kalimantan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kalimantan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:57:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 kalimantan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/kalimantan/ 32 32 135956295 Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/ https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/#respond Fri, 07 Feb 2025 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45564 Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan...

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan pangan, energi, dan air. Hal ini diperparah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan, yang menganggap deforestasi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Riset Satya Bumi menyebut daya dukung tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit di Indonesia sudah mendekati ambang batas. Angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare, dengan daerah cakupan terluas ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang luasannya sudah melampaui kebutuhan (surplus). Sementara menurut data MapBiomas, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,7 juta hektare. Daripada memaksakan ekspansi sawit, mestinya pemerintah memerhatikan tata kelola yang lebih baik.

Arah kebijakan yang tidak memiliki sensitivitas pada alam tersebut berpeluang menimbulkan bahaya berupa bencana ekologis, mengancam ketahanan dan diversifikasi pangan lokal, serta merebut ruang hidup masyarakat adat. Belum lagi pemusnahan habitat satwa-satwa endemis yang populasinya sudah makin kritis.

Padahal, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang majemuk justru menjadi nilai plus Indonesia. Masyarakat atau komunitas adat lokal, yang telah hidup berharmoni dengan hutan secara turun-temurun, terbukti mampu melestarikan tegakan hutan—baik itu hutan tropis di daratan maupun hutan mangrove di kawasan perairan—sekaligus menjaga ekosistem kehidupan di dalamnya. 

Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah adat Namblong, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. PT PNM mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang membentang di Lembah Grime. Izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, aktivitas PT PNM masih berjalan. Pembabatan hutan terus berlangsung dan ratusan hektare lahan berhutan milik sejumlah marga telah rata dengan tanah. Meski belum ada kegiatan penanaman, tetapi perusahaan yang tidak memiliki kantor tetap itu telah menyiapkan bibit-bibit sawit siap tanam. Keberadaan industri ekstraktif ini sedang “dilawan” oleh masyarakat lokal dengan beragam cara, di antaranya pengelolaan sumber daya alam oleh Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)/Foto oleh Deta Widyananda

Inilah cara kreatif “menjual” hutan tanpa harus membabat hutan

Pengalaman dari perjalanan ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dalam dua tahun terakhir telah memberikan sudut pandang nyata soal harmoni manusia dan alam, serta tantangan internal-eksternal yang bisa mengancam eksistensinya. TelusuRI ingin mengajak pemerintah maupun para pemangku kepentingan dengan kesadaran penuh untuk bercermin dari jalan hidup para local champion dan masyarakat adat tersebut. Mereka cerdas dan bijak dalam memanfaatkan hasil hutan dan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi tanpa harus merusak hutan.

Inilah cara-cara mereka, yang (seharusnya) bisa menjadi pedoman nyata pemerintah agar lebih kreatif dan bijaksana dalam membuat kebijakan ramah lingkungan.

1. Ekowisata Tangkahan, Langkat, Sumatra Utara

Sepanjang 1995–2000, sekitar 400 hektare hutan di Tangkahan dibabat habis oleh pembalakan liar. Masyarakat dan cukong bekerja sama dalam bisnis kotor pada balok-balok kayu damar senilai jutaan rupiah. Padahal, kampung di pinggiran Sungai Sei Batang Serangan ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, satu-satunya tempat empat mamalia besar endemis berada dalam satu ‘rumah’: harimau, gajah, orang utan, dan badak.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2001, sejumlah pembalak liar mulai menemukan kesadaran dan berubah haluan, yang kemudian membentuk komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger tanggal 22 April. Salah satu inisiatornya adalah Rutkita Sembiring. Tugas utamanya antara lain menghentikan illegal logging, juga mengajak rekan-rekan pembalak untuk bertobat dan mencari jalan hidup yang lebih baik.

Inisiatif tersebut lalu berkembang melahirkan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Terinspirasi dari ekowisata Bukit Lawang, yang telah membuktikan upaya “menjual” hutan tidak dengan menebang, tetapi melalui ekowisata. LPT menggerakan ekonomi alternatif dan merestorasi alam melalui ekowisata berkelanjutan. Sampai sekarang, LPT bekerja sama dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan TNGL, yang bertanggung jawab menampung gajah-gajah sumatra di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Gajah-gajah tersebut umumnya dievakuasi dari konflik manusia-satwa di Aceh-Sumatra Utara. Di PLSK, sejumlah induk dan anak gajah dirawat oleh mahout (pawang gajah), yang juga bertugas memberi edukasi konservasi kepada para tamu LPT, baik domestik maupun mancanegara.

2. Kelompok Tani Hutan Konservasi, Langkat, Sumatra Utara

Tidak hanya di Tangkahan. Selama lebih dari tiga dekade, riwayat perusakan kawasan penyangga TNGL  juga merambah 16.000 hektare hutan di daerah pedalaman Besitang. Alih fungsi lahan yang masif mengubah area hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Mafia tanah pun merajalela, konflik horizontal antara masyarakat dengan pemangku kawasan konservasi tak terelakkan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai upaya memulihkan kawasan. Terdapat 16 KTHK yang masing-masing beranggotakan petani mitra sekitar dengan cakupan lahan mencapai hampir 1.000 hektare. Setiap petani diberi lahan garapan seluas dua hektare untuk menanam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti durian, jengkol, cempedak, aren, petai, dan rambutan. Tanaman-tanaman HHBK ini disebut juga Multi-Purpose Tree Species (MPTS). Program KTHK membuat masyarakat anggota kemitraan tersebut memiliki potensi ekonomi alternatif sekaligus merestorasi kawasan hutan, sehingga tidak lagi bergantung pada perambahan, pembalakan, maupun sawit.

Salah satu kelompok yang masih aktif sampai sekarang adalah KTHK Sejahtera pimpinan Hatuaon Pasaribu. Mantan guru yang getol menggalakkan semangat konservasi dan ekonomi restoratif di tengah keterbatasan dan masih adanya ancaman mafia tanah. Sejauh ini, Pasaribu dan para anggota maupun sejumlah kelompok lainnya telah membuktikan hasil positif dari KTHK. Mereka hanya perlu dukungan pemerintah untuk menjamin keamanan pekerjaaan di lapangan, serta menjangkau akses pasar dan sarana-prasarana budidaya lebih luas lagi.

