jepara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jepara/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 19 Feb 2025 18:32:54 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 jepara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jepara/ 32 32 135956295 Seni Gastronomi Warisan RA Kartini https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/ https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/#respond Wed, 19 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45692 Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah? Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa,...

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah?

Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa, pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ayahnya adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sedangkan ibunya Mas Ajeng Ngasirah, putri KH. Madirono, seorang ulama dari Telukawur, Jepara.

Semasa hidup, ia menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Ia meninggal dunia di usia muda pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak satu-satunya—Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Pada 1964, Presiden Sukarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan tanggal lahirnya sebagai hari besar nasional, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

RA Kartini dikenal karena memiliki pemikiran yang sangat maju melampaui zamannya. Kecemerlangan gagasannya tertuang dalam surat-suratnya yang menyejarah. Surat-surat itu ditujukan kepada sejumlah sahabatnya di Belanda. Setelah RA Kartini wafat, atas inisiatif Jacques Abendanon, surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan. Kumpulan surat itu diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang

Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
Sampul depan buku Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini/Badiatul Muchlisin Asti

Mewariskan Resep-resep Masakan

Selain pemikirannya, sisi menarik RA Kartini lainnya—yang jarang diungkap—adalah kegemarannya dalam hal masak-memasak, di luar membatik dan membuat ukiran. Sebuah keterampilan khas perempuan Jawa, utamanya pada masa itu.

Ternyata, pahlawan emansipasi wanita itu mewariskan resep-resep masakan yang menarik untuk diteroka. Setelah RA Kartini wafat, adiknya yang bernama RA Kardinah mengumpulkan resep-resep masakan kegemaran RA Kartini maupun keluarga Sosroningrat.

RA Kardinah yang menikah dengan bupati Tegal kemudian mendirikan sekolah khusus untuk keterampilan perempuan di Tegal bernama Wismâ Prânâwâ. Pendirian sekolah khusus itu sesuai dengan cita-cita kedua kakaknya: RA Kartini dan RA Roekmini. Untuk keperluan pengajaran, resep-resep keluarga yang sebagian besar masih beraksara Jawa disusun menjadi beberapa buku dan diberi judul Lajang Panoentoen Bab Olah-olah.

Berpuluh tahun kemudian, Suryatini N. Ganie, cucu RA Soelastri—kakak kandung RA Kartini dari ibu yang berbeda—menulis ulang resep-resep tersebut dan membukukannya dalam sebuah buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini. Cetakan pertamanya diterbitkan Gaya Favorit Press (Femina Group) tahun 2005.

Suryatini N. Ganie menulis ulang resep-resep beraksara dan berbahasa Jawa, lalu menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dengan seharfiah mungkin. Resep-resep ditulis ulang dengan menyesuaikan kondisi sekarang, tetapi dengan judul-judul resep yang tetap dipertahankan sesuai aslinya. Misalnya, kelan asem (sayur asem), kelan lodeh bung (sayur lodeh rebung), janganan sala (sayuran sala alias pecel), dan semur iwak (semur ikan).

Menariknya lagi, semua resep telah diuji coba di Dapur Uji Femina. Hasilnya, resep-resep dalam buku terbukti dapat diandalkan alias tidak terlalu banyak yang harus diubah. Artinya, kita dapat mencoba sendiri (recook) resep-resep masakan yang telah diciptakan lebih dari seabad lalu itu dan tetap dapat memanjakan selera kita yang hidup di masa sekarang.

  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini

Keistimewan Buku dan Kisah Kuliner Favorit

Buku ini dicetak lux dengan hardcover dan kertas isi berbahan art paper gilap. Setidaknya ada tiga keistimewaan lain yang lebih esensial dan fundamental dari buku ini, sehingga layak dikoleksi oleh para pencinta kuliner Nusantara. 

Pertama, buku ini tidak hanya berisi resep-resep hidangan yang lezat dari meja makan para putri bangsawan Jepara pada abad ke-19, tetapi juga sekaligus mendokumentasikan dan mempertahankan resep-resep autentik beraksara Jawa.

Kedua, resep-resep berusia lebih dari seabad yang termaktub dalam buku ini, masih relevan dan bisa menghasilkan masakan-masakan yang bercita rasa lezat. Bahan penyedapnya alami berupa rempah-rempah dan daun-daun bumbu.

Ketiga, resep-resep di buku ini ditulis ulang dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Suryatini N. Ganie, seorang praktisi dan pemerhati dunia gastronomi yang sudah lama malang melintang di dunia kuliner. Di antara kiprahnya adalah mendirikan majalah boga Selera dan menjadi pemimpin redaksinya sejak 1981 sampai 1995.

