jawa tengah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jawa-tengah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:14:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 jawa tengah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jawa-tengah/ 32 32 135956295 Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/ https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/#respond Wed, 11 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47379 Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang...

The post Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang yang kini terlihat, juga sebuah kubangan luas yang di dalamnya terdapat petak-petak tambak milik warga.

Kubangan luas itu dulunya adalah daratan, lalu terkena abrasi dan menjadi bagian dari Laut Jawa. Setelah tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer dibangun dengan memotong sebagian laut dangkal itu, bagian dalam laut itu berubah menjadi kolam “kubangan” retensi pengendali banjir rob.

Gofur tinggal di Tambak Lorok, sebuah kampung nelayan yang berada di Kecamatan Tanjung Mas, Semarang Utara. Ia sendiri adalah seorang nelayan. Tiap menjelang malam Gofur berangkat melaut untuk menjaring udang dengan perahu oranye miliknya. Tengah malam Gofur kembali lagi ke darat, lalu menyetorkan hasil tangkapannya ke tempat pelelangan ikan di kampungnya.

“Bulan Desember itu harga hasil laut memang naik. Tapi kalau udang naiknya nggak seberapa. Yang naiknya melambung itu, ya, kerang hijau, kerang dara, ikan-ikan. Itu mahal semua. Kerang hijau dari lima ribu bisa naik sepuluh sampai lima belas (ribu),” katanya.

Saya pertama kali menemui Gofur di rumahnya pada Minggu, 8 Desember 2024. Kala itu, ia sedang duduk santai dengan salah seorang tetangganya di depan rumahnya. Ia mengenakan kaus putih bergambar wajah paslon Pilpres 2024, celana pendek hitam, dan sandal selop coklat. Sebuah ketu hitam tersampir di kepalanya, menutupi rambutnya yang mulai beruban. Umurnya 52 tahun.

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Gofur dan perahu warga oranye miliknya di dermaga sebelah timur kampung/Adinan Rizfauzi

Tambak Lorok Hari ini dan Muasal Warganya

“Orang Tambak Lorok ini rata-rata perantauan, orang pendatang. Yang asli Tambak Lorok, ya, yang masih kecil muda itu. Yang tua-tua aslinya orang luar. Banyak yang dari Demak seperti saya.” Gofur bercerita tentang kampungnya. Saya manggut-manggut mendengarkannya. 

Sebuah situs Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebut Tambak Lorok adalah perkampungan nelayan terbesar di Kota Semarang. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Tengah mencatat ada 700 lebih warga Tambak Lorok yang berprofesi sebagai nelayan. Kini, kampung itu memiliki 11.056 penduduk.

Belakangan ini Tambak Lorok tampak mendapat sorotan pemerintah. Sebuah pasar direvitalisasi. Saat saya berkunjung, pasar dua lantai dengan tembok biru itu banyak diisi oleh pedagang yang menjajakan hasil laut. Sebuah taman juga dibangun. Terletak di antara jalan satu arah kampung, memanjang lurus mengikuti jalan utama kampung. Banyak tetumbuhan di sana, juga tempat bermain dan kursi-kursi panjang, menjadi oase di tengah permukiman warga yang saling berdesakan.

Yang terakhir adalah pembangunan tanggul laut. Akhir 2024 lalu Presiden Joko Widodo meresmikan tanggul sepanjang 3,6 kilometer itu.

“Waktu pembangunan tanggul belum jadi, Pak Jokowi ke sini jam dua belas malam, hanya sama sopirnya saja. Nggak ada pengawalnya,” kata Gofur dengan suara bangga. “Sekarang kampung Tambak Lorok aman dari gelombang, aman dari pasang surut laut.” 

Efektifitas Tanggul Laut

Pemerintah mengklaim tanggul laut di Tambak Lorok akan bertahan sampai 30 tahun. Tapi saya mendengar bahwa tanggul laut itu sudah merembes pada waktu-waktu tertentu. Beberapa pakar menyebut tanggul laut memang efektif menanggulangi air pasang, gelombang, dan rob. Namun, ia hanya bisa diandalkan dalam jangka pendek. Di pesisir Semarang–Demak, daya tahan tanggul juga berpacu dengan penurunan muka tanah. Di sana penurunan muka tanah bisa mencapai 12 sentimeter per tahun.

“Menurut saya tanggul laut merupakan solusi yang efektif untuk jangka pendek. Tidak menyelesaikan akar masalah walau investasinya besar,” kata Ketua Departemen  Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang Ing Wiwandari Handayani dalam sebuah wawancara radio pada pekan ketiga Februari 2025 lalu.

Ketika saya menyusuri tanggul laut di Tambak Lorok, beberapa pemancing sedang khusyuk melakukan aktivitasnya. Kawasan industri Tanjung Mas terlihat jelas dari balik tanggul yang dibangun dengan anggaran 386 miliar itu. Seekor burung kuntul putih mencari mangsa di kubangan luas di kolam retensi. Melihat ada orang melintas tak jauh darinya, ia terbang rendah.

“Di Jakarta Utara tanggul laut dibangun lebih tinggi. Tapi sudah retak, air-airnya masuk ke dalam,” kata salah seorang rekan yang hari itu turut serta ke Tambak Lorok. Ia orang Bekasi. Barangkali ia sering menelusuri Jakarta Utara.

Jangan jauh-jauh sampai Jakarta Utara. Sekitar tiga tahun lalu, tanggul di PT Lamicitra Nusantara yang berlokasi di kawasan Pelabuhan Tanjung Mas jebol. Akibatnya, air rob masuk ke kawasan pelabuhan, sampai berhari-hari. Aktivitas industri terhenti. Tambak Lorok yang hanya berjarak selemparan batu dari pelabuhan juga kena rob. Saat itu, tanggul di kampung tersebut belum selesai dibangun.

  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut

Tanggul Tol Laut Semarang–Demak

Kini, sebuah tanggul laut versi mercusuar sedang dibangun oleh pemerintah pusat. Tol Tanggul Laut Semarang–Demak. Tanggul sekaligus jalan tol sepanjang 27 kilometer itu akan melahap anggarannya 15 triliun. Sepuluh juta bambu digunakan sebagai material proyek tersebut, dirakit dan ditata sedemikian rupa menjadi matras untuk bangunan tanggul dan tol di atasnya. Konon, penggunaan matras bambu itu bisa menahan penurunan tanah.

Selain mempertanyakan efektivitas dan kekuatan matras bambu, beberapa kalangan khawatir keberadaan tol tanggul laut justru membawa malapetaka bagi daerah lain. Sebab, keberadaan tanggul Tol Tanggul Laut Semarang–Demak itu diperkirakan bakal mengubah arus laut. Daerah-daerah yang sebelumnya aman malah berpotensi kena rob hanya karena tidak dilalui tanggul.

Lantas, apa yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah agar tak melulu bergantung pada pembangunan tanggul laut? Ing Wiwandari Handayani mengatakan, “Akar masalah di hulu harus mulai diperbaiki dengan menjaga kawasan resapan air dan tata kelola kota yang baik.”

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Matras bambu pembangunan tol tanggul laut terdampar karena terbawa gelombang besar pada akhir Januari lalu/Achmad Rizki Muazam via Mongabay Indonesia

Pada hari lain Gofur mengajak saya ke dermaga sebelah timur kampung. Ia tetap mengenakan kaus kampanye. Hanya saja, hari itu ia mengenakan kaus milik paslon lain. Tampaknya kaus kampanye menjadi pemberian yang berguna betul bagi orang seperti Gofur.

Terdapat sebuah tangga kayu di tanggul yang membatasi dermaga dengan permukiman warga. Kami menaiki tangga itu agar tidak harus berjalan jauh memutar. Ketika kaki saya sudah menapaki dermaga, saya melihat bambu-bambu sepanjang tiga meter yang teronggok di pojokan, tepat di samping tanggul. “Itu bambu-bambu proyek tol tanggul laut. Lepas dari kerangka dan terbawa sampai sini,” tuturnya. 

Awan hitam menggantung di langit sebelah utara, di atas Laut Jawa yang airnya berkecipak membentur tepian dermaga. Gofur duduk di sebatang bambu yang melintang. Ia merogoh saku celananya, meraih bungkus rokok dan geretan. Asap tipis meliyuk-liyuk di udara. Baunya berbaur dengan aroma laut. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/feed/ 0 47379
Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu https://telusuri.id/camping-di-bumi-perkemahan-kalipasang-gunung-merbabu/ https://telusuri.id/camping-di-bumi-perkemahan-kalipasang-gunung-merbabu/#respond Fri, 14 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45652 Menikmati keasrian gunung kadang tidak harus dengan mendaki. Aktivitas luar ruang bisa dilakukan di bagian lain dari gunung tersebut. Sejumlah tempat wisata berbasis alam dibangun di lereng atau kaki gunung untuk mengakomodasi wisatawan yang memiliki...

The post Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Menikmati keasrian gunung kadang tidak harus dengan mendaki. Aktivitas luar ruang bisa dilakukan di bagian lain dari gunung tersebut. Sejumlah tempat wisata berbasis alam dibangun di lereng atau kaki gunung untuk mengakomodasi wisatawan yang memiliki keterbatasan mengakses pendakian. Termasuk Bumi Perkemahan Kalipasang, yang berada di utara kaki Gunung Merbabu.

Terletak di utara kaki Gunung Merbabu, Bumi Perkemahan Kalipasang dikelola oleh Taman Nasional Gunung Merbabu, yang terkenal dengan jalur pendakian menuju puncak gunung setinggi 3.145 mdpl. Lokasi bumi perkemahan ini berada di pinggiran Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, dan hanya berjarak dekat dari basecamp Thekelan, salah satu dari empat jalur pendakian resmi Merbabu.

Kalipasang sering kali digunakan untuk acara-acara kemah skala besar, baik tingkat daerah maupun nasional. Beberapa di antaranya adalah Mountain Jungle Course 2023 oleh Eiger dan Jambore Konservasi Alam dalam rangka Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2024. Di luar itu, setiap hari bumi perkemahan ini terbuka untuk pengunjung umum.

Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu
Pintu masuk Bumi Perkemahan Kalipasang/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Dari camping sampai trekking santai di Kalipasang

Lokasi yang mudah dijangkau dan tidak terlalu terpencil membuat Kalipasang ramai pengunjung saat akhir pekan. Sesuai namanya, Kalipasang cocok buat menghabiskan waktu liburan dengan camping atau berkemah, terutama bagi komunitas, atau keluarga kecil dengan anak-anak yang ingin merasakan suasana alam pegunungan dengan mudah dan murah.

Kontur Bumi Perkemahan Kalipasang seperti menempati lereng bukit, dengan kemiringan tidak terlalu terjal. Pohon-pohon tusam atau pinus (Pinus merkusii) mendominasi tegakan vegetasi yang menjulang dengan jarak tumbuh yang cukup teratur, menciptakan suasana teduh. Jalan setapak beralas batuan yang berundak sebagai akses utama membelah kawasan perkemahan, menanjak hingga berujung pada titik bangunan menara pandang di batas hutan dan perkebunan warga.

Di sisi kanan dan kiri tersedia lahan-lahan datar yang luas dan bisa menampung puluhan tenda, bahkan mungkin memuat ratusan untuk tenda berkapasitas 1–2 orang. Pengunjung bebas menentukan sepetak tanah yang nyaman untuk mendirikan tenda. Fasilitas umum yang bisa dimanfaatkan antara lain panggung terbuka atau amfiteater, kamar mandi, gazebo untuk bersantai, dan musala. Tersedia pula air bersih dari keran di sekitar musala untuk memenuhi kebutuhan air selama camping. Namun, belum tersedia pasokan listrik memadai untuk area tenda, sehingga perlu membawa peralatan kelistrikan atau lampu portabel sendiri. 

Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu
Susana berkemah di bawah pepohonan pinus Kalipasang/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Tidak hanya sibuk di sekitar tenda, pengunjung juga bisa beraktivitas selain camping di sekitar bumi perkemahan, seperti trekking ringan menikmati suasana hutan maupun perdesaan di luar kawasan. Aktivitas tersebut paling enak dilakukan saat pagi. Mulai dari melihat pemandangan Gunung Merbabu di sisi selatan, hingga menikmati aneka tumbuhan selain pinus, di antaranya pohon puspa dan aneka semak. Beberapa burung kecil juga tercatat singgah di kanopi pepohonan di bumi perkemahan, antara lain dederuk, prenjak, hingga kutilang.

Berbeda dengan sistem pendakian yang mewajibkan reservasi, tidak ada ketentuan khusus untuk berkemah di Kalipasang. Pengunjung bisa langsung datang dan membeli tiket masuk di tempat. Berdasarkan keterangan pengelola, tarif camping mulai dari Rp25.000 per orang (mencakup penggunaan fasilitas di kawasan), sementara jika hanya berkunjung tanpa berkemah dikenakan tarif Rp5.000 per orang. 

