan dan Musim Liburan

Wajah baru Alun-alun Sangkala Buana turut disyukuri mereka yang mengais peruntungan di sana. Selain wahana bermain anak, juga ada persewaan sepeda, motor dan mobil bertenaga listrik. Semuanya kendaraan mainan untuk anak kecil. Kalau orang dewasa, kan bisa naik motor atau mobil listrik betulan. Sekarang sudah banyak seliweran di jalan raya, tak perlu antre beli bensin lagi.

Salah satu “bos” persewaan mainan kendaraan listrik, Herman (18), bersyukur pada masa liburan sekolah dan perayaan tahun baru kemarin pendapatannya meningkat. Sebenarnya, anak sulung dari empat bersaudara itu hanya ditugasi sang ibu menunggui tempat persewaan. “Ibu saya lagi jualan bensin (eceran), jadi saya yang nungguin,” kata remaja yang sudah tak berayah itu.

Herman mengungkapkan ibunya membuka usaha persewaan mainan kendaraan listrik sejak lima tahun lalu. Bahkan sebelum revitalisasi alun-alun. Awalnya bermodalkan tiga sepeda listrik, kemudian melengkapi dengan motor dan mobil listrik. Kini, total memiliki 20 unit mainan kendaraan listrik.

Kalau pengunjung Keraton Kasepuhan membludak, lanjut Herman, semisal akhir pekan ada rombongan tiga bus, “armada”-nya akan kebanjiran penyewa. Anak-anak wisatawan mampir bermain, sementara orang tuanya ziarah ke Masjid Sang Cipta Rasa.  “Sehari itu kami bisa mengantongi sembilan ratus ribu,” sebutnya. “Tapi kalau lagi sepi, paling seratus lima puluh ribu,” imbuhnya.

Sejauh ini, dia menerangkan, membayar sewa tempat berusaha kepada pihak koordinator. Para pengusaha kecil di sana mengenalnya dengan istilah sewa lapak. Ibu Herman menyewa dua lapak seharga Rp50 ribu per hari, untuk memarkir mainan kendaraan listriknya di atas paving blok seluas tiga kali sepuluh meter. “Kalau malam minggu, setorannya beda lagi [jadi] Rp80 ribu,” ungkap Herman.

Harga sewa satu unit mainan kendaraan listrik Rp15 ribu selama 15 menit. Ada timer khusus penanda dimulai dan berakhirnya seorang anak bermain. Ia lebih senang jika penyewa datang dalam satu kelompok, sehingga perhitungan timer-nya mudah pula. “Mulai main bareng, selesainya bersamaan,” ujar pelajar yang menempuh pendidikan Kejar Paket itu.

Jika energi listrik motor habis, Herman segera mengisi ulang dengan cas yang ada. Sedangkan isi ulang listrik mobil, memakai setrum dari aki. Durasi mengecas sama, 60 menit. Tenaga listrik motor akan cepat habis, jika pemakainya sering memainkan gas. Sementara baterai mobil listrik mulai drop dalam dua kali penggunaan.

  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak
  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak

Sementara di sisi lain, di bawah pepohonan rindang, sejumlah pedagang kecil lainnya memanfaatkan tepian luar lapangan untuk membuka wahana media lukis bagi anak-anak. Tampak berjejer sejumlah kanvas lukis yang terbuat dari styrofoam ukuran 40×30 cm. Sketsa gambar kartun siap dilukis menggunakan cat warna yang telah disediakan.

Salah seorang penyedia media lukis, Heri (20), menawarkan harga per kanvas Rp10.000 sudah termasuk cat warna. “Melukisnya sampai selesai, kalau cat warna habis kami beri lagi,” ucapnya. 

Dia mengungkapkan selama liburan sekolah jumlah pengunjung melonjak dan pemasukannya berlipat. Terutama saat malam tahun baru dan libur tanggal merah 1 Januari 2025. “Lebih dari 50 anak gantian melukis dan membawa pulang kreasinya sebagai kenangan,” katanya semringah. 

Uji kreativitas lainnya di tempat Heri, ada mewarnai dan menghias celengan, yang juga bisa dijadikan buah tangan. “Sekalian mengajarkan anak gemar menabung sejak dini,” ujarnya seraya menyebutkan mulai membuka lapak pukul delapan pagi sampai malam. “Nah, sekarang kalau sore suka hujan, kadang kami tutup lebih awal,” tambahnya.

Retribusi untuk Kontribusi Kebersihan

Dihubungi terpisah, Patih Anom Keraton Kasepuhan Pangeran Raja (PR) Muhammad Nusantara menepis istilah sewa lapak di Alun-alun Sangkala Buana. Menurutnya, yang tepat adalah kontribusi biaya kebersihan dari para pedagang. Dipungut ketika mereka berjualan atau membuka usaha. “Kalau tidak jualan, ya, tidak (dipungut),” tegasnya.

Patih Muhammad tak menampik revitalisasi Alun-alun Sangkala Buana menambah daya tarik pelancong untuk datang. Mereka ingin tahu Keraton Kasepuhan, Masjid Sang Cipta Rasa, dan akhirnya bersantai di sekitar alun-alun. Berimbas positif pada perekonomian pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di seputar alun-alun.

Hanya saja, ia berharap ke depannya ada peran serta pemerintah daerah dalam penataan para pedagang, demi menjaga keindahan dan ketertiban kawasan Alun-alun Sangkala Buana. Sebab, sebagai “kiblat” wisata budaya dan religi di Jawa Barat, Keraton Kasepuhan—yang menaungi alun-alun tersebut—ingin ruang terbuka hijau itu tertata rapi.

“Titik parkir aman. Area pedagang nyaman. Pengunjung terkesan,” harapan adik kandung Sultan Sepuh XV Luqman Zulqaedin itu.

Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak
Pintu masuk Masjid Sang Cipta Rasa, warisan Sunan Gunung Jati yang berusia lebih dari lima abad/Mochamad Rona Anggie

Pentingnya Ruang Terbuka untuk Tumbuh Kembang Anak

Ummu Saffa, salah satu pengunjung yang membawa anaknya bermain di Alun-alun Sangkala Buana, menegaskan ketersediaan ruang terbuka hijau sebagai sesuatu yang sangat berharga. Terlebih di zaman perangkat elektronik atau gawai yang merangsek masuk ke dalam ruang privat (keluarga). Dibutuhkan kesadaran untuk menyaring setiap hal negatif di dalamnya.