3. Hutan Mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau

Bertahun-tahun, setidaknya sampai 2002, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis rutin dihajar rob setengah meter setiap Oktober–Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar. Hutan mangrove menyusut akibat perambahan dan pembalakan liar oleh panglong, perusahaan penebangan kayu setempat. Data mencatat, terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992–2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Situasi itu menggerakkan hati Samsul Bahri, seorang nelayan kecil berdarah Jawa untuk menyelamatkan ekosistem mangrove. Pada 2002, ia mulai membudidayakan dan menanam bibit-bibit mangrove di hutan rawa belakang rumahnya. Dua tahun kemudian, Samsul membentuk dan mengetuai Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap, yang diperkuat surat keputusan Bupati Bengkalis saat itu. Selain Belukap, juga ada KPM Perepat yang dipimpin M. Ali B. Dua kelompok ini merupakan pelopor pengelolaan mangrove dengan skema perhutanan sosial.

Lambat laun, 40 hektare hutan mangrove berhasil direstorasi. Pohon tertingginya bisa mencapai 20 meter. Banjir rob sudah berkurang signifikan. Kerja kerasnya mendapat atensi pemerintah dan sejumlah lembaga nirlaba internasional, yang kemudian memberi bantuan pendanaan kegiatan dan advokasi sampai terbentuknya legalitas Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang. Kini, bukan hanya konservasi semata, Samsul dan masyarakat Teluk Pambang menatap masa depan ekonomi restoratif melalui ekowisata dan perdagangan karbon dari 1.001,9 hektare ekosistem mangrove yang telah merimbun.

4. Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur

Masyarakat suku Dayak Lebo di Kampung Merabu adalah jagawana ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Meski dikepung sawit yang tumbuh menjamur di kampung tetangga, orang-orang Merabu masih gigih mempertahankan hutan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sebab, Dayak Lebo lama dikenal sebagai suku pemburu dan peramu obat-obatan tradisional. Madu hutan alami juga jadi salah satu produk unggulan. Sejak 2014, ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang dikelola berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Perbukitan karst Sangkulirang-Mangkalihat benar-benar jadi berkah untuk Merabu. Selain menyimpan jejak prasejarah lewat gua-gua purba, kawasan ini juga memiliki bentang alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu. Pengelolaan ekowisata berada di tangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Sudah tak terhitung tamu yang datang untuk berwisata di Merabu, terutama mancanegara.

Program menarik yang memanfaatkan nilai hutan Merabu adalah adopsi pohon. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri. selaku penanggung jawab program, telah menghimpun hampir 300-an pohon yang diadopsi oleh banyak pihak, mulai dari turis biasa, lembaga nirlaba, hingga instansi pemerintahan. Rata-rata jenis pohon yang diaopsi antara lain damar, meranti merah, dan merawan. Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015–2018. Dana hasil adopsi pohon tersebut kemudian dialokasikan untuk biaya sekolah anak-anak Merabu dan biaya sosial warga kampung yang kurang mampu.

5. Ekowisata Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya

Suku Moi merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong, gerbang barat Tanah Papua. Masyarakat Moi dikenal dengan tradisi egek, yang membatasi atau melarang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu di hutan maupun kawasan pesisir, agar kelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya terjaga. Meski sejumlah daerah di Sorong sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit, ada satu titik yang masih keras mempertahankan tanah ulayatnya, yaitu Malaumkarta Raya. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Di antara lima kampung, hanya Malagufuk yang menempati pedalaman rimba Hutan Klasow. Sisanya berada di pesisir. Jalan kaki sejauh 3,5 kilometer di atas jembatan kayu adalah satu-satunya cara mencapai Kampung Malagufuk. Keterisolasian ini justru jadi nilai lebih Malagufuk, yang kemudian mendunia karena daya tarik ekowisata pengamatan burung (birdwatching). Terdapat lima spesies cenderawasih yang bisa ditemukan di Malagufuk, yaitu cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih kuning-besar, cenderawasih raja, cenderawasih mati kawat, dan toowa cemerlang. Tidak hanya cenderawasih, burung-burung endemis lainnya juga ada, antara lain julang papua, mambruk, dan kasuari. Satwa unik seperti nokdiak atau landak semut dan kanguru tanah juga bisa ditemukan di sini.

Perputaran ekonomi restoratif melalui ekowisata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat gelek (marga) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Mulai dari pemandu, pengelola homestay, porter, hingga juru masak terlibat di dalamnya. Masyarakat Malagufuk mampu melihat nilai lebih dari hutan mereka tanpa harus merusak hutan. Keberagaman potensi burung dan satwa di Malagufuk mengundang turis pegiat birdwatching lintas negara. Di Papua, Malagufuk kini jadi destinasi pengamatan burung paling populer selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura.

6. BUMMA Yombe Namblong Nggua, Jayapura, Papua

Inisiatif luar biasa dalam mewujudkan ekonomi restoratif berbasis masyarakat lahir di Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang menempati tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute berkolaborasi dengan masyarakat adat Namblong membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Per Oktober 2024 lalu, BUMMA resmi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dengan 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemegang saham. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

BUMMA Yombe Namblong Nggua merecik harapan ekonomi kerakyatan di tengah tekanan deforestasi akibat alih fungsi lahan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), yang hak konsesinya sudah dibatalkan pemerintah sejak 2022 lalu. Langkah progresif tersebut pertama di Papua, seiring penetapan pengakuan ribuan hektare hutan adat Namblong oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain Jayapura, BUMMA juga dibentuk di Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Pendirian BUMMA muncul atas keinginan mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga sektor unggulan yang dikerjakan, yaitu budi daya vanili, ekowisata, dan perdagangan karbon melalui restorasi hutan—termasuk memulai penanaman sagu di lahan-lahan terdampak konsesi sawit.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong, yang dijaga dan disakralkan berdasarkan ketentuan adat. Sebatang pohon pun akan sulit dipulihkan dan butuh waktu lama untuk tumbuh seperti semula, apalagi jika sampai 20 juta hektare hutan hilang/Deta Widyananda

Tunggu apa lagi, Pak Presiden dan Pak Menteri?

