kalimantan selatan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kalimantan-selatan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 25 Mar 2025 05:09:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kalimantan selatan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kalimantan-selatan/ 32 32 135956295 Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu https://telusuri.id/pulau-burung-potensi-wisata-kabupaten-tanah-bumbu/ https://telusuri.id/pulau-burung-potensi-wisata-kabupaten-tanah-bumbu/#respond Tue, 25 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46428 Hanya dibatasi selat sempit dengan dataran Kalimantan, Pulau Burung termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pulau yang sekaligus merupakan nama desa ini ditunjuk menjadi taman wisata alam (TWA) di...

The post Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu appeared first on TelusuRI.

]]>
Hanya dibatasi selat sempit dengan dataran Kalimantan, Pulau Burung termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pulau yang sekaligus merupakan nama desa ini ditunjuk menjadi taman wisata alam (TWA) di Tanah Bumbu sejak 2019. Segera setelahnya, pulau ini populer menjadi destinasi wisata alternatif. Unggahan di sosial media dan komentar tentang keindahan pulaunya menghiasi beranda sosial media warga Tanah Bumbu. Namun, di balik gembar-gembor destinasi wisata yang dipromosikan, Pulau Burung masih perlu dukungan pengembangan wisata berkelanjutan.  

Pagi itu, saya bergabung dengan rombongan Komunitas Pegiat Gambar Tanah Bumbu untuk sama-sama menjelajah alam dan folklor di Pulau Burung. Perjalanan ke Pulau Burung dimulai dari dermaga kecil di Pelabuhan Borneo milik warga setempat di Simpang Empat. Sebuah dermaga kayu panjang tempat penyeberangan ke pulau-pulau kecil di sekitar perairan Tanah Bumbu dan Kotabaru. Untuk hari-hari biasa, ongkos menyeberang ke Pulau Burung dikenakan tarif Rp20.000 pulang pergi.

Perahu dikemudikan pelan, meninggalkan lumpur kecokelatan dengan ikan-ikan timpakul yang berkejaran di pasir. Semakin jauh dari dermaga, air laut memamerkan gradasi warna dari yang awalnya cokelat menjadi hijau kebiruan. Sepanjang perjalanan menuju Pulau Burung, pemandangan hutan bakau silih berganti dengan jejeran kapal-kapal berukuran raksasa milik perusahaan yang sedang tertambat.

Perjalanan cukup singkat, hanya sekitar 30 menit. Begitu tiba di Pulau Burung, kami disambut gerbang besar dengan cat warna-warni bertuliskan nama institusi. Kapal pun bersandar di dermaga kayu panjang, mengarahkan kami melewati keramba-keramba kosong sebelum menuju rumah warga yang berkelompok di tepi pantai. 

Sambil menunggu kedatangan rombongan berikutnya, kami mengisi waktu dengan menyusuri titian kayu yang mengelilingi hutan bakau di tepi pulau. Titian yang kukuh dari kayu keras, tetapi beberapa titik sudah rapuh dan ada kayu pijakan yang lepas. Ternyata, titian ini tidak bisa tersambung ke ujung pulau satunya karena ada pembangunan menara penyambung kabel listrik. Kami berbalik arah dan memutuskan beristirahat di bangunan terapung di tepi pantai yang difungsikan menjadi aula.

Begitu rombongan kedua datang, kami duduk membentuk bundaran dan Bang Zak, kami biasa memanggil, selaku ketua komunitas Kopi Ambar, membuka acara dan menjelaskan tujuan kegiatan hari ini. Setelahnya, para peserta berdiskusi terkait praktik penulisan buku bermuatan lokal berjudul Maddonrosulu, sebuah kumpulan cerita penulis lokal yang berlatarkan Kabupaten Tanah Bumbu. Begitu acara berakhir, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Ibu Harmawati.

Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu
Ibu Hj Harmawati, tokoh penting di Pulau Burung/Bayu Andhini

Legenda yang Hidup

Hj. Harmawati, seorang tokoh berpengaruh di Pulau Burung sekaligus pendiri SDN Tunas Nelayan. Pada masanya, ia seorang diri menjadi guru dan mengajar warga desa agar tidak buta huruf. Tidak tanggung-tanggung, demi mendukung pendidikan di desanya, ia menyumbangkan lahan untuk dibangun gedung sekolah, meskipun hanya dengan ruang kelas yang sederhana. Hal yang sudah sangat langka di masa sekarang. Dedikasi dan perjuangannya menjadikan Pulau Burung bukan hanya tempat tinggal warga, melainkan juga contoh perubahan bagi generasi muda.

Dibantu oleh Kepala Desa Pulau Burung Saidina, yang merupakan keponakan Harmawati, kami diceritakan tentang asal usul Pulau Burung dengan legendanya yang berkaitan dengan Pulau Suwangi, yang terletak di bagian bawah Pulau Burung. Sebelum adanya manusia yang mendiami, pulau ini merupakan perwujudan dari ular raksasa yang mati akibat kalah bertarung dengan ular raksasa lainnya. Legenda ini diceritakan lisan secara turun-temurun dan memiliki banyak versi. Namun, versi yang diyakini masyarakat adalah versi miliki Harmawati. 

Kisah ini pun diikuti dengan legenda lainnya yang masih hidup di Pulau Burung. Legenda Batu Beranak misalnya, yang dikait-kaitkan warga sekitar sebagai gerbang menuju alam lain. Sayangnya, rombongan kami tidak bisa berkunjung ke situs tersebut karena juru kunci sedang pergi ke luar pulau. Pak Saidina menjelaskan situs ini dan situs legenda lainnya di Pulau Burung belum menjadi destinasi wisata dan hanya cerita saja yang beredar. Tentu ini bisa menjadi potensi wisata untuk menjadi atraksi menarik bagi pengunjung. 

Legenda lainnya yang dijadikan tradisi tahunan warga adalah situs makam yang berada di bawah pohon beringin besar. Situs ini keramat karena ada cerita tentang pohon beringin yang bisa berdiri kembali setelah roboh. Tradisi kampung itu dikenal warga dengan ‘Mappanre Kampoeng’, sebuah acara tolak bala yang digelar setiap tahunnya. Ritus adat yang dilaksanakan selama bertahun-tahun ini merupakan kearifan lokal warga desa dalam menjaga hubungan mereka dengan alam dan penciptanya. 

Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu
Situs makam Datu Lemmang di tengah hutan/Bayu Andhini

Menuju Wisata Alternatif

Keheningan Pulau Burung memberi kesan bahwa waktu seakan berhenti, membawa kami ke dalam sebuah dunia yang jauh dari hiruk-piruk kehidupan kota. Dengan statusnya sebagai pulau wisata, belakangan pulau ini menjadi rebutan klaim-klaim sepihak oleh suatu instansi tertentu sebagai desa binaan. Padahal nyatanya mereka lebih fokus pada urusan simbolis dibandingkan pembinaan yang berdampak. Misalnya saja pada pengecatan gerbang selamat datang yang seolah telah ada perhatian pada pulau ini. 

Padahal, dengan jarak yang begitu dekat dengan pusat modernisasi Kabupaten Tanah Bumbu, masyarakat di Pulau Burung belum menikmati listrik sepenuhnya. Belum lagi membicarakan pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur lainnya. Kehadiran gapura dan cat yang baru tidak serta-merta membawa dampak positif atau perubahan signifikan bagi kehidupan mereka. Instansi yang mengklaim pulau ini sebagai desa binaan seharusnya berfokus pada pemberdayaan masyarakat dengan program-program yang mendalam, seperti pelatihan keterampilan, pemberian akses pendidikan, dan perbaikan fasilitas dasar.

Mengenai desa binaan dan desa wisata, Pulau Burung merasa lelah untuk terus-terusan mengikuti lomba desa. Hadiah yang tidak sebanding dengan usaha, harus bekerja mempercantik desa, meningkatkan administrasi, dan memenuhi berbagai indikator penilaian, tetapi tidak terlalu banyak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang akhirnya tidak terasa signifikan. Sebuah ironi yang kerap ditemui di desa-desa wisata lainnya. 

Berbagai pihak berwenang perlu duduk bersama mengupayakan ini. Meski potensi wisata sebuah desa cukup besar, tetapi tanpa adanya komitmen Pemkab Tanah Bumbu dan pihak lain, hal ini bisa menghambat kemajuan desa wisata. Tentu saja, warga berharap dukungan pemerintah terhadap inisiatif mereka—memajukan desa sendiri di tengah keterbatasan akses dan fasilitas—sudah semestinya diapresiasi.

Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu
Menyusuri jalan menuju situs makam tua di Pulau Burung/Bayu Andhini

Jalan Panjang Desa Wisata

Terdapat kelompok budidaya mangrove di Pulau Burung, dimulai sejak 2006 oleh kelompok ibu-ibu warga desa setempat. Kelompok ini telah berkembang menjadi pemasok bibit mangrove ke berbagai daerah. Pembibitan ini tidak hanya untuk tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir, tetapi juga peluang ekonomi bagi masyarakat setempat. Dengan kondisi lingkungan yang mendukung, kelompok ini mampu menjadi salah satu sentra penyedia bibit mangrove yang berperan dalam program konservasi di luar daerah.

Selain manfaat ekologis dan ekonomi, masyarakat Pulau Burung juga memanfaatkan kulit batang mangrove sebagai pewarna alami sasirangan, kain tradisional khas Kalimantan Selatan. Warga mengetahui bahwa kulit batang mangrove kaya akan tanin, yang memberikan warna khas pada kain. Meskipun dalam proses pewarnaannya tetap memerlukan tawas sebagai bahan fiksasi agar warna lebih tahan lama. Pemanfaatan ini menunjukkan peran mangrove dalam pelestarian lingkungan dan budaya lokal melalui kriya tekstil yang bernilai ekonomi tinggi.

Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu
Produk kain sasirangan warna alami di Pulau Burung/Bayu Andhini

Menjelajah Pulau Burung menyadarkan saya bahwa desa ini memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya alam, tetapi juga sejarah dan budaya. Bahkan saya baru tahu, Ibu Harmawati merupakan salah satu dari seribu wanita berpengaruh di dunia versi 1000peacewomen.org pada tahun 2005.1

Selain itu, ada banyak situs yang berpeluang dijadikan wisata alternatif. Bahkan sekolah dasar dan cerita inspiratifnya berpotensi menjadikan Pulau Burung lebih dari sekadar pulau kecil, tetapi juga pusat warisan pendidikan dan budaya yang patut dijaga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

  1. Muhammad Helmi, Masuk 1000 Wanita Terbaik Dunia yang Diusulkan untuk Nobel Perdamaian, https://radarbanjarmasin.jawapos.com/feature/1973144198/masuk-1000-wanita-terbaik-dunia-yang-diusulkan-untuk-nobel-perdamaian?page=2, 22 September 2021. ↩︎

The post Pulau Burung: Potensi dan Tantangan Wisata Kabupaten Tanah Bumbu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-burung-potensi-wisata-kabupaten-tanah-bumbu/feed/ 0 46428
Permata di Belantara Meratus (2) https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-2/ https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-2/#respond Sat, 11 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40030 “Kalau ada niat belajar, diajarin [pasti] bisa,” ucapnya sambil menghela napas dengan berat. Kemudian ia beralih menceritakan anaknya yang lain. “Yang paling tua, punya suami orang Jawa.” Tiba-tiba Ipau menyambar omongan Balian Makirim, “Coba yang...

The post Permata di Belantara Meratus (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Kalau ada niat belajar, diajarin [pasti] bisa,” ucapnya sambil menghela napas dengan berat. Kemudian ia beralih menceritakan anaknya yang lain.

“Yang paling tua, punya suami orang Jawa.”

Tiba-tiba Ipau menyambar omongan Balian Makirim, “Coba yang menantu Jawa itu ajarin bebalian.”

“Sudah diajarin betetamba kemarin itu, lampahan [semedi] yang buat tetamba. Cuma beberapa hari dia ngambilnya..”

“Terus gimana, bisa jadi?” Pak Hairiyadi turut penasaran.

“Tiga kali aja mana mau jadi!” keluh Balian Makirim sembari mengepulkan asap ke langit-langit dari lorong napasnya. Dengus amarah istri Yulianus masih terdengar, walau suaranya sudah perlahan menurun—hampir menyerupai orang yang hendak menangis. Tak lama berselang, Balian Makirim pamit untuk mempersiapkan ritual malam ini.

Permata di Belantara Meratus
Berkumpul bersama di rumah Yulianus/M. Irsyad Saputra

Ritual Malam

Kala malam sudah mulai kian pekat, motor dan mobil justru datang dari berbagai penjuru, terparkir di setiap sudut jalan. Orang-orang sudah berjubel memenuhi halaman depan balai kepunyaan Balian Makirim. “Las Vegas” adalah daya tarik orang-orang selain ritual yang akan berlangsung malam ini. Semua orang; laki-laki dewasa, anak-anak, hingga perempuan paruh baya menggandrungi permainan adu nasib dengan lemparan angka tersebut.