“Saya ingin anak-anak tidak larut main hape. Mereka harus mengenal interaksi sosial di luar rumah,” tuturnya penuh semangat. 

Tempat paling pas, kata dia, ya, di lapangan yang terintegrasi dengan tempat tertentu. Kota Cirebon memiliki Alun-alun Kejaksan yang satu kompleks dengan Masjid Raya At-Taqwa dan Alun-alun Sangkala Buana yang satu kawasan dengan Keraton Kasepuhan. 

Ketika aktivitas anak tidak bergantung lagi dengan gawai, tambah dia, menunjukkan orang tua telah peduli pada tumbuh kembang buah hatinya. Anak-anak diarahkan melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat, seperti berenang, bermain bola, atau permainan tradisional macam gobak sodor, bentengan, dan lompat tali. 

“Gerak tubuh itu penting. Jangan sampai anak kita mojok aja di kamar main game. Bahaya!” ucapnya mengingatkan para ibu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/alun-alun-sangkala-buana-cirebon/feed/ 0 45517
Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/ https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/#comments Mon, 27 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45454 Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung. Tapi kemarin...

The post Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung.

Tapi kemarin itu, saya bersama dua anak lelaki: Rean Carstensz Langie (14) dan Muhammad (10), mencoba mendaki Gunung Ciremai, Sabtu (5/10/2024). Saya ingin tahu seramai apa jalur pendakian via Palutungan, Kuningan, saat akhir pekan.

Buat Rean dan Muhammad, ini perjalanan keempat menuju atap Jawa Barat setinggi 3.078 mdpl (meter di atas permukaan laut) tersebut. Sebelumnya pernah menjajal rute Palutungan (2022), Trisakti Sadarehe (2022), dan Linggarjati (2023). Sebenarnya tim keluarga ini berjumlah empat orang. Namun, Evan Hrazeel Langie—kembaran Rean— absen karena beda waktu liburan sekolah. Ia mondok di Solo. 

Kami berangkat dari Kota Cirebon pukul 07.00 WIB, dan tiba di basecamp Cadas Poleng 1,5 jam kemudian. Baru awal tahun 2024 lalu, titik awal pendakian Ciremai via Palutungan pindah ke sentra penghasil daun bawang dan kol di ketinggian 1.180 mdpl tersebut. Jalur masuknya searah Bumi Perkemahan Ipukan. Jalan yang menanjak, angin dingin khas dataran tinggi, serta hutan pinus menjulang, menjadi “gerbang” selamat datang bagi setiap pengunjung.

Pagi itu, parkiran motor nyaris penuh. Saya gendong carrier di punggung, daypack di dada. Rean membawa ransel dan menjinjing tenda. Muhammad menyandang tas yang biasa dipakai sekolah. Di loket registrasi, para pendaki mengurus perizinan. Tiket resminya Rp50.000 per orang. Pendaki juga mengisi formulir kelengkapan perbekalan yang dibawa. Bentuk kesiapan pendakian sekaligus catatan daftar potensi sampah yang wajib dibawa turun kembali.

Kiri: Pos registrasi pendakian Gunung Ciremai via Palutungan. Kanan: Pos 1 Cigowong dan penampakan carrier “kulkas” serta daypack yang memuat perlengkapan pendakian standar. Kami rehat untuk salat dan makan siang di pos ini/Mochamad Rona Anggie

Bergerak Menuju Cigowong dan Tanjakan Asoy

Setelah berdoa, saya dan anak-anak mulai mendaki dan sampai di Pos 1 Cigowong pukul 10.36 WIB. Kami melihat ada warung baru di sana. Saat mendampingi anak lanang perdana mendaki Ciremai pada 2022, hanya ada satu warung.

“Buka Mei kemarin (2024),” kata bapak pemilik warung.

Sementara sang istri dan anak perempuannya, sibuk melayani pembeli. Ada semangka segar, gorengan bala-bala dan gehu, nasi campur serta aneka minuman. Konsumennya, ya, pengunjung yang hiking atau camping di Cigowong. 

Saya dan anak-anak selonjoran kaki sambil ngemil biskuit dan meneguk teh manis hangat. Kami menanti waktu zuhur, lantas makan siang. Suasana hutan dengan gemericik air dari sumber mata air yang dialirkan lewat pipa-pipa, menambah ritmis suasana di Cigowong. Batin terasa tenang. Pikiran lapang. Membuang segala keruwetan kota.

Perbekalan air dimaksimalkan di Cigowong. Tak ada lagi sumber air menuju delapan pos berikutnya. Pendaki mesti cermat mengatur kebutuhan minum dan memasak.

Siang itu cuaca cerah. Trek menanjak perlahan. Kami melewati Pos 2 Kuta, Pos 3 Paguyangan Badak, Pos 4 Arban, hingga memutuskan buka tenda di Pos 5 Tanjakan Asoy jelang asar, karena gerimis turun. Sebagian besar pendaki hanya rehat sejenak di Pos 5. Mereka meneruskan perjalanan dan bermalam di transit camp Pos 6 Pasanggrahan, sebelum dini hari atau paginya meneruskan pendakian ke puncak.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tempat bermalam di Tanjakan Asoy. Berharap tak ada gangguan babi hutan/Mochamad Rona Anggie

Angin Kencang dan Kabut Tebal di Puncak

Pukul 02.00 WIB kami bersiap meninggalkan Tanjakan Asoy. Kami sempatkan makan sedikit nasi liwet dan mi telur berkuah plus sereal. Penunjang tenaga selama summit attack. Setengah jam melangkah, kami sampai Pos 6 Pasanggrahan. Banyak tenda di sini. Jarak ke puncak sekitar 3-4 jam lagi.

Trek berbatu mendominasi sampai Pos 8 Simpang Apuy, persimpangan jalur Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka). Barisan pendaki dari Apuy memanjang dengan sorot lampu di kepala. Kami ada di punggungan yang berbeda, terpisah jurang dalam. 

