Johannes Agustinus Dezentje Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/johannes-agustinus-dezentje/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 25 Aug 2024 06:48:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Johannes Agustinus Dezentje Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/johannes-agustinus-dezentje/ 32 32 135956295 Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/#respond Wed, 28 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42570 Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.)...

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, sang tuan tanah asal Ampel, Boyolali.

Meski tidak secara langsung, J. A. Dezentje banyak berkontribusi dalam perkembangan Surakarta. Namun, sayang tidak semua warga dan pemerintah kota mengetahui. Hal ini dapat dimaklumi, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak paham dan sok-sokan bercerita. Lebih lagi jika anak serta keturunannya masih hidup dan mendengar cerita yang jauh berbeda dari faktanya. 

Selama perjalanan dari hotel menuju tujuan pertama, Floris bercerita sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Ia mengaku jika tujuannya menelusuri jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis adalah untuk melanjutkan silsilah keluarga yang terputus. Harapannya, setelah ia wafat nanti anak-anaknya mau melanjutkan penelusuran dan merekam semua yang ditemukan. Bersama sang paman, Floris mengawali niat baik menelusuri jejak ketiga leluhurnya di Jawa Tengah. Ia juga menambahkan, akan secara periodik menyambangi Jawa Tengah dan melacak jejak bersama kami.

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)

Eksistensi Masa Lalu Keluarga Dezentje di Surakarta

Lalu lintas Jalan Slamet Riyadi cukup ramai di pagi itu. Pelan-pelan kami menyeberang jalan untuk menyambangi salah satu kediaman Dezentje. Kini menjadi rumah dinas wali kota Surakarta atau Loji Gandrung. Setelah mendapat izin pihak rumah tangga wali kota, kami manfaatkan waktu mengabadikan kediaman hingga bagian dalam.

Floris tak henti takjub dan tertegun melihat keindahan detail ornamen yang ada. Merujuk catatan keluarga yang ia miliki, Loji Gandrung awalnya didirikan sebagai hunian perempuan Belanda bernama Dorothea Boode, istri pertama Dezentje.

Tidak tercatat pasti sejak kapan rumah tersebut dibangun. Ada dugaan pembangunannya awal tahun 1800, lalu direnovasi seperti ini oleh Ir. Charles Prosper Wolf Schoemaker tahun 1910. Dezentje dan Dorothea memiliki sedikitnya tujuh anak. Tak ayal, mereka menempati kediaman ini untuk keluarga besar.

Sebagai anak laki-laki dari August Jan Caspar, seorang perwira militer pengawal pribadi keluarga raja, Dezentje cukup dekat hubungannya dengan putri keraton Kasunanan Surakarta. Tidak lama kemudian ia menjalin kasih dan menikahi putri Sunan Pakubuwana VIII, Raden Ayu (R.Ay.) Tjondrokusumo.

Pernikahan keduanya digelar mewah di keraton. Tamu dari Eropa dan kerajaan lain datang silih berganti. Sebagai hadiah pernikahan, sunan memberikan tanah kerajaan di Ampel untuk tempat tinggal sang putri dan Dezentje.

Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo tidak menyia-nyiakan kesempatan dan memutuskan tinggal bersama di Ampel, serta menempatkan Dorothea di Loji Gandrung. Mereka tidak bercerai, justru menjalin hubungan yang harmonis. Jika Dorothea ingin anjangsana ke Ampel diterima hangat oleh Dezentje dan sang istri. Begitu juga sebaliknya.

Bahkan menjelang akhir hayat Dorothea, mereka setia menemani di Loji Gandrung. Dorothea wafat di rumah ini dan dimakamkan di Europeesche Graafplaats atau kompleks makam Eropa (Belanda) di Sangkrah.  

Iring-iringan pelayat dan karangan bunga memenuhi kediamannya. Simbol bahwa ia sangat dihormati dan disegani. Pascapemakaman, tercatat Loji Gandrung dihuni anak-anak hingga tahun 1942. Setelahnya mereka hidup berbeda negara, beberapa di antaranya kembali ke Belanda. 