Ritual Balai Jelapah dan Tumban pun mulai. Balian Makirim dan Balian Malimpar berputar mengelilingi hiasan dedaunan enau yang berbentuk seperti empat sudut mata angin sembari memegang nyala api di lilin yang berhias dedaunan. Nyala api berpendar di remang malam yang riuh dengan iringan kalimpat, suasana ramai dan sakral bercampur. Para balian juga mondar-mandir di hadapan sangkar ampatung, memohon pelaksanaan ritual selalu diberkahi oleh para punggawa kasatmata, datuk-datuk, dan leluhur. 

Tiba-tiba saja, sesosok perempuan lewat melintasi kerumunan yang sedang menyaksikan ritus. Saya baru melihatnya lagi setelah acara kemarin malam, dan rupanya dia tidak beraksi di ritual pada malam terakhir kali ini. Dengan kikuk, saya mencoba menegurnya.

“Kak, ada waktu? Boleh saya bertanya sesuatu?” kalimat tersebut meluncur dari mulut saya.

Matanya melihat saya penuh heran, kemudian tersenyum saat saya bilang saya ingin lebih banyak tahu perihal balian perempuan di Gadang. Saya masih menunggu jawabnya. Beberapa saat kemudian dia berucap, “Baiklah, tapi tunggu sebentar, ya. Nanti saya kabarin kalau sudah senggang,” ucapnya sambil tergesa berjalan ke arah dapur.

Permata di Belantara Meratus
Tihang rajaki, salah satu unsur esensial dalam kegiatan aruh/M. Irsyad Saputra

Balian Bah Perempuan

Tak lama, ritual pembuka di malam penutup ini sudah usai. Saya bergegas ke dapur balai, menunggu perempuan tersebut tak lagi beraktivitas. Setelah cukup senggang, saya kemudian menyapanya kembali. Sarian memperkenalkan dirinya.

“Apakah menjadi balian karena kemauan sendiri?” pertanyaan tersebut menyeruak dari mulut saya. Menelisik.

“Saya ingin sendiri [menjadi balian] agar bisa menamba’i [mengobati] anak-anak saya,” jawabnya polos. Ia mengakui bahwa baru ritual pada tahun ini ia mengikutinya sebagai balian.

“Memang berapa lama agar bisa dianggap balian yang benar?”

“Kira-kira sekitar lima tahun mungkin. Kan, belajar dulu, baru hafal.”

Sarian tidak pernah mengenyam pendidikan formal sampai tuntas karena di tempat tinggalnya dahulu, Sampana’a, tidak ada institusi pendidikan yang berdiri. Ia sempat mengecap pendidikan dasar kelas satu. Sehari-harinya ia membantu orang tuanya sampai ia menikah di usia muda dan meniti hidupnya sendiri.

Ketika saya bertanya kenapa perempuan harus juga menjadi balian, ia menjawabnya dengan sederhana. Keluarga. Baginya, menjadi balian diperuntukkan untuk melindungi keluarga.

“Saya mau menjadi balian Bah, ai. Agar bisa menenamba’I keluarga ulun,” ucapnya suatu hari pada Balian Makirim, yang akhirnya membukakan jalannya menjadi balian.

Sarian mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah duduk di bangku SD dan SMP. Besar di dunia yang penuh dengan gawai cerdas dan video TikTok berseliweran. Anak-anak yang mungkin saja suatu saat punya mimpi yang lebih besar daripada mimpi ibunya yang bersahaja. Sudikah bila anak-anaknya suatu saat menjadi balian?

“Itu tergantung mereka. Hati mereka niat nggak jadi balian. Jadi, tidak bisa dipaksa. Walaupun orang tuanya balian, tetapi kalau di hati tidak ada kemauan jadi balian, tidak akan jadi balian.” Bunyi tabuhan kalimpat makin membahana di seantero balai. Suara kami menjadi samar, sesamar dusun ini dari peta Kalimantan Selatan. Meskipun malam ini tidak tampil ritual, Sarian tetap sibuk membantu persiapan di dapur. 

Saya juga berbicara dengan Santi dan Katrina tentang akses pendidikan, cita-cita, juga harapan mereka menyangkut Gadang di masa depan. Santi dan Katrina adalah keponakan Yulianus yang mengejar pendidikan tinggi hingga Kotabaru. Mereka mengenyam pendidikan di kampus yang sama STIKIP Paris Barantai Kotabaru. Santi mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan Katrina mengambil jurusan Pendidikan Jasmani dan Rekreasi.

Mengapa mereka ingin mengenyam pendidikan tinggi? Bukankah orang-orang seringkali mencibir bahwa seharusnya perempuan cukup di rumah saja? Apakah pemikiran kuno ini juga membayangi mereka?

“Ibaratnya saya ini di kampung, tetapi kan kampung nggal selamanya menjadi kampung, kemungkinan suatu saat pemerintah bakal membangun di sini. Nggak mungkin, kan, kita bisa kerja di pemerintahan kalau kita nggak sekolah. Dengan kuliah, kita menambah wawasan,” cerocos yang keluar dari mulut Katrina menyiratkan semangat untuk belajarnya. Berbeda dengan Santi, awalnya dia tidak mendapat izin kuliah. Kemudian dia mendaftar diam-diam. Setelah diterima, barulah orang tuanya menyetujui keputusannya berkuliah. Bagi mereka berdua, pendidikan adalah salah satu jalur untuk mengentaskan ketertinggalan.

Kala Sarian adalah wajah Meratus yang masih menuktohkan Meratus dengan religi lama yang sarat akan petuah-petuah bijak yang tersembunyi di laku dan tutur, Santi dan Katrina adalah wajah Meratus masa depan yang menatap moderenitas adalah keniscayaan yang mengambang.

Permata di Belantara Meratus
“Las Vegas” Gadang, tempat mengadu nasib dalam putaran dadu yang diguncang/M. Irsyad Saputra

Adu Nasib di “Las Vegas”

“‘”Las Vegas” dengan penerangan bohlam-bohlam 25-watt penuh dengan semua orang yang mengadu nasib di gelanggang. Uang merah dan biru yg berlipat ganda menjadi taruhan dengan nilai yang tak terperi. Sekali menang, pulang ke rumah dengan senyum menggelegar. Sekali kalah, siap-siap saja dengan omelan istri yang pedasnya akan mengalahkan nasi goreng karet dua. Uang instan memang selalu menggiurkan.

“Bagaimana cara mainnya, paman?” tanya saya pada seorang lelaki bermata cekung yang sedang duduk santai di dalam balai.

“Begini, bila kamu mau taruhan, pasang angka yang kira-kira akan sering muncul. Nah, kalau mau dapat uangnya lebih banyak, kamu pasangnya palang,” mulutnya berbuih menerangkan kepada saya alur mainnya. Namun, saya hanya bertanya. Saya tidak tertarik untuk mencoba—selain karena memang tidak punya uang

Saya menyadari bahwa rombongan Pak Hairiyadi tak satu pun yang berada di balai ataupun di sekitar balai. Begitu juga dengan Balian Makirim. Ke manakah mereka? Saya yang sendirian kembali memandangi dadu-dadu yang terkocok. Lama menunggu, mata saya mulai terasa berat. Acara di balai juga belum mulai. Saya menunggu dalam tidur yang membuyarkan lamunan tentang prosesi ritual kanyaru dan terlelap hingga fajar menjelang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Permata di Belantara Meratus (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-2/feed/ 0 40030
Permata di Belantara Meratus (1) https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-1/ https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-1/#respond Thu, 09 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40023 Sorot dari bola mata itu mulai berpindah ke sudut mata. Melirik tajam orang-orang di sekelilingnya yang memerhatikan ritual secara saksama. Ia mengiringi penghulu yang sedang merapal mantra dan berkeliling rimbunan. Ketika sorot mata itu sampai...

The post Permata di Belantara Meratus (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Permata di Belantara Meratus
Rimbunan/M. Irsyad Saputra

Sorot dari bola mata itu mulai berpindah ke sudut mata. Melirik tajam orang-orang di sekelilingnya yang memerhatikan ritual secara saksama. Ia mengiringi penghulu yang sedang merapal mantra dan berkeliling rimbunan. Ketika sorot mata itu sampai ke arah tempat saya duduk, saya jadi tersipu dan berusaha membuang muka agar ritual tak terganggu dengan kehadiran saya. Sosoknya sudah saya dengar di obrolan sebelumnya tentang eksistensi balian perempuan di Dusun Gadang, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Ia menghayati setiap larik yang terucap dari mulut ayahnya, Penghulu Makirim dengan wajah menunduk. Bibir mungilnya ikut bergerak, mengikuti lantunan irama mantra yang diikuti dendang kalimpat—menabuhkan gema mistis yang merebak ke penjuru balai. Wajahnya bak putri di negeri dongeng orang-orang Austronesia; dengan riasan tipis dan gincu merah keunguan. Namun, di beberapa momen ia terlihat seperti menanggung beban berat di pundaknya. Bukankah harusnya kamu malam ini bergembira?

Saya berpindah tempat, diam-diam mendekatinya untuk mendengar apa yang ia ucapkan. Saya masih tidak bisa mendengar dengan jelas. Para balian—termasuk dia dan Penghulu Makirim—yang berjumlah tiga orang mulai mengelilingi rimbunan lagi dan lagi. Balai yang berada di Dusun Gadang ini hanya seukuran rumah tinggal. Luasnya yang tidak terlalu besar membuat keramaian balai terbagi. Sebagian duduk memperhatikan ritual di dalam dan sebagian lainnya menghabiskan waktu dengan bermain judi dadu di luar balai.

Tidak berapa lama, Balian Makirim menyudahi ritualnya. Kemudian berdirilah sosok muda yang energik dengan badan tegap dan kokoh. Ia mulai merapal mantra, menggantikan peran Balian Makirim yang membimbingnya dari samping. Derap kaki dan irama gelang hyang seirama dengan gerak tubuhnya yang meledak-ledak. Ia juga mengobati orang-orang sakit yang hadir ke balai malam itu dengan berharap kesembuhan. Saking panjangnya ritual malam ini, mata saya tidak lagi mampu menahan amukan kantuk yang mendera. Untungnya, Yulianus berkenan menjadikan rumahnya sebagai tempat istirahat kami.

Permata di Belantara Meratus
Balian Makirim sedang merapalkan mantra-mantra menghadap rimbunan/M. Irsyad Saputra

Berbagi Peran dalam Tradisi

Pagi ini langit berselubung awan. Matahari masih malu untuk bersinar kuat. Gemeresik angin mulai menyapa lewat sela papan kayu. Beberapa orang sudah berkumpul pagi ini untuk mengobrol; berteman biskuit, teh hangat, juga lemang. Mata saya masih terasa berat untuk mengikuti obrolan, saya hanya mendengarkan saja tanpa ada membalas percakapan tersebut. Mereka saling berdebat siapa calon presiden terbaik yang akan memimpin Indonesia ke depannya. Rupa-rupanya, hasrat politik nasional tidak hanya hinggap ke perkotaan, tetapi sampai hingga pedalaman Meratus—yang sinyal selular pun belum singgah.

“Partai politik itu semuanya licik!” ujar salah seorang yang juga menjadi kesimpulan pembahasan politik pagi ini.

Saya juga menyudahi mendengar pembicaraan tersebut dan berjalan keliling kampung. Sisa-sisa malam yang semarak ternyata masih membahana di pagi yang mendung ini. Ritual akan berlanjut nanti malam. Namun, bandar judi sudah bersiap sepagi mungkin, mengais dan membagikan pundi-pundi rupiah. Tentu kepada yang beruntung hari itu. Tuhan mengharamkan bermain judi, tetapi mengizinkan kita berjudi dengan kehidupan. Dan orang-orang Meratus memilih berjudi pada keduanya.

Setelah pagi agak mulai panas, barulah orang-orang mulai bergotong royong membangun panggung sungkai, sangkar jelapah, dan sangkar ampatung. Sangkar jelapah berbentuk seperti perahu, dengan hiasan daun enau dan papan yang bergambar daun dan bunga—yang sepertinya tidak mempunyai pakem tertentu. Gambar daun dan bunga ini adalah hasil karya anak-anak, terlihat dari imajinya yang membentuk coretan-coretan tak simetris. Sangkar ampatung adalah kayu-kayu yang terbentuk menyerupai patung yang mewakili sebagai penjaga-penjaga kampung dan berbekal berbagai macam pahatan senjata. Dan panggung sungkai terbuat dari daun enau yang dibentuk empat sudut berbentuk arah mata angin.