Tanda-tanda sunrise belum muncul. Padahal pemandangan lepas ke segala arah. Area Pos 7 Sanghyang Rangkah ke Simpang Apuy adalah batas vegetasi. Tubuh pendaki leluasa dihantam angin. Tak ada lagi barisan pepohonan sebagai benteng alam.

Cuaca kurang bersahabat. Mendekati Pos 9 Goa Walet pukul 05.00 WIB, mestinya sinar terang keemasan sudah tampak di ufuk. Namun, kabut tebal mengurung. Jarak pandang terbatas. Dingin, jangan tanya. Angin menampar bagian tubuh yang tak tertutupi pelindung.

Kami salat Subuh di area datar dekat papan penunjuk Pos 9 Goa Walet. Muhammad mengeluh kedinginan. Tangannya mati rasa (kebas). Saya lepas sarung tangan dan memakaikan dobel ke Muhammad. Kami terus berjalan, hingga akhirnya sampai di titik tertinggi Jawa Barat pukul 05.30 WIB. Angin kencang dan kabut tebal merubung. Kawah Ciremai yang luas dan dalam tidak terlihat.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Berfoto di tugu triangulasi puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Alhamdulillah, tugu triangulasi puncak masih tampak dan jadi sasaran pendaki untuk dokumentasi. Angin bergemuruh. Bukan pilihan bijak membawa anak kecil untuk berlama-lama dengan kondisi demikian.

Setengah jam menanti cuaca terang, berharap kehangatan mentari pagi, tapi tak jua datang. Saya putuskan turun ketika kondisi masih fit, kaki kuat melangkah. Jangan menyepelekan ketersediaan tenaga ketika turun gunung. Keselamatan anggota tim adalah nomor satu.

Mendaki gunung bukan hanya soal bagaimana sampai di puncak, melainkan juga bisa turun dengan selamat. Kita tidak cari mati di gunung! Pendaki gunung adalah orang-orang yang menghargai hidup, dan berjuang sebaik-baiknya.

Setibanya di Pos 9 Goa Walet, cuaca belum berubah. Masih berkabut. Deras rombongan pendaki naik, bertanya, “Gimana di puncak?” Kami jawab, kabut tebal. Di Simpang Apuy, udara tidak terlalu dingin lagi. Pemandangan cerah, tetapi pancaran sinar matahari belum merata.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Pos 9 Goa Walet setelah dari puncak. Kondisi kami sehat/Mochamad Rona Anggie

Berjumpa Pendaki Wangi dan Tektok

Sambil melangkah turun, saya mengamati jumlah pendaki wanita imbang dengan lelaki. Tampilan muda-mudi itu stylish. Pendaki cewek tak lupa memoles wajah, memakai pemerah bibir dan parfum. Ini gunung atau mal, batin saya. Bawaan mereka juga lebih simpel. Tidak banyak yang membawa carrier “kulkas” (istilah ransel berukuran besar yang isinya menyimpan banyak logistik seperti kulkas). Hanya berbekal hydrobag—tas air minum minimalis—atau sekadar daypack

Tentu zaman sudah berubah. Saya ingat ketika mendaki tahun 2001 dulu, pendaki wanita dan lelaki sama kusamnya. Tak kenal dandan di gunung. Tak ada sepatu warna-warni model sekarang. Pilihannya sepatu lars tentara atau sepatu gunung yang menutupi mata kaki dan tulang kering. Pakai kupluk seadanya. 

Pas mendaki kemarin itu, kiranya hanya saya yang pakai bandana. Sepatu bergerigi Jack Wolfskin, carrier “kulkas” di punggung plus daypack di dada. Kelihatan berat, padahal ini standar perlengkapan pendakian.

Ketika sampai kembali di Pos 5 Tanjakan Asoy, jumlah pendaki tektok terlihat semakin banyak. Mereka menyandang tas sekolah. Terkaan saya hanya berbekal snack dan air mineral. Usianya masih remaja, setingkat pelajar SMP.  

Gila, pikir saya. Modal naik gunung begitu doang. Mirip rekreasi ke halaman belakang sekolah di serial Doraemon. Tak bawa tenda, jaket tebal, dan perlengkapan masak. Ada satu momen saya dapati pendaki yang tak beralas kaki alias nyeker.

Lho, ke mana sepatunya?” 

“Jebol, Pak.”

Saya merasa miris. Prihatin. Betul mereka izin di pos registrasi sekadar hiking. Atau tektok; mendaki sekali jalan, tanpa bermalam. Ada yang memang sudah biasa tektok mencapai puncak. Ada yang sekadar sampai Pos 3–Pos 5, lantas balik lagi. Tapi, ya, perlengkapan jangan disepelekan, dong. Gunung selevel Ciremai, tentu semua sepakat bukan untuk rekreasi santai ala kadarnya.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tampilan pendaki zaman now, lebih simpel dan stylish. Tampak dari model sepatu “ringan” warna-warni/Mochamad Rona Anggie

Bahaya Mendaki Tektok Tanpa Persiapan

Kita ketahui, olahraga mendaki gunung penuh risiko. Perlu pengetahuan dan keterampilan khusus, bukan semata kaki bisa jalan menanjak, dan mendakilah seenaknya. Atau sesimpel itu mungkin, ya, generasi kekinian melihat olahraga mendaki gunung. Alhamdulillah, kalau tak ada masalah. Tapi, benarkah?

“Tiap akhir pekan kami ketat mengawasi, pendaki yang sampai Pos 6 lebih dari jam sembilan pagi, kami suruh turun kembali. Tak boleh terus ke puncak,” kata Asep (25), ranger yang berjaga di shelter darurat Pos 6 Pasanggrahan.

“Pendaki tektok yang belum expert, semacam remaja-remaja itu, membuat repot. Tantangan evakuasi makin besar,” ucapnya.

Penjelasan lebih dalam saya dapat dari pengelola basecamp Palutungan yang terbilang senior, Sandi Baron (52). Menurutnya, pendaki pemula coba mendaki tektok karena pengaruh media sosial.

“Belakangan ini viral pendakian tektok. Tambah lagi komunitas trail run (lari di gunung) bermunculan. Remaja-remaja itu penasaran, mau coba. Akhirnya booming. Bisa sampai seratus orang kalau akhir pekan,” tuturnya.