Contoh riil di akar rumput tersebut mestinya sudah lebih dari cukup sebagai bukti agar pemerintah membuka mata lebar-lebar. Pemahaman sederhana soal keseimbangan ekosistem mestinya juga sudah didapat jika memang pernah melewati masa pendidikan sekolah dasar. Bahwa jika memutus satu rantai dalam ekosistem, maka akan menghapus entitas kehidupan yang bergantung padanya. Sebagaimana menghilangkan pohon-pohon pembentuk ekosistem pemberian Tuhan. Tidak hanya akan memusnahkan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga identitas kebudayaan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Dampak keserakahan dan ambisi akibat menjadikan lahan hutan sebagai ladang bisnis telah nyata merusak segala lini kehidupan yang menjadi hak rakyat. Suku-suku adat terusir dari tanahnya sendiri, satwa-satwa endemis mengais-ngais makanan di tempat yang tidak semestinya—karena hutannya sudah hilang. Belum lagi konflik antara manusia dan satwa, yang sudah amat sering terjadi hingga soal bencana ekologis yang akan timbul. Banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor merenggut banyak hal, yang seringkali hujan lebat maupun cuaca ekstrem menjadi sasaran tuduhan pemerintah, yang tutup mata pada masalah sebenarnya: hilangnya pohon-pohon di hutan sebagai penyerap dan penahan air.

Ayolah, Pak Presiden dan Pak Menteri. Masyarakat adat dan komunitas lokal lebih memahami hutan mereka. Mereka hanya perlu pengakuan legal dan pendampingan, agar hutan alami yang menghidupi mereka terjaga sampai anak cucu. Sebab, jika masih tutup mata, slogan Indonesia sebagai paru-paru dunia sejatinya sudah menjadi sekadar romantisme belaka. Setop mengoceh soal Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika kebijakan-kebijakan di tingkat elite tidak berpihak pada alam itu sendiri.


Foto sampul oleh Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/feed/ 0 45564
Geliat Ekowisata Desa Santuun https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/ https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/#respond Tue, 31 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36980 Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri,...

The post Geliat Ekowisata Desa Santuun appeared first on TelusuRI.

]]>
Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri, dikelilingi hutan dan alam yang masih hijau dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di tengah maraknya perkembangan desa menjadi desa wisata, para pemuda Desa Santuun pun ingin membangun desanya menjadi tempat wisata yang terkenal di Kalimantan Selatan. TelusuRI berkesempatan mewawancarai salah seorang pemuda penggagas desa wisata yakni Hairul Rizky, ketua kelompok sadar wisata Desa Santuun.

Desa Santuun semula seperti desa-desa lainnya, orang-orang hidup dari bertani dan berladang. Semenjak potensi wisata desa ini mulai wara-wiri di media sosial, orang-orang mulai ramai mengunjungi desa ini, mengisi rasa penasaran akan wisata air terjun yang viral. Rizky dan kawan-kawan yang melihat fenomena ini kemudian mencoba mengelola dan mempromosikan spot-spot wisata di desa. Kemudian, seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang tertarik mengunjunginya.

Kami mempromosikan itu (Desa Santuun) tahun 2019. Melihat potensi yang ada di sini, yang kaya akan potensi wisatanya, habis itu diposting di media sosial dan banyak orang tertarik ke sini,” ungkap Hairul.

desa santuun
Santuun yang masih asri membawa pada petualangan yang seru/Hairul Rizky

Ada sekitar 13 spot wisata yang ada di desa ini: Batu Tungku, Sungai Bura, Air Terjun HTI, Goa Batu Kumpai, Kebun Kopi, Gunung Batu Kumpai, Lok Lua, Tampirak Lokagung, Situs Peninggalan Jepang, Rukit Batu Tinggi, Riam Batu Tinggi, Bukit Pa’asahan, dan Tebing Pa’asahan.

Air Terjun HTI adalah salah satu spot yang paling sering dibicarakan orang-orang. Dengan air jernih dan ketinggian sekitar 7 meter, orang-orang dari Tanjung atau bahkan Banjarmasin rela mengunjunginya meski berjarak hampir 250 kilometer dari Ibukota Kalimantan Selatan tersebut. Air terjun ini juga menjadi pemberitaan media-media lokal dan dikatakan bahwa air terjun ini “terasa sangat nyaman sebagai tempat berenang”.

Meskipun sudah lumayan terkenal pada waktu itu, kondisi jalan menuju desa atau lokasi wisata masih tidak nyaman. Apalagi akses ke air terjun yang harus melewati jalan tanah yang berlumpur. “Sebenarnya, jalan [ke desa] tidak semua bagus, ada sekitar 80% lah, ada yang belum disemen. Kalau jarak dari Tanjung itu ke Santuun sekitar 1,5 jam, 20 menit terakhir paling yang jalannya agak rusak, banyak batu-batu,” ucap Hairul.

Inisiasi wisata di desa ini tidak lepas dari usaha anak-anak muda yang tergabung di komunitas pecinta alam setempat, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), dan kelompok dari KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial). Untuk kelompok yang terakhir disebut, merupakan amanat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk desa-desa yang memiliki hutan agar mampu mengelola hutan mereka. Soal wisata di Santuun, semua pihak terlibat aktif mendukung berjalannya ekowisata. Ada sekitar 15 orang pemuda yang berkecimpung mengurus wisata di desa, dengan rentang usia 17 hingga 20-an ke atas.

Konsep ekowisata yang mereka usung adalah tidak mengizinkan adanya sampah wisata yang masuk ke dalam desa. Hal ini untuk meminimalisir desa ini dari timbunan sampah hasil wisatawan seperti di tempat-tempat wisata pada umumnya.. 

Ada cerita menarik yang disampaikan Hairul saat merintis desa ini menjadi desa wisata. “Pada saat merintis ke puncak Batu Kumpai itu, kami tidak berharap untuk orang masuk ke sini (berwisata). Kami tidak mengharapkan imbalan, tapi ada yang tidak membayar, ada juga yang membayar lebih, semisal 15 ribu, ini diberi 50 ribu. Jadi ketika kami tidak minta imbalan, orang justru memberi lebih.” 

Setelah sudah dikelola, para pengurus menetapkan karcis masuk sebesar 15 ribu rupiah, sudah termasuk tarif parkir hingga pemandu sampai ke puncak.

  • Desa Santuun
  • Tempat kemping di Santuun
  • gua

Dalam upaya membekali Hairul dan kawan-kawan pengetahuan mengelola desa wisata, mereka mendapatkan kesempatan studi banding ke Sukabumi, tepatnya Tanakita bersama Dinas Kehutanan. Selama di sana mereka mempelajari bagaimana dan apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan desa berbasis ekowisata. Setelahnya, mereka jadi banyak tahu cara mengelola desanya.

“Pambakal (kepala desa) sampai camat sudah mendukung [wisata di Santuun].”