Dari kiri ke kanan: Jalan setapak membelah hutan pinus Kalipasang, menara pandang di ujung bukit, dan salah satu pohon yang berfungsi sebagai resapan mata air di area bumi perkemahan/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Cara menuju Kalipasang

Rute perjalanan yang dilalui untuk menuju Kalipasang cukup mudah. Baik dari Semarang, Salatiga, Magelang, maupun Yogyakarta, arahkan kendaraan ke kawasan wisata Kopeng. Setiap jalur akan sama-sama bertemu di Tugu Getasan, yang berada di depan kantor Koramil 03/Getasan di pinggiran Jalan Magelang–Salatiga.

Dari persimpangan tugu tersebut, selanjutnya melalui jalan kampung dengan kondisi aspal cukup baik. Ada beberapa titik tanjakan sebelum Kalipasang, sehingga harus berhati-hati. Jika bingung, bisa menggunakan panduan aplikasi peta, seperti Google Maps maupun Waze, karena sinyal seluler dan internet masih menjangkau sampai pintu masuk bumi perkemahan.

Pilihan transportasi umum sangat terbatas. Hanya ada bus kecil trayek Magelang–Salatiga yang melintasi Kopeng dengan rentang jadwal agak lama dan tidak beroperasi 24 jam. Untuk itu disarankan membawa kendaraan sendiri, baik motor maupun mobil agar lebih fleksibel. Tidak perlu khawatir dengan tempat parkir, tersedia lahan yang cukup untuk sejumlah motor dan mobil. Keamanan juga terjamin karena ada petugas jaga 24 jam di pos registrasi. 

Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu
Pemandangan Gunung Merbabu dari sekitar Bumi Perkemahan Kalipasang/Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI

Menjadi pejalan bijak: hal-hal yang harus diperhatikan

Bumi Perkemahan Kalipasang merupakan bagian dari taman nasional selaku pemangku kawasan konservasi. Oleh karena itu pengunjung harus mematuhi aturan-aturan tertulis yang berlaku. Sebab, Kalipasang juga menjadi rumah bagi beberapa spesies flora dan fauna yang harus dilindungi keberadaannya. 

Selain itu, TelusuRI juga menyarankan setiap pengunjung agar menjadi pejalan bijak, serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan bumi perkemahan. Berikut sejumlah tips yang bisa kamu lakukan selama berkunjung di Kalipasang.

  1. Menghormati adat istiadat di dusun sekitar bumi perkemahan.
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan taman nasional.
  3. Melengkapi diri dengan perlengkapan camping dan logistik (makanan-minuman) yang cukup selama berkemah.
  4. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai.
  5. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air.
  6. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu.
  7. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya untuk meminimalisasi makanan kemasan sekali pakai.
  8. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan.
  9. Membawa kantung sampah secukupnya.

Jadi, kapan rencana mau camping di Kalipasang bareng keluarga atau sahabat terdekat?


Bumi Perkemahan Kalipasang

Jam operasional: buka setiap hari selama 24 jam
Narahubung: Pak Cicok (0823-2269-3098)

The post Bumi Perkemahan Kalipasang: Wisata Keluarga dan Camping di Kaki Gunung Merbabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-di-bumi-perkemahan-kalipasang-gunung-merbabu/feed/ 0 45652
Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/ https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/#comments Fri, 27 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44785 Siapa yang tak kenal Museum Sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah? Semua pajangan dalam museum ini menunjukkan sejarah panjang evolusi manusia yang tidak hanya mengungkap fosil-fosil berusia jutaan tahun, tetapi juga...

The post Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa yang tak kenal Museum Sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah? Semua pajangan dalam museum ini menunjukkan sejarah panjang evolusi manusia yang tidak hanya mengungkap fosil-fosil berusia jutaan tahun, tetapi juga menggambarkan perjalanan kehidupan manusia di masa prasejarah dengan sangat mendalam.

Berdasarkan pengalaman saya saat mengeksplorasi salah satu museum terpenting di dunia ini, ada sudut-sudut yang luput dari perhatian pengunjung. Salah satunya adalah bangunan berupa rangka berwarna kuning gading. Saat saya sampai, tidak ada seorang pengunjung pun yang memerhatikan jembatan ini. Sementara saya dan keluarga berfoto di sini.

Mungkin pengunjung merasa kontruksi yang terletak di dekat Museum Sangiran ini hanya jembatan biasa. Padahal setelah dilihat lebih detail, ternyata jembatan ini memiliki gaya arsitektur futuristik dengan sentuhan alam. Strukturnya menyerupai rangka fosil binatang purba, sepertinya seekor kura-kura purba raksasa. Dari sini kita sudah dibawa ke masa prasejarah. Warna kuning gading pada rangkanya yang kukuh, berpadu apik dengan hijau pepohonan di sekitarnya.

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Jembatan kuning gading dengan konstruksi yang unik/Sukini

Melihat Kerangka Manusia Purba 

Setelah puas menelusuri bagian luar gedung, saya segera melangkahkan kaki ke dalam museum. Langkah kaki saya terhenti di sebuah kerangka manusia purba. Saat saya menoleh kanan-kiri, lagi-lagi tak ada pengunjung lain yang mencoba menelisik mumi unik ini. Saya pun bebas mengambil foto dan mencermati informasinya.

Selama ini saya belum pernah menyaksikan rangka manusia yang diawetkan oleh alam secara langsung. Saya kagum dengan proses pengangkatan kerangka yang sangat cermat. Pencahayaan yang diarahkan secara fokus memberikan sorotan dramatis pada detail tulang-tulang yang masih terlihat jelas. Terdapat tulang panjang kaki dan tangan, tulang rusuk, serta bagian tengkorak yang sebagian masih terbenam dalam lapisan tanah.

Tentu saja kerangka manusia purba ini menjadi peninggalan arkeologis yang sangat bernilai, karena mampu memberikan gambaran tentang kehidupan masa lalu. Meski terkubur selama ribuan tahun, kondisinya yang terawat menunjukkan ketahanan material tulang serta metode penggalian yang hati-hati. Batu-batu di sekelilingnya menunjukkan lingkungan tempat kerangka ini ditemukan, yang kemungkinan bagian dari situs pemukiman purba atau area pemakaman. 

Contoh kerangka manusia purba (kiri) dan tengkorak Homo floresiensis/Sukini

Jejak Manusia Mini 

Di tengah kabut masa prasejarah, tengkorak Homo floresiensis menjadi saksi bisu perjalanan manusia purba yang penuh misteri. Menurut informasi, bentuk tubuh Homo floresiensis kecil, tetapi penuh karakter. Tengkorak yang masih sangat utuh ini seakan menceritakan kisah peradaban yang hidup sekitar 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Menurut laporan, tengkorak tersebut memiliki kapasitas otak yang hanya sepertiga dari manusia modern, tetapi tidak kalah cerdas dalam bertahan hidup di alam liar. Bayangkan cara mereka menatap dunia dengan mata besar, memindai hutan lebat, dan mengindra binatang buruannya. Sungguh luar biasa!

Melihat bentuk tengkorak yang melengkung sempurna dengan rahang yang kukuh, saya telah dibawa ke masa lalu. Gigi-gigi mereka yang kuat mungkin pernah mengoyak daging hewan buruan, sementara otak kecilnya merancang alat-alat sederhana untuk berburu dan bertahan hidup. Bentuk kepala yang unik ini menunjukkan bukti nyata Homo floresiensis sebagai manusia yang luar biasa dalam menghadapi kerasnya alam liar di pulau terpencil. Setiap lekukan di tengkorak adalah rekaman waktu yang tak terhapuskan, berbicara dalam bahasa fosil yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau menyimaknya.

Melalui tengkorak itu, saya tidak hanya belajar tentang masa lalu, tetapi juga menyadari betapa kuatnya manusia sebagai makhluk yang mampu beradaptasi dengan lingkungan ekstrem. Homo floresiensis bukan sekadar jejak fosil, melainkan lorong waktu yang menghubungkan kita dengan nenek moyang yang pernah berjalan di antara rimbunnya hutan Flores, meninggalkan jejak langkah yang masih ditelusuri hingga kini. Saya pun berpikir, andai saja saya hidup pada masa itu, mampukah saya bertahan?

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Kerangka kuda nil raksasa koleksi Museum Sangiran/Sukini

Hewan Raksasa di Zaman Purba

Sudut unik lain Museum Sangiran bisa terlihat dari sebuah kerangka raksasa yang ditopang besi. Saya pun segera mendekat dan memahami informasi yang disematkan. Bayangan seekor hewan raksasa yang pernah berkubang di sungai-sungai purba, menguasai daratan dan perairan dengan kehadirannya yang menggetarkan, menyeruak dalam kalbu saya. 

Inilah kerangka kuda nil purba. Sebuah fosil megah yang membawa saya kembali ke ribuan tahun yang lalu, ketika hewan ini menjadi salah satu penguasa ekosistem. Ukuran tubuhnya jauh melampaui kuda nil yang ada sekarang. Gigi taringnya tampak seperti pedang alami, mampu menunjukkan keganasan predator pada masanya.

Kerangka yang tersusun lengkap dari kepala hingga ekor, memberi gambaran jelas tentang kekuatan luar biasa yang pernah dimilikinya semasa hidup. Tengkoraknya besar dan tebal, pun rahang lebar yang memperlihatkan kemampuan menggigit dengan kekuatan dahsyat. Tulang kaki yang kuat menandakan hewan ini tidak hanya tangguh di air, tetapi juga mampu berjalan di daratan dengan tenaga yang mengejutkan. Tulang rusuk yang lebar menggambarkan kapasitas paru-parunya yang besar, memungkinkan kuda nil purba ini bertahan di bawah air dalam waktu lama.

Saya seperti diajak masuk ke habitat purba yang liar dan belum tersentuh. Sungai-sungai besar, rawa-rawa luas, dan belantara lebat menjadi saksi bisu kehidupan satwa yang penuh tantangan. Ini bukan hanya sekumpulan tulang, melainkan juga sebuah jendela ke masa lalu yang mengungkapkan keanekaragaman kehidupan purba. Ia menyadarkan saya, bahwa zaman dahulu alam semesta dipenuhi oleh makhluk-makhluk megafauna yang begitu perkasa, tetapi juga rentan terhadap perubahan bumi. Fosil kuda nil purba tersebut berdiri sebagai saksi bisu perjalanan waktu.

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Kerangka gading dan rahang gajah purba/Sukini

Gading Kolosal dan Rahang Sang Mamalia Purba

Perjalanan di Museum Sangiran saya akhiri dengan mengagumi gading akbar dan rahang bawah dari gajah purba yang pernah menguasai daratan Sangiran dan sekitarnya. Gadingnya menjulang sangat panjang dan melengkung sempurna, memancarkan kekuatan luar biasa yang pernah dimiliki mamalia raksasa ini. Bukan hanya ukuran yang menakjubkan, melainkan juga ketajaman detail pada gading yang masih utuh, memperlihatkan bagaimana gajah purba ini menggunakan senjata alami tersebut—baik untuk bertahan hidup, menarik perhatian kawanan, atau menghadapi lawan di habitat liar mereka.

Di samping gading yang kolosal, rahang bawah yang kokoh dengan gigi-gigi yang masih tampak nyata memberikan gambaran yang jelas tentang kekuatan dan ketahanan hewan ini. Gigi geraham besar dengan permukaan kasar menunjukkan betapa kerasnya mereka mengunyah vegetasi padat, dari dedaunan hingga kulit kayu. Rahang bawah yang lebar dan kuat seolah menceritakan perjuangan bertahan hidup di masa lalu.

Melihat fosil tersebut, saya kembali disadarkan akan kebesaran alam yang pernah ada. Betapa hewan-hewan purba ini pernah menjadi bagian dari ekosistem yang tak terbayangkan. Gading dan rahang ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana sejarah planet tempat kita tinggal ini selalu menyimpan keajaiban yang menunggu untuk diungkap. Di balik setiap lapisan tanah, ada cerita luar biasa dari eksotisnya fauna raksasa yang pernah hidup di bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/feed/ 8 44785
Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939 https://telusuri.id/sate-sapi-pak-beng-kuliner-sate-legendaris-di-grobogan-sejak-1939/ https://telusuri.id/sate-sapi-pak-beng-kuliner-sate-legendaris-di-grobogan-sejak-1939/#respond Fri, 25 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42911 Boleh dibilang, sate merupakan kuliner ikonis Indonesia yang telah menempuh jejak perjalanan yang sangat panjang di negeri ini. Selain gaya penyajian satenya, juga tak sedikit dijumpai sate-sate legendaris yang telah melintas zaman.  Salah satunya di...