Sebagai keturunan Sosroningrat, masa kecilnya pernah bertemu dengan para eyangnya: RA Soelastri, RA Kardinah, dan RA Roekmini. Boleh dibilang, Suryatini turut mendapat pendidikan dan bimbingan dari eyang-eyangnya itu. Suryatini tidak pernah bertemu RA Kartini, karena saat ia lahir pada 17 Oktober 1930, RA Kartini telah lama tiada.

Menurut Suryatini, semasa hidupnya, Eyang Roekmini—panggilan Suryatini untuk RA Roekmini—sering membuat kue-kue dari resep lama keluarga Bupati Jepara Sosroningrat. Kudapan kesukaan Eyang Roekmini dan Eyang Kartini adalah kue yang legit, tetapi tidak terlalu manis, seperti ‘soesjes’ atau sus.

Kreasi dapur keluarga Sosroningrat lainnya yang sering dibuat Eyang Soelastri dan Eyang Roekmini, menurut Suryatini, adalah gebakken brood met bayam (roti panggang dengan bayam). Roti sisa sehari sebelumnya yang dipanggang dan diolesi sedikit mentega, dibubuhi setup bayam yang berbumbu bawang merah, sedikit garam, gula, dan nootmuskaat atau pala bubuk.

Selain itu, salah satu kebiasaan di keluarga Sosroningrat adalah minum teh sore hari atau thee uurtje, mengikuti tata cara masyarakat Belanda di Indonesia tempo dulu. Biasanya, pukul 4–5 sore, meja sudah ditata dengan cangkir, gula, susu, dan poci teh yang diberi tutup, yang dalam bahasa Belanda dinamakan thee cozy

Sebagai teman minum teh disajikan kudapan, baik yang berasal dari kudapan lokal maupun yang diadaptasi dari kue-kue Belanda. Yang lokal seperti serabi gandum (dari tepung gandum), kolak pisang, atau pisang goreng dengan irisan keju, dan yang paling populer di kalangan keluarga adalah pilus kentang.

Acara minum teh—seperti juga acara bersantap—pada waktu itu sekaligus dijadikan ajang untuk belajar tata krama. Misalnya, cara minum dari cangkir yang berisi teh panas. Tidak boleh meniup teh panas, tidak boleh menuangkan teh di piring, dan tidak boleh minum berbunyi ‘sruput-sruput’. Yang duduk di kursi adalah para putra-putri bupati, sedangkan yang masih tergolong anak kecil duduk di lantai dijaga oleh pembantu khusus.

Contoh resep autentik botok ikan, dendeng bumbu, dan lodeh bumbu tumis di buku ini, yang masih mempertahankan versi asli beraksara Jawa/Badiatul Muchlisin Asti

Seni Gastronomi dari Abad ke-19

Sebagai keluarga bangsawan, masakan-masakan yang biasa dihidangkan dalam keluarga Sosroningrat tak luput dari pengaruh dari budaya kuliner bangsa lain, antara lain Arab, Belanda, dan Cina. Apalagi mengingat Jepara tempo dulu adalah pelabuhan yang kerap disinggahi kapal-kapal asing, terutama dari Timur Tengah, India, dan Cina. Karena itu, banyak hidangan maupun rempah-rempah dari wilayah tersebut kita jumpai di dalam resep-resep. Contohnya jangan Arab, yang terinspirasi dari gulai kari kambing, tetapi dibuat sedemikian ringan sehingga lebih berselera Jawa.  

Selera masyarakat Belanda pun sangat berpengaruh pada seni kuliner di Indonesia, khususnya Jepara. Tidak heran bila hidangan ala Prancis yang telah diadaptasi orang Belanda terdapat pula dalam koleksi resep keluarga bupati Jepara. Misalnya, hidangan bistik lengkap dengan pure kentang dan sayurannya.

Selain pengaruh gaya kuliner luar, tentu kuliner khas Jawa Tengah juga tak terelakkan dalam koleksi resep di buku ini. Seperti sayur lodeh, sayur asem, botok urang, besengek ayam, asem-asem, padamara, dan opor ayam panggang. Letak Jepara yang berada di pinggir pantai membuat hasil laut banyak pula digunakan di dalam masakan keluarga ini.

Buku ini tak sekadar berisi kumpulan resep masakan semata. Lebih dari itu, buku ini juga merefleksikan pengalaman seni gastronomi yang diwariskan oleh sebuah keluarga bangsawan Jawa di Jepara pada abad ke-19.  

Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, serta tetap mempertahankan resep autentiknya dalam aksara dan bahasa Jawa merupakan langkah genial yang perlu diapresiasi. Tujuannya agar buku kumpulan resep istimewa ini terdokumentasi dengan baik dan bisa diakses oleh khalayak luas lintas etnis. Karya penting yang menghimpun resep-resep pusaka dari keluarga bangsawan Jawa tempo dulu ini merupakan warisan kebudayaan di bidang gastronomi yang patut dilestarikan.  