Rupanya baru setahun setelah dikelola, pandemi yang kala itu sedang ganas-ganasnya di Wuhan turut mendatangi negeri ini. Otomatis, sebagai tempat wisata, Desa Santuun menghentikan segala kegiatan wisata. Penutupan ini berlangsung cukup laman hingga dibuka kembali Idulfitri tahun 2022. Selama vakum dan kembali buka.

“Biasanya pencatatan kunjungan per tiga bulan. Catatan kunjungan tertinggi pada Hari Raya Idulfitri kemarin (2022), sekitar 213 orang yang ke sini,” ungkap Hairul

Pembangunan secara bertahap kemudian berlangsung demi memudahkan para wisatawan yang ingin menghabiskan waktu lebih lama di Desa Santuun. Mereka memanfaatkan rumah para warganya menjadi penginapan sederhana. Konsep seperti ini umum di desa-desa wisata, selain menguntungkan warga, juga bisa menjalin relasi yang lebih dalam dari sekedar pemilik bisnis-konsumen. 

“Kami menyediakan camping ground, atau bisa menginap di rumah-rumah warga atau di sekre, tapi yang paling utama itu disarankan camping ground. Soalnya, tempatnya dekat dan strategi untuk menuju ke wisata-wisata lain,” terang Hairul.

Kesulitan desa-desa terpencil yang ingin menjadi desa wisata sudah pasti ada di dana. Sama halnya dengan Desa Santuun yang agak kesulitan dalam dana pembangunan pariwisata, yang tentunya harus dibagi lagi dari dana penerimaan desa. 

“Kalau untuk pembangunan [desa] ini pastinya dana. Keterlambatan dana itu jadi juga terlambat pembangunan di wisatanya. Infrastruktur jalannya juga belum 100% baik untuk menuju ke tempat wisata. Kalau ada acara-acara, kita minta sponsornya ke CSR perusahaan, semisal baru-baru ini ada event kreasi bivak.” tutupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Geliat Ekowisata Desa Santuun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/geliat-ekowisata-desa-santuun/feed/ 0 36980
Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/ https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/#respond Mon, 09 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36844 “Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini...

The post Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas appeared first on TelusuRI.

]]>
“Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Pontianak. Jantung memompa darah begitu kencang—antara semangat dan gugup.

Saya sempat menerka-nerka seperti apa Pontianak; sungai nun panjang yang diisi oleh sampan kecil, klenteng yang bergandengan dengan masjid, dan rumah-rumah panggung tepi sungai. Permadani hijau terhampar luas dari jendela pesawat, sejenak kemudian, kumpulan bangunan mulai terlihat berada di dekat dengan sungai—saya tebak pasti Sungai Kapuas. “Sayang ya, airnya cokelat. Coba aliran airnya jernih, mungkin pemandangan dari atas sini akan terlihat lebih cantik,” ucapku dalam hati.

Kunjungan saya kali ini dalam rangka business trip. Setelah hampir dua tahun hanya mengendap di rumah sembari bekerja, inilah momen peralihan dari kegiatan daring menuju luring. Rasanya menyenangkan, tetapi di juga menakutkan. Sebab, mesti ada penyesuaian kembali dari semua kegiatan yang serba mengandalkan jaringan internet menjadi kegiatan lapangan.

Saya menjadi delegasi Rombak Media untuk program CREATE (Creative Youth for Tolerance) yang merangkul anak anak SMA dari kelas X hingga XII untuk memahami praktik toleransi dan pluralisme di Pontianak. Saya juga menjadi moderator dalam sebuah focus group discussion antar peserta yang sebelumnya sudah mengikuti kunjungan ke rumah ibadah yang ada di sekitar Pontianak.

Kegiatan diskusi berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2022 pada pukul 09.00 WIB. Jujur, saya cukup terkejut melihat para peserta yang sudah bersiap dari sekitar pukul 8.30. Untuk kegiatan kali ini kami dibantu oleh Kak Ningsih dan Kak Rio selaku Field Officer untuk Kota Pontianak, lalu ada Kak Yustina dan Kak Oki. Kami sudah bertemu malam sebelum kegiatan untuk melakukan briefing dan berkenalan.

Kebetulan, malam itu Kak Oki sedang berhalangan hadir karena sudah ada jadwal kegiatan lain. Karena kami sudah lebih mengenal Kak Rio dan Kak Ningsih melalui koordinasi dan meeting secara online, maka kami tidak merasa terlalu canggung. 

Namun, untuk Kak Yustina, saya agak merasa kikuk untuk harus bersikap seperti apa, karena saya dan dia belum pernah menjalin komunikasi sebelumnya. Untungnya, Kak Yustina sangat ramah dan mudah bergaul. Saya akhirnya merasa pembicaraan kami berlangsung dengan menyenangkan. Kak Yustina juga menawarkan untuk mencetak dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kegiatan nanti, karena kami kebetulan tidak membawa printer khusus dari Jakarta. 

Sebelum kegiatan semua peserta melakukan tes antigen untuk memastikan semuanya sehat dan siap untuk mengikuti kegiatan. Malang nian, dua peserta dinyatakan positif COVID-19 setelah menjalani pemeriksaan. Kami pun menghimbau peserta yang positif untuk pulang dan beristirahat sampai membaik. 

Saya jadi merasa sangat bersalah dan bingung, ketika harus meminta peserta yang positif untuk pulang, padahal mereka sudah menyempatkan dan berusaha menyisakan waktu untuk datang. Apalagi, salah satu peserta ada yang berasal dari Kubu Raya jarak tempuhnya ke Pontianak sekitar 2 jam perjalanan dan harus melalui jalan yang masih belum di aspal. Tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak pulang maka resikonya akan lebih besar untuk peserta lain dan peserta yang sakit itu sendiri. 

peserta create
Para pesertaprogram CREATE dari Pontianak/Azlina Fitri

Kegiatan pada siang itu berjalan dengan lancar. Antusiasme peserta membuat saya sangat bersemangat dalam memandu jalannya kegiatan. Mereka sangat aktif dan terbilang cukup dekat dengan satu sama lain. 

Pendapat dan cerita yang mereka bagikan selama kegiatan, membuat saya belajar banyak hal tentang bagaimana toleransi di Pontianak. Saya juga baru tahu, bahwa dulu di Pontianak pernah terjadi tragedi kerusuhan Sambas—kerusuhan antar etnis—yang dampaknya masih cukup terasa hingga saat ini dan dirasakan oleh para keturunan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Keberagaman peserta di Pontianak membuat saya bersemangat selama kegiatan berlangsung. Salah satu peserta juga ada yang tuli, namun tidak ada diskriminasi dari peserta lainnya. Mereka justru belajar tentang bagaimana cara menggunakan bahasa isyarat. Saya sempat berfikir jika para peserta diberikan ruang dan kesempatan yang lebih siapa tau mereka bisa membawa perubahan yang besar di Kota Pontianak. Semoga.