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
Tampak depan Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung/Ibnu Rustamadji

Menuju Ndalem Doyoatmojo dan Museum Radya Pustaka

Kami melanjutkan penelusuran di lokasi kedua, yakni Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung. “Oh, Tuhan. Ini indah dan mewah sekali. Di Belanda dan Singapura tidak ada seperti ini,” seru Floris sambil bercanda.

Menurut cerita pemilik saat ini, Ndalem Doyoatmojo didirikan sekitar tahun 1880. Penamaan Doyoatmojo diambil dari nama keluarga besar Doyoatmojo yang notabene pengusaha jarik batik tulis Tiga Negeri.

Hanya saja, Ndalem Doyoatmojo di abad ke-19 sempat berpindah tangan ke keluarga pengusaha Tionghoa, Kwik Djin Gwan. Sebagai kediaman Tionghoa, lazim ada altar leluhur. Kediaman ini pun masih menyimpan altar leluhur Kwik hingga saat ini, meski hanya altar gaya oriental tanpa papan arwah atau foto keluarga.

Ndalem Doyoatmojo digunakan Kwik Djin Gwan cukup lama. Setelah Kwik wafat, barulah terbengkalai hingga kemudian menjadi kantor Kodim Kota Surakarta. Sempat beralih kepemilikan ke Setiawan Djody, sekarang kembali menjadi milik keluarga besar di bawah nama Nur Doyoatmojo.

“Saya tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata betapa mewah dan penuh cerita rumah ini,” ujar Floris.

Puas mengabadikan keindahan Ndalem Doyoatmojo, kami berjalan kaki menuju museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka. Menyadur informasi dari perpustakaan Radya Pustaka, diketahui jika bangunan ini pertama kali didirikan pada 28 Oktober 1890 di kompleks Kepatihan Surakarta (kini hilang) oleh Patih Sosrodiningrat IV dan Sunan Pakubuwana IX.

Gedung museum saat ini sejatinya merupakan tempat tinggal Kapten Infanteri KNIL Johannes Busselaar dan sang istri, Maria Louise don Griot. Patih Sosrodiningrat IV awalnya membeli rumah tersebut atas perintah Sunan Pakubuwana IX, bertepatan dengan pindah tugasnya Johannes Busselaar ke Jember. 

Tahun 1909 menjadi titik balik berdirinya Radya Pustaka di Sriwedari saat ini. Radya Pustaka pun berkembang sebagai pusat pengumpulan naskah kuno, arca Hindu-Buddha, hingga peninggalan Kasunanan Surakarta.

“Kemarin kita membicarakan Francois Deux di Ampel yang memiliki hubungan dengan Napoleon Bonaparte. Lihatlah porselen cendera mata dari Napoleon Bonaparte untuk Sunan Pakubuwana IX ini,” ungkap saya.

Jelas bahwa keluarga Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo memiliki kekerabatan erat dengan penguasa Prancis tersebut. Beranjak semakin ke dalam, bertemulah dengan satu patung setengah badan dari Johannes Albertus (J. A.) Wilkens, penerjemah kepercayaan Raden Ngabehi Ronggowarsito di Surakarta.

Makam J. A. Wilkens ada di Jebres. Namun, sayang pada 1960 hingga 1970 seluruh kompleks makam dibongkar. Salah satu yang terselamatkan makam J. A. Wilkens. Patung setengah badan dan epitaf nisan sejatinya replika dari monumen makam. Tidak diketahui bagaimana nasib makam lainnya. 

Dari Keraton Kasunanan Surakarta ke Kampung Eropa

Puas di Radya Pustaka, perjalanan kami berlanjut ke keraton Kasunanan Surakarta. Kali ini kami dipandu abdi dalem untuk dapat menikmati halaman bagian dalam. Setelah berkeliling dan mendapat banyak cerita masa lalu keraton, tiba-tiba saya terpikirkan untuk kembali menyambangi pendhapa (pendapa) bersama Floris.

