kalimantan timur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kalimantan-timur/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:15:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kalimantan timur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kalimantan-timur/ 32 32 135956295 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/ https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/#respond Tue, 15 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46632 Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare....

The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare. Ekosistem karst yang pernah diajukan sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016 ini mencakup dua wilayah administrasi, yaitu Berau dan Kutai Timur. 

Masyarakat Dayak Lebo yang mendiami Merabu, bagian dari Dayak Basap yang menginduk pada Dayak Punan—salah satu rumpun suku Dayak terbesar di Kalimantan—dikenal sebagai suku pemburu (hewan) dan peramu obat-obatan tradisional. Di era modern, masyarakat Merabu umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan berburu sarang burung walet di liang-liang gua yang tersebar melimpah di hutan Merabu.

Sejak 2011, Kampung Merabu mulai mengenal konsep ekowisata setelah riset etnografi dan arkeologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) beberapa dekade sebelumnya. TNC—yang beberapa tahun kemudian sempat berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—membantu masyarakat memetakan potensi sumber daya alam untuk dijadikan peluang ekonomi alternatif melalui pengembangan destinasi wisata secara berkelanjutan.

Lokasinya Kampung Merabu terletak di pedalaman, sekitar 30 kilometer dari jalan poros Berau–Samarinda, melewati area perkebunan kelapa sawit yang telah merambah kampung tetangga. Sejak 9 Januari 2014, Merabu jadi kampung pertama di Kabupaten Berau yang mendapatkan izin Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan desa seluas 8.245 hektare pada 9 Januari 2014. Sekitar 37,5 persen dari total luas kampung 22.000 hektare (220 km2). Di dalam kawasan hutan desa tersebut, terdapat tiga destinasi utama yang wajib dikunjungi jika merencanakan perjalanan wisata ke Merabu.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Foto udara permukiman Kampung Merabu di pinggiran Sungai Lesan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur via TelusuRI/Deta Widyananda

1. Gua Bloyot

Gua Bloyot telah menjadi objek cagar budaya di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur. Gua ini menjadi salah satu bagian dari sedikitnya 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

Beberapa lukisan ikonis di dinding utama Gua Bloyot antara lain gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

Aula utama Gua Bloyot dan lukisan-lukisan prasejarah di dinding gua via TelusuRI/Deta Widyananda

Untuk menuju Gua Bloyot, kamu wajib ditemani pemandu lokal lalu berjalan kaki sejauh empat kilometer dari kampung dengan kontur medan relatif datar di antara belantara Kalimantan. Sesekali terdengar teriakan owa, orang utan, maupun beruang endemik Kalimantan bersahut-sahutan dari jarak yang jauh. Mendekati Gua Bloyot, trek pendakian akan terjal di antara batuan cadas dan memasuki lorong gua yang gelap, sehingga diperlukan penerangan (headlamp) dan helm untuk keselamatan.

Kampung Merabu menyediakan paket wisata one day trip atau berkemah semalam jika ingin merasakan sensasi menginap di dalam gua. Biasanya tempat camp akan digelar di aula Gua Lima Cahaya yang terletak di atas Gua Bloyot. Dinamakan ‘Lima Cahaya’ karena terdapat lima lubang di langit-langit gua untuk akses masuk sinar matahari dan corak warna cahayanya bisa berbeda-beda.

2. Danau Nyadeng

Danau Nyadeng berwarna toska ini tampak kontras dengan lebatnya hutan hujan tropis khas Kalimantan di sekelilingnya. Memiliki luas kurang lebih seperempat hektare, titik terdalam danau ini disinyalir bisa mencapai 40 meter. Untuk itu hanya orang yang benar-benar mahir berenang yang diizinkan untuk bermain air di danau ini.

Telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut mengalir jernih ke anak-anak sungai sekaligus menjadi sumber air minum warga. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat. 

Danau Nyadeng dan fasilitas untuk pengunjung via TelusuRI/Deta Widyananda

Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, di antaranya pondok kayu termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Saat musim hujan, air danau akan meluap ke daratan sehingga direkomendasikan untuk bermalam di pondok kayu daripada menggelar tenda. Jangan lupa menyiapkan kantung tidur (sleeping bag) dan lotion antinyamuk agar bisa beristirahat dengan nyaman.

Untuk menuju Danau Nyadeng, moda transportasi satu-satunya hanyalah menggunakan ketinting atau perahu kayu menyusuri aliran Sungai Lesan sejauh lima kilometer atau sekitar 20 menit. Setibanya di Dermaga Nyadeng, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki santai sejauh satu kilometer dengan waktu tempuh 20 menit. Sejumlah pohon besar mudah dijumpai, antara lain meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Kunjungan wisata ke Danau Nyadeng biasanya serangkai dengan Puncak Ketepu sehingga harus menginap satu malam di tepi danau.

3. Puncak Ketepu

Puncak Ketepu berada di ketinggian 393 mdpl. Sepintas tampak pendek, tetapi nyatanya tetap memerlukan perjuangan untuk bisa menjangkau Puncak Ketepu. Sama seperti Gua Bloyot, perjalanan ke Puncak Ketepu membutuhkan fisik ekstra. Sebab, jalur pendakian sangat terjal meski jaraknya ‘hanya’ 500 meter. Kamu harus berhati-hati dengan batu-batu karst yang tajam sehingga direkomendasikan menggunakan sepatu khusus trekking.

Menurut pemandu lokal, jalur ke Puncak Ketepu searah menuju Danau Tebo, bagian dari ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur, yang masih berjarak seharian dengan berjalan kaki. Persimpangan jalur ke danau tersebut berada di liang gua mendekati Puncak Ketepu. Terdapat jalan setapak yang curam melipir tebing di sisi jurang dalam.

Pemuda pemandu lokal di Puncak Ketepu dan pemandangan yang dapat dilihat saat cuaca cerah via TelusuRI/Deta Widyananda

Umumnya pendakian ke Puncak Ketepu dimulai sejak sebelum subuh, sekitar pukul 04.00–04.30 WITA. Durasi pendakian setidaknya 1,5–2 jam, tergantung ketahanan fisik kamu. Tujuan pendakian pada jam-jam tersebut karena daya tarik Puncak Ketepu adalah pemandangan alam yang tersaji jelang matahari terbit.

Sejatinya Puncak Ketepu bukanlah yang tertinggi di ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun, puncak ini jadi yang paling mudah dijangkau untuk kegiatan wisata. Dari puncak yang tidak terlalu luas, gulungan kabut tipis bak kapas membentuk awan yang melayang rendah di kanopi hutan. Puncak-puncak karst lainnya juga akan terlihat lebih tinggi di sekitarnya. Panorama pagi itu biasanya ditemani suara lengkingan owa kalimantan yang terdengar bergema.

  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
  • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur

Aktivitas tambahan

Selain empat destinasi utama tersebut, ada aktivitas-aktivitas tambahan yang bisa kamu lakukan di Merabu. Pastikan datang pada saat yang tepat. Kamu bisa mengkonfirmasi waktunya ke pihak pengelola ekowisata Merabu.

Pertama, kamu bisa mengikuti warga Merabu melakukan tradisi bercocok tanam padi gunung atau manugal. Tradisi budi daya pangan dengan sistem ladang berpindah secara gotong royong ini hanya berlangsung dua kali dalam setahun. Lalu malamnya akan berlangsung pesta lemang, yaitu makan-makan bersama di pondok tengah kebun. Lemang adalah kuliner khas Merabu berupa beras ketan dalam bambu panjang yang dibakar.

Kedua, mengikuti rangkaian Festival Tuaq Manuk yang biasa digelar pada pertengahan tahun. Festival kebudayaan yang masuk dalam kalender wisata Kabupaten Berau ini sejatinya merupakan tradisi gotong royong bernuansa spiritual yang merangkul semua golongan, sekaligus sebagai wadah literasi tentang unsur-unsur kehidupan sehari-hari yang melekat dalam adat Dayak Lebo: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem kesakralan. 

Tuaq Manuk memiliki tujuan besar agar masyarakat dan hutan Kampung Merabu diberikan keberkahan dan senantiasa bersyukur pada hasil yang diterima. Baik untuk kebutuhan tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Panen padi sukses, buah-buahan dan madu berlimpah, juga termasuk memberi obat dan doa pada warga yang mengalami beragam kesulitan.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Akses jalan tanah di antara perkebunan kelapa sawit Kampung Merapun menuju Kampung Merabu via TelusuRI/Mauren Fitri

Transportasi dan akomodasi

Akses termudah untuk menjangkau Kampung Merabu adalah melalui Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Tersedia penerbangan reguler dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, dan Samarinda ke Bandara Kalimarau Berau. Adapun jika ingin mencoba petualangan seru, kamu bisa mencoba jalur darat dari Balikpapan ke Tanjung Redeb sejauh hampir 500 km melalui jalan poros Bontang–Sangatta atau Tenggarong–Kutai Timur.

Tidak ada transportasi umum memadai yang tersedia dari Tanjung Redeb menuju Merabu. Satu-satunya jalan adalah membawa kendaraan pribadi atau menyewa mobil berikut sopirnya. Rata-rata harga sewa mobil (termasuk sopir) dari Tanjung Redeb ke Kampung Merabu sekitar Rp1,5 juta sekali jalan, menempuh jarak 173 kilometer dengan waktu tempuh antara 4,5–5 jam perjalanan. Untuk transportasi kembali ke Tanjung Redeb, biasanya menggunakan armada mobil milik warga Merabu dengan tarif serupa.

Untuk saat ini tersedia penginapan di rumah warga yang sederhana (homestay) dengan tarif terjangkau. Sebagaimana konsep ekowisata berbasis masyarakat, Kampung Merabu juga memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam pengembangan ekowisata di luar pekerjaan utama.

Untuk kebutuhan listrik, terdapat instalasi panel surya di lahan seluas satu hektare yang terletak di selatan kampung. Jangkauan sinyal seluler dan internet terbatas. Namun, pemerintah kampung menyediakan akses Wi-Fi di kantor kepala kampung yang biasanya dinyalakan pada saat-saat tertentu.

Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
Kantor sekretariat Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Kerima Puri di Merabu, yang mengelola ekowisata kampung via TelusuRI/Rifqy Faiza Rahman

Pilihan paket wisata Kampung Merabu

Berdasarkan informasi di Instagram resmi Kampung Merabu, tersedia sejumlah paket wisata dengan varian harga dan durasi perjalanan yang bisa kamu pilih.

Paket WisataFasilitasHarga
1 Day Trip
(Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
Perahu, life jacket, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip
(Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
Perahu, tenda, life jacket, pemandu lokalRp640.000 (untuk 1–3 pax)
1 Day Trip
(Gua Bloyot)
Headlamp, helm, pemandu lokalRp240.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip
(Gua Bloyot)
Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
2 Days 1 Night Trip(Gua Sedepan Bu)Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp345.000 (untuk 1–3 pax)

Harga paket wisata tersebut bisa berubah tergantung kuota kelompok wisata, serta belum termasuk transportasi dari tempat asal ke Merabu (PP), lalu donasi konservasi Rp10.000 per orang (wisatawan domestik) dan Rp250.000 per orang (wisatawan mancanegara). Kampung Merabu juga membuka donasi untuk adopsi pohon sebagai upaya melestarikan hutan desa mereka. 

Untuk permintaan tur khusus atau informasi paket wisata lebih lanjut kamu bisa menghubungi Bu Yervina melalui WhatsApp (+62-813-4593-9332). 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/feed/ 0 46632
Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/ https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/#respond Tue, 12 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43024 Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mardhatillah Ramadhan


Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Jumlah penyeberangan kapal feri kalah telak dibandingkan kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara yang melintasi Teluk Balikpapan/Deta Widyananda

Setiap hari, Teluk Balikpapan selalu sibuk. Silih berganti kapal-kapal besar melintas tiada henti. Selain arus kapal penumpang antarpulau, lalu lintas perairan tersebut menjadi jantung utama kapal-kapal industri.

Perusahaan-perusahaan konstruksi, kargo, kelapa sawit, pertambangan batu bara, hingga PLTU menjejal nyaris sepanjang pesisir Balikpapan maupun Penajam Paser Utara (PPU). Menjadi pemandangan lumrah jika melihat kapal tongkang lalu lalang mengangkut gunungan batu bara ke Pulau Jawa dan sebaliknya. Apalagi adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memanfaatkan Teluk Balikpapan sebagai gerbang utama untuk memasok logistik proyek.

Di sisi lain, teluk seluas 160 km2 dengan daerah aliran sungai sekitar 211.456 hektare1 juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Kelurahan Jenebora, berjarak sekitar 30 menit dengan speed boat dari tepi Kota Balikpapan, rumah-rumah tapak dan panggung dengan dermaga-dermaga kecil menyemut di tepian laut. Menyisakan tegakan hutan mangrove yang mengapit permukiman.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Permukiman padat di Kelurahan Jenebora, kampung nelayan PPU terdekat yang bisa dicapai dari Kota Balikpapan/Deta Widyananda

Perkampungan lawas ini terbentuk sejak berabad-abad silam. Dihuni oleh mayoritas suku Bajau (Bajo) dan Bugis, dua etnis dari Sulawesi yang terkenal andal dalam melaut. Dari 3.533 jiwa, sekitar 602 orang atau 17 persennya berprofesi sebagai nelayan2. Populasi ini lebih jauh lebih tinggi daripada di Tanjung Jumlai dan Api-Api. 

Rajungan (Portunus pelagicus), atau istilah globalnya blue swimming crab, merupakan komoditas andalan masyarakat pesisir PPU. Selain itu juga terdapat lobster, gurita, kepiting, dan beberapa jenis ikan lainnya. Sayangnya, tren penurunan jumlah tangkapan terus mengintai para nelayan. Tuntutan kebutuhan sehari-hari terus merengek, sementara marabahaya dari segala penjuru selalu menghantui.

Nelayan memang pekerjaan yang berisiko tinggi. Tiada sekat yang membatasi tubuh nelayan dengan empasan ombak, selain dinding perahunya sendiri. Nelayan juga tidak bisa memastikan jumlah tangkapan yang stabil setiap harinya. Saking sulitnya pekerjaan ini, sampai-sampai sebagian besar nelayan melarang anak-anak mereka mengikuti jejaknya. Tidak heran jumlahnya terus menurun.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Rajungan, komoditas unggulan nelayan di pesisir PPU/Deta Widyananda

“Jangan sampai [jadi nelayan]. Semua anak-anak, mereka tidak ada yang ke laut. Fokus sekolah saja,” ujar Said, nelayan Tanjung Jumlai, Kelurahan Pejala, sekitar 55 km ke arah selatan dari Jenebora. Desa ini berhadapan langsung dengan laut lepas Selat Makassar. 

Kekhawatiran para orang tua cukup beralasan. Sebagian generasi muda di pesisir PPU lebih menengok “masa depan” di gemerlap Balikpapan. Menjadi karyawan di perusahaan tampak jauh menjanjikan daripada nelayan. Jadwal kerja tetap, gaji pasti. Situasi seperti ini sama persis dialami oleh petani-petani kecil di Jawa, yang lebih mendorong anak-anaknya bekerja kantoran. Terlebih jejaring investasi yang tiada kenal henti terus merasuk sendi-sendi ekonomi Balikpapan dan sekitarnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Anak-anak Jenebora meluangkan waktu dengan memancing di salah satu dermaga kampung. Hilir mudik tongkang batu bara di Teluk Balikpapan menjadi latar kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pesisir PPU/Deta Widyananda

Tidak hanya dijepit industri, tetapi juga gejolak iklim

Aktivitas antropogenik3 yang sangat tinggi memang tampak memberi pengaruh pada penyempitan ruang hidup nelayan. Limbah industri ekstraktif tidak hanya mencemari laut permukaan, tetapi juga mengganggu biota laut di dalamnya. Belum lagi metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebihan (overfishing), seperti bom ikan, penggunaan pukat hela atau dogol oleh sejumlah oknum nelayan. Pukat yang terpasang tidak hanya menjaring ikan yang ditargetkan, tetapi juga menggaruk biota-biota laut tak bersalah, di antaranya terumbu karang dan ikan-ikan karang kecil di sekitarnya. Jaring-jaring nelayan kecil pun ikut rusak.

Praktik-praktik merusak seperti itu berdampak instan pada ekosistem perairan. Padang lamun berkurang, dugong pun menghilang. Laut dan daerah aliran sungai tercemar, pesut dan ikan-ikan endemik menjauh. Konflik horizontal bisa memanas, ketika nelayan-nelayan yang “lurus” dirugikan oleh kelompok nelayan yang melaut secara serampangan.

Di Jenebora, lingkungan yang tidak sehat menyebabkan penyempitan area dan jumlah tangkapan, yang berimbas pada penurunan pendapatan. Kondisi memprihatinkan juga dialami para nelayan di Tanjung Jumlai dan Api-Api. Posisi kampung yang berhadapan dengan laut lepas Selat Makassar rentan terhadap abrasi dan banjir karena naiknya permukaan air laut. Minimnya benteng alami seperti mangrove meningkatkan risiko itu.

Mindworks Lab dan Datakota mencatat angka kerentanan yang mengkhawatirkan terhadap kelangsungan komunitas pesisir PPU. Rata-rata mengalami dampak nyata akibat perubahan iklim. Diprediksi, kenaikan permukaan laut dan abrasi akan mengancam masa depan lebih dari 6.000 jiwa, 100 km infrastruktur jalan, dan lebih dari separuh dermaga atau pelabuhan di pesisir PPU pada 2050.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Tampak dua nelayan di Desa Api-Api, Kecamatan Waru, pergi melaut saat sore hari. Ganasnya ombak kala musim angin selatan harus diwaspadai ketika nelayan tetap mencari ikan, meski penghasilan tidak menentu/Deta Widyananda

Berdasarkan penuturan nelayan setempat, Mei–September merupakan musim selatan yang ditandai dengan angin kencang dan gelombang besar. Perahu kecil nelayan seringkali tidak sanggup menghadapi cuaca buruk. Perubahan cuaca tidak menentu juga berdampak pada ketidakpastian frekuensi melaut dan penghasilan tidak menentu.