The post Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939 appeared first on TelusuRI.

]]>
Boleh dibilang, sate merupakan kuliner ikonis Indonesia yang telah menempuh jejak perjalanan yang sangat panjang di negeri ini. Selain gaya penyajian satenya, juga tak sedikit dijumpai sate-sate legendaris yang telah melintas zaman. 

Salah satunya di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Terdapat kuliner sate sapi yang telah melewati masa yang cukup panjang dan masih eksis menyapa penggemarnya hingga saat ini. Kuliner sate sapi itu adalah salah satu destinasi wisata kuliner favorit saya dan—saya kira—juga banyak orang lainnya, bila sedang menempuh perjalanan Purwodadi–Semarang atau sebaliknya.

Warung Sate Sapi Pak Beng, begitulah nama bagi tujuan kuliner favorit itu. Warung yang berada di pusat kota Kecamatan Gubug itu (memang) spesial menyuguhkan sate sapi.

Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939
Tampak depan lokasi baru Warung Sate Sapi Pak Beng di Grobogan/Badiatul Muchlisin Asti

Asal-usul Nama “Beng”

Bertahun-tahun lalu, sekitar 2016 saat saya mampir di Warung Sate Sapi Pak Beng, saya sempat bertemu langsung dengan Pak Beng. Kepada saya, dia bercerita bahwa resep sate sapinya berasal dari kakeknya yang bernama Sugiman, yang merintis usaha kuliner sate sapi sejak 1939. 

Lalu pada tahun 1950-an, usaha kuliner itu diteruskan oleh ayahnya yang bernama Sumidi. “Dan sejak tahun 1994, usaha itu saya yang teruskan hingga sekarang,” tutur Pak Beng ketika itu.

Pak Beng juga bercerita bahwa “Beng” bukan nama sebenarnya. Nama aslinya adalah Jumadi. Beng adalah nama panggilan yang diberikan teman-temannya. Nama panggilan itu yang justru akhirnya disematkan menjadi jenama bagi warung satenya, yang kemudian malah membawa hoki alias keberuntungan baginya.

Sate Legendaris yang Melintas Zaman

Meski warungnya sederhana, Warung Sate Sapi Pak Beng boleh dikata tak pernah sepi pengunjung. Apalagi saat jam makan siang. Padahal tak mudah bertahan mengibarkan usaha kuliner tradisional di tengah serbuan kuliner modern yang menjamur bak cendawan di musim hujan. 

Warung Sate Sapi Pak Beng telah membuktikan bisa tetap eksis melintasi zaman, diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan masih memiliki banyak pelanggan setia. Menurut Pak Beng, pelanggan satenya tak hanya berasal dari Gubug saja, tetapi juga dari luar Gubug bahkan tetangga kabupaten Grobogan, seperti Blora, Kudus, dan Demak. 

Sate sapi Pak Beng juga disukai sejumlah tokoh Kabupaten Grobogan. H. Bambang Pujiono dan H. Icek Baskoro (bupati dan wakil bupati Grobogan periode 2006–2016), dan H. Soepomo (mantan anggota DPRD Kabupaten Grobogan), termasuk di antara sejumlah pembesar yang tercatat pernah menyantap dan menggemari satenya.

Saat ini, pengelola Warung Sate Sapi Pak Beng sudah memasuki generasi keempat. Sejak 2010, Pak Beng menyerahkan tongkat estafet warung ke anaknya yang bernama Novi Aditya. Sebuah proses dengan masa tempuh perjalanan yang lumayan panjang. 

Pindah Lokasi

Hari Senin, 8 Mei 2023, bisa dikatakan menjadi “hari bersejarah” bagi Warung Sate Sapi Pak Beng. Warung tersebut harus pindah dari lokasi lama yang sudah ditempati puluhan tahun. Warung yang ditempati selama ini memang berada di tanah milik pemerintah. Oleh karena itu, ketika pemerintah hendak menggunakannya, maka mau tidak mau harus pindah. 

Kepindahan itu berhubungan dengan rencana pemerintah melakukan pelebaran ruas jalan Semarang–Purwodadi. Warung Sate Sapi Pak Beng dan sejumlah warung lainnya membongkar lapaknya sendiri secara sukarela.

Beruntung, Warung Sate Sapi Pak Beng tidak pindah terlampau jauh. Hanya pindah di ruko seberang jalan yang terletak di belakang warung sebelumnya. Lokasinya mudah ditemukan. Tak jauh dari bundaran Gubug di Jalan Raya Semarang–Purwodadi, ke arah Desa Pranten. Warung Sate Pak Beng yang baru lebih nyaman karena lebih luas dan bersih.

“Bedanya kalau yang dulu gratis, kalau yang sekarang bayar [uang sewa ruko],” tutur Novi Aditya, generasi keempat Warung Sate Sapi Pak Beng, saat saya mampir ke warungnya beberapa waktu lalu.

  • Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939
  • Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939

Cita Rasa Sate Sapi Pak Beng

Saat saya datang, Warung Sate Sapi Pak Beng lumayan ramai. Itu artinya, penggemar satenya masih banyak meski sudah berkali-kali alih generasi. 

Sajian sate sapi Pak Beng begitu khas. Sebelum dibakar, daging sapi yang sudah dipotong-potong direndam ke dalam bumbu yang diformulasi khusus sampai bumbu meresap. Setelah itu ditusuk dengan tusuk sate, baru kemudian dibakar.

Cita rasa sate sapi Pak Beng cenderung manis-gurih. Mengingatkan saya pada sate sapi manis ala Pak Kempleng di Ungaran, Kabupaten Semarang, yang juga sangat populer.

Ada dua pilihan sambal sebagai pelengkap makan sate sapi di warung Pak Beng, yaitu sambal kecap atau sambal kacang. Tinggal pilih sesuai selera. Sebenarnya, dimakan tanpa sambal pelengkap pun, sate sapi Pak Beng sudah sangat enak karena bumbu yang memarinasi daging sangat terasa. Namun, tambahan sambal menjadikan sate sapi Pak Beng jauh lebih sedap, atau dalam istilah Jawa: nyamleng tenan.

Warung Sate Sapi Pak Beng buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 21.00 WIB. Satu porsi sate sapi (10 tusuk) dibanderol Rp55.000 alias 5.500 rupiah per tusuk. Bila sedang dalam perjalanan melintasi jalanan Semarang–Purwodadi, silakan mampir ke warung ini. Cicipi lezatnya sate sapi manis Pak Beng yang legendaris.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sate-sapi-pak-beng-kuliner-sate-legendaris-di-grobogan-sejak-1939/feed/ 0 42911
Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan https://telusuri.id/melihat-keunikan-prosesi-sedekah-bumi-desa-ngombak-grobogan/ https://telusuri.id/melihat-keunikan-prosesi-sedekah-bumi-desa-ngombak-grobogan/#respond Sun, 21 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42371 Orang Jawa memiliki tradisi selamatan. Selamatan adalah upacara makan bersama dari hidangan yang telah diberi doa terlebih dahulu sebelumnya. Sesuai namanya, selamatan bertujuan memperoleh keselamatan hidup supaya tidak ada berbagai gangguan atau marabahaya apapun. Upacara...

The post Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang Jawa memiliki tradisi selamatan. Selamatan adalah upacara makan bersama dari hidangan yang telah diberi doa terlebih dahulu sebelumnya. Sesuai namanya, selamatan bertujuan memperoleh keselamatan hidup supaya tidak ada berbagai gangguan atau marabahaya apapun. Upacara selamatan biasanya dipimpin oleh modin, seorang pegawai desa yang umumnya bertugas mengurusi keperluan keagamaan di desa, termasuk memimpin doa selamatan.

Selamatan sendiri memiliki banyak ragamnya sesuai peristiwa atau kejadian dalam siklus kehidupan manusia. Salah satunya adalah selamatan dalam rangka bersih desa atau di sejumlah tempat populer dengan sebutan sedekah bumi.

  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan
  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan

Sedekah Bumi, Simbol Ungkapan Syukur

Di Jawa, sedekah bumi telah menjadi tradisi turun-temurun sejak ratusan tahun lampau. Sedekah bumi diadakan dalam sebuah rangkaian upacara adat sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan limpahan rezeki melalui bumi berupa segala bentuk hasil bumi.

Karena itulah, sedekah bumi menjadi tradisi di perdesaan yang penduduknya rata-rata berprofesi sebagai petani atau berladang. Mereka menggantungkan sumber ekonominya dari mengolah sawah atau ladang. Melalui upacara adat sedekah bumi, selain sebagai sarana mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan, juga bentuk doa agar mendapatkan rezeki yang lebih baik dari hasil bumi di masa mendatang 

Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tradisi sedekah bumi telah menjadi bagian dari kebudayaan warisan leluhur sejak dulu kala. Hingga kini pun masih terus dilestarikan. Hampir semua desa di wilayah Grobogan menyelenggarakan tradisi yang juga populer disebut Apitan

Disebut Apitan karena umumnya pelaksanaan upacara adat sedekah bumi diselenggarakan pada bulan Apit atau Zulkaidah (Dzulqa’dah) dalam kalender Hijriah. Setiap desa memiliki bentuk dan waktu yang berbeda dalam prosesi tradisi Apitan, sesuai adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur masing-masing.

Desa Ngombak, Kecamatan Kedungjati, juga melaksanakan tradisi sedekah bumi setiap tahun di bulan Apit. Tahun ini, pelaksanaan sedekah bumi Desa Ngombak diadakan pada Minggu Kliwon (2/6/2024).

Prosesi Penyembelihan Kerbau

Upacara adat sedekah bumi di Desa Ngombak tergolong unik dan khas. Prosesi yang unik itulah yang mengantarkan saya berkunjung dan melihat langsung tradisi sedekah bumi di desa tersebut.

Prosesi dimulai dengan penyembelihan seekor kerbau pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB. Tak sekadar menyembelih kerbau, prosesi penyembelihan juga diiringi pernak-pernik ritual yang mungkin tidak dijumpai pada acara sedekah bumi di desa lainnya.

Usai kerbau direbahkan dan siap disembelih, Ibu Lurah—panggilan akrab istri kepala desa—disaksikan warga desa yang hadir, berjalan mengitari kerbau tiga kali putaran sembari mengucurkan air kendi ke tubuh kerbau. Setelah itu, ia menepuk-nepuk kerbau yang akan disembelih dengan entong, dilanjutkan duduk sebentar di atas tubuh kerbau tersebut

Selesai? Belum. Prosesi masih berlanjut, karena setelah mendudukinya, Ibu Lurah masih harus menyiramkan air kembang ke sekujur tubuh kerbau, dilanjutkan Pak Lurah yang turut melakukan prosesi penyiraman air kembang. Baru kemudian kerbau disembelih oleh Mbah Modin. Uniknya, saat penyembelihan diiringi gending Kebo Giro.

Sembari warga mengolah daging kerbau yang sudah disembelih, Ibu Lurah melanjutkan prosesi adat berikutnya. Kali ini ia “berjualan” jajan pasar. Uniknya, warga yang ingin membeli jajan pasar cukup menggunakan kreweng (pecahan genting) sebagai pengganti uang. Tak pelak, Ibu Lurah pun dikerubuti warga. Terutama para ibu yang antusias ingin “membeli” jajan pasar itu.

Selamatan dan Pagelaran Langen Tayub

Daging kerbau yang sudah dipotong-potong kemudian dimasak oleh para ibu di dapur rumah Pak Lurah. Daging kerbau dimasak asem-asem untuk nanti dijadikan hidangan selamatan dan dimakan bersama-sama warga bakda Zuhur.

Menjelang Zuhur, warga menyetor makanan berupa nasi dan kondimennya (pelengkap) ke rumah Pak Lurah. Setoran makanan dari warga itu kemudian disajikan dalam bentuk ambeng atau ambengan—istilah Jawa untuk menyebut nasi dan lauk yang diletakkan di atas tampah untuk kenduri. 

Selain warga, para ibu yang bertugas memasak di dapur juga menyiapkan sejumlah ambengan. Dalam satu ambengan, setidaknya terdapat nasi, mi goreng, tahu dan tempe goreng, telur dadar, oseng-oseng buncis, dan asem-asem daging hasil olahan kerbau yang tadi pagi disembelih.

Setelah Zuhur, warga Desa Ngombak, baik para bapak, ibu, dan anak-anak, berbondong-bondong datang dan berkumpul secara lesehan di halaman depan rumah Pak Lurah untuk melaksanakan selamatan sebagai puncak acara sedekah bumi. Begitu warga berkumpul, ambeng-ambeng diletakkan di tengah-tengahnya. Ambeng-ambeng itu nanti akan disantap bersama setelah pembacaan doa oleh modin.