Kami segera beranjak menuju halaman dalam untuk menikmati keindahan pendapa dan panggung sanggabuwana. Tidak lama kemudian, kami keluar untuk memotret kondisi keraton saat ini dan melanjutkan perjalanan menuju bekas Verzorgingsgesticht atau sekolah dasar untuk anak pekerja perkebunan di Surakarta. Mereka tinggal di sini dengan fasilitas cukup lengkap. Dana didapat melalui lelang dan sumbangan sukarelawan pemilik perkebunan.

“Oh, ya. Verzorgingsgesticht didirikan J. A. Dezentje, namun atas nama sang istri, Dororthea Boode,” jelas Floris.

Puas memotret sembari menikmati es krim gelato, langkah kaki kami beranjak menuju ke Gereja Sangkrah, bekas Europeesche Graafplaats Sangkrah. Salah satu keluarga Belanda yang dimakamkan di sini adalah Dorothea dan kedua orang tuanya. Kini, keberadaan makam Belanda di Sangkrah hilang, tanpa menyisakan satu pun di areal halaman gereja. 

Menjelang siang, kami berjalan menuju Kampung Eropa di utara Gereja Sangkrah. Floris tak berhenti kagum melihat sisa eksistensi Kampung Eropa tertua di Surakarta tersebut. Berbekal foto lama kampung ini, ia mencoba mengabadikan kondisi sesuai tempat fotografer kala itu berada. Kami juga memotret tiga gang dan rumah indis yang tersisa.

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)

Menutup Perjalanan di Pura Mangkunegaran

Jelang senja, selepas istirahat makan siang di RM Nini Thowong dan mengunjungi kerkop Jebres—kini pasar di depan Stasiun Jebres—kami melanjutkan penelusuran di Pura Mangkunegaran. 

Sampai di lokasi, kami dipandu oleh siswa magang dari sekolah pariwisata. Kami tidak keberatan, karena setiap tempat yang kami datangi memiliki aturan yang harus ditaati.

Penelusuran di dalam Pura Mangkunegaran dimulai dari halaman depan menuju pendhapa ageng dan ndalem ageng. Lalu berlanjut menuju halaman belakang, termasuk paviliun Gusti Nurul, ruang makan tamu kenegaraan, dan kembali lagi ke halaman depan. Selama penelusuran, kami mendapat banyak cerita dan ragam detail yang tidak banyak diketahui orang awam. 

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
Floris tengah mengabadikan detail patung singa penjaga pendapa Pura Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Floris ternyata baru kali ini menginjakan kaki di Pura Mangkunegaran. Ia mengetahui bahwa leluhurnya, R.Ay. Tjondrokusumo, memiliki kekerabatan dengan Gusti Mangkunegara IV. Ia sempat meminta saya untuk membantunya melacak hubungan silsilah antara dua keluarga tersebut, dan berjanji akan kembali untuk penelusuran bersama.

Tentu butuh waktu untuk menyelesaikan misi tersebut. Rencananya bulan September 2024 ia akan kembali bersama dengan pamannya dari Belanda. Perjalanan merangkai simpul ingatan dari keluarga Johannes Agustinus Dezentje, di Kabupaten Boyolali dan Surakarta resmi kami akhiri di Pura Mangkunegaran.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/feed/ 0 42570
Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/#respond Mon, 26 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42557 Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan...

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan dari Yogyakarta.

Pertemuan pertama kami didasarkan atas rasa penasaran Floris mengenai informasi di peta digital, yang menyebutkan nama J. A. Dezentje sebagai pemilik awal rumah dinas wali kota Surakarta, Loji Gandrung. Ia lantas menghubungi saya melalui pesan singkat untuk mencari jawaban.

Floris merupakan buyut dari Dezentje. Ia ingin mengunjungi Indonesia dan meminta bantuan kami melacak jejak leluhurnya, berdasarkan data keluarga yang ia miliki. Kami pun bersedia melakukan penelusuran bersama. 