Musim angin selatan, yang secara teori biasa berlangsung bulan Mei–September, belakangan kian sulit diprediksi. Angin kencang bisa hilang dan timbul tiba-tiba. Meski masih cukup optimis dengan ketersediaan ikan yang bisa ditangkap, Salman, nelayan Desa Api-Api, gelisah dengan jarak melaut yang makin jauh. Perahu kecil bervolume kurang dari 5 Gross Tonnage (GT) dengan mesin tempel kapasitas 5 sampai 15 PK—mayoritas nelayan menggunakan ini—pun tampak timpang dengan kondisi alam yang ganas.

“Kekhawatiran saya untuk anak cucu kami ke depannya itu, ya, cuma makin jauh kita melaut,” terang Salman. Saat ini Salman dan nelayan lainnya harus menempuh jarak satu jam perjalanan untuk tiba di lokasi tangkapan. Setara dengan 3–5 mil atau sekitar 5–8 kilometer. “Nanti kalau anak cucu kami itu mungkin dua jam baru sampai di tempat penangkapan.”

Menurut keterangan Salman, dahulu nelayan mudah mendapat 50 kg tangkapan ikan hanya di perairan dekat pantai. Bahkan Sahibe, nelayan Tanjung Jumlai, pernah memperoleh hasil tangkapan satu kuintal ikan per hari. Nominal yang tampaknya sulit diulang akhir-akhir ini. Dapat seperlimanya saja sudah bisa dibilang sangat beruntung.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Sahibe membawa seember penuh kerang laut yang didapat di pantai saat laut surut/Deta Widyananda

Jalan tengah: adaptasi dan sinergi

Mega bergelayut di langit Teluk Balikpapan. Membuat pagi seakan belum benar-benar lepas dari buta. Namun, nuansa sendu tidak berlaku sama di ujung kampung Jenebora. 

Syamsuddin sudah sibuk di atas perahunya. Ia melepas tali tambat, menggiring bahtera kecil itu menjauhi dermaga. Sesaat setelah menyalakan mesin, ia melesat menuju perairan yang tak jauh dari kampung. Meski langit dan lautan sedang kelabu, dengan balutan pakaian dan topi bernuansa biru, ia mencoba menjemput harapan.

Di satu titik, sekitar 1–2 mil (setara 1,5–3 km), pria yang sehari-hari sering menggunakan peci tersebut ingin mengecek hasil alat tangkap yang dipasang sejak sore sebelumnya. Rakang atau bubu rajungan sederhana itu diangkat olehnya. Tidak banyak, tetapi ia tetap tersenyum dan mensyukuri hasilnya.

Terkadang Syamsuddin memiliki cara tersendiri agar ketersediaan rajungan berkelanjutan. Setiap ia memasang rengge, sejenis alat untuk cari umpan (biasanya udang), dan mendapat rajungan yang sedang bertelur, maka telur-telur tersebut langsung ia sebar secara acak di perairan sekitarnya. Atau ia bawa pulang dan menebarkannya di sekitar kampung.

“Setahun kemudian, begitu saya pasang rengge [lagi] di situ, [diharapkan] banyak rajungannya. Karena kalau tidak begitu, tidak akan berkelanjutan,” jelasnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
(Kiri) Syamsuddin menunjukkan hasil tangkapan dari alat yang dipasang semalaman. Ia telah mempraktikkan proses adaptasi untuk menjaga spesies rajungan di laut. (Kanan) Nelayan Api-Api melakukan perbaikan dan penguatan lambung perahu agar bisa diajak berlayar lebih jauh/Mardhatillah Ramadhan dan Deta Widyananda

Langkah yang dilakukan Syamsuddin merupakan contoh bentuk adaptasi. Sembari menanti kondisi ekosistem perikanan mencapai titik ideal, ia lebih memilih untuk menjaga kelestarian rajungan dengan caranya sendiri. Begitu pun Salman. Bersama sejumlah nelayan di Api-Api, ia memodifikasi perahu agar lebih kuat saat menempuh rute melaut yang lebih jauh. Sedikit berbeda dari dua desa itu, sejumlah nelayan di Tanjung Jumlai memiliki alternatif sumber ekonomi lain, seperti menggarap sawah atau berkebun.

Meski kemampuan adaptasi masih terbilang rendah4, harapan itu masih ada. Darah pelaut masih melekat erat di nadi masyarakat keturunan Bajo dan Bugis di pesisir Penajam Paser Utara. Keadaan yang rentan di Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api merupakan peluang strategis untuk melakukan intervensi.

Seperti yang dilakukan Aruna, perusahaan rintisan yang menghubungkan nelayan lokal ke segmen pasar lebih luas dengan teknologi. Melalui program Fisheries Improvement Project (FIP), Aruna berupaya secara bertahap melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan praktik dan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, sehingga spesies, habitat, dan manusia dapat berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya adalah penggunaan perangkap berumpan lipat (bubus) dan jaring insang oleh kapal penangkap ikan terdaftar—di bawah 5 GT—dengan spesies target rajungan. Keberadaan Aruna Hub di Balikpapan bisa memperkukuh sistem perikanan ideal yang diimpikan.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Perahu-perahu nelayan Api-Api tertambat di pantai. Masa depan komunitas pesisir tetap ada di laut. Butuh dukungan lintas sektor untuk menjamin hidup dan identitas mereka/Deta Widyananda

Proyek yang memadukan ilmu, manajemen perikanan, dan teknologi tersebut berbasis pada standar perikanan internasional yang ditetapkan Marine Stewardship Council (MSC). Lembaga nonprofit internasional yang berbasis di London ini memiliki visi global agar ekosistem perikanan dan ketersediaan makanan dari laut tetap terjaga untuk generasi saat ini dan masa depan.

Jenebora dan Tanjung Jumlai termasuk dua desa di PPU yang menjadi proyek percontohan FIP oleh Aruna. Program ini merupakan kolaborasi lintas sektor, melibatkan Aruna, nelayan, pemerintah, peneliti, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Mindworks, dalam hal ini juga memberi kacamata langit lewat data-data potensi kerentanan akibat perubahan iklim yang mendorong mitigasi dan adaptasi. Nelayan akan diberikan pendampingan dan berbagai pelatihan untuk berkomitmen melakukan praktik penangkapan tradisional dan berkelanjutan.

Syamsuddin menunjukkan hasil rajungan dan ikan-ikan besar yang akan menopang taraf hidup nelayan PPU, selama tetap mempertahankan proses penangkapan yang ramah lingkungan/Deta Widyananda

Sinergi multipihak seperti inilah yang harus dilakukan demi menjamin masa depan nelayan. Tidak sekadar berhenti sebagai proyek semata, tetapi juga semestinya terakomodasi dalam kebijakan maupun payung hukum pemerintah yang melindungi komunitas nelayan. Sistem ideal yang diimpikan, agar nelayan melesat sebagai profesi yang memiliki prospek cerah.

Terlebih etnis Bugis dan Bajo di PPU—dan sejumlah daerah pesisir lainnya di Indonesia—yang secara historis hidup dan mati bersandar pada lautan. Angin segara dan gelombang ombak mengalir lebih dekat dari urat nadi. Merawat ruang hidup mereka, berarti merawat identitas dan kebudayaan lokal Nusantara sebagai bangsa maritim. (*)


  1. Data oleh Mapaselle Selle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, dalam Webinar Series #5 IKN berjudul “Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik (PRP) BRIN pada 7 Oktober 2022. ↩︎
  2. Dielaborasi dari temuan Mindworks Lab dan Datakota serta data Kecamatan Penajam dalam Angka 2023 oleh BPS Kabupaten Penajam Paser Utara. ↩︎
  3. Pencemaran logam berat akibat kegiatan pertambangan, transportasi, dan industri (Sholehhudin et al, 2021). ↩︎
  4. Dilansir dari hasil riset vulnerability mapping oleh Mindworks Lab dan Datakota (2024), Penajam Paser Utara (PPU) merupakan wilayah yang memiliki tingkat bahaya tertinggi akibat pengaruh antropogenik dan perubahan iklim, tetapi kapasitas adaptasinya rendah. ↩︎

Referensi

Sholehhudin, M., Azizah, R., Sumantri, A., Sham, S.M., Zakaria, Z..A., & Latif, M.T. (2021). Analysis of Heavy Metals (Cadmium, Chromium, Lead, Manganese, and Zinc) in Well Water in East Java Province, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences. Vol. 17(2): 146–153, April 2021, eISSN 2636-9346. https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021040613114320_MJMHS_0789.pdf.


Foto sampul:
Seorang nelayan Jenebora mendorong perahunya menjauh dari dermaga dengan tongkat bambu sebelum menghidupkan mesin untuk melaut. Tampak di latar belakang aktivitas industri yang sibuk di pinggiran Kota Balikpapan/Deta Widyananda


Artikel ini adalah publikasi program ekspedisi Mindworks Lab dan Aruna bersama TelusuRI di tiga desa, yaitu Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api, Kabupaten Penajam Paser Utara pada Juni 2024, dengan tema “Indonesian Coastal Communities Climate Vulnerabilities Documentation & Narrative Creation”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/feed/ 0 43024
The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads https://telusuri.id/the-fate-of-dayak-lebo-tribe-at-the-crossroads/ https://telusuri.id/the-fate-of-dayak-lebo-tribe-at-the-crossroads/#respond Fri, 15 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41379 The Dayak Lebo tradition in Kampung Merabu is fighting to survive amidst strict religious regulations and the rapid flow of modernization. Regeneration and literacy are some of the big obstacles. Text: Rifqy Faiza RahmanPhotos: Deta...

The post The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads appeared first on TelusuRI.

]]>
The Dayak Lebo tradition in Kampung Merabu is fighting to survive amidst strict religious regulations and the rapid flow of modernization. Regeneration and literacy are some of the big obstacles.

Text: Rifqy Faiza Rahman
Photos: Deta Widyananda and Mauren Fitri


The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads
During our visit to Merabu Village, we encountered Ransum, Dayak Lebo community elder, relaxing and smoking on the terrace of his home/Mauren Fitri

Ransum, the 61-year-old Dayak Lebo community elder of Merabu Village, embodied the village’s rich history. Time had etched its mark on him—silver hair, weathered skin etched with wrinkles, and a cane supporting his steady steps. Though his body, marked by swollen feet and occasional muscle cramps, hinted at limitations, his spirit remained vibrant. He spent his days on the long wooden chair on his stilted house’s terrace, cigarettes his constant companion. Erna Wati, his 62-year-old wife, sat beside him, their shared challenges reflected in her need to walk on all fours.

Despite his physical limitations, Ransum’s eyes held a spark. His voice, though raspy, spoke volumes, carrying the weight of countless memories. When adorned in traditional attire—a wooden bark shirt, layered necklaces, a cloth loincloth, and a mandau (sword)—his transformation was remarkable. A sable hat with a golden hornbill beak and feathers completed the image, and with a cane in hand, he straightened his posture, exuding the dignity of a Merabu elder.

A hint of a smile played on his lips despite his missing teeth. On October 10th, 2023, he shared stories with TelusuRI, tales of his ancestors and the traditions of the Dayak Lebo Merabu, a cultural heritage they fiercely strive to preserve in the face of modern times.

Life and death are intertwined with tradition

Similar to other Dayak tribes, the Dayak Lebo of Merabu are deeply entwined with tradition, from the cradle to the grave. As a subtribe of the Dayak Basap, itself descended from the Dayak Punan, one of Kalimantan’s largest Dayak groups, the Lebo people in Merabu carry on practices, rituals, and customary laws as ancient as the village itself.

“Living in the mountains and forests, how could we even comprehend the concept of a village?” explained Ransum. “Building a village back then was vulnerable to attacks, during the ngayau era. When that happened we sought refuge and food in the forest.”

Ngayau refers to a historical period of headhunting among certain Dayak tribes. The Dayak Basap Lebo, however, were a smaller, peaceful group, opting for isolation deep within the jungle. They found shelter in longai, narrow gaps between towering rock formations rich in prehistoric caves, forming the present-day Sangkulirang-Mangkalihat karst ecosystem. This remote and inaccessible location offered them sanctuary.

It was within these longai that Ransum’s ancestors began attempts at creating a village, constructing basic shelters. However, fear of raids from other tribes kept them from permanently settling.

Only when the ngayau era subsided and inter-tribal hostility ceased, did the village truly come alive. The community built houses, established farms with corn, cassava, and mountain rice, and their elders defined the forest boundaries, establishing customary rules, particularly regarding the protection of their surrounding forests and the Sangkulirang-Mangkalihat karst ecosystem, their cherished “backyard.”

Left: Nordiana shows her work in the form of traditional rattan bag crafts. Right: Hakim (red shirt) filters natural honey freshly harvested from the forest last night. The residents of Merabu Village depend on the products of the Sangkulirang-Mangkalihat karst buffer forest to provide a source of family economy/Deta Widyananda

“We fear outsiders entering and destroying our forest,” explained Ransum, the village elder, “it’s our lifeblood.” The Sangkulirang-Mangkalihat karst buffer forest provides an abundance of natural resources: sago, honey, forest fruits, wild boar, hornbill, deer, and even freshwater fish from the Lesan River.

The government system proceeded in stages when it was led by Sampan, the first village head before Asrani (48). Sampan is Asrani’s uncle. Last October, Asrani was re-elected as Head of Merabu Village, after serving in the 1998—2011 period.

The village’s close relationship with the forest is evident in their nickname, “the tribe of gatherers and hunters.” They utilize these resources sustainably, fulfilling daily needs, from food consumption to traditional medicines prepared by their Belian (healers) for the sick.

Ransum carries out the tradition of sprinkling yellow rice on tourists visiting Kampung/Ester Suwarsih of INDECON

The Dayak Lebo community upholds a unique belief system. In certain rituals, they offer food to unseen inhabitants of the forest, particularly in sacred locations like Bloyot Cave, other karst caves, Nyadeng Lake, and Ketepu Peak. This practice, known as the “iraw” tradition or “village melas”, is a way to appease them and ensure bountiful harvests of honey, forest products, fruits, and rice.

Yellow rice plays a significant role in these rituals and other community activities. For instance, the manugal tradition involves sowing yellow rice during a collective effort to open new land for rice cultivation. This specific type of rice, classified as mountain rice, requires no seeding and yields only one harvest annually.

  • The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads
  • The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads

Yellow rice plays a crucial role in the traditions and way of life for the Dayak Lebo community of Merabu. According to Ransum, the village elder, choosing land for rice cultivation involves a lengthy process. Yellow rice acts as a spiritual tool to assess the suitability of potential clearing sites within the limited forest area. If the elders deem a plot unproductive, they move on to another location.

“This was the way of our ancestors, and we still use it today,” Ransum explained. “But now, things have changed. People are quicker to clear land without the traditional methods, and it’s become harder to find suitable plots.”

Agus Atino, a migrant married to a Lebo Dayak woman, emphasized the importance of offering yellow rice during the manugal tradition, a collective effort to open new farmland. He describes a lemang party, where the community gathers in a hut within the fields to enjoy a traditional dish of sticky rice cooked in bamboo over an open flame.

“We built a small hut, one meter by one meter, filled with yellow rice and flowers,” Agus explained. “Unfortunately, I didn’t have time to prepare it yesterday. Everyone’s been so busy, there wasn’t anyone to help.”

This sacred rice also serves as a welcoming gesture for visitors from outside the village. Ransum elaborated, “It signifies our respect for everyone who comes to our village. We sprinkle them with yellow rice, wishing them a safe journey back home, free from illness or danger.”

However, Ransum admits his concerns, especially when guests enter the forest without prior notice. He worries that large groups, accompanied by unknown individuals, could endanger the village’s precious 8.245 hectare of forest.

Due to his health, not all visitors receive the traditional yellow rice reception. It is reserved for specific occasions, such as visits from regional or central government officials, representatives of non-profit organizations working in Merabu, and dignitaries attending the annual “Tuaq Manuk” peak procession, a traditional festival celebrated in Berau Regency.

In most cases, Ransum leaves messages, particularly for tour operators bringing guests to Merabu. He emphasizes the importance of respecting customary practices by seeking permission and informing him before entering the forest.

“Following generations of tradition and upholding customary law can be challenging, with its restrictions,” Ransum softly conceded. “But ultimately, these practices are also for our own good. We strive to maintain the forest according to the customs passed down from our ancestors.”

The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads
After the collective effort of manugal, a joyous celebration called the lemang celebration takes place. This festive gathering involves mothers working together to fill bamboo segments with sticky rice, creating the traditional dish known as lemang. Lemang is then cooked over an open fire, filling the air with a delicious aroma. The location for the lemang celebration usually takes place in a special hut situated in the center of the gardens, offering a dedicated space for the community to come together, share the fruits of their labor, and celebrate their collective accomplishment/Deta Widyananda

“If I pass away, it’s over…”

As the Dayak Lebo community elder for 19 years, Ransum faces significant challenges in preserving his people’s ancestral traditions. The rapid pace of modernization and the introduction of Christianity and Islam have limited the practice of traditional rituals.

While some community members remain open to practicing their customs, others have abandoned them due to religious teachings. Certain rituals, such as offering food to unseen forest dwellers or sprinkling yellow rice before manugal, are seen as conflicting with religious beliefs.

Ransum believes that religion lacks the specific restrictions found in adat traditions. He sees religion as a potential complement to existing customs, but he chooses to adapt to the current dynamics.

Asrani, the village head, acknowledges Ransum’s concerns and tries to bridge the gap between religious and traditional perspectives. He emphasizes that adat (customary law) life in the present era differs from the past.

“We are simply preserving our heritage,” Asrani explains. “We believe that these customs and traditions are our legacy, not something fabricated. Even if they are considered outdated, they represent our identity. I believe there’s nothing inherently wrong with our culture, as people in the past didn’t have religion.”

Accessibility to convenient and simplified information and technology poses another challenge, particularly for the younger generation, whose understanding of their village’s traditions is limited. This lack of knowledge and generational gaps threaten not only the survival of adat but also the development of ecotourism, which has been a key focus for Merabu in recent years.

No concrete efforts have been made to document Ransum’s vast knowledge of adat traditions in a written and organized manner. 