Semua lelaki bekerja keras membuat alat ritual. Begitu pun kelompok perempuan yang merangkai hiasan dan membuat sesajen dan panganan di dapur. Para pemuda lainnya bertugas untuk membakar lemang yang terbuat dari ketan yang sebelumnya sudah diisi ke bambu buluh oleh para perempuan.

Permata di Belantara Meratus
Para perempuan Meratus yang bertugas menghias peralatan ritual/M. Irsyad Saputra

“Apakah bisa pekerjaan lelaki kemudian dikerjakan perempuan dan sebaliknya?” tanya saya pada Ipau, warga yang membantu kegiatan aruh dan juga masih berkerabat dengan Yulianus.

Nggak bisa juga. Beda kerjaannya, beda jalurnya,” jawabnya diselingi tawa mendengar pertanyaan saya yang mungkin terdengar aneh. Pekerjaan di aruh sudah dikelompokkan sesuai dengan kemampuan kerjanya. Para perempuan bertugas merangkai hal-hal yang berhubungan dengan estetika, sedangkan lelaki lebih banyak mengemban pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kekuatan. “Kalau yang meringgit daun ini perempuan yang bisa. Ahlinya.”

Bagaimana soal balian perempuan? Apakah tadi malam yang saya lihat adalah satu-satunya balian perempuan di Gadang?

“Bisa [balian perempuan], tetapi kami di daerah sini jarang juga perempuan ada [yang jadi balian]. Kalau daerah Alai di situ mungkin banyak.”

“Bagaimana dengan anak Balian Makirim?”

“Belum. Itu belum jadi, baru mau mulai [belajar]. Kalau anaknya yang lelaki itu sudah bisa, sudah lulus ibaratnya,” pungkasnya.

Dari cerita Ipau, hanya ada satu balian perempuan yang tersisa di daerah Gadang, namanya Indung Turiah. Umurnya pun sudah tidak lagi muda. Konon, suaminya yang sudah meninggal menemuinya dalam keadaan terjaga dan memintanya untuk melanjutkan tradisi babalian. Namun, ia enggan dan memilih jadi penanamba atau tabib saja.

Permata di Belantara Meratus
Baliawan dan Sarian yang dibimbing Balian Makirim saat memimpin pelaksanaan ritual/M. Irsyad Saputra

Mencari Penerus Balian

Gelap sudah menggerayangi langit temaram yang tampak habis memakan warna cerahnya. Sekelebat angin lewat dan hilang tiba-tiba, menyejukkan suhu yang semula membara kala terik tak lagi dapat ditahan awan. Suara sungai yang debit airnya sudah mulai menipis karena musim kemarau turut mengisi orkestra sore di Meratus yang terpencil. Anak-anak turun mengisi hamparan tanah yang timbul di pinggir sungai, berteriak, dan berlarian sesuka mereka. Sementara menunggu ritual berlangsung nanti malam, kami bersantai di rumah Pak Yulianus sembari berbincang dengan Balian Makirim.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba saja istri Pak Yulianus masuk dan marah-marah. Saya mencuri dengar perihal apa yang sedang mereka permasalahkan. Rupanya, salah satu anak Pak Yulianus yang bernama Reno, tidak mau lagi masuk sekolah.

“Apa kamu tidak mau sekolah lagi? Kalau tidak mau sekolah lagi, ya sudah! Bantu ayahmu berkebun dan kamu tidak akan dapat lagi uang jajan dariku!” suaranya yang lantang menggetarkan seisi rumah. Kami semua terdiam.

Balian Makirim pun mulai memelankan nada bicaranya. Air mukanya berubah menjadi sangat serius, melanjutkan pembicaraan yang tadi terhenti, “Setiap kita menjadi balian, tetap kita menurunkan ke anak. Siap apun mau itu tidak ada halangan. Kalau nggak ada penerusnya, akhirnya habis.”

Memang, dalam hati Balian Makirim, ada keinginan anaknya dapat meneruskan adat yang ia emban. Namun, kemudian ia juga menyadari. Ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan dan harus menyerahkannya kepada sang anak untuk memilih jalan hidupnya. Dari kelima anaknya, hanya dua yang niat belajar balian: Baliawan yang lelaki dan Sarian yang perempuan. Mereka berdualah yang membantunya dalam menggalang ritual kemarin malam.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Permata di Belantara Meratus (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-1/feed/ 0 40023
Di Bawah Langit Balawaian https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/ https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/#respond Thu, 27 Jul 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39444 Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja...

The post Di Bawah Langit Balawaian appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja yang semarak. Orang-orang berkumpul di balai adat dengan beragam rupa: ibu-ibu berdandan menor yang tampil bak Putri Indonesia ala Meratus, para pemuda dengan kaos oblong kebanggaan, juga anak-anak yang mengoceh dan berlarian sepanjang waktu.  

Kami menyalami satu per satu warga yang berada di depan balai. Orang-orang tua menyambut dan menyapa kami lekat penuh persaudaraan, sedangkan yang muda menyambung dengan senyum hangat, seperti baru menyeduh teh. Kami masuk ke balai adat yang penuh oleh cakap-cakap manusia yang sudah berkumpul. Sebelum memulai ritus suci, hadirin dipersilakan menikmati santap malam. Banyak yang hadir di sini, di antaranya warga sekitar, pemangku ritual, dinas-dinas terkait, dan tamu undangan dari desa lainnya. Balai adat tersebut berdiri kokoh di antara kebun dan sungai di Desa Balawaian. Desa ini terletak tepat di jantung Pegunungan Meratus, berdekatan dengan jalan poros yang menghubungkan Kandangan dan Batulicin.

Tidak sedikit yang saya tanyakan kepada Ujal, penghulu Balawaian, dan seorang Pinjulang bernama Lapuy. Ini adalah kedatangan pertama saya dalam acara ritual orang Meratus. Terus terang saja ada banyak hal berputar di kepala saya. Saya mulai terlibat pembicaraan intens dengan mereka: menyoal macam alat-alat ritual, nama dan makna dari masing-masing alat itu, hingga keluhan penghulu soal penerus Balian—rohaniwan dalam agama Kaharingan yang terkenal di kalangan suku Dayak Meratus—untuk generasi berikutnya. Malam semakin pekat. Ritual siap dimulai.

Dengung serunai mulai merambati udara di dalam balai adat. Gedebuk gendang sudah dimainkan. Para Balian yang dari tadi berkumpul, mulai mengarak kalangkang mantit keluar balai. Bentuknya seperti tiang dengan hiasan daun enau, buluh kuning, tumbu (sejenis bakul), dan kain kuning. Sambil menunggu Damang (ketua adat) bersiap, para Balian membakar dupa. Menebarkan aroma mistik yang memabukkan di sekitar kalangkang mantit

Mantra-mantra mulai menyeruak dari mulut para Balian. Cepat dan berirama, seperti rintik hujan yang beradu dengan aspal jalan. Seandainya ini diperdengarkan ke segala penjuru, akan sama menenangkan layaknya senandung nyanyian ibu kala menidurkan bayinya. Sampai beberapa saat mereka menghamburkan beras kuning ke udara berkali-kali dengan riuh, sebelum akhirnya semua melebur ke dalam balai.

Sorak-sorai mulai merebak dari langit-langit seng. Para Balian, dengan ketenangan bak air dalam gelas, mulai menggoyangkan gelang hyang di tangan masing-masing. Membentuk harmoni gaib yang mampu menegakkan sepasang telinga. Roh-roh para leluhur yang dipanggil mulai berdatangan mendengar gemerincing itu, seakan menyambut para hadirin dengan suka cita. Saya mulai bergidik. Inilah proses bamamang dalam ritual Aruh kecil di Balawaian. 

Proses bamamang selesai. Saatnya bagi para perempuan untuk unjuk gigi dalam Tari Babangsai. Goyangan pinggul mengiringi ayunan tangan nan gemulai, mengikuti tabuhan gendang dan siut serunai. Mereka membentuk lingkaran, mengelilingi langgatan yang berdiri layaknya pencakar langit di tengah balai. Lenggok perempuan adalah hiburan yang mengisi kejenuhan di tengah acara Aruh yang padat. Jika tempo gendang semakin cepat, maka makin riuh pula gerakan mereka. Malam semakin larut. Balian terus bamamang sementara saya tak kuat menahan kantuk. Saya melewatkan bahantu, akhir prosesi ritual yang berlangsung hingga saat fajar menjelang.

Di Bawah Langit Balawaian
Kalangkang Mantit yang ditaruh di halaman balai/M Irsyad Saputra

* * *

Saya setengah terbangun ketika mendengar gumaman asyik orang-orang dan bau kopi hitam yang teramat manis. Mereka adalah Pak Hairiyadi, Erwin, penghulu Ujal, beberapa pemuda, serta seorang kakek tua berpakaian singlet dan sarung. Kakek itu merupakan Damang daerah Tapin sekaligus penghulu Papitak, yang baru belakangan ini saya ketahui namanya.

“Di sini tidak ada babi. Terakhir saya lihat babi itu tahun 2005,” ujar Damang Rusdiansyah. 

Babi hutan di daerah Meratus telah menjadi langka akibat banyaknya manusia yang mulai menghuni teritorial mereka. Gerombolan babi tersebut pun kian terdesak entah ke mana.

“Dan sering diburu oleh orang-orang Maanyan dari daerah Tamiyang dan Pasar Panas,” tambahnya. Orang-orang Meratus—terutama di Balawaian—sudah tidak pernah mengonsumsi babi. Penyebabnya karena sering terjadinya percampuran antara dua kelompok berbeda, yaitu orang-orang yang masih menganut kepercayaan Babalian dan orang-orang Meratus yang sudah menjadi muslim ataupun pendatang. 

“Saya ini tinggal Islamnya aja lagi, kalau [soal] makan babi sudah lama nggak.”

Lebih lanjut, dalam ritual di balai di hilir Sungai Tapin, memang tidak mengenal penggunaan babi sebagai bagian perayaan ritual. Mereka hanya akan menggunakan babi kalau ada permintaan, seperti nazar atau pengobatan. Balai di hilir Sungai Tapin ini meliputi Hayangin, Lok Limau, Harakit, Mancabung (Papitak Jaya).

Tidak lama kemudian Rusdiansyah memalingkan punggung lalu berdiri. Ia memasangkan laung ke kepala, mengikat babat ke perut, dan melilit sarung ke pinggang. Gelang hyang yang menjadi aksesoris ritual pun sudah terpasang di pergelangannya. Bunyi gemerincingnya selalu menarik pikiran saya akan hal-hal di luar nalar, yang hidup berdampingan dengan kita di alam nyata.

Ritual kemudian dilanjutkan dengan bamamang sebelum manyumpitan dimulai. Saya mencoba mendengar tiap-tiap kata yang terucap dari mulut Damang dan Balian. Beberapa kosakata saya pahami sebagai bahasa Banjar, sisanya terdengar seperti gumaman dalam bahasa yang terasa asing di telinga. 

Penghulu mengambil ancang-ancang dengan sumpit mengarah ke ayam kampung yang disediakan sebagai korban. Hush! Dalam sekejap mata sumpit penghulu tepat mengenai punggung ayam yang berbulu hitam itu. Ia meronta kesakitan dan mengeluarkan kokok seperti terkejut, tetapi masih bisa berdiri tegap dan bergerak.

Tanpa ba-bi-bu, seorang pemuda menyayat leher ayam dan menuangkan darahnya ke sebuah gelas plastik, lalu memberikannya kepada Damang. Sang Damang menaruh darah tersebut sebagai persembahan di dalam langgatan. Makin siang, balai layaknya rumah besar yang mulai kehilangan penghuni. Beberapa orang memutuskan untuk keluar, entah berkegiatan apa, menyisakan beberapa orang yang masih bertahan di dalam balai.

Kehidupan di antara ritual-ritual adalah permainan dan percakapan. Catur dan domino adalah permainan yang menghinggapi hampir semua tangan lelaki, perempuan, hingga anak-anak. Dua orang lelaki paruh baya mengedarkan pandangan ke papan hitam putih. Yang berbadan tambun melihat bidak catur dan seketika bibirnya menyeringai, seakan bisa membaca isi pikiran lawannya. Satunya lagi tampak lebih sibuk mengisap tembakau. Namun, setiap melangkahkan bidaknya, ia lakukan penuh kepercayaan. Entah siapa yang akan menang. 