Sebelum prosesi selamatan dilaksanakan, ternyata masih ada prosesi “berjualan” dawet oleh Ibu Lurah. Prosesi ini yang ditunggu-tunggu. Warga berjubel mengerubuti Ibu Lurah untuk “membeli” dawet. Alat untuk transaksi, seperti jajan pasar tadi pagi, juga memakai kreweng.  

Dalam waktu sebentar saja, dawet pun ludes. Setelah dawet habis, barulah prosesi selamatan dimulai. Seketika usai doa bersama, warga menyantap hidangan dalam ambeng-ambeng yang telah disediakan. Prosesi ditutup dengan gelaran pentas langen tayub.

  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan
  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan
  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan

Menggali Pesan Filosofis

Saya mencoba mencari tahu pesan filosofis dalam rangkaian prosesi upacara adat sedekah bumi Desa Ngombak itu. Namun, sayangnya tak ada yang bisa menjelaskan secara pasti—selain rangkaian prosesi tersebut sudah berlangsung turun-temurun. 

Kepala Desa Ngombak, Drs. Herianto menyatakan prosesi yang berlangsung dalam tradisi sedekah bumi di Desa Ngombak sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Pihaknya hanya melaksanakan dan melestarikan sesuai adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur.

Tokoh masyarakat Desa Ngombak, Tamsir, saat saya temui menjelaskan dulu kerbau merupakan hewan ternak yang umum dipelihara oleh warga Desa Ngombak. Karena itu, dalam prosesi sedekah bumi di Desa Ngombak, kerbaulah yang disembelih. Selain itu, kerbau disembelih mengingat wejangan dari Sunan Kalijaga yang melarang menyembelih sapi sebagai satwa sakral agama Hindu. Kerbau dipilih dengan tujuan menghormati umat Hindu yang ketika itu masih banyak keberadaannya di Desa Ngombak. 

“Saat ini, penduduk Desa Ngombak hampir seratus persen beragama Islam,” tutur Tamsir.

Adapun ritual-ritual lainnya, menurut Tamsir, hanya pernak-pernik yang mewarnai tradisi. Misalnya, jualan jajan pasar dan dawet dengan alat beli kreweng. Mulanya itu hanyalah cara untuk menarik anak-anak agar ikut meramaikan tradisi sedekah bumi. Namun, kini tidak hanya anak-anak, tapi orang dewasa juga banyak yang tertarik dan antusias dengan prosesi tersebut.

Hemat saya, setelah menyaksikan sendiri upacara adat tradisi sedekah bumi Desa Ngombak, ada pesan-pesan filosofis lainnya yang kiranya perlu digali dan disigi lebih dalam. Agar sedekah bumi yang unik itu jauh lebih bernilai dan memiliki makna.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-keunikan-prosesi-sedekah-bumi-desa-ngombak-grobogan/feed/ 0 42371
Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa https://telusuri.id/eksplorasi-mengulik-keunikan-pulau-nyamuk-di-karimunjawa/ https://telusuri.id/eksplorasi-mengulik-keunikan-pulau-nyamuk-di-karimunjawa/#respond Fri, 05 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42281 Setelah empat hari kami mengeksplorasi keindahan bawah laut Pulau Karimunjawa, masih dalam rangkaian Ekspedisi Layar Biru Karimunjawa, pada Selasa (19/10/2021) kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Nyamuk. Dua instruktur tetap mendampingi untuk aktivitas penyelaman kami. Kami...

The post Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah empat hari kami mengeksplorasi keindahan bawah laut Pulau Karimunjawa, masih dalam rangkaian Ekspedisi Layar Biru Karimunjawa, pada Selasa (19/10/2021) kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Nyamuk. Dua instruktur tetap mendampingi untuk aktivitas penyelaman kami.

Kami berangkat dari dermaga Pulau Karimunjawa menggunakan KM Bawana Nusantara 98. Kapal ini berlayar setiap pukul 13.00 WIB pada hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu, dengan rute Pulau Karimunjawa–Pulau Parang–Pulau Nyamuk. Adapun jadwal rute sebaliknya adalah hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu setiap pukul 17.00. Meski tidak terlalu besar, kapal dengan harga tiket Rp37.000 per orang ini memiliki fasilitas tempat duduk, toilet, televisi, dan ruang kargo untuk barang penumpang.

Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa
Tampak depan ruang nakhoda kapal KM Bawana Nusantara 98 yang mengantar kami ke Pulau Nyamuk/Lya Munawaroh

Perjalanan ke Pulau Nyamuk memakan waktu selama tiga jam. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku berpindah ke bagian depan kapal yang merupakan area terbuka. Sewaktu akan duduk, seorang bapak paruh baya menyapaku. Setelah bertegur sapa menanyakan asal daerah dan tempat tujuanku, kami pun berbincang agak lama. 

Bapak itu bercerita kalau ia berasal dari Pulau Parang. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri dan sedang ingin pulang kampung. Katanya, ia sering melakukan perjalanan laut seperti ini sewaktu sekolah dulu. Cuma bedanya dahulu perjalanan keluar pulau masih sulit dan perlu biaya besar, apalagi transportasi macam kapal KM Bawana Nusantara 98 belum ada. Berdasarkan informasi, ternyata KM Bawana Nusantara baru beroperasi pada 2021. Sebelum itu, untuk menuju Pulau Nyamuk atau Pulau Parang biasanya masyarakat menyewa kapal nelayan dengan tarif mulai dari 700 ribu sampai 1 juta rupiah. 

Perjalanan kami tak terasa membosankan, karena pemandangan pulau-pulau Karimunjawa begitu memanjakan mata. Sore hari, kami akhirnya tiba di Pulau Nyamuk. Suasana dermaga saat itu sangat ramai. Terlihat banyak anak kecil melompat dan berenang dengan gembira. Banyak pula kuli panggul, hingga ibu-ibu berdaster sambil menggendong anak, yang tampak sedang menunggu kedatangan kapal.

Yang kurasakan pertama kali setibanya di pulau ini adalah keramahan warganya. Mereka menyambut sangat baik kepada para pengunjung atau pendatang. Kami dijemput salah seorang warga dengan menggunakan kendaraan motor roda tiga merek Tossa. Kami diantar menuju rumah Bu Faristiana, posko tempat kami menginap selama tiga hari kegiatan di pulau ini. Saking baiknya, beliau dengan sukarela meminjamkan rumahnya tanpa memungut biaya. Sebagai ganti kami hanya perlu memesan makanan selama kami di rumahnya.

  • Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa
  • Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa

Hanya Ada Satu Desa di Pulau Nyamuk

Seusai membereskan barang-barang, kami berkunjung ke rumah petinggi atau kepala Desa Nyamuk. Kami bermaksud meminta izin untuk melaksanakan kegiatan di desa ini. Meski sebelumnya kami telah berkomunikasi melalui telepon, tetapi sudah sepantasnya kami menemui beliau secara langsung, sekaligus agar bisa mengulik lebih dalam mengenai desa ini.

Desa Nyamuk adalah satu-satunya desa yang ada di pulau seluas 139,5 ha tersebut. Terdapat total 649 jiwa penduduk dengan 222 kepala keluarga, yang terbagi menjadi empat RT dan dua RW. Secara administrasi, Desa Nyamuk termasuk wilayah Kecamatan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Desa ini berdiri sejak tahun 2011 yang merupakan pemekaran dari Desa Parang di Pulau Parang.

Desa Nyamuk dipimpin Bapak Muaziz, yang menjabat sejak 28 Desember 2020 dengan masa akhir jabatan Desember 2024. Pak Muaziz adalah petinggi pengganti dari petinggi sebelumnya yang telah meninggal. Beliau dipilih secara PAW (pemilihan antar waktu), yaitu pemilihan yang hanya melibatkan beberapa tokoh masyarakat, seperti perangkat desa, BPD, tokoh pendidikan, dan tokoh agama.

Kami sangat penasaran dengan asal mula nama Pulau Nyamuk. Atas saran Pak Muaziz, kami menemui seorang perangkat desa yang mengetahui sejarah Pulau Nyamuk. Jika mengacu informasi di internet, pulau ini dinamakan demikian karena bentuknya yang kecil seperti nyamuk. Namun, ternyata ada versi yang lain.

Dari wawancara kami bersama seorang perangkat desa, terungkap bahwa penamaan Pulau Nyamuk berasal dari singkatan “Nyantri Mukti”. Nyantri Mukti diartikan sebagai bakti seorang santri kepada gurunya. Dahulu ada seorang sunan yang menyuruh santrinya menimba ilmu di suatu pulau. Pulau yang ditempati santri tersebut kemudian dikenal dengan Pulau Nyamuk. Cerita tersebut diperkuat dengan adanya petilasan sebuah sumur wali, yang di sekitarnya terdapat makam Syekh Abdullah atau Mbah Sumur Wali.

Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa
Instalasi panel surya di Desa Nyamuk/Lya Munawaroh

Keterbatasan Fasilitas di Desa Nyamuk

Setelah mewawancarai perangkat desa, sebelum petang kami menyempatkan jalan-jalan menelusuri pulau. Para anak kecil Pulau Nyamuk sangat antusias mengantar kami ke sebuah pantai yang tak jauh dari posko. Sebelum mencapai pantai, kami melewati area panel surya yang tak terlalu luas. Panel surya inilah yang menjadi sumber listrik utama di Desa Nyamuk yang dibangun pada 2016. 

Sepetak sumber energi surya ini, tentu belum cukup memenuhi kebutuhan listrik semua warga. Penggunaannya pun masih dibatasi untuk setiap kepala keluarga, yakni hanya sebesar 1.500 kWh per bulan. Jika penggunaan habis pakai biayanya sebesar Rp90.000, sedangkan untuk pengisian ulang listrik dijadwalkan setiap pukul 14.00 WIB.

Desa Nyamuk berada di pulau terluar dari gugusan Kepulauan Karimunjawa dan berada di tengah laut lepas antara Jawa–Sulawesi. Selain keterbatasan pasokan listrik, fasilitas lainnya, seperti transportasi, pendidikan, serta kesehatan juga masih minim. Transportasi kapal yang memadai saja baru ada pada tahun 2021. Apalagi dari segi fasilitas pendidikan. Desa Nyamuk hanya memiliki satu sekolah, yaitu SDN 03 Parang. Setelah anak-anak lulus SD, mayoritas orang tua mengirim anak mereka untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren di kota Jepara atau kota lainnya.

Untuk fasilitas kesehatan, di Desa Nyamuk hanya ada satu bidan desa dan satu bidan dari pemerintah daerah. Keadaan ini tentu menyulitkan masyarakat ketika ingin berobat. Adapun fasilitas ibadah hanya ada satu masjid dan tiga musala yang tersebar di tiga RT.

Di desa ini belum ada tempat ibadah umat agama lain, karena hampir seluruh penduduk Pulau Nyamuk beragama islam. Latar belakang sukunya beragam, mulai dari Madura, Bugis, Buton, dan Jawa sebagai mayoritas. Meskipun merupakan desa kecil, tetapi Desa Nyamuk memiliki potensi wisata yang tak kalah dengan desa lain di Kepulauan Karimunjawa. Desa Nyamuk memiliki pantai-pantai yang indah dengan panorama matahari terbit dan tenggelam.

Kata Pak Muaziz, mulai tahun 2021 pemerintah desa sudah bekerja sama dengan salah satu dosen Universitas Diponegoro untuk memetakan potensi wisata di pulau ini. Kerja sama tersebut tentu diharapkan dapat meningkatkan minat wisatawan untuk mengunjungi Desa Nyamuk.

Fakta Menarik Lainnya di Desa Nyamuk

Selama menelusuri dan mengamati Desa Nyamuk, kami menemukan fakta-fakta menarik. Selain ramah, masyarakat Desa Nyamuk juga kental dengan budaya gotong royong. Hal itu sebenarnya sudah kami amati saat di dermaga. Semua warga saling membantu dalam aktivitas bongkar muat barang ketika kapal telah tiba atau akan berangkat. Kegiatan gotong royong juga dilakukan ketika membangun tower Wifi bersama.

Fakta menarik lainnya, di desa ini kebanyakan kendaraan bermotor tidak mempunyai plat nomor. Kami berasumsi, itu karena akomodasi dari Desa Nyamuk menuju pusat pemerintahan Karimunjawa cukup jauh dan harus menyeberang beberapa kali. Sehingga mungkin saja sebagian warga desa enggan untuk mengurus syarat administrasi kepemilikan kendaraan bermotor. Alasan lainnya, bisa saja karena di desa ini kecil kemungkinan adanya kasus pencurian serta tidak adanya razia dari polisi. Mereka sering meninggalkan kunci motor mereka di motor tanpa merasa takut.

