jogja walking tour Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jogja-walking-tour/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 17 May 2024 04:21:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 jogja walking tour Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/jogja-walking-tour/ 32 32 135956295 Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja https://telusuri.id/tur-jaba-beteng-jalan-kaki-melihat-sejarah-kota-jogja/ https://telusuri.id/tur-jaba-beteng-jalan-kaki-melihat-sejarah-kota-jogja/#respond Fri, 17 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41942 Mendung perlahan menipis dilahap terik matahari yang mulai menebal. Bangunan Indis sisa peninggalan pemerintah Hindia-Belanda, Bank Indonesia, berdiri kokoh di belakang Hans, pemandu perjalanan dan kami berdiri persis di hadapannya. Kami berkumpul menikmati suasana titik...

The post Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendung perlahan menipis dilahap terik matahari yang mulai menebal. Bangunan Indis sisa peninggalan pemerintah Hindia-Belanda, Bank Indonesia, berdiri kokoh di belakang Hans, pemandu perjalanan dan kami berdiri persis di hadapannya. Kami berkumpul menikmati suasana titik nol kilometer Jogja  yang tak pernah lekang dipadati pengunjung.

Ini kali pertama saya ikut tur jalan kaki “Jaba Beteng, Sejarah Singkat Kotamu”. bersama Jogja Good Guide (JGG). Perusahaan travel—sesuai templat media sosial mereka—yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Kalau saja tidak diajak teman saya, Fajar, mungkin saya tidak akan mengenal perusahaan travel berbasis komunitas ini. Komunitas yang terlihat amat tekun mengenalkan apa yang ada di balik layar utama kota Yogyakarta—gedung-gedung warisan kolonial—kepada wisatawan yang berkunjung ke kota ini. 

Bagi sebagian atau bahkan kebanyakan turis, baik yang lokal maupun mancanegara, berkunjung ke kota yang terkenal akan keunikannya adalah pelabuhan untuk bersenang ria. Bukankah berlibur adalah waktu untuk tenang, waktu melupakan sejenak beban-beban pekerjaan yang setiap hari mencekikmu?

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Titik kumpul awal tur di depan Bank Indonesia sembari menunggu peserta lain/Janika Irawan

Bangunan tua memang terkesan unik dan indah. Ia menebarkan aroma harum. Aroma yang membuat turis mendekat lalu menjepretnya dengan kamera. Bangunan-bangunan tua itu menjadi latar yang paling diminati. Namun, jika hanya dijadikan latar foto, bukankah bangunan-bangunan baru hasil kreasi arsitektur modern telah jauh melampaui keterpukauan kita terhadap bangunan peninggalan sejarah, dan kita menganggapnya barang yang tidak penting lagi?

Akan tetapi, menganggapnya sebagai narasi yang tidak lagi penting adalah keterbatasan—mungkin juga kemalasan—saya dan kita semua. Maka dari itu, saya rasa, Hans dan tentu komunitas yang ia kelola, ingin berbagi cerita atau informasi itu. Ia ingin wisatawan yang berkunjung ke Yogya sedikit lebihnya merasa memahami kota ini. Seperti yang dia bilang, ia tidak ingin orang yang berkunjung ke Yogya hanya sekadar menikmati suasana keramaian, angin yang berembus, berbagai kudapan, tempat-tempat wisata, dan pertunjukan budaya. Kalau hanya itu, apalah artinya berkunjung ke Yogya? Bukankah semua itu bisa dinikmati di kota mana pun?

“Paling tidak, setelah berkunjung ke Yogya ada pengalaman yang bisa diceritakan.” Kiranya begitulah kata Hans pada kami. 

Kantor Pos, Titik Nol, Bank BNI, dan Gereja Londo

Setelah berkumpul dan mendengarkan estimasi waktu perjalanan serta jalur yang akan kami lalui, Hans memandu kami bergegas. Ia mengajak kami ke arah barat. Titik awal pemberhentian di depan Kopi Pakpos. Hanya sekitar lima puluh meter dari titik kumpul sebelumnya. Sebuah kafe yang terletak di gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta. 