Secara keseluruhan, buku ini memuat 209 resep autentik warisan RA Kartini dan saudara-saudaranya, serta keluarga Sosroningrat secara umum, yang dikategorikan dalam 11 bab (kelompok kuliner): nasi (11 resep); sup, soto, dan sayuran berkuah (14 resep); salad dan variasi masakan sayuran (12 resep); ikan dan hidangan laut (16 resep); unggas dan telur (22 resep); daging (50 resep); hidangan pelengkap, acar, dan sambal (23 resep); kudapan gurih (11 resep); kudapan manis (18); puding (12 resep); cake, roti, dan kue kering (20 resep).  


Judul: Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini
Penulis: Suryatini N. Ganie
Penerbit: Gaya Favorit Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2005
Tebal: 352 Halaman
ISBN: 978-979-5155-47-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/feed/ 0 45692
Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/ https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/#respond Sat, 27 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42407 Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan...

The post Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara appeared first on TelusuRI.

]]>
Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
Tampak depan Masjid Mantingan atau Astana Hadlirin Jepara (Laily Nihayati)

Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan Raden Abdul Jalil atau dikenal dengan Sunan Jepara.

Bulan lalu saya dan keluarga mengunjungi bulik yang tinggal di “Kota Ukir” tersebut. Selain bersilaturahmi, kami berniat berburu ukiran untuk menghias rumah. Zaki, sepupu saya berbaik hati mengantar kami ke sentra-sentra ukir di Jepara. Saya membeli beberapa vas dan tempat aksesoris yang dihias ukiran indah, sementara kakak saya membeli kaligrafi yang dibingkai dengan kayu berukir.

Menjelang Zuhur, Zaki mengajak kami ke sebuah masjid. Lokasinya berada di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara. Dari pusat kota Jepara, jaraknya sekitar lima kilometer arah selatan. Sesuai dengan lokasi, masjid ini bernama Masjid Mantingan atau dikenal juga dengan Masjid Astana Sultan Hadlirin.

Gapura lengkung bertulis kalimat syahadat menyambut. Kami menaiki tangga berundak untuk masuk ke halaman masjid. Suasana asri langsung terasa begitu menapakkan kaki di halaman masjid yang banyak ditumbuhi tanamanan. Kendi-kendi berjajar rapi menghias latar masjid. Zaki bercerita, kendi-kendi tersebut menyimpan air yang dipercaya masyarakat Jepara bertuah untuk menguji kejujuran seseorang setelah meminumnya. 

Perpaduan Kekayaan Budaya

Azan berkumandang. Kami langsung menuju tempat untuk berwudu dan bersiap melaksanakan salat Zuhur berjamaah. Usai ibadah, saya beranjak menuju dinding masjid yang dihiasi dengan panel relief. Saya amati bentuk-bentuknya yang beragam. Ada yang persegi, lingkaran, geometris, dan heksagon. Menariknya, di dalam panel-panel ini terdapat relief beraneka motif, mulai dari sulur, bunga, daun, untaian tali, bangunan, candi hingga binatang yang distilir (disamarkan).

Teknik stilir tersebut menunjukkan peralihan seni Hindu-Buddha ke Islam yang melarang menggambarkan makhluk bernyawa. Adapun relief geometris dan flora (sulur-suluran tumbuhan) merupakan adaptasi dari seni kaligrafi. 

Panel relief tidak hanya terdapat di dinding depan masjid, tetapi juga ada di dinding belakang dan dinding pembatas antara ruangan tengah dengan ruang di samping kiri dan kanan. Saya hitung jumlahnya ada 51 panel relief yang terpasang. Zaki mengatakan totalnya ada 114 panel relief, sisanya disimpan dalam sebuah museum sederhana di samping masjid.

Tidak hanya panel relief yang menarik perhatian, arsitektur bangunan masjidnya pun menawan. Atapnya berbentuk tumpang, disangga dengan empat tiang atau soko guru. Terdapat mustaka di atasnya, khas masjid kuno Jawa. Masjid ini memiliki lantai tinggi yang ubin dan undak-undakannya didatangkan langsung dari Makau. Pengaruh seni Cina yang lain terlihat pada piring-piring tembikar berwarna biru yang menghiasi dinding luar masjid. 

Jejak agama dan budaya Hindu juga tampak di area masjid seluas 2.935 meter persegi ini. Di antaranya gapura yang berbentuk lengkungan sebagai pintu masuk kawasan masjid, gerbang Candi Bentar pada makam, dan beberapa petilasan candi meski kini tak utuh lagi.