Senin (10/6/2024) di kediaman saya, di Boyolali, menjadi awal pertemuan kami. Sebelum penelusuran, Floris ingin bertemu orang tua saya untuk bercengkerama. Ia lantas memperkenalkan diri dan menyampaikan, rela menempuh perjalanan jauh dari Belanda menuju Singapura dan Indonesia demi mencari jejak leluhurnya tersebut.

Ibu saya tertegun mendengarnya, karena berpikir tidak ada peninggalan Belanda di Boyolali. Setelah 50 menit mengobrol dan foto bersama, kami memulai perjalanan.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Bersama Floris Kleemans (kanan) dan ibu/Ibnu Rustamadji

Sisa Jejak Perkebunan Kopi Keluarga Dezentje di Boyolali

Tujuan pertama kami berada di Desa Cluntang, Kecamatan Musuk. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari kota, tibalah kami di SDN 1 Sruni. Tempat ini dulunya pabrik kopi dan teh “Baros Tampir”. Ladang perkebunan warga dahulu merupakan perkebunan kopi dan teh.  Jejak yang tersisa berupa bak penampungan air, tepat di belakang SDN 1 Sruni.

Merujuk catatan keluarga Floris, pemilik pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” adalah Dezentje. Jika dilihat dari jalan desa, reruntuhan pabrik tidak tampak. Kami harus berjalan melalui perkebunan warga untuk dapat menyaksikan secara utuh. 

Sesampainya di lokasi, Floris dan rekan kami sangat heboh melihat reruntuhan yang saya maksud. “Wow, amazing melihatnya. Akan saya abadikan, untuk keluarga saya di Belanda,” kata Floris menggunakan bahasa Inggris. 

Ada 12 bak air, masing-masing memiliki kedalaman sekitar tujuh meter. Fungsi awalnya diduga sebagai sistem pengairan perkebunan dan menyuplai kebutuhan air pabrik. Merujuk catatan Floris, pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” di Cluntang diperkirakan sudah eksis sejak 1830.

Pabrik tersebut didirikan guna memproduksi teh dan kopi di lereng timur Gunung Merapi. Hanya saja sisa pohon kopi tidak banyak. Pohon tehnya malah hilang tak tersisa.

Gedung pabrik berorientasi ke timur, guna mempermudah proses pembersihan biji kopi arabika terbaik yang akan diekspor ke Belanda. Biji kopi pascapanen harus dibersihkan dengan air mengalir sebelum dimasukan ke dalam karung goni. Selanjutnya dilayarkan dengan kapal dagang menuju Belanda dan negara Eropa lainnya.

Perkebunan kopi Dezentje terbentang sangat luas, mulai dari lereng timur Gunung Merbabu di Salatiga hingga lereng timur Gunung Merapi di Boyolali. Rumah keluarganya ada di Kecamatan Ampel, Boyolali. Puas mengabadikan reruntuhan tersebut selama satu setengah jam, penelusuran kami lanjutkan ke Desa Tampir. 

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)

Makam Belanda, Pabrik Pewarna Kain Indigo, dan Pabrik Serat

Kami membutuhkan 10 menit berkendara dari Cluntang ke Tampir. Selain reruntuhan struktur pondasi pabrik kopi “Baros Tampir”, kami juga menemukan satu Europeesche Graafplaats atau makam Belanda tanpa nama di Tampir.

Sesampainya di lokasi, rekan-rekan semakin takjub dengan temuan makam Belanda tersebut. Bagi mereka menarik karena makam itu berbentuk obelisk dengan hiasan broken column atau kolom patah bagian puncak.

Kolom patah bermakna terputusnya kehidupan seseorang. Tidak semua orang Belanda yang wafat di Indonesia—Hindia Belanda kala itu—memiliki makam seperti ini. Ada dugaan di dalamnya mendiang pengawas perkebunan atau pengawas pabrik kopi “Baros Tampir”. 