Hans mulai bercerita tentang sejarah kantor yang sekian lama menjadi alat yang sangat krusial bagi persuratan atau komunikasi jarak jauh itu. Dari masa kejayaannya, hingga perubahan cara mengirim surat menjadi menyediakan banyak pelayanan layaknya aplikasi pembayaran tagihan listrik, PDAM, sampai jasa antar paket. Peradaban yang canggih dan pernah menjadi media hubung yang sangat penting itu, belum lagi dengan infrastrukturnya yang tentu saja menghabiskan banyak biaya, kini telah kalah canggih oleh satu mesin zaman: gawai. 

Hans memandu kami beralih ke titik nol kilometer. Titik nol Yogyakarta ini memang agak berbeda dari kota-kota lainnya. Biasanya, di kota lain—terutama kota besar—titik nol sering terdapat kolam air mancur. Menurut Hans, dulu kolam semacam itu juga ada. Namun, karena satu dua hal untuk efektivitas lalu lalang kendaraan di kota yang sibuk, bukankah air mancur di tengah jalan raya itu merepotkan? 

Menengok ke arah titik nol, tempat yang sering dikerumuni mahasiswa untuk menuntut keadilan pada penguasa yang culas itu, Hans mendongakkan kepalanya. Bangunan Indis dengan plang Bank BNI bercokol kokoh di sana. Hans pun bercerita terkait dengan sejarah singkat bank yang didirikan oleh Sumitro, bapaknya Prabowo Subianto. Dan tentu ceritanya hanya sebatas itu, sebelum kami menutupnya dengan berfoto. 

Setelah itu, kami lekas berjalan ke arah timur, melewati trotoar yang selalu saja ramai oleh turis. Titik keringat di muka Han menandakan pagi yang gerah. Namun, langkahnya menjadikan kami tidak pernah letih. Ia begitu bersemangat.

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Belajar sejarah berdirinya Gereja Katolik Santo Franciscus Xaverius/Janika Irawan

Di depan Taman Pintar kami menyeberangi jalan dan berhenti di trotoar seberang. Tepat di hadapanku berdiri Gereja Santo Fransiskus Xaverius. Hans mulai bercerita tentang Taman Pintar. Pembangunan awalnya dimulai pada tahun 2004. Visinya adalah menjadi sarana belajar dan edukasi kepada para siswa untuk mengenal sains. Sesudahnya, beralih ke kisah gereja tertua di Yogyakarta yang dibangun pada masa kolonial Belanda kisaran tahun 1800-an. Namun, sebelum itu, Pater YB Palinckx selaku pendiri gereja telah lebih dulu membentuk pastoran di Yogyakarta.

Gereja tersebut memiliki dua nama, yakni Gereja Kidul Loji dan Gereja Londo. Disebut “Gereja Kidul Loji” karena letaknya berada di sisi selatan kawasan bekas permukiman Belanda: Loji. Kemudian “Gereja Londo” sering diucapkan warga sekitar yang melihat pada awal gereja terbangun, umat Kristen dari Belanda lebih dominan.

Kelenteng Fuk Ling Miau dan Ndalem Yudhonegaran

Dari situ, kami berjalan ke arah timur, melintasi perempatan Gondomanan dan memasuki Kelenteng Fuk Ling Miau. Gerbang bangunan berwarna merah itu memiliki simbol dua naga yang berhadap-hadapan di atas atapnya. Seperti sebelumnya, Hans langsung bercerita soal kelenteng ini.

Menurut Hans, kelenteng ini awalnya memang diperuntukkan bagi pedagang Tionghoa yang aktif berdagang di Pasar Beringharjo. Usut punya usut, kata Hans, dulu orang-orang Tionghoa sangat berpengaruh terhadap perputaran ekonomi pasar. Maka, kelenteng ini merupakan penghargaan penguasa setempat kepada orang Tionghoa untuk berserah kepada “tuhan” kepercayaan mereka. Hanya saja, lagi-lagi tanah tempat berdirinya bangunan merah merona ini tetap milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Hans (berkacamata) bersemangat menceritakan sejarah Kelenteng Fuk Ling Miau/Janika Irawan

Hans pun memanggil bapak-bapak yang keluar dari kelenteng tak lama setelah kami sampai di sana. Dia segera meminta izin untuk masuk dan kami pun diperbolehkan masuk dengan satu syarat: tidak boleh mengambil foto di dalam kelenteng!