Sayangnya, lanjut Mang Baron, antusiasme yang tinggi tak dibarengi persiapan serta pengetahuan yang cukup. “Beberapa pendaki (tektok) kami evakuasi karena kelelahan dan kedinginan. Bekal makanan kurang, energi diforsir,” ujarnya.

Pihak basecamp akhirnya tegas: pendaki yang mau tektok, mesti start dini hari. Batas maksimal sampai puncak pukul 12.00 WIB. “Pendaki sudah biasa tektok berangkat jam dua atau tiga pagi. Sampai basecamp lagi magrib,” kata Baron. 

Dia menyebut pendaki remaja yang coba tektok banyak berasal dari Kuningan dan Cirebon. Mereka belum punya bekal komprehensif terkait ilmu pendakian gunung. Masih sebatas terbawa apa kata teman. “Tidak memikirkan risiko sama sekali, kan bahaya. Apalagi Ciremai, tak bisa didaki setengah hari sampai puncak. Kecuali memang atlet trail run profesional,” tuturnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/feed/ 1 45454
Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/ https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/#comments Fri, 13 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44560 Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut. Kota...

The post Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut.

Kota berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa pada tahun 2022 itu (BPS Kota Bandung, 2023), dengan populasi terbesar penduduk berusia produktif antara 15–29 tahun (mencapai 24%), harus menggantungkan pasokan sumber pangan segar yang aman dikonsumsi sebanyak 96% dari daerah luar Bandung (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, 2022). Baik dari provinsi di Jawa maupun luar Jawa. Jenis pangan itu antara lain tanaman pangan dan hortikultura (beras, buah-buahan, sayuran, palawija, rempah-rempah), hasil peternakan (telur, daging, susu), serta hasil perikanan (ikan segar dan ikan asin).

Selanjutnya tersisa hanya kurang dari 4% saja total kebutuhan pangan yang sanggup dipenuhi dari hasil produksi pertanian lokal. Penyebabnya antara lain ketersediaan lahan pertanian yang sangat kecil, yakni 807,11 hektare, atau hanya 4,8% dari total luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 167,31 km2. Angka ini bisa terus menurun akibat konversi lahan untuk pembangunan nonpertanian dan lambatnya regenerasi petani (BPS Kota Bandung, 2023).

Kondisi alam turut memengaruhi stabilitas pasokan pangan di Bandung. Riset Adib (2014) mencatat curah hujan yang tinggi pada tahun 2010 menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran segar untuk kota ini. Bencana hidrometeorologi lanjutan, yakni banjir, menghambat alur distribusi dan aksesibilitas pasokan pangan ke masyarakat.

Di tengah kondisi itu, Kota Bandung juga menghadapi dampak perubahan iklim yang memengaruhi kestabilan pasokan pangan. Pada tahun 2010, tingginya curah hujan menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran untuk kota ini (Adib, 2014). Distribusi pangan juga terhambat oleh masalah banjir, terutama di bagian selatan kota, yang sering terjadi dan mengganggu aksesibilitas. Selain itu, inflasi sebesar 7,45% pada Desember 2022 telah meningkatkan harga barang pokok, memperburuk daya beli masyarakat dan menambah tekanan pada akses pangan (BPS Kota Bandung, 2023).

Tekanan lain datang dari pengolahan sampah yang belum optimal. Sebanyak 44,52% sampah perkotaan di Bandung berasal dari limbah makanan, mulai dari limbah rumah tangga, pasar, perhotelan, hingga limbah makanan kedaluwarsa yang terbuang begitu saja. Angka ini sekitar 3,88% lebih tinggi dari rata-rata nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Padahal pengeluaran masyarakat Kota Bandung untuk makan cukup besar dan terjadi peningkatan setiap tahunnya. Jika tidak dikelola dengan baik, masalah-masalah tersebut bisa mengancam kegiatan perekonomian dan ketahanan pangan Kota Bandung.

Untuk itu perlu langkah progresif dan tepat sasaran agar penyediaan sumber pangan lokal tidak terus terjatuh dalam jurang krisis. Tingginya minat orang muda terhadap bisnis dan gerakan kemasyarakatan, ketersediaan lokapasar digital, hingga keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor di hulu–hilir mesti disambut baik.

Inisiatif-inisiatif yang bermula dari lingkup kecil, tetapi bisa berdampak besar telah menunjukkan bukti konkret secara perlahan. Orang-orang muda muncul bak tunas pemberi harapan.

Fokus kegiatan Seni Tani menggarap lahan-lahan tidur di kawasan perkotaan menjadi kebun sayur produktif untuk menunjang
ketahanan pangan/Dokumentasi Seni Tani

Inisiatif ketahanan pangan berbasis masyarakat

Persoalan pemenuhan kebutuhan pangan lokal di Kota Bandung mengundang orang-orang muda bergerak. Salah satu yang populer adalah Seni Tani, sebuah kelompok orang muda yang diinkubasi atau diberdayakan dari Komunitas 1000Kebun. Seni Tani berfokus menghidupkan kembali lahan-lahan pertanian perkotaan yang “tertidur” alias tidak produktif di kawasan Arcamanik, khususnya Kelurahan Sukamiskin. 

Gerakan tersebut muncul dengan konsep Community Supported Agriculture (CSA), yang menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan secara kolektif. Program CSA berupaya mengembangkan sistem pasar pangan lokal secara adil, menghubungkan konsumen dan petani tanpa sekat, hingga melakukan edukasi dan praktik pertanian berkelanjutan untuk generasi muda. Generasi muda di Bandung menjadi kelompok yang paling diperhatikan, mengingat tingginya tingkat depresi akibat pengaruh media sosial dan kesulitan ekonomi selama pandemi COVID-19 lalu.

Berdasarkan riset Pertiwi dkk (2021), pada Agustus 2020, dari 647 responden remaja usia 14–18 tahun di Kota Bandung, sebanyak 58,74 mengalami kecemasan sebagai bentuk kondisi psikologi negatif akibat pandemi COVID-19. Dari jumlah itu, 32,15% di antaranya mengalami depresi sedang atau berat. Mereka mengalami tekanan psikologis yang berat akibat adanya kebijakan pembatasan interaksi dan adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah. Sementara BPS Kota Bandung (2021) menyatakan adanya kenaikan tingkat pengangguran terbuka di kalangan muda (angkatan kerja di atas 15 tahun) di kota tersebut selama pandemi. Dari 105.067 orang (8,16%) pada 2019, meningkat menjadi sebanyak 147.081 orang (11,19%) pada 2020.