Lalu arangan sudah terkumpul, saatnya penghulu mulai mengambil alih balai. Damang, penghulu, Balian, dan Pinjulang mulai duduk di tumbu sambil bamamang. Tumbu adalah sejenis bakul yang belum rampung dibuat dan diisi dengan beras segenggam, kemudian ditumpuk dengan berbagai jenis kain (selimut, sarung, dan baju). Setelah berkeliling langgatan, sesajen kemudian dimantrai. Mantra dimaksudkan untuk memberi berkah kepada persembahan. Tahapan ini disebut kahulu alai. Selesai ritual, sesajen tersebut menjadi rebutan warga yang berhadir ke balai. 

Gerimis menggerayangi Balawaian. Aroma rokok mengepung balai, menghibur para orang tua yang sedang bertukar pikiran. Saya mengangguk saja mendengar percakapan mereka seputar sakit jiwa, Balian sakti, hingga buah durian. Hujan di ketinggian berarti waktu berkumpul. Kedengarannya syahdu, tetapi tetes air yang mengenai genteng seng tetap mengganggu gendang telinga. . 

“Ayo, makan, sudah disiapkan,” kata seorang pemuda memanggil kami yang lagi asyik bercengkrama. Kami bergegas menuju dapur.

Di dapur yang berada tepat di bagian belakang balai, meja makan yang memanjang sudah terisi penuh. Makanan yang jadi menu hidangan kali ini adalah oseng bunga pepaya, pucuk pepaya, rimpang, kalimbung buntal, karawila (oyong), dan kerupuk. Semua sayuran tersebut berasal dari hutan dan ini adalah pertama kali saya memakannya.

Di Bawah Langit Balawaian
Penghulu Ujal sedang memberkati (tapung tawar) warga desa yang berhadir di balai/M Irsyad Saputra

* * *

Obrolan kembali berlanjut setelah makan. Damang Rusdiansyah, yang pernah bepergian ke Jakarta, menceritakan pengalamannya melihat manusia gerobak di Ibu Kota. “Ketika saya mau memberi makan mereka, ada yang bilang ke saya (kalau) mereka bisa mencari makan sendiri dari sisa-sisa,” tuturnya dengan gestur tangan yang menari. Ia seakan tidak percaya kehidupan di kota megapolitan begitu berbeda dengan yang mereka sering lihat di sinetron.

“Saya tidak tega. Ada kemanusiaan dalam diri saya yang tidak hilang melihat penderitaan mereka.”

“Bahkan ada yang mau ikut kita hidup di gunung,” ujar penghulu Ujal menambahkan. Kebetulan saat itu mereka melakukan perjalanan bersama-sama dalam rangka menghadiri suatu undangan. Jari jemari penghulu Ujal seolah ingin meyakinkan kami, bahwa kehidupan di seberang sana ada yang lebih nelangsa. Di gunung, kehidupan orang terjaga dengan keharmonisan alam. Alam menyediakan supermarket paling lengkap yang pernah ada: tumbuhan herbal, buah-buahan, hingga kayu untuk papan.

“Di sana jadi miskin karena tidak ada lahan untuk ditanami. Kalaupun ada paling cuma seukuran telapak kaki,” ujar Rusdiansyah. Ia menitikberatkan pada ketiadaan lahan sebagai salah satu unsur pembentukan masyarakat yang melarat.

Jakarta menyediakan apa pun. Gedung-gedung tinggi yang mencakar dan mengepung sebagian ruang langit, infrastruktur tanpa jeda, hingga fasilitas terlengkap. Tapi apakah Jakarta punya semua? Bukankah yang menikmati itu adalah orang-orang borjuis? Orang-orang yang hidup dengan modal mumpuni? Bagaimana dengan yang tidak bermodal? Apakah masih layak memanggil Jakarta sebagai “ibu” kota?

Jakarta berlari begitu cepat, meninggalkan Balawaian yang masih tertatih hanya untuk menyusul pengerjaan pengaspalan jalan. 

* * *

Prosesi bintang salaan dimulai. Mantra menggaung ke langit-langit. Mengisi setiap ruang hampa dengan penuh pengharapan, teriring gemerincing gelang hyang yang memabukkan. Sama dengan semua doa-doa dari agama apa pun di dunia, isinya tentang mengharapkan keselamatan, keberkahan, juga kebaikan. Apatah artinya doa bila tidak mencakup semua makhluk?

Ritual selesai. Para perempuan sibuk di dapur, bersiap menyediakan hidangan yang nanti akan tersaji sebagai sesajen. Asap dari kayu bakar menari mengikuti arah bayu, terbawa hingga ke tengah pohon karet yang berjajar rimbun di samping balai. Saya duduk di antara para ibu Meratus yang sibuk.

“Mencari pewaris nih nang ai disekolahkan dulu juga,” ujar salah seorang Pinjulang yang sedang membakar beras ketan dalam bumbung bambu. Kekhawatiran para Pinjulang dan penghulu adalah sama, yaitu sedikitnya jumlah penerus yang akan mengemban kewajiban ini setelah mereka. 

“Tapi kalau mau [melanjutkan] bisa, asal belajar dahulu, kayak orang sekolah juga,” ujarnya sambil membalik bumbung yang mulai gosong. Saya bertanya, adakah syarat lainnya untuk menjadi seorang pemuka ritual selain belajar? Ia menerangkan, siapa pun sebenarnya boleh menjadi Balian atau Pinjulang, tetapi orang-orang yang memiliki keturunan langsung akan lebih mudah dalam menyerap ilmu yang tetua ajarkan.

Mukriansyah adalah salah satu Balian muda yang ada di Balawaian. Dia sudah “magang” menjadi Balian selama dua tahun. Mengikuti jejak sang ayah, penghulu Ujal, yang sudah malang melintang menjadi penghulu. 

Nggak ada generasi yang mau melanjutkan [menjadi balian] karena gengsi,” ucapnya lirih.

Gengsi, karena banyak yang menganggap menjadi Balian adalah hal kuno. Dan hal-hal kuno mulai banyak masuk museum seiring kiblat dunia makin menghadap ke Barat. Banyak stereotip yang mengarah kepada para pemeluk kepercayaan sebagai orang-orang aneh, tidak relevan, ketinggalan jaman, atau pandangan negatif lainnya. Padahal nilai-nilai yang mereka anut pun sama baiknya dengan nilai-nilai yang agama samawi bawa.

Mukri, sapaan akrabnya, seringkali harus berkelahi karena anggapan miring tentang Babalian yang ia terima semasa sekolah. “Teman-teman bilang ‘ngapain pucuk disembah?’ Di situ akhirnya bikin saya bertengkar, padahal nggak usah saling menghina bisa, kan?” suaranya tercekat di antara embusan asap yang mengalir dari mulutnya.

” Kita ini [Islam dan Babalian] kakak adik, seperti kisah Bambang Siwara dan Ayuh.”

Bambang Siwara (atau Intingan) dan Ayuh adalah metafora dari persaudaraan antarpemeluk Islam dan Babalian, yang sejatinya di Kalimantan berasal dari nenek moyang yang sama. Matanya nanar memandang ke sekeliling balai. Tampak ada harapan yang membuncah dari kepalanya, ingin mengangkat harkat dan martabat orang-orang Meratus yang masih menganut kepercayaan tradisional. Namun, Mukri juga terjebak dalam satu hal lain, yaitu dia harus mencari uang untuk memenuhi kehidupannya. Dan pilihan yang menguntungkan baginya dengan gaji mentereng hanyalah tambang batu bara. Apakah ini pilihan yang akan kamu ambil nantinya, Mukri?

* * *

Ritus berlanjut. Prosesi ini bernama ancak ka gunung. Ancak ka gunung adalah persembahan yang ditaruh di ancak. Isinya berupa aneka buah pisang (pisang umbur, pisang amas, pisang kidung), berbagai macam telur (telur asin, telur ayam ras, telur ayam kampung, telur itik), beberapa jenis bubur (bubur merah, bubur putih, bubur kuning), kue-kue tradisional (lamang, cucur, surabi, wajik), serta sisanya berupa sayuran mentah, lintingan tembakau dan pinang, ketupat, dan ayam panggang. Semuanya mewakili hasil alam Meratus. Dan dalam ajaran mereka sudah sepatutnya membagikan itu kepada orang-orang yang berhadir—baik yang tak kasat mata maupun ada wujudnya.

Sama seperti ritual sebelumnya—memulai dengan bamamang dan musik yang mengiringi—Damang, Balian, dan Pinjulang berkumpul tepat di bawah ancak ka gunung yang menggantung, sudah lengkap dengan sesaji dan lilin. Seluruh Balian berdiri, lalu melemparkan beras kuning dan uang koin ke ancak. Semua orang mulai memutari ancak dengan membunyikan derap kaki yang mengentak lantai balai. Setelah istirahat sebentar, rangkaian acara terus berlanjut. Saya hanya sibuk memerhatikan.

Semua yang hadir menyisakan sungging senyum di pinggir bibir selepas prosesi ritual berhenti. Yang tidak berhenti malam ini hanya terbakarnya aroma tembakau, serta kesiur angin yang menerbangkan senyap dan dinginnya malam di antara dinding kayu. Tepat tengah malam, dua orang Balian menaruh ekor ayam di bawah langgatan dan membawanya sambil mengelilingi langgatan. Sesaat kemudian Balian yang sedang kerasukan menggigit dua kepala ayam itu sampai terputus. Inilah prosesi ritual bauria.

Di Bawah Langit Balawaian
Sesajen yang dimamangi (didoakan) dahulu sebelum dibagikan/M Irsyad Saputra

* * *

Desir sungai yang mengalir menjadi alunan melodi yang menyambut saat pagi tiba. Debitnya tidak sedalam kemarin malam. Beberapa ikan terlihat bersantai—tetapi siaga—di balik bebatuan. Bebatuan yang menjadi pijakan orang-orang desa saat mandi itu berwarna legam. Namun, saat sinar mentari menerpa sebagian wujudnya, batu-batu tersebut tampak berkilau bagai kumpulan emas-emas yang siap dijarah. Saya menginjaknya perlahan—takut-takut kalau pijakan saya tidak kuat mencengkeram permukaannya—kemudian mengambil air dengan kedua tangan untuk membasuh muka.

Hanya beberapa orang yang terbangun pagi itu. Banyak yang masih meringkuk pulas di dalam sarung. Harusnya ada prosesi ritual yang berlangsung pagi ini, tetapi kata penghulu Ujal terpaksa ditunda. Sebab banyak warga yang tidak berkumpul di balai dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.

“Terpaksa ritual ditunda ke siang dan sore hari,” ujarnya sambil memonyongkan bibir, meniupkan asap yang lari terbawa angin pagi. 

Desa Balawaian pada pagi hari berselimut dingin. Pepohonan di sini masih rindang. Sebagian adalah kebun yang sengaja warga tanam, sedangkan lainnya hutan alami yang penuh semak belukar. Rumah-rumah yang berdiri pun tidak berimpitan. Kadang hanya 2-3 rumah berdampingan, kadang sampai lebih dari lima rumah. Jalanan tampak lengang. Hanya anak-anak sekolah yang sibuk menyalakan motor supaya tidak terlambat ke sekolah. Jaraknya cukup jauh di Desa Batung. 

Siang berlalu. Tidak banyak warga yang berkumpul di balai, tetapi acara harus tetap jalan. Para pemangku adat melakukan prosesi ritual halang simbaran, halang manayaung, dan babangkuyan

Dua orang Balian mulai berjalan dengan dua tangannya. Perlahan dan pasti, tiang yang sudah terpasang hiasan daun enau dan pisang mulai mereka panjat. Pisang dimakan dan dihamburkan ke lantai. Para penonton tentu saja mengambil pisang-pisang yang berguguran. Begitu habis, Balian turun ke lantai. Dengan segera satu orang lelaki mulai menangkap Balian yang hendak berlari keluar balai. Ia kemudian mengumpulkan dua orang Balian tersebut di langgatan untuk dikembalikan kesadarannya.

* * *

“Tidak, saya tidak mau ikut kapamalian,” seru Fitri, anak bungsu dari penghulu Ujal, saat kami sedang menikmati santap sore bersama. Ia terlihat elok dengan rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai sampai bahu. Dari nada bicaranya, seakan-akan kapamalian adalah hal yang paling ia takuti saat ritual Aruh kecil. Kapamalian mengharamkan semua yang telah mengikuti prosesi ritual bararadenan untuk keluar dan melakukan aktivitas di luar balai—kecuali yang berkaitan dengan buang hajat. Mungkin anak-anak muda sudah kehilangan minat untuk menyelesaikan ritual secara paripurna. Saya mengerti, anak muda sepertinya tentu saja sangat tersiksa terkurung di balai seharian, apalagi gawai yang mereka punya tidak mendapatkan sinyal di sini. 

“Mukri ke mana?” Saya menanyakan kakaknya yang tidak terlihat di hari ini.