Ransum acknowledges the complexities of preserving ancestral traditions in the face of modernization and evolving beliefs. While he believes religion doesn’t impose the same restrictions as “adat” (customary law), he sees them as potentially complementary. However, he chooses to adapt to the current dynamic, allowing space for diverse perspectives within the community.

Asrani, the village head, recognizes the concerns raised by Ransum. He emphasizes the importance of safeguarding their heritage: “We simply strive to preserve our traditions, a legacy passed down, not fabricated. Even if deemed outdated by some, they are the cornerstone of our identity. Back then, there was no conflict with religion, as it simply wasn’t present.”

Another significant challenge lies in the easy access to information and technology, which can create a disconnect from traditional knowledge, particularly among younger generations. This lack of understanding, coupled with difficulties in documenting and passing down these traditions, creates a risk not only for the survival of adat but also for the sustainable development of ecotourism, a vital pillar of Merabu’s recent economic growth.

Unfortunately, there are currently no concrete efforts to formally document the wealth of traditional knowledge held by Ransum, potentially leading to the loss of this invaluable cultural heritage.

The Tuaq Manuk Festival that took place in July 2023 in Kampung Merabu/Ester Suwarsih of INDECON

The Tuaq Manuk Festival held last July offered a glimmer of hope for preserving the Dayak Lebo community’s cultural identity. This week-long series of traditional ceremonies showcased Merabu Village’s dedication to keeping the “cultural blood” of its ancestors alive.

Conceptualized by the village’s early leader, Simpo Belian Danyam, through spiritual guidance, Tuaq Manuk signifies a collaborative tradition with spiritual undertones. It serves as a platform for learning about various aspects of Dayak Lebo customs, encompassing elements like language, knowledge systems, social organization, daily tools, livelihoods, religious practices, art forms, and sacred rituals.

The festival unfolds in four distinct phases. Beramu, a period of preparation and practice. Pasing, a time for prayer and expression of gratitude for what exists. Menyadi Tuaq, fulfilling one’s duties and responsibilities. Peding, the period of observing the established rules and taboos.

These phases are accompanied by vibrant dances and diverse forms of traditional music, such as tajaan, bibi temongang batang, tapik-tapik bagizam, sebumung buka-buka sebumung, batu luga-luga, and tarenten buto taretung.

Ultimately, the Tuaq Manuk Festival aims to bring blessings to the people and forests of Merabu, fostering a sense of gratitude for their harvest, fruit, and honey. It also provides an opportunity for healing and prayer for those facing difficulties. Local residents and visitors alike are welcome to participate in the festivities and gain a deeper understanding of Merabu’s rich traditions.

However, despite the festival’s success, a sense of worry lingers on Ransum’s face. He recognizes the immense challenge of preserving these traditions in the face of rapid modernization and evolving beliefs. He acknowledges the potential threat posed by external influences that may marginalize the customs, regardless of their nature.

The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads
Ransum smiles in traditional Dayak Lebo clothing. The durian tree and forest behind it is where the first village was founded/Deta Widyananda

Ransum expresses deep concern about the diminishing respect for traditional practices. “It saddens me that many of our taboos are being violated,” he laments. “People do things they’re not supposed to, and the consequences only come later when someone falls ill. It’s heartbreaking to see our traditions fading away.”

Despite his role as a traditional leader, Ransum feels his influence limited to spiritual matters. “People rarely seek our guidance for resolving physical problems affecting the village or the forest,” he explains. “They only turn to us when things are truly dire.” He sees his position as more symbolic than practical.

Another source of worry is the lack of a clear successor. While his son, Soleman, has been designated as the potential heir to his role, Ransum acknowledges the challenges involved. “He still needs to learn the intricate details of our history and traditional rituals. Absorbing this deep-rooted philosophy takes time,” he emphasizes.

Ransum’s words carry a sense of resignation, “If I’m gone, I fear the Dayak Lebo customs may vanish altogether.” They would only exist as relics in photographs, hornbill crowns, mandau, and clothing hanging silently on his house’s walls. (*)

Translated by Novrisa Briliantina


Cover photo:
A Merabu man holds a traditional wooden (tugal) with a charcoal smudged face. During the manugal tradition, residents fool around with each other by poking charcoal in each other’s faces. There is no exception for anyone, even guests from outside the village. It is a form of welcoming people from outside the village. The atmosphere became boisterous and friendly/Mauren Fitri

In September—October 2023, the TelusuRI team visited Sumatra Utara, Riau, and Kalimantan Timur on the Arah Singgah expedition: Bringing Harmony to Human Life and Nature. Our trip report can be followed at telusuri.id/arahsinggah.

Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Fate of Dayak Lebo Tribe at the Crossroads appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-fate-of-dayak-lebo-tribe-at-the-crossroads/feed/ 0 41379
Anak-Anak Muda Merabu https://telusuri.id/anak-anak-muda-merabu/ https://telusuri.id/anak-anak-muda-merabu/#respond Fri, 29 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40726 Kekayaan alam dan warisan adat Dayak Lebo adalah modal besar tiada ternilai untuk masa depan generasi muda Merabu. Melestarikan tidak semudah melisankan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Jika kami—tim TelusuRI—ditanya, adakah...

The post Anak-Anak Muda Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Kekayaan alam dan warisan adat Dayak Lebo adalah modal besar tiada ternilai untuk masa depan generasi muda Merabu. Melestarikan tidak semudah melisankan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Anak-Anak Muda Merabu
Decky (belakang) dan Henry berpose di Puncak Ketepu. Keduanya merupakan representasi anak-anak muda Merabu yang sejak kecil hingga besar tumbuh di kampung yang dikarunai keanekaragaman hayati luar biasa. Tantangan ke depan adalah menjaga kekayaan alam itu beserta tradisi di dalamnya/Mauren Fitri

Jika kami—tim TelusuRI—ditanya, adakah pendapat jujur yang bisa mewakili impresi terhadap Kampung Merabu?

Ya, ada. Dua kata saja: kami iri.

Betapa tidak. Segala keterbatasan yang mengungkung, antara lain akses jalan, sinyal telekomunikasi, listrik, dan bahan bakar minyak; tidak serta-merta mampu menutupi tindak tanduk orang-orang Merabu dalam hal bersyukur, bahagia, dan kemampuan untuk merasa cukup. 

Sepanjang hutan dan sungai di Merabu terjaga, selama itu pula alam akan terus menjadi tempat bersenang-senang. Bahkan untuk urusan pekerjaan, seperti memandu tamu wisata, memanen madu, mencari bahan makanan, dan menjala ikan. Mereka seolah lupa jika Doni Simson (41), ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK pernah berkelakar, “Siapa pun yang masuk Merabu dianggap hilang dari dunia.”

Dan memang sedemikian pelosoknya permukiman masyarakat Dayak Lebo itu. Namun, faktanya, itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Ada kendala, memang; tetapi, ya, hidup harus terus berlanjut. Sungai Lesan yang penuh ikan, Danau Nyadeng nan bening, hasil hutan berlimpah, hingga kemegahan karst Sangkulirang-Mangkalihat jadi alasan besar untuk tersenyum lebih lebar.

Anugerah alam yang dihadirkan bumi untuk Merabu amat berarti bagi masyarakat. Terlebih anak-anak mudanya. Decky Aprillius (25), anak pertama Asrani (kepala kampung saat ini), mengamininya. Ia mengibaratkan hutan seperti mal di kota, sebagai taman bermain dan mencari apa pun yang diinginkan.

Anak-Anak Muda Merabu
Potret anak kecil Merabu bermain air dan berenang di Sungai Lesan yang berada di belakang rumah mereka. Aktivitas sehari-hari yang bahkan akan dijumpai kelak ketika mereka sudah tumbuh dewasa/Rifqy Faiza Rahman

“Jadi, dulu kami masih kecil itu pengin makan ikan, ya, cari ke sungai. Pengin makan daging, ya, cari ke hutan,” katanya. Ini masih berlangsung sampai sekarang.

Hutan, gua karst, sungai, dan danau adalah taman bermain orang-orang Merabu sejak kecil. Seiring waktu dan dinamika hidup terus berjalan, Decky pun menyadari sesuatu. Sedari kecil pula, generasi muda Merabu telah dihadapkan pada tantangannya sendiri, yakni regenerasi.

Kesadaran menyentuh kekurangsadaran

Pikiran setiap anak muda di Kampung Merabu dalam memandang tujuan hidup tidaklah sama. Kondisi lingkungan dan keluarga memberi pengaruh signifikan. Apalagi jika memikirkan arah pengembangan Kampung Merabu, termasuk soal upaya pelestarian adat.

Kegundahan Ransum (61) terhadap takdir masa depan tradisi Dayak Lebo patut menjadi perhatian lebih. Ia bahkan belum yakin anaknya sendiri siap meneruskan posisinya sebagai ketua adat. Selain itu literasi adat juga belum sepenuhnya merekat di sebagian kalangan muda-mudi Merabu.

Menurut Decky, perhatian sebagian anak-anak muda terhadap adat sebatas menghormati ketentuan adat dan segala jenis konsekuensinya. Apa yang boleh maupun tidak boleh dilakukan. 

“Kalau kami di sini sebagai anak-anak muda, ya, kami masih percaya tentang adat. Karena mau percaya atau enggak percaya, itu masih terjadi di daerah kami [hukum sebab-akibat],” kata pria yang memiliki tato bunga terong di dekat bahu kanannya itu.

Ia memberi contoh, “Seperti sebelum kita pergi [dari rumah]. Kalau kita ditawarkan makan, kita harus makan dulu atau mencicip. Setidaknya peganglah [sedikit] makanannya.” Konsekuensinya, akan ada sesuatu menimpa mereka jika tidak melakukan mengiyakan tawaran tersebut. Entah kecelakaan, terluka, atau kesialan lainnya.

Dalam pengamatan Decky, anak-anak muda Merabu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kelompok yang mau menjaga budaya. Kedua, kelompok yang kurang tertarik terhadap budaya—karena dirasa memiliki keterbatasan wawasan kebudayaan. 

“Itu sebenarnya misi saya [mengampanyekan pelestarian adat],” kata Decky. Untuk itu ia mencoba merangkul semuanya. “Kita jaga budaya kita. Kita pamerkanlah budaya punya kita seperti ini. Jadi, untuk anak-anak muda, ya, jangan malas-malas [mempelajari budaya].”

Dari pengakuan Ester, Decky memang memiliki bakat seni dan mencintai budaya. Semasa kuliah, anak pertama Asrani dan Ester, itu aktif tampil di acara-acara kesenian. Satu sape, alat musik tradisional Dayak, tersimpan di kamarnya. Kalau bukan karena Cornelius alias Dudung, anak keempat Ester, kami tidak akan tahu ketertarikan Decky pada kesenian dan kebudayaan.

Meskipun sape bukan menjadi ciri khas Merabu, lulusan S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman itu mau mempelajari dan memainkannya. Supaya kental representasi sebagai orang Dayak, katanya. Hasrat seperti inilah—jiwa sadar budaya—yang ingin Decky tularkan kepada teman-temannya di kampung.

Anak-Anak Muda Merabu
Decky langsung memainkan sape yang ia bawa setibanya kami tiba di Danau Nyadeng (14/10/2023). Ia menjadi satu-satunya orang yang bisa bermain alat musik tradisional khas Dayak tersebut di kampung, karena Merabu lebih identik dengan gamelan/Mauren Fitri

Tekad dan komitmen Decky seperti jadi satu kabar gembira yang mestinya sedikit melegakan hati orang tuanya. Apalagi Ransum. Meski bukan cucu kandung, Decky sudah dianggap seperti cucu sendiri.

Decky tidak menampik misinya pasti akan menghadapi tantangan. Lokasi permukiman yang terpencil membuat pergaulan anak-anak muda hanya terbatas di kampung saja. Ia maklum bila banyak temannya yang belum berpikiran terbuka terhadap adanya perubahan. Kondisi ini, menurutnya, terkadang membuat tingkat kerja sama atau kekompakan untuk memajukan kampung belum terjalin erat satu sama lain. 

Dari satu untuk semua

Setali tiga uang dengan bapaknya, Decky menganggap pendidikan sangat penting untuk membuka pikiran dan wawasan. Kesenjangan pengetahuan bisa menimbulkan miskomunikasi satu sama lain. “Kita bersekolah itu tidak hanya untuk mendapatkan ijazah saja, tapi kita juga dituntut untuk berpikir,” ujarnya.

Sektor pendidikan menjadi sasaran prioritas dari hasil program adopsi pohon yang dikembangkan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri, Kampung Merabu. Selain untuk operasional perawatan pohon adopsi, dana yang diperoleh juga dialokasikan untuk membiayai pendidikan anak-anak. Baik itu sekolah di kampung maupun luar Merabu.

Anak-Anak Muda Merabu
Ester tidak hanya menitipkan harapan besar pada anak kandungnya semata, tetapi juga anak-anak muda di Kampung Merabu agar mau meneruskan perjuangan yang sudah dirintis para orang tua/Mauren Fitri

Harapannya jelas. Selain menjaga warisan sumber daya alam untuk anak cucu, investasi pendidikan dimaksudkan melahirkan sosok-sosok muda progresif yang kelak mau memikirkan masa depan Merabu. 

Ester bahkan terang-terangan menginginkan gerakan perubahan dari anak-anak muda Merabu, khususnya yang masih berjuang untuk sekolah maupun bekerja di perantauan. “Kami sebagai orang tua [sangat] mendukung anak-anak kami [mengenyam pendidikan setinggi mungkin], supaya mereka bisa kembali ke kampung dan membangun kampung ini, seperti kampung-kampung [maju] yang lain,” harapnya.

Para pendahulu telah hidup dan mati membukakan jalan untuk generasi penerus. Masa-masa perjuangan dan kebangkitan kampung yang dirakit sejak era Asrani, Franly, Agustinus, dan terakhir Ester, harus terus disambung anak-anak muda untuk memastikan keberlanjutan.

“Harapan saya dan anak-anak muda di kampung, bisa bergandengan tangan dan bersama-sama menjaga apa yang kita punya,” ungkap Decky bermimpi. “Kami ingin melanjutkan apa yang sudah menjadi kebaikan alam itu. Apa yang sudah diberikan alam, setidaknya kami juga bisa memberi kontribusi kembali ke alam untuk menjaga mereka.”

Meski mengalami keterbatasan, tidak menutup fakta Merabu memiliki potensi besar dari anak mudanya. TelusuRI melihat itu dalam diri Decky, Henry dan Dedi (pemandu wisata Merabu), Jonathan (tetangga terdekat Asrani), Hakim (pemanjat madu), Natanael, Delfi Oley, dan banyak lagi.

Kami banyak berbincang dengan mereka di beberapa kesempatan, seperti membakar ikan, ngopi di warung Yervina, dan menongkrong di teras samping rumah Asrani. Ada asa, semangat meledak-ledak, sekaligus sisi jenaka pada diri mereka. 

Anak-Anak Muda Merabu
Tim TelusuRI foto bersama Decky dan Dedi di Puncak Ketepu, sebelum turun ke Danau Nyadeng. Merabu dan anak-anak mudanya cukup jadi alasan kuat untuk kembali ke kampung tersebut suatu saat nanti/Deta Widyananda

Kiprah yang diharapkan oleh orang-orang tua kepada anak-anak muda Merabu bukan perkara gampang. Ada titipan 22.000 hektare permukiman, termasuk di dalamnya 8.245 hektare hutan desa yang harus dijaga keberadaannya. Namun, diawali dengan kecintaan dan berpedoman pada adat istiadat, tujuan besar untuk kesejahteraan Merabu di tangan anak muda sepertinya tinggal menunggu waktu.

Kalau itu terwujud, kami benar-benar akan makin iri dengan Decky dan anak-anak muda Merabu lainnya. (*)


Foto sampul:
Decky (paling kanan) bersama Henry (tengah) dan Dedi tengah bersantai di atas batang kayu setelah berenang di Danau Nyadeng. Ketiganya termasuk paling sering diandalkan Yervina dan Ester sebagai pemandu wisata jika ada tamu dari luar yang berkunjung ke Merabu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Anak-Anak Muda Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/anak-anak-muda-merabu/feed/ 0 40726
Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu https://telusuri.id/berdamai-di-danau-nyadeng-dan-puncak-ketepu/ https://telusuri.id/berdamai-di-danau-nyadeng-dan-puncak-ketepu/#respond Thu, 28 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40700 Sebuah studi dari Canterbury menyebut aroma alam bisa meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikis manusia. Merabu telah lama menyediakan “fasilitas” itu di Nyadeng dan Ketepu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Hanya beberapa...

The post Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah studi dari Canterbury menyebut aroma alam bisa meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikis manusia. Merabu telah lama menyediakan “fasilitas” itu di Nyadeng dan Ketepu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Menyusuri arus Sungai Lesan yang sedang dangkal dengan ketinting menuju dermaga Danau Nyadeng/Deta Widyananda

Hanya beberapa puluh meter selepas meninggalkan kampung, tim TelusuRI ditemani dua juru mudi perahu sekaligus pemandu—Decky Aprillius (25) dan Henry (30)—serasa memasuki dunia yang benar-benar berbeda. Kebisingan mesin tempel dari dua ketinting tidak serta-merta mengalahkan gemericik arus Sungai Lesan yang dangkal dan kicau burung-burung di sekitar.

Kami sempat melihat sekilas elang hitam (Ictinaetus malayensis) terbang rendah di antara ranting-ranting pohon terap. Pohon-pohon terap yang tumbuh condong memberi peneduh alami sepanjang perjalanan menuju dermaga Danau Nyadeng (14/10/2023).

Rute perairan ke arah hulu kadang berkelok-kelok. Decky menjadi motoris di ketinting yang ditumpangi Deta dan barang bawaan berat lainnya. Sementara saya dan Mauren satu perahu dengan Henry. Beberapa tikungan sempit beriak di antara pulau-pulau batu dilewati keduanya dengan lihai.

Penampilan rombongan wisata ini tampak kontras. Tim TelusuRI memakai busana outdoor yang berasa anak kota sekali, sementara Decky dan Henry begitu bersahaja. Selain topi, yang menarik adalah alas kaki berupa sepatu pul bulat warna putih bermerek Bowling. Bikinan Malaysia.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Kami tiba di dermaga Danau Nyadeng setelah lima kilometer atau 20 menit mengarungi sungai. Dua kawan lokal menambatkan ketinting pada batang pohon di pinggiran sungai. Untuk melanjutkan ke danau, masih ada satu kilometer lagi yang harus ditempuh dengan jalan kaki.