Saya memandangnya dengan penuh tanda tanya sekaligus tetap berprasangka. Yang sakral, yang suci adalah rahasia, dan tentu memamerkannya mungkin bukanlah pilihan yang tepat. Mungkin tidak boleh difoto karena ada nuansa kesakralan yang tidak boleh dipublikasikan ke khalayak.

Namun, hal ini agak sedikit anomali. Pasalnya, foto suasana di dalam kelenteng sangat gamblang tertera di peta manusia modern, yakni Google Maps. Lalu apa artinya pelarangan itu? Saya hanya ingin mengabadikan momen, bapak yang terhormat! Ah, sudahlah, tidak perlu berdebat. Yang harus saya pegang hanya satu, saya hanyalah tamu. Selayaknya tamu saya hanya bisa menerima tanpa harus membantahnya.

Setelah panjang lebar Hans menceritakan berbagai pernak-pernik peribadatan di dalam kelenteng, kami melanjutkan perjalanan menuju persinggahan singkat kami, yaitu di Jadah Tempe Mbak Carik. Salah satu makanan kesukaan Sultan Jogja ke-XI, kata Hans pada kami. Di tempat ini kami tak berlama-lama. Hans memandu kami untuk beralih ke lokasi lain. 

Tak jauh dari situ, kami sampai di Ndalem Yudhonegaran. Hans masuk gapura dengan cat yang telah termakan usia. Kami ikut bersamanya. Di dalamnya ada sebuah pendopo yang dipenuhi “Ferrari” jenis lama. Tentu bukan sungguhan, melainkan ini “Ferrari” kerajaan: sebuah delman. 

  • Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
  • Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja

Setelah saya melihat delman yang berjejer itu, saya mencari-cari di sekitarnya; ke mana Darsam, tokoh yang sangat menyeramkan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer itu? Apakah dia sedang tidur? Apakah Nyai Ontosoroh juga sedang terlelap di dalam? Ke mana Annelis? 

Soal Darsam, entah kenapa sosok ini membuat saya selalu punya ketakutan tersendiri kepada orang Madura. Seseram itukah?

“Delman Darsam,” seloroh saya kepada Fajar, rekan dalam tur yang disambutnya dengan senyum.

Di sebelah timur pendopo ada kandang kuda. Dua kuda besar yang mungkin senilai ratusan juta (atau bahkan miliaran)? Entahlah saya tidak tahu harga pasaran makhluk kesukaan kerajaan itu. Hewan yang menjamur menghidupi banyak orang Jogja. Menukar jasanya kepada para turis yang ingin merasa sensasi naik delman Darsam, eh bukan, delman saja. Tanpa Darsam, tetapi dikemudikan oleh “Darsam” yang lain.

Sebuah Penutup di Alun-alun Utara

Seusai di Ndalem Yudhonegaran, Hans memandu kami ke arah barat. Awalnya saya kira akan berbelok ke kiri melewati lorong Plengkung Wijilan lalu jalan kaki menuju Alun-alun Kidul. Sebaliknya, Hans memandu kami lurus ke arah Alun-alun Utara. Tepat di sebelah jalan alun-alun yang telah berpagar besi dengan lapangan rumput hijau yang tertutup pasir layaknya gurun Sahara itu, Hans menghentikan langkah kami. 

Ia mengatakan, salah satu latar belakang dari pemagaran ini adalah kesucian atau kesakralan tempat itu. Kesucian; apa artinya kesucian? 

Hans bukan saja menghentikan langkah kami. Hans menghentikan sesi tur pagi itu setelah dua jam berjalan kaki. Hans mungkin cukup kelelahan, tetapi rasanya kaki kami jauh lebih lelah. Mungkin juga suaranya mulai habis, disedot penjelasan kantor pos hingga alun-alun utara yang gersang.