“Sama, dia tidak ikut kapamalian juga. Soalnya bosan, nggak bisa ngapa-ngapain,” serunya.

Barangkali, jika balai tersedia Wi-Fi gratis, anak-anak muda akan dengan senang hati ikut kapamalian. Tapi buat apa? Bukankah kapamalian bernilai ibadah? Nilai ibadah apa yang akan mereka dapatkan kalau seharian hanya berseluncur di dunia maya?

Ah, terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepala saya. Di malam terakhir, lelaki, perempuan, dan anak-anak berdiri dan memutari langgatan sembari berpegangan tangan. Saya ikut menyelinap di antara mereka, berpegangan erat dan merasakan kegembiraan yang mengalir dari jalinan tangan. Derap kaki membuat lantai kayu berdecit, seolah mengaminkan doa kami—keselamatan dan kedamaian semua makhluk di bumi—untuk terus mengepul menuju kaki langit hingga beranjak menuju Nang Kawasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Bawah Langit Balawaian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/feed/ 0 39444
Bubungan Tinggi Terakhir di Teluk Selong https://telusuri.id/bubungan-tinggi-terakhir-di-teluk-selong/ https://telusuri.id/bubungan-tinggi-terakhir-di-teluk-selong/#respond Mon, 31 Jan 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32598 Tinggi, tua, dan tampak gagah. Dari kejauhan bubungan itu sudah terlihat, semakin saya mendekat dan semakin besar besar pula mata saya melihatnya. Saya akhirnya bisa berdiri di hadapannya. Rumah Banjar Bubungan Tinggi, salah satu arsitektur...

The post Bubungan Tinggi Terakhir di Teluk Selong appeared first on TelusuRI.

]]>
Tinggi, tua, dan tampak gagah. Dari kejauhan bubungan itu sudah terlihat, semakin saya mendekat dan semakin besar besar pula mata saya melihatnya.

Saya akhirnya bisa berdiri di hadapannya. Rumah Banjar Bubungan Tinggi, salah satu arsitektur lokal yang mempunyai karakteristik bubungan tinggi atau atap yang tinggi. 

Rumah Banjar Bubungan Tinggi merupakan salah satu arsitektur rumah tradisional yang ada di Kalimantan Selatan—yang paling terkenal. Sebenarnya, ada beberapa lagi arsitektur rumah tradisional lainnya seperti Gajah Baliku, Gajah Manyusu, Balai Laki, Balai Bini, dan Palimasan, dan Rumah Lanting. Tetapi Bubungan Tinggi sudah kadung menjadi ikon provinsi Kalimantan Selatan, dan dulunya adalah arsitektur khusus untuk para raja, tetapi pada perjalanannya rumah ini mengalami transformasi nilai; juga bisa dimiliki oleh kalangan masyarakat kelas atas.

Bubungan Tinggi
Desain arsitektur bubungan tinggi banyak digunakan juga oleh kantor-kantor pemerintahan daerah sekarang, namun yang masih tersisa dari 200 tahun yang lalu hanya rumah ini/M. Irsyad Saputra

Hanya ada beberapa orang yang berkunjung hari itu. Suasananya sepi, mungkin efek hujan yang sering turun akhir-akhir ini, membuat banyak orang malas untuk berkegiatan di luar rumah. Saya melangkahkan kaki, menginjak lantainya yang terbuat dari kayu ulin dan mengetuk pintu. Seorang perempuan berusia 60—kalau dilihat dari perawakannya—membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Kami meminta izin sebelum mulai berkeliling di dalam.

“Silahkan,” jawab sang nenek dengan ramah.

Kami berkeliling ruang panampik, dari satu jendela ke jendela lainnya. Lantai kayu ulin yang kami pijak terasa sangat kokoh, tidak nampak tanda-tanda rapuh atau rusak. Rumah ini merupakan satu-satunya yang masih tersisa dari masa lalu, terutama untuk jenis bubungan tinggi. Ada banyak foto-foto kunjungan yang dilakukan media-media nasional maupun regional yang terpampang di dinding.  Saya memperhatikan objek foto yang terpampang, seorang nenek dengan pose yang sedang menghadap jendela, dengan warna hitam putih membuat ekspresi nenek yang sedang memikirkan sesuatu semakin jelas. 

Interior Rumah Banjar Bubungan Tinggi

Setelah meminta izin, saya kemudian masuk ke bagian dalam yaitu disebut palidangan. Ruang ini sebenarnya termasuk ruangan pribadi sang pemilik rumah, namun karena sudah menjadi objek wisata, orang-orang tentu penasaran akan bagaimana isi rumahnya. Hal tersebut memang wajar tapi kesopanan dan tata krama harus tetap dijunjung.  

Ada dua ranjang di sisi kiri dan kanan ruangan atau yang disebut anjung, lengkap dengan kelambu gantung layaknya ranjang-ranjang kakek nenek saya dahulu. Anjung sebelah kanan digunakan oleh anak-anak, sedangkan anjung sebelah kiri digunakan oleh orang tua. Ruang tengah disebut palidangan atau ruang induk rumah. Fungsinya sama dengan ruang keluarga pada masa sekarang.

Bubungan Tinggi
Dalam ruang panampik, yang menjadi ruang para wisatawan untuk berkumpul/M. Irsyad Saputra

Ada salah satu ruangan menarik. Ruang pingitan, digunakan oleh perempuan lajang yang ingin menikah untuk dipingit terdahulu. Saya melihatnya seperti sebuah ruang rahasia pada rumah jepang yang bisa menyembunyikan penghuninya ketika ada bahaya. Ruang itu kini difungsikan sebagai gudang, oleh karena budaya pingitan pada modern ini sudah hampir punah.

Sebenarnya masih ada ruang lagi yaitu ruang panampik bawah dan padapuran, tapi saya hanya melihat sekilas dari kejauhan, merasa sungkan untuk masuk ke dalam sana karena ada seseorang yang sedang tidur di dalam.

H. M. Arif dan Hj Fatimah, kedua pasangan suami-istri ini merupakan pendiri rumah ini sekaligus merupakan datuk dari Fauziyah, yang sedari tadi menyambut saya dan juga merupakan pengelola rumah yang telah menjadi cagar budaya ini.

“Beliau merupakan seorang saudagar permata, membawa barang dagangan ke luar negeri (luar Banjar).”

Kemudian saya menanyakan potret laki-laki dan perempuan yang terpampang di ruang panampik tangah. “Kalau itu merupakan foto dari anak H. M. Arif yang bernama Hj. Qomariyah bersama suaminya,” jelasnya. 

Bubungan Tinggi
Fauziyah berada di ruang panampik, merangkap ruang penjelasan mengenai asal usul rumah ini/M. Irsyad Saputra

H. M. Arif merupakan seorang pedagang intan yang sukses melebarkan ekspansinya hingga ke luar daerah. Karena statusnya sebagai saudagar sukses, H. M. Arif kemudian membangun rumah Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku untuk dihuni keluarga besarnya di Teluk Selong, Martapura sekitar tahun 1811. Menurut penuturan Fauziyah, dirinya mengetahui persis pendirian rumah ini setelah diadakan renovasi. Beberapa tukang bangunan melihat ada tulisan tahun berangka 1811 di salah satu sudut atap.

Salah satu kemujuran yang kita miliki sampai sekarang adalah, rumah itu tetap bertahan selama lebih dari 200 tahun. Untungnya lagi, rumah ini sudah diangkat sebagai cagar budaya pada tahun 2008 dan menurut laporan, BPCB Kalimantan Timur juga pernah melaksanakan kegiatan konservasi pada tahun 2015 hingga 2017 dengan pemugaran kecil pada bagian atap yang sudah lapuk dimakan zaman.

Disebutkan oleh Wafirul Aqli dalam artikelnya Anatomi Bubungan Tinggi Sebagai Rumah Tradisional Utama Dalam Kelompok Rumah Banjar bahwa Bubungan Tinggi adalah perlambangan sistem  mikrokosmos dan makrokosmos, dengan penghuni yang berada di antara dua dunia tersebut. Juga, bubungan tinggi memiliki filosofi “Pohon Hayat” atau Kalpataru yang mencerminkan pohon kehidupan. 

Kecerdasan Lokal Leluhur Kita

Leluhur kita mempunyai cara tersendiri untuk menampilkan kecerdasan mereka dan kepiawaian mereka; dari arsitektur saja ternyata terdapat filosofi yang mendalam dan bentuk yang rumit. Bagaimana bisa mereka menciptakan bentuk arsitektur sedemikian rupa kalau tidak diiringi dengan kecerdasan mumpuni? Para akademisi biasa menyebutnya sebagai local genius.

Rumah tradisional ini terasa sejuk. Jarak antara lantai ke atap sangat tinggi, menciptakan sirkulasi udara yang nyaman. Belum lagi ukuran jendelanya yang besar, memudahkan angin keluar masuk rumah. Setahu saya rumah-rumah tradisional Indonesia selalu mengedepankan sirkulasi udara sebagai titik kenyamanan rumah, sebagai contoh arsitektur  Mbaru Niang di Wae Rebo yang mampu menjaga rumah tetap hangat walaupun kondisi udara sekitar yang dingin. Tampak berbeda sekali bukan dengan rumah-rumah sekarang yang cenderung dibuat apa adanya dan sekedarnya.

Jangankan sirkulasi udara, pencahayaan pun tidak pernah menjadi pertimbangan. Saya jadi teringat bagaimana kondisi rumah kontrakan yang tempati ketika berkuliah. 

Bubungan Tinggi
Ruang anjung yang digunakan sebagai pengganti kamar/M. Irsyad Saputra

Teluk Selong, Martapura dulunya merupakan ibu kota Kerajaan Banjar ketika pindah dari Banjarmasin. Kemungkinan besar, kawasan dua rumah adat ini bukan satu-satunya yang didirikan di sini, tapi satu-satunya yang bertahan hingga masa kini. Di dekat sini, dulu sempat digegerkan dengan penemuan makam-makam kuno yang tertutup semak belukar. Mengundang berbagai media juga para arkeolog untuk melihat langsung.

Saya jadi membayangkan pergi ke masa lampau. Melihat rumah-rumah adat berdiri dan sungai masih menjadi jantung utama kehidupan. 

“Kalau yang di depan itu siapa yang mendiami?”

“Kemenakanku dan keluarganya yang mendiami rumah Gajah Baliku itu.”

Bubungan Tinggi
Dalam kehidupan masyarakat Banjar, nanas adalah salah satu ornamen terpenting yang berada di luar area bangunan/M. Irsyad Saputra

Dalam satu area, rumah Bubungan Tinggi dan rumah Gajah Baliku itu merupakan satu kepemilikan oleh H. M. Arif. Saya menanyakan Fauziyah bagaimana awal mula dia mendiami rumah ini, ingatan Fauziyah segera saja pergi ke masa lalu, masa ketika dia bersekolah. Fakta yang baru saya tahu dari ceritanya adalah ternyata neneknya dari Fauziyah bersaudara dengan neneknya Guru Syarwani Abdan, yang merupakan salah satu ulama terkemuka tanah Banjar yang bermukim di Bangil, Jawa Timur.

Tentunya, keluarga beliau ini juga merupakan dari zuriyat Datu Kelampayan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Sisa waktu pada sore hari itu saya gunakan untuk mengabadikan sudut-sudut rumah, mencari mana sudut terbaik yang akan dijadikan objek foto. Nanas pada pagar, ornamen ini selalu ditemukan pada depan sebuah bangunan atau jembatan. Ornamen tersebut sarat makna. Nanas dapat membersihkan kotoran atau karat pada besi-besi tua. Sebagaimana hal tersebut, ketika bertamu atau berkunjung hanya dengan niat baik. 

Saya melihat nanas bukan sebatas ornamen, tapi adalah doa dari orang-orang terdahulu yang kemudian disimbolisasikan dengan nanas. Leluhur kita tidak hanya memberkati kita dengan warisan budaya, tapi juga dengan doa-doa, yang terus menerus menuju ke haribaan-Nya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bubungan Tinggi Terakhir di Teluk Selong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bubungan-tinggi-terakhir-di-teluk-selong/feed/ 0 32598
Rumah Bekantan di Pulau Bakut https://telusuri.id/rumah-bekantan-di-pulau-bakut/ https://telusuri.id/rumah-bekantan-di-pulau-bakut/#comments Thu, 04 Nov 2021 21:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31253 Kelotok yang kami tumpangi perlahan-lahan mulai membelah sungai. Mesinnya bising, sebising deru gergaji mesin yang menebang pohon-pohon di hutan Kalimantan, cukup untuk membuat penumpang tidak bisa bicara satu sama lain. Lantaran angin yang berhembus cukup...

The post Rumah Bekantan di Pulau Bakut appeared first on TelusuRI.