Sayangnya, tidak ada catatan pasti yang bisa kami identifikasi. Sembari mengobrol, kami membersihkan sedikit rumput liar yang menyelimuti fisik makam guna mencari relung yang tempo hari lalu saya temukan. 

“Nah, akhirnya ketemu [relung itu]! Tertutup runtuhan pilar patah. Ini ada relung dengan ekspos batu merah berbentuk setengah lingkaran,” ungkap saya.  

Kami menduga relung tersebut seharusnya tempat nisan makam. Nisan menghadap barat, dengan hiasan broken column pada bagian puncak. Sayang posisinya kini tertimbun tanah. 

“Saya penasaran dengan keberadaan D’Abo di Boyolali. Apakah ini makam dari D’Abo di ‘Baros Tampir’?” tanya Floris. Tidak kami duga sebelumnya, ternyata Floris mencari jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis.

Saya menyahut, “Kami tidak bisa menjawab, karena minim data di stamboom keluarga dan tidak ada nisan di sini.”

Kami pun beranjak turun menuju reruntuhan pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir. Sekitar 150 meter dari lokasi makam. Tepatnya di perusahaan air minum Tirta Ampera. Setelah mendapat izin, kami lantas mengeksplorasi halaman belakang tepat di mana struktur pondasi berada.

“Oh, ini, ya, lokasi pabrik ‘Baros Tampir’ milik kakek buyut saya,” ujar Floris penuh semangat.

Merujuk catatan yang ia bawa, ada sekitar lima pabrik kopi milik Dezentje di Boyolali. Dua di antaranya “Madoesita” dan “Baros Tampir. Pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir dibangun lebih muda, sekitar tahun 1890. Namun, sekarang tinggal reruntuhan pondasi, bak penampungan air, dan lantai pabrik. 

Kami lalu memutuskan melihat reruntuhan lain di seberang jalan. Satu jam berlalu tanpa kami sadari, kami sampai beranjak ke peninggalan ketiga yang tidak kalah epik di Dukuh Madu, Desa Sukorame, Musuk. Terdapat reruntuhan pabrik pewarna kain indigo, satu-satunya milik Dezentje selain kopi dan teh. 

“Luar biasa, kamu bisa menemukan reruntuhan seperti ini. Paman saya pasti senang bertemu kamu. Tolong ajak kami keliling kembali,” pintanya. 

Pabrik indigo ini dibangun sekitar awal 1903 sebagai pusat produksi warna kain sogan biru, untuk pewarna alami kain batik di Surakarta. Keberadaan bak air tentu sangat membantu perkembangan industri. Sumber air dari bendungan di Desa Wonorejo, Musuk, dialirkan melalui pipa air besi menuju pabrik.

Air yang dialirkan sangat terkontrol dari hulu hingga hilir. Bukaan kecil di setiap sudut bak mengindikasikan hal tersebut. Apabila air meluap, akan mengalir menuju selokan kecil di sekeliling bak hingga keluar di bak penampungan terbesar.

“Sekitar satu bulan lalu, ada warga yang menunjukan di barat desa ini ada bekas jembatan lori. Saya cek masih ada dua batang rel kereta menjadi bagian dari jembatan baru. Tetapi kalau makam Belanda tidak ditemukan,” jelas saya.

Kami melanjutkan penelusuran menuju Desa Tambak, Mojosongo. Ada cerobong asap pabrik serat milik Dezentje di sana.

“Kebetulan, saya ada foto lama pabrik serat tersebut dari Leiden. Nanti bisa kita bandingkan,” ungkap saya. 

Sampai di tujuan, kami lantas menyandingkan foto lama tahun 1930 dengan kondisi saat ini. Hasilnya, fisik pabrik sudah tidak berbekas. Hanya menyisakan satu cerobong asap. 