Kondisi itu termasuk yang melandasi lahirnya gerakan berbasis orang muda oleh Seni Tani. Setidaknya ada tiga aspek yang diperjuangkan Seni Tani, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dari sisi lingkungan, Seni Tani mengubah lahan tidur di kawasan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Arcamanik menjadi kebun pertanian organik. Lalu dari segi sosial, Seni Tani melibatkan orang muda dan komunitas setempat untuk mendapatkan pelatihan urban farming dan menyediakan akses pangan lokal dan sehat. Terakhir di aspek ekonomi, para petani muda kota yang tergabung dalam Seni Tani mendapatkan kepastian pendapatan dari hasil tani mereka dengan pendekatan sistem CSA atau Tani Sauyunan.

Contoh komoditas sayur organik hasil panen dari kebun-kebun yang dikelola Seni Tani maupun petani muda mitra
di Kota Bandung/Dokumentasi Seni Tani

“Sauyunan” bermakna kebersamaan, yang berarti sistem ini akan mendekatkan petani dan masyarakat secara langsung. Sampai dengan Oktober 2024, 189 orang warga Kota Bandung telah menjadi anggota CSA-Tani Sauyunan. Sejak Januari 2021, gerakan ini telah menggarap 913 m2 lahan tidur, mengolah 12.046 kg sampah dapur dan halaman, menghasilkan 6.023 kg kompos, dan memproduksi 1.934 kg sayuran sehat.

Inisiatif hebat dari orang muda tersebut disambut positif oleh AKATIGA, lembaga penelitian nonprofit yang berdiri sejak tahun 1991 dan didirikan oleh sekelompok peneliti ilmu sosial Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan International Institute of Social Studies Den Haag (ISS). Lembaga ini bergerak dengan tiga fokus kegiatan: penelitian sosial, monitoring dan evaluasi program-program pembangunan, serta rekomendasi kebijakan.

Sebagai upaya memastikan kelestarian sistem CSA oleh Seni Tani, kedua pihak kemudian sepakat membangun Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) dengan program utama penguatan kapasitas komunitas dalam mengembangkan sistem pangan lokal Kota Bandung secara berkelanjutan. Dalam rilis resminya, AKATIGA meyakini CSA Tani Sauyunan sebagai peluang orang-orang muda untuk menciptakan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi; yang memungkinkan orang muda memiliki akses dan kontrol lebih besar terhadap sumber daya penghidupan berkelanjutan di perkotaan.

Konsorsium ini adalah bagian dari program Urban Futures yang didukung oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). AKATIGA berupaya mendukung perkembangan CSA Tani Sauyunan melalui kerangka riset dan advokasi kebijakan. Harapannya, kemudian mendorong ruang kebijakan yang dapat memfasilitasi sistem berbasis komunitas tersebut sebagai alternatif untuk memperkuat sistem pangan berkelanjutan di Kota Bandung.

Dalam pernyataan resminya di acara peluncuran Urban Futures di Pendopo Kota Bandung (8/3/2024), Vania Febriyantie, pendiri Seni Tani, menganggap Seni Tani bagaikan doa yang diaminkan lewat program Urban Futures. Baginya, sangat penting untuk mengenal asal makanan, siapa yang menanam, dan bagaimana cara menanam agar menimbulkan empati pada sepiring makanan yang tersaji. Ia berharap bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga ketahanan pangan di Kota Bandung secara berkelanjutan.

Program CSA-Tani Sauyunan menghubungkan distribusi produk sayuran antara petani dengan pemesan (pasar)
secara langsung/Dokumentasi Seni Tani

Gandeng tangan untuk ketahanan pangan Bandung

AKATIGA dan Seni Tani tidak bisa berjalan sendirian. Langkah progresif lewat bingkai Konsorsium PUPA perlu kawalan tangan multipihak untuk menjamin keberlanjutan. Sebab, pertumbuhan populasi penduduk merupakan keniscayaan. Kian banyak orang yang harus dicukupi kebutuhan pangan dan nutrisinya. Pun perubahan iklim terus menggerus bumi, menimbulkan ketidakpastian dalam sistem pertanian masyarakat. Butuh banyak tangan orang muda untuk saling bergandengan mewujudkan ketahanan pangan perkotaan.

Urban Futures menjadi salah satu medium untuk mewujudkan itu. Program global lima tahun (2023–2027) tersebut berfokus pada sistem pangan perkotaan, kesejahteraan golongan muda, dan aksi iklim. Di Indonesia, selain Manggarai Barat, pelaksanaan program yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) dengan dukungan mitra, jaringan, dan pakar lokal tersebut juga berlangsung di Bandung. Acara kick-off Urban Futures Bandung berlangsung pada 5–6 Maret 2024 di Pendopo Kota Bandung. Sejumlah pemangku kepentingan hadir. Mulai dari Yayasan Humanis, Pemerintah Kota Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, hingga pelaksana program Urban Futures di Bandung, seperti RISE Foundation dan Konsorsium KOPAJA. 

Dalam keterangannya melalui portal berita Pemerintah Provinsi Jawa Barat (8/3/2024), Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kota Bandung Eric M. Attauriq menyambut positif kegiatan tersebut. Ia menyebut kolaborasi tidak hanya penting untuk mendukung ketahanan pangan, tetapi juga memberi kemudahan akses pangan berkelanjutan, beragam, dan bergizi. Baginya, Urban Futures sangat relevan dengan budaya kreatif yang dimiliki orang muda Kota Bandung dalam melakukan transformasi sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

Di sisi lain, Kepala DKPP Kota Bandung Gin Gin Ginanjar mengungkapkan rasa syukurnya karena, Kota Bandung mendapat kesempatan menyelenggarakan kegiatan Urban Futures. Ia menyebut kegiatan ini merupakan buah dari upaya Pemerintah Kota Bandung dalam menggalakkan program Buruan Sae, sebuah program pertanian perkotaan (urban farming) terintegrasi yang ditujukan untuk menanggulangi ketimpangan permasalahan pangan di Kota Bandung. Program ini mengajak masyarakat memanfaatkan pekarangan atau lahan yang ada untuk berkebun memenuhi kebutuhan pangan di lingkup keluarga.