  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara

Jejak Sejarah Kesultanan Demak 

Masjid Mantingan dibangun pada era Kesultanan Demak. Melalui prasasti “Rupa Brahmana Warna Sari” yang terukir di mihrab, diketahui pembangunan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak ini rampung pada 1481 Saka atau 1559 Masehi. 

Pembangunan masjid tersebut diinisiasi oleh Ratu Kalinyamat. Dikutip dari buku Sejarah dan Hari Jadi Jepara (1988), nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retno Kencono. Ia adalah putri dari Sultan Trenggono (1521–1546), pemimpin kerajaan Islam Demak. 

Sebelum diangkat menjadi sultan di Demak, Trenggono pernah menjabat sebagai bupati di Jepara. Di masa itulah, Pangeran Toyib—putra dari Sultan Aceh yang bernama Mughayat Syah—datang ke Jepara untuk berdakwah. 

Pangeran Toyib dikenal sebagai seorang ulama sekaligus saudagar yang gemar berkelana menuntut ilmu hingga ke mancanegara. Salah satu negara yang ia singgahi adalah Campa, Tiongkok. Di sana ia diangkat menjadi anak seorang menteri kerajaan Campa bernama Tjie Hwio Gwan. Pangeran Toyib mendapat nama baru Tjie Bin Thang atau Win-tang dalam ejaan Jawa.

Kemudian, Win-tang dan Tjie Hwio Gwan hijrah ke Jepara. Mereka mendirikan desa Kalinyamat. Win-tang lalu dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Kehadiran mereka disambut baik oleh bupati Jepara. Singkat cerita, sang bupati menikahkan putrinya, Retno Kencono dengan Pangeran Kalinyamat. Ratna Kencana pun mendapat gelar sebagai Ratu Kalinyamat. Mereka berdua memimpin kerajaan Kalinyamat yang berada dalam wilayah Jepara.

Saat masuk menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak, Pangeran Kalinyamat dianugerahi gelar Sayyid Abdurrahman Ar Rumi atau Sultan Hadlirin. Ia diberi gelar Sultan Hadlirin, yang artinya “Raja Pendatang” karena asal-usulnya bukan merupakan orang Jawa asli.

Ketika Trenggono diangkat menjadi sultan Demak, Jepara diserahkan kepada Pangeran dan Ratu Kalinyamat. Wilayah kekuasaan Kerajaan Kalinyamat meluas meliputi Jepara, Kudus, Pati, Mataram (Jogja dan Solo yang masih hutan belantara). Di bawah kepemimpinan keduanya, Kerajaan Kalinyamat mencapai masa kejayaannya. 

Ayah angkat Pangeran Kalinyamat, Tjie Hwio Gwan turut membantu pemerintahaan kerajaan Kalinyamat dan menjadi patih bergelar Sungging Badar Duwung. Ia juga yang mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.

Perebutan Takhta dan Kematian Sultan Hadlirin

Sultan Hadlirin memimpin Kerajaan Kalinyamat sampai tahun 1549. Ia tewas di tangan utusan Arya Penangsang yang berupaya berebut takhta kerajaan Demak. Semua berawal dari perseteruan antara anak-anak Raden Patah (Jin Bun), raja pertama Kesultanan Demak.  Raden Patah memiliki enam putra dari tiga istrinya: Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Surowiyoto, Pangeran Trenggono, Raden Kanduruwan, dan Raden Pamekas.

Sepeninggal Raden Patah, takhta diturunkan kepada Pangeran Sabrang Lor atau dikenal dengan Pati Unus. Penobatan ini tidak ada yang menentang. Semua berlancar mulus lantaran Pati Unus merupakan putra mahkota tertua dari istri pertama. Secara silsilah memang dia yang paling berhak menduduki tampuk kekuasaan. 

Api pertikaian mulai tersulut ketika Pati Unus mangkat atau wafat pada 1521 tanpa meninggalkan putra. Terjadilah perebutan takhta antara Pangeran Surowiyoto dan Pangeran Trenggono. 

Kedua belah pihak saling mengklaim paling berhak menjadi pemimpin kesultanan Demak. Pangeran Surowiyoto atau yang dikenal juga dengan Raden Kikin merasa berhak menggantikan Pangeran Sabrang Lor karena dialah yang berusia paling tua. Masalahnya, Raden Kikin adalah putra dari istri ketiga. Sementara Trenggono, walaupun usianya lebih muda, tetapi ia merupakan anak dari istri pertama Raden Patah. 

Perseteruan kedua putra raja dan para pendukungnya tersebut berlangsung sengit hingga menumpahkan darah. Raden Kikin tewas dibunuh oleh anak buah Sunan Prawoto yang tidak lain adalah putra sulung dari Trenggono. Mahkota pun jatuh ke Trenggono. Perebutan kekuasaan antara putra Jin Bun ini tercatat dalam kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong di Semarang dengan tarikh tahun 1521.