Di Desa Nyamuk hampir setiap rumah memiliki gazebo pribadi dan terpasang hammock di depan rumah. Kalau fakta yang ini tak begitu mengherankan, karena cuaca di sini ketika siang hari sangat terik dan panas. Daripada berada di dalam rumah menahan gerah, akan lebih nyaman bagi masyarakat Desa Nyamuk bercengkerama dengan keluarga atau beristirahat setelah melaut, sambil merasakan terpaan angin sepoi-sepoi.

Fakta selanjutnya, masyarakat Desa Nyamuk dalam mengakses internet sangat bergantung pada WiFi. Itu karena hanya jaringan seluler yang kuat, seperti Telkomsel yang memiliki sinyal di desa ini. Setiap rumah di desa ini pasti memiliki WiFi, tetapi ada juga WiFi umum yang dipasang di Balai Desa Nyamuk. Namun, kabarnya dalam kurun waktu terdekat provider Telkomsel akan dibangun dan dikembangkan di Pulau Nyamuk. 

Hal penting selanjutnya yang membuatku kagum adalah desa ini bersih dan asri. Selama kami mengelilingi desa, hampir setiap halaman rumah warga sangat bersih dan hampir tidak ada satu helai daun di teras rumah. Padahal ada banyak pohon tumbuh subur di depan rumah. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat hebat karena belum tentu bisa diterapkan oleh kami sebagai mahasiswa yang bergelar pencinta alam.

Fakta terakhir, karena dikelilingi oleh lautan luas, Desa Nyamuk menyimpan hasil laut melimpah. Tak heran jika mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan. Meskipun begitu, beberapa penduduk juga ada yang berkebun dan beternak. Selain hasil laut, kondisi tanah desa ini juga sangat subur. Beberapa tumbuhan dapat tumbuh baik, seperti mangga, kelapa, dan tanaman rambat lainnya. 

Setiap sisi Desa Nyamuk memang unik dan menarik. Kekhasan potensi dan keramahan warga desa bisa menarik minat pengunjung untuk singgah di pulau ini dengan tujuan berlibur atau melakukan kegiatan sosial. Berbagai upaya juga masih terus dilakukan oleh pemerintah setempat dan penduduk sekitar untuk membuat desa ini lebih maju lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksplorasi-mengulik-keunikan-pulau-nyamuk-di-karimunjawa/feed/ 0 42281
Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi https://telusuri.id/kisah-raden-bondan-kejawan-dalam-babad-tanah-jawi/ https://telusuri.id/kisah-raden-bondan-kejawan-dalam-babad-tanah-jawi/#respond Mon, 20 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41954 Bagi masyarakat Grobogan, nama Raden Bondan Kejawan atau yang juga dikenal Ki Ageng Lembu Peteng, tidak sepopuler tokoh-tokoh besar masa lalu lainnya seperti Ki Ageng Tarub atau Ki Ageng Selo. Namun, meski kalah populer, sosok...

The post Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi masyarakat Grobogan, nama Raden Bondan Kejawan atau yang juga dikenal Ki Ageng Lembu Peteng, tidak sepopuler tokoh-tokoh besar masa lalu lainnya seperti Ki Ageng Tarub atau Ki Ageng Selo. Namun, meski kalah populer, sosok Raden Bondan Kejawan boleh dibilang merupakan tokoh utama dalam rangkaian silsilah penurun raja-raja di tanah Jawa.

Makam Raden Bondan Kejawan berada satu kompleks dengan makam guru sekaligus ayah mertuanya, Ki Ageng Tarub, yang berada di Dusun Tarub, Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Para pengunjung yang berziarah ke makam Ki Ageng Tarub umumnya juga sekaligus berziarah di makam Raden Bondan Kejawan.

Makam Raden Bondan Kejawan sendiri—sebagaimana makam Ki Ageng Tarub—terdapat  sejumlah versi. Selain di Desa Tarub, makam Raden Bondan Kejawan diklaim juga berada di Desa Gejawan, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta.

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Di makam Raden Bondan Kejawan yang versi Dusun Barahan dilengkapi sejumlah patung yang menggambarkan makna sebuah laku/Badiatul Muchlisin Asti

Bahkan di Desa Tarub saja, tak terlalu jauh dari makam Raden Bondan Kejawan, juga terdapat petilasan yang oleh sebagian orang diyakini sebagai makam Raden Bondan Kejawan. Makam tersebut berada di Dusun Barahan.

Abdul Karim Abraham, warga Bali, dalam sebuah tulisan yang diberi tajuk “Pengalaman Berkunjung ke Makam Ki Bondan Kejawan” (Kompasiana, 25/12/2013), menceritakan pengalamannya berziarah ke kedua makam Raden Bondan Kejawan di Desa Tarub. Ia sempat bingung karena masing-masing dari kedua juru kunci makam yang ditemuinya mengklaim keaslian makam Raden Bondan Kejawan.

Seusai ziarah, ia pun bertanya kepada Damar Shashangka, penulis best seller asal Malang lewat serial novel sejarah Sabda Palon, melalui pesan Facebook. Damar Shashangka membalas bahwa ia lebih condong jika makam Ki Bondan Kejawan yang sebenarnya adalah pada lokasi kedua yang dikunjungi, yaitu yang berada satu kompleks dengan makam Ki Ageng Tarub. Makam ini secara umum memang lebih bersih dan terawat serta lebih banyak pengunjungnya. Namun, mana yang sebenarnya lebih valid? Wallahu a’lam.

  • Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
  • Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi

Raden Bondan Kejawan, Putra Prabu Brawijaya V

Lalu siapa Raden Bondan Kejawan? Berikut ini kisah Raden Bondan Kejawan yang saya rangkai dan kisahkan kembali dari Babad Tanah Jawi.

Raden Bondan Kejawan adalah putra Bhre Kertabumi atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir dari istri selirnya yang berjuluk Putri Wandan Kuning. Dikisahkan, suatu ketika Prabu Brawijaya terserang penyakit raja singa yang tak kunjung sembuh. Padahal sudah diupayakan penyembuhannya dengan segala macam obat.

Lalu dalam mimpinya, Prabu Brawijaya mendapatkan isyarat bahwa jika ia ingin sembuh, maka ia harus meniduri seorang perempuan dari Wandan yang kuning rupanya. Berdasarkan isyarat dalam mimpinya itu, Prabu Brawijaya kemudian mengambil abdi perempuannya yang berasal dari Wandan—bawaan istrinya dari negeri Champa. Setelah menidurinya sekali, Prabu Brawijaya kemudian sembuh dari sakitnya.

Versi lain menyebutkan, Prabu Brawijaya menyetubuhi Putri Wandan Kuning karena menuruti petuah para pujangga agar sembuh dari sakit yang ada di kakinya. Setelah menyetubuhi Putri Wandan Kuning selama tiga malam berturut-turut, sakit di kakinya berkurang. Prabu Brawijaya pun terus menyetubuhi Putri Wandan Kuning hingga sembuh dari sakitnya.

Setelah ditiduri atau disetubuhi Prabu Brawijaya, Putri Wandan Kuning kemudian hamil dan melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki yang tampan. Namun, ramalan ahli nujum istana menyatakan bahwa bayi itu kelak akan menjadi raja dan merusak diri sang raja—meski kelak ramalan ini salah dan tidak terbukti. 

Atas dasar ramalan itu, jabang bayi itu pun diserahkan kepada abdi jurutani bernama Ki Buyut Masahar untuk diasuh. Setelah berumur sewindu, Ki Buyut Masahar diperintahkan untuk membunuh anak itu.

Oleh Ki Buyut Masahar, jabang bayi itu dibawa pulang dan diserahkan kepada istrinya untuk diasuh. Setelah puput pusarnya, anak itu dinamakan Raden Bondan Kejawan. Dan setelah bayi itu tumbuh dengan baik dan berumur delapan tahun, Ki Buyut Masahar pun hendak memenuhi tugas untuk membunuh Raden Bondan Kejawan.

Saat Ki Buyut Masahar menghunus kerisnya hendak membunuh Raden Bondan Kejawan, Nyi Buyut—istrinya—jatuh pingsan. Nyi Buyut tak tega melihat Raden Bondan Kejawan yang telah sekian lama diasuhnya dengan penuh kasih sayang itu dibunuh. Ki Buyut Masahar pun mengurungkan niat membunuh Raden Bondan Kejawan.

Saat Ki Buyut Masahar menghadap Prabu Brawijaya, ia membuat laporan bohong bahwa ia telah melaksanakan perintah membunuh sang putra. Prabu Brawijaya senang mendengarnya. 

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Sebuah keluarga dari Semarang sedang berziarah dan berdoa di makam Raden Bondan Kejawan versi Dusun Barahan/Badiatul Muchlisin Asti

Raden Bondan Kejawan Diserahkan ke Ki Ageng Tarub

Suatu hari, Ki Buyut Masahar bertolak menuju ke Kerajaan Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya guna menyerahkan hasil bumi berupa padi yang sangat banyak. Tanpa diketahuinya, Raden Bondan Kejawan diam-diam mengikutinya.

Saat Ki Buyut Masahar menghadap Prabu Brawijaya dan menyerahkan padi, Raden Bondan Kejawan menyelinap masuk ke sitinggil—tempat yang ditinggikan untuk balai penghadapan. Ia lalu memukul gamelan Kiai Sekar Delima hingga membuat Prabu Brawijaya terkejut.   

Raden Bondan Kejawan segera ditangkap oleh prajurit penjaga dan diserahkan kepada Prabu Brawijaya. Setelah tahu bahwa anak kecil itu adalah anak Ki Buyut Masahar, Prabu Brawijaya kemudian memberikan dua keris, yaitu keris Kiai Mahesa Nular dan keris Mahela, serta sebuah tombak bernama Kiai Plered. 

Prabu Brawijaya kemudian memerintahkan kepada Ki Buyut Masahar agar Raden Bondan Kejawan dan benda-benda pusaka itu diserahkan kepada Ki Ageng Tarub. Ki Buyut Masahar menyanggupi perintah Prabu Brawijaya.

Sementara itu, di tempat yang sangat jauh, Ki Ageng Tarub sudah mendapat firasat bahwa tak lama lagi akan ada tamu dari Majapahit. Putrinya, Dewi Nawangsih, diperintahnya untuk menggelar tikar. Beberapa saat kemudian, Ki Buyut Masahar dan Raden Bondan Kejawan datang. Ki Buyut Masahar menyampaikan maksud kedatangannya yang tak lain dalam rangka memenuhi perintah Prabu Brawijaya untuk menyerahkan Raden Bondan Kejawan kepada Ki Ageng Tarub. Dan Ki Ageng Tarub pun bersedia menerima Raden Bondan Kejawan.

Sepulang Ki Buyut Masahar, oleh Ki Ageng Tarub, Raden Bondan Kejawan disatukan dalam persaudaraan dengan Dewi Nawangsih—putri semata wayangnya. Ketika itu, Dewi Nawangsih berusia empat belas tahun. Oleh Ki Ageng Tarub, nama Raden Bondan Kejawan pun diganti menjadi Lembu Peteng. Sehingga kelak, Raden Bondan Kejawan lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Lembu Peteng.

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Berfoto dengan juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro, di depan Makam Raden Bondan Kejawan/Badiatul Muchlisin Asti

Raden Bondan Kejawan Dinikahkan dengan Dewi Nawangsih

Dalam asuhan Ki Ageng Tarub, Raden Bondan Kejawan benar-benar mendapatkan curahan kasih sayang yang tulus seperti halnya anak kandung sendiri. Ki Ageng Tarub seperti sudah mendapatkan firasat bahwa Raden Bondan Kejawan kelak akan menjadi tokoh besar dalam sejarah Jawa. Bondan Kejawan akan menjadi tonggak bumi Jawa sesudah kehancuran Majapahit. Karena itulah, Ki Ageng Selo benar-benar serius mendidik dan menempa Raden Bondan Kejawan dengan memperbanyak bertapa serta bertani. 

Raden Bondan Kejawan pun melaksanakan perintah sang guru sekaligus ayah angkatnya itu. Tiap hari, ia pergi ke ladang untuk menanam berbagai macam tanaman. Jika siang, ia dikirimi makanan.

Dikisahkan, ketika itu Dewi Nawangsih sudah beranjak dewasa, gemar bersolek, sehingga makin jelita saja parasnya. Setiap siang, Dewi Nawangsih-lah yang disuruh mengirimkan makanan kepada Raden Bondan Kejawan yang bekerja di ladang.

Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi yang disusun oleh W. L. Olthof. Alih bahasa dan penerbitan oleh Narasi (Yogyakarta)/Badiatul Muchlisin Asti

Pada suatu hari, seperti biasa, Dewi Nawangsih mengantar makanan ke ladang. Setiba di ladang, Dewi Nawangsih pun segera menyerahkan makanan yang dibawanya itu kepada Raden Bondan Kejawan. Hari itu, Dewi Nawangsih terkejut karena Raden Bondan Kejawan memegang tangannya lama sekali. Desir-desir aneh menghinggapi hatinya.