Mencicipi Mi Tiaw

Rasanya ada yang kurang jika berkunjung ke tempat baru tanpa mencicipi kuliner lokal dan mampir ke atraksi wisata setempat. Sewaktu di hotel, saya sempat berbincang sebentar dengan resepsionis hotel, yang kebetulan sama-sama berasal dari Bandung.

“Baru pertama ke Pontianak, Mbak?” tanyanya kepada saya sewaktu check in. Saya mengangguk, mengiyakan dugaannya.

“Saya juga baru loh di sini, Mbak. Baru sekitar dua tahun di Pontianak.”

Dia kemudian memberikan sebuah kartu yang bertuliskan namanya yang dilengkapi dengan alamat dan nomor telepon. “Ini kartu nama saya, siapa tahu nanti ke Pontianak lagi. Kita bisa main.” Berkat dialah, saya mendapatkan rekomendasi tempat makan yang harus dicoba, salah satunya adalah Mi Tiaw Apollo.

Di bawah terik mentari yang memancar kuat, sembari menunggu ojek daring, saya mengamati sekitar. Dua orang pemulung berjalan kepayahan dengan gerobak dorong bak baru saja pulang dari medan perang. Seorang ibu tua yang menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang lewat dengan intonasi yang tinggi. Rumah-rumah kayu yang menghitam dimakan umur. Tak lama, ojek daring datang dan kami bergegas pergi. Sayang, tujuan saya, Mi Tiaw Apollo tutup. Bapak pengemudi menawarkan beberapa pilihan tempat makan lainnya yang serupa. Saya setuju dengan sarannya. Motor kembali digas ke Mi Tiaw Antasari, yang konon cita rasanya juga melegenda. Bapaknya baik, mau mengantarkan saya tanpa mengenakan ongkos tambahan.

kuliner pontianak
Mencicipi kuliner lokal Pontianak/Azlina Fitri

Saya memilih untuk mencari tempat duduk di dekat tembok yang bercat kuning. Gemuruh suara orang berbicara di dalam warung bernafaskan Melayu: koki yang berteriak bahasa Melayu, pelayan yang bergumam dalam bahasa Melayu, pelanggan yang bercanda dalam bahasa Melayu. Telinga saya memang akrab dengan bahasa ini. Pesanan datang. Sepiring mi tiaw daging dengan porsi orang kelaparan. Saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menghabiskan dan memutuskan untuk membungkus sisanya.

Menyusuri Sejengkal Pontianak

Di penghujung hari, kala padatnya manusia tidak berkurang sama sekali, saya memutuskan untuk melangkahkan kaki melihat Kota Pontianak dari nadinya. Jujur, saya sebenarnya malas dan berniat untuk tetap tinggal di hotel setelah kegiatan berlangsung. Kalau bukan karena ajakan Kak Ningsih, Kak Rio, dan Anti, saya pasti hanya menghabiskan sisa hari dengan rebahan. Saya sempat berpikir akan pingsan di jalan saking lelahnya, tapi kalaupun nantinya pingsan, setidaknya saya pingsannya di Pontianak.

Ojek mobil yang kami tumpangi menggilas jalanan di sore hari yang dirundung awan. Persinggahan pertama kami adalah Rumah Betang. Rumah Betang ini adalah replika rumah adat yang dulunya digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai perkampungan komunal dalam satu bangunan. Sekarang, karena fungsinya replika, maka tempat ini menjadi serbaguna. Sebutan lainnya adalah Rumah Radankng–istilah penyebutan rumah adat dari suku Dayak Kanayatn. Modifikasi yang terlihat mencolok adalah tangga yang terbuat dari semen dan seperti tangga pada umumnya, mendampingi tangga asli yang terbuat dari batang kelapa–yang saya coba menaikinya.

Sehabis dari Rumah Betang, kami beranjak ke tepian Sungai Kapuas, lalu menaiki sebuah kapal. Di dalamnya ada warung yang menjual berbagai makanan ringan dan minuman. Bentuknya seperti kapan biasa tapi ada toko kecil di bawahnya, untuk menaiki kapan ini kami perlu membayar sekitar 15 ribu rupiah. 

Perjalanan mengelilingi Sungai Kapuas kurang lebih memakan waktu 40 menit. Angin berhembus cukup kencang dan tanpa sadar membuat saya melamun. dari kapal kita bisa melihat dua perbedaan cukup signifikan antara tipe pemukiman di sebelah kanan dan kiri sungai. Mungkin jika diartikan secara literal ini lah definisi nyata dari inequality, bangunan di sebelah kanan kapal sudah mulai terlihat lebih modern dan rapi sedangkan di sebelah kiri kapal banyan bangunan yang masih terbuat dari kayu dan beberapa warga masih menggunakan Sungai Kapuas untuk sekedar mencuci baju atau piring. 

Sambil memandang matahari yang mulai sirna, Kak Rio dan Kak Ningsih bercerita tentang kenapa warna Sungai Kapuas bisa kotor dan legenda-legenda makhluk misterius yang bernama puake. Mendengar cerita ini, saya teringat cerita legendaris Nyi Roro Kidul karena kisahnya yang kurang lebih sama. 

sungai kapuas
Menyusuri Sungai Kapuas/Azlina Fitri

Saya tiba-tiba teringat buku dari Yuval Noah Harari Sapiens, mungkin memang benar, manusia membuat cerita-cerita mistis yang dapat dipercaya untuk menjaga harmoni antar manusia atau menjaga alam agar dapat terus terawat dengan baik.

Yang terakhir, sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat kami mampir di D’bamboo untuk memakan chai kue. Makanan ini bentuknya mirip seperti dimsum namun isinya macam-macam: ada bengkuang, kuchai, keladi dan kacang. Karena tidak tahu mana yang paling enak, kami memutuskan untuk memesan semuanya. 