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Hans menutup tur hari itu persis di depan Alun-alun Utara/Janika Irawan

Ia menyodorkan kode QR—seperti keterangan sebelumnya, perjalanan ini tidak gratis. Kami sepakat soal itu, memberikan imbalan seikhlasnya pada jasanya telah menemani perjalanan dan memberikan banyak cerita. Namun, menyebutnya imbalan saya rasa kurang tepat. Lalu apa yang paling tepat? Entahlah. Apa pun, berapa pun, perjalanan singkat dengan cerita yang panjang ini sangat berkesan, Hans.  Saya teringat lagi kata Hans di awal, “Paling tidak, setelah berkunjung ke Yogya ada pengalaman yang bisa diceritakan.” 

Akan tetapi, Hans, apakah setiap orang harus tahu cerita di balik bangunan tua itu? Sedangkan teknologi hanya mengajarkan cara nampang di depan gedung bersejarah, di pantai biru, di pemandangan perbukitan, dan di tempat-tempat lainnya hanya untuk mengambil gambar. Apalah artinya cerita yang kau maksud, Hans? Apakah gaung pariwisata pemerintah daerah untuk kemajuan ekonomi perlu hal semacam itu? Apakah pencerita mampu menampung semua yang berkunjung ke kota ini?

Kami pun berpamitan dan pergi. Di satu sisi yang sangat subjektif, saya senang. Namun, di sisi lain, berbagai pertanyaan itu terus menghantui saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tur-jaba-beteng-jalan-kaki-melihat-sejarah-kota-jogja/feed/ 0 41942
Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/ https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/#respond Mon, 14 Nov 2022 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36158 “Silahkan berkumpul di sebelah sini, teman-teman. Kita akan mulai kegiatannya karena sudah hampir pukul sembilan,” pengeras suara dari Erwin memecah keramaian para peserta walking tour yang sudah berkumpul sedari tadi. Para peserta mulai merapatkan barisan...

The post Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
“Silahkan berkumpul di sebelah sini, teman-teman. Kita akan mulai kegiatannya karena sudah hampir pukul sembilan,” pengeras suara dari Erwin memecah keramaian para peserta walking tour yang sudah berkumpul sedari tadi. Para peserta mulai merapatkan barisan dan memperhatikan arahan Erwin.

“Selamat datang dalam kegiatan kolaboratif antara Jogja Walking Tour dan teman-teman TelusuRI. Hari ini kita akan berkunjung ke Kotabaru sisi sebelah timur. Perkenalkan nama saya Erwin, saya yang akan menjadi story teller hari ini…”

Azlina, sebagai perwakilan dari TelusuRI kemudian menyambut dan berterima kasih kepada para peserta yang telah hadir untuk mengikuti kegiatan ini. Ia kemudian menjelaskan secara singkat latar belakang kolaborasi ini, yang salah satunya selain untuk belajar sejarah yang ada di Yogyakarta, juga menjadi ruang pengumpulan donasi penanaman karang bersama Carbon Ethics.

Sebelum memulai perjalanan, Erwin mengingatkan para peserta untuk tetap memakai masker selama kegiatan berlangsung karena pandemi yang masih berlangsung. Masing-masing kepala kemudian mengangguk paham dan menyetujui arahan Erwin demi menjaga kesehatan.

Sejarah Kotabaru, Yogyakarta

“Siapa yang baru pertama kali ke Kotabaru? Apakah sudah semua? Kalau sudah, mari kita pulang,” celoteh Erwin disertai tawa para peserta. Kotabaru memang sering menjadi persinggahan atau pun hanya sekedar perlawatan bagi masyarakat sekitar Jogja. Kawasan ini kalau secara kasat mata seperti jalanan pada umumnya yang berhias lampu jalan dan pepohonan, namun yang membuatnya lebih istimewa adalah sejarahnya.

Kotabaru adalah sebuah kelurahan yang terletak di kemantren Gondokusuman, Yogyakarta dengan kode pos 55224. Kelurahan ini berawal dari kota taman masa kolonial yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono VII untuk pemukiman orang Belanda.