Pernyataan dari perwakilan pemerintah daerah tersebut menunjukkan komitmen dan dukungan pada ikhtiar mewujudkan kemandirian pangan lokal, termasuk mengakomodasi peluang kolaborasi dengan inisiatif-inisiatif komunitas setempat. Tujuannya adalah agar Kota Bandung tidak bergantung pada wilayah lain.

Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Tunggal Pawestri menyampaikan apresiasi terhadap Pemerintah Kota Bandung. Kota Kembang ini terpilih sebagai kolaborator berkat sejumlah prestasi serta rekam jejak aktivasi Pemerintah Kota Bandung dalam upaya menjaga ketahanan pangan. Lebih lanjut, Tunggal Pawestri mendorong generasi muda untuk menjadi aktor transformasi ketahanan pangan di masa depan.

Maka terbitnya Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pelayanan Bidang Pangan, Pertanian dan Perikanan, yang berimplikasi mendorong peningkatan produksi pangan lokal, perlu diterjemahkan lebih teknis ke dalam peraturan-peraturan turunan. Tujuannya, payung-payung hukum tersebut akan melindungi upaya peningkatan produksi pangan lokal berbasis masyarakat, memastikan akses pangan secara sehat dan aman, serta mencari bibit orang-orang muda lainnya sebagai garda terdepan dalam peningkatan produksi dan ketahanan pangan lokal di Kota Bandung. 


Referensi:

Adib, M. (2014). Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian. BioKultur, Vol.III/No.2/Juli–Desember 2014, hal. 420–429. https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-bkbbfe09eddcfull.pdf.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2020). Kota Bandung dalam Angka 2020. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2020/04/27/0a1cfa49906db067b3fb7e5e/kota-bandung-dalam-angka-2020.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2021). Kota Bandung dalam Angka 2021. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2021/02/26/2fb944aeb2c1d3fe5978a741/kota-bandung-dalam-angka-2021.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2023). Kota Bandung dalam Angka 2023. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2023/02/28/13fdfc9d27b1f2c450de2ed4/kota-bandung-dalam-angka-2023.html.
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung. (2022). Rencana Strategis (Renstra) Perubahan Kota Bandung 2018–2023. Diakses dari https://ppid.bandung.go.id/storage/ppid_pembantu/informasi_setiap_saat/dS2XItXwdwGYkIrVET4EaaEYPawo6S1qeq4FFWUZ.pdf.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. SIPSN. Diakses dari https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/.
Pertiwi, S. T., Moeliono, M. F., dan Kendhawati, L. (2021). Depresi, Kecemasan, dan Stres Remaja selama Pandemi Covid-19. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA, Vol. 6, No. 2, September 2021. DOI: http://dx.doi.org/10.36722/sh.v6i2.497.

Foto sampul: Inisiatif orang muda peduli sistem pangan berkelanjutan lewat gerakan Seni Tani di Kota Bandung, Jawa Barat/Dokumentasi Seni Tani


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/feed/ 1 44560
Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru https://telusuri.id/gasibu-lapangan-multifungsi-yang-sempat-tertutup-tenda-biru/ https://telusuri.id/gasibu-lapangan-multifungsi-yang-sempat-tertutup-tenda-biru/#respond Tue, 15 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42853 Minggu pagi menjelang siang (25/8/2024), langit terlihat membiru, dengan hiasan sejumlah awan putih di beberapa bagiannya, saat ratusan orang memadati jogging track Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat. Tua-muda, besar-kecil, berlarian mengelilingi lapangan tersebut. Ada yang...

The post Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu pagi menjelang siang (25/8/2024), langit terlihat membiru, dengan hiasan sejumlah awan putih di beberapa bagiannya, saat ratusan orang memadati jogging track Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat. Tua-muda, besar-kecil, berlarian mengelilingi lapangan tersebut.

Ada yang berlari dalam tempo cepat, ada yang dalam tempo sedang. Tak sedikit pula yang berlari lebih lambat. Namun, ada juga sebagian yang cuma berjalan kaki untuk beberapa putaran. Mereka yang telah menyelesaikan joging, sebagian terlihat melakukan pendinginan di teras selatan Gasibu.

Sejak Gasibu direnovasi dan memiliki jogging track, antusiasme warga untuk berlari di Lapangan Gasibu agaknya semakin meningkat. Adanya jalur khusus joging tersebut membuat warga kini lebih nyaman berolahraga di Gasibu. Apalagi, saat ini para pedagang kaki lima (PKL) mingguan sudah tak boleh lagi berjualan di Gasibu, sehingga warga semakin leluasa melakukan aktivitas olahraga mereka.

Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru
Warga melakukan aktivitas olahraga di Lapangan Gasibu/Djoko Subinarto

Gasibu Dulu, Gasibu Kini

Dulu, saban Minggu para PKL menyemut di Lapangan Gasibu. Saban Minggu pula, nyaris seluruh bagian lapangan itu tertutup tenda biru, yang dijadikan naungan tempat para PKL berjualan. Akibatnya, jalanan di sekitar Gasibu menjadi sangat macet. Kendaraan yang melintas harus merayap pelan, terjebak di antara keramaian pengunjung dan PKL Gasibu yang meluber hingga ke ruas jalan di sekitarnya.

Kondisi tersebut sering kali menimbulkan keluhan dari warga masyarakat. Apalagi bagi mereka yang hendak melintas atau bahkan ingin menikmati panorama Gasibu dan Gedung Sate tanpa gangguan kemacetan sama sekali.

Untungnya, tatkala Kang Emil—sapaan akrab Ridwan Kamil—mulai menjabat sebagai Wali Kota Bandung, salah satu misi yang dibawanya adalah melakukan penataan Gasibu. Termasuk mensterilkan Gasibu dari serbuan para PKL. Kini hasilnya bisa dirasakan oleh warga yang rutin berolahraga di lapangan ini.