  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara

Sultan Trenggono tewas dalam perang Panarukan tahun 1546. Meninggalnya Sultan Trenggono ini membuka kesempatan Arya Penangsang, putra Raden Kikin untuk merebut takhta. Dalam buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia (2020) karya Binuko Amarseto, disebutkan Arya Penangsang memiliki dendam kesumat terhadap keluarga Sultan Trenggono, terutama Sutan Prawoto yang menjadi dalang terbunuhnya ayahanda. 

Arya Penangsang pun bersiasat mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa pada tahun 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto dan berhasil membunuhnya. Rangkud juga tewas terkena tusukan keris Sunan Prawoto. Tidak berhenti menyingkirkan Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang dianggap sebagai kandidat kuat Sultan Demak berikutnya.

Kematian Sultan Hadlirin membuat Ratu Kalinyamat sedih dan murka. Ia bersumpah akan bertapa hingga Arya Penangsang terbunuh. Untuk mengatasi kesedihannya, Ratu Kalinyamat membuatkan makam serta masjid di daerah Mantingan yang dipersembahkan untuk suaminya, Sultan Hadlirin. 


Referensi

Amarseto, B. (2020). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Istana Media.
Na’am, M. F. (2018). Pertemuan antara Hindu, Cina dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan Jepara. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten jepara.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/feed/ 0 42407
Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa https://telusuri.id/eksplorasi-mengulik-keunikan-pulau-nyamuk-di-karimunjawa/ https://telusuri.id/eksplorasi-mengulik-keunikan-pulau-nyamuk-di-karimunjawa/#respond Fri, 05 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42281 Setelah empat hari kami mengeksplorasi keindahan bawah laut Pulau Karimunjawa, masih dalam rangkaian Ekspedisi Layar Biru Karimunjawa, pada Selasa (19/10/2021) kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Nyamuk. Dua instruktur tetap mendampingi untuk aktivitas penyelaman kami. Kami...

The post Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah empat hari kami mengeksplorasi keindahan bawah laut Pulau Karimunjawa, masih dalam rangkaian Ekspedisi Layar Biru Karimunjawa, pada Selasa (19/10/2021) kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Nyamuk. Dua instruktur tetap mendampingi untuk aktivitas penyelaman kami.

Kami berangkat dari dermaga Pulau Karimunjawa menggunakan KM Bawana Nusantara 98. Kapal ini berlayar setiap pukul 13.00 WIB pada hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu, dengan rute Pulau Karimunjawa–Pulau Parang–Pulau Nyamuk. Adapun jadwal rute sebaliknya adalah hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu setiap pukul 17.00. Meski tidak terlalu besar, kapal dengan harga tiket Rp37.000 per orang ini memiliki fasilitas tempat duduk, toilet, televisi, dan ruang kargo untuk barang penumpang.

Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa
Tampak depan ruang nakhoda kapal KM Bawana Nusantara 98 yang mengantar kami ke Pulau Nyamuk/Lya Munawaroh

Perjalanan ke Pulau Nyamuk memakan waktu selama tiga jam. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku berpindah ke bagian depan kapal yang merupakan area terbuka. Sewaktu akan duduk, seorang bapak paruh baya menyapaku. Setelah bertegur sapa menanyakan asal daerah dan tempat tujuanku, kami pun berbincang agak lama. 

Bapak itu bercerita kalau ia berasal dari Pulau Parang. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri dan sedang ingin pulang kampung. Katanya, ia sering melakukan perjalanan laut seperti ini sewaktu sekolah dulu. Cuma bedanya dahulu perjalanan keluar pulau masih sulit dan perlu biaya besar, apalagi transportasi macam kapal KM Bawana Nusantara 98 belum ada. Berdasarkan informasi, ternyata KM Bawana Nusantara baru beroperasi pada 2021. Sebelum itu, untuk menuju Pulau Nyamuk atau Pulau Parang biasanya masyarakat menyewa kapal nelayan dengan tarif mulai dari 700 ribu sampai 1 juta rupiah. 

Perjalanan kami tak terasa membosankan, karena pemandangan pulau-pulau Karimunjawa begitu memanjakan mata. Sore hari, kami akhirnya tiba di Pulau Nyamuk. Suasana dermaga saat itu sangat ramai. Terlihat banyak anak kecil melompat dan berenang dengan gembira. Banyak pula kuli panggul, hingga ibu-ibu berdaster sambil menggendong anak, yang tampak sedang menunggu kedatangan kapal.