Semua bermula saat Kesultanan Yogyakarta berdiri. Awalnya Yogyakarta satu dengan Surakarta: Kerajaan Mataram Islam, kemudian pecah menjadi dua karena konflik di internal dalam istana. Dua saudara dari satu ayah, beda ibu yaitu Raja Mataram Islam terakhir yakni Sultan Pakubuwono II dan adiknya Pangeran Mangkubumi yang berseteru karena Pakubuwono II terlalu dekat dengan VOC waktu itu. Sebagaimana yang kita tahu, VOC memang ingin menjadikan Mataram sebagai wilayah kekuasaannya, dengan menciptakan berbagai intrik.

Jogja Walking Tour
Peserta berkumpul di depan Perpustakaan Kota Yogyakarta mendengarkan penjelasan dari Erwin mengenai sejarah Kotabaru/TelusuRI

Banyak kebijakan Mataram Islam yang disetir oleh VOC. Sehingga membuat Mangkubumi merasa campur tangan VOC terlalu jauh dan akhirnya memilih untuk meninggalkan istana, dan membuat pemberontakan terhadap VOC. Karena VOC sudah mencengkeram Mataram Islam, maka Mangkubumi juga harus menghadapi Pakubuwono II.

Pakubuwono II juga yang akhirnya memindahkan pusat keraton dari Kertasura menjadi Surakarta akibat adanya pemberontakan Sunan Kuning pada 1742. Mangkubumi kemudian bergabung dengan Pangeran Sambernyawa untuk menyerang Pakubuwono II. Hingga Pakubuwono II meninggal dan dilanjutkan oleh Pakubuwono III, peperangan ini terus berlanjut selama 1746 – 1755 menghasilkan Perjanjian Giyanti, yang membagi kekuasaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta.

Meski Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Pakubuwono I telah mempunyai kekuasaan, VOC meminta imbalan kepada Kesultanan Yogyakarta dalam bentuk lahan sebagai pemukiman orang-orang Belanda, dan yang pertama didirikan adalah Benteng Vredeburg. Karena jumlah orang Belanda yang semakin penuh pasca Perang Diponegoro yang mana Yogyakarta harus diawasi secara ketat, maka dibukalah pemukiman kedua di sebelah timur Benteng Vredeburg yang dinamakan Loji Kecil.

Ketika Loji Kecil juga kelebihan beban untuk menampung orang-orang kulit putih yang mulai berdatangan karena penerapan tanam paksa pasca perang, maka dibukalah pemukiman lain di Bintaran. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memutuskan untuk membuka perekonomian daerah kolonial kepada swasta. Perkembangan pabrik gula yang begitu pesat membuat Bintaran menjadi penuh, dan akhirnya dibukalah pemukiman selanjutnya yakni Kotabaru.

Penjelasan singkat Erwin didengarkan seksama oleh para peserta, meskipun matahari semakin membakar kulit dan di jalanan kendaraan sudah hilir-mudik. Erwin juga mempersilahkan para peserta untuk bertanya sebelum memulai perjalanan menyusuri Kotabaru.

Cerita di Seberang Museum TNI AD Dharma

Erwin kembali melanjutkan ceritanya mengenai arsitektur Kotabaru, saat kami tiba di Jalan Jendral Soedirman, tepatnya di seberang Museum TNI AD Dharma Wiratama. Ia pun menunjukkan peta lama kawasan Kotabaru yang dibuat sekitar 1920-an. Dari peta tersebut, kami melihat bagaimana Kotabaru tumbuh menjadi satu kawasan dengan sistem radial konsentris, ada satu titik pusat dan jalan menyebar seperti jaring  laba-laba. 

Jogja Walking Tour
Peserta mendengarkan penjelasan dari Erwin mengenai Museum TNI AD Dharma/TelusuRI

Kotabaru tidak seperti jalanan Jogja pada umumnya yang masih menganut tata kota tradisional yang berpatokan dengan mata angin (utara-selatan), yang mana terlihat dari pembuatan jalan yang masih beririsan dan tegak lurus. Hal ini juga yang membuat orang-orang di Jogja tidak pernah buta arah, karena sudah masuk sejak alam bawah sadar. Menurut keterangan Erwin, Kotabaru adalah pelopor desain tata kota radial konsentris, yang kemudian baru diikuti oleh kawasan lainnya seperti Jetis. 