]]>
Kelotok yang kami tumpangi perlahan-lahan mulai membelah sungai. Mesinnya bising, sebising deru gergaji mesin yang menebang pohon-pohon di hutan Kalimantan, cukup untuk membuat penumpang tidak bisa bicara satu sama lain. Lantaran angin yang berhembus cukup kencang juga, kami berbicara saling berteriak satu sama lain. Kami mengarungi sungai menuju Pulau Bakut.

Kami memutuskan untuk pergi ke Pulau Bakut, sebuah pulau konservasi bekantan yang paling dekat dengan Kota Banjarmasin. Letaknya persis di bawah Jembatan Barito. Sebenarnya pulau ini hanyalah sebuah delta di Sungai Barito, namun pulau ini dijadikan sebagai tempat konservasi bekantan dan Taman Wisata Alam (TWA) yang dikelola BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kalimantan Selatan.

Nasrun, yang menyewakan dan juga mengemudikan kelotok menyuruh kami menengok ke kiri. Ada beberapa bekantan yang nampak bersantai di pohon-pohon pinggir sungai. Bekantan paling besar nampak termenung menyaksikan kelotok kami melintas, mungkin dia tahu bahwa kehadiran kami bakal mengusik ketenangannya. Gelombang air yang disebabkan lintasan kelotok sampai ke tepian pulau itu. Jarak dari dermaga menuju pulau tidak terlalu jauh, tetapi untuk ukuran sungai, Sungai Barito laksana ular piton raksasa.

“Bekantan hewannya pemalu, mungkin bakal jarang kalian lihat langsung,” ujar Nasrun sebelum kami melompat ke dermaga Pulau Bakut. “Chat saja nanti kalau sudah mau pulang.”

Rumah bagi Bekantan

Begitu kaki menapak di atas dermaga, serombongan mahasiswa menyambut kedatangan kami, sekalian menyebarkan kuesioner, katanya untuk mengamati perilaku masyarakat dengan hewan di sekitarnya. Selepasnya, kami mulai memasuki TWA Pulau Bakut. Menurut papan informasi, luas wilayah pulau ini mencapai 18,70 hektare dan telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan pelestarian dengan fungsi taman wisata alam. 

Kami berkeliling pulau ini diatas titian kayu yang dibangun, beserta dua buah menara pandang. Saya mengitari sembari mengamati, apakah bekantan yang tadi kami lihat di pinggir sungai juga ada di dalam sini. Saya amati, hanya kotoran-kotorannya yang berhamburan di atas titian. Tidak ada tanda-tanda kemunculan bekantan. Alhasil saya hanya berhasil memotret kupu-kupu.

“TWA ini didirikan pada 2018, dan mulai difungsikan buat wisata pada 2019,” terang Imam Riyanto yang menjabat sebagai Kepala Resort TWA Pulau Bakut. Pulau ini sedari dulu memang sudah menjadi habitat asli bekantan yang konon berasal dari Pulau Kaget, sebuah delta yang juga terletak di Sungai Barito. Ekosistem yang mendukung dari Pulau Bakut sebagai rumah bekantan adalah pohon rambai, yang digunakan bekantan sebagai rumah, sumber makanan, dan juga tempat bermain. Hasil monitoring populasi bekantan di pulau ini pada bulan Maret 2021 mencapai 116 ekor. 

Beberapa bekantan di pulau ini adalah hasil sitaan ataupun hasil serahan masyarakat. Penjualan. Menurut Imam, jumlahnya pada 2019 lebih dari 10 ekor dan 2020 ada 3 ekor. 

Kebiasaan bekantan pada pagi hari berada di pinggir sungai. Siang menjelang, mereka mulai masuk ke dalam pulau untuk mencari makan. Berdasarkan penelitian Aktivitas Makan dan Jenis Pakan Bekantan di Pulau Baku Kabupaten Barito Kuala oleh Zainuddin dan Rezeki, ada 8 jenis tumbuhan yang sering dijadikan makanan oleh bekantan diantaranya: piai, kokosan monyet, rambai laut, beringin, waru, kirinyuh, bunga telang, putri malu besar, dan buas-buas.

Bekantan di Pulau Bakut
Salah satu karya Imam Riyanto, memotret bekantan an anaknya di Pulau Bakut/Imam Riyanto

Bekantan dan Rantai Makanan

Bekantan tidak sendirian di pulau ini. Secara alami, predator-predator pun mengisi pasok rantai makanan Pulau Bakut, mulai dari elang laut perut putih, elang tikus, elang bondol, dan biawak. Pulau ini menjadi rumah pula bagi sebagian burung seperti burung madu kelapa, pekaka emas, dan lainnya. Kondisi sekitar Pulau Bakut yang aman dari gangguan manusia menciptakan keseimbangan yang bagus. Masyarakat sekitar juga sadar bahwa bekantan adalah hewan yang dilindungi. 

Yang cukup mengganggu, menurut Imam, adalah monyet ekor panjang. Kalau bekantan terlihat pemalu dan cenderung menjauh dari manusia, monyet ekor panjang justru bisa menciptakan konflik baru; entah dengan bekantan sendiri ataupun dengan manusia. “Baru-baru ini bahkan ada 2 ekor, entah datang dari orang yang membuang atau dari Pulau Kembang, kita tidak tahu, nantinya pengen kami tangkap dan pindahkan ke habitatnya,” jelas Imam. 

Bekantan di Pulau Bakut berdasarkan monitoring terpisah dalam 4 kelompok besar dan 1 kelompok kecil. Sumber daya makanan yang melimpah dan daya tampung pulau yang masih luas, nampaknya masih banyak ruang untuk bekantan untuk berkembang biak. Bekantan biasa hidup dalam kelompok yang berjumlah hingga 30 ekor. Ciri khas monyet yang satu ini memang dari hidungnya yang panjang, sebab itu sering dijuluki sebagai “Monyet Belanda”. Keunikannya dan statusnya sebagai hewan endemik ini juga akhirnya menjadikan bekantan maskot fauna Kalimantan Selatan.

Bekantan di Pulau Bakut
Yang membedakan antara bekantan jantan dan betina adalah hidungnya/Imam Riyanto

“Katanya di sekitar sini ada buaya.”

Mendengar penuturan tersebut, saya sedikit bergidik. Buaya adalah pemuncak rantai makanan yang bisa melahap bekantan kapan saja.

“Tapi saya sendiri belum pernah melihatnya.”

Syukurlah, saya rasanya malas bertemu predator tersebut di tempat seperti ini, di tengah-tengah sungai yang dalam dan luas.

Bekantan di sini tidak pernah meminta makanan kepada para pengunjung, selain karena bekantan punya rasa malu yang kuat, para penjaga juga melarang pengunjung untuk memberi makan. Memberi makan dapat menghilangkan insting dasar dari hewan; berburu makanan. 

Delta-delta yang terletak di Sungai Barito sudah menjadi taman wisata alam yang mengakomodasi kebutuhan akan konservasi hewan, terutama bekantan: TWA Pulau Bakut, TWA Pulau Kaget, dan TWA Pulau Kembang. Seandainya populasi bekantan di Pulau Bakut sudah melampaui, pulau lainnya, terutama Pulau Kaget siap menampung bekantan lainnya.

Imam mengingatkan betapa pentingnya pengajaran dan penyuluhan kepada masyarakat yang berinteraksi langsung dengan kehidupan satwa. Jangan sampai mereka menganggap binatang adalah hama yang harus dimusnahkan. 

BKSDA berusaha keras untuk bisa menjembatani konflik yang kerap terjadi. Juga, BKSDA mempekerjakan tenaga lokal sebagai penjaga taman wisata. Tentu hal ini membuat lapangan pekerjaan untuk warga lokal tersedia. 

Memang harusnya keberadaan taman wisata dapat menguntungkan semua pihak, baik dari hewan yang semakin dilindungi atau masyarakat yang juga menikmati keuntungan dari gelaran wisata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Rumah Bekantan di Pulau Bakut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rumah-bekantan-di-pulau-bakut/feed/ 1 31253
Cerita tentang Bocah Penjaja dan Harapan Sederhana di Amuntai https://telusuri.id/cerita-tentang-bocah-penjaja-dan-harapan-sederhana-di-amuntai/ https://telusuri.id/cerita-tentang-bocah-penjaja-dan-harapan-sederhana-di-amuntai/#respond Fri, 02 Oct 2020 19:14:51 +0000 https://telusuri.id/?p=24185 Seratus sembilan puluh kilometer utara Banjarmasin, di siang hari kota Amuntai, seorang bocah lelaki mengayuh sepeda tua. Dalam keranjang sepedanya terdapat jajanan kacang, kerupuk, dan penganan kecil lain yang barangkali dibuat oleh ibunya. Bocah itu...

The post Cerita tentang Bocah Penjaja dan Harapan Sederhana di Amuntai appeared first on TelusuRI.

]]>
Seratus sembilan puluh kilometer utara Banjarmasin, di siang hari kota Amuntai, seorang bocah lelaki mengayuh sepeda tua. Dalam keranjang sepedanya terdapat jajanan kacang, kerupuk, dan penganan kecil lain yang barangkali dibuat oleh ibunya. Bocah itu meninggalkan desanya, berkeliling di pusat kota, berjualan di tengah hari yang panas tanpa pernah merasa malu.

Akhmad Ismail menceritakannya kepada saya. Di suatu hari, seorang teman melihat si bocah mengayuh sepeda tua di tengah kota dengan plastik-plastik jajanan di keranjang. Seorang bocah lelaki yang asing, bukan berasal dari kota Amuntai. Temannya merasa aneh; pemandangan yang dilihatnya itu tak pernah terjadi sebelumnya. Ia lalu bertanya mengapa si bocah harus berjualan.

“Untuk beli handphone dan paket data, Om,” jawab si anak.

Si bocah kemudian bercerita, semenjak pandemi virus corona mewabah, kedua orangtuanya tidak lagi bekerja. Seturut anjuran pemerintah, orang-orang dirumahkan. Masyarakat Amuntai yang sebagian besar adalah pedagang menjadi kelompok paling rentan terdampak. Mereka tak bisa bekerja seperti semula. Segala aktivitas dilakukan dari rumah, secara daring. Kota lenggang.

Bagi masyarakat desa pelosok dengan akses yang sulit dan tidak memiliki jaringan komunikasi, hal ini tentu bukan masalah yang mudah. Termasuk si bocah ketika harus berhadapan dengan situasi baru: bersekolah secara daring. Hampir sebulan ia berjualan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Si bocah mengaku bahwa dirinya berinisiatif berjualan agar bisa terus sekolah, tak mau menambah beban kedua orangtuanya yang tak lagi berpenghasilan.

Kejadian pada siang hari tersebut sempat direkam oleh teman Akhmad Ismail lalu disebarkan ke beberapa grup WhatsApp. Oleh Akhmad, video itu lalu diteruskan ke teman lain yang bekerja di salah satu perusahaan seluler, berharap bantuan. Pada akhirnya usaha baik akan bertemu dengan kebaikan lainnya. Si bocah mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Cerita Akhmad menimbulkan satu pertanyaan lain. “Bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil?” tanya saya kemudian.

Akhmad menjelaskan tentang masalah yang ia temui di beberapa desa dengan status Terdepan, Terluar, dan Terpencil (3T) di Kalimantan Selatan.

“Di Desa Puyun, Kabupaten Balangan, tetangga Kabupaten Hulu Sungai Utara, belum terdapat jaringan GSM,” jelas Akhmad, melanjutkan, “anak-anak di sana harus melakukan perjalanan sejauh 15 km, keluar dari desa untuk bisa bersekolah daring. Mereka berbondong-bondong menumpang kendaraan aparat desa menuju kota.”

“Bahkan di Desa Uren, masih di Kabupaten Balangan,” Akhmad menyambung cerita, “anak-anak harus berjalan kaki selama dua sampai tiga jam menuju satu bukit, hanya untuk mendapat sinyal.”

Akhmad kembali bercerita tentang si bocah, “Memang, dia sudah mendapat bantuan, tapi jangan stop di situ. Komunikasi tetap dibutuhkan.”

Yang terjadi kemudian adalah banyak perusahaan operator GSM memberikan bantuan paket data gratis kepada masyarakat, kemudian bersinergi bersama pemerintah daerah bergerak mendirikan repeater seluler di daerah-daerah pelosok yang belum terjangkau jaringan, pun memperbaiki sarana yang sebenarnya sudah ada tapi mengalami kerusakan.