Ditilik dari perjalanan sejarahnya, Lapangan Gasibu merupakan salah satu warisan dari pemerintah Hindia Belanda. Awalnya, lapangan ini bernama Wilhelmina Plein. Namun, pascakemerdekaan Indonesia, namanya kemudian berganti menjadi Lapangan Diponegoro. 

  • Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru
  • Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru

Meski demikian, sejak tahun 1950-an, lapangan ini lebih terkenal dengan nama Lapangan Gasibu. Pasalnya, kala itu ada sebuah perkumpulan sepakbola bernama Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara (Gasibu) yang rutin berlatih di sini. Hal tersebut membuat orang-orang menyebutnya sebagai Lapangan Gasibu sampai sekarang.

Dari segi fungsi, Lapangan Gasibu sesungguhnya bukan hanya sekadar tempat untuk olahraga. Sebagai ruang terbuka di pusat Kota Bandung, Gasibu juga sering digunakan untuk berbagai acara besar, seperti konser musik, pameran seni, upacara peringatan hari-hari besar nasional, hingga kampanye politik menjelang Pemilu. Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah salah satu figur yang sempat berkampanye di Gasibu saat Pemilu 2004. Saat itu SBY mampu menarik ribuan pendukung dan simpatisannya untuk hadir di lapangan tersebut.

Karena lokasi yang strategis, serta fleksibilitas Gasibu sebagai lapangan multifungsi, menjadikannya sebagai salah satu ruang publik penting di Bandung. Ditambah dengan latar belakang Gedung Sate yang ikonis di sisi selatan, membuat Gasibu memiliki nilai simbolis dan keterikatan yang kuat dengan Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat.

Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru
Gedung Sate jadi latar ikonis di selatan Lapangan Gasibu/Djoko Subinarto

Gasibu dan Demonstrasi

Keberadaan Gasibu yang satu kompleks dengan pusat pemerintahan membuatnya akrab pula dengan beragam aktivitas demonstrasi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat. Gasibu setidaknya rutin menjadi titik temu bagi para demonstran, terutama ketika mereka hendak menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah maupun DPRD Jawa Barat. Sebagai gambaran, persis di seberang selatan Gasibu terletak Gedung Sate, pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, dan di sebelah barat terdapat Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat.

Gasibu sering dipilih sebagai titik awal aksi-aksi demonstrasi. Bukan hal yang aneh bagi warga Bandung tatkala kerap melihat ratusan orang berkumpul di Gasibu untuk menyuarakan tuntutan atau dukungan mereka terhadap berbagai isu sosial, budaya, politik, maupun ekonomi.

Dan bukan hal yang ganjil pula, setiap ada aksi demonstrasi, jalan di sekitar Gasibu dan Gedung Sate biasanya ditutup untuk sementara waktu. Tujuannya menjaga kelancaran aksi demonstasi dan keselamatan para peserta demonstrasi serta pengguna jalan lainnya. Akibatnya, kendaraan yang hendak melintas di sekitar area Gasibu dan Gedung Sate harus mencari rute alternatif, yang kerap menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan sekitarnya.

Sayangnya, setiap kali aksi demonstrasi usai, lapangan dan area sekitar Gasibu sering dipenuhi sampah berserakan. Mulai dari poster, spanduk, botol minuman, sisa makanan, hingga puing-puing ban bekas yang dibakar. Tentu saja, kondisi tersebut menimbulkan keprihatinan dari sejumlah elemen masyarakat dan para petugas kebersihan. Mereka harus bekerja ekstra untuk membersihkan Lapangan Gasibu. Memastikan lapangan bersejarah ini kembali menjadi tempat yang bersih dan nyaman bagi publik, tanpa terkecuali.


Referensi:

1) Bahari, Iky. (2022, 13 April). Lapangan Gasibu dengan Ceritanya. INFOBDG.COM, https://www.infobdg.com/v2/lapangan-gasibu-dengan-ceritanya/.
2) Metrum. (2019, 16 Maret). Sejarah Terbentuknya Lapangan Gasibu. https://metrum.co.id/sejarah-terbentuknya-lapangan-gasibu/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gasibu, Lapangan Multifungsi yang Sempat Tertutup Tenda Biru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gasibu-lapangan-multifungsi-yang-sempat-tertutup-tenda-biru/feed/ 0 42853
Merah Putih Berkibar di Green Canyon https://telusuri.id/merah-putih-berkibar-di-green-canyon/ https://telusuri.id/merah-putih-berkibar-di-green-canyon/#respond Sun, 13 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42843 Momen kemerdekaan 17 Agustus lalu saya rayakan bersama teman-teman dari Komunitas Pecinta Jalan-Jalan di Green Canyon. Sejak merencanakan perjalanan ke daerah wisata sekitar Pangandaran, Jawa Barat, kami sangat antusias menyambut liburan sekaligus merayakan hari paling...

The post Merah Putih Berkibar di Green Canyon appeared first on TelusuRI.

]]>
Momen kemerdekaan 17 Agustus lalu saya rayakan bersama teman-teman dari Komunitas Pecinta Jalan-Jalan di Green Canyon. Sejak merencanakan perjalanan ke daerah wisata sekitar Pangandaran, Jawa Barat, kami sangat antusias menyambut liburan sekaligus merayakan hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kami sudah bersepakat untuk membawa bendera ke sana.

Green Canyon, yang kami tuju, berada di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Kami berangkat dari Jakarta tanggal 16 Agustus, pukul 21.00 WIB. Kami memilih rute lewat Bandung menuju Tasikmalaya. Dari Tasik, lanjut ke jalur timur melewati Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran, Parigi lalu Cijulang. Jalur ini memiliki jarak kurang lebih 170 km.

Sebenarnya ada yang lebih singkat, yakni melalui jalur selatan melewati Kota Tasik, Cipatujah, Cikalong, Cimanuk lalu Cijulang, dengan jarak kurang lebih 60 km. Namun, jalur ini kurang disarankan karena akan berhadapan dengan hilir mudik truk pengangkut pasir besi. Truk-truk tersebut mengakibatkan jalur selatan rusak parah dan membuat perjalanan lebih lama.