Jalur trekking cukup jelas dengan kontur datar. Jalan setapak tersamar serasah daun kering. Meskipun belum pukul 4 sore, suasana agak temaram karena tutupan hutan begitu rapat.  Kami menjumpai sejumlah pohon besar dengan plakat kayu berisi informasi pengadopsi di depannya, seperti meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Gerahnya kampung tidak menjalar sampai ke sini. Bahkan mungkin oksigen yang kami hirup berlebih.

Aliran sungai kecil nan bening di sisi kiri jalur jadi pertanda penting. Setelah 20 menit berjalan, Danau Nyadeng muncul di depan mata. Permukaan airnya yang berwarna toska menjadi anomali di tengah rimbunnya hutan. Entah bagaimana caranya air sejernih itu bisa muncul dari celah-celah batuan karst dan membentuk telaga.

Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Nico (kiri) dan Maria, sepasang turis asal Jerman dan Meksiko tengah mengobrol sembari menikmati keindahan danau. Tampak tiga pemandu lokal, Dedi, Henry, dan Decky (paling kanan) bersantai di atas batang pohon setelah berenang/Rifqy Faiza Rahman

Magis Danau Nyadeng

Kolam alami itu adalah pusat perhatian bagi segala kehidupan di sekelilingnya. Termasuk Nico dan Maria, pasangan turis asal Jerman dan Meksiko yang tiba sebelum kami. Mereka ditemani dua pemandu, yaitu Dedi dari Merabu dan Burdan, orang Pontianak. Burdan juga mendampingi dua pelancong tersebut ketika beberapa hari sebelumnya berlibur ke Taman Nasional Kayan Mentarang, Malinau, Kalimantan Utara.

Kecuali tim TelusuRI yang enggan berdingin ria sore hari, orang-orang itu tampak tak kuasa menahan godaan magis Danau Nyadeng. Mereka terjun dan berenang ke telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. 

Danau Nyadeng menjadi sumber air minum warga sekaligus salah satu destinasi wisata unggulan Kampung Merabu. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat telaga seluas kurang lebih seperempat hektare itu. Suasananya benar-benar membuat pengunjung seperti kami betah berlama-lama.

Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Ada kamar-kamar untuk beristirahat, meski kondisinya perlu perawatan lebih lanjut. Rumah pohon ini menjadi tempat tidur pasangan turis mancanegara itu. Sementara TelusuRI dan para pemandu menempati pondok kayu panjang di sebelahnya. Sebagian memasang hammock di tiang-tiang penyangga, sedangkan saya cukup membeber matras di atas tikar rotan yang sudah tersedia. 

Saya sempat kepikiran mendirikan tenda. Untungnya Decky memberi peringatan dini. Baru saja membicarakan potensi hujan, tiba-tiba gerimis mengguyur Nyadeng sebentar. “Kalau lagi hujan deras, air danau bisa meluap dan daerah ini bisa banjir, Bang,” Decky mengingatkan sambil menunjuk area tanah datar di depan pondok.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Namun, tidak bisa dimungkiri. Lanskap Nyadeng mencuri hati saya. Belum ada satu jam sejak kedatangan, saya tiada henti berdecak-decak kagum. Memuji nama Tuhan berulang-ulang dalam hati. Ada rasa tak percaya yang sempat menyelinap, kok kami bisa akhirnya sampai sini?

Barangkali daya magis Nyadeng dan keasrian hutan di sekitarnya, sampai menginspirasi Decky membuat skripsi khusus tentang danau ini. Alumnus S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman tahun 2022 itu menulis tugas akhir berjudul Pengaruh Kerapatan Vegetasi Tutupan Lahan terhadap Proses Infiltrasi Air di Kawasan Danau Nyadeng Kampung Merabu, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Marjenah, M.P. 

“Hitung-hitung ini bentuk kontribusi kecil saya buat kampung, Bang,” katanya. Mungkin suatu saat ia berminat melakukan penelitian untuk menemukan titik terdalam Danau Nyadeng, yang disinyalir lebih dari 40 meter.

Ketika beranjak larut, setelah sekian lama, saya mengalami salah satu malam ternikmat sepanjang hidup. Burdan pun berpikir serupa. Kami meriung tanpa sekat di atas bangku dari batang-batang kayu. Membicarakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Kampung Merabu hingga bertukar pengalaman masing-masing.

Kami melawan hawa dingin dengan mengepung api unggun yang sudah dibuat tiga pemuda masa depan Merabu tersebut. Kalau saja Henry berhasil mendapatkan binatang buruan malam itu, forum bersahaja ini akan berlanjut pesta memanggang payau—sejenis kijang. Sesekali kami menengadah jauh di atas kepala, memandang gemintang yang tak malu-malu menyemut di kolong langit.

Tanpa aba-aba, Decky menembang lewat notasi abstrak dari dawai-dawai sape. Alunannya memecah keheningan hutan. Gelas demi gelas kopi dan teh panas surut diseruput. Kami semua hanyut dalam kedamaian. 

Tidak terkecuali Maria, sorot mata dan seulas senyum bibirnya turut terbius mendengar permainan Decky. Nico sigap menulis kegiatan yang tak terjadwal ini ke dalam buku catatannya. Untuk sementara, kamilah yang menjadi pusat perhatian alam pada malam itu.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Harmoni Puncak Ketepu

Tujuan kami tidak berhenti di Danau Nyadeng. Niat pantang surut sekalipun para tetangga di Merabu sudah mewanti-wanti kondisi jalur dan durasi yang harus kami tempuh ke Puncak Ketepu. Estimasi jarak pendakian ke puncak sekitar 500 meter dan trekking kurang lebih kisaran 1,5—2 jam. Kami berangkat summit pukul 04.15 WITA.

Trek mulanya datar sejauh 200 meteran. Lalu setelah plakat merah tulisan Puncak Ketepu yang menempel di pohon, jalur langsung menanjak terjal tanpa ampun. Saking sadisnya jalur pendakian yang dilalui, saya sempat berkelakar, “Ini gunung 393 mdpl, tetapi serasa gunung 3.000-an mdpl.”

Ritme langkah dan napas kami amat kontras dengan Decky dan Henry. Lagi-lagi kami beruntung. Seolah memahami payahnya langkah orang-orang kota, Decky yang memimpin di depan mengatur waktu istirahat sebanyak tiga kali. Tidak ada pos khusus sepanjang jalur. Dalam catatan alat Global Positioning System (GPS) yang saya bawa, kami rehat sejenak di dataran sempit dekat dinding batu (ketinggian 158 mdpl); di tanah berbatu karst lancip (270 mdpl), dan terakhir di gua (330 mdpl).

Berdasarkan keterangan Henry, gua tersebut merupakan percabangan dua jalur. Belok kiri memasuki liang lapang untuk naik 100 meter ke Puncak Ketepu, sedangkan lurus menyusuri celah sempit adalah rute ke Danau Tebo, Kutai Timur, yang masih berjarak satu hari jalan kaki—kalau saya mungkin perlu dua hari ke sana.

Pagi mulai beranjak terang ketika kami akhirnya tiba di Puncak Ketepu. Arloji saya menunjukkan waktu sekitar pukul 05.40 WITA. Satu jam lewat 25 menit. Di luar dugaan, dengan langkah tertatih, kami masih bisa lebih cepat 35 menit dari perkiraan awal.

“Kayaknya belum pernah seharu ini selama [pengalaman] muncak ke gunung,” Deta menyampaikan testimoninya. Fotografer tim itu mengaku hampir menangis sesaat menginjakkan kaki di Puncak Ketepu. Tidak sia-sia ia menolak tunduk pada keputusasaan pada trek curam, meski sempat dua kali muntah di tengah perjalanan ke puncak. 

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Tanpa membuang banyak waktu, kami mengeksekusi misi terpenting di Puncak Ketepu. Decky segera bersiap. Ia seolah berubah menjadi sosok yang berbeda dalam balutan baju jomok, cawat kain, penutup kepala dari kulit musang dengan mahkota paruh enggang, dan sebilah mandau di lingkar pinggang; walaupun semuanya meminjam dari Ransum, ketua adat Dayak Lebo Kampung Merabu.

Duduk di atas batuan dolomit kelabu nan runcing, ia pangku sape miliknya. Saya, Deta, dan Mauren siaga dengan kamera masing-masing untuk merekam dalam tiga sudut pandang. Tepat beberapa saat sebelum matahari terbit dari balik punggungan karst, kami larut dalam momen terbaik pagi itu.

Di tengah lengking owa kalimantan bersahut-sahutan, dua tembang instrumental mengalun berurutan. Decky memainkan satu lagu Dayak, lalu ditutup Tanah Airku gubahan Saridjah Niung atau Ibu Sud. Tanpa tambahan musik, tanpa lirik.

Lentingan sape nan jernih perlahan melebur bersama harmoni alam Ketepu. Mengikat kabut berarak di hijaunya hutan Merabu dan puncak-puncak karst Sangkulirang-Mangkalihat. Jemari tangan Decky meliuk dalam petikan-petikan dawai yang begitu menyayat dan menghunjam jiwa.

Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Decky memainkan masing-masing satu lagu tradisional Dayak dan nasional dengan kostum Dayak Lebo di Puncak Ketepu. Untuk sesaat waktu seakan terhanyut dalam petikan dawai sape kesayangan anak sulung Asrani itu/Mauren Fitri

Tanda mata dari aroma alam

Rasanya tak salah kalau Asrani (48), bapak Decky, bilang prinsip orang Merabu sekarang berubah. Memikirkan kesejahteraan hidup dahulu, baru kemudian melestarikan hutan. Belakangan, saya menyadari lema “kesejahteraan” yang ia maksud bisa memiliki dua arti.

Tolok ukur pertama yang paling mudah tentu sejahtera karena makmur dan mapan secara ekonomi. Di luar hasil hutan, masyarakat Merabu bisa memaksimalkan potensi-potensi alternatif melalui ekowisata maupun produk-produk turunannya, antara lain susur sungai dan hutan, kuliner, kerajinan, serta festival adat. Arti sejahtera dalam konteks ini sedang diperjuangkan sejak dua dekade lalu sampai sekarang. 

Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
Seekor elang terbang melintas di atas hutan Danau Nyadeng. Terjaganya hutan tidak hanya menyejahterakan manusia, tetapi juga fauna-fauna endemik Kalimantan yang hidup di kawasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat, khususnya hutan desa Merabu/Rifqy Faiza Rahman

Makna kedua tak lain adalah kesejahteraan fisik dan psikis. Saya menemukan bahasa ini dalam studi yang dilakukan Dr. Jessica Fisher, seorang peneliti pascadoktoral, bersama timnya di Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), University of Kent, Canterbury, Inggris.

Dalam tulisan berjudul “Nature, smells, and human wellbeing” yang rilis di Ambio (A Journal of Environment and Society), sebuah penerbit jurnal asal Stockholm, Swedia, Jessica Fisher dan kawan-kawan memvalidasi fakta bahwa interaksi manusia dengan alam adalah pengalaman multi-indra dan menunjukkan potensi pentingnya penciuman aroma-aroma tertentu dari alam bagi kesejahteraan fisik dan psikis manusia.

Lebih lanjut mereka menyebut, dampak yang terjadi sangat signifikan. Lingkungan yang bersih dan ketiadaan polusi ala perkotaan memungkinkan masyarakat mendapatkan manfaat besar, di antaranya merasa lebih rileks, gembira, dan sehat. Hubungan masyarakat dengan sumber daya alam di sekitar rumahnya akan kian erat, sehingga dengan sendirinya alam tetap terjaga kelestariannya.

Pengalaman menyatu dengan alam bisa menjadi daya tarik ekowisata tersendiri bagi Kampung Merabu, misalnya eco-healing. Tamu-tamu dari luar kampung tidak hanya datang untuk sekadar bersenang-senang, tetapi juga menemukan tanda mata dari alam untuk meraih ketenangan, kesegaran, membangun keterikatan dengan hutan, dan sebenar-benarnya menikmati hidup. Tak lupa, menumbuhkan kesadaran dan komitmen menjaga hutan dari gangguan apa pun.

Kira-kira situasi seperti itulah yang kami alami saat bermalam di Danau Nyadeng maupun naik ke Puncak Ketepu. Ada perasaan tak biasa yang hinggap di kalbu.

  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu
  • Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu

Raga yang sempat berada di titik jenuh mendadak bugar. Otak pun mendaur ulang pikiran yang suntuk kembali segar. Entah karena sempat berendam di pinggiran telaga, menenggak airnya untuk minum, atau efek asupan udara nirpolusi dari pori-pori daun.

Yang jelas, saya dan Deta memiliki pengakuan senada. Kami telah mengalami tidur paling nyenyak selama hampir sebulan ekspedisi. Padahal alas tidur hanya papan kayu dan matras seadanya di pondok terbuka, sehingga angin dan agas berseliweran dengan leluasa.

Di Danau Nyadeng dan Ketepu, puncak kedamaian itu terletak pada orkestrasi alam yang sederhana dalam keberagaman hutan dan seisinya. Beradu padu dengan asyik.

Entahlah. Tahu-tahu kami merasa sudah merindu Merabu. (*)


Foto sampul:
Decky memainkan sape dengan balutan kostum adat Dayak Lebo di Danau Nyadeng setelah turun dari Puncak Ketepu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berdamai-di-danau-nyadeng-dan-puncak-ketepu/feed/ 0 40700
Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot https://telusuri.id/menelusuri-lorong-waktu-di-gua-bloyot/ https://telusuri.id/menelusuri-lorong-waktu-di-gua-bloyot/#respond Wed, 27 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40683 Jejak prasejarah yang mengendap ribuan tahun di dinding-dinding gua karst rimba Merabu, telah hidup kembali dengan pendekatan ekowisata. Keasrian hutan jadi nilai lebih yang harus dipertahankan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri...

The post Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot appeared first on TelusuRI.

]]>
Jejak prasejarah yang mengendap ribuan tahun di dinding-dinding gua karst rimba Merabu, telah hidup kembali dengan pendekatan ekowisata. Keasrian hutan jadi nilai lebih yang harus dipertahankan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Pak Cay memimpin perjalanan tim TelusuRI menuju Gua Bloyot, sebuah destinasi ekowisata unggulan Kampung Merabu. Kontur rute cenderung datar membelah hutan desa yang cukup rapat dan menyejukkan/Mauren Fitri

Cuaca cerah berawan ketika TelusuRI memasuki kawasan hutan desa Merabu (13/10/2023). Pak Cay (53), pemandu lokal, memimpin trekking menuju Gua Bloyot. Gerbang rimba di selatan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Kampung Merabu membuka langkah pertama kami memasuki hutan tropis dataran rendah khas Kalimantan.

Pintu hutan tersebut terletak setengah kilometer dari rumah Yervina, bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK. Ia juga yang menugaskan Pak Cay untuk menemani kami selama perjalanan ke Gua Bloyot. Belakangan kami baru tahu alasan Yervina meminta Pak Cay menjadi pemandu kami. 

Sorot matanya tajam. Langkahnya gesit dan presisi. Ia sudah hapal tanah-tanah yang aman untuk dipijak tanpa selip sedikit pun. Hari itu Pak Cay mengenakan “seragam dinas” yang jadi standar umum pemandu Merabu. Kaus kerah dan celana pendek, sepatu pul merek Bowling buatan Malaysia dan kaus kaki sebetis, tas selempang dan dry bag yang dikalungkan di leher, serta sebilah mandau melingkar di pinggang. Kami hanya menambah satu barang untuk ia pakai, yaitu topi rimba hijau bertuliskan TelusuRI.

Di mata orang Merabu, Pak Cay adalah seorang legenda hidup pemanjat madu. Ia pernah merasakan bahayanya pemanjatan dengan hanya mengandalkan tali rotan sampai sekarang menggunakan peralatan modern. Keahlian dan pengalamannya diturunkan ke anak-anak muda Merabu.

Sebagai orang asli Merabu, Pak Cay telah khatam seluk-beluk hutan di kampungnya. Dari daratan hingga perairan. Di beberapa kesempatan ia berhenti dan memberitahu kami sesuatu. Misalnya, auman beruang madu di sisi lain hutan agak jauh dari jalur kami. Terdengar pula pekikan owa kalimantan yang biasanya berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Ia juga menunjukkan pohon-pohon tempat sarang madu, seperti pohon menggeris atau sialang (Koompassia excelsa). Tingginya bisa mencapai 30—60 meter. Dan yang bikin takjub adalah Pak Cay dan orang-orang kampung itu memanjat untuk memetik madu pada malam hari, gelap, tanpa penerangan.

“Kalau itu biasa buat sarang orang utan,” ujar Pak Cay mengarahkan telunjuk ke salah satu pohon besar di dalam hutan. Saking tingginya, saya sampai menengadahkan kepala nyaris 90 derajat.

Sepanjang perjalanan, praktis hanya dua kali kami beristirahat melepas lelah. Di pos pertama yang terletak di HM 12 atau 1,2 kilometer dari pintu hutan dan pos kedua di HM 24 atau 1,2 kilometer dari pos sebelumnya. Napas kami cukup ngos-ngosan, kontras dengan Pak Cay yang tampak anteng-anteng saja.

Kami beristirahat agak lama di pos terakhir karena terpana dengan jernihnya aliran sungai kecil dengan sempadan berlumut di bawah jembatan kayu. Pos tersebut ditandai dengan atap seng pondok yang ambruk karena pohon tumbang.

Di titik ini, selain gemericik air, saya merasakan kesunyian luar biasa. Makin dalam hutan yang dijelajahi, rasanya seperti membenarkan kelakar Doni Simson (41), ketua BUMKam. Katanya, siapa saja yang masuk Merabu dianggap hilang dari dunia. Itu masih mendingan, karena motor atau mobil masih bisa masih. Di dalam hutan, kami hanya bisa jalan kaki di tengah belantara rimba dengan vegetasi nan rapat. 