Kami menduga pabrik serat “Tambak” berdiri pada awal 1910, sebagai akibat dari perkembangan pabrik kopi dan pewarna yang ada di Musuk. Posisi strategis menjadikan pabrik ini berkembang cukup pesat. Namun, takdir berkata lain. Pascakemerdekaan tidak ada satu pun jejak kejayaan pabrik tersisa.

Tidak ada reruntuhan, tetapi pagar halaman warga di sekitarnya mengisyaratkan kenyataan lain. Struktur pabrik hilang menjadi pemukiman, sekolah, dan ladang. Kami lalu mendekati area cerobong asap. Berimajinasi seperti apa rupa pabrik serat kala itu dan mendiskusikan peninggalan lain Dezentje di Boyolali. 

Mengunjungi Makam dan Kediaman J. A. Dezentje

Kala terik matahari semakin berkilau, kami putuskan istirahat dan makan siang iga bakar Pak Wid. Lelah setelah seharian menapaki jejak perkebunan dan pabrik kopi Dezentje akhirnya terbayar. Satu jam kemudian, kami lanjutkan penelusuran menuju pemakaman dan kediaman J. A. Dezentje.

“Oh, iya. Ada sesuatu yang harus Anda lihat. Anda tahu siapa Francois Deux? Ini satu-satunya makam keluarga dengan epitaf nama Francois Deux,” tanya saya sambil menunjuk sebuah nisan di makam keluarga Dezentje. Setelah dibaca sedikit guratan epitaf yang ada, Floris segera menghubungi pamannya di Belanda untuk mencari tahu sosok Francois Deux.

Menurut informasi sang paman, keluarga Francois Deux memiliki ikatan kekerabatan dengan Napoleon Bonaparte dari Prancis. Dezentje, yang berdarah Prancis, menikah dengan orang Belanda bernama Dorothea Boode. Francois Deux merupakan keponakan Dezentje, yang menikahi salah satu anak Napoleon Bonaparte. Hanya itu informasi yang didapat, karena Francois Deux wafat sekitar tahun 1790.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Diskusi di dalam mausoleum keluarga Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Puas mendapat sedikit jawaban, kami lantas memikirkan akses masuk ke makam keluarga ini di abad ke-18 lalu. Ada dugaan pintu masuk asli berada di barat daya makam, karena areal tersebut memiliki bukaan jalan cukup luas ketimbang sudut lain. 

Selama kami di sana banyak obrolan, tetapi tidak dapat banyak informasi, Mayoritas nisan makam sudah hilang dijarah pada 1970. Meski begitu kami bersyukur kondisi makam cukup utuh dengan beragam hiasan yang menyertai.

Setelah berziarah, kami menuju bekas kediaman keluarga Dezentje di Desa Candi, Ampel. Bermodal foto lama keluaran Leiden tahun 1925, kami langsung memosisikan diri di tempat fotografer kala itu berada. 

“Kita di gerbang masuk halaman. Timur kita adalah kediaman utama, sedangkan di barat kita (belakang kami) adalah alun-alun,” jelas saya.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Posisi kami berada tepat di tempat yang diduga dulunya pintu gerbang kediaman Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Merujuk catatan pendeta Buddhig di laporan kematian Dezentje tahun 1850, kediaman Dezentje di Ampel layaknya keraton kecil, dengan tembok benteng dan empat menara bastion di setiap penjuru. Kini, kediaman dan alun-alun sudah tidak berbekas sama sekali. Meski begitu, Floris tetap merasa bahagia karena akhirnya bisa berada di kediaman leluhurnya.

Langit oranye mulai bergelayut. Kami kembali ke rumah saya untuk berpamitan dengan ibu saya dan merencanakan aktivitas di hari kedua. Satu rekan kembali ke Yogyakarta, sementara kami berdua pergi ke Surakarta untuk bermalam di Royal Heritage Hotel bersama Floris Kleemans. Penelusuran hari pertama kami tutup dengan makan malam ala sultan di Canting Londo Kitchen, Kampung Batik Laweyan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/feed/ 0 42557