Setelah menempuh perjalanan sekitar sembilan jam, tibalah kami di Green Canyon atau oleh warga setempat disebut dengan Cukang Taneuh. Arloji di tangan menunjuk angka 06.30. Masih ada waktu satu jam sebelum loket buka. Kami pun memanfaatkan jeda waktu untuk mandi dan berganti baju. Upacara bendera segera dimulai. Kendati sederhana, prosesi hormat bendera berlangsung cukup hikmat. Puncaknya, kami berfoto bersama di depan Cukang Taneuh dengan bendera yang kami bentangkan.

Tepat sejam kemudian loket buka. Kami segera membeli tiket sebelum antrean mengular panjang. Kami lalu masuk menuju dermaga Ciseureuh. Di dermaga, perahu-perahu atau yang disebut ketinting sudah berjajar dan bersiap mengantar kami menuju Green Canyon. Harga sewa perahu dipatok sebesar Rp75.000 untuk lima orang.

  • Sungai Cijulang Green Canyon di Pangandaran Jawa Barat (Laily Nihayati)
  • Sungai Cijulang Green Canyon di Pangandaran Jawa Barat (Laily Nihayati)

Menyusuri Lembah Hijau 

Kami menaiki ketinting yang sudah berjajar rapi. Tukang perahu dan asistennya memberikan jaket pelampung untuk keamanan selama perjalanan. Setelah semua siap, perahu mulai bergerak membelah Sungai Cijulang. Belum lama melaju, kami sudah jatuh cinta dengan pesonanya. Air sungai begitu jernih dengan warna toska. Di kanan-kirinya berdiri kokoh tebing-tebing yang terpahat alami. Selain tebing, juga terdapat bukit-bukit setinggi 20–30 meter dan dataran rendah yang ditumbuhi pepohonan. Tak salah jika tempat ini dijuluki lembah hijau atau Green Canyon. 

Adalah Frank dan Astrid, turis asal Prancis dan Swiss yang memopulerkan nama Green Canyon. Mereka datang pertama kalinya ke Cukang Taneuh tahun 1990. Versi lainnya mengatakan ada turis asal Amerika bernama Bill Jones (Bill John), yang pada 1989 sempat menyusuri lokasi tersebut dengan menggunakan perahu kayuh tanpa mesin. Sepulang dari sana, dia memberikan komentar sungai tersebut memiliki kesamaan dengan Grand Canyon di Colorado, Amerika Serikat, atau Okazaki, Kyoto, Jepang. Untuk itu kemudian disebut Green Canyon.  

Cukang Taneuh memiliki arti “jembatan tanah”. Disebut demikian lantaran di atas lembah dan jurang Green Canyon terdapat jembatan dari tanah yang mempunyai lebar tiga meter dan panjang mencapai 40 meter. Jembatan ini menghubungkan antara Desa Kertayasa dengan Desa Batukaras. Sekaligus juga menghubungkan dua tebing di atas aliran air sungai yang membentuk sebuah terowongan.

Warna air Sungai Cijulang bisa berubah sesuai cuaca. Waktu terbaik untuk berkunjung ke sini adalah musim kemarau, antara bulan Juni hingga September. Saat musim kemarau, air akan terlihat jernih dan debitnya bagus. Ketika musim hujan, biasanya akan berubah keruh atau cokelat akibat debit air yang tinggi karena curah hujan. Sebutannya bukan Green Canyon lagi, melainkan Brown Canyon. Selain itu ada kemungkinan air sungai akan pasang, sehingga tempat ini ditutup untuk umum demi keselamatan pengunjung.

Tak hanya kejernihan air dan panorama tebing yang menggoda mata. Di antara rimbunnya pepohonan, sesekali kami menangkap gerak-gerik hewan liar, seperti monyet, biawak, bahkan buaya. Burung-burung berkicau memecah keheningan Sungai Cijulang. 

Pemandangan kian menakjubkan ketika kami mulai memasuki gua besar dengan stalaktit dan stalakmit yang spektakuler. Di depan apitan lereng tebing, terlihat air terjun yang disebut Palatar. Masuk lebih dalam lagi, kami seperti berada di sebuah gua besar dengan atap yang terbuka, sehingga sinar matahari dapat masuk ke celah-celahnya. 

Perahu berhenti di dalam gua dan mustahil bisa menelusuri lebih dalam lagi, karena terhalang batu besar dan lorong semakin menyempit. Tak ada jalan lain untuk melaluinya kecuali berenang atau merayap ke tepi batu. Tukang perahu membantu kami menyusuri sungai dengan menggunakan tali yang dibentangkan.  

Jika tidak ingin meniti jalan dengan tali, bisa menggunakan pelampung berupa ban yang banyak disewakan di sana. Harga sewanya cukup murah, hanya sepuluh ribu rupiah. 

Merah Putih Berkibar di Green Canyon
Foto bersama bendera Indonesia di antara tebing-tebing Green Canyon/Laily Nihayati

Memacu Adrenalin di Tebing

Setelah beberapa menit berjalan di air, kami tiba di kolam putri. Tampak batu karang besar yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Kami menuju ke sana untuk berfoto ria, tak lupa sambil membawa bendera. Meskipun tubuh dan baju kami kuyup, kami tetap bersemangat. Kami bentangkan Sang Saka Merah Putih di atas tebing yang berada sekitar lima meter dari permukaan air sungai. 

Beberapa teman mencoba memacu adrenalin dengan melompat dari tebing ini. Saya pun tergoda melakukannya, karena merasa aman dengan pelampung dan teman-teman yang siap menolong di bawah. Byur! Saya melompat dan jatuh ke air. Sensasinya luar biasa! Tak sia-sia melawan rasa takut.

Teman-teman di bawah menyambut dengan sorak-sorai. Kami tertawa gembira. Sore itu kami habiskan dengan bermain di aliran sungai dan menikmati air terjunnya. Kami juga sempat masuk di dalam gua yang terdapat banyak kelelawar.  

Tak terasa dua jam sudah kami di Green Canyon. Kami harus kembali ke pangkalan perahu sebelum tutup operasional dan meneruskan perjalanan untuk menginap di Pangandaran. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merah Putih Berkibar di Green Canyon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merah-putih-berkibar-di-green-canyon/feed/ 0 42843