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Papan informasi tentang Gua Bloyot yang dibuat BPCB Kalimantan Timur. Terpampang pula peraturan hukum, imbauan, dan peringatan keras yang harus dipatuhi pengunjung untuk menjaga kelestarian situs cagar budaya tersebut/Mauren Fitri

Menembus masa lampau

Setelah berjalan santai dua jam untuk jarak sekitar empat kilometer, papan informasi Cagar Budaya Gua Bloyot dengan logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyambut di mulut tebing cadas penuh lubang. Semak belukar tumbuh liar di sela batu-batu tajam. Di sebelah kanan terdapat sebuah shelter berbentuk segitiga untuk tempat berlindung. Pak Cay mengatakan bangunan itu merupakan salah satu pos milik Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Saya pikir kami sudah sampai di Gua Bloyot, tetapi rupanya belum. Saya masih meraba-raba ke mana jalur selanjutnya menuntun kami ke gua tersebut. JIka tidak menyewa pemandu, rasa-rasanya akan mudah tersesat di hutan selebat ini.

Tanpa banyak bicara, Pak Cay memberi kode dengan berjalan ke arah kiri dari papan informasi. Meniti batuan karst menanjak hingga tiba di mulut gua yang cukup lebar. Kami istirahat sejenak dan meneguk air minum untuk melepas dahaga. Sesuai sarannya, kami meninggalkan sejumlah barang di mulut gua untuk memudahkan pergerakan di dalam lorong karst menuju Gua Bloyot. Kami juga menyiapkan alat penerangan, seperti senter atau headlamp.

Bau apek khas gua menyeruak ketika kami menelusuri lorong gelap dengan langit-langit gua yang cukup rendah. Sesekali kepala harus menunduk ketika kawanan kelelawar melintas dan terbang rendah di sekitar kami. 

Jalur yang dilalui mengantarkan kami ke sebuah mulut gua dengan pemandangan hutan dan bukit-bukit karst di kejauhan. Bak balkon villa, hanya saja yang ini tanpa pagar dan bersisian langsung dengan jurang. Kami masih harus meniti satu anak tangga kayu yang lapuk sebelum akhirnya sampai di aula utama Gua Bloyot. Jaraknya hanya sekitar 10 menit dari tempat kami menaruh barang.

Dari pintu masuk, hamparan karet hitam seperti karpet terbentang memanjang sebagai jalur berjalan. Tanah sekitarnya memang terlihat gembur dan becek jika terkena air. Konturnya relatif bergelombang dan tidak rata. Stalaktit dan stalagmit dengan kombinasi warna yang unik—putih tulang dan hijau lumut—berhasil memukau kami dalam pandangan pertama.

Laju Pak Cay baru benar-benar berhenti ketika ia menunjuk beberapa corak aneh di dinding atas gua. Napas saya sempat tercekat melihat itu dari dekat. Mulut menganga saking takjubnya. Ada lebih dari satu gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

Menurut BPCB Kalimantan Timur, penggambaran tersebut memiliki variasi yang sama dengan gambar di Gua Tewet dan Gua Mardua di kompleks Gunung Gergaji, blok karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur. Pewarnaan merah juga disebut sebagai salah satu informasi utama dari populasi awal manusia berciri Ras Mongoloid, penutur bahasa Austronesia. 

Satu keheranan besar muncul ketika Pak Cay menunjuk satu lagi lukisan tangan di langit-langit gua. Dekat liang kecil yang menjadi jalan masuk sinar matahari. Jika harus dilukis dengan orang zaman sekarang, maka diperlukan tangga atau alat panjat untuk mengecapkan. Sekadar melompat saja tidak mungkin karena terlalu tinggi. Pertanyaannya, selain alasan gaib seperti diyakini penduduk setempat, bagaimana nenek moyang kita dahulu melakukan hal yang sepintas mustahil itu?

Yang jelas, waktu seakan terhenti ketika kami memasuki aula utama Gua Bloyot. Entah, rasanya dekat sekali dengan sosok-sosok manusia purba penghuni gua ini yang hidup 5.000—10.000 tahun lalu. Dalam kacamata awam, keberadaan jejak-jejak tersebut mengindikasikan teknik literasi dan bertutur lewat gambar-gambar yang diwariskan kepada generasi-generasi setelahnya. 

Hujan seketika mengguyur deras hutan tropis di sekitar Gua Bloyot. Kami menerka-nerka tafsir turunnya hujan tersebut seperti dikatakan Ransum, ketua adat Kampung Merabu, yang bisa jadi untuk menyambut kehadiran pendatang di gua-gua sakral ini. Sayang, Pak Cay juga menyebutkan adanya jejak vandalisme di beberapa titik di dinding yang rapuh. Ke depan ia akan berusaha keras mengingatkan pengunjung agar tidak menyentuh dinding gua tanpa pendampingan ahlinya.

Gua Bloyot sejatinya bukan satu-satunya keajaiban yang bisa dieksplorasi lebih jauh di kawasan ini. Dari penjelasan Pak Cay, ada satu ruangan besar lagi yang menjadi satu tubuh gunung dengan gua yang namanya berasal dari keberadaan pohon asam besar (bloyot) di sekitarnya. 

“Kalau mau bermalam ada tempat camp di atasnya lagi. Namanya Gua Lima Cahaya, karena ada lima lubang [di langit-langit gua] buat sinar matahari masuk dan warnanya bisa beda-beda,” ungkap Pak Cay seperti terdengar menawarkan pengalaman seru. “Bisa gawat itu nanti karena nggak mau pulang saking betahnya.”

  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Sekelumit bocoran dari sepupu Ransum tersebut kian menegaskan kekayaan gua dengan ciri khasnya masing-masing di pedalaman hutan Merabu. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, dalam booklet khusus untuk pengajuan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016, menyebut sedikitnya terdapat 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

Bukan angka kecil untuk kawasan seluas 1.867.676 hektare. Bahkan masih ada potensi penemuan serupa di ceruk-ceruk tersembunyi yang belum pernah terjamah manusia.

Kesyahduan sehabis hujan

Hujan kembali mengguyur selepas keluar Gua Kabila, salah satu sentra sarang burung walet juga di kompleks karst ini. Pak Cay mengajak kami mengambil jalan memutar dari arah timur ke arah barat melalui sisi selatan Gua Bloyot untuk memberikan sensasi baru. Lagi-lagi, jika kami tidak mengajak pemandu, kami sungguh-sungguh bakal tersesat karena jalan setapak pun tidak jelas. Tertutup semak dan ranting rapat yang membuat kaki harus melangkah tinggi-tinggi agar tidak tersangkut.

Di tengah perjalanan, kami meminta Pak Cay berhenti sejenak karena kami akan mengenakan mantel plastik agar pakaian dan barang tidak terlalu kuyup. Pada momen ini, kami menikmati nuansa petualangan luar biasa. Jalan-jalan kehujanan di tengah hutan Kalimantan adalah salah satu pengalaman yang tidak hanya baru, tetapi juga terbaik seumur hidup.

Rintik-rintik perlahan mereda ketika kami mendekati sebuah aliran sungai kecil di mulut Sedepan Ketep. Sebuah lorong gua memanjang dengan kedalaman air semata kaki sampai betis, yang menurut Pak Cay di dalamnya cukup banyak terdapat sarang burung walet.

“Kita istirahat dulu di depan,” tunjuk Pak Cay ke suatu cerukan datar sempit di balik aliran sungai tadi. Ia bahkan sempat-sempatnya memotong batang pohon sebagai tempat duduk. Kami akan rehat sejenak untuk mengudap camilan dan makan siang. Saya dan Pak Cay sepakat untuk makan di dekat sungai.

  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Rasanya, bagian terbaik dari perjalanan ini adalah pada saat berhenti. Singgah di titik-titik yang memungkinkan kaki untuk diam sejenak. Memberi jeda pada tubuh. Mengatur napas, menghirup udara segar bersih tanpa terkontaminasi polusi apa pun. 

Selain di pos-pos istirahat sepanjang Merabu sampai ke Gua Bloyot, kesempatan makan siang selepas hujan di Sedepan Ketep merupakan sebaik-baiknya fase berhenti. Ada beberapa gambaran mengisi benak di tengah kesyahduan menyantap bekal nasi, tumis kacang tempe, telur bulat balado, dan ayam goreng masakan Saripah Tapriyah atau Bu Tapri, si tukang katering selama kami di Merabu. 

Pikiran saya terlempar ke ribuan tahun silam. Saya mengimajinasikan adegan manusia prasejarah sedang berburu babi hutan di sela-sela pepohonan. Berlarian. Kejar-kejaran. Begitu dapat, kemudian diangkut ke Gua Bloyot untuk dipanggang dengan api. Disantap beramai-ramai.

Lalu saya juga membayangkan satwa-satwa berkeliaran. Orang utan (Pongo pygmaeus) bergelantungan di pohon-pohon besar menjulang. Rangkong gading atau enggang (Rhinoplax vigil) beterbangan membawa biji-biji hutan untuk betina dan anaknya di sarang-sarang pohon tua yang mencakar langit. Atau beruang madu (Helarctos malayanus), yang asyik menyantap aneka buah dan tanaman hutan. Siklus hidup yang dahulu mungkin jadi pemandangan biasa sehari-hari, tetapi kini sudah jarang terlihat.

Gemericik sungai Sedepan Ketep mengiringi saya dan Pak Cay yang hanyut dalam fokus melahap makanan sampai butir nasi terakhir. Di sela-sela itu, kami menyelipkan obrolan. Ia mengaku tidak pernah menyangka jika Gua Bloyot memiliki nilai sejarah tinggi dan bisa menghasilkan perekonomian dari sektor ekowisata.

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Pak Cay bercerita pengalamannya dahulu berburu sarang walet di mulut gua Sedepan Ketep. Sebagai seorang pemanjat madu senior, ditambah tugas juru pelihara Gua Bloyot, Pak Cay telah khatam sudut-sudut hutan Merabu di luar kepala/Deta Widyananda

“Kalau dulu memang saya tidak mengenal Gua Bloyot, karena saya masih kerja sarang walet,” kata Pak Cay.

Ketika 2011-2012 harga sarang burung walet anjlok, lalu pada saat bersamaan The Nature Conservancy (TNC) masuk membuat sejumlah program konservasi dan pemetaan ekowisata, ia mencoba berpindah haluan. Karena dianggap sangat berpengalaman menjelajah medan hutan Merabu, ia kemudian direkrut sebagai juru pelihara Gua Bloyot dan bermitra dengan BPCB Kalimantan Timur. Ia dan sejumlah rekan pelindung hutan desa Merabu berkomitmen menjaga kelestarian hutan dan situs-situs bersejarah di kawasan bentang alam karst Sangkulirang-Mangkalihat, khususnya wilayah Kampung Merabu. Sejak saat itu jumlah portofolionya sebagai pemandu wisata susur gua sudah tidak terhitung lagi. 

Yang jelas, saya akan mencarinya jika kelak diberi panjang umur bisa kembali ke Merabu. “Kapan-kapan kalau kami balik lagi ke Merabu, tolong antar dan temani kami camp di Gua Lima Cahaya, ya, Pak?

“Siap!” sahutnya penuh senyum. (*)


Foto sampul:
Aula utama Gua Bloyot yang penuh lukisan prasejarah, seperti lukisan telapak tangan dan hewan. Jejak tersebut mengindikasikan gua ini sebagai tempat hunian manusia purba ribuan tahun lalu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-lorong-waktu-di-gua-bloyot/feed/ 0 40683
Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/ https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/#respond Tue, 26 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40673 Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan,...

The post Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Lanskap permukiman Merabu yang dibangun di sudut tepian Sungai Lesan. Kampung berpenghuni sekitar 80-an KK atau 200-an penduduk tersebut kini menatap sinar terang dari geliat ekowisata alam dan budaya berbasis masyarakat/Deta Widyananda

Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan, mobil yang disewa TelusuRI berbelok arah ke kiri di simpang gapura Kampung Merapun. Jalan berubah drastis dari aspal ke tanah kering berkerikil yang sudah dikeraskan. Melewati sejumlah titik permukiman di antara perkebunan kelapa sawit yang jadi sumber kehidupan sedikitnya lima perusahaan sawit.

“Jarak dari gapura ke Kampung Merabu masih ada kurang lebih 31 kilometer,” kata Hardi, sopir asal Bone yang sudah lama merantau ke Berau itu. Cuaca hari itu (09/10/2023) cerah, sehingga kami bisa melihat gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di kejauhan. Tembok alam raksasa tersebut tampak kontras dengan hijaunya hamparan sawit yang telah mendominasi Kampung Merapun.

Merapun adalah desa tetangga terdekat dengan Merabu. Kontur jalan di kawasan ini kebanyakan datar, meskipun ada beberapa titik naik turun lembah. Saat hujan kondisi jalan akan sedikit berlumpur dan licin, sehingga ban rawan kehilangan traksi. Seorang pengemudi harus lihai mengendalikan motor atau mobilnya agar tidak selip. 

Sebenarnya ada jalan tercepat menuju Merabu, yakni dari utara via Kampung Muara Lesan. Jarak dan waktunya bisa dua kali lipat lebih pendek dan cepat daripada lewat Merapun. Akan tetapi, beberapa waktu lalu Sungai Lesan meluap. Jembatan kayu satu-satunya yang menghubungkan dua desa rusak diterjang banjir bandang. Kami pun terpaksa harus mengambil rute memutar dan cukup melelahkan. Jika digambarkan, jumlah kilometer yang kami tempuh baru sepertiga dari keseluruhan jarak Tanjung Redeb ke Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.

Asrani (48), kepala Kampung Merabu sekarang, menyebut akses jalan saat ini jauh lebih mendingan ketimbang beberapa dekade lalu. Semasa masih bersekolah di Tanjung Redeb dan jalan poros Berau—Samarinda belum dibangun, Asrani harus naik ketinting selama dua hari menyusuri sungai-sungai besar, seperti Lesan dan Kelay hingga bertemu Sungai Segah di pusat kota Tanjung Redeb. Bermalam di pinggiran hutan, membawa terpal untuk melindungi dari hujan.

Pengalaman Ransum (61), ketua adat Kampung Merabu, lebih berat lagi. Di masanya “teknologi” ketinting dan mesin tempel belum ditemukan. Ia bersama sejumlah warga menaiki rakit kayu dan mendayung dari Merabu ke Tanjung Redeb selama tiga hari perjalanan. Membawa hasil hutan, seperti getah damar, lilin madu, dan rotan. “Kalau mudik balik, bisa tembus 19—20 hari karena melawan arus. Kalau air sungai lagi besar, bisa tembus satu bulan,” ungkap Ransum. 

Di Tanjung—sebutan orang Merabu terhadap ibu kota Berau—mereka bisa dapat upah 10 rupiah per hari dari hasil berdagang tersebut. “Uang segitu enggak akan habis kalau buat makan enam orang di warung. [Sisanya] belanja beras, gula tebu, garam kotak, sama pakaian buat dibawa pulang,” tambahnya.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Setelah jembatan kayu yang menghubungkan Muara Lesan-Merabu rusak diterjang banjir bandang Sungai Lesan, jalan tanah berkerikil di tengah perkebunan sawit ini jadi akses satu-satunya ke Kampung Merabu. Tampak di kejauhan pohon menggeris menjulang berlatar gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat/Mauren Fitri

“Jalan poros [Berau—Samarinda] ini kan juga dulunya yang buat perusahaan kayu. Terus jalan ke kampung juga yang bikin perusahaan sawit,” terang Asrani dalam sebuah kesempatan mengobrol di rumahnya. Ia mengkritik ketidakhadiran negara untuk rakyatnya, “Mana mau pemerintah buat jalan?”

Situasi “mendingan” yang disebut Asrani sebelumnya memang masih jauh dari kata ideal. Jauhnya lokasi kampung, baik dari Berau maupun Samarinda-Balikpapan, lalu daya tarik wisata yang menggaransikan petualangan, kian menguatkan segmentasi Merabu bukan untuk semua orang. Hanya orang-orang yang memiliki minat khusus untuk berwisata ke kampung penyangga ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat itu.

Maka tatkala The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat—yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—masuk Merabu sejak 2011, dari yang semula meriset etnografi dan arkeologi di sepanjang aliran Sungai Lesan dan kawasan karst, berkembang mendampingi pengembangan potensi ekonomi lokal berbasis masyarakat.

Peningkatan kapasitas warga Merabu menjadi prioritas selain pembangunan infrastruktur fisik. Mereka diajak melihat sudut pandang lebih luas dari sekadar budidaya karet maupun memanen sarang burung walet, yaitu ekowisata. 

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Sepasang turis mancanegara menikmati pemandangan dan keheningan Danau Nyadeng, Merabu. Nico (kanan) yang berasal dari Jerman dan Maria yang berpaspor Meksiko baru pertama datang berwisata ke Merabu dan mengaku tahu nama kampung ini dari Lonely Planet. Mereka terkesan dengan keindahan alamnya yang masih terjaga/Deta Widyananda

Tantangan membuka pikiran masyarakat

“Dulu [masyarakat punya] ketergantungan di gua, [memanen] sarang walet,” ujar Yervina (40), bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK, menerangkan awal mula penghidupan masyarakat Merabu sebelum beralih ke ekowisata.

Penghasilan dari sarang burung walet pada masa jayanya memang sangat menggiurkan. Jalan semalaman saja di hutan mudah mendapatkan hasil, karena sepanjang pinggiran hutan pasti ada gua-gua karst yang dihinggapi walet. Bahkan tidak sampai satu malam, dalam hitungan jam saja sudah bisa membawa pulang satu kresek sarang walet senilai 5—10 juta rupiah.

Akan tetapi, di era tersebut beberapa orang kurang bijak mengelola pemasukan sebesar itu dengan baik alih-alih berpikir jangka panjang. Yervina menilai orang dahulu berpikir hasil sarang walet bisa untuk selamanya, padahal alam suatu saat akan menurun juga apabila dieksploitasi habis-habisan. Tak tebersit sedikit pun untuk berinvestasi dengan membeli sepeda motor, apalagi menabung. Uang jutaan rupiah habis tak bersisa hanya dalam hitungan hari. Entah untuk hura-hura ke kota, pesta minum, main perempuan maupun kegiatan-kegiatan nirfaedah dan tidak punya arah. Dampaknya akan terasa ketika usia sudah lanjut dan tidak bisa lagi jalan ke hutan memanen sarang walet.