Saya teringat akan pengalaman saya bersama beberapa teman yang tergabung dalam unit kegiatan fotografi kampus dulu ketika kami melakukan ekspedisi di Gunung Patuha, Jawa Barat, 2004 silam. Desa Sukasari yang kami tinggali adalah desa yang terisolir. Suasana dengan kabut yang turun lebih awal menjadikan sore gelap seperti malam. Jalanan berupa bebatuan dan tanah yang barangkali hanya bisa dilalui oleh roda kendaraan besar. Perjalanan kami ke sana pun menumpang truk bak terbuka pengangkut teh. Desa itu berada di tengah lembah, diapit bukit-bukit, dan hanya kebun teh mengelilingi. Tidak ada sinyal. Setiap harinya, kami harus berjalan kaki selama satu setengah jam menuju atas bukit di seberang lembah hanya untuk mendapatkan sinyal agar bisa memberi kabar kepada teman lain di kampus. Sumber listrik desa berasal dari mesin genset yang menyala dari jam enam sore sampai sembilan malam, setiap harinya.

Enam belas tahun berlalu, keadaan belum berubah. Masih ada daerah terpencil di Indonesia yang belum memiliki akses mudah dan jaringan komunikasi yang memadai bahkan sambungan listrik.

Kemudian pandemi corona datang. Kondisi yang memaksa manusia untuk mengubah perilaku. Lebih awas tentang kebersihan dan kesehatan, lebih merawat bumi, dan tentu lebih membuka mata terhadap teknologi. Semua dilakukan serba daring; petani dan nelayan menjual hasil bumi, melakukan transaksi jual-beli, bekerja, dan sekolah. Perubahan perilaku itu tentu memiliki tantangan baru. Di dunia pendidikan, misalnya, tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem belajar-mengajar daring yang lebih efisien, terutama untuk masyarakat daerah terpencil.

Saya juga membaca keluh kesah Akhmad tentang masyarakat Amuntai yang belum bisa mengolah material alam menjadi produk kerajinan tangan yang lebih bernilai, kemudian menggunakan teknologi untuk memasarkannya. Sebagai kota transit, tempat yang dipilih untuk berbelanja masyarakat luar Hulu Sungai Utara, Amuntai memiliki potensi untuk menciptakan sesuatu yang baru yang bisa menjadi daya tarik tersendiri.

Di akhir perbincangan, Akhmad menceritakan kepada saya tentang cita-cita sederhana.

“Saya pernah kasih saran ke TelusuRI untuk membuat program Rumah Harapan,” ucap Akhmad.

Ide itu terinspirasi dari kejadian bom atom Hirosima dan Nagasaki. Tragedi yang terjadi pada Perang Dunia II itu berhasil membuat Jepang hancur lebur. Kondisi yang, menurut Akhmad, tak jauh berbeda dari kondisi di masa pandemi saat ini.

“Mengumpulkan pemuda. Memberikan motivasi bahwa masih ada harapan. Jangan menyerah pada keadaan. Lebih maju dari sebelumnya. Di Rumah Harapan itu disediain laptop atau handphone dengan internet gratis untuk masyarakat daerah tertinggal,” tukas Akhmad.

Saya berdoa dalam hati, harapan baik akan bertemu dengan kebaikan lainnya. Harapan yang, semoga, menemukan rumahnya.

The post Cerita tentang Bocah Penjaja dan Harapan Sederhana di Amuntai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-tentang-bocah-penjaja-dan-harapan-sederhana-di-amuntai/feed/ 0 24185
Catatan tentang Prasasti dan Hulu Sungai Utara https://telusuri.id/catatan-tentang-prasasti-dan-hulu-sungai-utara/ https://telusuri.id/catatan-tentang-prasasti-dan-hulu-sungai-utara/#comments Mon, 14 Sep 2020 14:16:32 +0000 https://telusuri.id/?p=23837 Sebelum mengambil keputusan tentang topik skripsi, saya banyak menimbang-nimbang, terutama urusan kedekatan personal dengan objek penelitian. Kedekatan personal ini bisa dilihat dari berbagai aspek: kedekatan jarak tempuh menuju objek, kesamaan daerah asal dengan objek, juga...

The post Catatan tentang Prasasti dan Hulu Sungai Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum mengambil keputusan tentang topik skripsi, saya banyak menimbang-nimbang, terutama urusan kedekatan personal dengan objek penelitian. Kedekatan personal ini bisa dilihat dari berbagai aspek: kedekatan jarak tempuh menuju objek, kesamaan daerah asal dengan objek, juga penguasaan bidang keilmuan mengenai objek tersebut. Dari sekian banyak topik akhirnya muncul keinginan untuk membahas prasasti yang berada di Museum Lambung Mangkurat. Prasasti itu terbuat dari kayu ulin dengan pahatan berupa huruf Jawi atau huruf Arab Melayu dengan bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar.

Berdasarkan deskripsi museum, prasasti itu ditulis atas perintah Sultan Adam mengenai larangan [membakar] petasan pada bulan puasa. Menurut pemandu museum, prasasti itu belum pernah diteliti secara resmi. Yang ada hanya pembacaan awal saja. Dengan alasan yang sudah saya kemukakan di awal, saya resmi memilih prasasti itu sebagai objek peneltian saya.

Prasasti yang menjadi objek penelitian/M. Irsyad Saputra

Mengungkap huruf demi huruf yang ada pada prasasti itu tidaklah mudah. Saya dibantu oleh sanak saudara, peneliti di balai bahasa, dan pegawai museum yang menguasai huruf Arab Melayu. Setelah bersusah payah, akhirnya terungkaplah bahwa prasasti itu tidak hanya menjelaskan larangan petasan, namun juga larangan taruhan dan mencuri. Setelah prasasti itu terbaca utuh, masih ada perkara lainnya yang belum terpecahkan: Siapakah yang membuat prasasti itu? Kepada siapa larangan itu ditujukan? Dan dari manakah asal prasasti itu?

Untuk menemukan jawaban-jawaban pertanyaan di atas, selain melakukan studi pustaka saya juga melaksanakan beberapa kunjungan dan wawancara. Salah satu tempat yang saya datangi adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara, persisnya wilayah Alabio. Berdasarkan hasil studi pustaka, tulisan yang ada di prasasti itu merujuk pada kosakata Banjar Hulu, lebih tepatnya daerah Banua Lima yang sekarang wilayahnya berada dalam teritori Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong.

Saya menumpang di rumah sepupu. Kesempatan itu sekaligus saya gunakan untuk meminta tolong pada sepupu untuk mengoreksi hasil terjemahan saya. Sepupu saya mengerti dialek Banjar Hulu; ia bisa menjadi sumber sekunder untuk penelitian saya. Pengoreksian malam itu cukup menyita waktu. Sembari berdiskusi, saya menikmati hidangan yang disediakan bibi, yakni ikan papuyu (betok) goreng dengan cacapan. Makanan khas Banjar itu serta candaan ala Alabio yang terkenal seantero Kalimantan Selatan berhasil membuat diskusi menjadi lebih hidup. Saya mendapat banyak masukan mengenai pembacaan prasasti.

Besoknya, saya diajak oleh sepupu saya untuk menikmati keindahan Danau Panggang sekaligus memancing di sana. Danau Panggang adalah sebuah kecamatan. Daerah itu 65% bagiannya terdiri dari rawa dan sungai. Rumah-rumah penduduk berdiri rapi di atas sungai dan rawa, terpisah dari jalan aspal. Penghubung antarrumah adalah titian-titian kayu. Kebanyakan penduduk menangkap ikan. Sebagian diolah menjadi ikan asin, lainnya dijual dalam keadaan segar. Selain itu ada pula warga yang membuat tambak ikan di pinggir sungai.

Hampir semua rumah mempunyai perahu, baik perahu kecil (cas) atau perahu besar (kelotok).

Salah satu sudut Danau Panggang/M. Irsyad Saputra

Sebelum berangkat ke Danau Bitin, salah satu danau di Kecamatan Danau Panggang, saya singgah ke rumah salah seorang kerabat yang berprofesi sebagai pencari ikan. Sembari menunggu persiapan memancing, saya mengobrol dengan seorang kakek yang tampaknya sudah sangat sepuh. Menurut ceritanya, kampung itu sudah lama berdiri, bahkan jauh sebelum masa Kerajaan Banjar. Berbanding lurus dengan pernyataan sang kakek, menurut Hikayat Banjar, daerah Danau Panggang dulunya merupakan pusat Kerajaan Kuripan yang sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura.

“Di kampung ini bahkan tidak ada perantau dari daerah lain, mungkin mereka tidak mau tinggal di atas sungai dan rawa,” kata sang kakek.

Persiapan memancing pun rampung. Saya berpamitan dengan sang kakek karena akan memulai perjalanan menyusuri Danau Bitin naik perahu. Saya berangkat bersama Paman Usup dan temannya. Sepupu saya batal ikut karena suatu hal.

Danau Bitin tidak seperti danau pada umumnya. Danau itu lebih mirip sungai bercampur rawa yang luas. Saat menyusuri danau, saya melihat beberapa perkampungan yang didirikan di atas air tanpa jalan raya aspal sama sekali. Tiang listrik di sana pun ditanam di dasar danau. Hilir mudik perahu—termasuk perahu toko kelontong—memecah kesunyian danau dan menimbulkan gelombang air. Perahu yang kami naiki sangat kecil sehingga goyangan gelombang sangat kentara. Selama di perahu, tidak dianjurkan untuk banyak bergerak.

Berbeda dari memancing di daratan, di mana selalu ada tempat untuk bernaung, memancing di tengah danau harus tahan siksaan panas matahari. Siang itu cahaya matahari benar-benar terik dan sampai ke badan tanpa dihalangi awan.

Memancing di bawah terik matahari/M. Irsyad Saputra

Kesabaran mutlak dibutuhkan dalam memancing. Biasanya, para pemancing meluangkan waktu hampir 12 jam di perahu agar hasil tangkapan memadai. Hari itu beberapa kali kami harus pindah titik memancing. Tidak ada umpan khusus yang digunakan, hanya remah-remah roti di rumah yang kemudian dikeraskan. Ikan yang kami dapat kebanyakan ikan patin sungai yang lemaknya lebih sedikit daripada patin tambak.

Sore menjelang namun hasil tangkapan masih terlalu sedikit untuk dibawa pulang. Paman Usup memutuskan untuk tinggal lebih lama. Saya dititipkan naik perahu kenalannya yang kebetulan baru kembali dari hilir. Hari itu ditutup oleh matahari terbenam yang sangat indah di danau, dengan latar belakang perkampungan di atas air.

Asa manusia terus memungkinkan mereka untuk bertahan di tengah kondisi alam yang tak memungkinkan, hingga akhirnya muncul kebudayaan-kebudayaan baru. Rawa dan sungai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari itu, termasuk dalam konteks kebudayaan Banjar. Banyaknya produk budaya, seperti alat-alat penangkap ikan tradisional dan perahu yang membawa mereka ke hulu dan ke hilir, memperlihatkan ikatan yang kuat antara orang Banjar dengan sungai dan rawa.

Sepat kering yang jadi komoditas Danau Panggang/M. Irsyad Saputra

Seminggu setelahnya saya mampir lagi ke Alabio, juga ditemani sepupu saya. Tujuan kali ini adalah mendapatkan data tentang bambu dan cara pengolahannya dengan melihat langsung ke lokasi pembuatan alat penangkap ikan dari bambu. Bambu menjadi esensial dalam penelitian saya. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa mencuri berbagai jenis bambu seperti batung, buluh, dan paring adalah dilarang. Kemungkinan perihal larangan pencurian bambu itu ditulis karena di tempat yang diatur oleh prasasti tersebut banyak bambu.

Hanya lima menit berjalan kaki dari rumah sepupu saya, sampailah kami di depan rumah sang pengrajin, Amir Husin. Keluarga Amir sudah turun-temurun membuat alat-alat penangkap ikan. Kini tongkat estafet itu dipegang oleh Amir dan Ayahnya. Amir, yang usianya tidak terpaut jauh dari saya, menjelaskan secara rinci jenis-jenis bambu yang digunakan, cara pengolahannya, juga memperlihatkan hasil kerajinannya. Ada beberapa alat seperti lukah, sarakap, tangguk, tantaran, dan lainnya yang bahannya terbuat dari beragam jenis bambu. Informasi ini tentu berharga bagi pengerjaan penelitian saya. Ada indikasi bahwa sentra pengrajin alat-alat penangkap ikan sudah semenjak dulu eksis di hulu sungai.

Keesokan harinya, saya kembali melakukan pengambilan data dengan menemui para pedagang perkakas penangkap ikan di sekitar Pasar Alabio. Beberapa dari yang saya wawancarai sudah sepuh. Mereka tampak sangat antusias ketika saya mulai bertanya. Mereka mengaku menyambung hidup dari hasil berjualan kerajinan sudah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Barang dagangan kebanyakan berasal dari daerah Sungai Limas yang, selain menghasilkan alat penangkap ikan, juga memproduksi perkakas rumah tangga seperti wadah, kursi, dan tikar.