Yang kurasakan pertama kali setibanya di pulau ini adalah keramahan warganya. Mereka menyambut sangat baik kepada para pengunjung atau pendatang. Kami dijemput salah seorang warga dengan menggunakan kendaraan motor roda tiga merek Tossa. Kami diantar menuju rumah Bu Faristiana, posko tempat kami menginap selama tiga hari kegiatan di pulau ini. Saking baiknya, beliau dengan sukarela meminjamkan rumahnya tanpa memungut biaya. Sebagai ganti kami hanya perlu memesan makanan selama kami di rumahnya.

  • Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa
  • Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa

Hanya Ada Satu Desa di Pulau Nyamuk

Seusai membereskan barang-barang, kami berkunjung ke rumah petinggi atau kepala Desa Nyamuk. Kami bermaksud meminta izin untuk melaksanakan kegiatan di desa ini. Meski sebelumnya kami telah berkomunikasi melalui telepon, tetapi sudah sepantasnya kami menemui beliau secara langsung, sekaligus agar bisa mengulik lebih dalam mengenai desa ini.

Desa Nyamuk adalah satu-satunya desa yang ada di pulau seluas 139,5 ha tersebut. Terdapat total 649 jiwa penduduk dengan 222 kepala keluarga, yang terbagi menjadi empat RT dan dua RW. Secara administrasi, Desa Nyamuk termasuk wilayah Kecamatan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Desa ini berdiri sejak tahun 2011 yang merupakan pemekaran dari Desa Parang di Pulau Parang.

Desa Nyamuk dipimpin Bapak Muaziz, yang menjabat sejak 28 Desember 2020 dengan masa akhir jabatan Desember 2024. Pak Muaziz adalah petinggi pengganti dari petinggi sebelumnya yang telah meninggal. Beliau dipilih secara PAW (pemilihan antar waktu), yaitu pemilihan yang hanya melibatkan beberapa tokoh masyarakat, seperti perangkat desa, BPD, tokoh pendidikan, dan tokoh agama.

Kami sangat penasaran dengan asal mula nama Pulau Nyamuk. Atas saran Pak Muaziz, kami menemui seorang perangkat desa yang mengetahui sejarah Pulau Nyamuk. Jika mengacu informasi di internet, pulau ini dinamakan demikian karena bentuknya yang kecil seperti nyamuk. Namun, ternyata ada versi yang lain.

Dari wawancara kami bersama seorang perangkat desa, terungkap bahwa penamaan Pulau Nyamuk berasal dari singkatan “Nyantri Mukti”. Nyantri Mukti diartikan sebagai bakti seorang santri kepada gurunya. Dahulu ada seorang sunan yang menyuruh santrinya menimba ilmu di suatu pulau. Pulau yang ditempati santri tersebut kemudian dikenal dengan Pulau Nyamuk. Cerita tersebut diperkuat dengan adanya petilasan sebuah sumur wali, yang di sekitarnya terdapat makam Syekh Abdullah atau Mbah Sumur Wali.

Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa
Instalasi panel surya di Desa Nyamuk/Lya Munawaroh

Keterbatasan Fasilitas di Desa Nyamuk

Setelah mewawancarai perangkat desa, sebelum petang kami menyempatkan jalan-jalan menelusuri pulau. Para anak kecil Pulau Nyamuk sangat antusias mengantar kami ke sebuah pantai yang tak jauh dari posko. Sebelum mencapai pantai, kami melewati area panel surya yang tak terlalu luas. Panel surya inilah yang menjadi sumber listrik utama di Desa Nyamuk yang dibangun pada 2016. 

Sepetak sumber energi surya ini, tentu belum cukup memenuhi kebutuhan listrik semua warga. Penggunaannya pun masih dibatasi untuk setiap kepala keluarga, yakni hanya sebesar 1.500 kWh per bulan. Jika penggunaan habis pakai biayanya sebesar Rp90.000, sedangkan untuk pengisian ulang listrik dijadwalkan setiap pukul 14.00 WIB.

Desa Nyamuk berada di pulau terluar dari gugusan Kepulauan Karimunjawa dan berada di tengah laut lepas antara Jawa–Sulawesi. Selain keterbatasan pasokan listrik, fasilitas lainnya, seperti transportasi, pendidikan, serta kesehatan juga masih minim. Transportasi kapal yang memadai saja baru ada pada tahun 2021. Apalagi dari segi fasilitas pendidikan. Desa Nyamuk hanya memiliki satu sekolah, yaitu SDN 03 Parang. Setelah anak-anak lulus SD, mayoritas orang tua mengirim anak mereka untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren di kota Jepara atau kota lainnya.

Untuk fasilitas kesehatan, di Desa Nyamuk hanya ada satu bidan desa dan satu bidan dari pemerintah daerah. Keadaan ini tentu menyulitkan masyarakat ketika ingin berobat. Adapun fasilitas ibadah hanya ada satu masjid dan tiga musala yang tersebar di tiga RT.