Di antara itu ada segelintir penduduk yang lebih terarah dalam mengatur keuangannya. “Jadi, beruntunglah mereka [yang lebih terarah]. Ketika gua sudah tidak menghasilkan [karena harga walet turun], sekarang larinya ke wisata. Mereka mempergunakan uangnya dengan baik, [sehingga] bisa berinvestasi dan memiliki modal untuk wisata,” jelas guru SDN 001 Merabu itu. 

Ia dan keluarga besarnya bukan tanpa usaha untuk mendidik masyarakat. Terutama mendiang Agustinus, suaminya yang juga kepala kampung periode 2018—2021 dan merupakan saudara kandung Asrani-kepala kampung sekarang. Keduanya terbilang getol untuk mengedukasi masyarakat agar bisa bijak mengelola pendapatan sarang burung walet dengan baik. Meskipun pada akhirnya tidak semua sejalan.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Tim TelusuRI menyapa dan berbincang dengan Yervina (paling kiri), yang siang itu (10/10/2023) baru pulang mengajar di SDN 001 Merabu. Selain menjadi guru, istri mendiang Agustinus itu juga mengemban tugas sebagai bendahara BUMKam Lebo ASIK/Rifqy Faiza Rahman

Ketika harga sarang burung walet benar-benar anjlok, masyarakat belum sepenuhnya beralih ke ekowisata. Peluang lain yang sedang terbuka adalah membudidayakan bibit kelapa sawit pribadi, untuk dijual ke perusahaan di luar Kampung Merabu. Masing-masing memiliki potensi ekonomi yang cukup bagus.

“Sebenarnya semuanya penting. Wisata penting, walaupun orang bilang jangan bergantung sama wisata. Sawit juga penting, tapi jangan juga tergantung pada sawit,” jelas Yervina. “Kalau menurut saya, apa yang ada peluangnya di kampung ini silakan Anda [masyarakat] tangkap begitu. Jika ingin di wisata, maka berpikir kita harus bikin [sesuatu], seperti punya perahu, homestay, atau transportasi.”

Perjalanan membuka pola pikir masyarakat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yervina mengakui perlu waktu untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat. Termasuk soal homestay, misalnya, yang belum semua warga mau karena merasa tidak layak melayani tamu. Sehingga setiap tamu yang datang seringnya diinapkan di rumah Yervina, Ester, Juari, atau Doni Simson—ketua BUMKam.

Namun, seperti yang ia sampaikan, Yervina justru mendorong agar masyarakat jeli melihat peluang lain di luar ekowisata. Tujuannya semata agar tidak terlalu bergantung pada kedatangan wisatawan untuk menunjang kehidupan masing-masing, terutama menjamin pendidikan anak-anak hingga ke jenjang tertinggi. Ia mengingatkan agar orang-orang Merabu tidak terlena dengan status kampung sebagai destinasi wisata. 

Harapan berkelanjutan

Dalam perkembangannya, Merabu menghadapi sejumlah aral yang tidak bisa dianggap enteng. Di tengah arus tamu yang datang silih berganti dan harus mendapat pelayanan terbaik, tantangan demi tantangan seakan menuntut untuk diselesaikan. Salah satunya adalah keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai fasilitas pendukung kebutuhan dasar masyarakat kampung.

Selama kami singgah di Merabu, Ester, istri Asrani dan kepala kampung periode 2022—2023, telah memberitahu kalau PLTS sudah mati sejak Mei lalu. Katanya ada masalah pada daya baterai sehingga perlu diganti dengan yang baru, mengingat spesifikasi keahlian teknisi PLTS berbeda dengan teknisi listrik PLN biasa.

Matinya PLTS berbulan-bulan itu, setelah hampir lima tahun sebelumnya menyala 24 jam, terasa sangat berdampak pada aktivitas rumah tangga warga. “Karena ada masalah di baterai, jadi kami kembali lagi ke awal rasanya,” celetuk Ester sedikit tergelak.

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Instalasi PLTS yang dihibahkan secara cuma-cuma oleh pihak ketiga untuk Kampung Merabu. Operasional PLTS dikelola oleh BUMKam Lebo Asik melalui PT Sinang Puri Energy. Keberadaan sumber energi terbarukan seperti ini tidak hanya krusial memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga pengelolaan ekowisata Merabu/Deta Widyananda

Sumber listrik diesel atau genset kembali diandalkan, meskipun tidak semua warga punya. Bahan bakar minyak yang mahal, bisa hampir 2—3 kali lipat dari harga normal, membuat Ester hanya memaksimalkan tenaga genset pribadi saat petang sampai malam. Biasanya mulai pukul 18.00 hingga tengah malam. Berlaku pula untuk genset besar yang ada dalam satu lahan dengan PLTS, yang tidak dinyalakan setiap hari karena keterbatasan bahan bakar.

PLTS didapatkan Kampung Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam Lebo ASIK, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.

Keberadaan PLTS komunal tersebut krusial karena menjadi simbol nyata energi terbarukan yang seiring dengan pengembangan ekowisata di Kampung Merabu. Tentu yang paling pokok adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti memompa sumber air dari sungai untuk kebutuhan harian, menyalakan kulkas dan perlengkapan elektronik lainnya, hingga yang tidak kalah penting adalah menjadi penerangan untuk anak-anak yang belajar di rumah maupun sekolah. 

Pada saat bersamaan, operasional PLTS secara optimal jelas akan membantu kelancaran aktivitas wisata di Kampung Merabu. Para tamu tidak akan kesulitan untuk setidaknya mengisi ulang perangkat elektroniknya, seperti ponsel, kamera, dan laptop selama di sana. Lancarnya aliran listrik juga membantu akses internet lewat Wi-Fi kampung, yang berasal dari bantuan Kemenkominfo, tetap menyala.

Dari bocoran yang disampaikan Doni Simson, ada rencana untuk mengambil alih kepemilikan instalasi PLTS dari PT Akuo Energy Indonesia ke PT Sinang Puri Energy, unit usaha BUMKam. Sebelum itu terjadi, pihaknya menginginkan perbaikan baterai terlebih dahulu. “Soalnya cuma teknisi dari orang Akuo Energy saja yang bisa memperbaiki. Teknisi listrik biasa enggak bisa, karena beda tekniknya,” jelasnya. 

Kelak ketika listrik ramah energi tersebut berfungsi kembali sebagaimana 2018—2022, Merabu diyakini makin melesat lebih jauh. Sampai-sampai masyarakat, bahkan orang luar sekalipun, tidak pernah membayangkan Merabu akan seperti ini sebelumnya karena karena geliat ekowisata. Tidak pernah terpikirkan pula Merbabu dianggap sebagai laboratorium alam dan cagar budaya yang mengundang peneliti-peneliti untuk datang. 

Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu
Gary (kiri) melihat keseruan membakar ikan sungai bersama Natanael, pemuda Merabu, di pekarangan sempit depan rumah Yervina. Videografer independen yang berbasis di London tersebut sudah menginap hampir seminggu di Merabu untuk mengambil beberapa stok foto dan video. Bahasa menjadi salah satu kendala yang harus segera diatasi jika ada tamu asing datang berkunjung/Mauren Fitri

Untuk berkembang lebih jauh, kuncinya justru terletak pada sinergi dan kekompakan masyarakatnya. Kehadiran The Nature Conservancy (TNC), YKAN, Indecon, maupun lembaga masyarakat sipil lainnya berfungsi mengakselerasi langkah orang-orang Merabu. Kini, konsistensi Merabu, terutama di sektor ekowisata yang saat ini menjadi unggulan, bergantung sepenuhnya pada komitmen warganya.

Perjalanan Merabu masih sangat panjang dan tidak akan berujung. Aral-aral pasti akan selalu ada dan bisa menghambat pengembangan ekowisata. Akan sayang jika Gua Bloyot, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, dan potensi sumber daya alam lain yang telah dipoles sedemikian rupa terabaikan karena tidak dijaga dengan maksimal.

Akan tetapi, Asrani tidak ingin putus harapan. Setidaknya untuk saat ini. Jika ditanya, Merabu ingin lebih dikenal sebagai destinasi khusus ekowisata atau budaya, ia menjawab panjang, “Kami ingin Merabu bisa dikenal baik dalam maupun luar negeri. Kami juga punya hutan, kami juga punya budaya,” harapnya.

“Kalau orang datang ke sini itu bukan hanya mengunjungi tempat wisatanya, tapi juga melihat budayanya, melihat alamnya, melihat keramahan masyarakatnya.” (*)


Foto sampul:
Siluet Pak Cay, pemandu lokal saat memasuki pintu utama Gua Bloyot, yang terkenal karena adanya lukisan telapak tangan di dinding gua. Penemuan gua dan jejak prasejarah tersebut menjadi awal mula pengembangan ekowisata di Kampung Merabu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Panjang Ekowisata Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ekowisata-merabu/feed/ 0 40673
Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu https://telusuri.id/bahu-membahu-menjaga-hutan-merabu/ https://telusuri.id/bahu-membahu-menjaga-hutan-merabu/#respond Mon, 25 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40662 Hidup masyarakat Dayak Lebo Merabu bergantung pada keutuhan hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Keterbatasan sumber daya manusia jadi tantangan perlindungan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Asrani (48), kepala kampung baru Merabu,...

The post Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Hidup masyarakat Dayak Lebo Merabu bergantung pada keutuhan hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Keterbatasan sumber daya manusia jadi tantangan perlindungan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu
Tutupan vegetasi rapat khas tropis yang dilindungi dalam wilayah hutan desa Merabu. Bukan hanya menghidupi manusia, melainkan juga flora dan fauna endemik lainnya di kawasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat/Deta Widyananda

Asrani (48), kepala kampung baru Merabu, mengakui sebelumnya masyarakat beranggapan jika terus menjaga hutan, maka berbanding lurus dengan tingkat perekonomian. Namun, kondisi alam tidak pernah bisa ditebak. Masa-masa keemasan karet dan sarang burung walet tidak seperti dahulu. Sementara madu hutan alami yang jadi andalan tergantung pada musim panennya.

“Kalau hutan saja yang lestari, ekonomi masyarakat tidak normal. Otomatis pikirannya akan [berusaha] merusak [hutan],” ujar Asrani.

Ia khawatir jika sumber pemasukan berkurang, masyarakat akan lambat laun berpikir mengambil apa pun dari hutan. Tanpa dikontrol. Akibatnya hutan akan habis dan tidak ada warisan untuk anak cucu. Terlebih kampung-kampung seperti Merabu juga dikepung dengan perkebunan sawit, pertambangan batu bara, hingga perusahaan-perusahaan logging.

“Nah, tahun-tahun ini sudah kami ubah. Kami sekarang berprinsip: hidup sejahtera, hutan terjaga,” ucap Asrani yakin. 

Suami Ester itu menilai perlunya perubahan pola pikir setelah melihat perkembangan zaman. Dasarnya sederhana. Ekonomi memang sangat penting. Setiap saat selalu ada banyak tekanan dan kebutuhan yang harus dipenuhi.

“Kita saksikan sendiri. Listrik bayar, air PAM bayar. Belum lagi anak sekolah, belum lagi kredit. Jadi, itu semua butuh biaya,” Asrani benderang menjabarkan. “Jadi, kami beranggapan ketika anak kami menempuh pendidikan dengan baik, kehidupan itu sudah sejahtera. Otomatis kita akan melestarikan [hutan] dengan baik. Hidup sejahtera, hutan terjaga.”

Sekali lagi, Asrani menekankan pentingnya pendidikan. Ia percaya perubahan pola pikir seseorang tidak akan terbentuk tiba-tiba. Ada proses yang harus dilalui dan itu tidak bisa dikerjakan sendirian. Harus bersama-sama.

Maka ketika konflik dengan perusahaan sarang burung walet mereda, The Nature Conservancy (TNC) masuk bersama sejumlah lembaga nirlaba lokal, tokoh-tokoh muda bermunculan—seperti Franly Aprilano Oey dan Agustinus yang berurutan menjadi kepala kampung selama 2012—2021—masyarakat diajak melihat kembali halaman belakang rumah mereka. Secara perlahan diberikan pemahaman dan pendampingan, tentang jendela-jendela kesempatan lain yang terkuak dari kerimbunan hutan dan megahnya gugusan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Anugerah alam dari karst Sangkulirang-Mangkalihat

Entah bagaimana cara alam menyintas waktu dan bersolek sampai terbentuk gundukan-gundukan karst seperti terlihat sekarang. Bahkan bukan hanya batu-batu cadas menjulang, melainkan juga menyisakan ruang untuk danau-danau, lekukan sungai mengalir dari hulu ke hilir, liang-liang gua, dan hutan nan lebat. Yang telah dikenal dengan nama Sangkulirang-Mangkalihat.

Tidak main-main. Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur mencatat jelas, luas kawasannya mencapai 1.867.676 hektare. Hampir tiga kali lipat Singapura.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, dalam booklet khusus untuk pengajuan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016, menyebut ada delapan gunung karst raksasa yang menjulang tinggi.Mulai dari Gunung Kulat yang menjadi batas Berau—Kutai Timur, Gunung Nyapa, Gunung Tondoyan, Gunung Marang, Gunung Gergaji, Gunung Beriun, Gunung Tutanumbo, Gunung Sekerat, dan gunung-gunung batu kecil lainnya yang tidak bisa dihitung jari. Kawasan ini merupakan hulu dari lima sungai utama di kedua kabupaten tersebut, serta menjadi sumber air bagi ratusan ribu penduduk di ratusan desa. Daerah-daerah penyangganya mencakup enam kecamatan di Berau, yaitu Biduk-Biduk, Batuputih, Talisayan, Biatan, Tabalar, Kelay; dan tujuh kecamatan di Kutai Timur, yakni Sandaran, Sangkulirang, Karangan, Kaliurang, Kaubun, Bengalon, Kombeng.

Kampung Merabu di Kecamatan Kelay, Berau, dianggap sebagai pintu masuk terbaik untuk mengeksplorasi hutan dan gunung karst Sangkulirang-Mangkalihat. Bahkan jika ingin menuju Danau Tebo yang terletak di Karangan, Kutai Timur, orang-orang Merabu bisa tembus kurang dari dua hari perjalanan. Rutenya estafet, mulai dari menyusuri Sungai Lesan, trekking ke Danau Nyadeng lalu melewati area gua Puncak Ketepu.

Akhmad Wijaya dkk dari TNC Samarinda, dalam jurnalnya Studi Etnografi dan Pemetaan Sosial masyarakat Sekitar Ekosistem Karst Hulu Lesan-Hulu Karangan, Kalimantan Timur (2011), menyebut menyebut ekosistem karst ini merupakan habitat vital untuk aneka ragam flora dan fauna. Berserakan di area hutan dataran rendah hingga puncak-puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu
Liang gua di tebing cadas yang berada di atas Danau Nyadeng, dipotret dari Puncak Ketepu. Masih banyak gua-gua yang belum terjamah untuk dieksplorasi lebih jauh di kawasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat/Mauren Fitri

Dari sisi arkeologi, ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat kaya akan jejak prasejarah. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur mengidentifikasi sedikitnya 40 gua arkeologis yang tersebar di kawasan tersebut. Usianya menyentuh rentang 5.000—10.000 tahun.

Salah satu yang populer adalah Gua Bloyot, sekitar 2—3 jam berjalan kaki dari Kampung Merabu. Di liang utamanya, terlihat lukisan tangan menempel di dinding-dinding gua. Gua yang mulai dikenal karena penemuan tim peneliti asal Prancis itu menjadi satu atraksi utama ekowisata Merabu.

Karst Sangkulirang-Mangkalihat adalah rumah yang nyaman untuk sejumlah fauna endemik Kalimantan. Kebanyakan berstatus rentan hingga terancam kritis menurut indikator International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Satwa-satwa khas yang hidup di hutan ini, antara lain orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus), enggang atau rangkong gading (Rhinoplax vigil), beruang madu (Helarctos malayanus), dan owa kalimantan (Hylobates albibarbis). Selain itu jika menyusuri jalur trekking ke Gua Bloyot atau Danau Nyadeng, terdapat beberapa jenis pohon pusaka yang mencakar langit; seperti damar, meranti, meranti majau (Shorea johorensis), ulin (Eusideroxylon zwageri), bengkirai (Shorea laevis) dan menggeris (Koompassia excelsa)—salah satu pohon sarang madu. Usianya bisa puluhan atau ratusan tahun. Ada juga gaharu, rotan, dan tanaman-tanaman kayu lainnya. 

Secara tertulis, ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat telah dilindungi negara. Penelitian-penelitian dari pelbagai latar keilmuan terus berlangsung. Diyakini masih banyak ruang-ruang yang belum terjamah. Kelestariannya bergantung pada upaya masing-masing desa penyangga di sekitarnya.

Merabu, dapat dibilang memiliki keistimewaan merawat kawasan tersebut. Melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri, Merabu jadi kampung pertama di Kabupaten Berau yang mendapatkan izin Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan desa seluas 8.245 hektare pada 9 Januari 2014. Sekitar 37,5 persen dari total luas kampung 22.000 hektare (220 km2). Ketetapan ini dituang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.28/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu. 

Penetapan status hukum kawasan hutan desa menjadi titik balik luar biasa bagi Merabu. Masyarakat makin terbuka dalam memandang nilai lebih ekosistem hutan di kampung mereka. Menyambut anugerah alam dari Sang Pencipta dengan beragam langkah pengelolaan. Salah satunya melalui adopsi pohon.

Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu
Tampak depan sekretariat LPHD Kerima Puri di timur kantor kepala kampung Merabu. LPHD Kerima Puri adalah embrio dari Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo Asik yang sekarang diketuai Doni Simson/Rifqy Faiza Rahman

Mengasuh pohon-pohon

Menurut Doni Simson (41), ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK Merabu, adopsi pohon menjadi skema andalan untuk melindungi hutan desa sekaligus memberi manfaat ekonomi. Bisa dibilang pihaknya menjual pohon, tetapi tidak dengan cara menebang. 