Tekstur dari chai kue ini sangat lembut dan mudah terbuka. Rasanya gurih dan akan lebih mantap lagi kalau dimakan bersama sambalnya yang pedas dan asam. Saking enaknya saya menghabiskan total tujuh chai kue sendirian. Saya sempat berencana untuk membungkusnya pulang ke Jakarta, tapi ternyata chai kue hanya bertahan 1 hari saja.  Alhasil, saya jadi bercanda dengan Kang Ningsih dan Kak Rio, kalau saja di Pulau Jawa ada yang berjualan chai kue mungkin saya sudah menjadi pelanggan tetap mereka. Gelak tawa menghidupkan malam terakhir kami di Pontianak, dan saya belum tahu kapan akan kembali ke sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/feed/ 0 36844
Hidup dalam Kesederhaan, Selaras dengan Alam https://telusuri.id/hidup-dalam-kesederhaan-selaras-dengan-alam/ https://telusuri.id/hidup-dalam-kesederhaan-selaras-dengan-alam/#respond Fri, 06 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29423 7 April 2021, aku masih di kampung halaman, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebijakan work from hometown akibat pandemi COVID-19 membuatku bisa tinggal di kampung halaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Meskipun aku bekerja di...

The post Hidup dalam Kesederhaan, Selaras dengan Alam appeared first on TelusuRI.

]]>
7 April 2021, aku masih di kampung halaman, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebijakan work from hometown akibat pandemi COVID-19 membuatku bisa tinggal di kampung halaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Meskipun aku bekerja di sini, kebiasaan bekerja di lapangan membuatku ingin menambah aktivitas lain di luar pekerjaan utama, yaitu menulis.

Di sini, ada satu Desa yang menarik perhatianku. Namanya Desa Kandung Suli. Desa ini terletak di Kecamatan Jongkong dan masih satu kecamatan dengan desaku. Jarak dari desaku ke sini juga cukup dekat, menggunakan motor hanya membutuhkan waktu 30-45 menit dengan jalanan aspal dan berbatu. Masyarakat Desa Kandung Suli menggunakan motor sebagai alat transportasi darat, dan perahu untuk jalur sungai.

Perahu - transportasi Desa
Perahu – transportasi Desa/Diyah Devianti

Menelusuri sejarah Desa Kandung Suli

Menurut Pak Ahmadi, Kaur Umum dan Perencanaan Desa Kandung Suli, zaman kerjaan dahulu kala, tempat ini dihuni oleh orang Dayak. Ada seorang pria bernama Suli menikah dengan seorang wanita Undang, mereka memiliki 2 orang anak. Anak lelakinya bernama Linau memadu kasih dengan adik kandungnya sendiri hingga hamil. Akibat perbuatan tersebut Suli dan sang adik mendapatkan hukuman pancung di Bukit Senara (Bukit Susu). Darah mereka berdua mengalir ke Sungai Letang hingga Sungai Terus di Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Konon katanya Sungai Terus dinamakan karena darah Suli dan sang adik mengalir terus menerus. Untuk mengenang kejadian tersebut, makanya desa ini dinamakan Kandung Suli yang mengambil nama sang ayah kedua anak muda tersebut. Pak Ahmadi bilang, beliau tidak mengetahui tahun kejadian kisah ini. Seperti cerita dari orangtuanya, kisah ini terjadi pada zaman kerajaan.

Lalu setelah ratusan tahun, datanglah nelayan dari Desa Piasak—desa yang terletak di Sungai Kapuas dan Desa Gerayau. Kedua Desa ini terletak di Kecamatan Selimbau. Pada masa Camat Adi Jinan sekitar tahun 1960-an, Kadung Suli masih bergabung dengan Kampung Jongkong Pasar. Sahari menjadi kepala kampung pertama. Lalu, kepala kampung kedua—Untat Sahari merupakan anak dari mantan kepala pertama.

Setelah itu, Kadung Suli berubah menjadi dusun dan masih tergabung dengan Dusun Jongkong Pasar. Kepala dusun pertama yaitu Muhidin, dilanjutkan ke kepala dusun kedua yaitu Awaludin. Lalu, kepala dusun ketiga Saharmansah. Kepala dusun keempat yaitu Suharman, ia menjabat pada 2008-2011. Tahun 2011 terjadi pemekaran, dan Desa Kandung Suli berubah status menjadi Desa Mandiri terlepas dari Desa Jongkong Pasar. Kepala desa pertamanya ialah Herman Pelani, ia dilantik oleh Camat Karim. Kepada Desa kedua Awaludin—mantan kepala dusun kedua—yang menjabat hingga saat ini.

Mitologi Desa

Danau Kandung Suli
Danau Kandung Suli/Diyah Devianti

Desa Kandung Suli juga terkenal dengan keangkerannya. Bahkan terdapat satu kisah yang hingga kini masih dipercaya setiap warganya yakni adanya “penunggu” atau gana yang bernama Modang Bedaun. Konon, Modang Bedaun adalah batang pohon yang hanya memiliki selembar daun. Ia dipercaya berada di dalam Danau Kandung Suli. Ketika air pasang, Modang Bedaun berjalan ke Nanga Bantas dan ketika air surut berjalan ke Sungai Marau.

“Saya pernah menjala ikan, namun jalanya robek akibat ikan siluk merah berantai. Ikan siluk biasa kita kenal sebagai ikan arwana. Ikan siluk merah berantai ini juga salah satu penunggu di desa ini. Sisik ikan ini punya rantai tajam yang jarang ditemui.”

“Ada seorang teman yang sedang menjala ikan. Ia melihat ikan siluk merah berantai yang tiba-tiba berubah menjadi ular,” sambung Pak Awaludin, Kepada Desa Kandung Suli.

Mata pencaharian masyarakat

Warga membersihkan ikan
Warga membersihkan ikan/Diyah Devianti

Desa yang terletak tepat di tepi danau ini juga menyimpan beragam jenis air tawar di sana. Sayangnya, ketika aku menanyakan berapa jumlah jenis air tawar yang ada, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya. Namun masyarakat meyakini ada ratusan jenis ikan air tawar di sana. Letak geografis Desa Kandung Suli juga yang menjadi salah satu alasan pekerjaan utama masyarakat adalah nelayan. Selain itu ada juga yang menyadap karet di perkebunan milik sendiri. 

Meski hanya ada 2 pekerjaan utama mayoritas warga, nyatanya ada pekerjaan tambahan yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu. Mereka selalu punya cara untuk membantu suami agar kebutuhan dapur dan anak bisa terpenuhi. Pekerjaan tersebut yaitu membuat keranjang dari rotan, tikar dari kulan—tumbuhan endemik di Kapuas Hulu—atau pandan berduri.

Saya kemudian berbincang dengan Nenek Piah. Ia ialah salah satu pengrajin keranjang dan tikar. Semenjak suaminya meninggal pada 2018 lalu, membuat keranjang atau membuat tikar menjadi pekerjaan utamanya.