Di desa ini belum ada tempat ibadah umat agama lain, karena hampir seluruh penduduk Pulau Nyamuk beragama islam. Latar belakang sukunya beragam, mulai dari Madura, Bugis, Buton, dan Jawa sebagai mayoritas. Meskipun merupakan desa kecil, tetapi Desa Nyamuk memiliki potensi wisata yang tak kalah dengan desa lain di Kepulauan Karimunjawa. Desa Nyamuk memiliki pantai-pantai yang indah dengan panorama matahari terbit dan tenggelam.

Kata Pak Muaziz, mulai tahun 2021 pemerintah desa sudah bekerja sama dengan salah satu dosen Universitas Diponegoro untuk memetakan potensi wisata di pulau ini. Kerja sama tersebut tentu diharapkan dapat meningkatkan minat wisatawan untuk mengunjungi Desa Nyamuk.

Fakta Menarik Lainnya di Desa Nyamuk

Selama menelusuri dan mengamati Desa Nyamuk, kami menemukan fakta-fakta menarik. Selain ramah, masyarakat Desa Nyamuk juga kental dengan budaya gotong royong. Hal itu sebenarnya sudah kami amati saat di dermaga. Semua warga saling membantu dalam aktivitas bongkar muat barang ketika kapal telah tiba atau akan berangkat. Kegiatan gotong royong juga dilakukan ketika membangun tower Wifi bersama.

Fakta menarik lainnya, di desa ini kebanyakan kendaraan bermotor tidak mempunyai plat nomor. Kami berasumsi, itu karena akomodasi dari Desa Nyamuk menuju pusat pemerintahan Karimunjawa cukup jauh dan harus menyeberang beberapa kali. Sehingga mungkin saja sebagian warga desa enggan untuk mengurus syarat administrasi kepemilikan kendaraan bermotor. Alasan lainnya, bisa saja karena di desa ini kecil kemungkinan adanya kasus pencurian serta tidak adanya razia dari polisi. Mereka sering meninggalkan kunci motor mereka di motor tanpa merasa takut.

Di Desa Nyamuk hampir setiap rumah memiliki gazebo pribadi dan terpasang hammock di depan rumah. Kalau fakta yang ini tak begitu mengherankan, karena cuaca di sini ketika siang hari sangat terik dan panas. Daripada berada di dalam rumah menahan gerah, akan lebih nyaman bagi masyarakat Desa Nyamuk bercengkerama dengan keluarga atau beristirahat setelah melaut, sambil merasakan terpaan angin sepoi-sepoi.

Fakta selanjutnya, masyarakat Desa Nyamuk dalam mengakses internet sangat bergantung pada WiFi. Itu karena hanya jaringan seluler yang kuat, seperti Telkomsel yang memiliki sinyal di desa ini. Setiap rumah di desa ini pasti memiliki WiFi, tetapi ada juga WiFi umum yang dipasang di Balai Desa Nyamuk. Namun, kabarnya dalam kurun waktu terdekat provider Telkomsel akan dibangun dan dikembangkan di Pulau Nyamuk. 

Hal penting selanjutnya yang membuatku kagum adalah desa ini bersih dan asri. Selama kami mengelilingi desa, hampir setiap halaman rumah warga sangat bersih dan hampir tidak ada satu helai daun di teras rumah. Padahal ada banyak pohon tumbuh subur di depan rumah. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat hebat karena belum tentu bisa diterapkan oleh kami sebagai mahasiswa yang bergelar pencinta alam.

Fakta terakhir, karena dikelilingi oleh lautan luas, Desa Nyamuk menyimpan hasil laut melimpah. Tak heran jika mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan. Meskipun begitu, beberapa penduduk juga ada yang berkebun dan beternak. Selain hasil laut, kondisi tanah desa ini juga sangat subur. Beberapa tumbuhan dapat tumbuh baik, seperti mangga, kelapa, dan tanaman rambat lainnya. 

Setiap sisi Desa Nyamuk memang unik dan menarik. Kekhasan potensi dan keramahan warga desa bisa menarik minat pengunjung untuk singgah di pulau ini dengan tujuan berlibur atau melakukan kegiatan sosial. Berbagai upaya juga masih terus dilakukan oleh pemerintah setempat dan penduduk sekitar untuk membuat desa ini lebih maju lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksplorasi Mengulik Keunikan Pulau Nyamuk di Karimunjawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksplorasi-mengulik-keunikan-pulau-nyamuk-di-karimunjawa/feed/ 0 42281
6 Hal Menarik dari Jepara selain Kartini https://telusuri.id/6-hal-menarik-dari-jepara-selain-kartini/ https://telusuri.id/6-hal-menarik-dari-jepara-selain-kartini/#respond Sat, 22 Apr 2017 21:08:15 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=608 Selain Blitar, mungkin tak ada kota yang memiliki asosiasi lebih erat dengan tokoh sejarah dari Jepara. Begitu kata “Jepara” masuk ke dalam telingamu, pasti pikiranmu akan langsung menuju pada tokoh emansipasi wanita Indonesia, R.A. Kartini,...