Erwin kemudian menjelaskan sejarah gedung Museum TNI AD Dharma dan peruntukannya pada zaman dahulu. Dulunya, gedung ini difungsikan sebagai administrasi pabrik gula yang mengurusi wilayah Jogja dan Jawa Tengah. Menyusul kemudian pada zaman Jepang, gedung ini berfungsi sebagai markas tentara Jepang untuk area Yogyakarta. Pasca revolusi kemerdekaan, gedung ini beralih menjadi markas TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh Jenderal Besar Sudirman dan Jenderal Urip Sumoharjo.

Erwin meraih sesuatu dari dalam tasnya, kemudian tangannya menjulur ke langit dan memperlihatkan secarik foto kusam. Sebuah foto jalan dan sebuah bangunan yang berdiri di atasnya, di lokasi sekarang yang berdiri Gramedia Sudirman. Memang, yang abadi dari kita itu hanya kenangan, yang kemudian bisa diterangkan dengan jelas melalui fotografi. Saatnya melanjutkan ke titik pemberhentian berikutnya.

Secuil Kisah dari Rumah Sakit Bethesda

Berjalan ke arah timur menuju RS Bethesda, Erwin mengajak kami menyusuri Jalan Johar Nurhadi. Kami berhenti di bahu jalan, tepat di depan BAG KLAS & VIP gedung Rumah Sakit Bethesda. Ia pun menceritakan bahwa rumah sakit ini lebih dulu ada sebelum kawasan Kotabaru berkembang.

Pembangunan rumah sakit ini diinisiasi oleh seorang dokter bernama Jan Gerrit Scheurer atas bantuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Rumah sakit ini kemudian berdiri dengan nama Zendingsziekenhuis Petronella, sesuai dengan misi penyebaran agama Kristen dan nama Petronella sendiri diambil dari istri seorang pendeta bernama Coeverden Andirani yang menyumbang biaya untuk pembangunan rumah sakit.

Jogja Walking Tour
Erwin menjelaskan mengenai RS Bethesda/TelusuRI

Erwin menerangkan salah satu keberhasilan Zending dalam menerapkan syiar agama Kristen adalah pembangunan fasilitas umum yang mengayomi masyarakat kecil. Hal ini coba diadopsi oleh Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam modern yang bermarkas di Yogyakarta untuk mengedepankan pembangunan yang bersifat sosial seperti sekolah, klinik, atau rumah sakit.

“Rumah sakit ini, bagi orang Jogja yang lawas dinamakan sebagai Rumah Sakit Pitulungan atau Dokter Pitulungan,” terang Erwin sembari menerangkan asal muasal nama pitulungan—yang mau menolong siapa saja tanpa memandang ras, suku, atau agama. Dengan statusnya sebagai bangunan bersejarah yang telah menjadi cagar budaya, bangunan aslinya tak tersentuh perubahan, kecuali ada penambahan di belakang gedung untuk memperluas area bangunan. Dan yang paling berubah semenjak masa kemerdekaan, tentu saja nama rumah sakitnya yang sekarang bernama Rumah Sakit Bethesda.

“Ini salah satu fasilitas publik yang tersedia sehingga pemerintah kolonial Belanda memilih kawasan ini,” tutur Erwin seraya menutup sesi penjelasan rumah sakit ini, dan kami siap beralih ke bangunan selanjutnya.

Satu Lokasi Coffee & Store

Hari yang sudah semakin panas tidak mengendorkan semangat kami untuk mengikuti langkah Erwin di sepanjang trotoar di Jalan Sereh. Kami berhenti tepat di bawah rimbunan pepohonan, yang untungnya bisa sedikit menyejukkan dalam kepungan riuh kendaraan. Sembari meluruskan kaki untuk menghindari varises, kami semua kemudian menyimak penjelasan Erwin tentang garden city.

“Arsitektur kawasan Kotabaru menganut konsep yang namanya garden city. Garden city dicetuskan oleh arsitek kenamaan dari Inggris yang bernama Ebenezer Howard,” ucap Erwin.