“Nenek sudah tidak bisa menyadap, sekarang membuat keranjang dan tikar saja dari rumah. Bahan baku seperti rotan dan pandan berduri ada yang mencarikan. Nanti jika keranjang atau tikar yang terjual, uangnya kami bagi dua. Terkadang pencari bahan baku yang membelinya,” paparnya.

“Harga keranjang ukuran besar Rp40 ribu; dan yang kecil Rp30 ribu. Sedangkan tikar Rp40 ribu untuk ukuran kecil dan Rp70-80 ribu karena pembuatannya susah,” sambungnya.

Jika diulas lagi sejak pencarian bahan baku hingga pembuatan, membutuhkan waktu sekitar 3 hari untuk ukuran keranjang kecil dan 5 hari ukuran besar. Jadi harga yang tersebut relatif murah. Namun menurut Nenek Piah, jika dijual lebih mahal, tidak ada yang mau beli.

Syukurnya, meski harga yang tergolong murah, Nenek Piah bilang kalau generasi muda masih ada yang mau belajar menganyam meski bukan menjadi pekerjaan utama. Pekerjaan ini juga membuatnya bersyukur masih bisa bekerja di hari tua ketimbang berdiam diri saja di rumah.

HHBK nenek Piah sedang membuat bahan anyaman kerangjang rotan
Nenek Piah sedang membuat bahan anyaman kerangjang rotan/Diyah Devianti

Selain membuat anyaman, ada lagi pekerjaan tambahan yang unik menurutku yaitu menyiangi ikan-ikan hasil nelayan sebelum dijual ke pasar. Misalnya jenis ikan patin, dipotong menjadi beberapa bagian seperti membuang perutnya, mengambil bagian bawah perut yang mayoritas isinya lemak ikan, lalu memisahkan duri, memotong kepala dan terakhir memisahkan antara tulang dengan isinya yang biasa kita kenal sebagai istilah fillet. Nah, setiap bagian ini dikerjakan oleh masing-masing orang. Meski begitu, upahnya sama rata yaitu Rp2 ribu per kg. 

Bahagia dalam kesederhanaan

Hari ini aku diingatkan lagi, setiap orang punya standar masing-masing dalam hidup, berapapun penghasilannya bisa saja mencukupi kebutuhan keluarga jika disyukuri dan digunakan sebagaimana mestinya. Jadi, memang betul bahagia tidak selalu bisa diukur seberapa banyak kamu punya harta. Alam yang lestari, ada sumber alam yang bisa dimanfaatkan namun juga menjaganya disaat yang bersamaan, bisa juga membuat warganya bahagia dalam kesederhanaan.

Melangkah kaki ke daerah yang masih berdekatan dengan hutan selalu membuatku takjub akan sistem-sistem sederhana namun dilakukan dengan sepenuh jiwa. Sistem-sistem sederhana ini membuat alam kita terus terjaga, karena menjaga alam kita kadang tidak melulu harus menunggu sistem menjadi sempurna, hanya cukup dijalani saja agar semua merasa aman karena saling menjaga.

Seperti harapan Pak Awaludin Kepala Desa Kandung Suli, “DKS maju, mau jadi Desa Mandiri dan ada banyak aset misalnya ada ikan arwana, sarang burung walet untuk pendapatan Desa. Ada usaha kecil menengah misalnya kerajinan bisa menjadi besar, alamnya terus terjaga agar suasana yang nyaman seperti ini selalu ada, masyarakat tidak serakah dan selalu hidup selaras dengan alam”.

Akhir tulisan, ada banyak kisah di setiap jejak kaki kita melangkah. Ceritakanlah pengalaman kita dan orang yang kita temui, nantinya mungkin kisah ini bisa sebagai pengingat ataupun sebagai sejarah keberagaman bangsa kita, Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup dalam Kesederhaan, Selaras dengan Alam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-dalam-kesederhaan-selaras-dengan-alam/feed/ 0 29423
Catatan Tentang Sebuah Prasasti https://telusuri.id/catatan-tentang-sebuah-prasasti/ https://telusuri.id/catatan-tentang-sebuah-prasasti/#respond Thu, 22 Apr 2021 14:38:27 +0000 https://telusuri.id/?p=27674 Susah payah dalam mengulik data tentang prasasti yang menjadi bahan penelitian, saya kira misteri ini telah usai, tak disangka setelah merangkai data yang didapat ternyata penelitian masih jauh dari kata selesai. Layaknya penelitian arkeologi pada...

The post Catatan Tentang Sebuah Prasasti appeared first on TelusuRI.

]]>
Susah payah dalam mengulik data tentang prasasti yang menjadi bahan penelitian, saya kira misteri ini telah usai, tak disangka setelah merangkai data yang didapat ternyata penelitian masih jauh dari kata selesai. Layaknya penelitian arkeologi pada umumnya, tak semua informasi tersedia begitu saja.

Berdasarkan data museum, prasasti ini adalah hibah dari seseorang yang berasal dari Desa Muara Tamban I. Meskipun terdata, tidak tercantum nama penghibah, yang ada hanyalah alamat desanya saja, hal ini menyulitkan saya untuk melacak asal usul prasasti tersebut lebih rinci. Saya memutuskan untuk langsung terjun ke daerah asal ditemukan prasasti yaitu Tamban.

Daerah ini terletak jauh 200 kilometer dari Alabio. Ada beberapa rute darat yang bisa ditempuh dari Banjarmasin, namun saya dan paman saya yang kali ini ikut menemani perjalanan ini memilih jalur sungai untuk menghemat banyak waktu. Kami hanya perlu menyeberang dari Dermaga Alalak dan langsung sampai ke tempat tujuan. 

Sungai Barito yang menjadi penghubung antar daerah/Irsyad Saputra

Pagi-pagi kami berangkat, agar tidak kepanasan di jalan. Sungai yang kami seberangi adalah Sungai Barito, salah satu sungai terpanjang yang ada di Kalimantan. Air keruh yang kami lihat seakan-akan susu coklat yang tumpah. Hilir-mudik tongkang batubara terlihat menggunung membawa emas hitam. Aku bersama pamanku duduk manis di geladak feri, sambil sesekali meneguk minuman dingin untuk meredam terik matahari yang membakar kulit.