Saat Dewi Nawangsih pulang, ia melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub pun menanggapi apa yang disampaikan putrinya itu. Ki Ageng Tarub menyampaikan kepada putrinya bahwa antara ia (Dewi Nawangsih) dan Raden Bondan Kejawan bukanlah saudara kandung, tetapi saudara angkat sehingga tidak terlarang bila menjalin hubungan asmara.

Setelah kejadian itu, Ki Ageng Tarub menikahkan keduanya. Dewi Nawangsih dan Raden Bondan Kejawan sah menjadi sepasang suami-istri. Sayang, sebelum melihat sejoli ini memiliki buah kasih, Ki Ageng Tarub keburu meninggal dunia. Sepeninggal Ki Ageng Tarub, Raden Bondan Kejawan yang ketika itu sudah berganti nama menjadi Lembu Peteng berganti nama menjadi Ki Ageng Tarub II. 

Setelah sekian waktu berlalu, akhirnya Dewi Nawangsih hamil. Saat tiba waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang rupawan. Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih sangat gembira menyambut kelahiran buah hatinya itu. Keduanya sangat menyayanginya. Setelah disapih, Dewi Nawangsih hamil lagi dan melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan. 

Bertahun kemudian, Raden Bondan Kejawan jatuh sakit dan meninggal dunia. Babad Tanah Jawi mencatat: anak yang pertama bernama Ki Ageng Getas Pandawa dan telah memiliki istri; sedang yang kedua, seorang perempuan, diperistri oleh Ki Ageng Ngerang.

Disebutkan, Ki Ageng Getas Pendawa memiliki tujuh anak. Putra pertama seorang laki-laki bernama Ki Ageng Selo—yang kelak dikenal karena dikaitkan dengan legenda penangkapan petir dengan tangan kosong—dan adiknya enam orang, perempuan semua, yaitu Nyi Ageng Pakis, Nyi Ageng Purna, Nyi Ageng Kare, Nyi Ageng Wangku, Nyi Ageng Bokong, dan Nyi Ageng Adibaya. Semua hidup rukun dalam persaudaraan. 

Kisah Raden Bondan Kejawan atau Ki Ageng Lembu Peteng secara spesifik berhenti sampai di sini. Namun, kita bisa menjelajah kisah dan silsilah keturunannya selanjutnya di dalam Babad Tanah Jawi.


Referensi:

Babad Tanah Jawa Pasisiran. (Manuskrip).
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi, Mulai Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.
Purwadi dan Kazunori Toyoda. (2005). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Raden Bondan Kejawan dalam Babad Tanah Jawi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-raden-bondan-kejawan-dalam-babad-tanah-jawi/feed/ 0 41954
Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan https://telusuri.id/menziarahi-makam-raden-danoewikromo-dan-jejak-leluhur-bung-karno-di-grobogan/ https://telusuri.id/menziarahi-makam-raden-danoewikromo-dan-jejak-leluhur-bung-karno-di-grobogan/#comments Thu, 16 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41935 Suatu siang, saya menziarahi sebuah makam yang terletak di areal pekarangan milik seorang warga. Makam itu satu-satunya yang ada di pekarangan tersebut. Tidak ada makam lainnya. Dibiarkan apa adanya. Sejauh ini tampak tidak terurus. Sampah...

The post Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu siang, saya menziarahi sebuah makam yang terletak di areal pekarangan milik seorang warga. Makam itu satu-satunya yang ada di pekarangan tersebut. Tidak ada makam lainnya. Dibiarkan apa adanya. Sejauh ini tampak tidak terurus. Sampah berupa dedaunan kering terlihat berserakan di sekeliling makam. 

Menurut informasi yang saya peroleh, makam itu masih sering diziarahi oleh kerabat dan keturunannya pada momentum tertentu. Pada nisan tertera nama “R. Danoewikrama” (selanjutnya ditulis Raden Danoewikromo). 

Makam itu berada di pekarangan belakang rumah milik seorang warga Kelurahan Kunden, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Makam Raden Danoewikromo diapit kebun (pohon) jati di sebelah utara dan kandang kambing di sebelah selatan. Meski di kawasan kebun, tetapi akses ke makam tidak mengganggu pemilik rumah. 

Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Kondisi Makam Raden Danoewikromo yang berada di pekarangan belakang rumah warga/Badiatul Muchlisin Asti

Mengungkap Sosok R. Danoewikromo

Pertanyaannya, siapakah Raden Danoewikromo? Menurut sejumlah sumber, Raden Danoewikromo adalah kakek buyut Ir. Soekarno alias Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Bagaimana bisa leluhur Bung Karno dimakamkan di tempat ini?

Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, dalam buku Ayah Bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodiharjo dan Nyoman Rai Srimben (2002), menyatakan Raden Danoewikromo yang makamnya terdapat di Kunden, dianggap oleh masyarakat setempat sebagai seorang pendatang. Beliau adalah putra Pangeran Harya Mangkudiningrat dan masih cucu Sultan Hamengku Buwono II. Saat meletus Perang Diponegoro (1825–1830), Raden Danoewikromo ikut berjuang melawan Belanda bersama Pangeran Adipati Natapraja, Pangeran Serang dan istrinya, hanya berbeda wilayah.

Ketika terjadi penyerangan di daerah selatan, Raden Danoewikromo tidak sampai ikut ke Gunung Lawu. Ia berhenti dan mengikuti aliran Sungai Lusi. Akhirnya ia sampai di sekitar Wirosari dan membuat benteng pertahanan sementara. Ia berharap dapat menahan laju penyerangan kompeni yang akan menuju ke Rajekwesi. Lama kelamaan ia membangun permukiman di daerah tersebut bersama anak keturunannya, sampai meninggal dan dimakamkan di Kunden. 

Versi berbeda disampaikan Sugeng Haryadi dalam buku Menyingkap Asal-usul Bung Karno (1998). Menurutnya, Raden Danoewikromo adalah putra Raden Mangoendiwirjo. Kisah bermula saat terjadi Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Melalui perjanjian itu, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua: Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Dalam pembagian tersebut, Ngayogyakarta mendapatkan sembilan daerah kabupaten, masing-masing Wonosari (Madiun sekarang), Magetan, Caruban, Ngrowo (Tulungagung sekarang), Japan (Mojokerto sekarang), Rajekwesi (Bojonegoro sekarang), Ngawen, dan Grobogan. Seperti umumnya jika ada pergantian kekuasaan, pemimpin-pemimpin daerah kekuasaan raja merupakan orang yang punya loyalitas kuat pada penguasa.

Sultan Hamengku Buwono I, Raja Kesultanan Ngayogyakarta menunjuk Pangeran Martapoera, yang sebelumnya menjabat bupati Ngawen, untuk menjadi bupati Caruban. Jabatan ini menurun pada putranya, P. Mangkoedipuro, setelah beliau wafat. Kemudian menurun lagi ke Tumenggung Prawirodipuro—lahir sekitar tahun 1778—yang setelah menjabat bupati mengubah namanya menjadi P. Mangkoedipuro II.

Dengan posisi itu, Prawirodipuro bisa memintakan kedudukan bagi adik kandungnya, Raden Mangoendiwirjo, untuk menjadi Wedana Pamajekan di Wirosari. Wirosari adalah daerah dengan hak norowito (hak atas tanah turun-temurun) bagi keluarga Pangeran Martapoera yang diminta dari raja pada saat menjabat bupati di Ngawen.

Di Wirosari itu, R. Mangoendiwirjo menikah dengan putri setempat dan menurunkan delapan putra dan seorang putri, di antaranya adalah Raden Danoewikromo yang diperkirakan lahir tahun 1804. Jadi, saat Perang Diponegoro meletus, Raden Danoewikromo merupakan pemuda berumur 20 tahun yang turut berperang melawan kolonial Belanda.

Mencermati dua versi kisah di atas, menurut hemat saya, keduanya saling beririsan, memiliki banyak kesamaan, bahkan saling melengkapi. Perbedaan terletak pada data terkait garis nasab (genealogi) Raden Danoewikromo. Menurut versi Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, nama ayah Raden Danoewikromo bernama Pangeran Harya Mangkudiningrat. Adapun versi Sugeng Haryadi, ayah Raden Danoewikromo bernama R. Mangoendiwirjo I. 

Namun, hasil penelusuran menyebut nama Pangeran Harya Mangkudiningrat dan R. Mangonediwirjo I merupakan sosok yang sama. Wallahu a’lam.

Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Foto Bung Karno (kiri) dengan ayahnya, R. Soekeni (Soekemi) Sosrodihardjo yang lahir di Desa Kalirejo, Grobogan dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams

Kakek Bung Karno Menjadi Juru Tulis di Kalirejo

Menurut Sugeng Haryadi, setelah perang usai Raden Danoewikromo kembali ke daerahnya dan menyunting putri di Wirosari. Hasil perkawinan itu membuahkan empat putra dan seorang putri, yakni Raden Kromoatmodjo, Raden Soemadiredjo, Raden Mangoendiwirjo II, Raden Nganten Kartodiwirjo, dan si bungsu, Raden Hardjodikromo yang tak lain adalah kakek Bung Karno. 

Setelah menginjak dewasa, Raden Hardjodikromo (lahir kurang lebih tahun 1840) menjadi carik (juru tulis) di Desa Kalirejo, Wirosari. Sementara kakaknya, Raden Mangoendiwirjo II menjadi lurahnya. Mereka berdua menggantikan para pamong desa sebelumnya yang telah lanjut usia. Tentu saja, jabatan pamong desa ketika itu bukan hal yang sulit diperoleh, karena kakek mereka adalah tokoh di Kawedanan Wirosari dan ayah keduanya merupakan prajurit pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dihormati. 

Dalam perjalanannya, di masa tanam paksa pemerintah kolonial di tanah Jawa akibat kekalahan Diponegoro, Raden Hardjodikromo berniat melepas jabatannya sebagai juru tulis Kalirejo. Kira-kira setahun setelah kelahiran putranya, yakni Raden Soekeni Sosrodihardjo yang tak lain adalah ayah Bung Karno (lahir sekitar tahun 1873), Raden Hardjodikromo memantapkan hati melepas jabatannya sebagai carik dan berniat pindah ke kota lain.

Terkait keputusan Raden Hardjodikromo tersebut, menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, hal itu disebabkan perbedaan pendapat dengan sang kakak, Raden Mangoendiwirdjo. Utamanya dalam menghadapi pemerintah kolonial, yang membuatnya terpaksa meninggalkan Desa Kalirejo.

Masih menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, kepindahan Raden Hardjodikromo cukup beralasan. Di samping menghindari situasi sosial ekonomi yang diakibatkan oleh tanam paksa, juga karena di Wirosari sedang terjadi wabah penyakit kolera dan kelaparan. Masalah ini yang mengakibatkan pengurangan jumlah penduduk secara besar-besaran. Di satu sisi, kegagalan panen akibat perubahan musim semakin memperparah keadaan penduduk Grobogan.

Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Balai Desa Kalirejo, di desa inilah pernah tinggal Raden Hardjodikromo (kakek Bung Karno) dan tempat kelahiran ayah Bung Karno, R. Soekeni Sosrodiharjo/Badiatul Muchlisin Asti

Kakek Bung Karno Pindah ke Tulungagung

Tulungagung akhirnya menjadi tujuan kepindahannya. Di kota itu, tinggal adik perempuannya yang menikah dengan mantri guru bernama Raden Kartodiwirjo (versi Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk). Atau dalam versi Sugeng Hariyadi, tinggal kakaknya yang diperistri seorang mantri guru dan terkenal pandai, yakni Ibu Raden Kartodiwirjo.

Di Tulungagung, kehidupan Raden Hardjodikromo membaik. Ia menjadi pedagang batik, lalu membuka industri kerajinan batik di rumahnya. Kondisi ekonomi yang cukup baik membuka jalan bagi Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayah Bung Karno, untuk menggapai cita-cita sebagai seorang guru. Saat itu guru merupakan profesi yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah kolonial.

Oleh karena itu, selepas masa sekolah rendah tahun 1885, Raden Soekeni memasuki Kweekschool (sekolah guru) di Probolinggo. Pada 1889, Raden Soekeni lulus dari Kweekschool dengan memuaskan lalu diangkat menjadi guru di kota Kraksaan, Kabupaten Lumajang, Karesidenan Besuki, Jawa Timur.

Dua tahun kemudian, Raden Soekeni menerima tawaran untuk mengajar pada sekolah rakyat di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itulah Raden Soekeni menyemai cinta dan menemukan pendamping hidup, seorang gadis Bali bernama Idayu atau Ni Nyoman Rai Sarimben (Srimben). Kelak kita mengenalnya sebagai ibunda tercinta dari Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno.

Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan
Berfoto dengan R. Suparwoto (kanan), trah R. Danoewikromo, yang tinggal di Dusun Besu, Desa Kalirejo, usai wawancara/Badiatul Muchlisin Asti

Penuturan R. Suparwoto, Trah Raden Danoewikromo di Desa Kalirejo

Hasil penelusuran pustaka itu kemudian saya padukan dengan menemui R. Suparwoto, trah Raden Danoewikromo yang tinggal di Dusun Beru, Desa Kalirejo. Kepada saya, R. Suparwoto menyampaikan di silsilah keluarga yang ia miliki, Raden Danoewikromo (setidaknya) memiliki tiga putra, yaitu Raden Mangoendiwirjo II yang pernah menjabat sebagai lurah di Kalirejo, Raden Kartodiwirjo yang kemudian tinggal di Tulungagung (Jawa Timur), dan Raden Hardjodiwirjo (atau Raden Hardjodikromo) yang pernah menjabat carik atau juru tulis Kalirejo.

Karena sejumlah alasan, Raden Hardjodikromo—kakek Bung Karno—kemudian melepas jabatannya sebagai carik Kalirejo dan mengikuti jejak kakaknya, Raden Kartodiwirjo, yang tinggal di Tulungagung hingga wafatnya. Jasad Raden Hardjodikromo dimakamkan di kompleks makam Kepatihan, Tulungagung.

Ayah Bung Karno sendiri, menurut R. Suparwoto, sesuai data yang dimilikinya bernama R. Soekemi (bukan Soekeni) Sosrodiharjo. R. Soekemi lahir di Desa Kalirejo, Wirosari sekitar tahun 1872. Setahun setelah kelahiran ayah Bung Karno itu, Raden Hardjodikromo memutuskan pindah ke Tulungagung membawa serta keluarganya.  

Dalam perjalanannya, R. Soekemi menjadi seorang guru di Normaalschool Blitar. Kemudian ketika bertugas di Buleleng (Bali), R. Soekemi bertemu dengan Ida Ayu atau Nyoman Rai Srimben yang (saling) jatuh cinta dan kemudian menjadi suami istri. Dari pasangan inilah kemudian lahir Bung Karno, Sang Proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia. 


Referensi

Haryadi, Sugeng. (1998). Menyingkap Asal-usul Bung Karno. Grobogan: Mega Berlian.
Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. (2002). Ayah Bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodihardjo dan Nyoman Rai Srimben. Jakarta: Penerbit Republika dan Yayasan Pustaka Biografi Indonesia.
Wawancara dengan R. Suparwoto, trah Raden Danoewikromo di Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, pada awal Maret 2022 dan 11 April 2024. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menziarahi Makam Raden Danoewikromo dan Jejak Leluhur Bung Karno di Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menziarahi-makam-raden-danoewikromo-dan-jejak-leluhur-bung-karno-di-grobogan/feed/ 5 41935
Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/ https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/#respond Tue, 14 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41911 Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya....

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya. Konon pada masanya, Pabrik Texin pernah menjadi salah satu pabrik tekstil terbesar dan tersohor se-Asia Tenggara.

Menurut penuturan orang zaman dulu yang pernah bekerja di Pabrik Texin, hanya pribumi terpandang yang beruntung menjadi karyawan di pabrik peninggalan Belanda itu. Para karyawan pribumi digaji dengan bayaran yang cukup besar untuk ukuran pada masanya. Belum lagi pemberian tunjangan hari raya yang banyak dan lengkap, seperti sejumlah uang dan sembako. Bahkan karyawan pria, jika ingin memilih pasangannya hanya tinggal menunjuk perempuan mana saja yang ingin ia nikahi, karena jarang ada perempuan yang menolak.

Foto-foto lawas koleksi Tropenmuseum Amsterdam yang menggambarkan para pekerja di antara mesin-mesin tenun di pabrik Java Textiel Maatscappij Tegal atau Pabrik Texin Tegal (kiri) dan pemrosesan kapas yang dipres menjadi bal lalu dikemas oleh pekerja pabrik (kanan).

Sejarah Singkat Pabrik Texin

Pabrik Texin memiliki luas lahan sekitar 50 hektare dan terletak di Jalan Pala Raya, yang menghubungkan Kelurahan Dampyak dan Desa Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Persis di depan area pabrik, terdapat puluhan perumahan dinas khas arsitektur Belanda.

Pabrik ini didirikan pada tahun 1935 dan diresmikan tanggal 25 Mei 1936 dengan nama Java Textil Maatschappij atau JTM, yang berbentuk badan hukum “NV” dengan modal yang terbagi dalam beberapa saham. Hanya berselang setahun kemudian, pabrik mulai produksi dan berlanjut hingga pihak Jepang menguasai Indonesia. Jepang merebut pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1942.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1964 tentang pendaerahan perusahaan industri negara, serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 1965 tanggal 3 Juli 1965, terbentuklah perusahaan industri daerah “Sandang” Jawa Tengah dengan sebutan Pinda “Sandang” Jateng Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal. Di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perusda “Sandang” Jawa Tengah Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pabrik tersebut diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan ditempatkan di bawah pengawasan Badan Pertekstilan Negara. Kemudian dalam perkembangannya, beralih ditempatkan di bawah Badan Pimpinan Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang atau disebut BAPPIT PUSAT TEXIN.

Pada tanggal 27 April 1983, ada pergantian nama pabrik dari Pabrik TEXIN Tegal menjadi Pabrik Tekstil (Pabriteks) Tegal. Lalu pada November 2015, untuk yang terakhir kalinya berubah nama menjadi PT Sandang Tegal Intijaya (tahun 2000 sempat bernama PT Industri Sandang Nusantara). PT Sandang Tegal Intijaya saat ini beroperasi dengan memproduksi benang dan kain, benang TR 20/2, benang katun 20/2, kain katun, dan kain TR (tetron rayon).

Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
Tampak gerbang depan Pabrik Texin atau sekarang PT Sandang Tegal Intijaya/Google Street View

Rumah-rumah Belanda yang Tidak Terurus dan Mitosnya

Kalau Anda berkunjung ke Kota Tegal, kemudian berkendara atau berjalan melewati Jl. Pala Raya, Anda pasti akan menemukan jejeran puluhan rumah khas arsitektur negeri kincir angin yang sudah lapuk termakan waktu. Posisinya persis di sebelah selatan RS Mitra Siaga Tegal dan dekat rel kereta api. Konon, bangunan-bangunan tersebut tersebut adalah perumahan bagi para penggede Hindia Belanda yang dulu bekerja di Pabrik Texin. Seperti yang dituturkan oleh nenek saya, Maslicha (72), “Awal tahun 1960-an itu saat Mbah [sekolah] TK, masih sering terlihat anak-anak keturunan Londo  di sekitar lingkungan pabrik dan perumahan.”

Bangunan rumah yang mencolok dan tidak terawat menambah unsur angker dan mistis. Dari depan pagar, banyak terlihat rumah dinas yang telah terkelupas catnya dan ditumbuhi dengan tanaman liar yang merambat lebat hingga ke atap. Belum lagi kondisi rumah yang sudah jebol di sana-sini. Banyaknya semak belukar di sekitar halaman kompleks perumahan menjadi sarang binatang, seperti ular dan kalajengking. Dari puluhan bekas rumah dinas Belanda tersebut, terdapat satu sekolah (sepertinya sekolah dasar) yang masih terlihat catnya yang bergambar kartun Bobo.

Meski lingkungan sudah tak keruan, fisik rumah-rumah yang terlihat kokoh menjelaskan bahwa bahan bangunan yang digunakan adalah material dengan kualitas terbaik. Bingkai jendela dan pintu menggunakan kayu jati sebagai bahan bakunya. Keramik-keramik yang digunakan sejak masa kolonial masih terlihat utuh. Hanya ada satu-dua rumah saja yang roboh, itu pun akibat angin besar dan hujan lebat yang mengguyur akhir-akhir ini.

Selain perumahan dinas, di kompleks tersebut juga terdapat wisma tamu yang letaknya bersebelahan. Area wisma tamu kurang lebih seluas 70 meter persegi. Tidak banyak yang saya tahu dari wisma tamu. Namun, yang jelas di area wisma tamu terdapat kolam renang anak dan dewasa yang masih utuh bentuknya, serta ruangan karaoke, ruang dansa, dan bar yang luas. Kolam renang tersebut juga dibuka untuk umum pada saat itu. Tepat di belakang ruangan karaoke terdapat lapangan tenis, yang lantainya masih menggunakan keramik putih lama masa kolonial.

Perumahan dinas di sekitar Pabrik Texin juga pernah dan sering dijadikan sebagai tempat pengajian sebelum tahun 2000-an. Di depan jalan sepanjang perumahan dinas dan pabrik, setiap bulan puasa selalu ramai oleh hiasan lampu dan ornamen-ornamen khas Ramadan. “Biasanya setiap pengajian ibu-ibu Jumat sore, kita meminjam tempat di salah satu rumah. Nanti janjian di rumah nomor berapa,” ungkap nenek saya. 

Terdapat mitos yang berkembang di tengah sebagian masyarakat. Di belakang ruang karaoke, terdapat siluman buaya putih penghuni kolam renang. “Di kolam renang yang airnya warna hijau itu ada penunggunya (buaya putih),” kata Lita, salah satu warga setempat.

Ada satu misteri lagi, yakni sering terdengar bunyi sirine pada pukul 12 hingga 3 siang dari arah kompleks perumahan dan pabrik, serta penampakan sesosok pria Belanda di area pabrik. “Biasanya kalau siang itu ada bunyi ‘nguuung’ dari situ,” tambah Wawan, warga desa lainnya.

  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan

Kurang Perhatian Pemerintah dan Terpinggirkan

Sejak berakhirnya masa kolonial Belanda, perumahan dinas Pabrik Texin sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi, aktivitas di sekitar pabrik masih tetap berjalan. Memasuki akhir tahun 2000, kejayaan pabrik mulai memudar karena mengalami kebangkrutan. Bangunan perumahan dibiarkan terbengkalai. Entah karena biaya perawatannya yang besar atau bukan termasuk dalam bangunan cagar budaya yang dilindungi. Bagaimanapun, pabrik dan kompleks perumahan Belanda tersebut adalah bangunan bersejarah. Di baliknya banyak jejak sejarah yang bahkan oleh masyarakat sekitar sendiri tidak mengenali.

Lantas, mengapa bangunan tersebut tidak dihancurkan saja? Sesuai peraturan perundang-undangan, bangunan itu termasuk tipe A yang tidak boleh dibongkar baik luar maupun dalam. Tanggapan dan tindakan pemerintah daerah dalam mengelola Pabrik Texin adalah sebatas melakukan inventarisasi. Adapun pengurusan bangunan tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian BUMN.  Saya jadi bertanya-tanya, apakah jejak sejarah di dekat rumah saya akan tergerus oleh zaman sehingga dilupakan oleh generasi muda?

Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca dan observasi langsung, banyak aset pabrik yang dijual dan beberapa bangunan peninggalan Belanda dihancurkan untuk membayar karyawan yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Misalnya, ruangan pemintalan dan pengecoran yang dirobohkan pertama kali pada 2014, diganti dengan kompleks perumahan baru. Pelelangan dilakukan oleh pemerintah, seperti bangunan untuk pertenunan, persiapan, ketel uap, finishing, bahkan perumahan pejabat dengan arsitektur khas Belanda. Saat ini yang masih tersisa adalah bangunan masjid Baitul Amanah yang berada di bagian paling barat area pabrik.

Selain itu, bangunan pabrik sepertinya juga tidak direnovasi besar-besaran. Menurut informasi beberapa karyawan yang bekerja di pabrik tersebut, kondisi kumuh dan fasilitas pabrik di dalamnya juga masih kurang memadai untuk standar pabrik tekstil modern. Aktivitas pabrik saat ini pun sudah berkurang dibanding saat masih berjaya di bawah pengelolaan Belanda. Hanya beberapa kegiatan saja yang tetap berjalan, seperti pemintalan dan penenunan.

Foto sampul:
Foto hitam putih pabrik Java Textiel Maatschappij Tegal atau Pabrik Texin tahun 1938/koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen


Daftar Pustaka

Mulyadi, A. (2015, 12 Maret). Pabrik Texin Tegal Riwayatmu Kini. Lensa Pantura. Diakses pada 31 Maret 2024, dari http://lensaseputarpantura.blogspot.com/2015/03/pabrik-texin-tegal-riwayatmu-kini.html.
Mulyadi, A. (2023, 23 Juli). Kilas Sejarah Pabrik Texin Tegal, Perusahaan Tekstil Tersohor Pada Masanya. Radar Tegal. Diakses pada 1 April 2024, dari https://radartegal.disway.id/read/659375/kilas-sejarah-pabrik-texin-tegal-perusahaan-tekstil-tersohor-pada-masanya.
Saprudin. (2001). Analisis Sebab Pemborosan Dalam Rangka Meningkatkan Efektivitas Peralatan Pada Pasar Yang Kompetitif (Kasus PT (Persero) Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal). Tesis S-2. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/9396/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/feed/ 0 41911
Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/ https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/#respond Fri, 10 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41890 Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari...