“Misalnya, sampean mau adopsi satu pohon. Kami buat kontraknya [minimal] dua tahun. Sampean bayar satu tahun itu kan Rp 1 juta, berarti dua tahun Rp 2 juta. Kami buatkan plangnya dan jadi tanggung jawab kami menjaga pohon itu sampai kontrak habis dua tahun,” Doni menjelaskan prosedurnya. 

Pengelolaan adopsi pohon dilakukan melalui LPHD. Durasi kontrak adopsi bisa diperpanjang atau dihentikan sesuai kesepakatan. Tanggung jawab LPHD terhadap pohon adopsi, antara lain membersihkan area sekitar pohon, merawat plang yang berjamur, mengecek kondisi kekuatan tegakan pohon, dan menjaga agar jangan sampai diganggu orang jahil. Selain biaya adopsi, LPHD juga menerapkan kewajiban donasi minimal Rp10.000 kepada setiap tamu yang datang berwisata.

Satu pohon bisa diadopsi lebih dari satu orang. Masing-masing pengadopsi mendapatkan nomor khusus yang berlaku untuk satu pohon. LPHD akan memotret lokasi dan pohon adopsi, membuatkan sertifikat adopsi, dan melaporkan hasilnya secara berkala melalui surat elektronik atau WhatsApp. 

Dalam waktu berjalan biasanya ada pohon yang rebah karena sudah tua. Kasus ini sering terjadi. Jika masih dalam masa kontrak adopsi, LPHD akan memberi dua tawaran ke pendonor, yaitu pohon dipindahkan atau uang dikembalikan. Kebanyakan orang-orang yang pohon adopsinya tumbang tidak mau uangnya kembali. Mereka memilih pindah ke pohon baru.

“Makanya ada banyak [titik], yang satu pohon itu ada beberapa plang nama orang karena dia meminta pindahnya di situ,” terang Doni.

Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu
Doni Simson, ketua BUMKam Lebo ASIK, ketika ditemui di teras rumahnya saat malam (15/10/2023). Ditemani secangkir kopi panas, ia menjelaskan upaya-upaya masyarakat Merabu dalam menjaga hutan desanya/Deta Widyananda

Penentuan jenis-jenis pohon yang dipilih untuk program adopsi umumnya dilakukan beriringan dengan kegiatan wisata. Terutama di Gua Bloyot atau Danau Nyadeng. Sepanjang jalur di dalam hutan banyak ditemui pohon-pohon layak adopsi. Sejauh ini terdapat kurang lebih 296 pohon yang sudah diadopsi di dua kawasan tersebut. Kebanyakan pengadopsi berasal dari mancanegara, yang rata-rata mengadopsi pohon jenis damar (Agathis borneensis), meranti merah (Shorea parvifolia), dan merawan (Hopea mengarawan). Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015—2018.

Doni kerap menyarankan tamunya mengadopsi pohon yang ukurannya masih kecil atau pendek. Lama-kelamaan pohon tersebut akan tumbuh besar. Menurutnya jika mengadopsi pohon tua yang terlalu besar, biasanya rawan roboh karena faktor alam atau usia. 

Banyaknya orang yang mau mengadopsi pohon di hutan desa Merabu membuat Doni dan Arbaniyansyah atau Yan (41), sekretaris LPHD, bersyukur sekaligus heran. Yan mengaku pihaknya bingung jika sewaktu-waktu ada tamu, khususnya mancanegara, datang lalu minta diatur perjalanan ke hutan dan mekanisme adopsi pohonnya. 

“Kami bingung juga orang ini tahu Merabu dari siapa? Tahu nomor Pak Doni dari mana? Wah, ini yang bikin kacau,” seloroh Yan. Belakangan mereka baru paham jika nomor telepon Doni dan Yervina, bendahara BUMKam Lebo ASIK, tercantum dalam salah satu buku Lonely Planet; referensi wisata populer untuk pelancong dunia.

Dengan skema adopsi pohon, hasilnya telah banyak mendanai biaya sekolah anak-anak Kampung Merabu dan membantu orang-orang tua. Kelak pohon-pohon yang diasuh secara bersama-sama tersebut akan dinikmati oleh anak cucu mereka.

  • Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu
  • Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu

Komitmen yang tidak bisa diganggu gugat

Awalnya masyarakat Dayak Lebo di Merabu belum mengerti nilai lebih dari hutan yang ada di kampung. Menurut Yan, selama ini warga berkomitmen menjaga hutan semata karena memang di sanalah sumber penghidupan mereka. Segala makanan, seperti buah-buahan, sayur, madu, binatang—pelanduk, payau (kijang), dan babi hutan—sampai tanaman obat-obatan hutan pun ada. Terlebih sumber air alami dari Danau Nyadeng dan sungai jernih yang mengalir dari celah bukit-bukit karst. Intinya, sebisa mungkin jangan sampai perusahaan masuk dan merambah kawasan.

Tatkala perekonomian karet dan sarang burung walet menurun, secara bersamaan ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif baru dalam masa-masa transisi itu. Kunjungan peneliti-peneliti gabungan yang mengkaji jejak prasejarah di gugusan karst, baik asing maupun lokal, menjadi sesuatu yang tak terbayangkan bagi masyarakat Merabu. Pun tamu-tamu datang silih berganti ingin melihat kekayaan alam Merabu.

Melihat ada potensi besar yang bisa didapat dari hutan desa tersebut, kian menguatkan komitmen warga kampung untuk melindungi hutan. Populasi 200-an orang yang bermukim di kampung jelas bukan angka sepadan untuk menjaga kawasan hutan desa seluas 8.245 hektare. Asumsinya, satu orang berarti harus mengawasi 41 hektare lahan. 

Yan mengakui keterbatasan sumber daya manusia di kampung untuk patroli hutan. Apalagi pengurus inti LPHD hanya tiga orang, yaitu Asrani (ketua sementara), Ardiyansyah (bendahara), dan dirinya. Pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Tengah kemudian memberi solusi dengan memberdayakan beberapa warga kampung sebagai Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP) dan Masyarakat Peduli Api (MPA). Mereka dibayar dengan dana LPHD untuk khusus terjun ke lapangan dan melaporkan apabila ada orang kerja kayu atau bakar lahan di hutan desa. KPH Berau Tengah dan LPHD akan turun menindaklanjuti laporan tersebut.

Namun, selain patroli rutin minimal sebulan sekali, Yan bilang kalau LPHD punya cara tersendiri yang lebih murah dan sejauh ini terbilang efisien. Mereka melibatkan masyarakat. “Ya, kadang kami ke kebun [atau ke hutan] sekalian lihat. Kalau ada orang kerja kayu di wilayah hutan desa, itu kami tangkap dan kami bawa ke kampung,” papar Yan.

Sejauh ini, dalam catatan LPHD, terdapat 96 meter kubik kayu hasil illegal logging yang tertahan di dalam hutan. Jenisnya beragam, mulai dari ulin sampai bengkirai. Pelakunya perorangan yang datang dari luar kampung. Pelaku yang tertangkap umumnya diberi edukasi dan tidak diberikan tindakan hukuman lebih lanjut. 

Artinya, setiap warga kampung juga berarti anggota LPHD. Siapa pun boleh sekalian melakukan pengamatan ketika beraktivitas di kebun atau hutan di dalam kawasan. “Itulah fungsi mereka sebenarnya, untuk menjaga keamanan dan ketertiban hutan ini,” jelas Doni.

Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu
Arbaniyansyah atau Yan, warga pendatang asal pedalaman Barito Utara, Kalimantan Tengah yang sudah lama tinggal di Merabu. Selain bertani dan mencari madu, kini ia mengemban tugas sebagai sekretaris LPHD Kerima Puri serta aktif mengikuti patroli hutan rutin/Rifqy Faiza Rahman

Pelibatan gotong-royong oleh LPHD menjadi jalan terbaik untuk makin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kawasan hutan. Termasuk kepada tamu-tamu yang datang. Hutan benar-benar menjadi denyut nadi terpenting untuk Kampung Merabu. Selain sumber makanan, juga terdapat bahan kayu untuk membangun rumah hingga lahan untuk berladang.

Tentu, pemanfaatan sumber daya hutan tidak dilakukan sembarangan. Ada aturan-aturan main yang harus dipatuhi agar sumber daya hutan tetap berkelanjutan. Salah satu tradisi masyarakat turun-temurun, misalnya manugal, dilakukan secara terbatas di area hutan produksi terbatas. Luasnya maksimal satu hektare. Pohon-pohon yang ditebang dan dibakar pun tidak dibiarkan habis. Mereka menyisakan tegakan pohon-pohon besar atau tanaman dengan daun-daun basah di sekeliling, berfungsi sebagai sekat agar tidak merambat dan membakar lahan maupun pohon-pohon penting di sekitarnya. Dalam 2—3 tahun, pohon-pohon di lahan yang ditanami padi gunung akan tumbuh kembali dengan cepat. 

“Itulah kenapa kami harus jaga hutan, karena sumber air kami dari situ. Kalau hutan itu rusak, maka sumber air kami juga akan rusak,” terang Doni. “Nanti kami akan sama dengan orang-orang di kota. Sumber airnya tidak ada, sementara kami kaya dengan [hasil] alam.”

Merabu memang bukan satu-satunya kampung yang hidupnya bergantung pada hutan dan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun, melihat komitmen dan spirit orang-orangnya, Merabulah yang paling terdepan melindungi hutan. (*)


Foto sampul:
Tampak di kejauhan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat membentang bertopi awan mendung. Selain hutan desa, kawasan karst tersebut menjadi sumber air yang menghidupi masyarakat Merabu dan harus dijaga kelestariannya/Rifqy Faiza Rahman

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bahu-Membahu Menjaga Hutan Merabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bahu-membahu-menjaga-hutan-merabu/feed/ 0 40662
Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan https://telusuri.id/takdir-dayak-lebo-di-persimpangan-jalan/ https://telusuri.id/takdir-dayak-lebo-di-persimpangan-jalan/#respond Sat, 23 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40494 Adat Dayak Lebo di Kampung Merabu mencoba bertahan di tengah ketatnya peraturan agama dan cepatnya arus modernisasi. Regenerasi dan literasi jadi kendala besar. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Rambut di kepala...

The post Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan appeared first on TelusuRI.

]]>
Adat Dayak Lebo di Kampung Merabu mencoba bertahan di tengah ketatnya peraturan agama dan cepatnya arus modernisasi. Regenerasi dan literasi jadi kendala besar.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan
Ransum, ketua adat Kampung Merabu. Saat TelusuRI berkunjung, dia sedang bersantai sambil merokok di teras rumahnya/Mauren Fitri

Rambut di kepala sudah memutih. Kulit cokelatnya mulai berkeriput. Kedua sendi lutut mengapur. Kaki bengkak karena asam urat. Sesekali ototnya akan kram jika terlalu lama duduk atau bergerak. Langkahnya sudah tatih. Saat berjalan, sepotong kayu bercat hijau harus digenggam untuk menopang tubuh.

Kondisi itu membuat Ransum (61) terlihat lunglai karena tidak selalu bisa bepergian setiap saat. Kursi kayu panjang di teras rumah panggungnya jadi tempat menghabiskan waktu sehari-hari. Mengisap batang demi batang rokok filter. Erna Wati (62), istrinya, jadi teman bicara setia yang duduk bersandar di kosen pintu rumah. Ia juga harus berjalan merangkak karena kendala kesehatan di lututnya. Tubuh Ransum tampak mungil dengan balutan kaus katun biru bertulis “Jakarta Tempo Doeloe”.

Namun, ia seakan tidak ingin menyerah pada segala titik lemah itu. Sorot matanya tajam. Tutur kata masih jelas. Selaras dengan detail labirin memori lampau yang sangat kuat. Apalagi jika sudah memakai baju jomok kulit kayu, aneka kalung di leher, hingga cawat kain dengan mandau beraneka pernik melingkar perut. Lalu topi bulu musang yang bermahkotakan paruh enggang keemasan dan bulu-bulu megah terpasang di kepala. Meski memegang tongkat, ia berusaha berdiri tegap. Terpancar jelas muruahnya sebagai tetua adat Kampung Merabu.

Di balik mulut yang nyaris ompong, senyumnya berusaha terkembang. Kepada TelusuRI (10/10/2023), ia berkisah tentang leluhur dan tradisi Dayak Lebo Merabu, yang di era kini masih berjuang mempertahankan eksistensi.

Hidup mati berurat adat

Sebagaimana suku Dayak pada umumnya, sendi-sendi kehidupan masyarakat Dayak Lebo tidak lepas dari adat. Dari proses kelahiran bayi bahkan sampai urusan kematian. Sebagai subsuku dari Dayak Basap, yang menginduk pada Dayak Punan—salah satu rumpun suku Dayak terbesar di Kalimantan—orang-orang Lebo di Merabu memiliki sejumlah laku, ritus, hingga aturan-aturan adat yang usianya sama tua dengan lahirnya kampung tersebut.

“Karena kami ini kan orang pegunungan, orang [yang tinggal di] hutan, mana kami mengerti [konsep] kampung dulu? Kalau kami tembus [bikin] kampung ini kan [gampang] diserang orang, [karena] dulu zaman ngayau,” papar Ransum. “Jadi, kami harus lari ke hutan. Kami cari makan di hutan.”

Dahulu, ritual ngayau masih kental dilakukan oleh suku-suku Dayak pemburu kepala. Masyarakat suku Dayak Basap Lebo merupakan kelompok kecil dan terasing di dalam hutan, yang tidak memiliki tradisi perang antarsuku. Mereka bersembunyi hingga ke pedalaman rimba belantara. Bertahan hidup di longai, celah datar sempit di antara bukit batu menjulang penuh gua prasejarah, yang kini dinamakan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan terpencil tanpa arah yang susah ditembus siapa pun. 

Di antara waktu-waktu tersebut, para nenek moyang Ransum mulai berusaha merintis kampung. Membuat beberapa rumah sederhana. Namun, mereka belum berani menempati karena takut sewaktu-waktu diserang dan dibunuh suku lain.

Sampai kemudian situasi benar-benar kondusif dan tak ada lagi permusuhan antarsuku, kampung tersebut mulai hidup. Masyarakat membangun banyak rumah, membuka ladang-ladang pertanian, seperti jagung, singkong, dan padi gunung. Tetua adat menetapkan batas hutan dan memberlakukan aturan-aturan adat. Terutama soal kewajiban menjaga hutan dan gugusan karst Sangkulirang-Mangkalihat yang ada di “halaman belakang” kampung mereka.

“Kami takut orang masuk ke sana dan merusak hutan kami, karena hutan itu jadi penghidupan kami,” terang Ransum. Sumber daya alam di dalamnya memang melimpah, antara lain sagu, madu, hingga buah-buahan hutan. Hewan-hewan buruan juga masih berkeliaran, seperti babi hutan, pelanduk, hingga kijang. Tidak terkecuali ikan-ikan air tawar yang hidup di aliran Sungai Lesan. 

Sistem pemerintahan perlahan berjalan ketika dipimpin oleh Sampan, kepala kampung pertama sebelum Asrani (48). Sampan adalah paman Asrani. Oktober lalu, Asrani terpilih kembali sebagai Kepala Kampung Merabu, setelah pernah menjabat pada periode 1998—2011.

Eratnya hubungan orang Dayak Lebo dengan hutan membuatnya lekat dijuluki suku peramu dan pemburu. Memanfaatkan segala sumber daya di hutan seperlunya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga, tetapi juga meracik tanaman-tanaman hutan sebagai ramuan saat ada yang sakit atau memerlukan penanganan Belian (dukun adat).

Ransum (baju hitam dan celana putih) menebar beras kuning ke tengah-tengah penari saat prosesi adat Festival Tuaq Manuk 2023/Ester Suwarsih INDECON

Maka pada beberapa ritus khusus, memberi “makan“ penghuni hutan—yang tak kasatmata—adalah wajib bagi masyarakat Dayak Lebo. Tidak terkecuali lokasi-lokasi sakral, seperti Gua Bloyot dan gua-gua karst lain, Danau Nyadeng, maupun Puncak Ketepu. Salah satu caranya melalui tradisi iraw atau melas kampung. Sebuah ritual adat tolak bala, yang bertujuan agar madu maupun hasil hutan di dalamnya, buah-buahan, dan panen padi melimpah.

Keberadaan beras kuning menjadi krusial dalam ritus-ritus tersebut. Penaburan beras kuning biasa dipergunakan untuk beberapa kegiatan. Misalnya tradisi manugal, pembukaan lahan baru untuk menanam padi secara gotong royong. Padi yang digunakan jenis padi gunung tanpa melalui persemaian benih, yang hanya bisa panen sekali dalam setahun.

  • Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan
  • Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan

Menurut Ransum, proses penentuan lahan penanaman padi sebenarnya cukup panjang. Beras kuning menjadi media spiritual untuk melihat kelayakan lahan bekas bukaan hutan secara terbatas tersebut. Jika satu petak lahan dianggap tetua tidak akan menghasilkan, maka akan berpindah ke tempat lain. 

“Itu adat kami dulu [dan] masih dipakai nenek moyang kita. Nah, sekarang ini, ya, tebas-tebas saja. Enggak ada lagi yang mau [seperti dulu], karena susah juga,” ujar Ransum. 

Agus Atino (53), warga pendatang yang beristri asli Dayak Lebo, mengakui beras kuning mestinya disediakan saat manugal. Terutama ketika malam harinya pesta lemang, yaitu makan-makan bersama di pondok tengah kebun. Lemang adalah kuliner khas Merabu berupa beras ketan dalam bambu panjang yang dibakar.

“Harusnya [memang] ada seserahan semacam pondok kecil 1×1 meter yang diisi beras kuning dan bunga-bungaan. Sayangnya, kemarin nggak sempat untuk mencari. Bapak-bapak juga nggak ada yang bisa dimintai tolong karena pada sibuk,” jelasnya.

Beras kuning tersebut juga biasa digunakan untuk menyambut tamu dari luar kampung. Ransum menjelaskan, “Itu tanda hormat kita kepada semua orang yang datang ke kampung. Kita menaburkan beras kuning supaya dia selamat. Pulang kembali ke kampungnya sendiri dengan selamat. Enggak kena sakit, enggak kena bahaya.”