Perjalanan kemudian diteruskan dengan menaiki motor, dari dermaga kami masih harus menempuh jarak 12 km untuk masuk ke desa tujuan. Kami menyempatkan diri untuk singgah di warung, mewarung sekedar untuk mengobrol dengan masyarakat setempat sembari menyeruput teh manis hangat dan gorengan.

Mewarung adalah tradisi seperti halnya nongkrong di warung kopi atau kafe di kota-kota besar. Bedanya mewarung di Banjar umumnya dilakukan sebelum pergi bekerja/berladang pada pagi hari. Kebiasaan ini juga menjadikan warung sebagai sarana bertukar berita dan pikiran serta sosialisasi tanpa memandang strata.

Penduduk yang kami temui di warung kebanyakan berasal dari hulu sungai, mereka sengaja berpindah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. “Kami sudah mendiami sini dari datuk, jadi saya sudah hilang hulu sungainya meskipun kadang-kadang ada waktunya pulang kampung,” ucap seorang bapak yang kami temui di warung. Kebanyakan berasal dari Amuntai, meskipun tak sedikit juga yang berasal dari Barabai atau Kandangan. 

Sesampainya di Desa Muara Tamban I, saya bersama paman saya langsung menuju rumah pambakal (sebutan kepala desa di Kalimantan Selatan). Pada mulanya saya dapati rumah sang pambakal kosong karena beliau pergi behuma, di rumah hanya terdapat anak serta istrinya. Sementara menunggu, saya pergi ke warung terdekat dan duduk-duduk santai sambil ngobrol dengan beberapa orang asli sana perihal tata bahasa, kerajinan bambu di Tamban, serta aturan hidup orang dahulu.

Salah satunya yang bernama Anang Supian, ia menyangkal bahwa bambu adalah komoditi di Tamban Muara. “Bambu sulit tumbuh di sini, kebanyakan kalau mau ngambil bambu ya harus ke Kalteng. Di sini juga bukan daerah asal kerajinan bambu, kita hanya tau memakainya saja,” ucapnya.

Tentu pernyataan ini menarik untuk menelusuri Tamban lebih jauh, jadi saya menanyakan  keberadaan masjid kuno di sekitar sini. Beberapa orang serentak menjawab ada tapi sekarang masjidnya sudah dipindah tempatkan. “Hanya sisa-sisa ulin tiang masjid yang bisa kamu lihat sekarang, persis di samping rumah sang pambakal,” ujar mereka.

Tepat di atas sungai, masjid itu dahulu dibangun kemudian dipindahkan dan menjadi sebuah masjid baru. Tidak ada catatan, penelitian, maupun gambar yang menjelaskan bagaimana bentuk masjid tersebut. Hanya tunggul sisa tiang yang tertancap di sungai yang masih tersisa.

Dering telpon berbunyi, sang anak mengabarkan bahwa pambakal sudah balik ke rumah. Segera saya kembali ke rumah pambakal dan disambut ramah. Namanya Pak Jarkasi. Usianya 56 tahun, tampak lebih muda dari usia aslinya. Ketika saya mulai menanyakan Pak Jarkasi soal prasasti, beliau menggelengkan kepala. 

“Saya tidak tahu sama sekali, kebetulan orang-orang tua di sekitar sini sudah banyak yang meninggal, jadi saya tidak bisa kasih informasi apapun ke kamu.” 

Saya kemudian menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang saya tanyakan di warung, namun jawaban pun kurang lebih sama. Beliau berjanji akan membantu mencari tahu lebih lanjut asal usul prasasti tersebut dan memberi saya nomor telepon.

Beberapa hari setelah kunjungan ke Tamban, saya pergi lagi ke Balai Bahasa Kalimantan Selatan dan bertemu Pak Dede, seorang peneliti Bahasa Banjar yang juga membantu saya dalam membaca prasasti ini. Menurut beliau pembacaan prasasti sudah tepat, tinggal saya yang harus interpretasi dengan data-data lainnya yang saya dapat dari beliau maupun dari sumber lain.

Jembatan gantung Desa Muara Tamban/Irsyad Saputra

Sembari berbincang, beliau menceritakan tentang sejarah Banjar. Dalam Negarakertagama, disebutkan bahwa ada Kerajaan Nan Sarunai yang merupakan kerajaan Dayak Maanyan dan juga Tanjung Puri yang merupakan kerajaan Dayak Meratus yang merupakan asal dari orang Banjar.

Asumsi Kerajaan Tanjung Puri sudah menganut agama Hindu berdasarkan temuan yang ditemukan yakni Candi Agung dan diyakini lebih tua daripada Kutai Martadipura. Kemudian beliau juga menjelaskan asal usul bahasa Banjar yang merupakan asimilasi dari berbagai bahasa seperti Sanskrit, Dayak, dan Melayu.

Secara kultural, Kalimantan Selatan sangat sedikit tersentuh pengaruh Hindu yang masih tersisa hingga sekarang padahal Hindu lebih dahulu tersebar sebelum Islam di sini. Menurut beliau, inilah salah satu pengaruh besar dari Syekh Arsyad Al-Banjari.

Sebagai seorang ulama besar tanah Banjar, beliau menguasai semua bidang keilmuan Islam namun lebih memfokuskan kepada ilmu fiqih agar masyarakat Banjar punya dasar keilmuan Islam yang cukup kuat sehingga tradisi-tradisi lain seakan “menghilang” dari tanah Banjar. Sampai sekarang, keturunan beliau adalah ulama-ulama besar yang tersebar di Kalimantan, bahkan Sumatra hingga Kedah.

Dua minggu seusai kunjungan ke Tamban, telepon saya sempat berbunyi, tertera nama Pak Jarkasi disitu namun tidak sempat saya jawab. Kemudian beliau mengirimkan teks yang mengatakan bahwa beliau mengenal salah satu keluarga yang pernah mempunyai prasasti tersebut.

Beliau menuliskan pesan bahwa prasasti tersebut pernah dimiliki oleh salah satu keluarga yang ada di kampungnya, dan keluarga tersebut memang dulunya berasal dari hulu sungai. Sayangnya keluarga tersebut tidak bisa menceritakan lebih lanjut mengenai prasasti tersebut karena keterbatasan informasi dari pendahulu mereka.Informasi berharga ini akhirnya menjadi kepingan yang bisa merekatkan puzzle yang saya dapatkan dari hulu sungai sekaligus menjawab misteri asal usul prasasti tersebut mengapa berdialek hulu sungai namun berasal dari Banjar Kuala.

The post Catatan Tentang Sebuah Prasasti appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-tentang-sebuah-prasasti/feed/ 0 27674