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Meskipun cuaca masih cenderung belum stabil, tetapi puncak-puncak gunung telah melambai-lambai kepada para pendaki. Khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang biasanya memang jadi banyak tujuan pegiat kegiatan luar ruang dari daerah barat maupun timur.

Jika kamu adalah seorang pemburu seven summits, dan masih terlalu jauh untuk menggapai tujuh puncak tertinggi Indonesia atau dunia, kamu bisa memulainya di Jawa Tengah. Secara umum, akses menuju lokasi basecamp masing-masing gunung relatif mudah dijangkau tanpa kesulitan berarti.

Gunung-gunung di daftar ini rata-rata bisa didaki secara optimal dengan durasi dua hari satu malam perjalanan. Beberapa di antaranya jika diperlukan memerlukan tambahan satu hari untuk ritme yang santai dan menikmati jalur, atau bahkan sehari pergi-pulang jika ingin memakai sistem tektok.

1. Gunung Slamet (3.428 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Lebatnya hutan Gunung Slamet terlihat jelas dari Bambangan, Purbalingga/Rifqy Faiza Rahman

Inilah atap Jawa Tengah. Nomor dua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 mdpl). Jangkauan lereng hingga kaki gunungnya sangat luas, menjangkau lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada bagian puncaknya terdapat kawah belerang yang masih aktif. Selain itu, di area puncak gunung dengan medan berbatu dan berpasir juga dikenal kerap berkabut secara tiba-tiba sehingga pendaki mesti ekstra fokus dan berhati-hati.

Untuk kamu yang merancang program pendakian atau ekspedisi tujuh gunung dalam satu rangkaian waktu, masukkan Gunung Slamet ke daftar destinasi pertama. Panjangnya jalur pendakian dan tingkat tantangan yang tersaji akan menuntutmu mempersiapkan segalanya dengan baik, baik secara fisik, mental, dan logistik. 

Sejauh ini ada sekitar enam jalur pendakian resmi di Gunung Slamet. Baturraden (Banyumas), Bambangan (Purbalingga), Gunung Malang (Purbalingga), Dipajaya (Pemalang), Guci (Tegal), dan Kaliwadas (Brebes). Masing-masing memiliki karakter dan tingkat kesulitannya sendiri. Kecuali terdapat peraturan yang mengikat oleh pengelola basecamp, TelusuRI menyarankan kamu mendaki gunung ini dalam tiga hari dua malam. Tujuannya agar lebih menikmati perjalanan dan tidak terlalu menguras tenaga.

2. Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Sabana Segoro Banjaran di dalam kaldera Gunung Sumbing, bisa ditempuh dari jalur Banaran, Temanggung/Rifqy Faiza Rahman

Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Di lereng gunungnya terhampar melimpah perkebunan tembakau, sama seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro. Ciri khas gunung ini adalah bagian kaldera dekat puncak yang bisa dieksplorasi, mencakup sabana Segoro Banjaran, area berpasir Segoro Wedi, makam Ki Ageng Makukuhan, dan kawah belerang aktif.

Tersedia banyak pilihan jalur menuju puncak, baik itu Puncak Rajawali (tertinggi), Puncak Buntu, maupun Puncak Sejati. Di wilayah Magelang, ada jalur Butuh dan Mangli yang masuk wilayah Kecamatan Kaliangkrik. Kemudian di Temanggung, terdapat jalur Banaran, Cepit, Dukuh Seman, Sipetung, dan Batursari. Terakhir di jalur barat atau Wonosobo, kamu bisa memilih antara Bowongso atau Gajah Mungkur. 

Secara umum, tipikal jalur pendakian Gunung Sumbing cenderung lurus dan menanjak terjal nyaris tanpa ampun. Sebagian rute bahkan tidak memiliki sumber air, sehingga kamu harus mempersiapkan stok air berlebih. Untuk itu, diperlukan ketahanan fisik yang prima agar mampu mendaki gunung ini dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Gunung Lawu (3.265 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Pendaki menikmati pemandangan dan suasana sore di sabana Gupakan Menjangan, jalur Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Bagian kaki, lereng, hingga puncak tertinggi gunung ini (Hargo Dumilah) tertancap di perbatasan dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terkenal bukan hanya di kalangan pendaki, melainkan juga bagi para peziarah atau pelaku spiritual.

Sejumlah jalur pendakian yang tersedia bahkan menyimpan beberapa situs cagar budaya peninggalan kerajaan masa lampau. Seperti jalur Cetho, Karanganyar, kamu akan menjumpai Candi Cetho itu sendiri dan Candi Kethek yang terletak berdekatan. Adapun rute pendakian lain di wilayah Jawa Tengah adalah Cemoro Kandang (Tawangmangu) dan Tambak (Ngargoyoso). Keduanya juga berada di Kabupaten Karanganyar.

Menurut kebanyakan pendaki, temperatur udara di Gunung Lawu kabarnya lebih dingin dibandingkan gunung-gunung lain. Untuk itu, persiapkan fisik dan perlengkapan yang memadai agar pendakianmu berjalan lancar.

4. Gunung Sindoro (3.153 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Kerucut Gunung Sindoro dipotret dari jalur pendakian Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman

Posisi gunung yang memiliki kawah belerang aktif dan cukup besar ini tepat di seberang Gunung Sumbing. Hanya dipisahkan lembah yang di atasnya membentang jalan raya Temanggung–Wonosobo. 

Hampir di segala penjuru mata angin gunung ini terdapat jalur resmi yang bisa didaki. Dari sisi utara, kamu bisa mendaki melalui Sigedang yang letaknya tak jauh dari kawasan perkebunan teh Tambi, Wonosobo. Di sebelah timur, terdapat jalur Bansari yang relatif dekat dengan pusat kota Kabupaten Temanggung. Kemudian jika kamu ingin mendaki dari arah barat, kamu bisa menuju Desa Ndoro Arum di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Bergeser ke selatan, ada tiga jalur yang terletak berdekatan di perbatasan Kabupaten Temanggung–Wonosobo. Pertama, jalur Kledung. Basecamp-nya menempel dengan kompleks Kantor Desa Kledung dan berada persis di pinggir jalan raya Temanggung–Wonosobo. Kedua, Alang-alang Sewu di wilayah Kecamatan Kertek, Wonosobo. Ketiga, rute Bedakah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh Bedakah, juga di Kecamatan Kertek. Jalan menuju basecamp Bedakah searah dengan basecamp Gunung Kembang, “anak” Gunung Sindoro.

5. Gunung Merbabu (3.145 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Deretan tenda pendaki di area camp Puncak 2 Pemancar Gunung Merbabu, via jalur Thekelan/Rifqy Faiza Rahman

Berada di dalam kawasan taman nasional, Merbabu juga memiliki seven summits-nya sendiri. Kamu akan mencapainya bila mendaki lewat jalur Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Orang-orang menyebutnya jalur tua atau klasik. Kelebihan lain dari jalur Thekelan adalah ada tiga titik sumber air yang bisa dimanfaatkan pendaki, yaitu Pos 1 Pending (1.824 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.137 mdpl), dan pos air di bawah Helipad (2.884 mdpl).

Karena aturan durasi pendakian terbatas dua hari satu malam, persiapkan fisik, logistik, dan manajemen waktumu untuk bisa menggapai tujuh puncak tertinggi Merbabu: Puncak 1 Watu Gubug (2.723 mdpl), Puncak 2 Pemancar (2.847 mdpl), Puncak 3 Geger Sapi (3.002 mdpl), Puncak 4 Syarif (3.119 mdpl), Puncak 5 Ondo Rante (3.112 mdpl), Puncak 6 Kenteng Songo (3.142 mdpl), dan Puncak 7 Triangulasi (3.145 mdpl).

Lewat jalur mana pun, baik itu Thekelan, Selo, Suwanting, maupun Wekas, kamu bisa simak informasi panduan registrasi pendakian Gunung Merbabu secara daring di sini. Sebagai bocoran, pesan kuota pendakianmu jauh-jauh hari, karena saat akhir pekan biasanya akan penuh (terutama jalur Selo dan Suwanting).

6. Gunung Prau (2.590 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Tenda-tenda pendaki di area camp dekat puncak Gunung Prau, bisa digapai lebih cepat dari jalur Patak Banteng/Rifqy Faiza Rahman

Sejak pertama kali dibuka untuk umum sampai sekarang, tampaknya status gunung sejuta umat yang biasa disandang Semeru bergeser ke Prau. Lihat saja saat akhir pekan atau libur panjang, pendaki akan menyemut hampir di semua jalur. Dari sekitar enam jalur resmi, Patak Banteng dan Dieng di Wonosobo jadi dua daftar teratas yang paling diburu pendaki. 

Kalau kamu cenderung mencari jalur yang relatif tidak terlalu padat, kamu bisa mencoba jalur Wates di Kecamatan Wonoboyo, Temanggung; Igirmranak dan Kalilembu di Kecamatan Kejajar, Wonosobo; atau via Dieng Kulon (Candi Dwarawati) di Kecamatan Batur, Banjarnegara. Masing-masing jalur akan saling bertemu di kawasan puncak tertingginya. 

Ikon gunung ini memang berada di area puncak. Hanya dengan mendaki sekitar 2,5–4 jam (setiap jalur bervariasi), pendaki bisa melihat pemandangan gunung-gunung besar lain di sekitarnya. Jika cuaca cerah, kamu akan melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing berdampingan, begitu pun Merbabu dan Merapi. Nun di barat, ada Gunung Slamet. Momen terbaik biasanya saat matahari terbenam, malam hari penuh bintang, atau matahari terbit. 

7. Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl)

Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki
Vegetasi semak dan rerumputan di area puncak Gunung Pakuwaja via Facebook/Gunung Pakuwaja

Meskipun berbeda lokasi, Gunung Pakuwaja terbilang masih satu area dengan Gunung Prau di dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng. Bentang alam Gunung Pakuwaja mencakup tiga desa di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, yaitu Sembungan, Parikesit, dan Tieng. Basecamp terpopuler gunung ini ada di Parikesit. Waktu tempuhnya berkisar 1,5–3 jam, tergantung kondisi fisik kamu. Meski tidak sampai 3.000 mdpl, tetapi treknya cukup bervariasi. Ada yang landai, ada yang terjal. 

Dalam catatan Badan Geologi ESDM, Pakuwaja merupakan gunung api yang terbentuk paling muda yang menempati Kompleks Vulkanik Dieng. Oleh karena itu, jika kamu penyuka ilmu kebumian, Gunung Pakuwaja adalah tempat yang pas karena memiliki situs jejak lava yang beraneka ragam. Namun, pastikan kamu tetap menaati segala peraturan yang ditetapkan basecamp dan jaga sopan santun selama pendakian. Sebuah sikap yang juga berlaku untuk gunung-gunung lain.

Setelah menuntaskan Sumbing, Sindoro, Prau, dan Pakuwaja, jika masih memiliki sumber daya waktu, tenaga, dan biaya, kamu bisa melanjutkan program seven summits khusus di wilayah Kabupaten Wonosobo. Ketiga puncak gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), dan Gunung Kembang (2.340 mdpl). Yang menarik, kamu bisa mendapatkan sertifikat dari Perhutani KPH Kedu Utara sebagai apresiasi keberhasilan kamu meraih seven summits of Wonosobo.

Menjadi Pendaki Bijak

Sah-sah saja jika kamu berambisi mengkhatamkan tujuh puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah. Namun, pastikan kamu menjadi pendaki yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk ikut menjaga gunung itu sendiri. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

  1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
  2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan pendakian
  3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
  4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
  5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
  6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
  7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
  8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang mengurangi sampah kemasan anorganik
  9. Membawa pulang sampah anorganik yang mungkin kamu hasilkan
  10. Membawa kantung sampah secukupnya

Jadi, mau mulai dari mana buat mendaki seven summits Jawa Tengah? Lekas kemasi ranselmu dan berangkat sekarang juga!


Penafian:
Gunung Merapi (2.968 mdpl) tidak masuk daftar karena telah lama ditutup untuk pendakian sejak peningkatan aktivitas vulkanis pada 2018. Kini statusnya Level III (Siaga).


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah “Seven Summits” Jawa Tengah yang Harus Kamu Daki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inilah-seven-summits-jawa-tengah-yang-harus-kamu-daki/feed/ 0 41890