Berfoto bersama pedagang kerajinan bambu/M. Irsyad Saputra

Salah satu hal yang sekarang dirasakan para pengrajin dan pedagang adalah bahan baku yang sudah semakin sulit untuk dicari. Akibatnya harga barang pun naik.

“Mencari bambu sekarang sulit sekali rasanya. Habitat aslinya tergerus sehingga sebagian harus didatangkan dari Kalimantan Tengah. Makanya harganya jadi naik,” ungkap Haji Bahrun, salah seorang narasumber, seraya membenarkan pecinya. “Misalnya paikat, yang lebih banyak tumbuh di daerah Barito, langsung [di]datangkan dari sana. Selebihnya, bambu yang lain, ya, dari daerah sini. Tapi memang jumlahnya sudah tidak banyak.”

Selain soal kesulitan mencari bahan baku pembuatan perkakas penangkap ikan dari bambu, Haji Bahrun juga berkomentar tentang cara yang sekarang digunakan oleh sebagian orang untuk menangkap ikan.

“Sekarang pun banyak yang mencari ikan dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti menyetrum yang mengakibatkan matinya benih-benih ikan dan mematikan usaha mencari ikan tradisional,” ujarnya.

Curahan hati Haji Bahrun membuka mata saya soal betapa sudah tidak sehatnya hubungan antara manusia dan alam. Menangkap ikan dengan menyetrum justru mematikan benih-benih ikan serta biota air lainnya. Perlu regulasi yang tidak main-main untuk penyetrum ikan ataupun pengguna racun ikan agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Usai mengumpulkan data di daerah Hulu Sungai Utara, ternyata masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Selanjutnya saya mesti ke Tamban, daerah asal prasasti yang saya teliti, yang berjarak sekitar 187 km dari Hulu Sungai Utara, untuk menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah menjadi satu kesatuan cerita utuh.

The post Catatan tentang Prasasti dan Hulu Sungai Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-tentang-prasasti-dan-hulu-sungai-utara/feed/ 1 23837
Berakit-rakit sepanjang Sungai Amandit Loksado https://telusuri.id/bamboo-rafting-amandit-loksado/ https://telusuri.id/bamboo-rafting-amandit-loksado/#comments Sun, 10 Jun 2018 06:32:30 +0000 https://telusuri.id/?p=9091 Meskipun lahir di Kalimantan Selatan, sampai berusia seperempat abad saya belum pernah sekali pun main ke Loksado, Hulu Sungai Selatan. Namanya hanya saya dengar lewat pelajaran geografi di sekolah. Maka ketika sepupu saya yang paling...

The post Berakit-rakit sepanjang Sungai Amandit Loksado appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun lahir di Kalimantan Selatan, sampai berusia seperempat abad saya belum pernah sekali pun main ke Loksado, Hulu Sungai Selatan. Namanya hanya saya dengar lewat pelajaran geografi di sekolah.

Maka ketika sepupu saya yang paling bontot mengajak liburan bersama keluarganya ke Loksado, saya senang hati mengiyakannya. Di hari keberangkatan, dengan riang saya menenteng ransel merah kesayangan lalu melompat ke mobil paman.

loksado

Sungai Amandit yang dikelilingi perbukitan Loksado/Endah Wulandari

Perjalanan dari rumah saya di Banjarbaru menuju Loksado memakan waktu sekitar 3 jam. Di Kandangan, Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kami sempat berhenti untuk makan siang. Menunya ketupat kandangan dengan lauk ikan haruan. Nikmat!

Setelah piring kami bersih, mobil melaju lagi. Semakin lama aspal yang kami lewati semakin menyempit. Jalan pun mulai naik turun. Rumah-rumah mulai berganti dengan hutan dan sungai yang berkelok.

Paman mematikan pendingin mobil dan membuka jendela. Udara segar beraroma tanah dan daun mulai memenuhi hidung. Ah… Aroma liburan!

loksado

Rakit bambu sedang konvoi di Sungai Amandit/Endah Wulandari

Menjelang sore, mobil kami mulai melambat di jalan tanah. Satu-dua, rumah panggung mulai tampak. Setiba di depan bangunan semipermanen bertuliskan “Loksado Outbond” yang terletak tepi sungai, mobil benar-benar berhenti.

“Kita menginap di sini,” ujar paman dengan ceria. Ternyata bangunan agak terbuka itu lantainya hanya dilapisi tikar bambu, sementara angin dingin sudah mulai memeluk tubuh. Sial! Saya tak bawa selimut!

loksado

Dayungnya adalah sebilah bambu panjang/Zeckho Koko

Berakit-rakit di Sungai Amandit Loksado

Keesokan paginya saya dibangunkan oleh aroma nasi goreng buatan paman. Kami sarapan di tepi sungai ditemani debur Sungai Amandit dan kicauan burung. Ujar paman kami akan naik rakit hari ini, karena itu tak perlu mandi dulu. Saya dan dua sepupu manut saja.

Setengah jam kemudian rakit kami datang. Paman memesan dua rakit karena rombongan kami berjumlah lima orang sementara satu rakit hanya bisa dinaiki oleh tiga penumpang dewasa.

Tidak ada pelampung atau peralatan pengaman lainnya. Yang ada hanya ada satu tempat duduk panjang yang juga terbuat dari bambu. Kami duduk berbaris. Sandal kami dilepas dan diikat supaya tidak hanyut. Kami seutuhnya jadi penumpang.

loksado

Saat arus deras, rakit dijaga untuk selalu di tengah/Endah Wulandari

Kami tidak dibekali dayung. Hanya bapak pengemudi rakit kami yang memegang “dayung.” Kata dayung saya beri tanda kutip karena dayung itu hanya sebilah bambu panjang, bukan dayung “modern” seperti untuk arung jeram.

Rakit kami mulai meluncur mengikuti arus Sungai Amandit. Saat arus deras, nakhoda rakit kami memastikan kalau rakit kami tetap di tengah, tentu saja menggunakan bambu itu. Saat arus sedang lambat, dayung bambu itu digunakan untuk mendorong rakit agar terus maju dan tidak tersangkut batu.

loksado

Jeram Sungai Amandit/Endah Wulandari

Sepanjang perjalanan adalah hutan. Batu-batu sungai besar-besar, pohon-pohon menjulang tinggi, dan di atas sana burung-burung sibuk lalu-lalang—sekali saya melihat buaya kecil sedang asyik berjemur.

Ketika makan siang di atas rakit

Di tengah perjalanan, paman meminta agar rakit kami diarahkan ke tepian. Kedua rakit kami pun berhenti dekat sebuah jembatan gantung.

Rupanya sudah hampir tengah hari. Waktunya makan siang. Dengan bekal yang sudah dipersiapkan sebelum naik rakit tadi, kami menyantap makan siang di atas rakit yang mengambang di permukaan Sungai Amandit Loksado.

loksado

Perbukitan hijau yang memagari Sungai Amandit/Zeckho Koko

Tak jauh dari tempat rakit kami berhenti, serombongan anak-anak sedang berenang. Melihat kami sedang makan siang, mereka mendekat. Tapi barangkali bukan makanan yang menarik mereka untuk mendekat—sepertinya mereka takjub dengan kamera DSLR paman.

Paman lalu menantang mereka. Ujarnya, siapa yang berani terjun dari jembatan gantung akan difoto dengan kameranya yang hebat itu. Gayung bersambut. Tantangan paman diterima oleh semua anak.

loksado

Seorang anak meloncat dari jembatan gantung/Zeckho Koko

Mereka bergegas ke tengah jembatan. Mengikuti aba-aba paman, satu per satu dari mereka terjun ke sungai. Saat melihat hasil fotonya, mereka cekikikan, gembira tak karuan melihat aksi mereka terabadikan. Paman pun menghadiahi keberanian mereka dengan setumpuk kue—bekal kami yang kebanyakan. Anak-anak kecil tadi menyambut kue-kue itu dengan gembira.

Ditemani suara binatang hutan Loksado yang sahut-sahutan dengan debur Sungai Amandit, kami pun melanjutkan perjalanan hingga ke garis akhir di Desa Tanuhi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berakit-rakit sepanjang Sungai Amandit Loksado appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bamboo-rafting-amandit-loksado/feed/ 3 9091
6 Kuliner “Berat” Khas Banjar yang Ada di Pasar Wadai Banjarbaru https://telusuri.id/kuliner-khas-banjarbaru-pasar-wadai/ https://telusuri.id/kuliner-khas-banjarbaru-pasar-wadai/#respond Sun, 03 Jun 2018 08:59:05 +0000 https://telusuri.id/?p=8997 Setelah di tulisan sebelumnya kita bahas jajanan, sekarang kita lanjut ke kuliner-kuliner “berat” khas Banjar yang bisa kamu cari di Pasar Wadai. Uniknya, sebagian besar kuliner berat di Pasar Wadai berbahan dasar ikan, entah ikan...

The post 6 Kuliner “Berat” Khas Banjar yang Ada di Pasar Wadai Banjarbaru appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah di tulisan sebelumnya kita bahas jajanan, sekarang kita lanjut ke kuliner-kuliner “berat” khas Banjar yang bisa kamu cari di Pasar Wadai.

Uniknya, sebagian besar kuliner berat di Pasar Wadai berbahan dasar ikan, entah ikan air tawar atau ikan air laut. (Menteri Susi pasti senang sekali ke sini). Inilah lima di antaranya:

Ikan bakar

banjar

Ikan patin bakar/Endah Wulandari

Pasti selalu saja ada penjual ikan bakar di Pasar Wadai tiap tahun. Ikan yang dibakar macam-macam, dari mulai ikan patin, ikan mas, sampai ikan haruan.

Ikan bakar khas Banjar biasanya berbumbu merah, sehingga ada campuran rasa manis di bagian kulit ikan. Side dish-nya adalah sayur berkuah dan sambal yang bikin kamu pengen nambah terus!

Pais ikan

banjar

Aneka lauk di Pasar Wadai/Endah Wulandari

Pais atau pepes ikan cocok banget buat kamu yang menghindari makanan yang digoreng.  (Makanan ini salah satu favorit saya.) Beragam ikan bisa dimasak jadi pais, misalnya ikan mas dan ikan patin.

Pepes ikan biasanya berbumbu bawang merah dan bawang putih serta ditambah rempah-rempah seperti lengkuas dan daun salam. Pais ikan ini jadi wangi dan lezat karena melewati dua tahap pemasakan. Pertama dikukus dan kedua dibakar/diasap.

Urap

banjar

Urap dan makanan-makanan khas Banjar lainnya/Endah Wulandari

Setelah bicara soal dua menu ikan, waktunya membahas menu sayuran. Di Pasar Wadai juga banyak yang menjual urap (di Jogja disebut gudangan). Urap adalah sayur rebus yang disajikan dengan kelapa parut yang sudah dibumbui.

Parutan kelapa di Banjarbaru biasanya berwarna kuning karena kunyit yang dipakai agak banyak. Selain itu, parutan kelapanya juga cenderung kering, tidak seperti gudangan yang lebih basah. Urap biasanya jadi teman makan pepes ikan.

Sayur umbut dan keladi

banjar

Sayur umbut dan keladi/Endah Wulandari

Umbut adalah bagian batang paling lunak di bagian dalam pohon kelapa. Warnanya putih dan biasanya dijadikan sayur. Umbur punya tekstur keras dan renyah dengan rasa sedikit manis (seperti rasa daging buah kelapa muda) dan biasanya dimasak dengan kuah santan.

Nah, resep kuah untuk sayur umbut ini juga hampir serupa dengan kuah sayur keladi atau talas. Kedua sayur ini paling pas buat menemani ikan bakar—apalagi ditambah sambal!

Cacapan iwak haruan

banjar

Sepiring cacapan ikan haruan/Endah Wulandari

Kuliner khas Banjar yang satu ini dijamin akan menggugah selera kamu. Tidak percaya? Coba kita bahas dulu arti cacapan iwak haruan. Cacapan adalah acar yang terbuat dari potongan mangga muda, bawang merah, cabe, dan asam. Sementara itu iwak haruan adalah sebutan lokal bagi ikan gabus.

Nah, cacapan iwak haruan adalah ikan haruan panggang yang dinikmati dengan cacapan dan nasi hangat yang masih mengepul. Sudah terbayang kelezatannya?

Itulah beberapa kuliner berat khas Banjar yang bisa kamu temukan di Pasar Wadai. Jangan lama-lama lihat foto-fotonya. Nanti puasanya batal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 6 Kuliner “Berat” Khas Banjar yang Ada di Pasar Wadai Banjarbaru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-khas-banjarbaru-pasar-wadai/feed/ 0 8997