Bukan apa-apa. Bapak empat anak itu khawatir jika ada orang masuk hutan tanpa pamit padanya. Lalu si tamu tak dikenal membawa banyak orang, yang pada akhirnya hanya akan merusak hutan desa seluas 8.245 hektare tersebut.

Akan tetapi, karena faktor kesehatan, penyambutan adat seperti itu tidak selalu dia lakukan. Hanya pada beberapa momen tertentu, seperti kehadiran pejabat daerah, pemerintah pusat, tamu-tamu organisasi nirlaba yang memiliki program di Merabu, atau prosesi puncak di Tuaq Manuk, yang kini menjadi kalender festival adat tahunan Kabupaten Berau.

Selebihnya, ia hanya menitip pesan. Khususnya kepada operator wisata yang membawa tamu ke Merabu, agar setidaknya meminta izin dan pamit kepada Ransum sebelum masuk hutan.

“Kalau kita telusuri betul-betul sejarah adat yang ada [turun-temurun], berat [memang] hukum adat itu. Banyak pantangan-pantangannya. Tapi, ya, itu untuk kebaikan kita juga,” tutur Ransum lirih. “Kami hanya berusaha meneruskan pesan nenek moyang kami agar memelihara hutan [dengan adat].”

Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan
Ibu-ibu gotong-royong memasukkan beras ketan dalam ruas bambu untuk membuat lemang yang dibakar dengan api. Pesta lemang dirayakan setelah tradisi manugal selesai. Lokasi pesta biasanya berada di area pondok tengah kebun, yang berbeda dengan lahan budidaya padi/Deta Widyananda

“Kalau saya mati, ya, habis sudah…”

Sembilan belas tahun menjadi tetua adat, Ransum tidak memungkiri kendala besar yang ia hadapi untuk melestarikan adat Dayak Lebo dari nenek moyangnya. Selain arus modernisasi yang berkembang pesat, masuknya dua agama baru—Kristen dan Islam—menurutnya juga berperan dalam membatasi ritus-ritus adat yang ada.

Meskipun beberapa orang masih terbuka dan mau melaksanakan adat, tetapi tidak sedikit yang mulai meninggalkan karena pesan pemuka agama masing-masing. Biasanya penolakan terhadap adat disebabkan sejumlah ritual yang dipandang bertentangan dengan aturan kitab suci atau menyekutukan Tuhan. Termasuk soal memberi “makan” sosok-sosok tak kasatmata penghuni hutan atau menabur beras kuning sebelum manugal tadi.

“Kalau agama kan tidak ada pementang-pementangnya,” kata Ransum. Ia beranggapan bahwa dalam agama tidak diatur pantangan-pantangan sebagaimana halnya adat. Di sisi lain, agama sebenarnya bisa menjadi pelengkap adat yang sudah ada. Namun, ia sendiri memilih melunak dan membiarkan dinamika yang terjadi saat ini.

Keresahan Ransum tersebut diakui sendiri oleh Asrani, Ia mencoba menjembatani perbedaan pandangan agama dan adat. Menurutnya, kehidupan adat di era sekarang tidak lagi sama seperti dahulu. 

“Sebenarnya kita [melakukan ritual adat] hanya melestarikan saja. Kami berpikir ini [adat] memang peninggalan dan tradisi kita, bukan dibuat-buat. Walaupun dianggap ketinggalan zaman, itulah jati diri kita,” jelas Pak Ra, sapaannya. “Saya rasa di budaya itu juga sebenarnya tidak ada yang salah, karena zaman dulu kan orang memang belum punya agama.”

Keterbukaan akses informasi dan teknologi yang serba praktis dan tidak ribet menjadi faktor lain yang bisa berpengaruh. Khususnya anak-anak muda, yang literasinya soal tradisi-tradisi di kampungnya masih terbatas. Keterbatasan literasi adat dan regenerasi tidak hanya berbahaya pada eksistensi adat, tetapi juga pengembangan ekowisata yang jadi andalan Merabu beberapa waktu terakhir. Sejauh ini belum ada upaya konkret dalam mengawetkan pengetahuan adat yang dituturkan Ransum sebagai pustaka secara tertulis dan rapi.

Rangkaian upacara adat dalam Festival Tuaq Manuk 2023 di Balai Adat Kampung Merabu/Ester Suwarsih INDECON

Sebagai jalan tengah, penyelenggaraan Festival Tuaq Manuk pada Juli lalu seolah menjadi momentum tepat. Berlangsungnya rangkaian upacara adat selama hampir sepekan penuh menunjukkan komitmen Kampung Merabu mempertahankan darah budaya nenek moyangnya.

Tuaq Manuk dicetuskan oleh Simpo Belian Danyam, pemimpin adat pada masa-masa awal kampung berdiri, setelah menerima hidayah sang leluhur penguasa alam melalui petunjuk mimpi. Tuaq Manuk merupakan tradisi gotong royong bernuansa spiritual yang merangkul semua golongan, sekaligus sebagai wadah literasi tentang unsur-unsur kehidupan sehari-hari yang melekat dalam adat Dayak Lebo: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem kesakralan. 

Terdapat empat masa atau tahapan utama dalam ritual Tuaq Manuk. Beramu, masa orang-orang mengupayakan apa yang diperlukan. Pasing, masa orang mendoakan yang sudah ada. Menyadi Tuaq, masa orang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Peding, masa setiap orang harus taat pada aturan atau pantangan. Setiap prosesi tersebut selalu diiringi tari-tarian dan alunan aneka jenis musik Tuaq, seperti tajaan, bibi temongang batang, tapik-tapik bagizam, sebumung buka-buka sebumung, batu luga-luga, dan tarenten buto taretung.

Tujuan besarnya agar masyarakat dan hutan Kampung Merabu diberikan keberkahan dan senantiasa bersyukur pada hasil yang diterima. Baik untuk kebutuhan tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Panen padi sukses, buah-buahan dan madu berlimpah, juga termasuk memberi obat dan doa pada warga yang mengalami beragam kesulitan. Selain warga lokal, wisatawan yang datang pun boleh hadir untuk lebih mengetahui tradisi lokal Merabu.

Sekalipun begitu, raut wajah Ransum tetap menyiratkan kegundahan. Tantangan yang membentang di depan matanya seolah terlampau besar; menempatkan adat Dayak Lebo dalam dilema. Ia tentu tak akan mungkin menahan segala arus langkah yang perlahan bisa saja berpotensi meminggirkan adat. Urusan apa pun itu.

Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan
Senyum Ransum dengan pakaian adat Dayak Lebo. Pohon durian dan hutan di belakangnya adalah lokasi kampung pertama berdiri/Deta Widyananda

“Kita sedih karena pementang-pementangnya banyak dilanggar. Apa yang dilarang, kita kerjakan. Nanti baru tahu [dampaknya] pas tiba-tiba sakit,” keluhnya. “Jadi, sedih kalau adat kita dikurangi terus.”

Sekarang saja, menurut kakek sembilan cucu itu, ketua adat sudah jarang dipercaya untuk menyelesaikan beberapa persoalan fisik. Baik masalah yang menimpa kampung maupun hutan desa. Kemampuan spiritual seorang ketua adat seperti Ransum hanya diperlukan ketika warga sudah benar-benar buntu. Secara terus terang, ia menyebut status pemangku adat di Merabu hanya sebagai topeng saja.

Kegelisahannya tidak berhenti sampai di situ. Regenerasi pemangku adat Dayak Lebo juga memusingkan kepalanya. Ransum sebenarnya telah menyiapkan anak pertamanya, Soleman, sebagai penerus tampuk kepemimpinan adat di Kampung Merabu. Meskipun ia sendiri belum terlalu yakin. Perlu waktu untuk benar-benar bisa menyelami filosofi adat merasuk dalam raga dan jiwanya.

“Dia [masih] belum tahu sejarah dan cara-cara [ritual] adat Merabu,” katanya. Sampai sekarang ia masih berusaha mewanti-wanti agar jangan sampai membiarkan adat Merabu punah ditelan bumi.“Kalau saya mati, ya, habis sudah [adat Dayak Lebo],” ujarnya pasrah. Jika sudah begitu, maka adat Dayak Lebo hanya menjadi catatan sejarah untuk anak cucu dalam cetakan album foto, mahkota enggang, mandau, dan baju jomok yang terpajang membisu di dinding rumah Ransum. (*)


Foto sampul:
Seorang pria Merabu memegang tugal kayu tradisional dengan muka celemotan arang. Di sela-sela tradisi manugal, warga saling bersenda gurau dengan mencolek arang ke wajah masing-masing. Tidak terkecuali jika ada tamu yang ikut, sebagai bentuk penyambutan orang dari luar kampung. Suasana pun menjadi riuh dan akrab/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Takdir Dayak Lebo di Persimpangan Jalan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/takdir-dayak-lebo-di-persimpangan-jalan/feed/ 0 40494
Prolog: Arah Singgah 2023 https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/ https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/#respond Sat, 09 Dec 2023 09:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=40368 Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Dalam...

The post Prolog: Arah Singgah 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Prolog Arah Singgah 2023
Hutan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat berselimut awan di pagi hari, tandon air raksasa yang menghidupi masyarakat Dayak Lebo Kampung Merabu. Menyimpan ribuan tahun jejak prasejarah/Deta Widyananda

Dalam The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020 rilisan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampai dengan tahun 2019 sekitar 120 juta hektare lahan atau 64 persen daratan Indonesia adalah kawasan hutan negara—dengan berbagai macam fungsi dan peruntukan. Termasuk di antaranya 5,3 juta hektare kawasan konservasi perairan. Indonesia bersanding bersama Brazil dan Republik Demokratik Kongo sebagai pemilik kawasan tutupan hujan tropis terluas. Penyumbang paru-paru dunia.

Situasi tersebut merupakan berkah sekaligus mengundang bahaya. Tingginya keanekaragaman hayati serta kebutuhan perut jutaan penduduk Nusantara rupanya malah turut memicu deforestasi. WWF’s Living Forest Report: Chapter 5 (2015) memproyeksikan Pulau Sumatra dan Kalimantan menyumbang deforestasi global selama 2010—2030. Indonesia tidak sendiri. Sembilan kawasan lainnya adalah Amazon, Atlantic Forest (Gran Chaco), Cerrado, Choco-Darien, Congo Basin, Afrika Timur, bagian timur Australia, Greater Mekong, dan Papua Nugini.

Berdasarkan data KLHK, sepanjang periode 1990 sampai dengan 2019, Indonesia telah kehilangan lahan hutan seluas 13,75 juta hektare. Sekitar 1,46 persen dari keseluruhan hutan yang ada di Indonesia. Kebakaran masif, perambahan hutan, pembalakan liar, dan perburuan satwa ilegal adalah penyebab berkurangnya tutupan lahan secara signifikan. 

Sekilas angka tersebut kecil, seperti tak akan berdampak apa-apa. Namun, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Meskipun laju deforestasi terbilang menurun, angka deforestasi tetaplah berarti masih terjadi deforestasi. Sebuah tekanan luar biasa hingga mengancam hajat hidup banyak penghuni bumi, karena bernapas dari sumber udara yang sama.

Berita gejolak alam—yang menjadi bencana— mendera. Menimbulkan penderitaan. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kekeringan serta sulitnya akses air bersih dan pangan. Akibat segelintir oknum dengan kepentingannya sendiri, harapan hidup flora, fauna, dan orang-orang tak bersalah pun terancam.Di sela kekacauan itu, ada orang-orang hebat bergerak meniti jalan sunyi. Jalan hidupnya tidak populer dan terdengar nyaris mustahil dilakukan. Keseimbangan hidup bukan tawaran yang menggiurkan banyak orang. Ada yang berjuang sendirian. Ada pula yang memiliki kekuatan besar di balik amanah jabatan strategis. Melalui Arah Singgah 2023, TelusuRI ingin menjadi media penampung sekaligus penerus beragam kisah itu.

Prolog Arah Singgah 2023
Motoris dan penumpang piyau melintasi Sungai Subayang yang keruh setelah diguyur hujan deras. Piyau jadi satu-satunya transportasi utama masyarakat desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Bertemu para peramu harmoni

Melalui Arah Singgah, TelusuRI melakukan ekspedisi menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kadang jarang atau bahkan tidak terdengar sama sekali di media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Jika episode Arah Singgah pertama lalu kami berjalan ke arah matahari terbit—Bali dan Nusa Tenggara Timur—kali ini kami pergi ke arah berlawanan.

Di edisi kedua, Arah Singgah mengusung tema “Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam” di tanah Sumatra dan Kalimantan. Kami berupaya menginventarisasi cerita-cerita penyelarasan kehidupan antara manusia dan alam di Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Ada empat topik utama yang kami angkat di ekspedisi ini, yaitu restorative economy (ekonomi restoratif), social forestry (perhutanan sosial), renewable energy (energi terbarukan), dan climate justice (keadilan iklim). Setidaknya satu dari empat topik tersebut melekat pada seluruh destinasi yang dituju selama periode September—Oktober 2023.

Prolog Arah Singgah 2023
Detail mata dan muka Christopher, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang dirawat di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Kabupaten Langkat/Deta Widyananda

Di Kabupaten Langkat, kami singgah ke dua destinasi ekowisata yang telah lama dikenal turis, yaitu Tangkahan dan Bukit Lawang. Melihat kerja para mahout, berbincang dengan mantan pembalak liar, hingga menjumpai seorang polisi hutan. Lalu kami diajak oleh Hutaoan Pasaribu, ketua Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) Sejahtera, menengok ladang perkebunannya di resor Sekoci yang rawan akan konflik lahan mafia tanah. Ketiga daerah tersebut merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah Sumatra Utara.

Kami juga menemui Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P., untuk mendengar mimpi besar dan program konservasi berbasis masyarakat yang ia canangkan. Bukan sesuatu yang mustahil. Namun, perjalanannya tak akan semudah melepas lebah dari madu.

Prolog Arah Singgah 2023
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Kami menyebar lebih jauh ke tiga kabupaten berbeda di Riau. Melihat langsung jejak nyata Samsul Bahri menghijaukan puluhan hektare pesisir Bengkalis dengan mangrove. Berbincang dengan komunitas generasi muda penuh inovasi dan kreativitas di Siak, kabupaten yang 57 persen wilayahnya merupakan lahan gambut.

Kami menyempatkan pula bermalam di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kampar untuk merasakan denyut kehidupan masyarakat desa adat yang aksesnya bergantung pada Sungai Subayang. Yang tampak di permukaan, tidak semulus yang dibayangkan.

Menyeberang ke Kalimantan, kami fokus menggali cerita di Merabu. Sebuah kampung Dayak Lebo di pelosok Berau yang hidupnya bersandar pada napas hutan Pegunungan Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan karst dengan sumber daya alam melimpah dan tempat memasok kebutuhan dasar, seperti air, hasil hutan, ekowisata, obat-obatan tradisional, hingga kuliner. Di balik itu, eksistensi adat berada di bayang kepunahan.

Prolog Arah Singgah 2023
Ibu-ibu melakukan “manugal”, menanam padi gunung di lahan kering secara gotong-royong. Tradisi setahun sekali ini masih dilestarikan di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur/Mauren Fitri

Selama ekspedisi, kami menyaksikan dan merasakan pelbagai situasi perjalanan yang mungkin tak segemerlap kehidupan di Pulau Jawa. Apalagi kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Bahkan membeli minyak untuk sekadar menyalakan listrik dari petang sampai tengah malam tidak segampang datang dan belanja ke toko kelontong terdekat. Muka tertampar realitas paling fundamental. Indonesia bukan hanya Jawa. Indonesia tidak sekadar berbicara Jakarta. Sumatra dan Kalimantan, pulau besar yang tertuduh menyumbang deforestasi—dan terus berjuang menutup lubang-lubang di kawasan hutan berbasis masyarakat dan kearifan lokal—juga bagian dari Nusantara.

Prolog Arah Singgah 2023
Hatuaon Pasaribu, petani hutan mitra Taman Nasional Gunung Leuser, menunjukkan pohon jengkol di kebun miliknya/Deta Widyananda

Para peramu harmoni yang kami temui menyadarkan itu. Apa apresiasi sepadan untuk orang-orang yang mengabdikan diri merawat pertiwi?

Selamat datang di Arah Singgah!

Jauh bukan satu-satunya alasan mengapa tiga provinsi itu menjadi tujuan utama ekspedisi Arah Singgah tahun ini. Namun, jauh tidak menjadi ambisi yang harus dikejar sebagai sebuah pencapaian pribadi kami. Jauh adalah harapan spektrum cerita yang kami laporkan mampu merengkuh lebih banyak pembaca maupun pemerhati kebijakan.

Selama ekspedisi, puluhan orang yang menjadi narasumber telah berbagi banyak cerita kepada TelusuRI. Masing-masing memiliki peran. Masing-masing menyuarakan isu terkini yang relevan, mulai dari ekonomi restoratif, konservasi, iklim, energi terbarukan, sampai dengan perhutanan sosial—di daratan dan perairan. Lengkap dengan keresahan maupun harapan terhadap aneka perubahan; yang cepat atau lambat pasti akan datang.

Kami harus mengakui jika kami bukanlah juru selamat untuk menjawab itu. Kami hanyalah perpanjangan dari suara dan tangan mereka untuk menjangkau mata dan telinga yang lebih luas lagi. Melalui tulisan, foto, dan video. Karya-karya jurnalistik yang sebisa mungkin kami sajikan secara berimbang. Walau sekilas tampak setitik, tetapi jika kami seyakin Pak Hatuaon Pasaribu tentang masa depan, maka semoga Arah Singgah bisa mengetuk hati siapa pun yang peduli.

Inilah, Arah Singgah 2023. Selamat menikmati dan belajar dari tutur serta laku orang-orang yang kami temui. Ada belasan bahkan puluhan sosok yang berupaya mengisi hidupnya untuk mencari titik temu, antara keseimbangan alam maupun memenuhi kebutuhan ekonomi. Merenungi suara-suara hutan, sungai, danau, embun, kabut, hingga para satwa yang turut berjuang menjaga harmoni.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Trekking di dalam hutan desa Merabu, Kabupaten Berau/Rifqy Faiza Rahman

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Prolog: Arah Singgah 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/feed/ 0 40368