Ebenezer Howard beranggapan bahwa arsitektur Eropa ketika berlangsungnya revolusi industri sangat tidak sehat karena pabrik dan rumah penduduk berdiri di tempat yang sama hingga berdempetan. Hal ini kemudian dituangkan Ebenezer Howard dalam idenya “garden city” sebagai reformasi sosial yang menggabungkan pedesaan yang hijau dengan perkotaan yang padat. Erwin kemudian menyebutkan ciri-ciri bangunan yang menganut konsep garden city: bangunan jauh dari jalan, gaya bangunan minimalis, dan pagar yang pendek.

Salah seorang peserta tur kemudian bertanya, apakah status bangunan di Kotabaru sudah masuk cagar budaya? 

Sayangnya, hanya kawasan Kotabaru saja yang sudah mengantongi gelar cagar budaya, selain bangunan-bangunan utama yang ada di kawasan ini, bangunan-bangunan hunian hanya sedikit yang didaftarkan sebagai cagar budaya. Perlawatan ini kemudian berlanjut ke Rumah Sakit Dokter Soetarto

  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour

Rumah Sakit Dokter Soetarto

Sebelum melipir ke Memorabilia Akademi Militer Jogja, kami menyempatkan diri untuk mampir ke depan Rumah Sakit Dokter Soetarto. Kami duduk di trotoar sembari menunggu para peserta lain yang masih tertinggal di belakang. Dulunya, rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus militer Belanda yang berdiri semenjak 1913.

“Jadi di sini menunjukkan bahwa kawasan Kotabaru dibangun secara gradual atau bertahap. Nggak semua langsung dibangun,” terang Erwin.

Sekarang, rumah sakit difungsikan untuk melayani masyarakat umum, tidak hanya dari kalangan militer. Namun, orang-orang Jogja mengenalnya sebagai DKT (Djawatan Kesehatan Tentara).

Memorabilia Akademi Militer Jogja

Kembali berjalan dalam beberapa langkah, kami sudah sampai di depan ruangan Memorabilia Akademi Militer Jogja. Erwin memperkenalkan kami pada koordinator memorabilia yang bernama Pak Angelo. Setelah bertegur sapa dan memperkenalkan diri, kami bergegas memasuki ruangan. Memorabilia ini cukup mengantarkan siapapun yang masuk untuk melihat foto-foto kuno mengenai perjuangan militer Indonesia di Yogyakarta, dokumen-dokumen militer, senjata-senjata masa lampau yang dipajang, hingga diorama tentara Indonesia pada masa itu.

Pak Angelo mulai merangkai kata-kata untuk menjelaskan kepada kami semua yang masih memperhatikan setiap detail ruangan. Beliau menceritakan bagaimana proses penerimaan akademi militer dari angkatan pertama, sejarah penamaan akademi militer beserta logonya, hingga gedung-gedung militer yang dipakai untuk sarana dan prasarana akademi, yang sekarang sudah tergantikan dengan bangunan baru.

Ruangan ini adalah ruang nostalgia, sekaligus ruang belajar untuk melihat bagaimana tentara tumbuh dan hadir untuk negara, apalagi saat itu Indonesia masih harus banyak belajar membangun militer yang kuat dan tangguh untuk menjaga keutuhannya yang masih seumur jagung.

  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour

Monumen Serbuan Kota Baru

Tetenger ini didirikan untuk memperingati puncak pengambil alihan kekuasaan dari pihak Jepang di Yogyakarta dengan serbuan senjata dan pertumpahan darah yang dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945.”

Saya membaca tulisan tersebut lekat-lekat, bersama nama-nama pejuang yang telah gugur di medan perang.

“Serbuan Kotabaru terjadi pada saat peringatan ulang tahun kota Jogja, sehingga selalu yang kita kenal pada tanggal 7 Oktober adalah Hari Ulang Tahun Kota Jogja yang selalu diperingati di tugu, sehingga peristiwa Kotabaru jarang sekali orang yang tahu,” jelas Erwin. Waktu yang terbatas membuat kami tidak bisa berlama-lama di area monumen ini, kami langsung menuju ke titik selanjutnya, yakni SMPN 5 Yogyakarta.