The post 6 Hal Menarik dari Jepara selain Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain Blitar, mungkin tak ada kota yang memiliki asosiasi lebih erat dengan tokoh sejarah dari Jepara. Begitu kata “Jepara” masuk ke dalam telingamu, pasti pikiranmu akan langsung menuju pada tokoh emansipasi wanita Indonesia, R.A. Kartini, yang terkenal dengan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-suratnya pada kawan-kawannya di Eropa. Tapi tahukah kamu kalau di kota ini tidak cuma punya Kartini?

1. RM Panji Sosrokartono

RM Panji Sosrokartono via merdeka.com

Kakak laki-laki Kartini ini disebut-sebut sebagai yang menginspirasi Kartini untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan emansipasi wanita. Ia adalah salah seorang poliglot mula Indonesia yang konon menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa nusantara. Kecerdasannya membuatnya menjadi pemuda Indonesia pertama yang kuliah di Negeri Belanda. Tak main-main, ia sekolah di Leiden. Selepas kuliah, Sosrokartono menjadi wartawan The New York Herald Tribune. Ia ditugaskan untuk meliput Perang Dunia I dan demi memudahkan pekerjaannya, ia diberikan pangkat Mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat.

2. Ukiran

ukiran dari jepara

Ukiran Jepara via berdesa.com

Jepara dan ukiran ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Alkisah orang pertama yang memperkenalkan ukiran adalah Sunan Kudus, salah seorang dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Menurut ceritanya, ketika Sunan Kudus tiba di Jepara, sebuah benda pusakanya yang disebut tata terjatuh. Tata inilah yang kemudian menjadi alat untuk mengukir bagi seniman-seniman dari Jepara. Ukiran Jepara bisa kamu temukan di berbagai perabot kayu, dari mulai kursi, meja, almari, pintu, dan lain-lain. Deretan showroom ukiran dan mebel bisa kamu temukan di sekitar Kecamatan Tahunan.

3. Pindang Serani

Pindang serani via sajiansedap.grid.id

Makanan seperti sop kepala ikan, dengan kuahnya yang bening ini, adalah kuliner khas dari Jepara yang mesti kamu cicipi ketika berkunjung ke sana. Kamu tak akan kesulitan menemukannya sebab restoran yang menjajakan pindang serani bertebaran. Harganya pun tidak terlalu mahal untuk ukuran makanan yang berbahan dasar ikan bandeng atau ikan kembung.

4. Durian dari Jepara

Pasar Durian Ngabul via merdeka.com

Tugu Durian di Pasar Ngabul didirikan bukan tanpa alasan. Selain ukiran, Jepara juga termasyhur dengan duriannya. Datanglah ke Pasar Ngabul antara November hingga Desember dan kamu akan menemukan banyak penjual durian—siang ataupun malam. Kalau beruntung kamu juga bisa mencicipi durian petruk (dinamakan seperti itu karena bentuknya mirip hidung tokoh pewayangan, yakni Petruk) yang sekarang sudah lumayan langka.

5. Pantai Bandengan

Pantai Bandengan via lostpacker.com

Beberapa puluh menit dari pusat kota, Pantai Bandengan punya banyak atraksi yang bisa kamu nikmati. Di sana kamu bisa sekadar duduk-duduk menikmati suasana pantai, menyewa kano untuk didayung sekitar Pantai Bandengan, atau pergi dengan kapal sewaan ke Pulau Panjang yang terletak tak seberapa jauh dari pantai. Sekilas, garis Pantai Bandengan terlihat seperti Pantai Kuta, dengan beberapa resor dan payung-payung besar tempat orang-orang bisa duduk berjemur.

6. Karimunjawa

Karimunjawa/Rendy Cipta Muliawan

Sekitar 6 jam dengan ferry atau 1,5 jam dengan kapal cepat, kamu bisa mencapai Karimunjawa dari Pelabuhan Kartini, Jepara. Karimunjawa memang lumayan dekat dari Jepara. Katanya, kalau udara sedang bagus-bagusnya, dari Puncak Gunung Muria kamu bisa samar-samar melihat Karimunjawa mengapung di atas lautan. Waktu yang paling pas untuk ke Karimunjawa adalah musim kemarau, ketika angin tidak terlalu kencang dan ombak tidak terlalu tinggi.

The post 6 Hal Menarik dari Jepara selain Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/6-hal-menarik-dari-jepara-selain-kartini/feed/ 0 608