SMPN 5 Yogyakarta

Kami menyeberangi jalan, melihat lalu-lalang kendaraan yang melaju seenak jidat, kemudian sampai di depan gedung SMPN 5 Yogyakarta. Dari depannya saja, gedung sekolah ini terlihat kekunoannya, dan masih terawat. Erwin kemudian mengambil pengeras suara dan menerangkan kepada kami sejarah mengenainya.

“Ini adalah salah satu sekolah yang dibangun di era kolonial. Dulu bernama Normaalschool voor Inlandsche Onderwijzeressen, dulunya adalah sekolah guru,” papar Erwin. Sekolah guru ini dikhususkan untuk mencetak kader guru, yang nantinya akan disebar di pelosok-pelosok untuk mengajar membaca, menghitung, dan menulis. Ini adalah salah satu upaya politik etis pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Jawa adalah dengan memajukan pendidikan yang ada—termasuk di Yogyakarta. Gedung ini juga pernah digunakan sebagai asrama militer pada kurun waktu 1945-1949. Seiring dengan pindahnya asrama militer dan dikembalikannya gedung ini pada pemerintah Kota Yogyakarta, akhirnya pada 1951, gedung ini diresmikan sebagai gedung sekolah SMPN 5 Yogyakarta.

“Bangunannya masih asli, cuman ada penambahan di bagian tengah dan belakang,” tambahnya sambil menerangkan bagian-bagian bangunan yang masuk dalam kawasan gedung SMPN 5 Negeri Yogyakarta. Erwin juga menjelaskan ironi Kotabaru dengan bangunan lamanya; ada yang terus dipertahankan dan ada juga yang sudah berganti dengan bangunan baru. Erwin menunjukkan apa saja yang masih tersisa dari keaslian bangunan di Kotabaru. Kami dan para peserta mengekor di belakangnya hingga beberapa saat. Tanaman-tanaman yang ditanam puluhan tahun lalu sekarang memayungi trotoar di tengah jalan, yang diterpa panas dan polusi Kota Yogyakarta, dan kami berjalan dengan cepat diikuti rentetan knalpot kendaraan.

Sebelum mengakhiri sesi walking tour kali ini, Erwin mengajak kami merefleksikan apa saja yang terjadi di Kotabaru.

10.000 for Coral
Peserta Walking Tour 10.000 for Coral/TelusuRI

“Berdasarkan hasil penelitian Balai Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, bangunan yang masih asli (yang tidak mengalami perubahan) dari keseluruhan bangunan di Kotabaru ini tinggal 38 persen, 32 persen bangunan baru, 18 persen mengalami perubahan minimal, 12 persen mengalami perubahan fasad,” ia kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada yang lebih serius “Salah satu penyebab banyak berubahnya bangunan di Kotabaru ini adalah tingginya harga pajak bumi dan bangunan di kawasan Kotabaru.”

Kotabaru adalah bagian dengan pajak tertinggi yang ada di Yogyakarta. Inilah yang akhirnya membuat banyak rumah hunian yang berubah menjadi toko-toko, sebab pemilik rumah juga membutuhkan uang untuk membayar PBB yang mahal. Oleh karena itu, Kotabaru berubah menjadi pusat perekonomian, yang awalnya hanya sebatas lahan perumahan. Erwin khawatir bahwa bangunan-bangunan kuno ini semakin lama akan semakin terkikis, karena pemilik bangunan enggan mendaftarkannya sebagai cagar budaya. Hal ini coba ditangani oleh pemerintah pusat dengan mengupayakan peniadaan PBB untuk bangunan bersejarah.Di akhir perjalanan, kami menyempatkan diri untuk mengambil foto dan saling bersalaman satu sama lain. Dari walking tour kali ini, setidaknya kami bisa melihat sisi Yogyakarta lainnya yang kaya sejarah kolonial dan permasalahan yang menderanya. Terima kasih kepada seluruh peserta yang telah mengikuti kegiatan walking tour kali ini, bersama Jogja Walking Tour, sampai jumpa di walking tour selanjutnya bersama TelusuRI!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/feed/ 0 36158